RINGKASAN DISERTASI PENDEKATAN EKOSISTEM WANATANI SEMI ARID KHATULISTIWA DALAM PENGELOLAAN PERTANIAN BERKELANJUTAN (di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, NTT)
I.
Latar Belakang Masalah
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah daerah dengan ekosistem semi-arid dengan kategori provinsi terkering di Indonesia. Musim hujan terbatas sampai 3 bulan. Curah hujan setahun antara 500-3500 mm dan sangat bervariasi antarlokasi. Volume hujan yang besar dapat melebihi kapasitas infiltrasi tanah sehingga menghasilkan aliran permukaan dan erosi yang besar. Laju erosi yang tinggi dapat membawa hara tanah, menurunkan kesuburan tanah, dan produktivitas tanah (Monk 2000).
Sebagian besar lahan di NTT memiliki keterbatasan untuk
pertanian. Bentuk wilayahnya bergunung, lahan miring, tanah dangkal, dan masih dalam tahap awal perkembangan. Curah hujan yang rendah dan musim kering yang panjang membatasi produktivitas tanah. Sistem pengelolaan lahan pertanian di NTT khususnya di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang adalah mengkombinasikan komoditi pertanian, kehutanan, perkebunan, pakan ternak dengan atau tanpa peternakan/perikanan pada sebidang lahan yang dikenal juga dengan istilah wanatani. Berdasarkan data BPS dari tahun 2004-2007 laju produktivitas wanatani khususnya kombinasi komoditi perkebunan, kehutanan dan ternak cenderung meningkat dari tahun ke tahun dibandingkan komoditi pangan (padi, palawija, dan sayur-sayuran). Oleh karena itu wanatani adalah salah satu keunggulan lahan ekosistem semi arid (Tabel 1 dan Gambar 1).
Tabel 1. Perkembangan Nilai Produktivitas Wanatani dan Pangan Kecamatan Amarasi tahun 2004-2009
Tahun
Pangan
Wanatani
(000 Rp)
(000 Rp)
2004
17632975.3
48149015.15
2005
2927108.806
161987753.6
2006
5825625.41
106342277.5
2007
5278747.14
160181773.5
2008
7846891.81
126394044.2
2009
5933303.54
170441815.8
Sumber: Amarasi dalam Angka (2011) Keterangan: Pangan (Padi, Palawija, & Sayur); Wanatani (Perkebunan, Kehutanan, Kayu-kayuan, dan Ternak).
18000000 16000000 14000000 12000000
10000000 80000000 60000000 40000000 20000000 0
Pangan Wanatani
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gambar 1. Perkembangan Nilai Produktivitas Wanatani dan Pangan Kecamatan Amarasi tahun 2004-2009
Secara teoretik kegiatan wanatani adalah konservasi sumber daya pertanian yang dapat mengoptimalkan kesejahteraan petani, dan melestarikan lingkungan. Namun faktanya pengelolaan wanatani di Amarasi belum mencapai hasil yang optimal sehingga belum berkelanjutan. Degradasi lahan dan lahan kritis terus berlangsung dan tingkat kemiskinan di NTT, khususnya Kecamatan Amarasi belum berkurang. Meningkatnya degradasi lahan dicirikan oleh semakin bertambahnya luas lahan kritis.
Wilayah Amarasi yang mengalami lahan kritis dari tahun 2007-2009
menyebabkan bencana tanah longsor yang menimpa 380 KK dan kebanjiran 75 KK (Kabupaten Kupang dalam Angka, 2010). Fakta memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin di NTT relatif besar. Jumlah Penduduk Miskin (ukuran BPS) meningkat: 2004 adalah 20,86%. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin adalah 27,58% dari total penduduk yang berjumlah 4.448.873 jiwa. Kecamatan Amarasi memiliki penduduk sebanyak 15.302 orang. Jumlah Kepala Keluarga 3.677 KK atau 3.677 rumah tangga. Dari jumlah KK/RT tersebut yang tergolong miskin adalah 65,62% (Laporan Tahunan Kecamatan Amarasi, 2009). Luasnya lahan yang terdegradasi dan rendahnya pendapatan
penduduk
terkait
antara
lain
dengan
rendahnya
stabilitas,
produktivitas, dan keberlanjutan pengelolaan wanatani di Kabupaten Kupang (Balitbang Kehutanan NTT, 2005). Untuk itu diperlukan konsep pengelolaan wanatani secara sinergi dan holistik yang mengakomodasikan aspek produksi, kualitas, dan kelestarian, sehingga pada saat bersamaan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosialnya, tanpa
mengabaikan
fungsi
lingkungan.
Kegagalan
memadukan
dan
mengintegrasikan aspek-aspek tersebut akan menimbulkan masalah dalam pengembangan wanatani yang berkelanjutan.
