Kritik Hadits Ditinjau Dari Sisi Historis Kritik Matan di Zaman Shahabat Kritik matan hadits dalam arti upaya mengkaji dan mengidentifikasi keaslian sebuah hadits, yakni mengetahui bahwa sebuah hadits benar-benar bersumber dari Rasulullah Saw atau bukan bersumber dari beliau, sejatinya telah dilakukan sejak zaman para Shahabat Nabi Saw. Hal ini tercermin pada metode yang mereka terapkan dalam menerima periwayatan hadits. Metode mereka tersebut secara umum dapat disimpulkan dalam tiga hal berikut: (1) Metode Taqlîl Al-Riwâyah, yaitu meminimalisir periwayatan atau penyampaian hadits yang mereka terima dari Rasulullah Saw. Hal ini diterapkan terutama pada era kekhalifahan Abu Bakr ra dan Umar ra. Abu Hurairah ra pernah ditanya, "Apakah engkau (banyak) menyampaikan hadits seperti ini di zaman Umar?" Beliau menjawab, "Kalau aku menyampaikan hadits kepada kalian di zaman Umar sebagaimana aku menyampaikan hadits kepada kalian (di zaman sekarang), niscaya ia akan memukulku dengan cambuk."1 Alasan mereka meminimalisir periwayatan ini adalah kehati-hatian agar tidak terjadi kesalahan, karena terlalu banyak meriwayatkan hadits terkadang dapat menyebabkan kekeliruan dalam menyampaikan riwayat. Rasulullah Saw sendiri bersabda, "Jauhilah kalian banyak berbicara, barang siapa yang berbicara atas namaku maka janganlah ia menyampaikan kecuali yang benar."2 Di masa khalifah Abu Bakr ra periwayatan hadits diawasi secara ketat. Seseorang dilarang meriwayatkan hadits tanpa mendatangkan saksi, kecuali jika hadits tersebut telah masyhur di kalangan mereka. Dalam kitab Al-Muwaththo', imam Malik mencatat bahwa Ibnu Syihâb meriwayatkan dari Qabîshah bin Dzu'aib bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakr Ash-Shiddîq ra untuk mengadukan bagian warisan yang menjadi haknya. Beliau berkata: "Saya tidak menemukan bagian warisan untukmu di dalam Kitab Allah, dan saya tidak mengtahui bahwa Rasulullah Saw pernah menetapkan bagian untukmu.' Lalu beliau bertanya kepada para Shahabat yang lain tentang hal ini. Al-Mughîrah bin Syu`bah ra kemudian berdiri dan berkata: 'Saya pernah hadir di majlis Rasulullah Saw, dan beliau memberikan bagian untuk nenek seperenam.' Lalu Abu Bakr ra berkata: 'Apakah kamu mempunyai saksi?' Maka Muhammad bin Maslamah kemudian bersaksi dengan pernyataan yang sama'."3 Ketika Umar bin Khatthab ra menjadi khalifah, beliau juga melarang para Shahabat terlalu banyak meriwayatkan hadits. Hal ini beliau lakukan demi menghindari kesalahan dalam periwayatan dan agar orang-orang tidak ceroboh meriwayatkan hadits yang kurang ditekuninya, serta memberi pelajaran kepada generasi setelahnya, bahwa berdusta atas nama Rasulullah Saw adalah dosa besar. Kehati-hatian beliau sebenarnya dimaksudkan agar siapa saja yang meriwayatkan hadits hendaknya benar-benar tatsabbut (sekektif dan berhati-hati). Bukan sengaja menolak hadits yang diriwayatkan atau meragukan kejujuran para Shahabat, apalagi menuduh mereka berdusta. Seperti dalam kasus Abu Mûsa Al-Asy`ari ra ketika meriwayatkan hadits tentang isti'dzân. Umar bin Al-Khaththâb ra mengancam akan 1
Muhammad Abu Zahw, Al-Hadîts wal Muhadditsûn (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), 68 Hadits riwayat Ahmad, Al-Hâkim dan Ibnu Mâjah, dinukil dari buku Al-Hadîts wal Muhadditsûn...69 3 Mâlik Ibn Anas, Al-Muwaththo', (kairo: Maktabah Taufîqiyyah), 2/45 2
