NEO-MU’TAZILISME HARUN NASUTION DAN KEBANGKITAN ISLAM INDONESIA Oleh: Rofiq Nurhadi Abstrak: Keterpurukan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam menunjukkan adanya kesenjangan yang luar biasa antara idealitas Islam dengan realitas kehidupan umatnya. Lantas apa yang salah dengan keislaman bangsa ini. Melalui paradigma Neo Mu’tazilisme-nya Harun, penulis melihat bahwa keterpurukan dan keterbelakangan ini dipicu oleh paham pesimisme atau fatalisme sebagian besar umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, untuk menggapai kemuliaan kaum muslimin dan bangsa Indonesia pada umumnya haruslah paham keagamaan yang demikian ini dirubah menjadi paham optimisme. Kata kunci: Kebangkitan Islam dan Neo-Mu’tazilisme.
A. PENDAHULUAN Islam dalam jargonnya adalah agama yang tinggi, mulia dan luhur bahkan tidak ada yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding Islam (“Al-Islamu ya’lu wala yu’la alaihi”). Bahkan sebagai risalah kerasulan Muhammad Saw., Islam ditujukan untuk menebar rahmat bagi seluruh alam (baca: Q.S. Al-Anbiyaa: 107). Namun, keterpurukan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam telah menghadirkan informasi yang lain mengenai Islam. Dimana Islam yang dikabarkan sebagai agama yang tinggi dan bermisi mulia ternyata memiliki pemeluk yang lemah, terpuruk lagi menderita. Dalam realitas kehidupan sehari-hari agama Islam yang kita yakini sebagai agama yang tinggi lagi mulia ini seakan-akan tak dapat berbuat apa-apa melihat pemeluknya dilanda berbagai persoalan hidup.
Berbagai kasus kriminal, tindak
asusila, pertikaian, kebodohan, ketertindasan, keterbelengguan, kemiskinan dan kelaparan yang menimpa kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi hal yang biasa.
13
Bahkan banyak diantara kaum muslimin yang sudah tidak percaya diri
dengan
identitas agamanya. Mereka cenderung menutup-nutupinya dan mencari trend atau kiblat pada tata nilai yang di ajarkan oleh perdaban lain yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agamanya. Adapun jawaban yang sering kita dengar atas persoalan ini adalah bahwa yang tinggi lagi mulia itu adalah ajaran agama Islam sedang apakah pemeluknya berada dalam kemuliaan atau tidak itu adalah urusan lain, yaitu tergantung atas kesungguhannya dalam mengikuti ajaran agamanya. Kiranya tidak akan banyak memberi perobahan terhadap nasib umat Islam kalau jawaban yang kita berikan atas persoalan ini hanya berhenti dengan memberikan perbedaan antara ajaran agama dengan pemeluknya, karena tidak bersifat solutif atas persoalan keagamaan umat. Bahkan apabila dikritisi lebih dalam lagi jawaban yang demikian itu tentu sangat ironis, karena secara tidak langsung ia mengandung tuduhan bahwa ajaran Islam telah gagal dalam menjadikan dirinya sebagai pedoman dan petunjuk pada kemuliaan, ketinggian dan keluhuran umatnya. Oleh karena itu, usaha untuk mengeksplorasi lebih dalam guna mendapatkan jawaban yang memuaskan lagi memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin perlu dilakukan. Menurut penulis usaha-usaha yang bersifat solutif ini haruslah dimulai dari analisa kritis mengenai sebab-sebab kemunduran serta keterbelakangan kaum muslimin sebagai sarana untuk menentukan jenis penyakitnya beserta sifat-sifatnya untuk kemudian dicarikan cara-cara yang tepat untuk mengatasinya. Untuk tujuan itu dalam tulisan ini penulis akan menghadirkan gagasan Harun Nasutian tentang NeoMu’tazilisme sebagai sebuah kerangka berfikir untuk melakukan analisis terhadap persoalan tersebut diatas.