Selain itu, perumusan konsep
pengelolaan wanatani yang mengsinergikan fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan sudah semestinya bersifat site specific. Dalam pengelolaan lingkungan, kepentingan pendekatan ekosistem khususnya dalam pengelolaan wanatani adalah pada pendekatan yang komprehensif, menyeluruh, dan terpadu. Definisi ini juga mencakup sebagai sebuah konsep sistem, termasuk bagian-bagian yang menyusunnya serta hubungan antara bagian-
bagian tersebut. Selain itu Arsyad dan Rustiadi (2008) mengemukakan bahwa pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan jika praktik/usaha dalam sektor pertanian memperhatikan daya dukung dan kesesuaian lahan untuk komoditi yang akan diusahakan, supaya lahan tidak cepat terdegradasi. Wanatani adalah salah satu sistem usahatani konservasi sebagai alternatif teknologi yang dapat dikembangkan guna mendukung usaha mengoptimalkan produktitivitas lahan kering. Berdasarkan uraian di atas, penelitian mengenai pendekatan ekosistem wanatani dengan kesinergisan fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi pertanian perlu dilakukan sehingga konsep
dalam pengelolaan
keberlanjutan dapat terwujud.
Kondisi ini perlu didukung oleh penelitian yang merumuskan konsep, teori, dan model wanatani dalam pengelolaan pertanian berkelanjutan pada ekosistem semi arid. 1.2 Rumusan Masalah Ditinjau dari permasalahan, pengelolaan pertanian belum berwawasan lingkungan, melawan alam, melanggar kaidah ekologis sehingga tidak berkelanjutan. Konsep wanatani yang berkelanjutan dengan fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi yang sinergi pada ekosistem semi arid belum diupayakan secara optimal.
Upaya
pengelolaan pertanian belum sinergi dengan pengelolaan lingkungan hidup. Pengendalian dan pengaturan interaksi antarkomponen lingkungan mengharuskan analisis secara holistik yang sampai saat ini dalam pengelolaan pertanian belum sepenuhnya diterapkan. Berdasarkan hal tersebut maka rumusan permasalahannya adalah: a.
Belum terintegrasinya fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi wanatani dalam pengelolaan pertanian berkelanjutan.
b.
Konsep dan model wanatani
dalam pengelolaan pertanian belum
berkelanjutan pada ekosistem semi arid.
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian di atas maka pertanyaan penelitian ini adalah:
a.
Bagaimana integrasi fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi wanatani dalam pengelolaan pertanian berkelanjutan?
b.
Konsep dan model wanatani seperti apa yang dapat diajukan dalam pengelolaan pertanian berkelanjutan pada ekosistem semi arid?
1.4 Tujuan Penelitian 1)
Menganalisis keterpaduan fungsi ekologi, sosial, ekonomi wanatani dengan pendekatan ekosistem dalam upaya pengelolaan pertanian berkelanjutan.
2)
Mengajukan konsep dan model wanatani dalam pengelolaan pertanian berkelanjutan pada ekosistem semi-arid.
2.
Metodologi
2.1 Disain Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian dilakukan dalam dua tahap; 1.
Melakukan analisis fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi ekosistem wanatani.
2. Mengintegrasikan fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi ekosistem wanatani dengan permodelan dengan metode system dynamics.
2.2 Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah semua petani yang menerapkan wanatani di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang NTT. Sampel penelitian ditetapkan dengan persamaan Slovin yaitu: n = N/ ( 1 + Ne2)
..............................
(1)
Keterangan: n = ukuran sampel; N= ukuran rumah tangga petani; e = persentase ketidaktelitian (10%). Berdasarkan persamaan di atas, maka dari 3.461 rumah
tangga petani yang tergabung dalam kelompok tani di Kecamatan Amarasi, diambil sebanyak 100 responden yang dijadikan target wawancara. Sampel penelitian ditetapkan secara purposive sampling yaitu 9 kelompok tani (8 desa dan 1 kelurahan) wanatani beserta lahan dan vegetasi yang dimilikinya. Teknik penarikan sampel secara purposive sampling yaitu pengurus kelompok tani (ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara) serta anggota kelompok tani yang tergabung dalam kelompok tani di desa masing-masing. Petak sampel untuk analisis tanah dan vegetasi dilakukan melalui 2 tahap secara purposive sampling. Tahap pertama adalah menentukan 3 wilayah sampel yakni Iay, IIay, IIIay berdasarkan peta AEZ. Setiap wilayah tidak seragam satu sama lainnya, tetapi di masing-masing wilayah seragam. Tahap kedua adalah menentukan 8 titik petak sampel untuk setiap wilayah dengan menggunakan GPRS, sehingga jumlah semua titik petak sampel adalah 24 Metode analisis data selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
petak sampel.