menghukum Abu Musa kalau tidak mendatangkan saksi atas hadits yang ia riwayatkan. Abu Musa lalu bertanya kepada Umar, "Wahai Umar apakah engkau menuduhku berdusta?" Umar menjawab, "Aku tidak menuduhmu begitu, hanya saja aku tidak ingin orang-orang berdusta atas nama Rasulullah Saw."4 Abu Hurairah ra sendiri—salah seorang shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Tetapi, pada zaman kekhalifahan Abu Bakr ra dan Umar ra beliau tidak banyak meriwayatkan hadits karena alasan-alasan yang disebutkan di atas. Namun ketika kondisi zaman telah berubah, beliau kemudian banyak meriwayatkan hadits. Para Shahabat Nabi Saw telah tersebar ke segala penjuru negeri, tidak seperti zaman Umar ra, karena beliau melarang para Shahabat keluar kota Madinah. Selain itu para Shahabat besar Nabi Saw banyak yang wafat, sehingga hadits-hadits Rasulullah ikut pergi dengan kepergian mereka. Sementara generasi setelah Shahabat sangat membutuhkan hadits-hadits yang shahîh dari Rasulullah Saw. Khususnya ketika terjadinya bencana pertikaian di masa para Shahabat. Fitnah ini melahirkan banyaknya kelompok-kelompok yang tidak beriktikad baik terhadap Sunnah Rasulullah Saw, dengan cara memalsukan hadits dan menyelewengkan maknanya, sehingga kebenaran menjadi tercampur-aduk dengan kebatilan. Inilah salah satu faktor utama yang membuat para Shahabat terpanggil untuk membela dan meriwayatkan hadits yang bersumber dari Rasulullah Saw. Yang perlu digarisbawahi bahwa sikap sebagian shahabat yang melarang berlebihan meriwayatkan hadits di antara mereka adalah karena mereka adalah manusia-manusia yang menyaksikan dan mendengar langsung hadits-hadits Rasulullah Saw. Masing-masing mengetahui banyak hadits, kecuali hadits-hadits yang sifatnya disampaikan kepada personal tertentu. Dengan demikian mereka tidak terlalu perlu menyampaikan hadits atau mendengarkannya dari orang lain, kecuali dalam rangka saling mengingatkan di antara mereka. Selain itu jika hadits terlalu banyak beredar, orang-orang munafik akan menjadikannya sebagai ajang pemalsuan hadits untuk generasi-generasi setelah mereka. Dr. Abu Zahw mengatakan bahwa para shahabat meminimalisir periwayatan karena khawatir orang-orang munafik menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai ajang untuk menyusupkan tujuan buruk mereka.5 Karena jika periwayatan hadits tidak terkontrol maka bisa saja mereka dengan mudah mengatakan: Aku pernah mendengar Nabi bersabda begini, Aku pernah melihat Nabi melakukan itu, dan sebagainya. Lebih dari itu, para shahabat sangat takut keliru dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Saw. Seorang Abu Bakr ra yang sedemikian lama mendampingi Rasulullah Saw—sejak beliau diangkat sebagai nabi sampai beliau wafat—tidak banyak hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan melalui beliau. Diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair ra bahwa ia berkata kepada bapaknya (Zubair bin `Awwâm), "Saya tidak (jarang sekali) mendengar engkau menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw sebagaimana yang dilakukan oleh fulan dan fulan." Zubair menjawab, "Sebenarnya aku tidak pernah berpisah dengan beliau, tetapi aku pernah mendengar beliau bersabda, 'Barangsiapa yang berdusta atas namaku maka ia telah mengambil posisinya di Neraka'."6 Zaid bin Arqam juga pernah ditanya, "Sampaikan kepada kami hadits!" Beliau menjawab, "Kami telah tua dan banyak lupa, sedangkan menyampaikan 4
Shahîh Muslim, (Riadh: Dârussalâm, 1998), Kitabul Âdâb, Bab Al-Isti'dzân, 958 Muhammad Abu Zahw... 69 6 Ibid... 68 5
hadits adalah perkara yang berat." Apalagi lagi bahwa yang menjadi kesibukan utama mereka adalah mengahafal dan mengajarkan Al-Quran. Syu`bah meriwayatkan dengan sanadnya dari Qarazhah bin Ka`b, ia berkata, "Ketika Umar mempersiapkan kami untuk pergi ke Irak beliau berjalan mengantar kami dan berkata, "Tahukah kamu mengapa aku mengantarmu?" Mereka menjawab, "Ya, sebagai kehormatan bagi kami." Beliau kemudian berkata, "Kamu akan mendatangi sebuah negeri yang penduduknya memiliki lantunan Al-Quran seperti dengungan lebah, maka janganlah engkau menyibukkan mereka dengan hadits-hadits. Fokuskan kepada Al-Quran dan sedikitkan periwayatan hadits dari