KRITERIA KESESUAIAN LAHAN UNTUK TIPE PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS JAGUNG DAN KACANG TANAH DI DAERAH BOGOR
DJADJA SUBARDJA SUTAATMADJA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor adalah karya saya sendiri dan belum diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Oktober 2005
Djadja Subardja Sutaatmadja NRP. 995033
ABSTRACT DJADJA SUBARDJA SUTAATMADJA. Land Suitability Criteria for Maize and Groundnut Based Land Utilization Types in the Bogor Area. Supervised by SUDARSONO as Chairman, SARWONO HARDJOWIGENO, SUPIANDI SABIHAM, HIDAYAT PAWITAN and BUDI MULYANTO as Members. The existing criteria of land suitability classification for maize and groundnut which have been used to evaluate of land suitability in Indonesia are too general and not used on spesified location of upland agriculture. The parameters and their ratings in the criteria were not tested and verified in the field especially their relationship to the production of crops, therefore the results of land suitability evaluation were often not suited to the potential of land and expected yields. The objectives of the research are: (1) to study the influence of variability of parent materials and soil development to land qualities and crop productivity of maize and groundnut, (2) to identify the limiting factors of defined landuse and minimum data set of land qualities for land suitability evaluation in the wet climate of upland agriculture, and (3) to create the land suitability criteria for maize and groundnut based land utilization types with low and medium inputs. Variability of parent materials and soil development strongly influenced the land qualities of nutrient retention and toxicity which are determined by land characteristics of pH, base saturation, and exchangeable aluminum. Land quality of nutrient availability, especially of available P, much more influenced by land management. The production of maize and groundnut on the low and medium input of the land utilization types were varied and influenced by variability of those parent materials and their soil developments. The crop productions on medium input were higher and significantly differed from the low input. The advanced stage of soil development tended to decrese the land qualities and crop productions. Productivity of the wet climate of upland agriculture was strongly influenced by the land qualities of nutrient availability, nutrient retention and toxicity. The production of maize on the low input was determined by land characteristics of pH, available P, and exchangeable aluminum, and the groundnut by available P, base saturation, and exchangeable aluminum. On the medium input, the crop production of maize is influenced by the land characteristics of pH and exchaneable aluminum, and the production of groundnut by the land characteristics of BS and exchangeable aluminum. The land suitability criteria for the defined land utilization types are created on base of: (1) the relevant land qualities, and (2) crop productivity of the area. By using the criteria indicate that the land suitability classes are suitable to the area and expected yields of the defined land utilization type. In case of the study area, the land qualities and land characteristics needed in the criteria are fewer than the existing criteria and therefore the processing of the land suitability evaluation could be done faster, easily and gave an accurately results. Especially, on the very acid soils developed on the acid sedimentary rock must be applied by fertilizer, organic matter and liming to improve land qualities of the soils.
ABSTRAK DJADJA SUBARDJA SUTAATMADJA. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor. Dibimbing oleh SUDARSONO sebagai Ketua, SARWONO HARDJOWIGENO, SUPIANDI SABIHAM, HIDAYAT PAWITAN dan BUDI MULYANTO sebagai Anggota. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman jagung dan kacang tanah yang telah ada untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan di Indonesia masih sangat umum dan tidak untuk spesifik lokasi. Parameter yang digunakan dan pengharkatannya belum dikaji di lapangan dan dihubungkan dengan produksi tanaman, sehingga seringkali terjadi hasil penilaian kesesuaian lahan tidak sesuai dengan potensi lahan dan produksi yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan: (1) mempelajari pengaruh keragaman bahan induk dan perkembangan tanah terhadap kualitas lahan dan tingkat produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah, (2) mengidentifikasi faktor-faktor pembatas penggunaan lahan dan kebutuhan minimum data kualitas lahan untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan di lahan kering beriklim basah, dan (3) menyusun kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada input rendah dan sedang. Keragaman bahan induk dan perkembangan tanah sangat mempengaruhi kualitas lahan retensi hara dan bahaya keracunan yang ditunjukkan oleh pH tanah, kejenuhan basa (KB) dan aluminium dapat tukar (Al-dd). Sedangkan kualitas lahan ketersediaan hara terutama P-tersedia lebih dipengaruhi oleh pengelolaan lahan. Produksi jagung dan kacang tanah pada tipe penggunaan lahan dengan input rendah dan sedang cukup bervariasi yang disebabkan oleh pengaruh keragaman bahan induk dan perkembangan tanahnya. Produksi tanaman pada input sedang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding dengan input rendah. Perkembangan tanah pada tahap lanjut menurunkan kualitas lahan dan produksi tanaman. Produktivitas lahan kering yang beriklim basah sangat ditentukan oleh kualitas lahan ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan. Karakteristik lahan yang sangat berpengaruh terhadap produksi jagung pada input rendah adalah, P tersedia, pH dan Al-dd, sedangkan terhadap kacang tanah adalah P tersedia, KB dan Al-dd. Pada input sedang, karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap produksi jagung adalah pH dan Al-dd, sedangkan untuk kacang tanah adalah P-tersedia dan KB. Kriteria kesesuaian lahan untuk masing-masing tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dapat disusun berdasarkan: (1) kualitas lahan, dan (2) tingkat produktivitas lahan. Evaluasi kesesuaian lahan dengan menggunakan kriteria tersebut menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang lebih sesuai dengan kondisi lahan dan produksi yang diharapkan. Kasus di lokasi penelitian diperlukan kualitas/karakteristik lahan yang lebih sedikit sehingga proses evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan lebih cepat dan mudah dengan hasil yang akurat. Usaha perbaikan lahan terutama pada tanah-tanah sangat masam dari batuan sedimen masam, diperlukan peningkatan ketersediaan hara, retensi hara dan mencegah bahaya keracunan aluminium, antara lain melalui pemberian pupuk, bahan organik dan pengapuran.