Tabel 2. Metode Analisis Data
Tujuan
Data
1) Menganalisis fungsi ekologi ekosistem wanatani
1) Curah hujan 2) Iklim mikro 3) Tekstur tanah 4) KTK 5) pH 6) Kejenuhan basa 7) C-organik 8) N-tot 9) P2O3 tersedia 10) K2O tersedia 11) Ca 12) Mg 13) Mikroorganisme (Total fungi SPK/g) 14) Kerapatan relatif (KR) 15) Frekuensi ralatif (FR) 16) Indeks nilai penting (INP) 17) Indeks kekayaan jenis Margalef (R) 18) Jumlah jenis yang teramati (S) 19) Jumlah individu (seluruh jenis) yang termati=N 20) Logaritma natural (LN) 21) pi= proporsi jumlah individu spesies ke-i 22) Indeks kemerataan ratio Hill (E) 23) Jumlah individu spesies ke-i (ni) 24) Indeks kelimpahan Simpson ( λ) 25) Indeks keanekaragaman Shannon (H’)
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data
Observasi
Tabulasi data iklim
Stasiun klimatologi
Uji statistik Metode pipet
Pengukuran Komposit tanah Analisis laboratorium
Ekstrak NH4O AC pH7 Gelas Elektroda Walkey and Black Kjeldahl
pengamatan peta penggunaan
Bray I
lahan
Uji statistik
Obesrvasi & pengukuran
Total plate count (TPC) INP = KR+FR+DR
Sampling Pengukuran pengamatan
(S-1) R = ---------LN.N
Penghitungan parameter keanekaragaman spesies
(1/λ – 1) E = ----------eH’ – 1
S [ ni(ni-1)] λ= Σ
---------
i=1 N(N-1)
S H’= Σ pi LN pi. i=1
Tabel Lanjutan
2)Menganalisis fungsi sosial ekonomi ekosistem wanatani
3)Membandingkan fungsi ekologi, sosial ekonomi dengan indikator keberlanjutan.
4)Mengajukan konsep & model wanatani berkelanjutan pada ekosistem semi arid
26) X1 = Frekuensi Penyuluhan 27) X2 = Pengetahuan petani 28) X3 = Motivasi petani mencapai keberhasilan dalam berusaha tani 29) Y = Perilaku konservasi lahan dalam penerapan wanatani 30) П = Keuntungan 31) TR=Total pendapatan 32) TC = Total biaya
Tabel pengharkatan kesuburan tanah laboratorium IPB.
Y=a+b1X1+b2X2+b3X3
Tinjauan peta AEZ Kabupaten Kupang dan persyaratan tumbuh tanaman di hutan alami semi arid.
Keuntungan (П) dan R/C
П = TR - TC
Fungsi ekologi:
Mengkatagorikan:
Kesuburan tanah
Optimal dan berkelanjutan jika sesuai indikator
Vegetasi, erosi, & iklim Fungsi sosial ekonomi
Belum optimal dan belum berkelanjutkan jika tidak sesuai dengan indikator. Permodelan dengan metode system dynamics keterpaduan fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi ekosistem wanatani.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Keberlanjutan Fungsi Ekologi, Sosial, dan Ekonomi Wanatani Pendekatan ekosistem wanatani meliputi fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi, secara empiris telah dilakukan. Indikator yang digunakan adalah indikator keberlanjutan fungsi ekosistem
yang mengacu pada daya dukung lahan dan
fungsi ekosistem hutan alami semi arid. Keberlanjutan fungsi-fungsi tersebut secara holistik dijabarkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Keberlanjutan Fungsi Ekologi, Sosial, dan Ekonomi Ekosistem Wanatani Fungsi Ekosistem
Pengukuran
I. Ekologis
1.
Indikator Keberlanjutan Hasil Referensi penelitian (Ekosistem hutan klimaks Semi Arid)
Keterangan
a. b.
Keanekaragaman vegetasi (Indeks kemerataan/E) Pohon Pancang
0,55 0,37
>0,5 >0,5
c.
Semai
0,28
>0,5
2. a. b. c. 3. a.
Iklim mikro Suhu udara Suhu tanah Kelembapan Kesuburan tanah Hara makro: N, P, K Hara mikro: Mg
25,36oC 25,5oC 88%
<27oC <27oC >80%
Sustainable Belum Sustainable Belum Sustainable Sustainable Sustainable Sustainable Sustainable
Sedang
Sedang-Tinggi
Sustainable
Sangat rendah
Sedang-Tinggi
Tinggi
Sedang-Tinggi Sedang-Tinggi
Belum Sustainable Sustainable Sustainable
b. c. c. d.
e. II. Sosial
1.
III.
1.