Rasulullah Saw, dengan demikian aku bersama kalian." Ketika Qarazhah bin Ka`b datang, mereka [penduduk Irak] berkata, "Bacakan kepada kami hadits!" Ia berkata, "Umar melarangku."7 Namun metode meminimalisir periwayatan hadits ini tentu tidak menjadikan para shahabat sengaja tidak menyampaikan hadits-hadits yang memang perlu dan wajib diketahui oleh umat, sementara mereka benar-benar menghafalanya dari Rasulullah Saw, apalagi di saat-saat hadits tersebut sangat dibutukan. Karena mereka juga menyadari bahwa Rasulullah Saw memerintahkan untuk menyampaikan apa yang mereka dengar dan lihat dari beliau sebagaimana mestinya. Beliau bersabda, "Semoga Allah mencerahkan orang yang mendengar perkataanku kemudian memahaminya dan menyampaikannya sebagaimana mereka mendengarnya."8 Lebih dari itu Rasulullah mengancam umatnya dengan belenggu api neraka bagi mereka yang sengaja menyembunyikan ilmu. Rasulullah bersabda: "Barang siapa yang menyembunyikan ilmu maka Allah akan membelenggunya dengan belenggu api neraka."9 Imam Al-Bukhâri meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa beliau berkata, "Sesungguhnya orang-orang berkata, 'Abu Hurairah telah berlebihan (dalam meriwayatkan hadits)', kalaulah bukan karena dua ayat di dalam Kitab Allah niscaya aku tidak akan menuturkan satu hadits pun—kemudian beliau membaca firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keteranganketerangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua mahluk (yang dapat melaknat), sampai dengan firman-Nya: "Dan Akulah Yang Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang." Sesungguhnya saudara-saudara kami dari kaum Muhajirin disibukkan oleh jualbeli di pasar-pasar, dan saudara-saudara kami dari kaum Anshar disibukkan oleh pekerjaan di sawah-ladang mereka. Dan sesungguh Abu Hurairah selalu menyertai Rasulullah Saw saat lapar maupun kenyang, senantiasa hadir di dekat beliau saat mereka tak sempat hadir, serta menghafal (dari beliau) apa yang mereka tidak hafal."10 (2) Metode Tatsabbut, yaitu selektif dan berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan riwayat. Selain meminimalisir periwayatan, mereka juga sangat berhati-hati dan slektif dalam menerima riwayat hadits. Jika hati mereka merasa tenang menerima sebuah hadits karena hadits tersebut tergolong mutawatir atau masyhur atau âhâd dengan syarat râwinya adalah orang yang diakui kejujuran, ketakwaan dan kekuatan hafalannya, maka 7
Al-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffâz, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1998), 12 Al-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah Al-Ma`ârif li al-Nasyr wa al-Tauzî`, tanpa tahun), 598 9 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mâjah, (Riyadh: Maktabah Al-Ma`ârif li al-Nasyr wa al-Tauzî`, tanpa tahun), 8
64 10
Al-Bukhâri, Shahîh Al-Bukhâri, (Riyadh: Darussalam, 1998)
mereka menerima riwayat tersebut tanpa meminta saksi atau bukti. Tetapi kalau hadits yang diriwayatkan tidak masyhur di kalangan mereka, sementara mereka meragukan hafalan râwinya, maka mereka akan meminta saksi secara terang-terangan, dan ketika rawi tersebut tidak bisa mendatangkan saksi maka mereka akan menolak riwayatanya.11 Imam Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Bakr ra, "Beliaulah orang pertama yang paling berhati-hati dalam menerima riwayat...."12 Adz-Dzahabi juga berkata tentang Umar ra, "Beliaulah yang telah memberikan teladan bagi para ahli hadits dalam hal ketelitian dan kehati-hatian menerima riwayat...."13 Beliau juga berkata tentang Ali bin Abi Thalib ra, "Beliau adalah imam yang luas dan dalam ilmunya, sangat teliti dalam menerima riwayat, sampai-sampai beliau meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits kepadanya. Utsman bin Al-Mughirah Ats-Tsaqafi meriwayatkan dari