2.1. Perilaku 2.1.1. Pengertian Perilaku Menurut Notoatmodjo (2005) dan Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2005) perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan yang merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses: Stimulus → Organisme → Respons, sehingga disebut teori “S-O-R”. Ada dua jenis respons, yaitu: a. Respondent respons atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Misalnya makanan lezat akan menimbulkan nafsu untuk makan atau mendengar berita musibah akan menimbulkan rasa sedih. b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain. Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena berfungsi untuk memperkuat respons. Misalnya, apabila seorang petugas kesehatan melakukan tugasnya dengan baik adalah sebagai respons terhadap gaji yang cukup (stimulus). Kemudian karena kerja baik tersebut, menjadi stimulus untuk memperoleh promosi pekerjaan. Jadi, kerja baik tersebut sebagai reinforcer untuk memperoleh promosi pekerjaan.
2.1.2. Pembagian Perilaku Berdasarkan teori “S-O-R” di atas perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Perilaku tertutup (Covert Behavior)
Universitas Sumatera Utara
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap. Contoh: Ibu hamil tahu pentingnya periksa hamil untuk kesehatan bayi dan dirinya sendiri (pengetahuan), kemudian ibu tersebut bertanya kepada tetangganya di mana tempat periksa hamil yang dekat (sikap).
b. Perilaku terbuka ( Overt Behavior) Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior”. Contoh, seorang ibu hamil memeriksakan kehamilannya ke puskesmas, seorang anak menggosok gigi setelah makan, dan sebagainya. Contoh-contoh tersebut adalah bentuk tindakan nyata, dalam bentuk kegiatan atau dalam bentuk praktik (practise).
2.1.3. Domain Perilaku Domain perilaku berdasarkan Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005) yang telah dikembangkan untuk kepentingan pendidikan praktis, dibagi dalam tiga tingkat ranah perilaku sebagai berikut: 1. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Secara garis besar ada enam tingkat pengetahuan, yaitu:
a. Tahu (know)
Universitas Sumatera Utara
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa jamban adalah tempat membuang air besar.
b. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikannya secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya, orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan hanya sekedar menyebutkan 3M (mengubur, menutup, dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup, menguras, dan sebagainya tempat-tempat penampungan air tersebut.
c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah paham tentang proses pencernaan, ia harus dapat membuat pencernaan program kesehatan di tempat ia bekerja atau di mana saja. Orang yang telah paham metodologi penelitian, ia akan mudah membuat proposal peelitian di mana saja, dan seterusnya.
d.
Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah
apabila
orang
tersebut
telah dapat
membedakan,
atau
memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan antara
Universitas Sumatera Utara
nyamuk Aedes agepty dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan sebagainya.
e.
Sintesis (synthesis) Sintesis
menunjukkan
suatu
kemampuan
seseorang
untuk
merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya, dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca.
f.
Evaluasi (evaluation) Evaluasi bekaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
jastifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya, seorang ibu dapat menilai manfaat ikut keluarga berencana.
2. Sikap ( attitude ) Campbell (1950) dalam Notoatmodjoe (2005) mendefinisikan sikap sebagai “ An individual’s attitude is sundrome of response consistency with regard to object.” Jadi, sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan dimana saling berunut, yaitu: (Notoatmodjo, 2005) a. Menerima (Receiving) Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). b. Merespon (Responding)
Universitas Sumatera Utara
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
Sikap yang sudah positif terhadap suatu objek, tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata, hal ini disebabkan oleh: a. Sikap, untuk terwujud di dalam suatu tindakan bergantung pada situasi pada saat itu. b. Sikap akan diikuti atau tidak pada suatu tindakan mengacu pula pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang. Pengukuran terhadap sikap ini dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek dan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat hipotesis, kemudian dikenakan pendapat responden ( Notoatmodjo, 2005).
3. Tindakan atau praktik (Practice) Dalam terbentuknya tindakan diperlukan faktor lain, yaitu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Seorang ibu hamil sudah tahu bahwa periksa hamil itu penting untuk kesehatannya dan janinnya, dan sudah ada niat (sikap) untuk periksa hamil. Agar sikap itu meningkat menjadi tindakan, maka diperlukan bidan, posyandu, atau puskesmas yang dekat dari rumahnya, atau fasilitas tersebut mudah dicapainya. Apabila tidak, kemungkinan ibu tersebut tidak
Universitas Sumatera Utara
akan memeriksa kehamilannya. Tingkatan praktik atau tindakan menurut kualitasnya dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu: a. Praktik terpimpin (guided response) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. Misalnya, seorang ibu memeriksa kehamilannya tetapi masih menunggu diingatkan oleh bidan atau tetangganya. Seorang anak kecil menggosok gigi namun masih selalu diingatkan oleh ibunya, adalah masih disebut praktik atau tindakan terpimpin.
b. Praktik secara mekanisme (mechanism) Apabia subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya, seorang ibu selalu membawa anaknya ke Posyandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu perintah dari kader atau petugas kesehatan. Seorang anak secara otomatis menggosok gigi setelah makan, tanpa disuruh oleh ibunya.
c. Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. Misalnya, menggosok gigi, bukan sekedar gosok gigi, melainkan dengan teknik-teknik yang benar. Seorang ibu memasak memilih bahan masakan bergizi tinggi meskipun bahan makanan tersebut murah harganya (Notoatmodjo, 2005).