© Hak cipta milik Djadja Subardja Sutaatmadja, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
KRITERIA KESESUAIAN LAHAN UNTUK TIPE PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS JAGUNG DAN KACANG TANAH DI DAERAH BOGOR
DJADJA SUBARDJA SUTAATMADJA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi: Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor Nama : Djadja Subardja Sutaatmadja NRP : 995033
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Anggota
Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian: 30 September 2005
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor. Penelitian telah dilaksanakan sejak bulan Mei 2003 sampai dengan Juni 2004. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sudarsono M.Sc., sebagai Ketua Komisi Pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno M.Sc., Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham M.Agr., Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan M.Sc. dan Dr. Ir. Budi Mulyanto M.Sc., masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas semua bimbingan, masukan dan saran-saran yang sangat berharga. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada penguji Luar Komisi, yaitu Bapak Dr. Ir. M. Ardiansyah, Dr. Ir. Ernan Rustiadi dan Dr. Istiqlal Amien M.Sc., APU atas saran dan masukannya untuk perbaik an disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat dan Kepala Balai Penelitian Tanah atas pemberian izin belajar dengan biaya sendiri. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB dan peneliti di Kelompok Pedologi, Balai Penelitian Tanah yang telah memberikan dorongan semangat serta bantuan moril dan material selama penulis menyelesaikan studi. Akhirnya, penulis sampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas perhatian, pengertian, kesabaran serta doa restu dan kasih sayangnya kepada ibu tercinta Hj. Ratu Siti Aminah, bapak dan ibu mertua, isteri dan anak-anak tersayang serta kakak dan adik-adik semuanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Oktober 2005
Djadja Subardja Sutaatmadja
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 23 Nopember 1951 sebagai anak ke empat dari dua belas bersaudara dari pasangan H. Mochammad Sulaeman Sutaatmadja dan Hj. Ratu Siti Aminah. Pendidikan sarjana pertanian ditempuh di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1977. Pada tahun 1983, penulis mengikuti Postgraduate Course in Soil Survey di International Institute for Aerial Survey and Earth Sciences, Enschede, Belanda. Pada tahun 1986, penulis melanjutkan pendidikan S2 di tempat yang sama di Belanda dalam bidang evaluasi lahan dan lulus pada tahun 1987. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi ilmu tanah pada Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 1999. Izin belajar atas biaya sendiri diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Penulis bekerja sebagai peneliti bid ang genesis dan klasifikasi tanah pada Kelompok Peneliti Pedologi, Balai Penelitian Tanah sejak tahun 1975. Sebelumnya penulis pernah menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Publikasi, Pusat Penelitian Tanah (19911993), Pemimpin Proyek Penelitian Sumber Daya Lahan/LREP-II (1992-1997), Pemimpin Bagian Proyek Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan (1998-1999). Sekarang penulis sebagai Ahli Peneliti Madya pada Balai Penelitian Tanah sejak tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan program S3, penulis juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Himpunan Ilmu Tanah Indonesia dan Ketua Himpunan Alumni Dewi Sri-SPMA Negeri Bogor. Pada tahun 1980, penulis menikah dengan Nunung Sumiati dan dianugerahi empat orang anak, yaitu Komalawati S.P., Dian Mardiana S.T., Tris Sutrisna (wafat 20 April 1998) dan Raihan Yusuf.
Karya ilmiah ini kupersembahkan kepada isteri dan anak-anak yang kusayangi, ibunda tercinta, saudara-saudaraku serta ayah dan anakku yang telah tiada.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Hipotesis
4
Kegunaan Hasil Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
6
Karakteristik Lahan Kering
6
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan
7
Perkembangan Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan
9
Prosedur Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Lahan Kering
11
Kriteria Kesesuaian Lahan
12
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
15
Lokasi Penelitian
15
Keadaan Iklim
15
Geologi dan Bahan Induk
19
Keadaan Tanah
22
Penggunaan Lahan dan Pertanian
24
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
26
Tempat dan Waktu Penelitian
26
Metode Penelitian
26
Karakterisasi Lahan dan Identifikasi Tipe Penggunaan Lahan
26
Percobaan Lapangan
30
Evaluasi Kesesuaian Lahan
31
Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan
32
HASIL DAN PEMBAHASAN
35
Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Lahan Kering
35
Karakteristik Tanah pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah
38
Pengaruh Lereng dan Konservasi Tanah terhadap Bahaya Erosi
61
Tipe Penggunaan Lahan dan Produktivitas Lahan Kering
63
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan
68
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Produksi Tanaman
78
Pengaruh Kualitas Lahan terhadap Produksi Tanaman
84
Kelas Kesesuaian Lahan vs Kualitas Lahan
88
Kelas Kesesuaian Lahan vs Produksi Tanaman
91
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah
95
Penggunaan Kriteria Kesesuaian Lahan di Lokasi Penelitian
105
Kelebihan dari Kriteria Kesesuaian Lahan yang Dibangun
109
KESIMPULAN DAN SARAN
112
Kesimpulan
112
Saran-saran
112
DAFTAR PUSTAKA
113
LAMPIRAN
118
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kualitas/Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Kering
14
Data Iklim di Daerah Kabupaten dan Kota Bogor (Schmidt & Ferguson, 1951)
18
3
Keadaan Iklim di Daerah Penelitian
18
4
Jenis -jenis Tanah Utama di Daerah Kabupaten dan Kota Bogor
24
5
Luas dan Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor Tahun 2003 (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004)
25
Luas, Jenis Komoditas dan Produktivitas Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bogor Tahun 2003 (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004)
25
7
Sifat Morfologi, Kimia dan Mineralogi Tanah di Lokasi Penelitian
44
8
Sekuen Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian
50
9
Pendugaan Bahaya Erosi dan Erosi yang Diperbolehkan di Lokasi Penelitian
62
10
Produksi Rata-rata Jagung dan Kacang Tanah di Lokasi Penelitian
66
11
Kualitas Lahan pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian 69
12
Produksi Tanaman pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian
78
13
Kualitas Lahan dan Kebutuhan Optimum Tanaman
85
14
Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kualitas Lahan di Lokasi Penelitian
89
15
Hubungan Kelas Kesesuaian Lahan dengan Produksi Tanaman
92
16
Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Produksi Tanaman di Lokasi Penelitian
94
2
6
xii
17 18
19
20
21
22
23
Analisis Regresi Kuadratik antara Sifat -sifat Tanah dan Produksi Tanaman
97
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dengan Input Rendah
102
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dengan Input Sedang
102
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah dengan Input Rendah
103
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah dengan Input Sedang
103
Persamaan untuk Pendugaan Produksi Jagung dan Kacang Tanah di Lokasi Penelitian
104
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbas is Jagung dan Kacang Tanah Berdasarkan Tingkat Produktivitas Lahan di Lokasi Penelitian
105
24
Hubungan Kelas dan Produksi Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung di Lokasi Penelitian 106
25
Hubungan Kelas dan Produksi Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah di Lokasi Penelitian 106
26
Pendugaan Produksi dan Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah
108
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Peta Sebaran Lokasi Penelitian
16
2
Peta Geologi Daerah Bogor dan Sekitarnya
21
3
Peta Tanah Daerah Bogor
23
4
Bagan Alir Kegiatan Penelitian
27
5
Neraca Air untuk Tanaman Jagung dan Kacang Tanah di Cimanggu (a) Gunung Sindur (b), Jasinga (c) dan Jonggol (d) 36
6
