Lukman Hakim Nainggolan: Masalah Perlindungan Hukum terhadap Anak
MASALAH PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK Lukman Hakim Nainggolan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract: The increase of violence and un comfort condition of daily neighbourhood in one area or town will place children in an urgent risk. In this case, law protection for children is needed not only for the protection of freedom but also fundamentals rights of children. A child who do a crime and break the Pidana Law recently. The system of responsibility is used for adult which is used by the doer used personally or individually. The application is still have to examined since every children has different growth level. Kata Kunci: Perlindungan, Hukum, Anak
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Tetapi dalam hal ini masalah perlindungan hukum bagi anak tidak hanya mencakup perlindungan hukum dalam proses peradilan, melainkan mencakup segala hal atas kebebasan si anak untuk memperoleh perlakuan yang layak seperti warga negara lainnya. Makin meningkatnya suasana kekerasan dan ketidaktentraman dalam lingkungan kehidupan sehari-hari di dalam suatu kota/wilayah akan menempatkan anak-anak dalam risiko yang sangat gawat. Di mana dia tidak lagi merasa aman bermain bersama anak-anak lainnya. Karena secara tidak langsung mengakibatkan kemerdekaan si anak menjadi terampas. Dengan demikian hal tersebut di atas, dewasa ini mengakibatkan banyaknya anak yang melakukan kejahatan yang merisaukan masyarakat terlebih lagi apabila si anak sampai melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. Dalam hal ini perlu kita ketahui bahwa sistem pertanggung jawaban pidana anak (termasuk pemberian tindakan) pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban orang dewasa yaitu berorientasi pada si pelaku secara pribadi/individual. Penerapan prinsip ini kepada anak masih perlu dikaji, karena anak belum dapat dikatakan sebagai individu yang mandiri secara penuh. Oleh karena itu penerapan prinsip umum ini harus dilakukan hati-hati dan selektif, dengan mengingat tingkat kematangan/kedewasaan setiap anak adalah berbeda. Tentu masalah anak lebih merupakan masalah struktural. Terlebih karena sifat kekurangmandirian dan ketergantungan si anak, maka anak yang melakukan kenakalan atau kejahatan sebenarnya adalah “korban lingkungan”, oleh karena itu sepantasnya dikembangkan pemikiran/gagasan/strategi pertanggungjawaban struktural/fungsional artinya pemidanaan tidak hanya berfungsi untuk mempertanggung jawabkan dan membina si anak sebagai pelaku kejahatan. Melainkan hal ini juga berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan membina (melakukan treatmen) si anak sebagai pelaku kejahatan, tetapi juga berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan membina/mencegah pihak-pihak lain yang struktural/fungsional mempunyai potensi dan kontribusi besar untuk terjadinya kejahatan/tindak pidana yang dilakukan si anak. Perlindungan Anak dalam Perspektif Dokumen Internasional Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Perlindungan anak, dapat dilihat dari cukup banyaknya dokumentasi/instrumen internasional yang berkaitan dengan masalah anak ini, antara lain: 1) Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak tahun 1924 yang kemudian dikukuhkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1386 (XIV) tanggal 20 November 1959 mengenai “Declaration of the Rights of the Child”, 2) Resolusi 43/121 tanggal 8 Desember 1988 mengenai ‘The Used of Children in the illicit traffic in narcotic drugs”,3) Resolusi MU-PBB 44/25 tanggal 20 November 1989 mengenai “Convention of the Right of the Child”, 4) Resolusi Ecosoc 1990/33 tanggal 24 Mei 1990 mengenai “The prevention of drug consumtion among young persons”, 5) Resolusi MU-PBB 45/112 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency” (The Riyadh Guidelines), 6) Resolusi MU-PBB 45/113 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “United Nations Rules for the 82
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005
