UNIVERSITAS INDONEISA
OPTIMALISASI MEDIA ONLINE DALAM MENJAGA EKSISTENSI INDUSTRI MUSIK INDIE DI INDONESIA
MAKALAH NON-SEMINAR
GILANG ADITYA NUGROHO 1006710792
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK DESEMBER 2013
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Optimalisasi Media Online dalam Menjaga Eksistensi Industri Musik Indie di Indonesia. Gilang Aditya Nugroho Ade Armando Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Keberagaman musik, tidak lagi begitu terlihat di Indonesia era 2000-an. Keberagaman musik terakhir dirasakan pada era 90-an. Musik dari berbagai genre mendapat tempat di media konvesional skala nasional. Pop, punk, ska, rock, metal dan sebaginya, dapat dikonsumsi khalayak bahkan dalam satu program acara. Dekade terakhir ini, keberagaman itu mulai tidak terlihat. Musik di indonesia mengalami keseragaman. Media konvensional sudah terlalu berkerabat oleh pihak major label, yang memiliki standar tertentu untuk musik pop yang akan dijadikan populer dan membentuk arus utama (mainstream). Sehingga, musik selain pop kehilangan media sebagai tempat publikasi karya musik. Industri musik indie, menaungi berbagai materi musik yang memiliki perbedaan selera dengan standarisasi major label. Materi dari major label begitu populer, sehingga pintu media menjadi terbatas pada segmentasi itu. Menanggapi “tutup pintu” dari media konvensional, indie menggunakan media lain yang memungkinkan, yaitu media online. Tetapi, media online tidak bisa memapar khalayak secara paksa, seperti khalayak yang dikondisikan dalam mengkonsumsi media konvensional (TV, radio). Sebaliknya, konsumsi media online tergantung kepada minat khalayak untuk mengaksesnya, ini jelas merupakan sebuah kelemahan dibanding keluasan jangkau media konvensional. Tetapi, industri musik indie berhasil mengoptimalkan media online ini. Melalui media online, industri musik indie berhasil menjalankan fungsi produksi, promosi, distribusi, interaksi, apresiasi bersama khalayak, yang telah menjadi pilar-pilar penjaga bagi sebuah eksistensi industri musik indie di Indonesia. Kata kunci: Indie; Media Online; Musik
Abstract Music has many kind of genre, but there are not too published in Indonesia since 2000s. We can feel a richness of music in the end of 90s. That many kind genre have a space to show in conventional media, in national scale. Pop, punk, ska, rock, metal, etc, can perform or show a music product, in one program. In the last decade, that many kind of genre going to disappear. Badly, music in Indonesia just show of one kind. Conventional media has too close with major label, that apply a specific standard for a pop music to build up to the most popular then others and make a mainstream culture. So, except a pop music, get no more media as a place to publish their music product. Indie music industry, as a place for many product music that have some difference taste with major label’s standard. Major label’s product is so popular, that make media be more segmented. Conventional media had closed their door. So, indie use other media that seems possible, that is online media. But, online media can’t force people to take the content as what conventional media (TV, radio) does that trap people/audience with show content in their agenda setting. Online media consumption has a backbone to people demand to access the media, it is absolutely a weakness then how conventional can reach people so broad. But, indie music industry can approve that they can use online media as the best they can. Use online media, indie music industry can success in operating all function; production, promotion, distribution, interaction, appreciation with their people, that a base of keep the existence of indie music industry in indonesia. Key words: Indie; Music; Online Media.
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Pendahuluan Penulisan ini, akan memperlihatkan bagaimana industri musik indie dapat menjaga eksistensinya tanpa terbawa arus utama (mainstream), tanpa terjebak dalam standarisasi industri musik major label, tanpa bergantung pada media massa konvensional. Dengan mengoptimalkan media online, industri musik indie banyak melakukan berbagai inovasi dalam menjaga sebuah eksistensi di industri musik Indonesia. Latar Belakang Musik adalah bagian dari seni, perkembangannya juga mengikuti perkembangan seni lainnya. Terlahir dari eksperimen benda-benda di sekitar dan wujud interpretasi dari sebuah imajinasi. Berbagai benda-benda sederhana yang mengeluarkan bunyi ketika digetarkan atau digesekkan, dapat menjadi suatu materi yang estetik ketika mendapat sentuhan dari hasil pikir yang mengikuti intuisi. Berbekal imajinasi dan intuisi, musik pada awalnya hanya sebatas instrumental. Instrumental tanpa lirik yang sering dipentaskan oleh kelompok orchestra di panggung opera. Dalam perkembangannya, musik tidak hanya dapat dinikmati dalam ruang opera. Musik bisa dinikmati kapan saja bahkan di dalam rumah sekalipun, mengikuti perkembangan teknologi. Berawal pada tahun 1857, Leon Scott menemukan Phonoautograph yang dapat digunakan untuk mempelajari gelombang suara. Pada 1877, Thomas Edison memperkenalkan Phonograph sebagai alat yang dapat menangkap gelombang suara dan memutar ulang kembali, sehingga dapat diperdengarkan. Pada 1894, Emir Berliner mengembangkannya menjadi Gramophone. Mencetuskan perekam suara berbentuk piringan dengan pertimbangan kemudahan pada tahap produksi. Pada perkembangan sistem perekam suara analog tersebut, mulai berdiri perusahaan-perusahaan yang dapat membaca ini sebagai lahan industri. Sebagai institusi di industri, musik yang direkam tidak hanya untuk keperluan dokumentasi dan konsumsi seadaanya. Melainkan harus mendatangkan profit sebanyak mungkin dari biaya yang dikeluarkan pada tahap produksi. Sejak ini lah, muncul para penikmat musik sebagai pasar. Tidak lagi hanya instrumental, musik mengandung lirik menjadi hal yang sangat perlu, sebagai stimulus untuk menciptakan perilaku baru dalam menikmati musik (bernyanyi), menyampaikan pesan lebih jelas (penghayatan), dan menimbulkan rasa candu untuk mengonsumsi produk musik kembali.
