MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
39
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM Tarmizi ♦ Abstract This study discusses the concept of maslahat as the law theorem of Islam. Recently, maslahat as a study is being discussed. The facts indicates that maslahat is increasing rapidly in line with the human’s needs. The change of the society’s condition and situation from time to time brings about complexity of human’s problems. This influences and changes the human’s need structure and their maslahat which in turns it changes the law theorem. In the meantime, the nas related to this discussion is very limited, the exploration on ulama’s thoughts is badly needed, particularly those that closely connected to the discussion of maslahat. This way, it can be proven that Islamic syariat is in line and adaptable to the rapid changes of any condition and from time to time even since Al-Qur’an bestowed the human being until the end of time. This research is a library research. The exploration is conducted through analyzing descriptively. The researcher describes the thoughts of proposed by ulamas thoughts their mazhab and then compare them critically before finally composing concluding remarks. The result of this research shows that maslahat as the law theorem of Islam is accepted by all mazhab such as Hanafi, Maliki, Syafi'i and Hambali.. Furthermore, the use of maslahat is various based on the knowledge background. The way people see maslahat may be influenced by certain given condition and situation. Keywords: Islamic law, maslahat. Drs. Tarmizi, M. Ag. adalah Lektor Kepala pada STAIN Jurai Siwo Metro. Pendidikan terakhir S2 Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Konsentrasi Fiqh Modern tahun 2003. E-mail:
[email protected]. HP. +6281540002366. ♦
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
40
TARMIZI
Pendahuluan Tujuan utama disyari‟atkannya hukum oleh Allah SWT untuk mewujudkan kepentingan dan kebutuhan bagi manusia yang bermuara pada kemaslahatan manusia itu sendiri baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawī, yakni dengan cara menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan.1 Dalam rangka mewujudkan eksistensi tujuan syari‟ah (maqās id syar’iyyah) tersebut maka seharusnya tindakan setiap mukallaf harus merujuk kepada dalil-dalil syara‟ yaitu al-Qur‟an dan Sunah. Namun al-Qur‟an sebagai dalil utama hukum Islam bersifat fleksibel, penunjukan sebagian ayat-ayatnya bersifat global hanya memuat aturan-aturan pokok. Begitu juga halnya dengan Sunah sebagai dalil kedua hukum Islam, jumlah dan ruang lingkup ketentuannya pun kebanyakan menjelaskan peristiwa-peristiwa hukum pada masa Rasulullah s.a.w yang masih bersifat sederhana dan terbatas. Sekalipun kedua dalil hukum al-Qur‟an dan hadis tersebut tidak memberi katerangan yang tegas tentang maslahat, tetapi jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa maslahat yang diraih dari al-Qur‟an dan hadis berkekuatan pasti, tetap, dan menyeluruh. Maslahat bentuk ini tidak menjadi kajian dalam makalah ini. Sedangkan maslahat yang diperoleh dari dalil-dali yang tidak disepakati seperti ijmā`, qiyās, dan ra’y atau ijtihad, terjadi perbedaan pendapat sehingga memunculkan keberagaman pendapat di antara ulama mazhab. Maslahat inilah yang menjadi kajian dan fokus dari tulisan ini. Penalaran ulama mazhab yang berpangkal dari maslahat perlu ditelusuri agar dapat dibuktikan bahwa syariat Islam harus bertahan sesuai dengan situasi, kondisi, tempat, dan masa sejak al-
1 Peunoh Dali, ”Menelusuri Pemikiran Maslahat Dalam Hukum Islam” dalam Iqbal Abdul Rauf, (Peny.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm 149.
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
41
Qur‟an diturunkan sampai hari kiamat seperti yang dijanjikan oleh Allah swt. 2 Sementara realitas yang ada menunjukkan bahwa kemaslahatan manusia akan terus bertambah dan berkembang mengikuti perkembangan kebutuhan manusia itu sendiri. Perubahan situasi dan kondisi masyarakat dari masa ke masa yang berdampak pada semakin kompleksnya permasalahan hidup manusia dan merubah struktur kebutuhan dan kemaslahatannya. Kesemuanya itu menuntut penyelesaian dengan segera dan bijaksana, terutama yang terkait dengan aspek hukum. Para ahli hukum pun, menyikapi pemikiran maslahat yang berkembang itu dengan beragam pandangan. Ada yang memandangnya secara sempit sehingga menimbulkan kepicikan dan kekakuan. Ini terjadi karena mereka mendasarkan pendapatnya hanya kepada dalil-dalil al-Qur‟an dan Sunah saja tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Ada pula yang berpandangan terlalu luas sehingga bertentangan dengan ketentuan-ketentuan keumuman ayat. Bahkan ada yang apatis, tidak memberi dan mencari jawabannya sama sekali, sehingga bertentangan dengan prinsip hukum Islam itu sendiri bahwa syari‟at Islam dapat menjawab tantangan zaman. Hal inilah antara lain yang menjadi alasan utama mengapa artikel ini ditulis dan mengapa tema ini menjadi menarik untuk dibahas. Ini pulalah yang menjadi penyebab sebahagian ulama mencari suatu metode istinbāt hukum untuk menjawab tantangan tersebut dengan menggunakan maslahat sebagai dalil atau dasar pemikirannya. Dari fenomena masyarakat dan cara pandang beragam di atas, perlu diadakan penelusuran pandangan-pandangan ulama mazhab dan alasan-alasanya terhadap maslahat sebagai dalil hukum Islam. Sehingga permasalahan yang dapat dirumuskan Said Agil Al-Munawar, Dimensi Kehidupan Dalam Perspektif Islam, cet. I (Bogor: Litera Antar Nusa, 2002), hlm. 31. 2
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
42
TARMIZI
adalah apa dan bagaimana maslahat dapat dijadikan sebagai dalil hukum Islam? Untuk menjawab permasalahan di atas, maka tulisan ini berupaya menyajikan kajian-kajian berikut: pengertian maslahat dan ruang lingkupnya, syarat-syarat, macam-macam, pemakaian maslahat di kalangan para sahabat dan di kalangan ulama, dan maslahat sebagai dalil hukum Islam. Tulisan singkat ini diharapkan menjadi kontribusi pengetahuan bagi setiap orang yang ingin mengetahui apa dan bagaimana posisi maslahat dalam hukum Islam dan bagaimana pendapat dan alasan-alasan pemakaian maslahat oleh para sahabat dan oleh imam mazhab. Pada tahap berikutnya, diharapkan sebagai kontribusi dan motivasi kepada setiap orang yang akan menyelesaikan kasus-kasus hukum, terutama yang berkaitan dengan penyelesaian hukum melalui maslahat. Pengertian Maslahat dan Ruang Lingkupnya Kata maslahat dengan imbuhan al di depannya menjadi almas lah ah(t) berasal dari bahasa Arab. Kata ini tanpa tambahan al (maslahat) sudah dibakukan ke dalam bahasa Indonesia. Secara bahasa, -arab- kata ini dibentuk dari huruf s ād, lām, dan hā’ yang kemudian menjadi akar kata as -s alāh yang berarti kebaikan. Kata al-mas lah ah adalah bentuk mufrad (tunggal), sedangkan bentuk jamaknya adalah al-mas ālih . Timbangan katanya adalah al-maf’alah. Sebagai timbangan al-maf’alah, kata al-mas lah ah menunjuk kepada pengertian tentang sesuatu yang banyak kebaikan dan manfaatnya. Sedangkan lawan kata al-mas lah ah adalah kata al-mafsadah, yaitu sesuatu yang banyak keburukannya.3 Sementara kata al-mas lah ah dilihat dari segi pemakaiannya, menurut H usain H āmid H asan dalam bukunya al-Madkhal li Dirāsāt al-Fiqh al-Islāmī menunjukkan 3 Ibid., hlm.32. Fairuzabadi menyebutkan dalam kamusnya al-Muh īt bahwa al-mas lah ah adalah bentuk tunggal, sementara jamaknya adalah almas ālih , artinya mengusahakan kemaslahatan, lawan dari mengusahakan kerusakan. Fairuzabadi, Qāmūs al-Muh īt (Beirut: Dār al-Fikr al-`Arabī, tt.), I:.277.