Ali bin Rabî`ah, dari Asmâ' binti Al-Hakam Al-Fazâri, bahwasanya ia mendengar Ali bin Abi Thalib ra berkata, "Setiap kali aku mendengar hadits dari Rasulullah Saw, Allah memberiku manfaat dengan hadits itu sebagaimana yang Dia kehendaki, dan apabila yang mengucapkan hadits dari beliau (Rasulullah Saw) adalah orang lain, maka aku memintanya untuk bersumpah, jika ia bersumpah, aku mempercayainya...."14 Selain itu, slektifitas dan kehati-hatian para Shahabat dalam menerima riwayat hadits adalah untuk lebih menenangkan hati dalam menerima riwayat hadits. Dalam riwayat lain, Umar ditegur oleh salah seorang Shahabat, "Janganlah engkau menyakiti Shahabat Rasulullah Saw." Beliau menjawab, "Subhânallah, aku hanya mendengar sesuatu dan aku ingin berhatihati (menerimanya)."15 Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh nabi Ibrahim As ketika memohon kepada Allah untuk memperlihatkannya bagaimana Dia menghidupkan yang mati. Perbuatan beliau ini tentu tidak menunjukkan bahwa nabi Ibrahim As tidak beriman kepada Allah, hanya saja ingin menenangkan hatinya, sebagaimana jawaban beliau: "Liyathma'inna qalbî" (untuk lebih menenagkan hatiku).16 Intinya bahwa para Shahabat menginginkan periwayatan hadits yang tepat dan akurat, tanpa ada tambahan atau pengurangan. Hal ini tidak lain demi menjaga sumber kedua ajaran Islam ini dari berbagai distorsi dan penyelewengan. Mereka sangat takut berbohong dalam hal apapun. Sebelum datangnya Islam sendiri, dusta adalah perbuatan yang amat aib dan dibenci oleh bangsa Arab. Apalagi setelah Islam datang, kemudian mereka mendengar sabda Rasulullah yang mengancam siapa saja yang berani berbohong atas nama beliau. Dalam hadits riwayat imam Al-Bukhâri dan Muslim Rasulullah Saw bersabda: ْ ار َ َم ْن َك َذ ِ َّب َعلَ َّي ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَبَوَّأ َم ْق َع َدهُ ِم ْن الن "Barang siapa yang berbohong atas namaku, maka ia telah memposisikan dirinya di neraka."17 (3) Metode Naqd Riwâyah, yaitu mengkritisi matan hadits yang diriwayatkan. Hal ini mereka lakukan dengan membandingkannya dengan hadits-hadits yang telah tsâbit dari Rasulullah Saw dan nas-nas Al-Quran yang muhkam. Jika mereka menemukan ada yang 11
Muhammad Abu Zahw... 69 Al-Dzahabi... 9 13 Ibid... 11 14 Ibid... 14 15 Ibid... 960 16 QS. Al-Baqarah: 260 17 Al-Bukhâri... 7 12
bertentangan dengannya, maka mereka menolak hadits tersebut dan tidak mengamalkannya. Imam Al-Bukhâri dan Muslim meriwayatkan bahwa sayyidah Aisyah ra mendengar hadits dari Umar bin Khaththab dan putranya Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya mayit benar-benar tersiksa karena tangisan keluarganya terhadapnya." Maka beliau berkata: "Semoga Allah Swt merahmati Umar, demi Allah, sesungguhnya Rasulullah Saw tidak pernah bersabda bahwa Allah menyiksa orang-orang beriman karena tangisan keluarganya terhadapnya, tetapi beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah menambah azab bagi orang-orang kafir karena tangisan keluarganya terhadapnya." Kemudian Aisyah berkata, "Cukuplah bagimu Al-Quran."18 Namun perlu diperhatikan bahwa penolakan sebagian Shahabat terhadap suatu hadits Rasulullah Saw dengan alasan bahwa hadits tersebut bertentangan dengan Al-Quran misalnya, adalah semata-mata ijtihad pribadi mereka. Maka tidak heran jika kita menemukan sebagian Shahabat yang lain tetap mengamalkan hadits tersebut dan menolak ijtihad Shahabat lain yang mengangapnya bertentangan dengan Al-Quran, karena menurut mereka, hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran.19 Metode-metode di atas menunjukkan bahwa kritik matan telah dilakukan sejak zaman Shahabat Nabi Saw. Hal ini karena, jika di era Shahabat Nabi Saw kejujuran seorang râwi sudah tidak menjadi masalah, tentu mereka akan lebih cenderung mengkritisi