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Ditemukan “Tape Recording”, maka industri musik kian berkembang. Piringan hitam berubah menjadi pita hitam. Lebih mudah dan simple untuk digunakan oleh konsumen dan memungkinkan melakukan proses editing. Berlanjut hingga 1960-an, “Multitrack Recording”, setiap instrumen dapat direkam secara terpisah, memungkinkan industri musik melakukan produksi lebih mudah, lebih inovatif, dan lebih murah. Terlebih lagi pada teknologi digital yang telah dicapai dan terus dikembangkan hingga saat ini. Produk pada industri musik sangatlah beragam dan masing-masing dari mereka memiliki tempat di media. Dari pop hingga rock, memiliki tempat untuk diapresiasi di dalam media. Sehingga khalayak luas mendapatkan bahan konsumsi musik yang beragam dan memiliki banyak alternatif. Di indonesia, terakhir kondisi demikian terjadi pada era 90-an. Berbagai aliran musik dapat dinikmati oleh khalayak luas melalui media konvensional. Iwa-K (Hip-hop), Netral (Punk), Edane (Rock), Tipe-X (Ska), Sheila On 7 (Pop), dan band lainnya dapat terlihat berdampingan pada media konvensional, walaupun genre dari berbagai band tersebut sungguh terlihat perbedaan. Materi lagu mereka dapat dinikmati di media publik, TV dan radio. Sehingga keberagaman dan kekayaan musik tetap terjaga dan khalayak mendapat banyak pilihan alternatif. Era 90-an berlalu. Industri musik indonesia berubah, termasuk juga perubahan pada media. Musik indonesia era 90-an, merupakan bentuk ekspresi dan interpretasi imajinasi dari para musisi itu sendiri, yang diproduksi dan didistribusi oleh label. Terbukti dari banyaknya keragaman musik yang terpapar di media. Keragaman semacam itu, tak terlihat lagi satu dekade terakhir ini. Musik era 2000-an, merupakan hasil dari para musisi yang mengikuti standar dan intervensi yang ditentukan oleh major label. Alhasil, keberagaman berubah menjadi keseragaman. Genre pop menjadi mutlak populer. Televisi merupakan penjamah khalayak terbesar di Indonesia yang telah menjadi media yang memfasilitasi keseragaman musik di indonesia. Genre pop menjadi mutlak populer (pop). Menurut Adorno, musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi industri, yakni standarisasi dan individualitas semu. Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Strinati, 2007). Prediksi asumsi ini benar terjadi di Indonesia. Industri musik dikuasai oleh para major label. Major label latah ikuti kesuksesan secara profit. Satu label sukses dengan musik popnya yang pop, maka label lain akan segera mengeluarkan yang senada. Hasil imitasi demikian, berhasil masuk dalam media
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
dan membentuk keseragaman pasar pada khalayak. Keseragaman pasar, lahan luas untuk penjualan. Major label terus melakukan imitasi antar satu label dengan label lainnya. Hingga pada akhirnya, terbentuk standarisasi pada major label dan terbentuk kesadaran semu mengenai selera musik khalayak, yang memang dikondisikan. Musik pop yang membentuk arus utama (mainstream), memiliki standar konten; dengan tema sendu, pemilihan struktur lagu dan pola chord yang mudah tertebak, dan pemilihan lirik yang menyuarakan pesimisme dalam percintaan. Konten yang demikian, menguasai industri major dan memenuhi program-program pada media. Ingin memuaskan khalayak pendengar yang termasuk pada pasar major label, maka radio memutarkan musik pop yang senada. Satu program TV sukses mendapat perhatian khalayak dengan mendatangkan musisi dari major label dengan ke-pop-annya, maka program di stasiun TV lain melakukan imitasi yang senada-serupa. Hingga nyata apa yang dikatakan Adorno, kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya terlalu sama hingga dapat dipertukarkan. Kini semua media seakan sejalan dengan major label, mereka semua terlihat sama. Sementara, musik yang tak sesuai dengan standar major label (yang jelas di arah yang berlawanan) menjadi tidak memiliki akses pada media konvensional untuk ke ruang