Komposisi Mineral Pasir dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian
39
7
Difraktogram Liat dari Tanah Berbahan Induk Volkanik Intermedier (B1, B2) dan Batuan Sedimen Masam (B3, B4)
41
Difraktogram Liat dari Tanah Berbahan Induk Sedimen Basa (B5, B6, B7)
42
Distribusi Sifat Kimia Tanah: %-liat, pH, C-organik, P-total, K-total dan P-tersedia pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian
56
8
9
10
Distribusi S ifat Kimia Tanah: K-dd, Ca-dd, Mg-dd, KTK-tanah, Al-dd dan Kejenuhan Basa pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian 58
11
Produksi Jagung pada Input Rendah (TPL 1) dan Input Sedang (TPL 2) di Lokasi Penelitian
67
Produksi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Berb agai Jenis Tanah dan Tingkat Pengelolaan Lahan di Lokasi Penelitian
79
Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan vs Produksi Jagung Tanpa Input
90
12
13
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Kualitas/Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Kering (FAO, 1983)
118
2
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jagung (Djaenudin et al., 2003)
120
3
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Kacang Tanah (Djaenudin et al., 2003)
121
4
Uraian Morfologi Profil Tanah di Lokasi Penelitian
122
5
Komposisi Mineral Pasir dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian
129
6
Sifat Fisika Tanah dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian
130
7
Sifat Kimia Tanah dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian
131
8
Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 cm) di Lokasi Penelitian
133
9
Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 cm) pada Pertanaman Jagung dan Kacang Tanah
134
Perhitungan Besarnya Erosi (A) dan Erosi yang Diperbolehkan (T) di Lokasi Penelitian
135
11
Data Tinggi Tanaman dan Produksi Jagung di Lokasi Penelitian
136
12
Data Tinggi Tanaman dan Produksi Kacang Tanah di Lokasi Penelitian
138
13
Matriks Korelasi antara Sifat Kimia Tanah dan Produksi Jagung
140
14
Matriks Korelasi antara Sifat Kimia Tanah dan Produksi Kacang Tanah
141
10
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan nasional, pengembangan pertanian di lahan kering mempunyai harapan besar untuk mewujudkan pertanian yang tangguh di Indonesia, mengingat potensi dan luas lahannya yang jauh lebih besar daripada lahan sawah dan lahan gambut. Selain itu lahan kering sangat berpeluang untuk pengembangan berbagai komoditi andalan, namun sampai saat ini potensinya belum dimanfaatkan secara optimal. Bila dikelola dengan baik, lahan kering akan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penyediaan pangan nasional (Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian, 1998). Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Di Indonesia, lahan kering dapat dibedakan berdasarkan kondisi iklimnya, yaitu lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah mempunyai penyebaran sangat luas, meliputi 74,58 juta hektar dimana sekitar 49 juta hektar merupakan lahan datar sampai bergelombang yang potensial untuk pengembangan pertanian tanaman pangan (padi gogo dan palawija). Kendala utama yang sering dijumpai pada lahan kering beriklim basah adalah reaksi tanah masam, miskin hara, kandungan bahan organik rendah, kandungan besi dan aluminium tinggi yang melebihi batas toleransi tanaman serta peka erosi sehingga tingkat produktivitasnya rendah (Hidayat et al., 2000). Umumnya di Indonesia, faktor bahan induk tanah merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya terhadap sifat dan ciri tanah yang terbentuk serta potensinya untuk pertanian, selain faktor iklim dan topografi (Buol et al., 1980). Keragaman bahan induk tanah memberikan keanekaragaman sifat dan jenis tanah yang terbentuk. Proses pelapukan bahan induk pada kondisi iklim basah dengan suhu udara yang tinggi berjalan sangat intensif. Akibatnya tanah cepat berkembang membentuk tanah -tanah berlapukan tinggi. Terdapat tiga ordo tanah utama pada lahan kering beriklim basah yang potensial untuk pertanian, yaitu Inceptisol, Ultisol dan Oxisol (Subagyo et al., 2000). Soil Survey
Staff (1999) mengindikasikan sekuen perkembangan tanah dari yang lemah sampai
lanjut,
yaitu:
Entisol-Inceptisol-Alfisol-Ultisol-Oxisol
berdasarkan
diferensiasi horison bawah penciri. Perkembangan tanah yang semakin lanjut cenderung menurunkan kualitas dan tingkat kesesuaiannya untuk pertanian (Sys, 1978). Secara alami, keragaman bahan induk dan perkembangan tanah yang terus berlanjut akan berpengaruh terhadap tingkat kesesuaian lahan dan produksi pertanian. Penurunan produksi pertanian pada lahan kering dipengaruhi oleh tingkat perkembangan tanah y ang terus berlanjut dan dipercepat oleh adanya erosi yang terjadi secara alami atau karena penggunaan lahan yang tidak sesuai (Arsyad, 1989). Evaluasi
kesesuaian
lahan
sangat
diperlukan
dalam
perencanaan
penggunaan lahan kering agar lahan kering dapat digunakan secara produktif dan berkelanjutan. Potensi dan kendala penggunaan lahan dapat diidentifikasi sejak awal sehingga pengelolaan lahan dapat dilakukan lebih baik dan terarah sesuai dengan komoditas yang akan dikembangkan (FAO, 1976). Metoda evaluasi kesesuaian lahan telah banyak dikembangkan di Indonesia baik secara manual maupun komputerisasi. Beberapa sistem evaluasi kesesuaian lahan yang dikenal di Indonesia antara lain: Klasifikasi kemampuan lahan (Soepraptohardjo, 1970), Klasifikasi kesesuaian lahan secara parametrik (Driessen, 1971), Klasifikasi kesesuaian lahan untuk Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (Pusat Penelitian Tanah, 1983), Klasifikasi kesesuaian lahan untuk survei tanah tinjau (CSR/FAO, 1983), Land Evaluation Computer System (Wood dan Dent, 1983) dan Automated Land Evaluation System (Rossiter dan Wambeke, 1994). Namun metode yang ada masih beragam dan belum baku, sehingga bila diterapkan pada lahan yang sama seringkali memb erikan hasil yang berbeda. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan dalam penetapan parameter dan kriteria kesesuaian lahan serta pengambilan keputusan dalam klasifikasi kesesuaian lahan (Hardjowigeno et al., 1999). Kriteria kesesuaian lahan yang telah ada untuk berb agai komoditas pertanian di Indonesia masih bersifat umum, disusun berdasarkan kompilasi data dan pengalaman empiris terhadap penggunaan lahan yang tidak spesifik lokasi dengan mengacu banyak kepada publikasi dari luar negeri, antara lain FAO (1976,
2
1983) dan Sys et al. (1993). Penilaian kesesuaian lahan umumnya dilakukan secara fisik-kualitatif dan belum dilakukan pengkajian secara mendalam di lapangan terutama yang berkaitan dengan jenis dan jumlah parameter-parameter yang digunakan dalam kriteria kesesuaian lahan tersebut dan hubungan kelas kesesuaian lahan dengan produksi tanaman pada tingkat pengelolaan tertentu. Kriteria kesesuaian lahan yang telah ada dapat digunakan sebagai acuan umum, terutama pada lahan-lahan yang belum dibuka untuk pertanian, namun dalam penggunaannya masih perlu disesuaikan dengan kondisi setempat yang mencakup pertimbangan ketersediaan data kualitas lahan serta jenis tanaman atau tipe penggunaan lahan (TPL) yang diusahakan petani. Tanaman jagung (Zea mays L.) dan kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman pangan utama yang sangat strategis dikembangkan di lahan kering setelah padi. Kebutuhan akan jagung dan kacang tanah untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri terus meningkat sejak tahun 90-an sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan baku industri makanan dan minyak goreng. Tingkat produksi nasional untuk kedua komoditas ini masih rendah dan belum dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri sehingga sampai saat ini masih terus diimpor. Pada tahun 2002 Indonesia mengimpor sekitar 2 juta ton jagung pipilan kering (Suprapto dan Marzuki, 2004) dan 200.000 ton kacang tanah (Sumarno, 2003). Berdaasarkan hal tersebut, maka penelitian tentang : “Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor” sangat diperlukan untuk perbaikan kriteria kesesuaian lahan yang telah ada dan pengembangan metode evalu asi kesesuaian lahan yang lebih bersifat kuantitatif dan spesifik lokasi dalam upaya mencari alternatif teknologi pengelolaan lahan yang lebih sesuai dan dapat meningkatkan produktivitas lahan kering secara optimal dan berkelanjutan.