14
B. LATAR BELAKANG INTELEKTUAL HARUN NASUTION Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar, Sumatra Utara tanggal 23 September 1919. Ayahnya adalah seorang ulama yang berpaham fatalistik, namanya adalah Abdul Jabbar Ahmad. Adapun pekerjaan ayahnya semula adalah pedagang kemudian diangkat oleh Belanda menjadi Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid. Perjalanan sekolah Harun Nasution dimulai dari sekolah dasar pribumi berbahasa Belanda yaitu HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Setelah tujuh tahun di HIS Harun merencanakan untuk melanjutkan ke MULO namun orang tuanya mempunyai rencana lain. Menurutnya pengetahuan umum yang diperoleh di HIS sudah cukup dan kini harus melanjutkan ke sekolah agama. Harun menyetujuinya dengan syarat sekolah agama yang menunjang pengetahuan umumnya. Lalu dipilihnya masuk ke MIK (Moderne Islamietische Kweekschool) yaitu sekolah Guru, di Bukit Tinggi. Setelah tiga tahun ia belajar di sana ia merencanakan pindah ke sekolah Muhammadiyah Solo. Barangkali karena menilai sikap beragama Harun yang sudah bengkok, maka orang tuanya mempunyai rencana lain, yaitu hendak mengirimkannya untuk belajar ke Makkah agar sikap beragamanya menjadi lurus, baru kemudian ke Mesir. Belum selesai kuliah di Mesir, keadaan mengharuskan Harun bekerja. Dari itu bekerjalah ia di kedutaan dengan tempat tugas yang berpindah-pindah. Tak lama di kedutaan
ia
mendapat tawaran untuk belajar di McGill-Kanada yaitu pada tanggal 20 September 1962. Disana ia banyak mendapat kesempatan baik secara ekonomi (beasiswa) maupun waktu untuk mendalami Islam. Ia membeli dan belajar buku-buku modern, karangan orang Pakistan dan karya Orientalis. Ia disana melihat Islam itu bercorak
15
rasional bukan Islam yang bercorak irrasional seperti yang didapatkan di Indonesia, Makkah dan Al-Azhar. Disanalah Harun baru mengerti Islam ditinjau dari berbagai aspeknya dan ia juga melihat adanya perbedaan antara Islam normatif yang terdapat dalam kitab-kitab kuning dengan Islam dalam sejarahnya. Setelah kuliah selama dua setengah tahun ia mendapatkan gelar MA, tesisnya tentang negara Islam di Indonesia dan Masumi. Dan selanjutnya ia mengambil kuliah lagi selama dua setengah tahun untuk memperoleh gelar Ph.D. Desertasinya berakhir pada bulan Mei 1968, sebagai objek kajiannya ia memilih Islam di Turki, Arab dan di India, yaitu Islam yang dipegang oleh Muhammad Abduh. Ia mengkajinya dari sudut pandang ilmu kalam (teologi), yaitu ia ingin melihat apakah teologi Muhammad Abduh itu condong ke Mu’tazilah atau bukan. Setelah dipelajari ternyata menurutnya Muhammad Abduh memang jauh lebih Mu’tazilah daripada Mu’tazilah. (Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution, 1989: 3-41). Demikian perjalanan sekolah yang ditempuh Harun Nasution. Sejak tanggal 27 Januari 1969 ia mulai mengembangkan karir akademiknya dengan mengajar di IAIN Jakarta. Ia sempat menjadi Rektor dua periode (1974-1982). (Nasution, 1998: 6).