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
43
kepada dua pengertian, yaitu hakikat dan majaz.4 Secara hakikat, kata tersebut menunjuk kepada pengertian manfaat dan kegunaannya. Sedangkan secara majaz menunjuk kepada sesuatu yang melahirkan banyak manfaat dan guna. Jadi dari segi etimologi, pengertian pertama menunjuk kepada pengertian manfaat sebagai esensinya, sedangkan yang kedua menunjuk kepada sebab yang menghasilkan manfaat. Secara terminologi, Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman berpendapat bahwa maslahat atau istis lāh ialah penetapan hukum berdasarkan maslahat (kepentingan umum) terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara‟, baik secara umum maupun secara khusus.5 Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa al-mas lah ah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam al-Qur‟an maupun dalam hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepada kepentingan umum.6 AlGazzālī (w. 505 H) dalam bukunya al-Mustas fā min ’Ilm al-Us ūl menyatakan bahwa kata al-mas lah ah menunjuk kepada pengertian meraih manfaat atau menghindarkan kemudaratan (bahaya), dalam rangka memelihara tujuan syara‟, yang meliputi lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.7 Jadi suatu kemaslahatan menurut al-Gazzālī harus sejalan dengan dalil syara‟ demi menjaga tujuan syara‟. Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian maslahat secara terminologi terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya terlihat pada cara mereka mengambil maslahat itu tidak terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dari al-Qur‟an dan hadis. Sedangkan 4 H usain H āmid H asan, al-Madkhal li Dirāsāt al-Fiqh al-Islāmī (Beirut: Dār an-Nahd ah al-`Arabiyah, 1971), hlm. 4. 5 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung: Al-Ma‟arif, 1986), hlm. 105. 6 Ahmad Azhar Basir, Asas-Asas Hukum Muamalah (Jogjakarta, UII Press, 1983), hlm 3. 7 Abū H āmid Muh ammad ibn Muh ammad al-Gazzālī, al-Mustas fā min ‘Ilm al-Us ūl (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, tt.), I: 286.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
44
TARMIZI
perbedaannya terletak pada pandangan mereka terhadap maslahat itu sendiri. Pendapat pertama dan kedua mengembalikan persoalan maslahat kepada kepentingan umum, sedangkan pendapat ketiga secara gamblang menyatakan bahwa maslahat itu diupayakan untuk memelihara tujuan syara‟, yaitu memelihara lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pendapat ketiga ini dipandang lebih kuat dan lebih terarah ketimbang pendapat pertama dan kedua yang memberikan peran akal untuk menemukan maslahat tanpa batas padahal kemampuan akal itu terbatas dan seringkali pula didasarkan pada kehendak hawa nafsu. Dengan demikian, semua urusan yang mengandung pemeliharaan tujuan syara‟ yang lima ini, atau menolak yang mengabaikannya, maka ia merupakan almas lah ah dan semua yang mengabaikan tujuan ini maka ia merupakan al-mafsadah. Maslahat dilihat dari segi ruang lingkup kajiannya terjadi kesepakatan. Jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa ruang lingkup maslahat hanya menjangkau hal-hal yang berada di luar masalah-masalah ibadah sedangkan masalah-masalah di bidang ibadah harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh nas s , baik al-Qur‟an maupun hadis,8 tidak boleh dengan menggunakan qiyās, istih sān, atau al-istis lāh . `Abdul Wahhāb Khallāf dalam bukunya Mas ādir at-Tasyrī` al-Islāmī Fī mā Nas s fīh menyatakan bahwa dalam persoalan muamalah akal mempunyai peran besar dalam memahami dan penetapan hukum, namun akal tersebut harus mengacu pada maslahat. Begitu juga pada masalah-masalah muamalah yang mengandung unsur ibadahnya, maka seorang mujtahid harus tetap berpegang pada hal-hal yang dianggap ada maslahat. Karena maslahat merupakan tujuan disyariatkannya hukum, yaitu
Abū Ish āq Ibrāhīm ibn Muh ammad asy-Syāt ibī, al-I’tis ām (Mekah: al-Maktabah al-Faisaliyyah, tt.), II: 60. 8
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
45
untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan.9 Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa ruang lingkup maslahat hanya menjangkau dalam bidang muamalah dan yang menjadi pedomannya adalah akal yang mengacu kepada maslahat. Persyaratan Maslahat Subh i Mah masānī dalam bukunya Falsafah at-Tasyrī` fi alIslām menyatakan bahwa agar teori ini dapat digunakan sebagai dalil hukum apabila memenuhi tiga persyaratan, yaitu: a) kasus yang dihadapi harus termasuk bidang muamalah; b) kepentingan tersebut mesti sesuai dengan jiwa syari‟ah; c) kepentingan yang dituju harus berupa hal-hal yang pokok dan darurat, bukan yang bersifat penyempurna.10 Kasus yang dihadapi harus termasuk bidang muamalah. Ini dimaksudkan agar kepentingan yang terlibat di dalamnya dapat dinilai berdasarkan penalaran. Berbeda dengan kasus yang menyangkut segi ibadah, kepentingannya tidak dapat dinilai dengan penalaran. Kepentingan tersebut mesti sesuai dengan jiwa syari‟ah. Ini dimaksudkan agar penalaran (akal) seperti tersebut pada syarat pertama sesuai dengan agama dan tidak bertentangan dengan salah satu dalil dan sumber hukum lainnya. Kepentingan tersebut harus berupa hal-hal pokok dan darurat, bukan yang bersifat penyempurna. Yang dimaksud dengan hal-hal pokok itu, mencakup tindakan memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan, dan kekayaan. Hal-hal yang darurat berhubungan dengan usaha untuk memperbaiki kehidupan. Sedangkan hal-hal penyempurna bersifat hiasan dan tambahan. Berkaitan dengan persyaratan di atas dapat dikemukakan tiga contoh tentang maslahat. 9 `Abdul Wahhāb Khallāf, Mas ādir at-Tasyrī` al-Islāmī Fī mā Nas s Fīh (Kuwait: Dār al-Qalām, 1982), hlm. 89. 10 Subh i Mah masānī, Falsafah at-Tasyrī` fī al-Islām, terj. Ahmad Sujono, Filsafat Hukum Dalam Islam (Bandung: Al-Ma‟arif, 1977), hlm. 88.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