3
Tujuan Penelitian 1. Mempelajari pengaruh keragaman bahan induk dan perkembangan tanah terhadap kualitas lahan dan tingkat produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor pembatas penggunaan lahan dan kebutuhan minimum data kualitas lahan untuk evaluasi kesesuaian lahan pada lahan kering beriklim basah.
3. Menetapkan kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada tingkat pengelolaan lahan dengan input rendah dan sedang berdasarkan kualitas lahan yang tepat dan produksi tanaman.
Hipotesis
1. Keragaman bahan induk dan perkembangan tanah sangat berpengaruh terhadap kualitas lahan dan tingkat produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah.
2. Faktor pembatas penggunaan lahan dan kebutuhan minimum kualitas lahan untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan akan berbeda dalam jenis dan jumlahnya pada setiap lokasi dan tipe penggunaan lahannya.
3. Kriteria kesesuaian lahan yang telah ada untuk tanaman jagung dan kacang tanah masih terlalu umum dan tidak spesifik lokasi sehingga sering tidak sesuai dengan potensi dan atau produkstivitas lahan kering.
Kegunaan Hasil Penelitian
Keluaran hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) memberikan informasi tentang potensi dan tingkat produktivitas lahan kering, khususnya untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada tingkat pengelolaan
4
tertentu, (2) mengetahui pengaruh kualitas lahan dari bahan induk dan perkembangan tanah yang berbeda terhadap produksi tanaman pangan, (3) memperbaiki dan mengembangkan kriteria kesesuaian lahan kering yang lebih kuantitatif khususnya untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada tingkat pengelo laan tertentu. Dengan demikian, maka potensi, kendala dan tindakan pengelolaan lahan yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat produksi tanaman pangan yang optimal dapat diketahui secara tepat, sehingga produktivitas lahan kering dapat ditingkatkan dan program ketahanan pangan khususnya di daerah Bogor dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
5
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Berdasarkan iklimnya, lahan kering dibedakan atas lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah mempunyai curah hujan relatif tinggi (> 1500 mm/tahun) dengan masa hujan lebih lama dan tanpa kemarau yang jelas (Hidayat et al., 2000). Menurut Schmidt dan Ferguson (1951), wilayah yang beriklim basah dapat diklasifikasikan ke dalam tipe hujan A, B dan C. Pada kondisi iklim demikian, umumnya curah hujan lebih tinggi dari evapotranspirasi sehingga faktor curah hujan yang erat kaitannya dengan faktor ketersediaan air untuk tanaman tidak merupakan faktor pembatas dalam penggunaan lahan untuk pertanian. Dalam tanah demikian selalu tersedia air dan tanaman tidak akan pernah mengalami kekeringan dalam waktu lama. Keadaan kelembaban tanah tersebut dalam Taksonomi Tanah termasuk ke dalam regim kelembaban tanah udic (Soil Survey Staff, 1999). Di Indonesia, lahan kering yang beriklim basah mempunyai penyebaran yang sangat luas, meliputi 74,58 juta hektar, dimana sekitar 49,05 juta hektar merupakan
lahan
datar
sampai
bergelombang
yang
berpotensi
untuk
pengembangan pertanian tanaman pangan (Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian, 1998). Selain potensi dan luas lahannya yang jauh lebih besar dari lahan sawah dan lahan gambut, lahan kering juga sangat berpeluang untuk pengembangan berbagai komoditas andalan yang hingga kini belu m dimanfaatkan secara optimal. Umumnya di lahan kering, faktor iklim terutama curah hujan dan suhu udara, topografi, keragaman bahan induk dan tanah sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Kendala utama yang sering dijumpai pada lahan kering beriklim basah adalah tingkat produktivitasnya rendah, dicirikan oleh tanah yang berlapukan lanjut, solum tebal, berwarna kemerahan, kadar liatnya tinggi, reaksi tanah masam, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah, miskin hara terutama fosfor, kandungan bahan organik rendah, kandungan besi dan aluminium
tinggi yang melebihi batas toleransi tanaman serta peka erosi (Hidayat et al., 2000). Walaupun tantangan dan kendala dalam pengembangan pertanian di lahan kering terasa berat, namun tetap dijadikan
harapan besar bagi keberhasilan
pertanian di masa datang mengingat lahan-lahan persawahan berlanjut
telah
dikonversi
menjadi
lahan
non-pertanian,
subur secara sementara
produktivitasnya telah mengalami pelandaian dan cenderung menurun akibat pemberian pupuk yang berlebihan (Adiningsih et al., 2000).