C. NEO MU'TAZILISME HARUN NASUTION Istilah Golongan Neo-Mu'tazilisme sebenarnya telah dipakai oleh tokoh-tokoh pembaharu di India seperti Mulvi Sjiradj Ali dan Said Amir Ali beserta kawankawannya. Mereka tampil berjihad menganjurkan umat Islam untuk mengadakan perbaikan-perbaikan seperti
perlunya
penelitian kembali
syari'at Islam
dan
memodernkan Islam pada umumnya (Stoddard, penerjemah: M. Muljadi Djojomartono dkk., 1966: 40). Di Indonesia Neo-Mu'tazilisme dialamatkan pada Harun Nasution
16
karena ide dan gagasannya dalam mendobrak paham fatalisme dan taqlid buta yang dianut mayoritas bangsa Indonesia serta berupaya untuk menghidupkan kembali teologi Mu'tazilah (Rasjidi, 1977: 100). Hal ini dilakukan karena paham fatalisme dinilai sebagai penyebab kemunduran umat Islam. Fatalisme telah mengantarkan manusia pada sikap menggantungkan diri pada kehendak taqdir Tuhan tanpa berusaha dan berjuang, karena menurutnya segala sesuatu berjalan atas intervensi Tuhan secara langsung. Adapun teologi Mu'tazilah adalah paham teologi yang memberi penghargaan tinggi terhadap potensi akal dan menganjurkan manusia berusaha (berjuang) serta mempertanggungjawabkan segala hasil usahanya. Oleh karena itu, paham teologi ini dinilai akan mampu mengantarkan umat Islam kepada kemajuan. Teologi mu'tazilah yang memberi penghargaan tinggi terhadap akal akan mengantarkan manusia untuk dapat berpikir secara rasional. Sifat rasional teologi ini dapat di kenali melalui lima ajaran pokoknya. Kelima ajaran pokok itu adalah: (1) AlTawhid, yaitu kemahaesaan Tuhan, (2) Al-'Adl, yaitu keadilan Tuhan, (3) Al-Wa'd wa Al-Wa'id, (4) Al-Manzilah bayn Al-Manzilatain, (5) Al-Amr bi Al-Ma'ruf wa Al-Nahy 'an Al-Munkar (Nasution, 1986, Jilid II: 39). Semua ajaran pokok tersebut lahir atas dasar penggunaan penalaran yang rasional. Ajaran Al-'Adl misalnya, ajaran ini menolak paham yang menyatakan bahwa "kehendak dan perbuatan manusia adalah intervensi Tuhan secara langsung", sedang manusia pada hakekatnya adalah seperti wayang yang tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk berkehendak dan berbuat. Penolakan paham yang seperti ini karena menurut Mu'tazilah paham ini menghilangkan doktrin tentang keadilan Tuhan yang sering disebut-sebut dalam Al-Qur'an. Dan memang sudah seharusnya (wajib aqli) Tuhan itu adil. Namun bagaimana Tuhan bisa disebut adil jika Tuhan menurunkan
17
siksa kepada manusia, sedang yang sebenarnya manusia tidak memiliki kekuasaan untuk menolak kehendak dan perbuatan jahatnya yang mengantarkan dirinya pada siksaan. Dari sini ajaran Mu'tazilah selanjutnya adalah Al-Wa'd wa Al-Wa'id, yang menyatakan bahwa Tuhan itu wajib (aqli) memberikan pahala dan hukuman kepada manusia setelah manusia itu diberi kebebasan berbuat dan berkehendak. Kemudian untuk menghindari kejumudan atau kemunduran umat Islam maka pintu ijtihad harus dibuka kembali. Dengan mengutip pendapat Ali Hasballah (guru besar hukum Islam Universitas Kairo) Harun Nasution berpendapat bahwa ijtihad itu sumber ketiga ajaran Islam setelah Al-Qur'an dan Hadis (Nasution, 1986: 72). Realisasinya adalah akal mempunyai peranan yang sangat penting dalam menafsirkan kembali doktrin-doktrin Islam agar sesuai dengan konteks sekarang karena akal dalam Islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Tingginya peranan akal ini dapat dilihat dengan membandingkan kedudukan manusia yang diberi akal dan nafsu dihadapan Malaikat yang hanya diberi akal dan hewan yang hanya diberi nafsu. Yaitu bila manusia mampu menggunakan akalnya dengan baik maka ia lebih tinggi kedudukannya dibanding malaikat dan jika tidak menggunakan akalnya maka manusia mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari binatang. Disamping itu dalam Al-Qur'an kata al-aql diulang-ulang sampai terdapat dalam 30 ayat lebih disamping kata-kata yang semakna dengannya. Kata al-aql tersebut dibuat dalam bentuk kata kerja yang merujuk pada pengertian pentingnya pengguanaan akal, seperti afala ta'qilun (Nasution, 1998: 140). Begitu juga kata ayah (ayat) adalah berarti “petanda” yang harus dipikirkan oleh manusia sebagai titik tolak bagi manusia untuk sampai kepada pengetahuan tentang adanya Tuhan. Hingga selain ayat yang dimaksud adalah ayat-ayat Al-Qur'an