46
TARMIZI
(1) Pemungutan pajak pada orang kaya demi pembiayaan angkatan bersenjata dan memelihara negara. (2) Hukuman terhadap penjahat dengan menyita kekayaannya, jika kekayaannya ditujukan terhadap harta kekayaan tersebut atau yang sebanding dengannya. (3) Jika orang muslim dalam suatu peperangan dijadikan tawanan orang kafir dan ia diperankan sebagai perisai untuk melindungi diri mereka, kepentingan umum membolehkan untuk membunuh tawanan muslim tersebut dalam usaha memerangi si kafir, jika tindakan tersebut dianggap mutlak guna menangkis serangan musuh dan memelihara kepentingan umum kaum Muslimin secara menyeluruh.11 Selain persyaratan Mah masānī di atas, Muh ammad Ismā`īl Ibrāhīm juga mengemukakan empat syarat penggunaan maslahat, yaitu: (a) Penggunaan istis lāh tersebut bertujuan menyempurnakan maksud-maksud syari‟at. b) Penggunaannya harus sederhana (seimbang) dan dapat diterima akal (logis). c) Penggunaan bertujuan mengatasi kesulitan; dan d) Penggunaannya untuk kepentingan umum.12 Dari persyaratan maslahat yang diajukan oleh kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua pendapat tersebut tidak terdapat pertentangan bahkan saling melengkapi. Ini terlihat pada syarat pertama dari pendapat pertama yang mengatakan bahwa kasus yang dihadapi haruslah termasuk bidang muamalah. Syarat ini, menurut pendapat kedua bertujuan 11 Mohammad Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and the Rule of Necessity and Need, terj. Ahmad Tafsir, Hukum Darurat Dalam Islam, cet. I (Bandung: Pustaka Salman, 1985), hlm 48-49. 12 Muh ammad Ismā`īl Ibrāhīm, al-Qur’ān wa I`jāzuh at-Tasyrī` (Beirut: Dār al-Fikr al-`Arabī, 1978), hlm 53.
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
47
agar maslahat itu dapat diarahkan menyempurnakan maksudmaksud syari‟at berdasarkan manfaat yang besar dari penetapan hukum kebolehan. Begitu juga pada syarat kedua dari pendapat pertama yang menyatakan bahwa kepentingan tersebut mestilah sesuai dengan jiwa syari‟ah. Syarat ini, menurut pendapat kedua diperlukan agar penggunaan maslahat itu seimbang dan akal dalam menalar dapat merujuk kepada jiwa syari‟ah. Syarat ketiga yang diajukan oleh pendapat pertama, -kepentingan berupa halhal pokok dan darurat- sesuai dengan yang dikemukakan oleh pendapat kedua, yaitu penggunaannya bertujuan mengatasi kesulitan; dan untuk kepentingan umum, bukan terhadap hal-hal penyempurna bersifat hiasan dan tambahan. Macam-Macam Maslahah Maslahat dapat dibagi dan dibedakan kepada tiga macam: 1. Berdasarkan Tingkat Kekuatannya Maslahat disyari‟atkan sebuah hukum oleh Allah s.w.t (almaqās id asy-syar`iyyah) bertujuan untuk memelihara lima unsur pokok kebutuhan manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ibn as-Subh i menambah satu tujuan syara‟ lagi yaitu memelihara kehormatan (h ifz al-’ird ),13 yang oleh alQarrāfī dikelompokkan kepada tujuan yang kelima.14 Maslahat dilihat dari segi ini, -tingkat kekuatan- maka ulama membaginya kepada tiga tingkat kekuatan, yaitu: a. almas lah ah ad -d arūriyyah, b. al-mas lah ah al-h ajjiyyah, c. almas lah ah at-tah sīniyyah.15 a. al-mas lah ah ad -d arūriyyah (kemaslahatan primer) atau istilah Syāt ibī al-mas lah ah al-mu`tabarah, yaitu yang Muh ammad Sa`īd Ramd ān al-Būt ī, D awābit al-Mas lah ah fī asy-Syarī`ah al-Islāmiyyah (Beirut: Mu‟assasah ar-Risālah, 1990), hlm. 27. 14 Tāj ad-Dīn `Abdul Wahhāb ibn as-Subkī, H asyiyah al-‘Allāmah alBannānī ‘alā Matn Jam` al- Jawāmi` (Mesir: Dār Ih yā‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, tt), II: 280. 15 Syihāb ad-Dīn Ah mad ibn Idrīs al-Qarrāfī, Syarh Tanqih al-Fus ūl (Mesir: Dār al-Fikr, 1973), hlm 391. 13
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
48
TARMIZI
berhubungan dengan upaya pemeliharaan keselamatan lima unsur pokok (d arūrī) manusia yang keberadaannya bersifat mutlak dan tidak bisa diabaikan. Itulah sebabnya dalam agama diwajibkan berjihad bagi seorang yang kuat fisiknya untuk mempertahankan agama dari serangan musuh; ditetapkan hukuman qisas untuk menjamin keselamatan jiwa dan ketentraman hidup dalam masyarakat; diharamkan minuman yang memabukkan untuk menjaga kemaslahatan dan keselamatan akal; dihalalkan perkawinan untuk mendapatkan keturunan yang sah dan diharamkan perzinaan untuk memelihara kehormatan. Begitu juga diharamkan mencuri untuk menjaga keselamatan harta. b. al-mas lah ah al-h ajjiyyah (kemaslahatan sekunder). Maslahat bentuk ini dibutuhkan untuk memudahkan menjalani hidup dan menghilangkan kesulitan dalam rangka memelihara lima unsur pokok di atas.16 Itulah sebabnya dalam beribadah ada ketentuan rukhs ah (keringanan) bagi musafir untuk memudahkan dan menghilangkan kesulitan bagi manusia untuk eksis dalam melaksanakan salat dan puasa. Jika maslahat ini tidak tercapai tidaklah sampai menghilangkan kewajiban ibadahnya. Misalnya pada suatu ketika `Abdurrah mān ibn H akam, -gubernur Andalus – minta fatwa kepada Imām al-Lais (pengikut Imām Mālik) tentang bayaran kaffārat (denda) karena sang gubernur membatalkan puasa Ramadannya dengan mencampuri isterinya di siang hari. Al-Lais memfatwakan, bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Di antara ulama bertanya kepada al-Lais , kenapa anda tidak memberi kesempatan memilih kepada gubernur dari salah satu tiga kemungkinan, yaitu memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin seperti pendapat Imām Mālik berdasarkan hadis. Jawab al-Lais , jika bayaran kaffārat dengan memerdekakan budak, atau 16
Said Agil, Dimensi Kehidupan …, hlm 37.