Ekonomi
Na C/N, KTK, Kejenuhan basa Mikroorganisme tanah (Jumlah Spesies) Tingkat erosi (ton/ha/tahun) Perilaku konservasi (R2) Potensi
Sedangtinggi 3
Belum Sustainable
60-480
0
Belum Sustainable Belum Sustainable
0,58
0,99
7,68
>1
Sustainable
Kurang
Baik
Belum
Produktivitas (R/C) 2.
Peranan kelembagaan sosial ekonomi
Sumber: Data diolah (2011)
Sustainable
Secara deskriptif, fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi ekosistem wanatani yang ditampilkan pada Tabel 3 relatif belum sepenuhnya mengacu pada ekosistem hutan alami semi arid. Temuan ini menunjukkan bahwa penerapan wanatani di Amarasi belum berkelanjutan. Ditinjau dari aspek ekologi, berbagai jenis keanekaragaman vegetasi yang dibudidayakan petani masuk dalam katagori sesuai dengan kesesuaian lahannya namun belum optimal. Ketidakoptimalan ini karena tanaman pangan masih mendominasi lahan wanatani. Akibatnya unsur hara mikro yang terkandung dalam lahan wanatani semakin terkuras sehingga kandungannya relatif rendah. Di sisi lain, orientasi petani untuk kebutuhan pangan dari tanaman semusim masih menjadi tujuan utama. Faktanya sangat jauh berbeda dengan ekosistem hutan alami semi arid, yang pangan pokoknya dapat diperoleh dari pohon Sukun dan tanaman wanatani lain yang relatif jarang bahkan tidak ada. Selain tanaman Sukun, tanaman spesifik lokal lain seperti Cendana berangsur mulai punah. Wilayah NTT ditumbuhi tanaman endemik berupa tanaman Cendana. Tanaman ini adalah tumbuhan yang hanya ditemukan di wilayah NTT serta tidak ditemukan di daerah lain. Hal ini akibat dari pengaruh faktor-faktor lingkungan seperti 1) suhu, 2) curah hujan, 3) jenis tanah, dan 4) topografi di wilayah NTT. Secara makro, konsekuensi logis dari pengaruh keempat faktor tersebut menyebabkan banyak tumbuhan memiliki biota alam yang berbeda. Tanaman Cendana adalah tanaman spesifik lokal yang lebih adaptif. Tanaman Cendana bernilai ekonomis tinggi, sehingga menjadi komoditi andalan ekspor NTT. Paling tidak ada 4 hambatan dan 1 solusi yang ditawarkan oleh penelitipeneliti terdahulu tentang perkembangan Cendana di Timor Barat Wilayah NTT antara lain: a.
Sumber daya Cendana di Pulau Timor Barat telah sepenuhnya habis ditebang.
b.
Meski bersifat endemis dan mempunyai sejarah panjang dengan masyarakat Timor, regenerasi, kualitas benih, dan teknik kebun Cendana masih menjadi hambatan.
c.
Kebijakan dan peraturan yang mengatur pengklasifikasian dan kepemilikan pohon Cendana menjadi hambatan besar berdasarkan upaya penanaman kembali yang lebih efektif.
d.
Penanaman pohon Cendana pada skala besar tidak berhasil.
e.
Penelitian di masa depan diharapkan pengembangan sistem berbasis petani skala kecil yang memadukan pohon Cendana dalam wanatani yang sinkron dengan ketentuan agro-ekologi; penetapan sumber benih berkualitas dan peminimalan in-breeding; dan penelitian on-farm dengan peraturan pemerintah yang suportif yang membantu petani miskin.
Kecenderungan petani yang memanen pohon (kayu-kayuan) yang usianya muda, baik untuk tujuan energi (kayu bakar), bahan bangunan adalah potensi hilangnya jasa pohon sebagai pengendali erosi. Kondisi ini mengakibatkan tingkat erosi tinggi melebihi erosi total yang ditoleransi.
Nilai erosi yang tinggi juga
mengakibatkan besarnya limpasan permukaan yang melarutkan hara tanah sehingga mengurangi kesuburan tanah. Selain itu, potensi erosi terjadi pada lahan petani yang diolah dengan pola monokultur untuk tanaman pangan dan sayursayuran seperti padi, jagung, tomat, kacang-kacangan, cabe, dan bawang.
3.2 Model Pengelolaan Pertanian Berkelanjutan dengan Wanatani Model system dynamics dibangun untuk mengetahui bagaimana integrasi dari fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi wanatani. Sesuai dengan konsep
yang
dikemukakan sebelumnya maka subsistem yang disajikan yaitu sub sistem nilai manfaat total wanatani sebagai lingkungan binaan, penduduk, pendapatan, dan kemiskinan merupakan sub sistem sosial ekonomi, serta lahan produktif adalah lingkungan alam. Kondisi faktual dituangkan dalam CLD pada Gambar 2.