Protection of Juvenile Deprived of their Liberty”, 7) Resolusi MU-PBB 45/115 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “The Instrumental use of children in criminal activities” 8) Resolusi Komisi HAM (Commision on Human Rights) 1993/80 tanggal 10 Maret 1993 mengenai “The application of internasional standards concerning the human rights of detained juveniles”. Berbagai dokumen/instrumen internasional itu dapat juga dilihat sebagai upaya perlindungan hukum di tingkat internasional, walaupun masih merupakan pernyataan (deklarasi), perjanjian/persetujuan bersama (konvensi), resolusi ataupun masih merupakan pedoman (guidelines). Berbagai dokumen internasional di atas jelas merupakan refleksi dari kesadaran dan keprihatinan masyarakat internasional akan perlunya perlindungan terhadap keadaan buruk/menyedihkan yang menimpa anak-anak di seluruh dunia. Dari berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat, bahwa kebutuhan terhadap perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat mencakup berbagai bidang/aspek, antara lain: 1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak, 2) Perlindungan anak dalam proses peradilan, 3) Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial). 4) Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan, 5) Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya, 6) Perlindungan terhadap anak-anak jalanan, 7) Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata, 8) Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak tidak hanya perlindungan hukum dalam proses peradilan, tetapi mencakup spektrum yang sangat luas. Masalah “Working Children” Yang diprihatinkan antara lain banyaknya anak-anak yang menjadi pekerja penuh (full time child labour), perdagangan anak (sale of children), perbudakan anak (child bondage), prostitusi anak (child prostitution) dan pornografi anak (child pornography) yang disebabkan oleh meningkatnya “sex tourism”. Masalah “Street children” Diperkirakan ada sekitar darurat – 150 juta anak jalanan di seluruh dunia. Yang memprihatinkan ialah, bahwa di samping mereka berjuang untuk mempertahankan hidup material, mereka juga menjadi sasaran dari penyalahgunaan dan eksploitasi (antara lain dalam “street thieves, street prostitution, drug trade” dan aktivitas kejahatan terorganisasi lainnya). Diprihatinkan juga timbulnya “gang” di kalangan remaja sebagai sarana untuk “perlindungan diri” dalam lingkungan yang saling bermusuhan”. Masalah “Children in armed conflict” Diungkapkan, bahwa dalam situasi konflik bersenjata pada dekade terakhir ini sekitar 1,5 juga anak yang terbunuh, 4 juta anak yang cacat, 5 juta anak sebagai pengungsi dan 10 juta anak yang hilang. Belum lagi yang menjadi korban pemerkosaan dan menderita tekanan kejiwaan (stress dan trauma). Permasalahan yang cukup sulit adalah melakukan pembinaan dan reorientasi mereka dari situasi/budaya politik ke budaya damai (culture of peace). Masalah “Urban war zones” Masalah yang diungkapkan di sini ialah, bahwa suasana kekerasan dan ketidaktentraman dalam lingkungan kehidupan sehari-hari di dalam kota/wilayah yang menjadi “zona peperangan” akan menempatkan anak-anak dalam “risiko yang sangat gawat” (grave risk). Terutama apabila kemelaratan, penggunaan obat bius dan senjata serta kejahatan merupakan kenyataan hidup sehari-hari, maka penduduk kota (terutama anak-anak) berada dalam bahaya dan ketegangan yang kronis (chronic danger and stress). Masalah “The instrumental use of children” Masalah ini diungkapkan sehubungan dengan adanya rekomendasi Kongres PBB ke-8 tahun 1990 yang kemudian menjadi Resolusi PBB No.45/115 Tahun 1990 dan pertemuan kelompok pakar di Roma, Italia pada tanggal 8 – 10 Mei 1992. Pada pertemuan pakar di Roma itu dikemukakan, bahwa salah satu faktor kondisi terjadi praktek “memperalat anak untuk melakukan kejahatan” ialah, tidak adanya undang-undang khusus bagi orang dewasa yang melakukan eksploitasi terhadap anak-anak. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Anak Pada tanggal 26 Januari 1990 di New York, Amerika Serikat, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Konvensi Hak-Hak Anak 1989 (Resolusi MU PBB 44/25). Selanjutnya pada tanggal 25 Agustus 1990 telah dikeluarkan Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 tentang “Pengesahan Convention on the Rights of the Child”. Dengan demikian, dalam upaya melakukan perlindungan anak melalui hukum pidana, sewajarnya kita pun memperhatikan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Konvensi Hak-Hak Anak tersebut, khususnya yang dinyatakan dalam Artikel 37 – 40. 83
Lukman Hakim Nainggolan: Masalah Perlindungan Hukum terhadap Anak
Artikel 37 memuat prinsip-prinsip yang dapat dirinci sebagai berikut: 1) Seorang anak tidak akan dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, 2) Pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh pelepasan/pembebasan (“without possibility of release”) tidak dikenakan kepada anak yang berusia di bawah 18 tahun, 3) Tidak seorang anakpun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang-wenang, 4) Penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/pendek, 5) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia, 6) Anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisah dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan/kontak dengan keluarganya, 7) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan yang cepat tepat atas tindakan terhadap dirinya itu. Artikel 40 memuat prinsip-prinsip yang dapat dirinci sebagai berikut: 1) Tiap anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana berhak diperlakukan dengan cara-cara: a) yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak tentang harkat dan martabatnya, b) yang memperkuat penghargaan/penghormatan anak pada hak-hak asasi dan kebebasan orang lain, c) mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk memajukan/mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta mengembangkan harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat, d) tidak seorang anakpun dapat dituduh, dituntut atau dinyatakan untuk melanggar hukum pidana berdasarkan perbuatan (atau “tidak berbuat sesuatu”) yang tidak dilarang oleh hukum nasional maupun internasional pada saat perbuatan itu dilakukan, 2) Tiap anak yang dituduh atau dituntut telah melanggar hukum pidana, sekurang-kurangnya memperoleh jaminan-jaminan (hakhak): a) untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya menurut hukum, b) untuk dibantu tuduhan-tuduhan atas dirinya secara cepat dan langsung (“promptly and directly”) atau melalui orang tua, wali atau kuasa hukumnya, c) untuk perkaranya diputus/diadili tanpa penundaan (tidak berlarut-larut) oleh badan/kekuasaan yang berwenang, mandiri dan tidak memihak, d) untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau pengakuan bersalah, e)apabila dinyatakan telah melanggar hukum pidana, keputusan dan tindakan yang dikenakan kepadanya berhak ditinjau kembali oleh badan/kekuasaan yang lebih tinggi menurut hukum yang berlaku, f) apabila anak tidak memahami bahasa yang digunakan, ia berhak memperoleh bantuan penerjemah secara cuma-cuma (gratis), g) kerahasiaan pribadi (privacy) – yang dihormati/dihargai secara penuh pada semua tingkatan pemeriksaan, 3) Negara harus berusaha membentuk hukum, prosedur, pejabat yang berwenang dan lembaga-lembaga yang secara khusus diperuntukkan/ditetapkan kepada anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana, khususnya: a) menetapkan batas usia minimal anak yang dipandang tidak mampu melakukan pelanggaran hukum pidana, b) apabila perlu diambil/ditempuh tindakan-tindakan terhadap anak tanpa melalui proses peradilan, harus ditetapkan bahwa hak-hak asasi dan jaminan-jaminan hukum bagi anak harus sepenuhnya dihormati, 4) Bermacam-macam putusan terhadap anak (antara lain perintah/tindakan untuk melakukan perawatan/pembinaan, bimbingan, pengawasan, program-program pendidikan dan latihan serta pembinaan institusional lainnya) harus dapat menjamin, bahwa anak diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraan dan seimbang dengan keadaan lingkungan mereka serta pelanggaran yang dilakukan.(Setyowati, 1990) Tinjauan Terhadap Rancangan Undang-undang Peradilan Anak: 1) Masalah “batas usia pertanggungjawaban pidana anak”: a) Rancangan Undang-Undang membedakan batas usia minimal untuk anak yang dapat diajukan ke sidang anak dan batas usia minimal untuk dapat dijatuhi pidana/tindakan. Yang dapat diajukan ke sidang anak, adalah anak yang pada waktu melakukan tindak pidana berumur sekurang-kurangnya 8 tahun (Pasal 3), dengan pengecualian, anak yang belum berumur 8 tahun dapat juga diajukan ke sidang anak apabila berdasarkan pemeriksaan, anak itu dinilai tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya (Pasal 5 ayat 3). Sedangkan batas usia minimal untuk dapat dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana atau tindakan) adalah 12 tahun ke atas; di bawah 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan (Pasal 26 ayat 3 dan 4) dengan ketentuan: (1) Apabila melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, hanya dikenakan tindakan menurut Pasal 24 ayat (1) b yaitu “diserahkan kepada negara” untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja”, (b) Apabila melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana seumur hidup, dijatuhi salah satu tindakan dalam Pasal 24 (yaitu “dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh”,” diserahkan kepada negara”, atau “diserahkan kepada organisasi sosial”), (c) Adanya ketentuan mengenai batas usia minimal anak dalam rancangan undang-undang di atas sudah sesuai dengan yang diinginkan oleh dokumen internasional. Khususnya mengenai batas usia minimal pertanggungjawaban pidana (The minimum age of criminal responsibility), yaitu sekurang-kurangnya 12 tahun. Ketentuan demikian menurut pendapat kami sudah memadai dan sudah sesuai dengan Rule 4.1 SMR-JJ (“The Beizing Rules”) yang menyarankan batas usia yang tidak terlalu rendah. Konsep KUHP baru juga menentukan batas usia minimal 12 tahun untuk dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 96 konsep 1993). Yang mungkin masih dapat dipermasalahkan ialah ketentuan dalam rancangan undang-undang bahwa anak di bawah usia 12 tahun (berarti antara 8 – 12 tahun) tetap dapat di proses ke persidangan dan dapat dikenakan tindakan. Bahkan menurut 84