matan hadits. Sebab masalah kejujuran Shahabat dalam meriwayatkan hadits sudah tidak diragukan lagi. Karena Allah Swt sendiri yang telah men-ta`dil mereka. Di samping itu sanad juga belum banyak bersilsilah, karena Shahabat Nabi adalah thabaqat pertama dalam silsilah periwayatan hadits, yaitu orang yang menerima hadits secara langsung dari Rasulullah Saw. Di kalangan para Shahabat Ummul Mu'minîn Aisyah ra termasuk salah seorang Shahabat yang banyak mengkritik matan hadits disebabkan karena nakârah (keanehan) yang beliau lihat di dalamnya. Walaupun penilaian beliau sebatas ijtihad pribadi yang terkadang berbeda dengan ijtihad Shahabat-Shahabat yang lain. Sehingga Al-Hâfiz Az-Zarkasyi menulis buku khusus yang membahas hadits-hadits yang dikritik oleh Syyidah Aisyah ra. Beliau menamakan bukunya dengan, "Al-Ijâbah li Îrâdi ma Istadrakathu `Âisyah `ala Al-Shahâbah", (Jawaban Atas Kritik-kritik Aisyah Terhadap Para Shahabat). Shahabat yang lain seperti Umar bin Al-Khaththâb dan putranya Ibnu Umar, Ibnu Abbâs dan yang lainnya, adalah tokoh-tokoh utama yang menjadi pioner kritik matan hadits. Para ulama hadits sendiri memiliki metode tersendiri dalam menyelesiakan masalah matan-matan riwayat yang sekilas tampak kontradiktif. Metode tersebut antara Thariqatul Jam`i yaitu mengkompromikan antara ayat atau hadits yang sekilas terlihat bertentangan. Jika metode ini tidak mungkin dilakukan, ada metode lain yaitu Nasikh wa Mansukh. Yang Nasikh kemudian berstatus ma`mûl bih (diamalkan) sedangkan yang mansukh berstatus ghair ma`mûl bih (tidak diamalkan). Tetapi, metode ini baru dapat digunakan bila hadits yang diteliti memiliki sabab wurud (sebab munculnya hadits). Bila sabab wurud hadits itu ternyata tidak ada, ataupun ada tetapi tidak diketahui mana hadits yang munucul lebih dahulu dan datang belakangan, maka ditempuh metode berikutnya yaitu metode Tarjih yang dalam ilmu hadits terdapat lebih dari lima puluh cara. 18 19
Al-Bukhâri... 375 Nûruddîn `Itr, Manhajun Naqd fî Ulumil Hadits, (Beirut: Darul Fikr, 1996), 52-54
Kritik Hadits di Zaman Fitnah Analisa terhadap sanad mulai ditekankan semenjak munculnya fitnah (Musibah pertikaian) yang terjadi di zaman Shahabat Rasulullah Saw. Dimulai dengan pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan ra, lalu disusul perang Jamal, perang Shifîn, hingga pada pembunuhan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib ra, peristiwa-peristiwa tersebut menjadi titik tolak bagi segolongan orang untuk menyempal dari Ahlussunnah wal Jamâ`ah, seperti yang dilakukan kelompok Khawarij dan Syî`ah Râfidhah. Lalu mereka mencari-cari justifikasi kebenaran mazhab mereka dari Al-Quran dan Sunnah. Jika tidak ditemukan dalil yang mendukung dari Al-Quran dan Hadits, mereka berusaha menyelewengkan makna ayat atau hadits agar sejalan dengan pendapat mereka. Bahkan, sebagian kelompok seperti Syî`ah Râfidhah sangat ekstrem dalam memalsukan hadits-hadits demi mendukung akidah mereka. Imam Asy-Syâfi`i berkata: "Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih dusta dari Râfidhah."20 Kondisi inilah yang menjadikan para Shahabat berjuang keras menjaga orisinalitas dan otentisitas hadits-hadits Rasulullah Saw. Maraknya ta'wîl al-nash (penyelewengan makna teks) dan al-wadha` fi al-hadits (pemalsuan hadits) menjadi salah satu faktor penting yang mendorong lahirnya ilmu kritik sanad. Jika para Shahabat terdahulu lebih cenderung mengkritik matan, maka ketika fitnah (pertikaian) antar shahabat terjadi, mereka semakin perhatian terhadap kritik kritik sanad dan matan. Barangkali hal ini adalah salah satu hikmah di balik pertiakaian yang terjadi di antara pada shahabat. Pembelaan dan penjagaan terhadap sunnah Rasulullah Saw akhirnya mendapat perhatian khusus dari para Shahabat, Tabiin dan ulama-ulama