MODEL KEMAMPUAN TELUSUR PADA INDUSTRI TEPUNG IKAN
NOVA ALEMINA SITEPU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Model Kemampuan Telusur pada Industri Tepung Ikan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, 28 Agustus 2014 Nova Alemina Sitepu NIM F35112011
RINGKASAN NOVA ALEMINA SITEPU. Model Kemampuan Telusur pada Industri Tepung Ikan. Dibimbing oleh SYAMSUL MAARIF dan TITI CANDRA SUNARTI. Kemampuan telusur merupakan sistem yang mampu melacak produk pada seluruh rantai distribusi, memberikan informasi tentang bahan baku, dan memahami serta mengkomunikasikan dampak dari cara produksi dan distribusi terhadap mutu dan keamanan pangan. Model ini dapat mengidentifikasi kode produk yang bermasalah di konsumen sehingga dapat ditindaklanjuti dengan cepat. Keuntungan mengetahui produk yang bermasalah secara pasti adalah dapat meminimasi penarikan produk dan meminimasi kerugian. Penelitian ini melakukan penentuan titik kritis sistem kemampuan telusur di UD Hijau Daun Sidoarjo. Pengolahan data dimulai dari pengamatan proses produksi dan penentuan fungsi ID. Setelah dilakukan penentuan fungsi ID, data diolah menjadi bentuk kuesioner yang diisi oleh pakar. Pakar yang terlibat dalam penelitian ini mewakili pelaku usaha (UD Hijau Daun), penentu kebijakan (Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya) dan akademisi (Dosen Teknologi Hasil Perikanan Institut Pertanian Bogor). Pemilihan pakar dilakukan berdasarkan reputasi, kedudukan, dan pemahaman terhadap objek penelitian. Pakar menentukan nilai severity, occurance dan detection. Nilai severity kemudian diterjemahkan ke dalam tabel military standard 1629A menjadi level tingkat kepelikan. Nilai occurance diterjemahkan ke dalam tabel military standard 1629A menjadi peluang terjadi. Nilai severity, occurance dan detection paling tinggi adalah 10. Setelah nilai severity, occurance dan detection ditentukan dilakukan perhitungan risk probability number (RPN) dengan cara mengalikan severity, occurance dan detection. Kuesioner pakar menghasilkan area kritis unacceptable yang dapat dilihat pada matriks analisis kritikal. Ketiga pakar memiliki pandangan berbeda dalam penentuan area unacceptable, namun demikian pada poin 6.20 (salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO) ketiga pakar sepakat untuk memasukkan poin tersebut sebagai area unacceptable. Nilai RPN yang didapat menujukkan tingkat resiko sistem kemampuan telusur. Semakin tinggi RPN maka semakin tinggi resiko kegagalan sistem kemampuan telusur tersebut. Setelah diketahui area kritis, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis efek lokal dan global. Analisis efek ini diperlukan untuk penentuan tindakan perbaikan. Tindakan perbaikan yang diusulkan ke UD Hijau Daun merupakan perbaikan menyeluruh. Usulan perbaikan berdasarkan kekurangan yang selama ini ada di UD Hijau Daun. Penelitian ini melakukan perbaikan dengan cara memperbaiki skema proses produksi dengan bantuan BPMN (Business Process Model and Notation) untuk membuat model bisnis proses. Kata kunci: FMECA, kemampuan telusur, tepung ikan
SUMMARY NOVA ALEMINA SITEPU. Traceability Model of Fish Powder. Supervised by SYAMSUL MAARIF and TITI CANDRA. Traceability is ability to track any product (food, feed, food-producing or substance) through all stages of production, processing and distribution. This sistem allowed food business operators or authorities to withdraw or recall products which have been identified as unsafe condition. They must be able to identify where their produc ts have come from and where they are going and to provide rapidly this information to the competent authorities. The advantages this system is to minimize the withdrawal of the product and minimize losses. This study determined the critical points of traceability system at UD Hijau Daun Sidoarjo. The first step was determining ID function. After got the ID function, data was processed into questionnaire and evaluated by the experts. The experts are representative of UD Hijau Daun as a business actors; Fish Quarantine, Quality Control, and Safety of Fishery Class I Surabaya as a policy makers and lecturer from Fishery Product Technology Department, Bogor Agricultural University as a academics. The selection of experts are based on their reputation, position, and knowledge about the object of this research. Experts determined the severity value, occurance and detection. Severity value then be converted into level severities according to table of military standard 1629A. This value was also converted from table of occurance military standard 1629A into occured opportunities. The maximize value of severity, occurance and detection was 10. These values were used to determine Risk Probability Number (RPN). The results from expert questionnaires evaluation were expressed in unacceptable critical area that described in critical analysis matrix. Each expert had different responses when they determinated the unacceptable area however at the 6.20 point they agreed this point as unacceptable area. RPN values showed the level of risk the system's search capabilities. Higher RPN value related to the the higher of failure risk in the traceability system. Based on critical area, the next step was analyzing the global and local effects. This analysis was used to determine corrective actions. Proposed corrective action for UD Hijau Daun were whole corrective, based on their own unacceptable condition. To improve this research then we made correction conducting business process model to show process business flow in all process production. Keywords: FMECA, traceability, fish powder
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL KEMAMPUAN TELUSUR PADA INDUSTRI TEPUNG IKAN
NOVA ALEMINA SITEPU
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP. MT
Judul Tesis : Model Kemampuan Telusur pada Industri Tepung Ikan Nama : Nova Alemina Sitepu NIM : F351120111
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir M. Syamsul Maarif, MEng Ketua
Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Machfud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 16 Juli 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah Model Kemampuan Telusur, dengan judul Model Kemampuan Telusur pada Industri Tepung Ikan. Penelitian ini dilaksanakan di Industri Tepung Ikan Sidoarjo. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsul Maarif, M.Eng dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti. M.Si selaku pembimbing, yang telah banyak memberi arahan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan Balai Karantina Surabaya dan UD Hijau Daun yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Rika dan Enda atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan mahasiswa pascasarjana S2 TIP IPB angkatan 2012, khususnya kepada para sahabat yaitu Benski, Eddwina Aidila Fitria, Elfa Susanti, Elfira Febriani, Nina Hairiyah dan Rafi Rasyid atas segala dukungan dan kebersamaan kuliah. Terima kasih juga kepada rekan dari jurusan lain yang senantiasa membantu yaitu Teguh Pratama Pamungkas. Terimakasih juga kepada sahabat penulis Dian Fitrohtin yang senantiasa memberi dukungan dalam segala kondisi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 28 Agustus 2014 Nova Alemina Sitepu
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 3
2. TINJAUAN PUSTAKA Tepung Ikan Kemampuan Telusur Metode FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis) Penelitian Terdahulu
3 3 3 5 5
3. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan Data
6 6 6
Metode
6
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Identifikasi Perusahaan 11 Proses Produksi Tepung Ikan dan Penetapan Critical Control Poin (CCP) 11 Penentuan Nilai Kritis dengan FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis) 12 Model Bisnis Proses Kemampuan Telusur 20 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran RIWAYAT HIDUP
23 23 23 40
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4.
Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL Tingkat kepelikan (Severity classification) Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence) Deteksi terjadinya kegagalan (detection)
9 9 10 10
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4.
Diagram alir metode penelitian Tahapan penentuan fungsi ID dalam produksi tepung ikan Matrik analisis kritikal Model bisnis kemampuan telusur fragmen supplier-produksi tahap pengiriman sampel tulang ikan
8 16 19 21
DAFTAR LAMPIRAN 1. Landasan hukum 2. Contoh pengisian kuesioner oleh pakar dari UD Hijau Daun 3. Usulan tindakan perbaikan 4. Efek lokal dan efek global 5. Model bisnis kemampuan telusur
27 28 31 35 40
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemampuan telusur dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melacak dan mengikuti jejak pakan, makanan, ternak atau ikan pada seluruh mata rantai produksi, pengolahan, dan distribusi. Prinsip dasar model ini adalah melacak produk pada seluruh rantai distribusi, memberikan informasi tentang bahan baku, dan memahami serta mengkomunikasikan dampak dari cara produksi dan distribusi terhadap mutu dan keamanan pangan. Kemampuan telusur menjadi salah satu faktor kritis efisiensi penarikan produk (Grunow 2008). Model ini dapat mengetahui dengan pasti produk yang terkena dampak dan jaringan pemasok yang terlibat. Manfaat mengetahui secara jelas pokok persoalan adalah proses penarikan produk dari pasar dapat dipersempit, sehingga dapat meminimasi kerugian. Tahap perancangan model memiliki dua tujuan utama, memenuhi kebutuhan pengguna dan memberi informasi kepada pengguna. Peraturan mengenai ketersediaan data telusur terdapat pada Per. 01/Men/2007 mengenai pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan keamanan hasil Perikanan (Lampiran 1). FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis) adalah metode yang digunakan untuk mengukur dan menganalisis keamanan dari suatu produk atau proses. FMECA merupakan prosedur yang dilakukan setelah analisis kegagalan efek modus untuk mengklasifikasikan setiap efek potensi kegagalan menurut tingkat keparahan dan probabilitas kejadian. Masukan dari FMECA berupa rencana, diagram, probabilitas, dan frekuensi data berdasarkan data historis. Keluaran dari FMECA adalah daftar titik kritis serta beberapa target dari mitigasi risiko (Sultan et al. 2011). Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asamasam amino esensial yang kompleks dan mineral (Ca dan P, vitamin B12) (Marzuki 2008). Tepung ikan dari Indonesia diekspor ke Jepang digunakan sebagai pakan dan pupuk. Jepang menggunakan tepung ikan dengan tujuan kandungan protein dalam tepung akan meningkatkan nilai gizi pada sayuran yang menggunakan pupuk dari tepung dan nilai gizi hewan yang menggunakan pakan dari tepung ikan. Eropa telah mengembangkan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) yaitu sistem yang dikembangkan masyarakat Eropa untuk menyediakan informasi secepat mungkin mengenai bahaya keamanan dan kesehatan pangan serta pakan. Saat ditemukannya notifikasi ALERT pada suatu produk maka akan dilakukan langkah penahanan, pelepasan, atau pengendalian sesegera mungkin. Saat dilakukannya penarikan ulang terhadap produk, maka perusahaan memerlukan model telusur untuk dapat menelusuri produk. Model telusur dibutuhkan oleh produsen, sehingga jika terjadi permasalahan selama proses produksi maka produsen dapat menarik kembali batch yang terkena masalah dan bukan keseluruhan produk. Hal ini menjadi penting bagi produsen untuk membuat
2 surat izin agar dilakukan penghentian proses produksi pada bagian lot yang bersangkutan. Pemerintah Indonesia dan Jepang sejak 1 Juli tahun 2008 merealisasi persetujuan kemitraan ekonomi. Perjanjian kerjasama ini membuka peluang ekspor perikanan Indonesia ke mancanegara khususnya Jepang untuk produk olahan tepung ikan. Namun, kerjasama ini pernah rusak akibat embargo tepung ikan Indonesia oleh Jepang terkait indikasi protein non ikan pada tepung ikan Indonesia. Salah satu temuan yang terbesar tahun 2013 oleh UD. Hijau Daun di Jawa Timur yaitu Jepang menolak tepung ikan yang mengandung protein non ikan, khususnya protein dari aves dan mamalia terkait isu virus H5N1 pada aves dan anthrax pada mamalia sapi. Kemampuan telusur internal sebenarnya telah dikembang di UD. Hijau Daun. Namun pada kenyataannya tidak berjalan sehingga saat dilakukan penolakan oleh Jepang semua tepung ikan yang dikirim ditarik kembali, bukan hanya tepung yang bermasalah. Penelitian ini akan memperbaiki kemampuan telusur dengan menentukan titik kritis sehingga nantinya kemampuan telusur internal dapat berjalan lebih baik dari sebelumnya.