publik. Permasalahan Program-program pada media konvensional, sudah begitu sejalan dengan major label. Produk musik major label, benar-benar sudah menguasai berbagai media ini. Lihat di televisi dan dengar di radio, pop adalah sesuatu yang dapat dipastikan untuk genre yang dipaparkan media tersebut. Langka rasanya ketika menyalakan televisi, ada Hip-hop, Pop, Rock, Metal, Punk, Grunge, dan sebagianya. Khalayak terjebak dalam pasar tanpa suguhan alternatif sebagai pintu keluar. Genre lain yang tidak searah (non-mainstream) mencari alternatif atas ‘kebuntuan’ dari beberapa media. Major dan minor, terlihat sebagai pembagi yang pas dalam ranah musik sebagai industri. Skena non-mainstream bergerak dengan sumber daya sederhana yang dimilikinya dan membentuk industri musik indie. Skena mainstram bergerak dengan standarisasi untuk ‘memagari’ selera pasar dan membentuk industri musik major. Industri musik major, keberlangsungan eksistensinya sangat terdompleng dengan paparan media. Media sebagai institusi yang juga mengejar profit mendapat kemudahan menjaring rating dari lapisan khalayak yang mau dipenjara seleranya dengan suka-rela hingga mencapai keseragaman
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
selera pasar. Puluhan tahun sudah, industri musik hidup melalui media. Namun, bagaimana industri musik indie dapat menjaga eksistensinya apabila TV dan radio sebagai media audiovisual di indonesia sudah dikuasai oleh major label? Apabila media publik yang memapar khalayak sudah tak memungkinkan, bagaimana industri musik indie mengoptimalkan media alternatif yang memungkinkan, yaitu media online? Tujuan Penulisan Mengetahui bagaimana industri musik indie dapat mempertahankan eksistensi di tengah keseragaman selara khalayak secara umum. Mengetahui bagaimana strategi yang diterapkan melalui media online. Manfaat Penulisan Manfaat akademis; dapat menjadi bahan acuan/referensi, khususnya pada kajian yang terkait dengan media dan industri musik. Manfaat praktis: dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi komunikasi untuk mengoptimalkan penggunaan media online.
Teori dan Konsep Media Online Karakteristik umum yang terdapat pada media online (Iswara, 2001); Kecepatan informasi (aktualitas), Kejadian atau peristiwa yang terjadi di lapangan dapat langsung di upload ke dalam situs web media online, dengan demikian mempercepat distribusi informasi ke pasar (pengakses). Adanya pembaruan (updating), penyajian yang bersifat realtime ini menyebabkan tidak adanya waktu yang diistimewakan (prime time) karena penyediaan informasi berlangsung tanpa putus. Interaktivitas, ini yang paling membedakan dengan media konvensional, khalayak dapat langsung bereaksi dengan konten yang disampaikan dan mendapat balasan, maka terjadilah sebuah interaksi. Personalisasi, memberi peluang untuk memilih info yang ingin diterimanya, selektivitas informasi dan sensor berada di tangan pengguna. Kapasitas muatan besar, dapat dikatakan tanpa
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
batas karena didukung media penyimpan data yang ada di server dengan sistem global, informasi tetap tersimpan, dapat ditambahkan, dan dapat dicari dengan search engine. Hyperlink, setiap informasi dapat dihubungkan ke sumber lain, sehingga khalayak dapat mengakses informasi lain yang sesuai relevansinya. The Expectacy-Value Theory Dalam kerangka pemikiran teori pengharapan nilai ini (Fishbein & Ajzen, 1975), kepuasan yang dicari dari media ditentukan oleh sikap khalayak terhadap media, kepercayaan tentang apa yang suatu media dapat berikan dan mengevaluasi tentang bahan tersebut. Teori ini terlihat seperti perkembangan lebih lanjut dari uses and gratification theory. Khalayak menyesuaikan kebutuhan dengan konsumsi yang dipilih dan dapat menentukan sikap untuk lanjut mengonsumsi media itu atau pindah ke media lain sebagai pencarian alternatif. Theodor Adorno Theodor Adorno (Strinarti, 2007) menyatakan musik yang dilahirkan industri mengalami standarisasi. Ketika materi musik dan konsep program musik tertentu, laku di pasaran dan memiliki rating tinggi, maka hal tersebut akan terus menerus diproduksi ulang dan diimitasi oleh institusi media lainnya. Theodor Adorno juga menyatakan bahwa musik populer dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas semu. Standarisasi menjelaskan mengenai tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal originalitas, autentisitas ataupun rangsangan intelektual. Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan. Loyalitas Boulding (dalam Ali Hasan, 2008) mengemukakan bahwa terjadinya loyalitas merek pada konsumen disebabkan oleh adanya pengaruh kepuasan dan ketidakpuasan terhadap merek (produk musik) tersebut yang terakumulasi secara terus – menerus disamping adanya persepsi tentang kualitas produk. Loyalitas konsumen menurut Amin Widjaja Tunggal (2008) adalah kelekatan pelanggan pada suatu merek, toko, pabrikan, pemberi jasa, atau entitas lain berdasarkan sikap yang menguntungkan dan tanggapan yang baik, seperti pembelian ulang. Berdasarkan
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada unsur perilaku dan sikap dalam loyalitas pelanggan. Pembahasan Sesuai dengan asumsi Theodor Adorno, musik populer telah didominasi oleh industri yang menerapkan standar tertentu dan menciptakan kesadaran semu dalam selera. Ketika media konvensional (TV dan radio) telah dikuasai oleh major label, maka indie label mengalami kebuntuan agar karya musiknya dapat terpapar kepada khalayak. Hal tersebut berhasil membentuk keseragaman pasar, sehingga efektif dalam menjaring khalayak dan menciptakan rating tinggi. Sehingga media juga mengikuti arus utama musik populer. Meskipun demikian, bukan berarti musik lainnya tak terdengar. Menanggapi kebuntuan media konvensional, ada satu media yang dapat digunakan dan siap dioptimalisasikan, yaitu media online. Media konvensional benar-benar bisa mengintervensi selera khalayak, karena sifatnya yang ‘memapar’, pilihan khalayak terbatas pada konten yang ada pada media tersebut. Sementara media online, tidak memiliki sifat ‘memapar’, sehingga khalayak sebagai pengakses benar-benar dengan sadar mengonsumsi media ini, karena khalayak dapat memilih sendiri informasi yang akan diterimanya. Setidaknya, eksistensi industri musik indie ada karena sikap sejalannya khalayak scara sadar, bukan karena tersihir oleh frekuensi yang membatasi selera khalayak itu sendiri. Sifat media online ini, berarti akan berhasil hanya jika ada minat dari khalayak untuk mengakses. Beberapa bagian/lapisan khalayak memiliki minat yang tinggi terhadap musik indie. Sesuai dengan The Expectacy-Value Theory, khalayak tersebut mengevaluasi musik yang dikonsumsinya melalui media konvensional. Setelah menemukan bahwa musik tersebut tidak dapat memenuhi ekspetasi dan memunculkan kejenuhan, maka khakayak akan menentukan sikap dalam bentuk berhenti mengkonsumsi musik/media tersebut untuk kemudian mencari alternatif lain. Hal ini sangat wajar terjadi. Melihat dari sejarah musik, dapat dibedakan musik dan khalayaknya bedasarkan “rentang waktu”. Ada perbedaan antara musik 60-an,70-an,80-an, 90-an. Terjadi perubahan selera setiap rentang waktu 10 tahun. Sehingga sangat memungkinkan terjadi pencarian alternatif oleh khalayak di beberapa tahun ini, tahun yang sudah melewati 10 tahun dari
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
awal era 2000-an. Alternatif materi, ada pada musik indie. Sementara alternatif media, ada pada media online. Alternatif ini, tidak akan mendapat khalayak sebagai pasar, apabila materi yang ditawarkan tidak sesuai dengan ekspektasi khalayak. Tapi, nyatanya musik indie dan khalayaknya, sejalan untuk berjalan berlawanan dengan arus utama. Kesesuaian ini yang menyebabkan khalayak menentukan sikap positif pada musik indie. Berawal dari penentuan sikap ‘suka’, lalu berlanjut ke tahap ‘sesuai/setuju/sejalan’, lalu berlanjut ke tahap ‘loyal’. Sesuai dengan Amin Widjaja Tunggal, terjadi kelekatan antara