Pohon Pangan Perkebunan
+
Pengeluaran per kapita
_
langsung
+
Ternak
Manfaat wanatani
+
+
+
+ Pendapatan R1
Nilai manfaat total wanatani
_ _
R2 +
+
+ Penduduk
B4 Kematian
Kemiskinan
_ R3
+
+
Kelahiran
Gambar 2. Causal Loop Diagram (CLD) Model Dasar Wanatani
Komoditi pertanian yang meliputi pangan (padi, palawija, dan sayur-sayuran), buah-buahan, perkebunan, kehutanan, dan ternak merupakan manfaat langsung dari nilai manfaat total wanatani Meningkatnya nilai manfaat total wanatani menyebabkan meningkatnya pendapatan yang diperoleh petani sehingga mengurangi angka kemiskinan. Begitu pula sebaliknya, dengan menurunnya nilai manfaat total wanatani akan menyebabkan pendapatan juga menurun sehingga kemiskinan meningkat. Berdasarkan CLD yang dibuat, selanjutnya dibangun struktur model yang dinamakan Stock Flow Diagram (SFD) dapat dijelaskan bahwa model system dynamics hubungan sebab akibat umpan balik nilai manfaat total wanatani, penduduk, pendapatan, dan kemiskinan. Berdasarkan perhitungan uji validasi
model didapat AME 7,72% berarti simulasi nilai manfaat total wanatani di atas valid untuk memprediksi kondisi mendatang. Model disimulasikan dari tahun 2004 hingga tahun 2029 dengan kondisi setiap variabel dalam model sesuai dengan kondisi nyata (tanpa intervensi). Hasil simulasi berupa grafik yang menggambarkan perilaku nyata dari beberapa variabel yaitu produktivitas wanatani dan produktivitas pangan.
Grafik hasil
simulasi secara lengkap disajikan dalam Gambar 3.
4e12
3e12
3
1
2e12 3
3
1e12
Produktivitas_w anatani_1 Nilai_manfaat_total_w anatani_
3 3
0
2
Produktivitas_pangan_1
3 1 2 2,005
1
2
2,010
2
2
2
1
1
1
2,015
2,020
2,025
Time
Gambar 3. Grafik Waktu Simulasi Produktivitas Pangan, Wanatani, dan Nilai Manfaat Total Wanatani Tanpa Intervensi Grafik simulasi di atas menunjukkan bahwa produktivitas pangan lebih rendah dibandingkan produktivitas wanatani dan nilai manfaat total wanatani. Grafik simulasi seperti yang dikemukakan sebelumnya hanya menggambarkan manfaat langsung komoditi pertanian dari lahan produktif. Sementara manfaat tidak langsung belum tercakup dalam model. Secara teoretis dan empiris nilai manfaat total wanatani tidak saja memberikan manfaat langsung tetapi juga manfaat tidak langsung.
Begitu pula dengan produktivitas pangan, yang
cenderung memerlukan biaya input lebih tinggi dan meningkat setiap tahun. Selain itu produksi pangan juga memberikan dampak terhadap lingkungan sehingga mengeluarkan biaya ekologis yang mengurangi manfaat langsung dan manfaat tidak langsung lahan produktif. Kondisi ini disebabkan pemanfaatan benih unggul, pupuk kimia dan pestisida yang tergolong intensif sehingga biaya produksi tinggi dan potensi residu yang
mencemari lingkungan serta mengurangi fungsi jasa lingkungan (ekosistem). Intensifnya pemanfaatan bahan kimia akan menyebabkan hilangnya nilai ekologi seperti menurunnya kesuburan tanah, jasa pengendali banjir, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Selain itu kerusakan lingkungan yang disebabkan
pertanian intensif pada pangan menyebabkan biaya ekologis terus meningkat dan berpotensi mencemari lingkungan sehingga degradasi lahan juga bertambah. Untuk itu diperlukan suatu intervensi pada model. Intervensi dilakukan dengan tujuan menurunkan tingkat kerusakan lingkungan akibat pertanian intensif pangan. Alternatif intervensi yang akan dilakukan adalah intervensi fungsional dan struktural.
Intervensi fungsional adalah invtervensi
pada satu atau dua parameter (konstanta) atau kombinasi parameter tertentu dalam model yang dianggap sensititf. Sedangkan intervensi struktural adalah intervensi yang mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur, yang dapat dilakukan dengan mengubah unsur atau hubungan yang membentuk model (menambah atau mengurangi komponen yang membangun sistem sampai pada menambah atau mengurangi simpal yang menyusun sistem) (Muhammadi et al, 2001; Aminullah 2004).