18
maka ada juga ayat-ayat yang berupa alam semesta (QS. 3: 184) yang harus dipikirkan oleh manusia. Jadi jelaslah bahwa akal adalah ciptaan Tuhan yang tertinggi dan akal manusialah yang dipakai Tuhan sebagai dasar dalam menentukan hukuman atau pahala yang akan diberikan kepada seseorang (Nasution, 1998: 141). Manusia dengan akalnya dituntut untuk mampu memilih mana jalan yang mengantarkan dirinya kepada pahala dan menghindarkan dirinya dari jalan yang mengantarkannya kepada neraka. Dan apabila setelah diberi akal manusia tetap saja mengikuti jalan yang mengantarkannya kepada siksa maka sudah selayaknyalah Tuhan memberikan siksa kepada manusia tersebut. Dari sini mungkin muncul pertanyaan, sampai sejauhmana akal dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan?. Dan apakah dengan akal manusia masih membutuhkan wahyu ? Serta bagaimana akal digunakan dihadapan wahyu?. Lalu sejauh mana pula kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat?. Dengan mengutip pendapatnya Abu al-Huzhail, Nasution menjelaskan bahwa akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama, yaitu yang pertama Tuhan dan kewajiban manusia berterima kasih kepada-Nya dan yang kedua soal kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjahui perbuatan jahat. Begitu juga akal dapat digunakan untuk memahami sunatullah atau hukum/peraturan yang harus ditaati alam dalam peredaran dan perkembangannya. Adanya sunatullah ini dijelaskan juga dalam QS. 41: 11 dan QS. 48: 23. Sehingga tidak ada sesuatu yang terjadi dengan begitu saja. Dengan mengetahui hukum alam manusia dapat memperkirakan apa yang akan terjadi di alam sekitarnya. Begitu juga dengan sunatullah ini manusia dapat menyusun rencana masa depannya dalam hidup di
19
dunia dan akhirat. Sehingga tinggal bagaimana manusia memilih jalan yang dikehendaki, jalan kebahagiaan atau jalan kesesatan. Kalau dikatakan dengan akal manusia sudah tidak membutuhkan wahyu lagi karena akal dapat di gunakan untuk mengetahui segala-galanya itu adalah tidak benar. Akal manusia tidaklah begitu kuat untuk dapat mengetahui segala hal dan oleh karena itu wahyu perlu bagi manusia untuk dapat mengetahui apa yang sebenarnya baik dan apa yang sebenarnya buruk baginya. Akal, betul dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak mengetahui cara atau ritual berterima kasih itu. Begitu juga hal baik dan buruk akal hanya dapat mengetahui sebagiannya saja bukan semuanya. Dan dalam hal kewajiban akal hanya mengetahui garis besarnya saja bukan pada perinciannya. Disinilah diperlukan wahyu untuk menjelaskan perincian dari apa yang telah diketahui akal dalam garis besarnya itu. Selain untuk mengetahui perincian ini, wahyu amat diperlukan untuk memperkuat apa yang telah diketahui akal, dengan kata lain untuk membuat wajib 'aqli menjadi wajib syar'i dan haram 'aqli menjadi haram syar'i. Lalu bagaimana akal digunakan dihadapan wahyu? Menurutnya bila akal digunakan secara benar maka tidak akan terjadi pertentangan dengan wahyu. Sehingga apabila terjadi pertentangan maka itu sebenarnya lahirnya saja, yaitu antara akal dan arti lafdzi dari teks Al-Qur'an, oleh karena itu teks Al-Qur'an tidak selamanya mesti diambil arti harfiahnya tetapi terkadang harus diambil arti majazinya. (Nasution, 1998: 134). Disamping itu, ajaran Islam itu ada yang qath'i dan ada pula yang zhanni (ada yang absolut dan ada yang relatif). Berbeda dengan yang absolut, ajaran yang relatif ini terbuka lebar untuk diijtihadi. (Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution, 1989: 53-55).