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
49
memberi makan 60 orang miskin yang ditawarkan, maka dia akan terus berbuat demikian. Itulah kemaslahatan yang lebih besar dalam kasus yang seperti itu, yaitu kemaslahatan agama.17 Jadi, keberadaan maslahat tingkat kedua ini bertujuan untuk memelihara tujuan syara‟ berdasarkan urutan prioritas. Memelihara agama lebih dipentingkan dari pemeliharan yang lain. c. al-mas lah ah at-tah sīniyyah (kemaslahatan pelengkap). Maslahat ini, bertujuan untuk memelihara kelima unsur pokok itu dengan cara meraih dan menetapkam hal-hal yang pantas dan layak dari kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik, serta menghindarkan sesuatu yang dipandang kebiasaan-kebiasaan hidup yang merusak menurut ukuran akal sehat. Tetapi apabila kebutuhan terhadap maslahat ini tidak terpenuhi, maka tidaklah sampai terancam terhadap keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan. Di samping itu tidak pula sampai mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan seperti maslahat bentuk kedua. Oleh karenanya, al-mas lah ah attah sīniyyah ini tidak terikat dengan dalil agama (al-Qur‟an dan Sunah) baik yang membolehkan maupun yang melarangnya sedangkan maslahat bentuk pertama dan bentuk kedua terkait dengan dalil agama. Sebagai contohnya, menutup aurat dan lainnya dalam kebiasaan hidup dengan mengikuti sopan santun. Begitu juga kebiasaan makan minum dan lainnya, yang tujuan diaturnya hal-hal ini agar menjadikan kehidupan manusia akan lebih baik18 2. Berdasarkan Cakupannya Maslahat dilihat dari segi cakupannya dapat dibedakan kepada tiga bagian, yaitu:
17 18
H. Peunoh Dali dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam., hlm 153-154. al-Qarrāfī, Syarh Tanqih., hlm 391.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
50
TARMIZI
a. Maslahat yang berkaitan untuk semua orang seperti menjatuhkan hukuman mati terhadap pembuat bid`ah merupakan kemaslahatan yang berhubungan untuk semua orang, sebab akibat perbuatannya dapat menimbulkan kemudaratan bagi semua orang. b. Maslahat yang berkaitan untuk mayoritas (kebanyakan) orang, tetapi tidak bagi semua orang. Contohnya orang yang mengerjakan bahan baku pesanan orang lain untuk dijadikan sebagai barang jadi atau setengah jadi, wajib mengganti bahan baku yang dirusakkannya. Kewajiban ini diberlakukan jika kenyataan menunjukkan pada umumnya penerima pesanan tidak hati-hati dalam pekerjaannya. c. Maslahat yang berkaitan dengan orang tertentu, seperti adanya kemaslahatan bagi seorang istri agar hakim menetapkan keputusan fasakh karena suaminya dinyatakan hilang. Jika terjadi kontradiksi di antara ketiga maslahat di atas, maka didahulukan kemaslahatan yang lebih umum ketimbang kemaslahatan khusus, atau kemaslahatan yang bersifat pribadi. 3. Berdasarkan Ada atau Tidaknya Perubahan Maslahat jika ditinjau dari ada tidaknya perubahan padanya, dapat dibedakan kepada dua bagian , yaitu: a. Maslahat yang mengalami perubahan sejalan dengan perubahan waktu atau lingkungan, dan atau orang-orang yang menjalankannya. Hal ini terjadi hanya pada masalahmasalah yang bekaitan dengan muamalah dan al-`urf (kebiasaan). b. Kemaslahatan yang tidak pernah mengalami perubahan, bersifat tetap sampai akhir zaman. Kemaslahatan bersifat tetap walaupun waktu, lingkungan, orang-orang yang berhadapan dengan kemaslahatan tersebut telah berubah. Kemaslahatan yang tidak berubah ini adalah yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah.