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan
Di wilayah tropika basah, termasuk Indonesia, selain faktor iklim dan topografi, faktor bahan induk tanah merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya terhadap sifat dan ciri tanah yang terbentuk serta potensinya untuk pertanian (Buol et al., 1980). Keragaman bahan induk tanah memberikan keanekaragaman sifat dan jenis tanah yang terbentuk. Menurut peta sumberdaya tanah Indonesia tingkat eksplorasi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000) tercatat bahwa di Indonesia ditemukan 10 ordo tanah dari 12 ordo tanah yang tersebar di dunia. Tiga ordo tanah di antaranya yaitu Inceptisol, Ultisol dan Oxisol merupakan tanah -tanah pertanian utama di lahan kering yang berkembang dari batuan volkanik dan batuan sedimen (Subagyo et al., 2000). Dudal dan Soepraptohardjo (1957) mengklasifikasikan tanah -tanah tersebut sebagai Podsolik Merah Kuning dan Latosol. Buol et al. (1980) dan Mohr et al. (1972), menyatakan bahwa sifat bahan induk dari batuan volkanik dan batuan sedimen dapat dibedakan berdasarkan komposisi dan cadangan mineralnya. Secara umum, batuan volkanik mengandung banyak felspar dan sedikit kuarsa, sedangkan batuan sedimen tersusun dari banyak mineral kuarsa keruh dan sangat sedikit felspar. Cadangan mineral atau jumlah mineral dapat lapuk dari tanahtanah yang berkembang dari batuan sedimen umumnya sangat rendah bila dibandingkan dengan batuan volkanik dan didominasi oleh mineral resisten terutama kuarsa keruh. Pengaruh bahan induk terhadap sifat-sifat tanah lebih terlihat jelas pada tanah -tanah di daerah kering atau tanah -tanah muda, sedangkan
7
pada tanah -tanah di daerah lebih basah atau tanah -tanah tua, hubungan bahan induk dengan sifat-sifat tanahnya menjadi kurang jelas (Hardjowigeno, 1993). Proses pelapukan bahan induk tanah pada kondisi iklim basah dengan curah hujan dan suhu udara tinggi berjalan sangat intensif. Akibatnya tanah cepat berkembang membentuk tanah-tanah yang berlapukan tinggi, dicirikan oleh solum tanah dalam, berwarna coklat kemerahan sampai merah, kandungan liat tinggi, masam, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah, miskin hara, cadangan mineral rendah, kandungan besi dan aluminium tinggi, mineral liat didominasi oleh tipe 1:1 (Subagyo et al., 2000). Tingkat perkembangan tanah diekpresikan oleh diferensiasi horison (Soil Survey Staff, 1993), tingkat pelapukan batuan induk dan muatan koloid tanah (Mohr et al., 1972; Sys, 1978) serta umur pembentukan tanah (Hardjowigeno, 1993). Pada tingkat perkembangan tanah lanjut, pelapukan bahan induk mencapai tingkat akhir, dicirikan oleh diferensiasi horison yang jelas, solum dalam, kandungan liat tinggi, cadangan mineral sangat rendah dan hanya mineral resisten yang tertinggal, KTK liat sangat rendah (<16 cmol(+)/kg liat), kandungan besi dan aluminium bebas meningkat tinggi, susunan mineral liat didominasi oleh kaolinit, goethit, disertai dengan meningkatnya muatan tergantung pH. Soil Survey Staff (1999) menghubungkan sekuen perkembangan tanah dengan ordo -ordo tanah dalam Taksonomi Tanah mulai dari yang lemah sampai yang lanjut berdasarkan pembentukan horison bawah pencirinya
yaitu
Entisol-Inceptisol-Alfisol-Ultisol-Oxisol.
Semakin
lanjut
perkembangan tanah cenderung menurunkan kualitas lahan dan tingkat kesesuaiannya untuk pertanian. Tanah yang berlapukan lanjut memiliki daya dukung yang lebih rendah bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Hasil penelitian Firmansyah (1997) di perkebunan tebu Pelaihari, Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa produksi hablur gula dari tanah-tanah yang mempunyai horison kambik (Dystropept) dan argilik (Plinthohumult) lebih tinggi dari pada tanah-tanah yang mempunyai horison oksik (Hapludox). Penurunan kualitas lahan terutama ditandai oleh penurunan kesuburan tanah (ketersediaan hara), retensi hara, bahaya keracunan aluminium dan pemadatan tanah akibat akumulasi liat. Sys (1978) melaporkan pengaruh tingkat pelapukan bahan induk tanah terhadap
8
penurunan kualitas lahan yang mengakibatkan terjad inya penurunan produksi pada beberapa tanaman pangan daerah tropika.
Perkembangan Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan atau sering disebut evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi atau kelas kesesuaian suatu lahan untuk tujuan penggunaan lahan tertentu. Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan karakteristik atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (FAO, 1976). Dengan cara ini maka akan diketahui potensi atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Hasil evaluasi kesesuaian lahan dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan penggunaan tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya selain dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan dan lingkungannya, juga dapat meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah-masalah sosial dan ekonomi lainnya (Hardjowigeno et al., 1999). Metode evaluasi kesesuaian lahan telah banyak dikembangkan di Indonesia baik secara manual maupun komputerisasi. Soil Conservation Service, USDA mula-mula memperkenalkan sistem kemampuan lahan atau land capability (Klingebie l
dan
Montgomery,
1961).