20
Persoalan
selanjutnya
adalah
sejauhmana
kebebasan
manusia
untuk
berkehendak dan berbuat?. Bahwasanya manusia itu mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan namun kebebasan itu tetap terbatas
sesuai dengan
keterbatasan manusia (Nasution, 1987: 64). Manusia tidak mempunyai kebebasan absolut. Jadi sungguhpun manusia berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri tidaklah sempurna daya, kemauan dan pengetahuannya. Jadi kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan dibatasi oleh perhitungannya sendiri atau dalam kata-kata Muhammad Abduh (demikian Harun menyebutnya) adalah "kelemahan manusia (taqsir)". Lalu apakah yang demikian ini tidak berarti Tuhan telah membatasi kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat?. Tuhan adalah Maha Adil sehingga pembatasan terhadap kehendak dan perbuatan manusia itu terjadi melalui sunatullah ciptaan Tuhan. Untuk menjelaskan ini ada baiknya kalau disini disampaikan mengenai pendapat mu'tazilah tentang perbuatan Tuhan. Sebagaimana disebutkan oleh Nasution bahwa Mu'tazilah mempunyai paham tentang sunattulah. Konsekwensi logis dari paham ini adalah adanya kewajiban bagi Tuhan (wajib aqli), karena Tuhan dalam paham Mu'tazilah adalah bukan Tuhan yang zalim yang tidak tunduk pada hukum (sunatullah) yang tidak pernah berubah-ubah yang telah dibuatNya. Dengan kata lain Tuhan mewajibkan diriNya terikat pada hukum itu dalam rangka untuk mengatur alam ini sesuai dengan sunahNya. Kewajiban untuk mengatur alam ini membawa konsekwensi bahwa Tuhan berkewajiban berbuat baik kepada manusia, karena alam yang diatur Tuhan itu pada dasarnya adalah untuk keperluan manusia.
21
Pemikiran tentang kewajiban berbuat baik ini membawa kepada masalah beban diluar kemampuan manusia. Artinya kalau Tuhan wajib berbuat yang baik pada manusia maka Tuhan tidak dapat memberi manusia beban yang tak dapat dipikulnya. Sehingga manusia itu berbuat atas dasar kehendak dan dayanya sendiri. Tuhan tidak turut campur dalam mewujudkan perbuatan manusia, kecuali dalam menciptakan daya dalam diri manusia sesuai dengan sunah Allah. Dan daya manusia yang diciptakan Tuhan tersebut adalah terbatas, oleh karena itu manusia tidak dapat melaksanakan sesuatu yang terletak diluar kemampuan alamiyahnya dan yang demikian ini wajib bagi Tuhan untuk tidak menghukumnya.
D. SEBUAH REFLEKSI MENUJU KEBANGKITAN ISLAM DI INDONESIA Eksistensi Islam menjadi amat penting untuk dikaji di tengah-tengah keterpurukan bangsa ini, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Yakni adakah hubungan antara keislaman bangsa ini dengan keterpurukan yang dialami oleh bangsa ini. Hal ini tidak menafikan misi suci risalah islamiyah, yaitu untuk menebar kemuliaan dan kemakmuran (baca: rahmat) dimuka bumi. Akan tetapi bagaimana Islam dengan misinya yang mulia tersebut disadari dan diparaktekkan oleh bangsa ini. Dalam pandangan teologi Islam peran manusia dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan tidak dipahami secara sama oleh umat Islam. Sebagian menganggap bahwa nasib baik dan buruk manusia itu adalah ketentuan Tuhan. Manusia tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam menentukan nasibnya. Paham ini adalah paham yang dibawa oleh aliran jabariyah. Diantara dalil nash yang digunakannya adalah surat Ar-Ra‘du ayat 39 yang artinya “Allah menghapuskan dan
22
menetapkan pula apa-apa yang dikehendakiNya”. Sementara golongan lain menganggap bahwa nasib baik dan buruk manusia itu adalah ditentukan oleh manusia sendiri. Tuhan tidak turut campur dalam menentukan nasib manusia. Tuhan hanya menetapkan hukum-hukumnya. Paham ini adalah paham yang dibawa oleh aliran Mu’tazilah. Diantara dalil nash yang digunakannya adalah surat Ar-Ra’du ayat 11 yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan (nasib) sesuatu kaum (seseorang) sehingga mereka (mau berusaha) merubah keadaan yang ada pada (diri) mereka itu.” (Noor-Matdawam, 1995: 58-71) Paham teologi Jabariyah (pesimisme/fatalisme) ini mempunyai pengaruh yang sangat besar di Indonesia. Peran kaum sufi dan tarekat-tarekat sufi dengan ajaran “fana”nya (meniadakan diri untuk hidup berzuhud yang bersih dari segala pamrih keduniaan) adalah sangat besar dalam menyebarkan paham ini. Tuntunan untuk hidup berzuhud atau membelakangi dunia mempunyai semangat yang sama dengan paham Jabariyah tentang taqdir tersebut. Adapun indikasi meluasnya pengaruh sufisme di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya guru dan pemimpin agama Islam di nusantara dari kalangan ahli Tasawuf, misalnya di jawa dikenal Wali Songo dan di Sumatra Utara pada abad XVI dikenal Hamzah Pansuri, Syamsuddin Pase, Nuruddin ar-Raniri, Abdur-Rauf Singkel. Lebih dari itu tarekat-tarekat sufi juga merebak dinusantara, diantaranya adalah: Qadiri, Rifa’i, Naqsyabandi, Sammani, Qusyasyi, Syattari, Syazili, Khalwati dan Tijjani. (Pasha, 2005: 69-70) Dalam paradigma pesimisme/fatalisme inilah ajaran agama seringkali digunakan orang untuk meligitimasi kemalasannya dalam berjuang dan melakukan perubahan. Misalnya; ajaran tentang sabar, ajaran tentang taqdir (qadla dan qodar),
23
qonaah (nerimo: jawa), ridla serta tawakal (pasrah). Dari sinilah umat menjadi statis, tidak kreatif, tertinggal, terpuruk dalam kemiskinan, kesengsaraan dan penderitaan karena mereka harus rela menerima kehidupan ini dengan apa adanya sebagai taqdir Tuhan. Lebih dari itu para pelaku kedzaliman akan mendapatkan angin segar dengan paham keagamaan ini. Pasalnya setiap tindak kedzalimannya pasti akan diterima umat sebagai bagian dari taqdir yang telah ditentukan oleh Tuhan dan menerima atau ridla terhadap taqdir Tuhan ini termasuk bagian dari ibadah. Oleh karena itu para penguasa yang lalim akan dengan mudah melakukan kedzalimannya. Lebih dari itu paham fatalis juga cenderung melahirkan sikap taqlid dan tekstual dalam memahami doktrin agama. Tradisi untuk mengeksplorasi akal guna mendapatkan penafsiran yang proporsional tidak berjalan dengan baik. Dalam kecenderungan yang demikian ini nilai-nilai kemanusiaan sering kurang mendapat apresiasi. Akibatnya agama sering dilibatkan dalam tindak penindasan, kesewenangwenangan dan ketidak-adilan, sehingga struktur masyarakat yang diharapkan menjadi egaliter dengan kehadiran agama justru menjadi timpang dan muncul berbagai kericuhan yang meruntuhkan berbagai macam potensi kekuatan. Dalam kondisi pemikiran dan kesadaran keagamaan yang demikian ini kiranya masyarakat muslim sulit diharapkan untuk bangkit dari keterpurukannya. Betapa tidak, upaya untuk bekerja keras, bersikap kritis dan melakukan perlawanan telah dihadang oleh kesadarannya akan ketentuan mutlak Tuhan terhadap segala macam nasib manusia. Oleh karena itu, usaha yang pertama-tama yang harus dilakukan untuk menuju kebangkitan umat Islam Indonesia adalah merombak akar teologis dari pemikiran dan kesadaran umat ini untuk diarahkan pada pemikiran teologis yang membebaskan dan
24
mencerahkan umat. Berdasarkan pemikiran teologis yang ditawarkan oleh Harun Nasution maka sabar tidak harus diartikan nerimo ing pandum (jawa), tetapi hendaklah lebih diartikan sebagai motivasi untuk berjuang dan berusaha keras, yaitu kesabaran yang harus ditanggung oleh setiap muslim dalam menahan pedih dan pahitnya berjuang dan bekerja keras membangun kehidupan yang mulia dan sejahtera. Kemudian Qodha dan Qodar (taqdir) maka ia tidak harus diartikan sebagai ketentuan mutlak Allah bagi nasib baik buruk seseorang yang menyebabkan umat Islam bergantung pada nasib, tetapi hendaklah ajaran ini lebih dimaknai sebagai hukum Allah yang meniscayakan adanya hubungan sebab-musabab (Nasution, 1975: 55). Artinya akibat baik ataupun buruk itu tergantung pada peran dan usaha manusia, apabila usaha yang dilakukan oleh manusia itu sesuai dengan hukum Allah mengenai syarat keberhasilan usahanya maka pastilah manusia tersebut akan memperoleh sukses dalam usaha atau berjuang, begitu