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
51
Pemakaian Maslahat oleh Sahabat dan Imam Mazhab 1. Pemakaian Maslahat oleh Para Sahabat Abū Bakar as -S iddīq, -selaku khalifah I. Beliau banyak memutuskan perkara yang didasarkan atas maslahat seperti setelah meninggal Rasulullah, Abū Bakar mengumpulkan s uh uf al-Qur‟an yang terpencar di tangan para sahabat. Begitu juga, pada akhir hayatnya Abū Bakar menunjuk `Umar ibn alKhat t āb sebagai penggantinya menjadi khalifah kemudian disepakati oleh para sahabat padahal Rasulullah tidak berbuat demikian. Abū Bakar berbuat demikian karena ia melihat bahwa penunjukan tersebut diqiyaskan pada bai`at yang disepakati kebolehannya.19 Kedua hal itu dilakukan oleh beliau atas dasar pertimbangan kemaslahatan agama dan kemaslahatan bagi umum. `Umar ibn al-Khat t āb,-selaku khalifah ke-II. Beliau sangat genius dalam menatap ketentuan-ketentuan hukum Islam. Beliau tidak selalu berhenti pada z āhir an-nas s , didalami jiwanya, kemudian dilaksanakan ketentuan hukum sesuai jiwa yang melandasinya. Di bawah ini, beberapa contoh putusan `Umar yang berpijak pada kemaslahatan umum. `Umar ibn al-Khat t āb menetapkan talak tiga yang diucapkan sekaligus pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (dalam hal ini suami isteri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Padahal pada masa Nabi dan khalifah Abū Bakar dianggap sebagai talak satu.20 Ketetapan ini ditentukan oleh `Umar berdasarkan kepentingan kemaslahatan para wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah mengucapkan talak tiga sekaligus kepada isterinya untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita lain. Di samping itu 19 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. XI (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 173-174. 20 Umar Shihab, Al-Qur’an dan Rekayasa Sosial (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), hlm 26-27.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
52
TARMIZI
bertujuan melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria `Umar ibn al-Khat t āb menghentikan pemberian zakat kepada mu’allaf padahal pada masa Rasulullah golongan ini mendapat bagian zakat yang didasarkan atas surat at-Taubah (9): 60 yang menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk mu’allaf di dalamnya. Karena mu’allaf ialah orangorang yang baru memeluk agama Islam yang semestinya dilindungi karena masih lemah imannya.21 Ketetapan ini ditentukan oleh `Umar berdasarkan pertimbangan kemaslahatan bahwa Islam telah kuat. Umat Islam telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan kepada mereka. `Us mān ibn `Affān, -khalifah ke-III- menyatakan kaum muslim berpegang kepada satu mushaf dan satu sistem qirā’āt (bacaan) saja, yaitu qirā’āt menurut dialek Quraisy. Mus h afmus h af lain yang ada di tangan sebahagian sahabat diperintahkan dibakar dan `Umar melarang membaca al-Qur‟an selain dengan lahjah (dialek) Quraisy. Padahal sebelum itu, alQur‟an dibaca dengan berbagai qirā’āt berdasarkan dialek Arab yang berbeda-beda dan urutan suratnya pun tidak sama; masingmasing bangga dengan kekhususannya. Hal yang demikian akan membahayakan kehidupan agama atas pertimbangan maslahat.22 `Us mān ibn `Affān bertindak seperti itu didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan agama dan kaum muslimin agar mereka tidak bersengketa dalam prinsip agama, yaitu al-Qur‟an al-karim. `Us mān ibn `Affān bertindak mengamankan unta-unta yang berkeliaran yang tidak diketahui pemiliknya ketika keadaan tidak aman. Padahal sikap beliau tersebut bertentangan dengan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang mengamankannya, dan bertentangan dengan kebijakan `Umar.23 Ibid., hlm. 28. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), hlm. 201-203. 23 H usain H āmid H asan, al-Madkhal., hlm 48. 21 22
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
53
Dari kasus ini, tampaknya `Us mān ibn `Affān lebih memilih tidak mengamalkan hadis karena menolak mafsadat sebab dengan tidak mengamalkan akan dapat diambil manfaatnya. `Alī ibn Abī T ālib, -khalifah ke IV. Pada masa beliau tidak banyak fatwa-fatwa yang dikeluarkan. Karena pada masanya keadaan negara tidak stabil, timbul perpecahan, peperangan di kalangan umat Islam. `Alī ibn Abī T ālib banyak menyetujui pendapat dan tindakan `Umar ibn al-Khat t āb. Di antaranya: Ali, bersama `Us mān, Mu`az ibn Jabal dan T alh ah menyetujui pendapat `Umar ibn al-Khat t āb untuk tidak membagi-bagi harta rampasan perang pada pembukaan Irak dan Syam. Padahal pada masa Nabi Saw, seperti yang diisyaratkan alQur‟an surah al-Anfāl: 41, empat perlima dari harta rampasan perang dibagikan kepada prajurit yang terlibat dalam peperangan dan seperlimanya lagi untuk kesejahteraan lain. 24 Ketetapan ini ditentukan demi kemaslahatan kaum muslimin, tanah itu ditanami sehingga kaum muslimin dapat mengambil keuntungan dari hasil tanaman itu, tanpa merugikan pemiliknya. 2. Pemakaian Maslahat Di kalangan Ulama Para ulama, khususnya ulama mazhab dalam mempergunakan maslahat lebih ditekankan dari sudut waktu dan kondisi yang mengitarinya sehinggga terlihat seorang ulama mazhab berbeda dengan gurunya dalam memandang suatu kemaslahatan. Di bawah ini akan dikemukakan pandangan ulama tersebut. Abū H anīfah berfatwa bahwa boleh pengadilan memutuskan perkara dengan kesaksian orang yang tidak dikenal. Dia berpendapat demikian karena esensi dari suatu kesaksian adalah kebenaran atau kesesuaian antara yang dilihat dengan kenyataan. Apalagi pada masa Abū H anīfah masih hidup keadaan masyarakat masih stabil dan perbuatan berbohong itu masih aib, sehingga untuk mendapatkan kemaslahatan – Mun‟im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam Sebuah Pengantar, cet. II (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 40. 24
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
54
TARMIZI
kebenaran- itu akan mudah dicapai. Pendapat ini tidak diterima oleh Abū Yūsuf, - pengikutnya Abū H anīfah- dia melarang pengadilan memutuskan perkara dengan saksi orang yang tidak dikenal, karena ketika Abū Yūsuf menjadi qād i al-qud āt (hakim agung), kondisi masyarakat sudah rusak. Orang sudah biasa berbohong sehingga kemaslahatan.- keadilan- itu sulit ditemukan. Itulah sebabnya dia menolak pendapat gurunya.25 Dari kedua pendapat ini, tampaknya ulama mazhab H anafiyah tidak menggunakan istih sān sebagai dasar hukum dalam menetapkan kasus kesaksian orang yang dikenal karena tidak ada nas s yang mendasarinya. Oleh karena itu mereka menggunakan maslahat sebagai dasar hukumnya. Jadi, maslahat yang dipakai dalam mazhab H anafiyah adalah maslahah yang tidak ada ketentuan hukumnya secara tegas di dalam al-Qur‟an dan hadis. Imām Mālik membolehkan mengangkat seorang yang bukan mujtahid apabila tidak terdapat mujtahid sebagai kepala negara (imām).26 Dari pendapat ini, tampaknya keputusan Imām Mālik ini didasarkan atas pertimbangan demi kemaslahatan rakyat dan negara, karena jika tidak ada imam akan mudah timbul kekacauan masyarakat dan kelemahan negara. Ulama Mālikī membolehkan, -jika kemampuan keuangan negara lemah membiayai semua aparat negara- pemerintah untuk mewajibkan orang-orang kaya membantu membiayai aparat negara secukupnya sampai keuangan negara mampu, supaya aparat dapat bekerja dengan tenang dan tekun di tempat tugasnya masing-masing.27 Abū Zaid al-Qairawānī, -pengikut Imām Mālikmembolehkan memelihara anjing untuk menjaga rumahnya karena dinding rumahnya roboh, untuk menghindari dari 25 Yūsuf al-Qard āwī, ‘Awāmil as-Sā`ah wa al-Murūnah fi asy-Syarī`ah alIslāmiyyah, terj. Rifyal Ka‟bah, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam (Jakarta: Minaret, 1988), hlm. 142. 26 H. Peunoh Dali dalam Polemik Reaktualisasi., hlm. 157. 27 Ibid., hlm 158.