khalayak dengan dunia musik indie. Terlihat dari traffic yang terjadi pada media indie yang berbasis online, pada pentas musik yang bahkan ada dalam skala per minggu, pada sikap yang mengikuti perkembangan indie melalui media sosial. Kesesuaian materi musik indie dengan khalayak, tidak akan pernah terjadi tanpa melalui sebuah media. Media online, sebagai satu-satunya media yang paling memungkinkan dijadikan tulang punggung utama. Dalam ranah industri musik indie, beberapa inovasi menarik terjadi dalam mengoptimalkan media online dalam menjaga sebuah eksistensi. Berikut beberapa upaya optimalisasi tersebut: Social Media Social media memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya. Filterisasi ada di tangan penggunanya, tidak ada standarisasi tertentu untuk memposting sesuatu, setiap hasil pikir dan ekspresi dapat di lontarkan ke ruang publik. Setiap individu atau kelompok musik dapat menawarkan karyanya sebagai alternatif kepada khalayak dengan bebas. Bahkan fungsi promosi dari major label, bisa diatasi dengan media ini. Social media yang umum digunakan adalah Facebook dan Twitter, para musisi indie juga menggunakan ini untuk menjalin interaksi, memberi informasi, memberi link sebagai tautan untuk menuju media lain yang terkait, kepada khalayak. Untuk industri musik indie, beberapa social media ‘khusus’ diperuntukan untuk memfasilitasi skena musik ini, seperti My Space, Pure Volume, Soundcloud, Reverbnation, dan sebagainya. Media yang diperuntukan khusus untuk individu atau kelompok musik untuk berinteraksi dengan materi musik yang diunggah. Fungsi promosi dapat berjalan disini, akun para musisi, portal berita musik, informasi event, lokasi gigs, khalayak, dapat dengan sendirinya mempromosikan band indie yang menurutnya
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
layak disebarkan untuk diperdengarkan, dengan memposting dengan menyertakan link untuk menuju ke musisi indie tersebut via Soundcloud, Youtube, Official Web, dan lain-lain. Media ini, menjadi rumah utama bagi para musisi indie dan menjadi etalase untuk memperlihat-dengarkan materi music kepada khalayak luas, dengan kemudahan akses yang dapat dipastikan. Musisi Kamar Produksi rekaman berada di dalam ruang studio besar dengan berbagai peralatan seharga puluhan juta rupiah. Tapi, lain hal dengan musisi kamar. Musisi kamar, merupakan sebuah julukan untuk para musisi yang melakukan produksi dengan peralatan yang sederhana, yang bahkan bisa dilakukan di dalam sebuah kamar saja. Musical Instrument Digital Interface (MIDI), memungkinkan produksi musik berkualitas dengan perangkat keras sederhana (PC/laptop, soundcard), perangkat lunak (Nuendo, Fruity Loops, Cubase, Protools, dll), berbagai instrumen yang sudah dimiliki oleh musisi itu sendiri (microphone, gitar, bass, dll), bahkan untuk audio drum/perkusi dapat dilakukan tanpa instrumen drum, tetapi dilakukan secara digital (MIDI) melalui perangkat tersebut. Berbagai forum telah hadir untuk mewadahi para musisi kamar ini, id.musisikamar.com adalah salah satunya. Forum online, Youtube, berbagai komunitas di Facebook dan media sosial lainnya, menyediakan sarana untuk melakukan tanya-jawab sebagai media pembelajaran secara teknis, sebagai etalase untuk menunjukan hasil karya materi musik, sebagai wadah apresiasi atas materi music tersebut. Berikut beberapa musisi yang mengoptimalkan teknologi digital dalam rekaman; Zeke Khaseli, musisi yang memperlihatkan eksistensinya dengan 5 album, 4 soundtrack film, dan 5 scoring film. Bottlesmoker, memperlihatkan eksistensinya dengan 7 album, track list dalam 10 album kompilasi hingga taraf internasional, 14 penghargaan hingga taraf Asia, 8 Tour hingga taraf Asia. Inmyroom Record, dari namanya terlihat menegaskan diri sebagai wadah bagi para musisi kamar, adalah sebuah net label (label musik berbasis online) mengorbitkan beberapa album dari para musisi kamar dan sudah mengeluarkan dua album kompilasi, “Inmyroom Party Vol.1” dan “Inmyroom Mixtape Vol.2”.