Dalam
sistem
ini
satuan
lahan
dikelompokkan ke dalam delapan kelas (I sampai dengan VIII) berdasarkan kemampuannya untuk memproduksi tanaman-tanaman pertanian dan rumput makanan ternak tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Sistem ini diadopsi oleh Soepraptohardjo (1970) dan diterapkan di Lembaga Penelitian Tanah untuk pemetaan tanah tingkat tinjau dan eksplorasi di sebagian wilayah Indonesia. Selanjutnya FAO (1976) dalam Framework of Land Evaluation memperkenalkan
sistem
klasifikasi
kesesuaian
lahan
(land
suitability
classification ) untuk jenis penggunaan tertentu yang banyak dianut dan dikembangkan di Indonesia. Dalam sistem ini, klasifikasi kesesuaian lahan terbagi dalam ordo sesuai (S) dan ordo tidak sesuai (N). Ordo sesuai dibagi lagi ke dalam
9
tiga kelas berdasarkan besarnya faktor pembatas, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Pada tahun 1983, Pusat Pen elitian Tanah mengembangkan sistem evaluasi kesesuaian lahan untuk pemetaan tanah tingkat semidetil (skala 1:50.000) untuk tujuan proyek transmigrasi di luar Jawa yang merupakan modifikasi dari konsep FAO (1976). Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan parameter karakteristik lahan dan pengharkatannya disesuaikan dengan kebutuhan evaluasi kesesuaian lahan untuk padi sawah, tanaman pangan lahan kering dan tanaman perkebunan. Dalam tahun yang sama, Pusat Penelitian Tanah dan FAO (CSR/FAO, 1983) mengembangkan pula sistem evaluasi lahan untuk pemetaan tanah tingkat tinjau (skala 1:250.000) dalam Atlas Format Procedures, dimana disajikan kriteria kesesuaian lahan untuk 23 jenis tanaman pertanian dan 10 jenis tanaman kehutanan. Kriteria-kriteria tersebut walaupun belum diuji kebenarannya di lapangan, namun telah digunakan secara luas di Indonesia, bahkan diterapkan juga pada pemetaan tanah tingkat semidetil. Dari sistem ini kemudian Wood dan Dent (1983) membangun suatu sistem evaluasi lahan dengan komputer yang disebut LECS (Land Evaluation Computer System). Selanjutnya Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat pada tahun 1993 membuat petunjuk teknis evaluasi lahan untuk pemetaan tanah tingkat tinjau, semidetil dan detil yang dilakukan secara manual. Selain itu, dua tahun kemudian melalui kegiatan Proyek LREP-II (Second Land Resources Evaluation and Planning Project) telah dikembangkan juga sistem ALES (Automated Land Evaluation System ) yang berasal dari Amerika Serikat (Rossiter dan Wambeke, 1994). Sistem ini menggunakan sistem pakar dan telah berkembang cepat. Semula hanya ditujukan untuk keperluan pemetaan tanah tingkat semidetil di daerah -daerah prioritas pengembangan di 17 provinsi di Indonesia, namun belakangan ini telah dikembangkan dan digunakan juga untuk berbagai keperluan dan berbagai skala pemetaan tanah di Indonesia. Terlepas dari perkembangan beberapa sistem evaluasi lahan yang telah ada, namun masih dirasakan perlunya kriteria evaluasi lahan yang tepat. Dengan tidak adanya metode evaluasi lahan yang tepat seringkali lahan -lahan yang sama diklasifikasikan ke dalam kelas kesesuaian lahan yang berbeda, bahkan kadangkadang saling bertentangan. Hal ini sangat membingungkan pengguna karena sulit
10
memilih sistem mana yang harus dianut. Terjadinya perbedaan dalam hasil penilaian kesesuaian lahan tersebut antara lain disebabkan oleh: (1) perbedaan terhadap faktor-faktor yang dinilai yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, (2) perbedaan pengharkatan dalam penilaian karakteristik lahan, (3) perbedaan dalam sistem klasifikasi yang digunakan, dan (4) perbedaan dalam metode pengambilan keputusan, antara lain metode penghambat maksimum atau metode parametrik (Hardjowigeno et al., 1999). Disamping itu juga kriteria kesesuaian lahan yang telah ada masih bersifat umum dan disusun berdasarkan pengalaman empiris yang belum dikaji di lapangan dan disesuaikan dengan produksi tanaman pada tipe penggunaan lahan tertentu. Kriteria kesesuaian lahan tersebut digunakan pada berbagai kondisi lahan, baik pada lahan kering maupun lahan basah atau lahan gambut. Prosedur umum tentang evaluasi lahan untuk pertanian lahan kering telah banyak dibahas oleh FAO (1983), namun kriteria kesesuaian lahan yang spesifik lokasi untuk tanaman pangan di lahan kering khususnya jagung dan kacang tanah belum dikemukakan. Spesifik lokasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan kering yang beriklim basah pada dataran rendah, datar atau diteras, sudah digunakan sebagai lahan pertanian tanaman pangan dengan tipe penggunaan lahan tertentu yang dibedakan berdasarkan jenis komoditas, pola tanam, tujuan produksi, dan besarnya input produksi yang diberikan terutama pupuk.
Prosedur Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Lahan Kering
Prosedur evaluasi kesesuaian lahan untuk lahan kering secara umum telah dikemukakan oleh FAO (1983) namun prinsipnya hampir sama seperti dikemukakan dalam Kerangka Acuan Evaluasi Lahan menurut FAO (1976). Perbedaan yang mendasar dari prosedur ini hanya terletak pada penentuan tipe penggunaan lahan dan pemilihan kualitas lahan yang ditekankan pada lahan kering. Dengan demikian maka penggunaan beberapa komoditas pertanian seperti padi sawah dan atau kualitas lahan yang tidak relevan dengan lahan kering tidak digunakan lagi, seperti kualitas lahan gambut. Berdasarkan tujuannya, evaluasi kesesuaian lahan dapat dibedakan berdasarkan tingkat pemetaan atau ketersediaan data, cara penilaian dan kondisi
11
saat penilaian. Berdasarkan tingkat pemetaan tanah/lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat tinjau skala 1:250.000, tingkat semi detil skala 1:50.000 dan tingkat detil skala lebih besar dari 1:25.000 (Djaenudin et al., 2003). Jenis, jumlah dan kualitas data yang dihasilkan dari ketiga tingkat pemetaan tersebut sangat bervariasi, sehingga penyajian hasil evaluasi kesesuaian lahan ditetapkan sebagai berikut: pada tingkat tinjau dinyatakan dalam ordo, tingkat semi detil dalam kelas/subkelas dan pada tingkat detil dinyatakan dalam subkelas/subunit. Dari cara penilaiannya, dikenal dua macam kesesuaian lahan yaitu kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan kuantitatif (FAO, 1976). Dalam penilaian kesesuaian lahan kuantitatif, hasil pen ilaian kelas kesesuaian lahan telah dihubungkan dengan besarnya produksi tanaman (secara fisik-kuantitatif) atau keuntungan dalam bentuk uang yang akan diterima petani (ekonomi). Masingmasing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual (saat ini) maupun potensial, yang menghasilkan kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual dihasilkan dari evaluasi kesesuaian lahan pada kondisi aktual (saat sekarang), tanpa masukan perbaikan, sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang dihasilkan dari penilaian pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan sesuai dengan jenis faktor pembatasnya.