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
55
kejahatan orang-orang tertentu. Padahal Imām Mālik melarang memelihara anjing, agar lebih terjaga dirinya dari jilatan anjing. Ketika disampaikan kepada beliau bahwa hal itu tidak disukai oleh Imām Mālik, beliau menjawab ”sekiranya Imām Mālik mendapati zamanmu, maka beliau akan mengambil singa sebagai pengawal (penjaga).28 Mencermati pendapat-pendapat ulama mazhab Mālikiyah di atas, tampaknya ulama mazhab Mālikiyah lebih luas menggunakan maslahat, meskipun tidak mengamalkan hadis Rasulullah Saw. Ini semuanya dikarenakan situasi dan kondisi yang berbeda. Imām Syāfi`ī dalam keputusan-keputusannya banyak memakai maslahat. Contohnya, Imām Syāfi`ī membolehkan orang safīh (dungu) berwasiat untuk kebaikan, padahal dalam kaidah umum telah ditegaskan “tidak sah suatu kebaikan oleh orangorang yang berada di bawah pengampunan.”29 Dari fatwa ini, tampaknya Imām Syāfi`ī lebih mendahulukan maslahat sehingga kaidah umum itu diabaikan. Beliau juga berfatwa, bahwa boleh kaum muslimin memusnahkan barang rampasan perang di medan perang seperti bahan-bahan makanan, hewan ternak, bangunan, senjata, atau barang berharga lainnya jika mereka tidak mampu memindahkannya, atau tidak mampu memanfaatkannya untuk melemahkan musuh.30 Karena kalau dibiarkan hal itu akan membawa bencana kepada kaum muslimin. Imām Ah mad ibn H anbal,-pemuka mazhab H ambalī memberi fatwa supaya peminum minuman keras pada siang hari bulan puasa dijatuhi hukuman lebih berat dari biasa. Beliau juga memfatwakan bahwa seorang bapak tidak memberikan sesuatu kepada anaknya yang akan memanfaatkan pemberian itu untuk kejahatan. Demikian di antara fatwa Imam Ah mad yang didasarkan atas pertimbangan maslahat.31 Yūsuf al-Qard āwī, ‘Awāmil., hlm. 144. H. Peunoh Dali dalam Polemik Reaktualisasi., hlm. 157. 30 Ibid. 31 Ibid., hlm. 158. 28 29
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
56
TARMIZI
Ibnu Taymiyah, murid Imām Ah mad ibn H anbal, dalam salah satu fatwanya menyebutkan bahwa pada suatu kali Ibnu Taymiyah melihat serombongan bangsa Tartar di kota Damaskus sedang bermabuk-mabukan. Dan ia teringat fatwa gurunya, Ah mad ibn H anbal- yang sangat teguh memegang hadis Nabi Saw melarang baik muslim maupun non-muslim meminum khamar. Namun seketika orang-orang sekitarnya ingin mencegah perbuatan orang-orang Tartar tersebut, Ibnu Taymiyah melarangnya karena dengan meminum khamar, -yang telah menjadi kebiasaannya- mereka tidak sempat membunuh dan merampas harta benda masyarakat.32 Dari kasus tersebut dapat dianalisis bahwa apa yang dilakukan Ibnu Taymiyah itu tidak berarti mengingkari metode gurunya, tetapi ada manfaat atau maslahat yang ingin dicapai dalam masalah tersebut. Sehingga dia untuk sementara waktu tidak menggunakan hadis Nabi Saw, dan pada saat lain (setelah hilangnya keadaan darurat) dia menggunakan hadis Nabi Saw, itu kembali. Jadi terlihat bahwa dalam mazhab H ambalī ini persoalan maslahat dalam keadaan darurat lebih diutamakan ketimbang zahir hadis. Maslahat Sebagai Dalil Hukum Islam Setiap hukum yang ditetapkan dalam Islam baik melalui nas s , dalil yang disepakati (al-Qur‟an dan Hadis), maupun melalui dalil yang tidak disepakati seperti ijmā`, qiyās, istih sān, istis lāh , al-`urf, dan al-istis hāb bertujuan untuk meraih kemaslahatan dan menghindari kerusakan bagi manusia. Akan tetapi maslahat yang ditetapkan melalui nas s disepakati oleh jumhur ulama bersifat abadi di dunia dan di akhirat. Sedangkan maslahat yang diraih melalui dalil-dalil yang tidak disepakati terjadi keberagaman pendapat di antara para ulama, sesuai dengan kapasitas keilmuan, keahlian yang mereka miliki, serta situasi dan kondisi yang mengitarinya. Di bawah ini akan 32 Ah mad Zakī Yamanī, asy-Syarī`ah Khālidah wa Musykilah al-’As r, terj. K.M.S Agustjik, Syari’at Islam yang Kekal dan Persoalan Masa Kini (Jakarta: Yayasan Bhinneka Tunggal Ika,1977), hlm. 26-27.