2.2. Makanan Jajanan
Universitas Sumatera Utara
2.2.1. Pengertian Makanan Jajanan Menurut Widodo dalam Tanjung (2008) makanan jajanan yang dijual oleh pedangan kaki lima atau dalam istilah lain disebut “street food”, menurut FAO didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempattempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. Jajanan kaki lima dapat menjawab tantangan mayarakat terhadap makanan yang murah, mudah, menarik, dan bervariasi.
2.2.2. Jenis Makanan Jajanan Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (1998) dalam Lubis (2007) jenis-jenis makanan jajanan adalah sebagai berikut: a. Makanan jajanan yang berbentuk panganan, misalnya kue-kue kecil, pisang goreng, kue putu, kue bugis, atau sebagainya. b. Makanan jajanan yang diporsikan (menu utama) seperti pecal, mie bakso, nasi goreng, mie rebus dan sebagainya. c. Makanan jajanan yang berbentuk minuman seperti es krem, es campur, jus buah, dan sebagainya.
2.2.3. Manfaat dan Bahaya Makanan Jajanan Menurut Wardiatmo dan Ridwan (1987) dalam Lubis (2007) manfaat makanan jajanan untuk anak sekolah adalah sebagai sarapan pagi dan makanan selingan di antara makanan yang utama. Menurut Hermina (2004) dalam Ginting (2007) makanan juga dapat memberikan tambahan gizi jika memiliki mutu, gizi, dan kebersihan yang baik. Menurut Sihaldi (2004) dalam
Ginting
(2007)
makanan
jajanan
yang
bervariasi
akan
menumbuhkan kebiasaan penganekaragaman makanan sejak kecil. Baliwati (2004) dalam Kesumawati (2009) mengemukakan bahwa makanan jajanan mengandung bahan pengawet buatan dan zat warna buatan yang bisa membahayakan tubuh manusia sehingga dalam jangka
Universitas Sumatera Utara
pendek dapat menimbulkan gejala-gejala sangat umum seperti pusing, mual, muntah, diare, atau bahkan kesulitan buang air besar.
2.2.4. Bahan Aditif pada Makanan dan Kesehatan 1. Bahan Tambahan Makanan (Food Additive) a. Pewarna Buatan Beberapa pewarna buatan yang direkomendasikan oleh Depkes RI tertera dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.1. Beberapa Pewarna Buatan yang Direkomendasikan oleh Depkes RI No Nama Batas Maksimum Penggunaan 1 Merah (45430) 0,1 g/kg (Es krim), 0,2-0,3 g/kg (Jem, Jeli, saus, Buah Kalengan) 2 Hijau (42053) 0,1 g/kg (es krim) 0,2 kg (Jeli, Buah Kalengan), 0,3 g/kg (acar) 3 Kuning 15985 0,1 g/kg (Es krim), 0,2 g/kg (Jeli, Buah Kalengan), 0,3 g/kg (acar) 4 Cokelat (20285) 0,07g/kg (minuman ringan), 0,3 g/kg (makanan lainnya) 5 Biru (42090) 0,1 g/kg (es krim), 0,2 g/kg (deli, buah kalengan), 0,3 g/kg (acar) Sumber: Budianto, 2009 Penggunaan
bahan
pewarna
buatan
yang
tidak
direkomendasikan oleh Depkes RI atau oleh FDA dapat menimbulkan gangguan kesehatan, seperti timbulnya kanker usus dan pankreas. Hal ini disebabkan oleh kandungan arsen melebihi 0,00014% dan timbal melebihi 0,001%. Batas konsumsi bahan pearna buatan yang direkomendasikan oleh Depkes berkisar 1,25-1,5 mg/Kg berat badan (untuk warna merah), 2,5 mg/Kg berat badan (untuk warna biru), 12,5 mg /Kg berat badan (untuk warna hijau), dan 5-7,5 mg/Kg berat badan (untuk warna kuning). b. Pemanis Buatan
Universitas Sumatera Utara
Beberapa pemanis buatan yang direkomendasikan oleh Depkes RI tertera dalam tabel berikut ini:
Tabel 2. 2. Beberapa Pemanis Buatan yang Direkomendasikan oleh Depkes RI No Nama Batas Maksimum Penggunaan 1 Sakarin 100 mg/kg (permen), 200 mg/kg (es (300-700 x krim, jet jeli), 300 mg/kg (Saus, es lilin, manis gula) minuman ringan, minuman Yogurt) 2 Siklamat 1 g/kg (permen, 2 g/kg (Es krim, Es Min, (30-80 x manis Minuman ringan, minuman Yogurt) gula) Sumber: Budianto, 2009 c. Citarasa Buatan (Penyedap Rasa dan Aroma) Beberapa citarasa buatan yang direkomendasikan oleh Depkes RI tertera dalam tabel berikut ini.