hadits setelah mereka. Kalau seandainya fitnah tidak terjadi, maka perhatian otentisitas hadits melalui kajian sanad dan matan barangkali kurang menjadi prioritas, karena tidak adanya tantangan. Di antara upaya yang mereka lakukan untuk menjaga otentisistas dan kemurnian hadits adalah: (1) Menyeleksi matan hadits dan mengkaji `adâlah (otoritas dan kualifikasi râwi dalam hal kejujuran dan ketakwaan) para rawinya. Imam Muslim meriwayatkan dalam mukaddimah kitab Shahîh-nya, bahwa Ibnu Sîrîn berkata, "Mereka sebelumnya tidak mempertanyakan tentang sanad, namun ketika fitnah terjadi, mereka berkata: 'Sammû lanâ rijâlakum' (sebutkan nama-nama rijâl [sanad] kalian), kemudian mereka melihat hadits Ahlussunnah dan mengambilnya, dan melihat hadits ahli bid'ah dan membuang hadits mereka."21 (2) Para shahabat menyeru generasi setelah mereka agar berhati-hati dalam menerima hadits dari para rawi. Mereka melarang mengambil hadits kecuali dari orang-orang yang kualitas ketakwaan dan kecermatan hafalannya tidak diragukan. Imam Ibnu Sîrîn berkata, "Sesungguhnya ilmu [sanad] ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu."22 Abdullah bin Al-Mubarak berkata: "Ilmu sanad ini adalah bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, siapa saja bisa berkata semaunya."23 Sa`d bin Ibrahim juga berkata, "Tidak diperkenankan meriwayatkan hadits Rasulullah Saw kecuali orang-orang 20
Ibnu Taimiyah, Minhâjus Sunnah, (Beirut: Dâr Al-Fadhîlah), 38 Muslim... 10 22 Ibid, hal. 11 23 Ibid. 21
yang tsiqât (kredibel dan terpercaya)."24 (3) Rihlah fî Thalab al-hadîts (pengembaraan mencari hadits) dengan tujuan mendengar hadits secara langsung dari sumber aslinya, membuktikan apakah benar seorang rawi pernah menyampaikan suatu hadits, sekaligus menilai kredibilitas rawi tersebut. Pekerjaan ini tentu bukan pekerjaan ringan. Kabar kegigihan mereka dalam mencari hadits banyak sekali dan sangat mencengangkan. Sampai-sampai hanya untuk membuktikan kebenaran suatu hadits, berbulan-bulan mereka harus menempuh perjalanan jauh, menyebrangi bermil-mil padang pasir yang membakar, dan musim dingin yang meremukkan tulang, dengan perbekalan dan alat transportasi sederhana. Sebagai contoh, Abu Ayyub Al-Anshari ra berdomisili di Madinah. Suatu ketika beliau pergi menemui `Uqbah bin `Âmir ra yang tinggal di Mesir hanya untuk membuktikan satu hadits yang pernah beliau dengar sendiri dari Rasulullah Saw, karena takut kalau ingatannya salah. Ketika sampai, beliau langsung bertanya kepada `Uqbah ra: "Rasulullah Saw telah bersabda kepada kita apa yang kudengar ini, tidak ada lagi [Shahabat] yang tersisa, yang pernah mendengarnya. Beliau berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, 'Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat'." Setelah Uqbah ra mengiyakan bahwa ia juga pernah mendengar hadits itu, Abu Ayyûb ra langsung pulang.25 Para shahabat telah memberikan teladan mulia bagi generasi tabiin setelah mereka untuk melakukan rihlah pencarian hadits, sehingga ulama generasi tabiin pun melakukan hal yang sama. Mereka melakukan rihlah untuk bertemu langsung dengan para shahabat demi meriwayatkan hadits langsung dari mereka. Al-Khathîb Al-Baghdâdi meriwayatkan dengan sanadnya, dari Saîd bin al-Musayyib berkata, "Sungguh aku telah menjadi tawanan siang dan malam, demi mencari satu hadits saja." Al-Khatîb Al-Baghdâdi menulis buku khusus tentang kabar para ulama yang menghabiskan umurnya untuk mengemban tugas ini. Buku tersebut beliau beri nama Ar-Rihlah fî Thalabil Hadîts. Demikianlah seterusnya tradisi keilmuan semacam ini diwariskan dari generasi ke generasi sehingga terlahirlah dalam umat Islma Ilmu Sanad atau `Ilmu al-Rijâl, atau ilmu Jarh wa Ta`dîl yang merupakan salah satu kajian utama dalam ilmu hadits. Terkenal di kalangan Shahabat