Kriteria Kesesuaian Lahan
Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan tujuan evaluasi dan persyaratan penggunaan lahan dari suatu tipe penggunaan lahan tertentu yang dihubungkan dengan kualitas lahan. Kualitas lahan terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan yang berpengaruh langsung terhadap penggunaan lahan dari suatu wilayah. Kriteria kesesuaian lahan digunakan untuk menilai atau memprediksi potensi atau kelas kesesuaian lahan dari wilayah yang bersangkutan. Persyaratan penggunaan lahan dalam pengertian kualitas lahan meliputi persyaratan tumbuh tanaman, persyaratan pengelolaan dan konservasi lahan. Setiap tipe penggunaan lahan memerlukan persyaratan penggunaan lahan yang berbeda untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Pemilihan
12
kualitas/karakteristik lahan yang dibutuhkan untuk evaluasi kesesuaian lahan sangat ditentukan oleh tujuan evaluasi, relevansi, ketersediaan dan kualitas data yang dihasilkan dari kegiatan penelitian atau pemetaan sumberdaya lahan. FAO (1983) secara umum telah menginventarisasi sejumlah 25 kualitas lahan beserta karakteristik lahannya yang dibutuhkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering.seperti tertera pada Lampiran 1. Namun demikian, untuk keperluan
evaluasi
lahan
yang
lebih
spesifik
lokasinya
perlu
dipilih
kualitas/karakteristik lahan yang relevan dengan tujuan evaluasi dan ketersediaan data di suatu wilayah. Kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan CSR/FAO (1983), Wood dan Dent (1983) dan Djaenudin et al. (2003) baru sebagian saja dari sejumlah kualitas lahan yang dikemukakan FAO (1983), seperti tertera pada Tabel 1. Kualitas lahan dan karakteristik lahan lainnya dapat ditambahkan atau dikurangi bila diperlukan sesuai dengan tujuan evaluasi dan kondisi lahannya. Djaenudin et al. (1994, 2000, 2003) telah menetapkan dan menyusun kriteria kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas pertanian berdasarkan kualitas/karakteristik lahan yang relevan dengan kondisi wilayah di Indonesia. Contoh kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman jagung dan kacang tanah yang disusun Djaenudin et al. (2003) disajikan pada Lampiran 2 dan 3. Kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan tersebut terdiri dari 12 macam kualitas lahan dan 22 karakteristik lahan. Kriteria yang disusun masih bersifat umum dan berlaku untuk berbagai kondisi lahan, baik lahan kering maupun lahan basah (lahan sawah) atau lahan gambut serta hasil penilaiannya masih bersifat fisik-kualitatif.
Pemilihan
kualitas/karakteristik
lahan,
pengharkatan
dan
pengelompokannya ke dalam kelas-kelas kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan pengalaman empiris dan belum dikaji di lapangan terutama mengenai hubungan antara kelas kesesuaian lahan dengan produksi tanaman pada tingkat pengelolaan tertentu. Perbedaan dalam tingkat pengelo laan lahan umumnya dibedakan berdasarkan tingkat pemberian input produksi, terutama pemberian pupuk untuk perbaikan kesuburan tanah (FAO, 1983). Berdasarkan kualitas lahan yang telah diidentifikasi untuk pertanian lahan kering (Tabel 1), beberapa kualitas lahan yang relevan dan perlu dikaji lebih mendalam di lahan kering beriklim basah untuk tipe
13
penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah di daerah Bogor adalah ketersediaan air, ketersediaan oksigen, media perakaran , ketersediaan hara, retensi hara, bahaya keracunan, dan bahaya erosi. Ketersediaan hara dan bahaya keracunan aluminium yang cukup berpengaruh pada produktivitas lahan kering (FAO, 1983; Wood dan Dent, 1983; dan Sys et al., 1993) belum terakomodasi dalam kriteria kesesuaian lahan yang dis usun oleh Djaenudin et al. (2003). Tabel 1. Kualitas/Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Kering FAO (1983)
CSR/FAO (1983)
Suhu udara: Suhu udara Ketersediaan air: Curah hujan LGP Neraca air Ketersediaan oksigen: Drainase tanah Masa jenuh air Ketersediaan hara: N-total P-tersedia K-dd pH Rasio Fe2O3/liat Daya retensi hara: KTK tanah Total basa Kelas tekstur Kondisi perakaran: Kedalaman efektif Penetrasi akar Berat isi Bahaya keracunan: Kejenuhan Al pH Pengolahan tanah: Tekstur lapisan atas Bahaya erosi: Lereng Besarnya erosi
Rejim suhu : Suhu tahunan Ketersediaan. air: Bulan kering Curah hujan Kondisi perakaran: Kelas drainase Tekstur Kedalaman perakaran Retensi hara: KTK tanah pH Ketersediaan. hara: N-total P-tersedia K-dd Toksisitas: Salinitas/DHL Terrain: Lereng Batuan dipermu kaan Singkapan batuan
Wood dan Dent (1983) Rejim suhu: Suhu bulanan Rejim air: LGP Curah hujan Retensi hara: KTK tanah pH Ketersediaan. hara: N-total P-tersedia K-dd Salinitas : Salinitas/DHL pH Toksisitas: pH Kondisi perakaran: Kedalam. akar Kelas drainase Kelas tekstur
Sys et al. (1993) Suhu udara: Suhu udara Elevasi Ketersed. air : Curah hujan Bulan kering Kelemb. udara Kondisi perakaran: Kedalaman tanah Kelas drainase Tekstur Bahan kasar Retensi hara: KTK liat KB pH C-organik Bahaya keracunan: Aluminium Salinitas/DHL Alkalinitas Bahaya erosi: Lereng Bahaya erosi Penyiapan lahan: Batuan di permukaan Singkapan batuan
Djaenudin et al. (2003) Suhu udara: Suhu rerata Ketersediaan air: Curah hujan tahunan Kelembaban udara Ketersediaan oksigen: Kelas drainase Media perakaran: Kelas tekstur Bahan kasar Kedalaman tanah Retensi hara: KTK liat KB pH C-organik Toksisitas: Salinitas/DHL Sodisitas: Alkalinitas/ESP Bahaya erosi: Lereng Bahaya erosi Bahaya banjir: Genangan Penyiapan lahan: Batuan dipermukaan Singkapan batuan
14
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Penelitian Daerah Kabupaten dan Kota Bogor secara geografis terletak pada 6o 19’ – 6o 47’ Lintang Selatan dan 106o 21’ - 107o 13’ Bujur Timur, dengan luas wilayah 334.378 ha (Setda Kabupaten Bogor, 2001). Wilayahnya bervariasi dari datar sampai berbukit dan bergunung. Ketinggian tempat dari permukaan laut berkisar dari 25 m di bagian utara sampai 2500 m di bagian selatan pada dataran tinggi Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Lokasi penelitian secara administratif termasuk ke dalam 4 Kecamatan, yaitu di Kecamatan Kota Bogor Barat, Kecamatan Gunung Sindur, Jasinga dan Jonggol,
Kabupaten
Bogor.
Berdasarkan
perbedaan
bahan
induk
dan
perkembangan tanah, telah ditetapkan 7 lokasi penelitian, yaitu 2 lokasi mewakili bahan in duk volkanik, yaitu di Cimanggu (B1) dan Gunung Sindur (B2), 2 lokasi di Jasinga yaitu di Desa Cikopomayak (B3) dan Tegalwangi (B4) mewakili bahan induk batuan sedimen masam, dan 3 lokasi di Jonggol yang mewakili bahan induk batuan sedimen basa (batu gamping), yaitu di sebelah Kebun Penelitian Peternakan IPB (B5), di Kampung Ciukuy-Cijambe (B6) dan di Kampung Melati (B7), Desa Singasari (Peta 1).