Perumusan Masalah
Ketidakmampuan telusur informasi di UD. Hijau Daun merupakan masalah yang sering dihadapi karena proses produksi yang belum memiliki alur serta banyaknya pemasok yang memasok bahan baku. Kemampuan telusur sendiri merupakan salah satu syarat agar tepung ikan yang diproduksi dapat diterima oleh Jepang. Manfaat penelitian ini membantu UD. Hijau Daun dalam pembuatan model kemampuan telusur sehingga dapat menjamin mutu produk untuk ekspor khususnya dan membantu pemerintah membangun model telusur industri kecil yang bergerak dalam bidang ekspor hasil perikanan secara umum.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan merancang jaminan mutu dan pasokan produk tepung ikan di UD. Hijau Daun Sidoarjo menggunakan metode FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis) untuk mengetahui titik kritis kemampuan telusur dan membuat model dengan bantuan BPMN (Business Process Modelling Notation).
3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada sistem telusur internal UD. Hijau Daun Sidoarjo sebagai produsen dan eksportir. UD. Hijau Daun telah menggunakan kemampuan telusur internal, namun kemampuan telusur ini tidak berjalan karena saat terjadi masalah kemampuan telusur ini tidak mampu menelusur batch yang bermasalah. Penelitian ini membantu penentuan titik kritis yang ada pada proses produksi tepung ikan, sehingga nantinya kemampuan telusur bisa lebih baik dari sebelumnya. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah FMECA (Bertolini 2006).
TINJAUAN PUSTAKA
Tepung Ikan
Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asamasam amino esensial yang kompleks (metionina dan lisina) dan mineral (Ca, P dan vitamin B12) (Sitompul 2004). Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku sumber protein hewani dan mineral yang dibutuhkan dalam komposisi pakan (Marzuki 2008). Menurut Anonimus (2001), bahan yang digunakan adalah ikan segar, tetapi yang paling ekonomis adalah ikan-ikan kecil (rucah) yang kurang disukai untuk dikonsumsi dan harganya murah. Tahapan produksi tepung tulang ikan sebagai berikut: Penerimaan bahan baku; di tahap ini dilakukan proses sortir untuk memisahkan antara tulang ikan dengan tulang hewan lain dan bahan pengotor. Penggilingan, tahap ini merupakan penghancuran tulang ikan. Pengeringan, tepung sebaiknya tidak dipanaskan pada suhu yang sangat tinggi. Pengemasan dan pelabelan, tahap ini mengemas tepung ikan lalu diberi label identitas kemudian dilakukan penyimpanan di dalam silo.
Kemampuan Telusur
Kemampuan telusur merupakan bagian dari jaminan mutu yang bertujuan utama menjamin mutu dan keamanan produk, melalui kemudahan akses informasi pada setiap tahapan proses produksi. Bahkan hasil penelitian Grujic (2010) juga
4 termasuk di dalamnya juga tentang asal usul dan kualitas bibit benur dan pakan yang digunakan. Kemampuan telusur merupakan suatu konsep, alat, prosedur kerja dan peralatan untuk menelusur dan penelusuran (T&T) dalam lingkungan produksi dan distribusi (Smith 2006). Terdapat lima elemen dalam sistem QTT: (1) tujuan dan keuntungan, (2) manajemen penawaran dan permintaan, (3) kualitas informasi pelacakan dan penelusuran, (4) kualitas teknologi pelacakan, dan (5) proses dan produk (Koenderink and Hulzebos 2006).
Landasan Hukum Kemampuan Telusur
Codex Alimentarius Commission, Guidelines for Generic Official Certificates Formats and the Production and Issuance of Certificates 38 – 2001 (Lampiran 1). Council and European Parliament Regulation (EC) No 178/2002 : Article 18, 19, 20 merupakan lembaran kunci legislasi Food Kemampuan telusur di Uni Eropa (Lampiran 1). PERMENKP RI Nomor : Per. 01/Men/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Pada BAB III menerangkan Prisip-prinsip Pengendalian Pasal 3, huruf c. Menerapkan prinsip ketertelusuran bagi pelaku usaha (Lampiran 1). KEPMENKP RI No.: 01/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan di Tahap Produksi, Pengolahan dan Distribusi. BAB VIII, Pasal 13 Ketertelusuran (Lampiran 1).
Jenis Kemampuan Telusur Kemampuan telusur dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu kemampuan telusur internal dan eksternal. Penelitian ini merupakan kemampuan telusur internal. Kemampuan telusur internal mencakup ketertelusuran bahan baku, produk setengah jadi dan produk akhir di dalam satu unit produksi atau satu unit pengolahan dan hanya melibatkan satu pihak (Dupuyet al. 2005). Secara eksternal rantai ketertelusuran mencakup perpindahan produk dari alur sepanjang rantai suplai dan bisa melibatkan lebih dari satu pihak. Menurut Huang dan Gotel (2012) kemampuan telusur dapat dibagi menjadi beberapa: Paper-base Paper-base ini adalah bentuk paling sederhana dari informasi merekam kemampuan telusur. Komputer Komputer memiliki keuntungan tambahan untuk dapat menghubungkan dan mengolah data sebagai bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan. Bar code Bar code menggunakan kode numerik atau alfanumerik sebagai sarana identifikasi. Tujuan utama dari kode bar adalah mengidentifikasi dan menghilangkan atau mengurangi kesalahan manusia dengan menyediakan metode elektronik dengan komputer perusahaan.
5
RFID (Radio frequency identification) RFID adalah versi elektronik dari teknologi bar code. Pengguna tidak perlu berhadapan langsung untuk tag karena informasi yang dilewatkan melalui gelombang radio. Computer Linked Equipment An Integrated IT Penggunaan teknologi modern pada kemampuan telusur dengan penggabungan jaringan computer dan internet diantaranya adalah Computer Linked Equipment and An Integrated IT. Penelitian ini menggunakan kemampuan telusur paper base. Hasil pengecekan di simpan dalam bentuk dokumen dan bila terjadi masalah dokumen akan di periksa secara manual.
Metode FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis)
Menurut Tuncel dan Alpan(2010), FMECA adalah metode yang digunakan untuk mengukur dan menganalisis keamanan dari suatu produk atau proses. Masukan dari FMECA adalah rencana, diagram, probabilitas, dan frekuensi data berdasarkan data historis. Keluaran dari FMECA adalah daftar titik kritis serta beberapa target dari mitigasi risiko. Seorang analis menggunakan FMECA untuk mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan kegagalan tersebut sebelum tiba di pelanggan atau konsumen (Kwai-Sang 2009). Bertolini (2006), mengatakan analisis titik kegagalan menyediakan informasi penting dalam sub dan produk akhir, kegagalan, serta daftar dan deskripsi seluruh titik kegagalan, peluang kejadian (probability), tingkat kepelikan (severity), analisis kritikal (Criticality Analisis/ CA).
Penelitian Terdahulu
Hesamestyna (2011), melakukan penelitian di PT Y menggunakan metode FMECA dalam proses produksi udang. Tujuan penelitian menggunakan metode FMECA untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal telusur dalam proses produksi udang breaded di PT Y. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pemahaman terhadap proses produksi (serta proses telusur di perusahaan), pembuatan outline (skema) proses produksi dan analisis data. Hasil FMECA yang diperoleh, PT Y memiliki 10 titik kegagalan. Penyebab-penyebab kegagalan adalah tidak ada pencatatan surat perjanjian jual beli udang, tidak ada nota pembelian produk, tidak ada pencatatan nota timbang produk saat di tambak/ tiba diperusahaan, tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan, tidak diberikan label, tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded, penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC, dan misslabelling.
6 Yuskartika (2012), meneliti metode FMECA pada proses bisnis rantai pasok makanan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi peluang risiko yang terjadi pada rantai pasok dan dapat dilakukan penanganan yang baik terhadap peluang risiko tersebut agar aktivitas rantai pasok dapat berjalan optimal dan sesuai rencana manajemen. Identifikasi proses bisnis PT. SI menggunakan model SCOR. Hasil FMECA didapatkan 53 risiko dan diketahui nilai rangking serta kategori masing-masing potensial risiko yang teridentifikasi pada setiap aktivitas dalam model SCOR.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan sejak Januari 2014. Tempat penelitian dilakukan di Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya dan industri pengolahan tepung ikan UD Hijau Daun di daerah Sidoarjo.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara: 1. Data primer diperoleh dari unit produksi, hasil kuesioner pakar wawancara langsung kepadakontrol mutu, produksi dan staf-staf produksi 2. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka
Metode Penelitian ini dilaksanakan dalam tahap sebagaimana digambarkan pada Gambar 4, yang terdiri atas (Bowles 2004): 1. Identifikasi masalah yang ada dengan mengamati proses produksi dan membuat critical control point pada tiap tahapan produksi. 2. Analisis data FMECA Tahap analisis data dibantu dengan pengisian kuesioner oleh pakar. Setelah kuesioner diisi maka dilakukan analisis sebagai berikut: Analisis ragam atau titik kegagalan. Analisis kegagalan dilakukan dengan tiga tahap yaitu penentuan fungsi ID, menentukan tahapan proses dan
7 menentukan titik-titik kegagalan dan penyebab terjadinya kegagalankegagalan tersebut. Analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA) yang dilakukan melalui tahapan (1) menentukan tingkat kepelikan (Severity/ S) dan peluang terjadinya (Probability/ P) pada Tabel 1, penilaian pakar berdasarkan tingkat kepelikan (Tabel 2) dan peluang terjadi (Tabel 3). (2) menentukan nilai masingmasing titik kegagalan (Tabel 4) dengan menggunakan metode RPN (Risk Probabilty Number). (3) Menentukan posisi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya dalam matriks kritikal (criticality matrix). (4) menentukan tingkatan/ area kritis (Criticality level). Penghitungan RPN dilakukan setelah kuesioner terisi dan memiliki nilai. RPN = S*O*D………………………………..(1) Keterangan
3.