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005
rancangan undang-undang, di bawah usia 8 tahun pun tetap dimungkinkan untuk di proses. Masalahnya adalah apakah batas usia 8 tahun itu tidak terlalu rendah. Walaupun tidak dipidana dan hanya dikenakan tindakan, namun apakah pengalaman selama proses diajukan ke persidangan tidak membawa “sigma” dan dampak negatif bagi usia rendah?, (d) Menurut Pasal 3, batas usia maksimal anak untuk dapat dipertanggungjawabkan ialah “belum mencapai umur 18 tahun dan belum kawin”. Dihubungkan dengan Pasal 26 (3) dan (4) berarti, usia pertanggungjawaban anak untuk dapat dikenai pidana dan tindakan menurut rancangan undang-undang ialah antara 12 – 18 tahun ini sesuai dengan konsep KUHP baru. Menurut KUHP yang berlaku saat ini, batas maksimalnya ialah “sebelum 16 tahun” (tanpa batas usia minimal). Walaupun KUHP kita berasal dari Belanda, namun di Belanda sendiri sudah mengalami perubahan yaitu antara 12 – 18 tahun. Tidak ada “pedoman” mengenai prinsip-prinsip apa yang seharusnya diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi (pidana/tindakan) kepada anak, khususnya dalam hal menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Pedoman atau prinsip-prinsip penjatuhan pidana terhadap anak inilah yang justru sangat penting untuk dikemukakan dalam ketentuan tentang “peradilan”, karena masalah inilah yang menjadi pusat perhatian dari dokumendokumen internasional. Misalnya: 1) Di dalam SMR-JJ (The Beizing Rules), dinyatakan antara lain: Rule 17.1: Pengambilan keputusan oleh pejabat yang berwenang (termasuk hakim) harus berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai berikut: a) Reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana) selalu harus diseimbangkan tidak hanya dengan keadaan-keadaan dan bobot/keseriusan tindak pidana (The circumstances and the gravity of the offences), tetapi juga dengan keadaan-keadaan dan kebutuhan si anak (the circumstances and the needs of the juvenile) dan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat (the needs of the society), b) Pembatasan kebebasan/kemerdekaan pribadi anak (restrictions on the personal liberty of the juvenile) hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin, c) Perampasan kemerdekaan pribadi (deprivation of personal liberty) jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan serius (termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus-menerus melakukan tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respon/sanksi lain yang lebih tepat, d) Kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan kasus anak. Di dalam Resolsi PBB 45/113 tentang “UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty” antara lain dinyatakan: 1) Pidana penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir (“imprisonment should be used as a last resort”), 2) Perampasan kemerdekaan anak harus ditetapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu minimal yang diperlukan serta dibatasi untuk kasus-kasus yang luar biasa/eksepsional. Yang menarik dari jenis pidana pokok di dalam rancangan undang-undang ialah untuk adanya jenis pidana baru berupa “pidana pengawasan” yang menurut Pasal 30, lamanya minimal 3 bulan dan maksimal 2 tahun. Menurut penjelasan Pasal 30, yang dimaksud dengan pidana pengawasan ialah “pengawasan yang dilakukan oleh jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Masalah yang belum jelas adalah keterkaitan antara pidana pengawasan dengan pidana bersyarat dalam Pasal 29. Menurut Pasal 29 (5) dalam hal dijatuhkan pidana bersyarat, jaksa melakukan pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan, melakukan bimbingan selama masa hukuman bersyarat dijalani. Jadi di sini ada ketidakjelasan antara pidana bersyarat (Pasal 29) dengan pidana pengawasan (Pasal 30) karena terlihat adanya kemiripan antara kedua jenis pidana itu. Patut dicatat bahwa menurut konsep KUHP baru, pidana pengawasan pada hakikatnya adalah pidana yang diberikan dengan syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu ketentuan mengenai pidana bersyarat di dalam konsep ditiadakan. Masalah lain adalah tidak adanya pedoman penjatuhan pidana pengawasan di dalam rancangan undang-undang. Untuk pidana bersyarat ada pedoman di dalam Pasal 29 (1) yaitu apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 2 tahun. Jadi jelas pidana bersyarat dikaitkan dengan pidana pokok “penjara”. Ketentuan demikian tidak ada dalam Pasal 30, sehingga dapat dipermasalahkan apakah pidana pengawasan dapat dijatuhkan terhadap semua jenis pidana yang diancamkan atau dijatuhkan oleh hakim (yaitu penjara kurungan atau denda)? Apakah dapat dikenakan untuk semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak atau hanya untuk tindak pidana tertentu? Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa konsep KUHP baru pidana pengawasan hanya dapat dikenakan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 tahun atau kurang. Sebagai pidana pokok untuk anak, seyogianya pidana pengawasan dapat dijatuhkan untuk semua jenis tindak pidana apapun yang dilakukan oleh anak. Namun kepastiannya di dalam rancangan undang-undang harus ada penegasan tentang hal ini. Jadi harus dibuat “aturan umum” untuk penerapannya. Apabila tidak ada penegasan/aturan umumnya, dikhawatirkan pidana pengawasan ini sulit dioperasionalisasikan karena di dalam perumusan delik selama ini ”pidana pengawasan” tidak pernah dicantumkan/diancamkan sebagai jenis pidana pokok. Akhirnya patut dikemukakan bahwa sistem pertanggungjawaban pidana anak (termasuk pemberian “tindakan”) di dalam rancangan undang-undang pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban orang dewasa, yaitu berorientasi pada pelaku secara individu. Jadi menganut sistem pemidanaan atau pertanggungjawaban individual/personal”. Mengenai hal ini dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut: 1) Menentukan prinsip umum yang wajar bahwa pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi yaitu hanya dikenakan kepada organisasi/si pelaku itu sendiri (asas personal) dan hanya dikenakan kepada orang yang bersalah (asas kesalahan/asas culpabilitas), 2) Penerapan prinsip umum pemidanaan yang demikian terhadap orang dewasa merupakan hal yang wajar karena orang 85
Lukman Hakim Nainggolan: Masalah Perlindungan Hukum terhadap Anak
dewasa memang sudah selayaknya dipandang sebagai individu yang bebas dan mandiri dan bertanggung jawab penuh atas perbuatan yang dilakukannya. Namun penerapan prinsip umum ini kepada “anak” masih patut dikaji, karena anak belum dapat dikatakan sebagai individu yang mandiri secara penuh. Oleh karena itu penerapan prinsip umum ini harus dilakukan ‘dependensi’ (ketergantungan/ketidakbebasan penuh pada diri anak, maka penerapan prinsip umum inipun seyogianya diimbangi dengan kemungkinan adanya: “pertanggungjawaban pengganti” (vicarious liability) yang ditujukan kepada orang lain, 3) Bertolak dari uraian di atas pula, ada baiknya dikembangkan gagasan untuk mengimbangi sistem pemidanaan pertanggungjawaban individu itu dengan sistem pertanggungjawaban struktur/fungsional. Salah satu kelemahan/keterbatasan sistem pemidanaan individual dalam upaya penanggulangan kejahatan adalah sifatnya yang sangat “fragmentair” yaitu melihat upaya pencegahan/penanggulangan kejahatan dari sudut individu si pelaku saja. KESIMPULAN Tiap anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana berhak diperlakukan dengan cara-cara:1) Yang sesuai dengan kemajuan/pemahaman anak tentang harkat dan martabat, 2) Yang memperkuat penghargaan/penghormatan anak pada hak-hak asasi dan kebebasan orang lain, 3) Mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk memajukan/mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta mengembangkan harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat. Untuk menghindari terjadinya perampasan kemerdekaan si anak, penting bagi hakim untuk lebih memantapkan upaya perlindungan anak dalam proses peradilan yang bertolak dari ide dasar dan karakteristik yang berbeda dengan proses peradilan untuk orang dewasa. Di samping itu juga ditetapkan hakim yang berpengalaman dalam lingkungan peradilan umum serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. DAFTAR PUSTAKA Filler, Ewald. 1995. Children in Trouble United Nations Expact Group Meeting Austrian Federal Ministry for Youth and Family. Australia. Hadisuprato, Paulus. 1997. Peradilan Anak di Indonesia. Penerbit CV. Mandar Maju. Jakarta. Joni, Muhammad, dkk. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Kartono, Kartini. 1998. Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Muladi dan Barda, Nawawi, Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung. Barda, Nawawi, Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Penerbit PT. Citra Adiyta Bakti. Bandung. Prinst, Darwan. 1997. Hukum Anak Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. Soemitro, Irma, Setyowati. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Republik Indonesia. Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Republik Indonesia. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Keputusan Presiden 1990 No.36 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak.
86