Intervensi struktural dalam model ini adalah dengan menambah unsur nilai total manfaat wanatani yang merupakan penjumlahan total dari manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Komoditi pertanian yang meliputi pangan, buah-buahan, perkebunan, kehutanan, dan ternak merupakan manfaat
langsung dari
produktivitas wanatani. Sedangkan keanekaragaman hayati, iklim mikro, hara, dan pengendali erosi merupakan manfaat tidak langsung dari produktivitas wanatani. Biaya ekologis pangan menyebabkan berkurangnya nilai manfaat tidak langsung wanatani.
Produktivitas wanatani besarnya juga dipengaruhi oleh
degradasi lahan dan perilaku konservasi. Produktivitas wanatani menyebabkan lahan lebih produktif yang berpengaruh pula terhadap
nilai manfaat total
wanatani. Hubungan sebab akibat antar variabel dalam sub sistem lebih jelasnya disajikan dalam CLD (Gambar 4) sebagai berikut:
Keanekaragaman vegetasi
+
Ik lim mikro +
Biay a ek ologis
+
pangan
B6
Hara Pengendali
Manfaat
_ Pangan
erosi
tidak langs ung
+
wanatani
+ +
+
Pohon Manfaat
+
+
langsung
Perkebunan
+
Lahan produktif
wanatani Ternak
+
+
+ + Pengeluaran
_
-
per kapita Manfaat total wanatani
R1
Pendapatan
B5
Perilaku konservasi
_
_
degradasi
+
R2
lahan +
Penduduk Kemiskinan
Nilai
_
+ +
+
R3
B4
Kematian
_
Kelahiran
Gambar 4. Causal Loop Diagram (CLD) Wanatani dengan Intevensi Skenario S2 Sub sistem manfaat total wanatani akan membentuk satu lup negatif B5 dengan sub sistem perilaku konservasi. Lup B5 menjelaskan bahwa meningkatnya perilaku konservasi akan meningkatkan nilai manfaat total wanatani. Lup B6 menggambarkan bahwa meningkatnya produktivitas pangan akan meningkatkan biaya ekologis pangan yang pada akhirnya akan menurunkan nilai manfaat total wanatani. Sub sistem nilai manfaat total wanatani dalam hubungannya dengan subsistem pendapatan membentuk satu lup positif R2. Lup R2 menjelaskan bahwa peningkatan nilai manfaat total wanatani akan meningkatkan pendapatan dan menurunkan kemiskinan.
Berdasarkan diagram alir, subsistem produktivitas lahan terdiri atas variabel lahan produktif sebagai level mendapatkan aliran negatif (pengurangan) dari luas lahan yang mengalami penurunan produktivitas. Aliran positif atau penambahan luas lahan produktif yang ditentukan oleh faktor perilaku konservasi. Luasnya lahan yang mengalami penuruan produktivitas ditentukan oleh angka penurunan produktivitas, begitu pula besarnya perilaku konservasi bergantung pada penambahan luas lahan yang menerapkan wanatani berkelanjutan. Sub sistem lahan produktif meningkatkan nilai manfaat total wanatani melalui penambahan manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung yang disumbangkan adalah berbagai komoditas pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan, buah-buahan, dan pohon (kayu). Manfaat tidak langsung yang diberikan adalah jasa ekosistem meliputi pengendali erosi, siklus hara, iklim mikro, dan keanekargaman vegetasi. Siklus hara yang tercipta dengan adanya dekomposisi serasah-serasah dan dukungan iklim mikro. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sasmitawidjaja (2004) dan Rianse (2010) bahwa nilai dukungan iklim mikro adalah 1430 US$/ha/tahun. Nilai jasa vegetasi pohon dalam mengendalikan erosi yaitu 380 US$/ha/tahun .
Nilai keanekaragaman wanatani adalah
nilai jasa yang
merupakan sumber daya genetik sebesar 64 US$/ha/tahun. Iklim yang tercipta di lahan wanatani dengan keberadaan kanopi pohon yang mengakibatkan suhu dan kelembapan mendukung perkembangan dan pertumbuhan tanaman serta aktivitas dekomposisi serasah-serasah menjadi bahan organik.
Nilainya adalah
346
US$/ha/tahun. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini adalah 1 $ = Rp, 8.000,00. Biaya ekologis yang dikeluarkan akibat budidaya tanaman padi, palawija, dan sayuran (pangan) yang intensif dikemukan oleh Kim (2002) dan Rianse (2010) yang diadopsi dari Master Plan for Forestry Devalopment Philippines nilainya adalah 19,87 US$/ha/tahun. Intervensi pada model seperti yang telah diuraikan di atas, adalah intervensi struktural skenario 2 (S2) (Gambar 4). Intervensi ini menciptakan simpal baru
(B6 dan B7). Simulasi dilakukan dari tahun 2004 hingga tahun 2029. Asumsi yang dipergunakan untuk melakukan simulasi skenario ini adalah lahan produktif selain memberikan manfaat langsung berupa komoditi pertanian, perkebunan, kehutanan, dan peternakan/perikanan tetapi juga memberikan manfaat tidak langsung
dari ekosistem yang bermanfaat untuk keberlanjutan produktivitas
lahan. Jasa ekosistem akan berkurang fungsinya jika aktivitas dalam produksi manfaat langsung melewati daya dukung lahan. Jika melewati daya dukung maka berpotensi mencemari lahan sehingga menimbulkan biaya ekologis.