: S = Severity, poin tertinggi 10 (Bowles 2004). O = Occurrence, poin tertinggi 10 (Bowles 2004). D = Detection, poin tertinggi 10 (Bowles 2004).
Nilai RPN menentukan berkisar 1 hingga 1000. Nilai RPN yang lebih tinggi diasumsikan memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai RPN yang lebih rendah (Bowles 2004). Analisis efek. Analisis efek dibedakan menjadi dua jenis yaitu analisis efek lokal dan analisis efek global. Penentuan analisi efek berdasarkan kondisi di UD Hijau Daun. Model bisnis proses kemampuan telusur Model bisnis proses merupakan tindakan koreksi berupa adopsi prosedur baru untuk manajemen operasi atau sejumlah perbaikan struktural skema proses sehingga adanya modifikasi dari skema produksi yang sudah ada sebelumnya di perusahaan. Tahap untuk perbaikan skema proses dimulai dengan identifikasi. Identifikasi yang dilakukan adalah sebagai berikut: Identifikasi batasan berupa input dan stake holder yang terlibat. Identifikasi target, skema proses yang diperbaiki berupa sistem dokumentasi. Penggambaran skema proses dengan BPMN.
8
1
Mulai
Pengamatan Proses Produksi
Pengumpulan Data dengan Metode Kuesioner
Data Lengkap
Tidak Ya
Analisis Ragam/ Tingkat kegagalan menggunakan Risk Probality Number (RPN) 2
Klasifikasi kepelikan dengan MIL-STD-1629A
Menterjemahkan tingkat kritis berdasarkan matriks kritis
3
Identifikasi batasan
Identifikasi target
Model bisnis proses dengan BPMN
Selesai
Gambar 1 Diagram alir metode penelitian
9 Tabel 1 Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL STD-1629A Deskripsi Tingkat Kepelikan I Catatstophic: tingkat kepelikanbanyak menyebabkan kehilangan informasi (total lost) II Critical: tingkat kepelikan menyebabkan ketidakefisienanberat dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi. III Marginal: tingkat kepelikan menyebabkan ketidakefisienanringan dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi. IV Minor: tingkat kepelikan dapat dilakukan tindakanpenanggulangan secara langsung (tanpa perlu dijadwalkan). Peluang Terjadinya A Frequent: peluang terjadinya tinggi B Reasonably common: peluang terjadinya moderat (sedang) C Occasional: peluang terjadinya jarang D Rare: sangat tak mungkin terjadi E Extremely rare: peluang terjadinya kegagalan adalah nol. Sumber: US Military Standard, MIL-STD-1629A (1983)
Ranking 9,10
Tabel 2 Tingkat kepelikan (Severity classification) Efek Level Arti Kepelikan Sangat Catastrophic Tingkat kepelikan menyebabkan tinggi kehilangan banyak informasi (total lost)
7,8
Tinggi
Critical
4,5,6
Sedang
Marginal
2,3
Rendah
Minor
1
Tingkat kepelikan menyebabkan ketidakefesienan berat dan atau ketidakefisienan saat rekontruksi informasi Tingkat kepelikan menyebabkan ketidakefesienan ringan dan atau ketidakefisienan saat rekontruksi informasi Tingkat kepelikan dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara langsung (tanpa perlu dijadwalkan)
Sangat Very Minor Rendah Sumber: US Military Standard, MIL-STD-1629A (1983)
10 Tabel 3 Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence) Possible Failure Ranking Peluang Terjadinya Kegagalan Level Rates 10 Frequent: peluang terjadinya tinggi A ≥ 1 in 2 9 1 in 3 8 Reasonably common: Peluang terjadinya B 1 in 8 moderat (sedang) 7 1 in 20 6 Occasional: peluang terjadinya jarang C 1 in 80 5 1 in 400 4 1 in 2000 3 Rare: sangat tak mungkin terjadi D 1 in 15.000 2 1 in 150.000 Extremely rare: peluang terjadinya 1 E < 1 in 1.500.000 kegagalan adalah nol Sumber: US Military Standard, MIL-STD-1629A (1983) Tabel 4 Deteksi terjadinya kegagalan (detection) Criteria: Likelyhood of detection by Rank Detection design control Design control sistem kemampuan telusur tidak akan Benar-benar 10 dan/atau tidak dapat mendeteksi kegagalan atau tidak tidak tentu ada design control Sangat sedikit peluang design control sistem 9 Sangat sedikit kemampuan telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis Sedikit sekali peluang design control sistem 8 Sedikit kemampuan telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis Sangat rendah peluang design control sistem 7 Sangat rendah kemampuan telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis Rendah peluang design control sistem kemampuan 6 Rendah telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis Sedang peluang design control sistem kemampuan 5 Sedang telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis Agak tinggi peluang design control sistem kemampuan 4 Agak tinggi telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis Tinggi peluang design control sistem kemampuan 3 Tinggi telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis Sangat tinggi peluang design control sistem 2 Sangat Tinggi kemampuan telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis Design control sistem kemampuan telusur hampir pasti 1 Hampir pasti dapat mendeteksi kegagalan Sumber: US Military Standard, MIL-STD-1629A (1983)
11 Tabel tingkat kepelikan (Tabel 2) digunakan untuk menentukan level kepelikan terhadap setiap fungsi ID (Lampiran 2). Berdasarkan tingkat kepelikan akan diputuskan apakah fungsi ID akan dimasukkan ke dalam model bisnis kemampuan telusur atau tidak. Tabel peluang terjadinya kegagalan (Tabel 3) digunakan untuk menentukan level kegagalan pada fungsi ID, sebagai contoh dapat dilihat penentuan level kegagalan di Lampiran 2. Semakin tinggi level kegagalan maka semakin tinggi nilai RPN yang berarti harus dijadikan aliran keputusan pada model bisnis kemampuan telusur. Tabel deteksi terjadinya kegagalan (Tabel 4) digunakan untuk mendeteksi kegagalan fungsi ID, sebagai contoh dapat dilihat di Lampiran 2. Fungsi ID yang berpotensi menyebabkan kegagalan yang tinggi harus disertakan dalam model bisnis kemampuan telusur. Tabel klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL STD1629 A (Tabel 1) digunakan untuk mentukan posisi fungsi ID pada matriks analisis kritis. Fungsi ID yang berada pada area unacceptable mendapat prioritas pada model bisnis kemampuan telusur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Perusahaan
UD Hijau Daun adalah salah satu industri yang bergerak dalam bidang ekspor tepung ikan ke Jepang. Tepung ikan yang diekspor berasal dari tulang Tuna, Tongkol, Cakalang maupun ikan runcah. UD Hijau Daun berada di daerah Gedangan, Sidoarjo Jawa Timur. Industri ini memproduksi tepung ikan, tepung kepiting dan pupuk dari kotoran kelelawar. Pemasok UD Hijau Daun terdiri atas industri pengalengan ikan dan tempat pelelangan ikan (TPI) yang tersebar di pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Hingga saat ini terdapat 6 pemasok yang memasok tulang ikan ke UD Hijau Daun. Saat ini negara tujuan ekspor tepung ikan hanya ke Jepang saja. Tepung ikan ini dijadikan pupuk dan pakan oleh Jepang.
Proses Produksi Tepung Ikan dan Penetapan Critical Control Poin (CCP)
Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asamasam amino esensial yang kompleks dan mineral (Ca dan P, vitamin B12). Tepung ikan yang baik mempunyai kandungan protein kasar 58-68%, air 5.58.5%, serta garam 0.5-3.0%. Kandungan protein atau asam amino tepung ikan dipengaruhi oleh bahan ikan yang digunakan serta proses pembuatannya. Pemanasan yang berlebihan akan menghasilkan tepung ikan yang berwarna
12 cokelat dan kadar protein atau asam aminonya cenderung menurun atau menjadi rusak (Marzuki 2008). Berdasarkan keputusan tim HACCP di UD Hijau Daun maka ditetapkan titik kontrol kritis berada pada area penerimaan bahan baku, sortir dan pelabelan. Penerimaan bahan baku ditetapkan sebagai area titik kontrol kritis karena bahan baku yang tercampur dengan tulang non ikan dapat langsung dikembalikan ke pemasok. Area sortir ditetapkan sebagai titik kontrol kritis karena sortir dilakukan 100% sehingga diketahui kontaminasi tulang ikan. Area label ditetapkan sebagai titik kontrol kritis karena saat terjadi penolakan tepung ikan maka yang menjadi poin utama penarikan ialah melihat kode tepung ikan pada label di kemasan.