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
57
dikemukakan pendapat ulama terkenal dari empat mazhab, yaitu mazhab Abū H anīfah, mazhab Imām Mālik, mazhab Imām Syāfi`ī, dan mazhab Ah mad ibn H anbal. a. Mazhab Abū H anīfah Dalam mazhab Abū H anīfah, maslahat tidak disebutkan secara tegas sebagai dasar pemikiran fikihnya. Ini bukan berarti dia menentang maslahah sebagai dalil hukum Islam. Akan tetapi istih sān yang dijadikannya sebagai dalil hukum sesudah alQur‟an, sunah, ijmā`, dan qiyās itu sama dengan mas lah ah mursalah dalam mazhab Mālikī.33 Ini terlihat dari keputusannya tidak menggunakan istih sān dalam perkara kesaksian orang yang tidak dikenal, seperti contoh terdahulu. Dari penjelasan ini, tampaknya dalam mazhab Abū H anīfah masih dipergunakan maslahat sebagai dalil hukum manakala isih sān tidak dapat digunakan karena tidak ada nas s baik dari al-Qur‟an maupun hadis masyhur yang mendasarinya. b. Mazhab Mālik Mazhab ini berbeda dengan ulama mazhab Abū H anīfah, mazhab Mālik ini, secara tegas membolehkan pemakaian maslahat sehingga menurut mereka tidak mungkin terjadi pertentangan antara nas s dengan kemaslahatan manusia. Dengan ditetapkannya maslahat sebagai norma-norma syari‟at, maka dengan sendirinya maslahat itu telah menjadi dalil.34 Mereka beralasan: 1) Semua hukum yang telah ditetapkan Tuhan mengandung maslahat bagi hamba-Nya. Perhatikan misalnya Firman Allah mengenai keharusan berwudu (Q.S. al-Mā‟idah: 6); mengenai kewajiban menegakkan salat (Q.S. al-`Ankabūt: 45); tentang kebolehan memakan bangkai bagi orang terpaksa karena kelaparan (Q.S. al-Mā‟idah: 3), dan tentang kerasulan nabi Muhammad menjadi rahmat bagi seluruh
33 34
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan., hlm 104. H. Peunoh Dali ”Menelusuri Pemikiran., hlm 160.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
58
TARMIZI
alam (Q.S. al-Anbiyā‟: 107), dan lain-lain semuanya mengandung maslahat bagi umat manusia. 2) Kehidupan di dunia ini terus mengalami perubahan yang menuju kemajuan dan perbaikan, dan tidak mungkin kita membendungnya. Kalau kita hanya terpaku pada zaman turunnya wahyu saja, tentu kita berhenti dalam lingkungan yang amat sempit. Maka terpisahlah antara mereka yang berfikir statis dengan mereka yang berfikir dinamis sebagai pembuka jalan guna mencapai keadaan yang lebih baik dan lebih maslahat dengan tetap berpegang kepada kaidah yang prinsip (al-Qur‟an dan sunah). Tidak boleh kita terpaku dan jumud dengan masa yang silam saja. Di sini letak keunggulan syari‟at ini yang dapat mengatasi dan menjawab tantangan zaman dan tempat. 3) Para ulama salaf (sahabat) begitu juga para ulama mazhab telah menggunakan maslahat dalam menetapkan hukum tanpa mempergunakan qiyās,35 sebagaimana contoh yang telah disebutkan. c. Mazhab Syāfi`ī Mazhab ini, tidak menerima maslahat sebagai dalil istinbāt hukum. Penolakannya ini berpangkal dari penolakan mereka terhadap istih sān. Menurut Imām Syāfi`ī, istih sān merupakan titik awal bagi maslahat tanpa alasan dari agama. Beliau mengatakan, berfatwa dengan istih sān berarti menuduh Allah mengabaikan kemaslahatan hamba-Nya dalam menentukan hukum. Karena itu beliau tidak memakai pertimbangan maslahat dalam ber-istinbāt , demikian penilaian para fuqaha‟ pada umumnya tentang sikap Imām Syāfi`ī terhadap maslahat. Alasan Imām Syāfi`ī bahwa ketetapan syari‟at telah cukup, baik ketetapan itu berupa nas s maupun ketetapan hukum lainnya seperti ijmā` dan qiyās sehingga menurut beliau apabila ditemukan
35
Ibid.
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
59
pertentangan antara istis lāh dan nas s maka ditolak pemakaian istis lāh sekalipun nas s itu tidak qat `ī. 36 Ketentuan ini, jika dihubungkan dengan pemakaian maslahat pada kasus yang dikemukakannya seperti kasus membolehkan orang safīh (dungu) berwasiat untuk kebaikan, boleh kaum muslimin memusnahkan barang rampasan perang di medan perang, tampaknya Imām Syāfi`ī menerima maslahat sehingga kaidah umum itu diabaikan. Al-Gazzālī, -pengikut Imām Syāfi`ī- menerima dua macam maslahat pertama, sedang maslahat macam ketiga dapat diterima dengan syarat yaitu (a) maslahat itu mesti memiliki sifat mulā’imah. Sifat mulā’imah, yaitu maslahah yang meskipun tidak terdapat nas s tertentu yang mengakuinya, tetapi dalam lingkup yang umum, ia sesuai dengan tujuan syara‟; (b) berada dalam tingkatan ad -d arūrah atau pun dalam tingkatan al-h ājah yang dapat disamakan dengan tingkatan darurat sedangkan yang berada dalam tingkatan at-tah sīnī tidak dapat dijadikan h ujjah, dan (c) jika berkaitan dengan jiwa, maka maslahat itu harus bersifat d arūrī, qat `ī, dan kullī.37 Dari uraian di atas dapar disimpulkan bahwa dalam mazhab Syāfi`ī, terdapat dua pendapat tentang maslahat sebagai dalil hukum Islam. Pertama, pandangan Imām Syāfi`ī yang menyatakan bahwa maslahat dapat diterima sepanjang permasalahan itu tidak diatur di dalam nas s . Kedua, pandangan yang dikemukakan Imām al-Gazzālī yang menyatakan bahwa maslahat sebagai dalil hukum Islam dapat diterima dengan syarat maslahat itu bersifat mulā’imah, - tidak terdapat nas s tertentu yang mengakuinya tapi dalam lingkup yang umum ia sesuai dengan tujuan syara‟, dan berada dalam tingkatan ad d arūrah yang disamakan dengan sifat al-h ājah sedangkan tingkatan at-tah sīnī tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk
36 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 83. 37 al-Gazzālī, al-Mustas fā min., hlm 286-287.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