Hasil
simulasi skenario S2 disajikan dalam Gambar 5.
1
Biay a_ekologis_pangan_2
1e9
2
Manfaat_tidak_langs ung_2_
2e12
1
Biay a_ekologis_pangan_2
1e9
2
Manfaat_tidak_langs ung_2_
1e12
2 1 2
1
Biay a_ekologis_pangan_2
1e9
2
Manfaat_tidak_langs ung_2_
1e12
1
Biay a_ekologis_pangan_2
1e9
2
Manfaat_tidak_langs ung_2_
7e11
2
1
Biay a_ekologis_pangan_2
1e9
1
2
Manfaat_tidak_langs ung_2_
3e11
1
Biay a_ekologis_pangan_2
1e9
2
Manfaat_tidak_langs ung_2_
0
1
2
1
1
2
Biay a_ekologis_pangan_2 Manfaat_tidak_langs ung_2_
2 1
2,005
2,015
2,025
Time
4e12
3e12
1
2e12
1
1
2 1e12
Nilai_manfaat_total_w anatani_1__ Nilai_manfaat_total_w anatani_2_
2
1 2 1 2
0
2
1 2 2,005
2,010
2,015
2,020
2,025
Time
Gambar 5. Hasil Simulasi Skenario S2 Dinamika Biaya Ekologi Pangan dan Manfaat Tidak Langsung Wanatani serta Nilai Manfaat Total Wanatani pada Model Dasar dan Skenario S2. Grafik dalam Gambar 5 memperlihatkan perilaku yang berbeda bila dibandingkan dengan grafik sebelum intervensi dilakukan (Skenario struktural 1/S1).
Masing-masing intervensi akan menghasilkan beberapa skenario ke depan. Berdasarkan hasil simulasi dari berbagai skenario tersebut akan dipilih satu skenario terbaik. Skenario terbaik tersebut adalah skenario yang memberikan solusi paling baik dan masih dapat diterima (make sense) sesuai dengan tujuan dilakukannya intervensi. Seperti dikemukan sebelumnya maka intervensi struktural
lainnya dapat pula dilakukan dengan menghilangkan produktivitas
pangan sebagai intervensi struktural skenario 3/S3 (Gambar 5) sehingga nilai manfaat total wanatani
dan pendapatan petani lebih meningkat. Sedangkan
intervensi fungsional 4 (F4) dalam penelitian ini dilakukan pada parameter menurunkan nilai degradasi lahan menjadi 5% dan meningkatkan perilaku konservasi menjadi 0,75%.
Perilaku simulasi jangka panjang (long run
simulation) skenario S3/F4 disajikan dalam Gambar 6.
Keanekaragaman vegetasi
Ik lim mikro + +
Hara Pengendali
Manfaat
erosi
tidak langs ung
+
wanatani +
+
Pohon Manfaat
+
+
langsung
Perkebunan
+
Lahan produktif
wanatani Ternak
+
+
+ +
Pengeluaran
B5
_
per kapita
Nilai manfaat total wanatani
R1
Pendapatan
Perilaku _
_
konservasi
_ +
R2
Nilai Penduduk Kemiskinan
degradasi
+
lahan
+ R3
B4
+ _
Kematian
+
Kelahiran
Gambar 6. Causal Loop Diagram (CLD) Model Wanatani dengan Intervensi Skenario S3/F4 Perilaku model (Gambar 7) memperlihatkan bahwa dengan penerapan wanatani saja tanpa pangan (padi, palawija, dan sayur-sayuran), meningkatkan perilaku konservasi serta mengurangi angka degradasi lahan maka manfaat total wanatani semakin meningkat.
2e12
2 1e12 2
Nilai_manfaat_total_w anatani_3_ 1
2
5e11 2 0 1
1
1
1
2
_ Nilai_manfaat_total_w anatani_4
1
2
2,005
2,015
2,025
Time
14,000 2 13,500 2
1 1
13,000 2 12,500
2
1 2
Lahan_produktif_3_ Lahan_produktif_4_
1
1 1 2 2,005
2,010
2,015
2,020
2,025
Time
Gambar 7.
Hasil Simulasi Waktu Nilai Manfaat Total Wanatani dan Luas Lahan Produktif pada Skenario S3 dengan Skenario S3/F4.