Penentuan Nilai Kritis dengan FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis)
Metode FMECA dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu (1) Analisis awal, dikenal sebagai FMEA (Failure Modes and Effect Analysis), yaitu mengidentifikasi penyebab-penyebab terjadinya kegagalan. (2) CA (Criticality Analysis), untuk menilai resiko kegagalan, serta menentukan peluang kejadian dan tingkat kepelikan, berdasarkan pada masing-masing titik kegagalan yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya. Evaluasi terhadap titik kegagalan dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yang berbeda yaitu Criticality Number (CN) atau mengembangkan Risk Priority Number (RPN) (Bertolini et al. 2006; Braglia, 2000). Metode FMECA dapat digunakan jika sejarah data dan data statistik tidak tersedia di perusahaan. Pengaplikasian metode ini memerlukan perhatian khusus ketika menggunakan pendapat seseorang sehingga perlu dicegah subjektifitas hasil analisis (Fiorenzo and Marizio 2001). Metode FMECA memiliki dua jenis pendekatan utama yang dapat digunakan yaitu hardware approach dan functional approach (Eka 2009). Penelitian ini menggunakan pendekatan Hardware approach. Hardware appraoch umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin dapat diidentifikasikan secara unik dengan menggunakan bagan (alur proses), gambaran secara umum, dan desain data mesin lainnya. Hardware approach juga disebut bottom-up approach digunakan untuk mengidentifikasi kegagalan pada setiap tahapan proses berdasarkan klasifikasi tingkat kepelikan yang nantinya digunakan untuk menetapkan prioritas saat melakukan tindakan koreksi (Kenchakkanavar 2011). functional approach umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin tidak dapat diidentifikasikan secara unik atau ketika kompleksitas sistem membutuhkan analisis dari awal dan dilakukan mengarah ke bawah. functional approach digunakan untuk menganalisis akibat-akibat yang ditimbulkan hanya pada sistem-sistem utama yang ada (US Military Standard 1983). Menurut Yanti (2004), tahapan untuk membangun FMECA sebagai berikut: Membangun batasan penelitian. Membangun proses pemetaan FMECA yang mendiskripsikan proses produksi
13
Melihat struktur proses Identifikasi kegagalan potensial pada masing-masing proses. Mempelajari penyebab kegagalan dari pengaruhnya. Pengurutan kegagalan proses menggunakan risk priority number (RPN) Mengklasifikasikan variabel proses Menentukan kendali proses sebagai metode untuk mendeteksi bentuk kegagalan atau penyebab. Identifikasi dan mengukur tindakan korektif. Analisis, dokumentasi dan memperbaiki FMECA. Penentuan pendekatan FMEA harus ditetapkan di awal. Penentuan pendekatan penting untuk memudahkan peneliti melakukan analisis tahapan proses produksi. Pendekatan FMEA pada penelitian ini memiliki kelebihan menganalisis keterandalan sistem produksi baik keterandalan keseluruhan sistem atau per tahapan proses (Braglia 2000). Selain itu, penggunaan metode FMECA pada penelitian ini dikarenakan sejarah data dan data statistik tidak tersedia di perusahaan. Tahapan awal analisis FMECA dikenal sebagai FMEA yaitu mengidentifikasi kemungkinan penyebab terjadinya kegagalan (Bertolini et al. 2006; Braglia 2000). Analisis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis yaitu analisis titik kegagalan sistem kemampuan telusur dan analisis efek titik-titik kegagalan sistem kemampuan telusur. Analisis efek terdiri dari dua macam yaitu analisis efek lokal dan analisis efek global.
Analisis Ragam atau Titik Kegagalan Tahap pertama dari penelitian ini adalah analisis kegagalan yang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu penentuan fungsi ID, penentuan tahapan proses dan penentuan titik kegagalan serta penyebab terjadinya. Agar lebih sederhana maka pada penelitian ini tahapan penentuan proses dilakukan bersamaan dengan penentuan fungsi ID. Tahapan proses di UD Hijau daun telah ditetapkan oleh tim HACCP, berdasarkan urutan tahapan proses maka ditentukan fungsi ID satu persatu. Setiap kegagalan sistem kemampuan telusur diberikode unik, misalkan pada tahapan pertama diberi fungsi ID = 1 dan seterusnya. Kode ini digunakan untuk menganalisis secara spesifik kemungkinan kegagalan yang dapat terjadi pada tahapan proses. Fungsi ID dimulai saat penerimaan bahan baku hingga saat stuffing. Lebih jelasnya berikut dirinci tahapan proses berserta fungsi ID di UD Hijau Daun. 1. Pemilihan pemasok Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 1. Tahapan ini merupakan proses menentukan atau memilih pemasok yang layak untuk dijadikan rekan berdasarkan kelayakan sumberbahan baku yang di ambil, kelayakan proses di tempat pemasok dan kelayakan peralatan serta karakter pemasok dalam memproses bahan baku yang di jual ke produsen. Pemilihan pemasok terdiri dari beberapa kegiatan yaitu (1) memeriksa secara langsung sumber bahan baku yang diambil oleh pemasok. (2) audit pemasok yaitu mengirim karyawan untuk memeriksa tempat proses dalam keadaan baik dan aman dari unggas dan mamalia, tingkat kekeringan bahan baku, kemasan sebagai tempat bahan baku
14
2.
3.
4.
5.
6.
sebelum dikirim dan memastikan kemasan bersih dan baik, tempat penyimpanan sebelum dikirim aman dari mamalia dan unggas, transportasi bersih dan aman dari kemungkina tercemar unggas dan mamalia, karyawan ahli mengawal transportasi yang mengangkut bahan baku sampai di tempat tujuan. (3) membuat perjanjian dengan pemasok terkait tulang ikan yang dikirim meliputi kualitas tulang ikan, jumlah pengiriman, transportasi dan jadwal pengiriman. Penerimaan Bahan Baku Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 2. Penerimaan bahan baku yaitu proses memeriksa bahan baku dan memastikan apakah bahan baku yang diterima sesuai dengan kesepakatan baik jenis, jumlah dan kualitasnya. Tahap ini juga diharapkan dapat mengidentifikasi kontaminasi bahan baku sehingga bisa segera ditentukan langkah pencegahannya. Pengecekan Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 3. Pengecekan pada tahapan ini dilakukan secara manual. Pengecekan bahan baku terdiri dari beberapa tahapan yaitu (1) melakukan pemeriksaan dengan mengambil sampel sebanyak 20% dari total pengiriman bahan baku dan diperiksa apakah sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dengan pemasok. (2) memeriksa jenis bahan baku, kalau tidak sesuai dengan yang dipesan dilakukan negosiasi atau dikembalikan. (3) memeriksa apakah ada bahan yang tercampur dengan tulang non ikan, jika terdeteksi ada langsung dikembalikan. (4) memeriksa apakah ada benda asing seperti logam, batu kertas, plastik. Bila ada dicantumkan dalam formulir hasil pemeriksaan. (5) memeriksa kadar air, bila kadar air tidak sesuai dengan kesepakatan dilakukan negosiasi ulang dengan pemasok mengenai harga dan pembayaran, kemudian dilakukan pengeringan sampai standar yang ditentukan. (6) melakukan penimbangan, untuk mengetahui tonase barang yang dikirim pemasok. Penjemuran Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 4. Penjemuran merupakan proses yang dilakukan apabila tulang ikan yang dikirim pemasok tidak memenuhi standar kadar air dari UD Hijau Daun. Penjemuran dilakukan secara manual dengan memanfaatkan sinar matahari dan lokasi penjemuran jauh dari pemukiman penduduk sehingga mengurangi kemungkinan kontaminasi mamalia dan aves. Pensortiran bahan baku Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 5. Pensortiran bahan baku yaitu proses memilah antara tulang ikan dengan kontaminasi lain dengan tujuan memastikan benda selain ikan dari bahan baku seperti sampah plastik, karet, tali, kertas dan logam. Tulang ikan yang telah melewati tahapan ini dimasukkan ke dalam karung bersih yang sudah disiapkan dan benda asing disisihkan dan dimasukkan ke dalam sarung khusus sampah dan langsung dibuang hari itu juga. Penyimpanan Bahan Baku Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 6. Penyimpanan bahan baku merupakan tahapan idle saat tulang ikan telah melewati tahap sortir dan menunggu proses selanjutnya.
15 7. Pencampuran Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 7. Pencampuran merupakan tahapan mencampur tulang ikan Tuna dengan Tongkol atau jenis lain untuk memenuhi kadar protein yang ditentukan pembeli 8. Penggilingan Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 8. Penggilingan merupakan proses menyamakan ukuran bahan yang sudah dicampur agar menghasilkan produk jadi dengan ukuran yang sesuai dengan spesifikasi produk yang sudah ditentukan. Terdapat beberapa poin penting saat penggilingan yaitu pengecekan kebersihan mesin giling dan lubang saringan serta pemasangan magnet untuk menghindari logam. 9. Pengemasan Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 9. Pengemasan dilakukan untuk menghindari kontaminasi tepung ikan yang telah selesai diproduksi dan diketahui identitasnya dengan melihat kemasan. 10. Penimbangan Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 10. Penimbangan yaitu kegiatan menyamakan timbangan per karung dengan timbangan sesuai dengan yang ditentukan oleh pembeli. Setelah selesai penimbangan tepung ikan di simpan dalam gudang 11. Pelabelan Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 11. Pelabelan merupakan kegiatan memberi tanda untuk setiap produk sesuai dengan ketentuan agar kemasan memiliki identitas. 12. Penyimpanan finish good Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 12. Penyimpanan finish good merupakan menyimpan bahan jadi di tempat yang aman. Ruang penyimpanan memiliki beberapa kriteria yaitu tempat penyimpanan tidak digunakan untuk menyimpan bahan lain selain ikan, tempat penyimpanan bersih dan kering dan berventilasi yang cukup, dilengkapi dengan palet kayu, dilakukan penyemprotan serangga setiap dua minggu sekali. 13. Pengecekan (sampling dan test DNA) Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 13. Tahapan ini dilakukan oleh pihak ketiga yaitu Balai Karantina Surabaya yang bertujuan untuk memastikan tepung ikan yang siap dikirim tidak terkontaminasi DNA mamalia dan aves melalui test DNA. Sample yang diambil mewakili seluruh batch yang dikirim. 14. Pengangkutan Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 14. Tahapan ini yaitu memasukkan produk ke dalam kontainer dengan cara yang aman. Saat dilakukan pengangkutan akan di saksikan oleh pihak ketiga yaitu perwakilan dari balai karantina kemudian dilakukan pengisian form checklist pengangkutan. Setiap tahapan proses yang dijadikan fungsi ID dianggap berpotensi menjadi titik kegagalan. Agar lebih jelas maka fungsi ID disajikan dalam Gambar 2 berikut.