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Label Indie label menaungi berbagai musik yang berkualitas yang tak memungkinkan ada di major label. Major label yang memiliki standarisasi kuat dengan keseragaman, membuat para musisi dengan genre lain membutuhkan jalur label alternatif. Indie label hadir dengan membawa “keberagaman dalam bermusik”, yang memang sudah seharusnya terjadi. Tidak terjadi imitasi dan standarisasi dari setiap label di industry musik indie. Indie label sebagai tempat semua genre; pop, techno, punk, rock, metal, dan lainnya. Semangat ini membuat beberapa label indie berhasil mengorbitkan musisi yang memiliki khalayak luas bahkan hingga taraf internasional; FFWD Records (The SIGIT, Mocca, Teenage Death Star), Jangan Marah Records (Efek Rumah Kaca, Bangku Taman, Zeke Khaseli). Rottrevore Records (Dead Vertical, Siksakubur, Death Vomit). Net Label, label indie berbasis internet, seperti; Yesnowave Records, Inmyroom Records, Mindblasting Records. Para musisi dapat mengirimkan materi musik mereka secara online, mencangkup audio, lirik, layout fisik album, artwork cover, dan sebagainya, yang natinya akan diseleksi dan akan dipromosikan melalui net label ini. Para musisi melakukan semua tahap produksi secara independent, namun dengan bersama Net Label materi musik dapat diterima oleh berbagai khalayak. Beberapa band, memberi materi musik mereka secara gratis, termasuk artworknya. Jadi, khalayak bisa burning sendiri materi lagu ke CD dan mencetak artwork sebagai covernya. Secara ekonomi, bukan berpunggung dari penjualan CD, materi lagu secara gratis akan meraih khalayak banyak. Sehingga secara ekonomi, berpunggung pada pembayaran pentas panggung dan merchandise. Situasi ini memperlihatkan begitu besarnya pintu yang terbuka bagi siapapun yang memiliki materi musik untuk dapat diperdengarkan oleh khalayak luas, tanpa keseragaman standarisasi dan dapat berekspresi sebebas-bebasnya. Media Major label memiliki media konvensional sebagai pendompleng para artisnya. Para musisi indie tidak lagi mendapat tempat pada media itu. Sesuai dengan The Expectacy-Value Theory, sebagian khalayak merasa tidak terpenuhi ekspetasinya dan mulai mencari media lain sebagai alternatif pemenuhan ekspetasi. Hingga pada akhirnya muncul berbagai media indie berbasis online yang memang diperuntukan untuk segmentasi indie. Radio, portal berita, dan media cetak, bermunculan untuk mendukung industri musik indie ini. Media inilah yang menjadi lahan
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
promosi yang sangat dapat menjangkau khalayak luas untuk para musisi indie ini. Media ini menyuarakan karya para musisi, musisi itu sendiri sebagai personal, berbagai pentas acara indie, launching album, dan berbagai hal lainnya. Berikut beberapa contoh dari media tersebut; Radio online (Demajors, ruangrupa, Kanaltigapuluh), Portal kabar musik online (Gigsplay, Death Rock Star, Indieshowbiz), Media cetak yang memiliki basis online (Primitivezine, Amazing). Mediamedia tersebut berhasil mendapatkan khalayak sebagai pasar. Terlihat dari padatnya traffic informasi, tingginya interaksi pada radio online dan pentas yang terus terselenggara di berbagai kota. Pentas Pentas musik menjadi wujud interaksi secara nyata antara khalayak dan para musisi indie; Terbiasa mendengar hanya melalui audio, kini dapat langsung secara live. Berinteraksi melalui akun social media, kini langsung dapat bertatap muka. Pembelian CD, merchandise, dan produk musik lainnya secara online, kini dapat dibeli langsung secara fisik. Pentas musik indie sangat padat di berbagai kota. Pentas kecil di gigs yang kecil menjamur pada tiap minggu di titik-titik indie di tiap kota. Room, Rossi, C2o Library, Goethe Haus, Verdigris, Borneo Beer House, adalah beberapa lokasi yang menjadi titik-titik pentas musik indie mingguan di Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya. Selain pentas mingguan dengan skala kecil namun tersebar di berbagai kota ini, pentas musik indie juga memiliki beberapa pentas besar yang diagendakan setiap tahunnya; Joyland Festival, dilakukan selama dua hari di Jakarta dengan dominasi musisi pop indie. Rock in Celebes, agenda tahunan yang dapat menarik hingga 20.000 khalayak dengan kurang lebih 50 band dengan skena rock selama empat hari. Hammersonic, agenda tahunan yang dapat menarik 25.000 khalayak dengan 40 band dari label indie di indonesia hingga band internasional, yang tentunya memiliki skena metal yang sangat kental. Hal demikian membuktikan tingginya antusias khalayak terhadap musik indie. Industri musik indie akan terus semakin hidup dengan segmentasi-segmentasi pasar yang kecil namun sangat banyak tersebar dan segmentasi kecil tersebut semakain lama semakin meluas. Antusias dan minat konsumsi dari khalayak sebagai pasar juga diwujudkan dengan traffic yang tinggi pada social media dan pembelian produk musik baik CD maupun merchandise. Ditengah era digital dan mudahnya mendapat materi musik secara gratis, masih membuat khalayak tidak lepas dari