sebaliknya. Begitu seterusnya ajaran tentang tawakal, ridha dan qonaah hendaklah lebih diartikan sebagai fungsi penyelaras batin atas kodrat keterbatasan dalam penciptaan manusia, sehingga manusia tidak stress apabila usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh tidak menuai hasil sesui yang diharapkan. Kemudian untuk menuju penafsiran agama yang proporsional dan memihak pada nilai-nilai kemanusiaan, maka dhahirnya ayat tidak harus kita terima begitu saja seperti kecenderungan teologi fatalis, yaitu menyerah begitu saja pada dhahirnya ayat meskipun tidak selalu berpihak pada kepentingan kemanusiaan. Ketimpangan sistem sosial antara laki-laki dan perempuan yang berawal dari penafsiran ayat “arrijaalu qowwamuuna ‘alan nisaa’ “ (laki-laki itu qowwam bagi perempuan) (Q.S. AnNisaa’:34) misalnya, maka sesungguhnya kata qowwam tidak harus diartikan sebagai
25
“pemimpin” yang mengandung pengertian mengatur dan mengeksploitasi, tapi qowwam hendaklah diartikan dengan “penopang atau pelindung” (Mustaqim, 2003: 123). Karena wanita dalam kodratnya memiliki fungsi reproduksi yang dalam melaksanakan tugasnya perlu dilindungi dan ditopang oleh laki-laki baik dari sisi ekonomi atau dari sisi lainnya untuk kepentingan bersama antara laki-laki dan perempuan. Adapun pemahaman keagaman yang tekstual normatif yang cenderung melahirkan sekat-sekat dalam agama dan klaim kebenaran maka teologi yang ditawarkan oleh Harun ini memberikan bekal pada kita untuk menggunakan akal guna melakukan pemahaman secara kontekstual yang cenderung elastis dan tidak kaku sehingga bentrokan antar paham keagamaan dapat dieliminir. Karena memang yang mutlak kebenarannya itu hanya pada wahyu ketuhanan itu sendiri tidak pada tafsir manusia yang bersifat relatif. Kiranya hanya dengan ini misi kerasulan Muhammad sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Anbiyaa’ ayat 107 yang artinya ”dan tidaklah Aku mengutus kamu (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam” dapat terwujud. Karena dengan cara pandang yang demikian inilah nampak agama memiliki kecenderungan dan keberpihakan pada kepentingan umatnya.
E. SIMPULAN Paham keagamaan masyarakat mempengaruhi sikap mereka dalam menghadapi kehidupan ini. Oleh karena itu, untuk membawa bangsa ini kepada kemajuan maka paham pesimisme atau fatalisme sebagian besar umat Islam di Indonesia harus diganti dengan paham optimisme yang rasional yaitu paham yang di tawarkan oleh
26
Mu’tazilah. Paham keagamaan yang demikian ini akan melahirkan motivasi yang luar biasa bagi umat Islam untuk berkarya dan menyikapi kehidupan ini secara rasional.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, 1985, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI. Mustaqim, Abdul, 2003, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Yogyakarta: Sabda Persada. Nasution, Harun, 1986, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI-Press. ____________, 1986, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press. ____________, 1998, Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution), Bandung: Mizan. ____________, 1987, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, Jakarta: UI-Press. ____________, 1975, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta: Bulan Bintang. Noor-Matdawam, M., 1995, Aqidah dan Ilmu Pengetahuan dalam Lintasan Sejarah Dinamika Budaya Manusia, Yogyakarta: Yayasan Bina Karier. Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama dan Filasat, 1989, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam (70 Tahun Harun Nasution), Jakarta: LSAF. Pasha, Musthafa Kamal dan Darban, Ahmad Adaby, 2005, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri. Rasjidi, M., 1977, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang "Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya", Jakarta: Bulan Bintang. Stoddard, Lothrop, 1966, Dunia Baru Islam, Letdjen H.M. Muljadi Djojomartono dkk. (penterj.), Jakarta: t.p. @@@@@
27