Mulai 16
Alternatif Pemasok
Pemilihan Pemasok Penerimaan Bahan Baku Tepung ikan Pengecekan Penjemuran
Sample tepung ikan Air
Tepung ikan kering Pensortiran bahan baku
Bahan pengotor
Tepung ikan bebas kontaminasi Penyimpanan bahan baku Pencampuran
Penggilingan Pengemasan Penimbangan Label
Pelabelan Penyimpanan Finish Good
Sample/batch
Pengecekan (Sampling dan test DNA) Pengangkutan
Selesai Gambar 2 Tahapan penentuan fungsi ID dalam produksi tepung ikan
17 Critical Analysis (CA) Setelah dilakukan tahap pertama, maka peneliti merangkum kemungkinan kegagalan-kegagalan yang dapat terjadi serta kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi di dalam perusahaan dalam bentuk kuesioner. Kegagalan tersebut dapat disebut sebagi titik kritis. Pakar melakukan evaluasi titik kritis dan menentukan nilai titik kritis. Evaluasi titik kritis dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu Criticality Number (CN) dan pengembangan Risk Priority Number (RPN) (Bertollini et al. 2006). Penelitian ini melakukan titik kritis dengan pendekatan pengembangan RPN. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan acuan RPN pada SAE J1739.RPN adalah metode yang dikembangkan dengan menganalisis tingkat kepelikan. Penelitian ini menggunakan pakar untuk mengisi kuesioner. Pakar adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab kuesioner (Marimin 2004). Peneliti menentukan tiga pakar untuk pengisian kuesioner yaitu pemilik UD Hijau Daun, Balai karantina Surabaya dan dosen dari Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Pemilihan pakar ini berdasarkan pada pengetahuan tentang objek penelitian dan pengenalan pakar terhadap metode penelitian. Menurut Marimin (2004), Penetapan pakar atau ahli terkait didasarkan atas pertimbangan dan kriteria: (1) keberadaan responden, keterjangkauan dan kesediaan untuk diwawancarai, (2) reputasi, kedudukan, dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar, dan (3) pengalaman pribadi yang menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memberikaan saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Seorang pakar dalam menyelesaikan suatu persoalan mempunyai tiga karakteristik, yaitu: efektif, efisien dan sadar keterbatasan. Metode utama yang digunakan dalam menyerap pengetahuan dari seorang ahli adalah melalui wawancara secara langsung dan mendalam Untuk memudahkan pakar menilai titik kritis maka penyusunan pertanyaan harus semudah mungkin untuk dipahami. Setiap pertanyaan yang diajukan berisi pertanyaan-pertanyaan yang sudah diamati penelitian di perusahaan mengenai kemungkinan-kemungkinan kegagalan. Tipe dan bentuk pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka artinya jawaban yang diberikan bersifat bebas sehingga pada saat wawancara pakar dapat memberikan masukan. Pakar kemudian menentukan nilai severity, occurance dan detection. Nilai kepelikan dapat dilihat pada Tabel 2, nilai peluang dapat dilihat pada Tabel 3 dan nilai detection dapat dilihat pada Tabel 4. Ketiga faktor tersebut dikalikan dan masing-masing faktor memiliki ranking yang berkisar antara 1 hingga 10. Setelah pakar menentukan nilai severity, occurance dan detection, maka peneliti menentukan nilai RPN dengan cara mengalikan severity, occurance dan detection. Sebagai contoh, pada Lampiran 1 untuk Failure ID 1 pakar menentukan nilai severity 10, nilai occurance 1 dan nilai detection 1. Maka didapat nilai RPN 10. Lebih jelasnya penilaian pakar dan hasil RPN dapat dilihat pada Lampiran 2. Ketiga pakar yang dipilih telah menentukan penilaiannya dan didapat nilai RPN yang berbeda. RPN dari pakar 1 (balai karantina) sebesar 4319,25. RPN dari pakar 2 (dosen) sebesar 5726. RPN dari pakar 3 (industri) sebesar 568. Nilai RPN berfungsi untuk menentukan tingkat resiko kemampuan telusur yang ada di industri tersebut. Nilai RPN yang lebih tinggi diasumsikan memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai RPN yang lebih rendah (Bowles 2004;
18 Kwai-Sang et al. 2009). Hal ini berarti di beberapa poin balai karantina menilai kemampuan telusur UD Hijau Daun lebih berpotensi gagal dibanding dengan penilaian oleh pemilik UD Hijau Daun. Perbedaan pendapat ini dikarenakan sudut pandang menilai objek berbeda dan perbedaan latar belakang. Setelah diketahui nilai RPN maka dilanjutkan dengan penentuan posisi di matriks kritikal. Penentuan posisi dilakukan dengan cara mengubah nilai severity dan occurance. Nilai severity diklasifikasikan menjadi tingkat kepelikan berdarkan Tabel 1. Demikian juga nilai occurance diklasifikasikan menjadi peluang terjadinya berdasarkan Tabel 1. Sebagai contoh pada Lampiran 1, failure 1.10 nilai severity adalah 10. Nilai 10 ini berdasarkan Tabel 2 masuk pada level catastrophic. Level catastrophic di Tabel 1 masuk pada tingkat kepelikan I. Nilai occurance yang diisi oleh pakar adalah 1. Nilai ini bila dilihat pada Tabel 3 memiliki arti peluang terjadinya extremely rare. Extremely rare bila dilihat pada Tabel 1 berarti peluang terjadinya pada level E, sehingga posisi failure 1.10 pada matrik kritikal adalah IE atau berada di area putih (accaptable with revision). Pengisian nilai severity dan occurace yang berbeda mengakibatkan posisi failure ID ketiga pakar di matrik kritikal juga berbeda. Perbedaan paling nyata di matrik kritikal pada area unacceptable. Pakar yang mewakili instansi Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya menentukan area kritis unacceptable pada 1.10 (tidak ada pencatatan surat perjanjian jual beli bahan baku), 1.20 (tidak dilakukan pencatatan hasil audit pemasok), 2.10 (Tidak dilakukan dokumentasi kode pemasok, tanggal datang dan karyawan penerima bahan baku oleh karyawan), 2.50 (tidak ada certificate of analysis (CoA) dari pemasok), 3.10 (Tidak ada dokumentasi hasil pengecekan oleh kualiti kontrol), 3.20 (Tidak ada label kualiti kontrol pada kemasan yang telah di lakukan pemeriksaan), 4.10 (Tidak ada dokumentasi hasil jemur), 4.30 (Tidak ada pelabelan keterangan pada kemasan yang telah dilakukan penjemuran), 6.10 (Tidak ada label FIFO pada kemasan bahan baku), 6.20 (salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO), 6.30 (tidak ada dokumentasi monitoring selama penyimpanan), 7.10 (tidak ada dokumentasi karyawan yang melakukan pencampuran dan tanggal dilakukan pencampuran), 8.10 (tidak ada dokumentasi karyawan yang melakukan pencampuran dan tanggal dilakukan pencampuran), 8.20 (tidak dilakukan dokumentasi karyawan yang melakukan proses pengilingn dan tanggal dilakukan proses penggilingan), 9.10 (tidak ada pelabelan kode produksi, kode karyawan, kode mesin pada kemasan), 9.20 (tidak dilakukan penandaan FIFO pada kemasan), 11.10 (tidak diberikan label), 12.10 (tidak dilakukan pencatatan monitoring selama penyimpanan finish goods), 12.20 (tidak ada kontrol ruangan penyimpanan), 13.10 (tidak dilakukan dokumentasi hasil samping dan test DNA), 14.20 (tidak melampirkan CoA finish goods), 14.30 (tidak melampirkan surat jalan) dan 14.40 (ketidakcocokan antara label kemasan dengan isi kemasan). Pakar yang mewakili Universitas menilai RPN 5726 dengan area kritis unacceptable pada 3.10 (tidak ada dokumentasi hasil pengecekan oleh kualiti kontrol), 4.10 (tidak ada dokumentasi hasil jemur), 4.20 (tidak dilakukan pencatatan hasil penimbangan setelah bahan baku dijemur), 4.30 (tidak ada pelabelan keterangan pada kemasan yang telah dilakukan penjemuran), 5.20 (tidak dilakukan dokumentasi tanggal sortir dan karyawan yang melakukan sortir), 5.30(tidak ada label penandaan telah disortir), 6.10 (tidak ada label FIFO pada
19 kemasan bahan baku), 6.20 (salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO), 6.30 (tidak ada dokumentasi monitoring selama penyimpanan), 9.20 (tidak dilakukan penandaan FIFO pada kemasan), 12.20 (tidak dilakukan pencatatan monitoring selama penyimpanan finish goods), 13.10 (tidak dilakukan dokumentasi hasil samping dan test DNA). Pakar yang mewakili industri menilai RPN 568 dengan area kritis unacceptable pada 6.20 (salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO), 2.40 (tidak ada no lot atau kode produksi pada kemasan dari pemasok), 2.50 (tidak ada certificate of analysis dari pemasok), area kritis undesirable pada 2.30 (tidak ada surat jalan) dan 6.10 (tidak ada label FIFO pada kemasan bahan baku). Berdasarkan ketiga pakar tersebut terdapat kesamaan dalam area unacceptable yaitu point 6.20. Sama halnya dengan perbedaan nilai RPN, perbedaan posisi di matriks kritikal juga dikarenan beda sudut pandang terhadap objek dan latar belakang pakar. Namun sebagai contoh, diambil matriks kritikal mewakili industri. Lampiran 2 dapat dilihat critical level yang di posisikan pada matiks kritikal. Lebih lengkapnya matriks kritikal dapat dilihat di Gambar 3.
Gambar 3 Matrik analisis kritikal
20 Analisis Efek Titik-Titik Kegagalan Sistem Kemampuan Telusur Area kritis yang berpotensi merusak kemampuan telusur kemudian dilakukan analisa efek. Analisis efek dibagi menjadi efek lokal dan global. Analisis efek berfungsi mengetahui sejauh mana area kritis dapat merusak kemampuan telusur. Efek lokal mempunyai makna area kritis merusak kemampuan telusur dalam jangka pendek saat tepung ikan masih berada di pabrik. Efek global berarti area kritis merusak kemampuan telusur jangka panjang setelah tepung ikan sampai di pembeli. Sebagai contoh, pada Lampiran 4 failure ID 1.10 untuk tahapan proses pemilihan suplier, kemungkinan kegagalan ialah tidak ada pencatatan surat perjanjian jual beli bahan baku. Analisa efek lokal yaitu kesulitan komplain apabila ada ketidaksesuaian dengan perjanjian, sedangkan efek global yaitu tidak ada informasi mengenai perjanjian awal. Lebih rinci efek lokal dan global dari area kritis dapat dilihat pada Lampiran 4. Keuntungan penggunaan metode FMECA adalah metode ini merupakan alat yang mudah dimengerti dan digunakan. Metode ini mudah dioperasikan serta efektif untuk mengidentifikasi dan menilai bagaimana potensi terjadinya kegagalan dapat mempengaruhi kinerja proses atau produk (Braglia 2000). Keuntungan penggunaan metode FMECA adalah hemat biaya dan hemat waktu (US Military Standard 1983). Upaya perbaikan efek lokal dan global dilakukan setelah tahap analisa. Perbaikan lokal dan global telah diajukan seperti pada Lampiran 4. Sebagai upaya perbaikan menyeluruh maka dibuat model kemampuan telusur dengan penekanan di area kritis. Model kemampuan telusur UD Hijau Daun dilakukan dengan bantuan BPMN. Area kritis yang telah diperbaiki dimodelkan agar kemampuan telusur memiliki struktur aliran data yang lebih terperinci.