Meningkatnya nilai manfaat total wanatani mengakibatkan pendapatan bersih per KK yang diperoleh petani juga meningkat. Begitu pula dengan lahan produktif semakin meningkat sehingga total produktivitas wanatani juga meningkat.
Hasil penelitian tahap 1 menemukan bahwa daya dukung ekologis ekosistem semi arid sangat mendukung untuk pengembangan wanatani dibandingkan pangan (padi dan palawija). Jika produksi pangan terus berlangsung maka potensi pencemaran lingkungan dan degradasi lahan semakin besar sehingga biaya ekologis semakin besar pula. Prediksi ke depannya maka kebijakan pemerintah daerah adalah lebih mengunggulkan pengembangan wanatani dari pada memaksakan tetap produksi padi, palawija, dan sayuran tapi tidak berkelanjutan. Dalam jangka panjang maka ketahanan pangan baik sumber daya dan teknologi pengolahan diarahkan bersumber dari wanata
4.
Kesimpulan dan Saran
4.1
Kesimpulan
1.
Pengelolaan wanatani belum sepenuhnya mengacu pada konsep ekosistem hutan alami semi arid. Ditinjau dari fungsi ekologi yang meliputi vegetasi, kesuburan tanah, iklim mikro, dan kesesuaian lahan optimal dan
wanatani belum
belum berkelanjutan untuk mendukung produktivitas dan
konservasi lahan. Fungsi ekonomi produktivitas wanatani sudah optimal, namun kurangnya dukungan kelembagaan dan fungsi sosial menyebabkan pengelolaan belum optimal dan belum berkelanjutan. 2.
Pengelolaan pertanian berkelanjutan dengan wanatani dapat dimodelkan dengan system dynamics. Simulasi model memperlihatkan integrasi fungsi ekologi,
sosial
dan
ekonomi
ekosistem
wanatani
serta
dapat
memprediksikan kondisi yang akan datang sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Nilai manfaat total wanatani semakin meningkat dengan intervensi struktural skenario 3 (S3) yaitu menghilangkan produksi tanaman semusim (padi, palawija, dan sayuran). Intervensi fungsional (F4) dengan meningkatkan perilaku konservasi lahan dan mengurangi angka degradasi lahan adalah leverage dalam model yang dapat meningkatkan
lahan
produktif dan pendapatan petani.
4.2
Saran
Mewujudkan pengelolalaan pertanian lahan kering berkelanjutan dengan wanatani maka perlu dikembangkan suatu program pembangunan pertanian secara holistik yang meliputi antara lain: 1.
Model wanatani yang mengacu pada ekosistem hutan diterapkan sebagai model
pengelolaan
pertanian
berkelanjutan.
Pengelolaan
yang
mengoptimalkan daya dukung lingkungan, khususnya fungsi ekologi yang lebih mengedepankan keanekaragaman vegetasi dan teknologi spesifik lokal. Fungsi sosial ekonomi dengan meningkatkan peranan kelembagaan sehingga kesejahteraan meningkat dan berkurangnya kemiskinan.
2.
Mengkaji lebih lanjut upaya peningkataan kualitas sumber daya manusia (petani) dalam pengelolaan wanatani yang sinergis dengan ekologi dan sosial ekonomi dalam upaya pelestarian lingkungan hidup dan mengoptpimalkan kualitas hidup petani.
3.
Perlu diimplementasikan terutama bagi lembaga terkait yaitu Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan dilakukan secara lintas sektoral yang melibatkan juga lembaga lain (Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Riset dan Teknologi, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk mereformulasikan berbagai teknologi dan program-program peningkatan produktivitas lahan dengan pola pertanian yang menerapkan wanatani yang mengacu pada pendekatan ekosistem hutan spesifik lokal.
Daftar Pustaka Arsyad, Sitanala dan Erna, Rustiadi. (2008). Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Crestpent Press. Yayasan Obor Indoneisa. Jakarta. BPS (2011) Kecamatan Amarasi dalam Angka. Laporan Tahunan Camat Amarasi. Sekretariat Kecamatan Amarasi. Kabupaten Kupang. NTT BPS (2011). Kabupaten Kupang dalam Angka. Kabupaten Kupang. NTT Balitbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. (2005). Ringkasan Hasil Penelitian. Buku II. Kupang Kim, Y.C. (2001). Pola Pengelolaan Hutan Tropika Berdasarkan pada Konsep Ekonomi Total. Disertasi Universitas Gajah Mada. Monk. (2000). Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Prenhallindo. Jakarta. Muhammadi, Erman Aminullah, & Budhi Soesilo. (2001). Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosisal, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta Rianse, Umar. (2010). Agroforestri. Solusi dan Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Alfabeta. Bandung.