yang menggeluti tradisi keilmuan ini, misalnya: Abdullah bin Abbâs, Ubâdah bin Ash-Shâmit, Anas bin Mâlik. Kemudian dilanjutkan oleh para ulama tabiin setelah mereka seperti: Sa`îd bin Al-Musayyib, Âmir Asy-Sya`bi, Ibnu Sîrîn dan lain-lain. Tradisi ilmiah mereka ini kemudian terus dilanjutkan oleh ulama-ulama hadits setelah mereka, dari generasi ke generasi. Kritik Hadits di Era Muhaddistûn (Ulama Ahli Hadits) Hadits-hadits pada dasarnya telah ditulis semenjak Nabi Saw masih hidup. Akan tetapi, hal ini khusus bagi shahabat-shahabat tertentu saja yang mendapat izin dari Nabi Saw untuk menulis, karena Nabi Saw melarang menulis hadits secara umum. Hal ini dimaksudkan agar para shahabat tidak mengenal baca tulis, tidak mencampur-adukkan Al-Quran yang memang diperintahkah untuk ditulis dengan hadits Nabi Saw yang dibacakan kepada mereka. Imam 24 25
24
Ibid. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Difâ` `an As-Sunnah, (Kairo: Maktabah As-Sunnah, 1989),
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Sa`d bi `Ubâdah ra bahwa ia memiliki shahîfah (lembaranlembaran) tulisan hadits dan sunnah Nabi Saw.26 Shahabat lain yang juga menulis hadits adalah Jâbir bin Abdullah Al-Anshâri. Imam Muslim meriwayatkan bahwa shahîfah tersebut berisi tentang manasik Haji.27 Shahifah paling terkenal yang juga ditulis di zaman Nabi Saw adalah Ash-Shahîfah Ash-Shâdiqah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Al-`Âsh ra. Ibnul Atsîr menyebutkan bahwa shahîfah tersebut berisi seribu hadits.28 Ketika Islam telah tersebar, bid`ah dalam agama mulai merebak, para shahabat terpencar ke seluruh penjuru negeri dan telah banyak yang meninggal, kemudian kekuatan hafalan semakin melemah, maka kodifikasi hadits-hadits Nabi Saw menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Maka ketika Umar bin Abdul Azîz menjadi khalifah, beliau memerintahkan agar hadits-hadits Nabi Saw ditulis. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah, Abu Bakr Muhammad bin Amr bin Hazm, "Lihatlah hadits-hadits Rasulullah Saw, dan tulislah. Karena aku khawatir ilmu-ilmu menjadi lenyap dan ulama-ulama meninggal dunia." Beliau juga memerintahkan agar menulis hadits-hadits yang ada pada Imrah binti Abdurrahmân Al-Anshâriyah (w. 98 H) dan Al-Qâshim bin Muhammad bin Abi Bakr (w. 120 H).29 Beliau juga mengirim surat kepada pejabat-pejabat beliau di berbagai kota-kota Islam, di antaranya kepada Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihâb AzZuhri (w. 124 H) seorang tokoh ulama di Hijâz dan Syâm. Kemudian penulisan hadits tersebar luas di berbagai penjuru negeri Islam, oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri, seperti Ibnu Juraij di Mekah (w. 150 H), Ibnu Ishâq (w. 151 H) dan Imam Mâlik (w. 178 H) di Madinah, Ar-Rabî` bin Shabîh (w. 160 H), Sa`îd bin Arûbah (w. 156 H) dan Hammâd bin Salâmah (w. 176 H) di Bashrah, Sufyân Ats-Tsauri (w. 161 H) di Kûfah, Al-Auzâ`i (w. 156 H) di Syâm, Husyaim (w. 188 H) di Wâsith, Ma`mar (w. 153 H) di Yaman, Jarîr bin Abdullah Al-Humaid (w. 188 H) di Ar-Rayy, Ibnul Mubârak (w. 181 H) di Khurrâsân dll. Mereka semua adalah ulama-ulama yang hidup pada abad kedua Hijriyah.30 Awal abad ketiga Hijriyah merupakan era kodifikasi hadits secara tersendiri, karena sebelumnya penulisan hadits sering diikutsertakan dengan penulisan fatwa-fatwa shahabat dan tabiin. Pada zaman inilah bermunculan ulama-ulama besar di bidang kritik hadits seperti Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma`în, Al-Bukhâri, Muslim dan lain-lain. Pada zaman ini juga hadits-hadits Rasulullah Saw sempurna dibukukan sepeti Kutub Al-Sittah dan sebagainya. Selain itu cabang-cabang ilmu hadits mulai dikembangkan. Mereka dengan gigih membela dan menjaga otentisitas hadits dari berbagai pemalsuan dan penyelewengan. Jika pada abad pertama para Shahabat cenderung mengkritisi matan hadits, tetapi pada zaman ini para ulama berusaha meneliti hadits yang mereka riwayatkan baik dari segi sanad maupun matan. Terutama karena kondisi yang tidak memungkinkan lagi untuk memisahkan kedua model kritik tersebut. Di bidang sanad mereka melahirkan ilmu canggih yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah peradaban manusia. Itulah ilmu Jarh wa Ta'dîl, (ilmu kritik 26