Model Bisnis Proses Kemampuan Telusur
Menurut Mahendrawathi (2014), BPMN (Business Process Modelling Notation) adalah standar baru untuk memodelkan proses bisnis. BPMN terdiri dari 1 diagram: Business Process Diagram (BPD). BPMN dirancang agar mudah digunakan dan dipahami dan memiliki kemampuan untuk memodelkan proses bisnis yang kompleks. BPMN terkait dengan mengelola perubahan untuk meningkatkan proses bisnis. Model bisnis proses kemampuan telusur diawali saat suplier mengirimkan sample ke UD Hijau Daun dan berakhir saat stuffing. Model bisnis ini memiliki lima stakeholder yaitu, pemasok tuna, pemasok, kontrol mutu, produksi dan pemasok tongkol. Kontrol mutu tongkol dapat digantikan oleh pemasok lain apabila suatu saat pemasok tersebut tidak dapat memenuhi permintaan UD Hijau Daun. Aliran pesan terdapat saat pemasok mengirim sample untuk diperiksa oleh kontrol mutu, pesan kedua saat sampel telah sesuai standar kemudian dikirim pesan ke pemasok untuk melakukan pembelian. Pesan ketiga saat telah dilakukan pengiriman maka dikirim pesan kembali ke kontrol mutu untuk mengecek penerimaan.
21 Pengambilan keputusan saat QC memeriksa sampel, pengecekan kadar air setelah penjemuran, pengecekan kadar N dan P, yang terakhir saat pengecekan kadar protein. Form yang dibutuhkan d yaitu form incoming, form sortir, form pencampuran, form penggilingan dan form pengemasan. Lebih jelasnya Model bisnis kemampuan telusur dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Model bisnis kemampuan telusur fragmen supplier-produksi tahap pengiriman sampel tulang ikan Model kemampuan telusur yang dibangun memiliki empat stake holder, yaitu pemasok, pemasok, QC dan Produksi. Empat stake holder ini ditetapkan berdasarkan analisis kebutuhan yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Area titik kritis yang telah ditentukan pada tahap FMECA dimasukkan ke dalam model ini. Sebagai contoh, fungsi ID 1.10 (pemilihan pemasok) di model bisnis kemampuan telusur dibagi menjadi tiga tahapan yaitu, pengiriman sample, pemeriksaan sample oleh QC dan pengiriman pesan ke pemasok yang berisi data penerimaan atau penolakan sample.
22 Model bisnis kemampuan telusur ini juga memiliki masukan data yang berisi form. Form yang digunakan di model ini yaitu form saat bahan baku datang, form pencampuran, form trace, form sortir dan form pengemasan. Poin masukan form dimasukkan ke model karena saat dilakukan analisi kritis dengan metode FMECA ternyata salah satu penyebab tidak mampu telusur di UD Hijau daun karena data hasil pengecekan tidak di simpan dalam bentuk form. Hasil perbaikan (Lampiran 3) analisis kritis yang mencantumkan perbaikan dokumentasi terdapat pada fungsi ID 1.10; 1.20; 2.20; 4.10; 4.20; 5.10; 8.10; 10.10; 12.10 dan 14.10. Penerapan form yang sangat penting untuk kemampuan telusur maka masukan data form dimasukkan saat membangun model kemampuan telusur agar kemampuan telusur lebih baik dari sebelumnya. Storage data model ini terdapat di data trace. Aliran ini mengumpulkan seluruh data dari form sebelumnya. Storage data akan dilihat apabila akan dilakukan telusur. Penelusuran UD Hijau Daun secara manual melibatkan storage data yang ada dengan cara membuka kembali form yang berkaitan dengan kode produksi yang bermasalah. Model kemampuan telusur juga dilengkapi dengan aliran pengambilan keputusan yang dianggap penting. Aliran pengambilan keputusan ini dimasukkan ke dalam model agar menjadi perhatian khusus terhadap stake holder yang terlibat. Aliran keputusan terdapat pada tahap pemeriksaan bahan baku berdasarkan standar, pengecekan kadar air setelah penjemuran, pengecekan kadar air saat kedatangan bahan baku dan pengecekan kadar N dan P (Lampiran 2). Aliran keputusan ini juga dipengaruhi dari hasil penentuan analisis kritis tahapan sebelumnya. Seperti pada tahapan penerimaan bahan baku, tahapan penentuan analisis kritis fungsi ID 2.10-2.50 terdapat area undesirable dan unacceptable sehingga pada tahapan ini perlu aliran keputusan oleh stake holder kontrol mutu. Model kemampuan telusur juga memiliki aliran pesan di stake holder, pemasok dan control mutu yaitu saat penerimaan sample dari pemasok ke kontrol mutu dan sebaliknya juga. Gambar Model bisnis kemampuan telusur lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
23
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Rancangan jaminan mutu dilakukam dengan metode FMECA. Metode ini membantu peningkatan jaminan mutu dan pasokan produk karena efek lokal dan global telah diketahui merusak sistem secara keseluruhan. Rancangan dengan metode ini mampu mengetahui titik kritis sehingga dapat dilakukan perbaikan di area kritis tersebut. Usulan perbaikan secara menyeluruh telah diajukan ke UD Hijau Daun sehingga ke depannya titik kritis ini tidak lagi berpotensi merusak sistem. Pengisian kuesioner oleh ketiga pakar memiliki kesamaan titik kritis pada poin 6.20 (salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO). Model bisnis proses kemampuan telusur dilakukan dengan bantuan BPMN sehingga dapat dilihat secara jelas urutan proses kemampuan telusur UD Hijau Daun.
Saran
Penelitian ini masih berada pada kemampuan telusur internal, diharapkan penelitian selanjutnya sampai pada kemampuan telusur eksternal sehingga jaringan distribusi dapat dibuat model bisnis.
24
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2001. Tepung Ikan [internet]. [diunduh 2014 Jan 12] tersedia pada http://warintek.ristek.go.id Bertolini M, Maurizio B, Roberto M. 2006. FMECA Approach to product tracebility in the food industry. J Food Contr. (17)1:137-145. Bowles JB. 2004. An assesement of RPN priorization in a failure mode effects and criticality analysis. IEST.(47)1:6-51. Braglia M. 2000.MAFMA: Multi-attribute failure mode analysis. J Quality and Reliability Manag.17(9):1017-1033. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-2728.2006: Udang segarBagian 2: Persyaratan Bahna Baku. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional [CAC] Codex Alimentarius Commision. 2003. Code of practice for fish and fishery products (CAC/ RCP 52-2003). Joint Food and Agriculture Organization/ World Health Organization Food Standards Programme. Roma, Italy. [CAC] Codex Alimentarius Commision. 2010. CAC Procedural manual, Ed ke-9. Joint Food and Agriculture Organization/ World Health Organization Food Standards Programme. Roma, Italy. Dupuy C, Botta G, Guinet. 2005. Batch dispersion model to optimize trace in food industry. J Food Eng. (70)1:333- 339. Eka G. 2009. Analisa keandalan pada dapur induksi 10 ton menggunakan Failure Modes and Effects Criticality Analysis (FMECA) [skripsi]. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Fiorenzo F, Marizio G. 2001. A new approach for evaluation of risk priorities of failure modes in FME. J Product Res. (39)13: 2991-3002. Grujic R. 2010. Modelling of tracebility sistem in meat industri [Tesis]. Canada: Faculty of Technology Technic Grunow M, Rong A, Akkerman R. 2008. Reducing dispersion in food distribution. Proceedings of the Asia Pasific Industrial Engineering andManagement SistemConference [internet]. [waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. hlm 618-628. [diunduh 2013 Nop 15] Hasamestyna M. 2011. Identifikasi titik kritis telusur menggunakan pendekatan failure modes effects and criticality analysis (FMECA) pada industri pengolahan udang di PT Y [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Huang J, Gotel O. 2012. Software and Sistem Telusur. London: Springer-Verlag. Kenchakkanavar V. 2011. Failure mode and effect analysis: a tool to enhance quality in engineering eduacarion. J Eng.(4)1:150-165. Koenderink N, Hulzebos L. 2006. Modelling Food Supply Chains for Tracking and Tracing in. India: Woodhead Publishing. Kwai-Sang C, Ying-Ming W, Gary KKP dan Jian-Bo Y. 2009. Failure mode and effects using a group-based evidential reasoning approach. J Comp and Oper Res. (36)1: 1768-1779. Marimin. 2004. Tehnik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).
25 Marzuki. 2008. Penggunaan tepung ikan dalam pakan konsentrat dan pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan kambing betina. J Tern Tropik. (9)2: 90100 Sitompul S. 2004. Analisis asam amino dalam tepung ikan dan bungkil kedelai. Bul Tekn Pertan. (9)1:10-18. Smith I, Furness A. 2006. Improving Kemampuan telusur in Food Processing and Distribution.England: Woodhead Publishing Limited Cambridge. Sultan, Lipol, Jahirul H. 2011.Risk analysis method: FMEA/FMECA in The Organizations [thesis]. Sweden: University of boras. Tuncel G, Alpan, G. 2010. Risk assessmentand management for supply chain network: A Case Study. J Comput in Indust. (1)1: 250-259. US Military Standard, MIL-STD-1629A.(1980).Procedures for performing a failure mode effect and criticality analysis. USA: Department of Defense Wiryanti J. 2009. Kemampuan telusur (mampu telusur) dalam pelatihan ISO 22000:2005 [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Yanti A. 2004. Eliminasi terjadinya defect cetakan etiket sampoerna hijau di PT.Sampoerna percetakan nusantara dengan metode failure mode and effect analysis process [tesis].Surabaya. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Yuskartika D. 2012. Pengelolaan risiko menggunakan metode FMECA (Failure Modes and Effects Criticality Analysis) dan simulasi berbasis proses bisnis pada rantai pasok makanan [skripsi]. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Lampiran 26 1. Landasan hukum
Council and European Parliament Regulation (EC) No 178/2002 : Article 18, 19, 20 merupakan lembaran kunci legislasi Food Kemampuan telusur di Uni Eropa REFGULATION (EC) No 178/2002 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 28 January 2002 (18) In order for there to be confidence in the scientific basic for food law, tisk assessments should be undertaken in an independent, objective and transparent manner, on the basic of the acailable scientific information and data. (19) it is recognised that scientific risk assesment alone cannot, in some case provide all the information on which a risk management decision should be based, and that other factors relevant to the matter under consideration should legitimately be taken into account including societal, economic, traditional, ethical and environmental factors and the feasibility of controld. (20) The preautionary principles has been invoked to ensure health protection in the community, thereby giving rise to barries to the free movement of food or feed. Therefore it is necessary to adopt a uniform basis throughout the Community for the use of this pronciple.