Tabel 2. 3. Beberapa Citarasa Buatan yang Direkomendasikan oleh Depkes RI No Nama Batas Maksimum Penggunaan 1 Monosodium Glutamat Secukupnya 2 Vanilin.amh 0,7 g/kg produk siap konsumsi 3 Benzaldehida Cherry Secukupnya 4 Aldehida Sinamat Secukupnya 5 Mentol mint Secukupnya 6 Eugenol rempahSecukupnya rempah 7 Benzilasetat Secukupnya (Strawbery) 8 Asmil Asetat Secukupnya Sumber: Budianto, 2009 Mengkonsumsi
MSG
secara
berlebihan
dapat
menimbulkan Chinese Restaurant Syndrome (kesemutan pada punggung, leher, rahang bawah, sesak nafas, dan pusing kepala). Anak tikus yang diberi MSG dosis tinggi (0,5 g/Kg berat badan) akan
menderita
gangguan
saraf,
kerusakan
retina,dan
pertumbuhan kerdil.
Universitas Sumatera Utara
d. Pengawet Buatan Beberapa pengawet buatan yang direkomendasikan oleh Depkes RI tertera dalam tabel berikut ini:
Tabel 2. 4. Beberapa Pengawet Buatan yang Direkomendasikan oleh Depkes RI No Nama Batas Maksimum Penggunaan 1 Asam Benzoat 600 mg/Kg (kecap, minuman ringan ), 1 g/ Kg (acar, margarin, sari nenas, saus, makanan lainnya) 2 Kalium Nitrat 50 mg/Kg (keju), 500 mg/Kg (daging) 3 Kalium Bisulfat 50 mg/Kg (kentang goreng), 100 mg/Kg (udang beku), 500 mg/Kg (sari nenas) Sumber: Budianto, 2009 2. Penyalahgunaan Borak sebagai Pengawet Makanan Borak sebenarnya bukan untuk bahan pengawet makanan, tetapi digunakan sebagai bahan antiseptik dalam bentuk bedak, cairan, dan salep (dalam bentuk asam borak). Borak juga digunakan sebagai pembasmi semut. Penggunaan borak sebagai bahan pengawet makanan merupakan
bentuk
penyalahgunaan.
Penelitian
di
Palembang
menunjukkan bahwa 70% bakso di Palembang mengandung borak sebanyak 0,20-0,90 ppm kg bakso sedang, pada mie mengandung borak sebanyak 0,17-0,59 ppm/100 g mie. Penggunaan borak pada makan tersebut dimaksudkan sebagai pengawet dan meningkatkan sifat kekenyalan bakso dan mie. Konsumsi borak dapat menimbulkan kelainan pada susunan saraf pusat, saluran pencernaan, ginjal, hati, dan kulit. Pada susunan saraf borak dapat menimbulkan depresi, kekacauan mental, dan mungkin retardasi mental (Budianto, 2009).
Namun, pada kenyataannya para penjaja makanan tidak menggunakan jumlah bahan aditif makanan sesuai dengan peraturan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Konsumsi Makanan dan Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Menurut Khumaidi (1994) dalam Ginting (2007) kebiasaan yaitu pola perilaku yang diperoleh dari pola praktek yang terjadi berulang-ulang. Jajan adalah perilaku mengudap, membeli pangan, di kedai arung atau yang dijajakan orang. Moehdji S (1992) dalam Tanjung (2008) mengatakan saat permulaan usia sekolah, anak mulai berinteraksi dengan suasana, lingkungan, dan orang baru. Hal ini akan mempengaruhi kebiasaan anak. Pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut karena terlambat tiba di sekolah mengakibatkan anak sering menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah teratur sebelum masuk sekolah. Menurut Hui Y. H. (1985) dalam Tanjung (2008) kebiasaan jajan mempengaruhi konsumsi makanan di rumah. Makanan jajan dapat membuat anak merasa kenyang sebelum makan di rumah karena lambung anak yang kecil. Menurut Agresta (2005) dalam Ginting (2007) kebiasaan jajan pada anak sekolah dipengaruhi jumlah uang dari orangtua, rasa lapar, bujukan teman, rayuan pedagang makanan, dan lainnya. Menurut Suci (2009) jumlah uang jajan yang wajar untuk anak sekolah dasar adalah dalam jumlah kisaran Rp. 1000,00-Rp.5.000,00. Selain itu, televisi juga mempengaruhi kebiasaan jajan anak. Anak yang belum dapat berpikir kritis mudah terbujuk dan hampir seketika menyukai makanan misalkan keripik kentang, permen, atau makanan lain yang “tak bergizi” yang iklannya dibintangi oleh sebaya mereka. Iklan makan anak bergizi jarang sekali ditayangkan (Arisman, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Raharjo (2008) iklan makanan ringan mempengaruhi sikap konsumtif murid-murid SD sebesar 36,7%.
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
Universitas Sumatera Utara