Shubhî Ash-Shâlih, Ulûmul Hadîts wa Mushthalahuh, (Beirut: 26, Dar al-`Ilm li al-Malâyîn, 2006), 24 Ibid... 26 28 Ibid... 27 29 Muhammad Abdul Azîz Al-Khauli, Târîkh Funûn al-Hadîts Al-Nabawi, (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1988), 37 30 Ibid... 38-40 27
kredibilitas dan otoritas râwi) yang dengannya mereka dapat memposisikan para râwi secara adil dan proporsional, sesuai dengan kedudukan yang pantas mereka sandang. Sedangkan dalam bidang matan, lahir ilmu-ilmu yang mengkaji matan hadits seperti syurûh al-hadîts yang begitu banyak: `ilal al-hadîts, gharîb al-hadits, asbâb wurûd al-hadîts, nâsikh al- hadîts wa mansûkhihi, muhkam wa mukhtalaf al-hadits, musykil al-âtsâr, dsb. Dengan berpijak pada ilmu-ilmu di atas, lahirlah istilah-istilah yang hubungannya dengan sanad, seperti, muttashil, musnad, mu`an`an, mu'annan, musalsal, âlî, nâzil, al-mazîd fî muttashil al-asânîd, mungqathi', mu`allaq, mu`dhal, mursal, mursal khafi, mudallas, dsb, serta yang berhubungan dengan matan seperti, hadits: qudsi, marfû`, mauqûf, maqthû`, ziyâdât al-tsiqât, syâdz, munkar, mudraj, mudhtharib, maqlûb, mushahhaf, mu`allal, syâdz,31 dsb. Kitab-kitab tentang jarh wa ta`dîl ini banyak sekali dan kita warisi sampai sekarang. Sebagian ada yang khusus berbicara tentang râwi-râwi yang dha`îf (lemah atau tidak kredibel), yaitu Kutub Al-Dhu'afâ', seperti kitab Al-Dhu`afâ karya masing-masing dari AlBukhâri, Al-Nasâ'i, Al-`Uqaili, Al-Dâraquthni, Al-Hâkim, Al-Sâji, Ibnu Hibbân, Al-Azdi, kitab Al-Kâmil karya Ibnu `Adi, dsb. Kemudian diikuti oleh ulama-ulama hadits belakangan seperti Imam Al-Dzahabi dalam karyanya, Mîzân al-I`tidâl dan dilengkapi oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisân al-Mîzân, dll. Selain itu, ada juga buku-buku yang khusus berbicara tentang Al-Tsiqât (rawi-rawi terpercaya yang memenuhi kriteria `adâlah dan dhabth), seperti kitab Al-Tsiqât karya Ibnu Hibbân, Ibnu Syâhîn, Al-`Ijli dan lain-lain. Ada juga yang menggabungkan antara keduanya seperti kitab At-Târîkh karya imam Al-Bukhâri dan Ibnu Abi Khaitsamah, Al-Jarh wa al-Ta'dîl karya Ibnu Abi Hâtim, Thabaqât Ibnu Sa`d, Al-Tamyîz karya imam Al-Nasâ'i, dsb. Semua istilah tersebut jika dilihat dari sisi shalahiyatuhu li al-hujjah (kelayakan sebagai argumen atau dalil) dapat diklasifikasi menjadi dua pembagian besar yaitu, hadits maqbûl (diterima) dan mardûd (ditolak). Hadits yang diterima meliputi hadits shahîh dan hasan dengan dua pembagian masing-masing, kemudian hadits yang mardûd meliputi seluruh hadits dha`îf dan hadits palsu. Tentunya pembagian yang banyak dan rumit ini membuktikan ketelitian dan kecermatan analisa para ulama hadits dalam mengkritisi sanad dan matan hadits. Kesimpulan Dari telah sekilas tentang sejarah kritik hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik hadits, baik terhadap sanad maupun matannya telah dilakukan oleh para shahabat dan ulama terdahulu dengan cermat dan telah menjadi metodologi periwayatan hadits yang tak bisa ditinggalkan. Kritik hadits dengan kedua modelnya (kritik sanad dan kritik matan) bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ini adalah ilmu yang sangat metodologis, obyektif dan terkodifikasi secara rapi.
31
Mudraj, mudhtharib, maqlûb, mushahhaf, mu'allal, syâdz, istilah-istilah tersebut juga digunakan dalam sanad-sanad bermasalah.