PERMENKP RI Nomor : Per. 01/Men/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
BAB III, pasal 3c : Menerapkan prinsip ketertelusuran bagi pelaku usaha
27
Lampiran 2 Contoh pengisian kuesioner oleh pakar dari UD Hijau Daun Failure ID 1
2
3
4
Tahapan Proses Pemilihan pemasok
Penerimaan bahan baku
Pengecekan
Penjemuran
Kemungkinan Kegagalan/Penyebab Tidak ada pencatatan surat perjanjian jual beli bahan baku Tidak dilakukan pencatatan hasil audit pemasok Tidak dilakukan dokumentasi kode pemasok, tanggal datang dan karyawan penerima bahan baku oleh karyawan Tidak ada dokumentasi nota timbang saat tiba di perusahaan Tidak ada surat jalan Tidak ada label no lot/kode produksi pada kemasan dari pemasok Tidak ada certificate of analysis (CoA) dari pemasok Tidak ada dokumentasi hasil pengecekan oleh kualiti control Tidak ada label kualiti kontrol pada kemasan yang telah di lakukan pemeriksaan Tidak ada dokumentasi saat dilakukan penjemuran Tidak dilakukan pencatatan hasil penimbangan setelah bahan baku dijemur Tidak dilakukan dokumentasi monitoring selama penjemuran
Failure
S
O
1.10
10 I
1 E
1
10
1.20
10 I
1 E
1
10
2.10
10 I
1 E
1
10
2.20
10 I
1 E
1
10
5 C
1
35
acceptable with revision Undesirable
2.30
7 II
D
RPN Critical Level acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision
2.40
10 I
5 C
1
50
Unaccpetable
2.50
10 I
5 C
1
50
Unaccpetable
3.10
10 I
1 E
1
10
3.20
10 I
1 E
1
10
1 E
1
8
10 I
1 E
1
10
10 I
1 E
1
10
4.10 4.20
8 II
acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision
27
28
28 Lampiran 2 Contoh pengisian kuesioner oleh pakar dari UD Hijau Daun (Lanjutan) Failure ID
5
6
7
8
Tahapan Proses
Penyortiran
Penyimpanan bahan baku
Pencampuran
Penggilingan
Kemungkinan Kegagalan/Penyebab Tidak ada pelabelan keterangan pada kemasan yang telah dilakukan penjemuran Tidak dilakukan dokumentasi tonase hasil sortir bahan baku Tidak dilakukan dokumentasi tanggal sortir dan karyawan yang melakukan sortir Tidak ada label penandaan telah disortir Tidak ada label FIFO pada kemasan bahan baku Salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO Tidak ada dokumentasi monitoring selama penyimpanan Tidak ada dokumentasi karyawan yang melakukan pencampuran dan tanggal dilakukan pencampuran Tidak ada dokumentasi penimbangan setelah pencampuran Tidak ada dokumentasi bahan tambahan yang dicampurkan Tidak dilakukan dokumentasi mesh size, kadar air, kadar N dan kadar P hasil penggilingan Tidak dilakukan dokumentasi karyawan yang melakukan proses pengilingn dan tanggal
Failure
S
O
4.30
10 I
1 E
1
10
5.10
10 I
1 E
1
10
5.20
10 I
1 E
1
10
5.30
10 I
1 E
1
10
5 C
1
40
Undesirable
9 A
1
90
Unaccpetable
2 D
1
14
acceptable with revision acceptable with revision
6.10 6.20 6.30
8 II 10 I 7 II
D
RPN Critical Level acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision
7.10
10 I
1 E
1
10
7.20
10 I
1 E
1
10
7.30
10 I
1 E
1
10
1 E
1
7
acceptable with revision
1 E
1
10
acceptable with revision
8.10 8.20
7 II 10 I
acceptable with revision acceptable with revision
29 Lampiran 2 Contoh pengisian kuesioner oleh pakar dari UD Hijau Daun (Lanjutan) Failure ID
Tahapan Proses
Kemungkinan Kegagalan/Penyebab
Failure
S
O
D
RPN Critical Level
10 I
1 E
1
10
2 D
1
16
dilakukan proses penggilingan 9
10
Pengemasan
Penimbangan
Tidak ada pelabelan kode produksi, kode karyawan, kode mesin pada kemasan Tidak dilakukan penandaan FIFO pada kemasan Tidak ada pelabelan hasil timbang pada kemasan Tidak dilakukan dokumentasi hasil timbang
11
Pelabelan
12
Penyimpanan finish goods
Tidak diberikan label Tidak dilakukan pencatatan monitoring selama penyimpanan finish goods Tidak ada kontrol ruangan penyimpanan
13
Pengecak (sampling dan tesDNA)
14
Pengangkutan
Tidak dilakukan dokumentasi hasil samping dan test DNA Tidak dilakukan dokumentasi saat pengangkutan Tidak melampirkan CoA finish goods Tidak melampirkan surat jalan Label kemasan dengan isi kemasan
9.10 9.20
8 II
10.10
10 I
1 E
1
10
10.20
10 I
1 E
1
10
11.10
10 I
1 E
1
10
12.10
10 I
1 E
1
10
12.20
10 I
1 E
10
100
13.10
10 I
1 E
1
10
14.10
10 I
1 E
1
10
14.20
10 I
1 E
1
10
1 E
1
8
1 E
1
10
14.30 14.40
8 II 10 I
acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision with revision
29
30 30 Lampiran 3 Usulan tindakan perbaikan Failure 1.10
Tahapan proses Pemilihan pemasok
1.20
2.10
Penerimaan bahan baku
2.20
Kemungkinan kegagalan/penyebab Tidak ada pencatatan surat perjanjian jual beli bahan baku Tidak dilakukan pencatatan hasil audit pemasok Tidak dilakukan dokumentasi kode pemasok, tanggal datang dan karyawan penerima bahan baku oleh karyawan Tidak ada dokumentasi nota timbang saat tiba di perusahaan
Posisi matriks IIE IE
2.50
3.10 3.20
Pengecekan
IE IE
Tidak ada surat jalan
IIC
Tidak ada label no lot/kode produksi pada kemasan dari pemasok
IC
Tidak ada certificate of analysis (CoA) dari pemasok
IC
Tidak ada dokumentasi hasil pengecekan oleh kualiti kontrol Tidak ada label kualiti kontrol pada kemasan yang telah di lakukan
Tindakan koreksi
acceptable with revision acceptable with revision
Melakukan penertiban terhadap dokumentasi perjanjian dengan pemasok
acceptable with revision
2.30
2.40
Critical level
IE IE
Membuat dokumentasi hasil audit
Melakukan pengecekan dokumentasi penerimaan bahan baku acceptable Mencantumkan list nota timbang pada with revision form penerimaan bahan baku Membuat surat peringatan ke pemasok undesirable agar setiap bahan baku dilengkapi dengan surat jalan Membuat surat peringatan ke pemasok Unaccpetable agar setiap bahan baku dilengkapi dengan no lot pada kemasan Membuat surat peringatan ke pemasok Unaccpetable agar setiap bahan baku dilengkapi dengan CoA Melakukan penertiban terhadap acceptable dokumentasi pengecekan oleh kualiti with revision control acceptable Menegur kualiti kontrol jika tidak with revision menempelkan label pada kemasan yang
31 Lampiran 3 Usulan tindakan perbaikan (Lanjutan) Failure
Tahapan proses
Kemungkinan kegagalan/penyebab
Posisi matriks
Critical level
pemeriksaan 4.10
Penjemuran
4.20
4.30 5.10
Penyortiran
5.20 5.30 6.10 6.20 6.30
Penyimpanan bahan baku
Tidak ada dokumentasi proses penjemuran Tidak dilakukan pencatatan hasil penimbangan setelah bahan baku dijemur Tidak dilakukan dokumentasi monitoring selama penjemuran Tidak ada pelabelan keterangan pada kemasan yang telah dilakukan penjemuran Tidak dilakukan dokumentasi tonase hasil sortir bahan baku Tidak dilakukan dokumentasi tanggal sortir dan karyawan yang melakukan sortir Tidak ada label penandaan telah disortir Tidak ada label FIFO pada kemasan bahan baku Salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO Tidak ada dokumentasi monitoring selama penyimpanan
Tindakan koreksi telah dicek
IIE
IE IE
IE IE
IE IE IIE IE IID
acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision undesirable Unaccpetable acceptable with revision
Membuat lembar monitor penjemuran
Membuat lembar monitori penjemuran Membuat lembar monitor penjemuran Membuat label khusus untuk bahan baku yang telah di jemur Pengecekan dokumentasi produksi Melakukan pengecekan dokumentasi sortir Membuat label khusus untuk bahan baku yang telah disortir Mengecek kemasan yang di gudang apakah sudah ada label FIFO atau belum Monitoring keberadaan label mengisi lembar untuk monitoring penyimpanan
31
32 3332 Lampiran 3 Usulan tindakan perbaikan (Lanjutan) Failure 7.10
Tahapan proses Pencampuran
7.20 7.30 8.10
Penggilingan
8.20
Kemungkinan kegagalan/penyebab Tidak ada dokumentasi karyawan yang melakukan pencampuran dan tanggal dilakukan pencampuran Tidak ada dokumentasi penimbangan setelah pencampuran Tidak ada dokumentasi bahan tambahan yang dicampurkan Tidak dilakukan dokumentasi mesh size, kadar air, kadar N dan kadar P hasil penggilingan Tidak dilakukan dokumentasi karyawan yang melakukan proses pengilingn dan tanggal dilakukan proses penggilingan
Posisi matriks
IE IE IE
IIE
Critical level acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision
IE
Tindakan koreksi
Melakukan pengecekan dokumentasi secara berkala Melakukan pengecekan dokumentasi secara berkala Melakukan pengecekan dokumentasi secara berkala Melakukan pengecekan dokumentasi secara berkala
Melakukan pengecekan dokumentasi secara berkala
Pengemasan 9.10 10.10
Penimbangan
10.20 11.10
Pelabelan
12.10
Penyimpanan finish goods
Tidak dilakukan penandaan FIFO pada kemasan Tidak ada pelabelan hasil timbang pada kemasan Tidak dilakukan dokumentasi hasil timbang Tidak diberikan label Tidak dilakukan pencatatan monitoring selama penyimpanan finish
ID IE IE IE IE
acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision
Melakukan pengecekan label FIFO Mengecek label pada kemasan yang telah ditimbang Melakukan pengecekan dokumentasi hasil timbang Mengecek label sebelum dikirim dan informasi yang ada pada label Melakukan pengeeckan hasil dokumentasi finish goods
33 Lampiran 3 Usulan tindakan perbaikan (Lanjutan)
Failure
Tahapan proses
goods Tidak ada kontrol ruangan penyimpanan
12.20 13.10 14.10 14.20 14.30 14.40
Kemungkinan kegagalan/penyebab
Pengecak (sampling dan test DNA) Pengangkutan
Tidak dilakukan dokumentasi hasil samping dan test DNA Tidak dilakukan dokumentasi saat pengangkutan
Posisi matriks
IE
IE IE
Tidak melampirkan CoA finish goods
IE
Tidak melampirkan surat jalan
IIE
Ketidakcocokan antara label kemasan dengan isi kemasan
IE
Critical level acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision acceptable with revision
Tindakan koreksi Membuat dokumentasi kontrol ruang penyimpanan Mengecek kelengkapan dokumentasi hasil test DNA Membuat dokumentasi saat pengangkutan sebagai bukti ke pembeli Mengecek ketersediaan CoA saat dilakukan pengangkutan Mengecek ketersediaan surat jalan saat dilakukan pengangkutan Mengecek kembali kesesuain label dengan CoA
33
34 34 Lampiran 4 Efek lokal dan global Failure 1.10
Tahapan Proses Pemilihan pemasok
Tidak dilakukan pencatatan hasil audit pemasok
1.20
2.10
2.20
2.30 2.40
2.50
Kemungkinan Kegagalan/Penyebab Tidak ada pencatatan surat perjanjian jual beli bahan baku
Penerimaan bahan baku
Tidak dilakukan dokumentasi kode suplier, tanggal datang dan karyawan penerima bahan baku oleh karyawan Tidak ada dokumentasi nota timbang saat tiba di perusahaan
Tidak ada surat jalan Tidak ada label no lot/kode produksi pada kemasan dari supplier Tidak ada certificate of analysis (CoA) dari supplier
Efek Lokal
Efek Global
Kesulitan untuk complain apabila ada ketidaksesuain dengan perjanjian Tidak diketahui kondisi pabrik suplier sehingga kelayakan bahan baku sulit dipertanggung jawabkan Kesulitan menginput data ke pembukuan
Tidak ada informasi mengenai perjanjian kesepakatan awal
Kesulitan untuk mengetahui jumlah yang harus dibayarkan ke supplier
Kesulitan menelusur jumlah barang yang terkontaminasi bila terjadi masalah dengan bahan baku Tidak ada informasi mengenai bahan baku Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi
Kesulitan untuk melakukan proses dokumentasi Kesulitan untuk melakukan pengecekan kesesuaian surat jalan dengan bahan baku Kesulitan mengetahui kualitas bahan baku yang dikirim suplier
Kesulitan mengetahui penyebab terjadinya kontaminasi dikeudian hari Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi
35 Lampiran 4 Efek lokal dan global (Lanjutan)
Failure
Tahapan Proses Pengecekan
3.10
Tidak ada label kualiti kontrol pada kemasan yang telah di lakukan pemeriksaan
3.20 Penjemuran 4.10
4.20
4.30 Penyortiran 5.10
5.20
Kemungkinan Kegagalan/Penyebab Tidak ada dokumentasi hasil pengecekan oleh kualiti control
Tidak ada dokumentasi hasil jemur
Efek Lokal Kesulitan untuk melakukan analisa kelayakan pemasok Karyawan kesulitan membeadakan bahan baku mana yang bisa dipakai dengan yang tidak bisa dipakai Kesulitan mengetahui kondisi bahan baku yang sedang dijemur
Tidak dilakukan pencatatan hasil penimbangan setelah bahan baku dijemur Tidak dilakukan dokumentasi monitoring selama penjemuran
Kesulitan mengetahui penyusutan bahan baku
Tidak ada pelabelan keterangan pada kemasan yang telah dilakukan penjemuran Tidak dilakukan dokumentasi tonase hasil sortir bahan baku
Karyawan kesulitan membedakan bahan baku yang telah dijemur dan yang belum dijemur Kesulitan mengetahui jumlah kontaminasi bahan baku
Tidak dilakukan dokumentasi tanggal sortir dan karyawan yang melakukan sortir
Kesulitan melakukan input data
Kesulitan mengetahui kondisi bahan baku yang sedang dijemur
Efek Global Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi Kesulitan untuk melakukan pembayaran ke pemasok Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi
35
36
36
Lampiran 4 Efek lokal dan global (Lanjutan) Failure
Tahapan Proses
5.30 6.10
Penyimpanan bahan baku
6.20 6.30 Pencampuran 7.10
7.20
7.30 Penggilingan 8.10
Kemungkinan Kegagalan/Penyebab Tidak ada label penandaan telah disortir Tidak ada label FIFO pada kemasan bahan baku
Efek Lokal
Karyawan kesulitan membedakan bahan baku yang telah disortir Karyawan kesulitan membedakan bahan baku mana yang harus dipakai terlebih dahulu Salah pengambilan bahan baku Bahan baku mengalami penurunan sehingga bahan baku tidak FIFO kualitas Tidak ada dokumentasi Tidak diketahui kondisi bahan monitoring selama baku selama penyimpanan penyimpanan Tidak ada dokumentasi Kesulitan mengetahui jumlah karyawan yang melakukan karyawan yang melakukan pencampuran dan tanggal pencampuran dilakukan pencampuran Tidak ada dokumentasi Kesulitan untuk mengetahui penimbangan setelah komposisi tepung ikan pencampuran Tidak ada dokumentasi bahan Kesulitan mengetahuin kandungan tambahan yang dicampurkan N dan P Tidak dilakukan dokumentasi m size, kadar air, kadar N dan kadar P hasil penggilingan
Kesulitan mebuat dokumen CoA ke pembeli
Efek Global Resiko terjadi salah ambil oleh karyawan Menurunkan efisiensi sistem telusur Mengacaukan sistem kemampuan telusur Menurunkan efisiensi sistem telusur Menurunkan efisiensi sistem telusur
Menurunkan efisiensi sistem telusur Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi Kesulitan untuk melakukan penelusuran bila terdapat masalah dengan bahan jadi
37 Lampiran Lampiran 43 Efek Efek lokal lokal dan dan global global (Lanjutan) (Lanjutan)
Failure
Tahapan Proses
8.20 Pengemasan 9.10 9.20 10.10
Penimbangan
10.20 11.10 12.10
Pelabelan Penyimpanan finish goods
12.20 13.10 14.10
Pengecak (sampling dan test DNA) Pengangkutan
Kemungkinan Kegagalan/Penyebab Tidak dilakukan dokumentasi karyawan yang melakukan proses pengilingn dan tanggal dilakukan proses penggilingan Tidak ada pelabelan kode produksi, kode karyawan, kode mesin pada kemasan Tidak dilakukan penandaan FIFO pada kemasan Tidak ada pelabelan hasil timbang pada kemasan Tidak dilakukan dokumentasi hasil timbang Tidak diberikan label Tidak dilakukan pencatatan monitoring selama penyimpanan finish goods Tidak ada kontrol ruangan penyimpanan Tidak dilakukan dokumentasi hasil samping dan test DNA Tidak dilakukan dokumentasi saat pengangkutan
Efek Lokal
Efek Global
Kesulitan mengetahui siapa yang bertanggung jawab bila terjadi masalah selama proses penggilingan Kesulitan saat akan dilakukan pengangkutan
Penurunan efisiensi sistem kemampuan telusur
Kemungkinan karyawan akan salah mengambil tepung ikan Kesulitan mengetahui tonase saat akan di angkut ke armada Tidak diketahui tonase keseluruhan Kesalahan karyawan saat akan mengambil tepung ikan Tidak diketahui kondisi tepung ikan selama penyimpanan
Kerusakan bahan jadi karena terlalu lama di gudang Penurunan efisiensi sistem telusur Penurunan efisiensi sistem telusur Penurunan efisiensi sistem telusur Penurunan efisiensi sistem telusur
Tidak diketahui kondisi tepung ikan selama penyimpanan Tidak diketahui apakah tepung mengandung protein non ikan
Penurunan efisiensi sistem telusur Penurunan efisiensi sistem telusur
Industri tidak memiliki dokumen pertinggal
Tidak ada bukti bila ada masalah di pembeli
Kesulitan melakukan telusur bila ada masalah di pembeli
37
38 38 Lampiran 4 Efek lokal dan global (Lanjutan) Failure 14.20
Tahapan Proses
Kemungkinan Kegagalan/Penyebab Tidak melampirkan CoA finish goods Tidak melampirkan surat jalan
14.30
14.40
Ketidakcocokan antara label kemasan dengan isi kemasan
Efek Lokal Pembeli tidak mengetahui spesifikasi kualitas dari tepung ikan yang dikirim Pembeli tidak mengetahui apakah barang yang dikirim sesuai dengan yang diminta Pembeli akan mendapat barang yang tidak sesuai dengan yang diminta
Efek Global Kesulitan melakukan telusur bila ada masalah di pembeli Kesulitan melakukan telusur bila ada masalah di pembeli Kesulitan melakukan telusur bila ada masalah di pembeli
39
40
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 23 November 1988 sebagai anak pertama dari ayah bernama Darwin Sitepu dan ibu bernama Damenta Tarigan. Pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas di tempuh di kota Medan. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya sejak September 2007 dan lulus Mei 2011. Agustus 2011 penulis diterima bekerja di PT. Tri Teguh Manunggal Sejati dan ditempatkan sebagai salah satu Team Leader di Divisi Quality Control Incoming. Kemudian sejak September 2012 penulis melanjutkan studi S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. Salah satu jurnal penelitian ini sedang dalam tahap review di Agritech UGM dengan judul Identifikasi Titik Kritis Kemampuan Telusur dengan metode Failure Modes Effects and Criticality Analysis (FMECA) di Industri Tepung Ikan.