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
experience konsumsi musik dengan bentuk fisik. 67,45% khalayak masih melakukan pembelian CD, bedasarkan hasil survey online hingga desember 2013 oleh Rollingstone Indonesia. Suksesnya berbagai pentas ini menunjukan musik indie adalah alternatif bagi kejenuhan musik major dan menunjukan tingginya loyalitas khalayak. Khalayak Khalayak dapat langsung terlibat dalam berbagai kegiatan bermusik, selain berinteraksi tentunya. Berikut beberapa band yang melibatkan langsung khalayaknya untuk sebuah proyek musik: Endank Soekamti, menggelar konser rumahan. Setelah 5000 boxset seharga Rp250.000,-/boxset terjual habis, mereka memutuskan untuk mengelar konser rumahan. Fans sebagai khalayaknya, diberi kesempatan untuk mengikuti sayembara agar Endank Soekamti dapat menggelar konser di rumah para fans. Endank Soekamti menerapkan beberapa persyaratan (mengumpulkan tanda tangan, dan sebagai petisi dan persetujuan pagelaran pentas dari berbagai pihak). Sounding konser rumahan ini bertulang punggung pada social media, dan official website. Strategi ini, berhasil menarik khalayak untuk berpartisipasi hingga 3.670 peserta dan menciptakan buzz di social media. Crowdfunding Pandai Besi rekaman di Lokananta. Pandai Besi merupakan sebuah proyek musik yang membawakan lagu-lagu dari Efek Rumah Kaca (ERK) dengan warna yang berbeda. Pandai Besi terdiri dari delapan personil yang tiga diantaranya adalah Cholil Mahmud (gitaris, vocal ERK), Akbar Bagus Sudibyo (drumer ERK), Airil ‘Poppie’ Nurabadiansyah (additional bassis dan vokalis latar ERK). Pandai Besi mengadakan proyek rekaman live di studio bersejarah di indonesia, Lokananta. “Crowdfunding ini dilaksanakan karena butuh tambahan dana”, pernyataan Cholil pada wawancara di Kanaltigapuluh (online radio). Khalayak dapat berkontribusi untuk mewujudkan terjadinya prosesi Pandai Besi rekaman di Lokananta, dengan menjadi donatur, dengan paket donasi dari Rp60.000,- sampai Rp10.000.000,-. Sebuah fenomena unik, ketika khalayak memiliki peran dalam kelangsungan produksi dan membeli produk musik yang bahkan belum diproduksi. Bukti nyata sebuah loyalitas khalayak sebagai pasar. Sounding crowdfunding ini bertulang punggung pada social media dan official website. Alhasil, Crowdfunding ini berhasil, Pandai Besi menyelesaikan rekaman live di Lokananta dan menghasilkan album bertajuk “Daur, Baur”.
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Navicula Borneo Tour. Navicula, sebagai band indie, turut proaktif untuk tur tanpa menunggu sponsor dan promotor. Navicula sangat bersuara dalam perlindungan satwa Orangutan dari perusakan habitat oleh perluasan lahan kelapa sawit dan bersuara keras untuk konservasi kembali hutan hujan di Kalimantan. Masyarakat Kalimantan relatif jarang mengakses pentas musik dari band professional karena jauh dari pusat industri pentas musik. Navicula ingin menyuarakan langsung gagasannya ke masyarakat Kalimantan melalui pentas, tanpa harus membebani pihak masyarakat, komunitas musik dan NGO yang menginginkan Navicula tampil di ruang publik, Kalimantan. Navicula memutuskan untuk mengadakan crowdfunding untuk menutupi kebutuhan dana untuk Navicula Borneo Tour. Khalayak dapat memberi donasi dari Rp25.000,- hingga Rp5.000.000,- via mari.patungan.net. Khalayak dapat memberi donasi dari $10 hingga $2,500 via kickstarter.com. Crowdfunding ini sangat mengoptimalkan media online; Social media (twitter, facebook,
youtube),
Situs
Proyek
Independent
(mari.patungan.net,
kickstarter.com).
Crowdfunding ini berhasil mengumpulkan dana Rp5.435.000,- dari target Rp5.000.000,- via mari.patungan.net dan $3.154 dari target $3.000 via kickstarter.com. Navicula Borneo Tour dinyatakan sukses pada Juli 2012. Pemanfaatan media online berhasil menampung bentuk loyalitas dari khalayak untuk mendukung pergerakan musik indie di Indonesia.