60
TARMIZI
berhujjah sementara maslahat yang berkaitan dengan jiwa, maka maslahat itu harus bersifat d arūrī, qat `ī, dan kullī.. d. Mazhab H anbalī Mazhab ini menerima maslahat sebagai dasar pemikiran fiqhnya yang kesepuluh dari dasar-dasar pembinaan fiqhnya. Lima pertama sebagai dasar us ūliyyah, yaitu: (1) nus ūs yang terdiri dari al-Qur‟an, sunnah, dan ijmā`, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imām Ah mad memilih yang paling dekat pada al-Qur‟an dan sunnah; dan apabila tidak jelas dia hanya menceritakan ikhtilāf itu, dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, (4) hadis-hadis mursal dan d a`īf (5) qiyās. Setelah digunakannya lima dasar us ūliyyah ini, baru digunakannya lima dasar pengembangan pemikiran fiqhnya, yaitu: (6) istih sān, (7) sadd az -z arā’i`, (8) istis hāb, (9) ibt āl alja’l, dan (10) mas lah ah mursalah.38 Salah satu contoh penggunaan maslahat sebagai dasar pengembangan fiqhnya terlihat dalam kasus yang diselesaikannya tentang hukuman bagi peminum minuman keras pada siang hari bulan puasa dijatuhi hukuman lebih berat dari biasa. Ini dimaksudkan agar maslahat yang diperoleh lebih maksimal, yaitu supaya dia tidak menganggap enteng larangan minuman keras itu, tidak hanya di bulan ramadhan bahkan juga di bulan lainnya. Begitu juga contoh yang diberikan oleh pengikutnya Ibnu Taimiyah yang tidak mencegah kebiasaan orang-orang Tartar bermabuk-mabukan dengan minuman kerasnya. Ini tidak dilarangnya, -untuk sementara sambil mencari solusinya- untuk mencegah timbulnya mudarat yang lebih besar, yaitu apabila dicegah ketika itu mereka –dimungkinkan- melakukan pembunuhan dan perampasan harta benda masyarakat. Dari kasus ini terlihat, tampaknya mazhab Ah mad ibn H anbal menggunakan maslahat sebagai dasar pemikiran fiqhnya dalam penetapan suatu hukum, apabila terjadi dalam Sālim `Alī as -S aqafī, Mafātīh tnp., 1978), hlm 361. 38
ISTINBATH MEI 2010
al-Fiqh al-H anbalī, cet. I (Makkah:
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
61
keadaan darurat sekalipun dia menemukan nas s -nya dari alQur‟an maupun hadis. Penutup Dengan adanya maslahat dalam sistem pemikiran hukum Islam, perkembangan hukum Islam dapat tumbuh terus dengan wajar. Ilmu fiqh terus berkembang karena ilmu ini bertugas memberi penilaian kepada af’āl mukallafin yang terus mengalami perubahan. Karena itu agak sulit kiranya menerima pendapat bahwa pintu ijtihad dalam Islam pernah ditutup, sebab ilmu ini banyak mempergunakan tenaga pikir. Dan pikiran manusia tidak mungkin ditutup, sebagaimana tidak mungkin dibendung kemampuan mencipta dan berbuat yang dimiliki manusia yang terus berubah sepanjang masa. Yang terjadi dalam dunia fiqh adalah kurang populernya ijtihad pada suatu ketika. Kurang jumlah mujtahid dan kurang penyebaran hasil ijtihad mereka karena tekanan politik penjajah terhadap negara-negara Islam dan tekanan ekonomi akibat penjajahan itu.
Daftar Pustaka Ahmad Azhar Basir, Asas-Asas Hukum Muamalah, Jogjakarta, UII Press, 1983. Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. al-Būtī, Muhammad Sa`īd Ramdān, Dawābit al-Maslahah fī asySyarī`ah al-Islāmiyyah, Beirut: Mu‟assasah ar-Risālah, 1990. Fairuzabadī, Qāmūs al-Muhīt, Beirut: Dār al-Fikr al-`Arabī, tt. al-Gazzālī, Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad, al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, tt. Hasan, Husain Hāmid, al-Madkhal li Dirāsāt al-Fiqh al-Islāmī, Beirut: Dār an-Nahdah al-`Arabiyah, 1971.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1
62
TARMIZI
Ibrāhīm, Muhammad Ismā`īl, al-Qur’ān wa I`jāzuh at-Tasyrī`, Beirut: Dār al-Fikr al-`Arabī, 1978. Iqbal Abdul Rauf, (Peny.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988. Khallāf, `Abdul Wahhāb, Masādir at-Tasyrī` al-Islāmī Fī mā Nash Fīh, Kuwait: Dār al-Qalām, 1982. Mahmasānī, Subhi, Falsafah at-Tasyrī` fī al-Islām, terj. Ahmad Sujono, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: Al-Ma‟arif, 1977. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma‟arif, 1986. Mun‟im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam Sebuah Pengantar, cet. II, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Muslehuddin, Mohammad, Islamic Jurisprudence and the Rule of Necessity and Need, terj. Ahmad Tafsir, Hukum Darurat Dalam Islam, cet. I, Bandung: Pustaka Salman, 1985. al-Qardāwī, Yūsuf, ‘Awāmil as-Sā`ah wa al-Murūnah fi asy-Syarī`ah al-Islāmiyyah, terj. Rifyal Ka‟bah, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, Jakarta: Minaret, 1988. al-Qarrāfī, Syihāb ad-Dīn Ahmad ibn Idrīs, Syarh Tanqih al-Fushūl, Mesir: Dār al-Fikr, 1973. Said Agil Al-Munawar,Dimensi Kehidupan Dalam Perspektif Islam, cet. I, Bogor: Litera Antar Nusa, 2002. ash-Shaqafī, Sālim `Alī, Mafātīhal-Fiqh al-Hanbalī, cet. I, Makkah: tnp., 1978. as-Subkī, Tāj ad-Dīn `Abdul Wahhāb ibn, Hasyiyah al-‘Allāmah alBannānī ‘alā Matn Jam` al- Jawāmi`, Mesir: Dār Ihyā‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, tt. asy-Syāthibī, Abū Ishāq Ibrāhīm ibn Muhammad, al-I’tis ām, Mekah: al-Maktabah al-Faisaliyyah, tt.
ISTINBATH MEI 2010
MENGUNGKAP PEMIKIRAN MASLAHAT…
63
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001. Umar Shihab, Al-Qur’an dan Rekayasa Sosial, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990. Yamanī, Ahmad Zakī, asy-Syarī`ah Khālidah wa Musykilah al-’Ashr, terj. K.M.S Agustjik, Syari’at Islam yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, Jakarta: Yayasan Bhinneka Tunggal Ika,1977.
Jurnal Hukum Vol. 7
Nomor 1