Kesimpulan Media audio visual (TV dan Radio) konvensional yang dapat memapar khalayak secara luas, sudah dikuasai oleh industri major. Sesuai prediksi asumsi Adorno; Musik pop standar label major, mutlak menjadi musik popular. Major label dan media konvensional menyeragamkan musik indonesia dan selara khalayaknya. Khalayak yang mencapai pada kejenuhan musik dan merasa ekspetasinya terhadap musik tak terpenuhi ketika mengonsumsi produk musik dari major label, membutuhkan alternatif lain. Musik di luar standar major label adalah sebuah alternatif, tetapi tidak dapat masuk ke dalam media konvensional. Melainkan melalui indie label, keberagaman musik masih terus bertahan sebagai industri. Tersisa satu media yang memungkinkan dan memiliki potensi besar, yaitu media online. Melalui media online ini, industri musik indie di Indonesia dapat menjaga sebuah eksistensi. Perkembangan teknologi recording (MIDI) memudahkan materi musik untuk diproduksi. Social
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
media memiliki fungsi promosi, sebagai personal (facebook, twitter) menjalin interaksi dan informasi, sebagai musisi (My Space, Pure Volume, Soundcloud, Reverbnation, Youtube) membagi materi musiknya. Label indie (FFWD Records, Jangan Marah Records, Rottrevore Records) berdiri dengan eksistensi yang semakin pasti, terus melakukan produksi dan para artisnya yang selalu berkeliling pentas memenuhi permintaan banyak khalayak. Musisi baru yang juga di jalur indie, mendapat wadah untuk menyediakan materi musiknya kepada khalayak luas melalui Net Label (Yesnowave Records, Inmyroom Records, Mindblasting Records) yang berbasis internet, bermarkas di sebuah website, dan berbagai interaksi yang dilakukan secara online. Ketika materi sudah ada, maka media menjadi penyambung telinga bagi khalayak untuk mengonsumsi produk music tersebut. Terbatasnya akses pada media konvensional, membuat lahirnya media yang diperuntukan bagi khalayak dalam skena indie, seperti; Radio online (Demajors, ruangrupa, Kanaltigapuluh), Portal kabar music online (Gigsplay, Death Rock Star, Indieshowbiz), Media cetak yang juga dengan basis online web (Primitivezine, Amazing). Semua media ini, berbasis online. Karena media online ini juga, berbagai pentas musik indie dapat diinformasikan ke khalayak luas. Sehingga pentas musik indie dapat terlaksana dalam skala mingguan di berbagai kota dan memiliki beberapa pentas musik indie besar yang diagendakan tiap tahunnya, yang dapat mencapai puluhan ribu khalayak dengan penuh antusias. Media online membei akses tak terbatas bagi musisi dan khalayak. Selain mendapat materi musik (CD dan merchandise), interaksi, dan informasi secara online, khalayak juga dapat terlibat langsung. Seperti yang dilakukan oleh Endank Soekamti, Pandai Besi, dan Navicula. Mereka mengoptimalkan media online (social media, website, situs proyek independent) untuk dapat menjangkau khalayak luas untuk menampung bentuk loyalitas dari para khalayak guna melaksanakan sebuah proyek bersama; pentas musik, produksi album, bahkan tur dengan dana puluhan juta rupiah. Dan, penggunaan media online terbukti berhasil memperlihatkan keberhasilan proyek tersebut, tingginya antusias dan luasnya khalayak sebagai pasar industri musik indie di Indonesia. Fungsi major label (produksi, promosi, dan distribusi) sudah jelas juga dimiliki oleh indie label, bahkan lebih efisien dan fungsional. Berbagai aktivitas industri musik indie, berhasil dilakukan. Media online sebagai media penyatu berbagai pihak indie (khalayak, media, artist).
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Dengan mengoptimalisasikan media online, telah membuktikan; produksi album tidak harus ada sosok pemodal besar, tour besar tidak harus menunggu sponsor ataupun promotor, menciptakan pasar tidak harus dengan modal promo besar dan mematok suatu standar. Semua itu dapat terselenggara secara indiependent, sesuai dengan prinsip dasar dunia indie. Di tengah penguasaan berbagai media oleh major label, nyatanya penggunaan media online secara optimal, dapat terbukti berhasil dalam menjaga eksistensi industri musik indie di Indonesia.
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013
Referensi http://gigsplay.com/gig-reviews/ (Diakses pada 30 Desember 2013) http://komunikasi.us/index.php/mata-kuliah/dmnm/6755-perkembangan-industri-rekaman-diindonesia (Diakses pada 28 Desember 2013) http://rollingstone.co.id/result?lftpolling (Diakses pada 25 Desember 2013) http://rollingstone.co.id/read/2012/02/08/102229/1837023/1291/mari-kembali-ke-penggemar (Diakses pada 28 Desember 2013) http://www.kanaltigapuluh.info/interview-dengan-cholil-erk-seputar-crowdfunding-dan-pandaibesi/ (Diakses pada 30 Desember 2013) http://yesnowave.com/networks/ (Diakses pada 20 Desember 2013) Iwan Awaludin Yusuf. Lebih Dekat dengan Konvergensi Media dan Manajemen Media Online. Jogja: Koran Bernas. 3 Juli, 2008.
Daftar Pustaka
Fishbein, Martin and Icek Ajzen. 1975. Beliefe, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company.
Hasan, Ali. 2008. Marketing. Yogyakarta: Media Pressindo.
Strinati, Dominic. 2007. Budaya Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Penerbit Jejak.
Tunggal. Amin, Widjaja. 2008. Dasar-dasar Customer Relationship Management (CRM). Jakarata: Harvarindo.
Optimalisasi media ..., Gilang Aditya Nugroho, FISIP UI, 2013