Keadaan Iklim
Keadaan iklim daerah penelitian dan umumnya di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor relatif hampir sama, yaitu mempunyai curah hujan cukup tinggi (2300-4900 mm per tahun) dan hampir merata sepanjang tahun. Jumlah bulan bulan basah (>100 mm) lebih dari 9 bulan, bahkan di sekitar Kota Bogor hampir tidak ada bulan kering (< 60 mm). Suhu udara rata-rata berkisar dari 25-27 oC. Kelembaban udara tergolong lembab, lebih dari 70%. Menurut Schmidt dan Ferguson (1951), berdasarkan hasil pencatatan data iklim selama 20 tahunan (1930-1950), tipe hujan di daerah penelitian dan sekitarnya tergolong tipe A dan B (Tabel 2). Tipe hujan A tergolong cukup basah, mempunyai rasio rata-rata jumlah
bulan-bulan kering dan bulan basah sebesar 0-14,3%, sedangkan tipe hujan B relatif lebih kering, mempunyai rasio jumlah bulan kering dan bulan basah sebesar 14,3-33,3%. Koppen (dalam Schmidt dan Ferguson, 1951) menggolongkannya ke dalam tipe iklim Afa, yaitu termasuk ke dalam tipe iklim hujan tropika dengan periode kering tidak nyata, curah hujan bulanan di musim kemarau masih di atas 60 mm dan suhu udara rata-rata bulanan di atas 22oC. Data iklim terbaru daerah penelitian selama periode 1956-2000 dari Badan Meteorologi dan Geofisika dan hasil pengukuran Balai Penelitian Agroklimat, Bogor (Tabel 3) menunjukkan bahwa secara umum di wilayah Kabupaten Bogor mengalami sedikit perubahan iklim, khususnya terhadap curah hujan tahunan di Jasinga, Gunung Sindur dan Jonggol yang cenderung menurun. Data iklim yang lengkap untuk daerah penelitian hanya diperoleh dari stasiun iklim Cimanggu, Bogor terdiri dari data curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan radiasi matahari sedangkan di stasion iklim lainnya hanya diperoleh data curah hujan bulanan. Data suhu udara untuk stasiun iklim lainnya ditetapkan berdasarkan rumus Braak (dalam Mohr et al., 1972), yaitu setiap kenaikan/penurunan tinggi tempat 100 m dari permukaan laut akan terjadi penurunan/kenaikan suhu udara sebesar 0,6oC. Pada Tabel 3 terlihat bahwa iklim di sekitar Cimanggu, Bogor (240 m dpl) dicirikan oleh curah hu jan tahunan yang cukup tinggi yaitu 4414 mm dan curah hujan bulanan hampir merata sepanjang tahun, tanpa bulan kering yang nyata. Curah hujan terendah pada bulan Juli sebesar 193 mm. Suhu udara rata-rata bulanan 26,8 oC, dan kelembaban udara rata-rata bulanan 77%. Curah hujan tahunan di Gunung Sindur (90 m dpl), Jasinga (90 m dpl) serta Jonggol (123 m dpl) lebih rendah, masing-masing sebesar 2187 mm, 2910 mm dan 2922 mm. Curah hujan terendah jatuh pada bulan Juni dan Juli, namun masih di atas 60 mm.
17
Tabel 2. Data Iklim di Daerah Kabupaten dan Kota Bogor (Schmidt & Ferguson, 1951) Jumlah
2
Jasinga (90 m)
0,5
10,9
4,5
A
Afa
Jumlah Curah Hujan (mm) 3.348
16
Cigudeg (320 m)
0,5
11,1
4,5
A
Afa
3.515
36a
Parung (103)
1,5
9,9
15,1
B
Afa
2.712
36c
Gunung Sindur (90 m) 1,5
9,8
15,3
B
Afa
2.725
48
Kebun Raya (237 m)
0,3
11,5
2,6
A
Afa
4.117
87
Jonggol (123 m)
1,1
10,4
10,5
A
Afa
3.516
No Stasion Iklim
Nama Stasiun Iklim
BK
BB
Nilai Q
Tipe Tipe Iklim Hujan (S&F) Koopen
Keterangan: BK: Bulan Kering, BB: Bulan Basah, Q = BK/BB x 100
Tabel 3 Keadaan Iklim di Daerah Penelitian (Badan Meteorologi dan Geofisika, 1956-1986; Balai Penelitian Agroklimat, 1990-2000) Un sur
Jan
CH
472
378
412
479
396
259
193
248
237
505
HH
24
19
19
19
15
10
9
9
9
KR
84
82
80
80
78
76
73
71
SU
25,8
26,0
26,6
26,9
27,4
27,1
27,0
KA
0,7
0,7
0,8
0,7
0,7
0,8
RM
254
278
350
352
362
352
ET
3,52
3,60
3,77
3,52
3,60
3,67
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Des
Tahun
477
358
4.414
18
21
21
193
71
75
79
80
77
27,1
27,5
27,2
26,7
26,5
26,8
0,9
1,0
1,1
1,0
0,9
0,8
0,8
372
414
456
401
336
307
352
3,67
4,17
4,50
4,25
3,75
3,87
3,82
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Sta. Cimanggu, 240 m dpl, 112 o 44’ BT dan 06o 37’ LS (1990-2000)
o
o
Sta. Gunung Sindur, 90 m dpl, 106 46’ BT dan 06 25’ LS (1956-1986) CH
312
223
239
SU
26,6
26,2
27,3
236
181
27,7
28,1
o
97
108
111
127
163
202
188
2.187
27,8
27,6
27,7
28,4
28,1
27,6
27,4
27,5
o
Sta. Jasinga, 90 m dpl, 106 27’ BT dan 06 29’ LS (1956-1986) CH
354
245
294
SU
26,6
26,2
27,3
347
262
27,7
28,1
o
172
179
150
194
230
239
244
2.910
27,8
27,6
27,7
28,4
28,1
27,6
27,4
27,5
o
Sta. Jonggol, 123 m dpl, 107 04’ BT dan 06 28’ LS (1956-1986) CH
386
316
315
343
246
135
136
121
160
227
253
284
2.922
SU
26,2
26,3
27,1
27,5
27,9
27,6
27,4
27,5
28,2
27,9
27,4
27,2
27,3
Keterangan: CH: Curah hujan (mm), HH: Hari hujan (hari), KR: Kelembaban udara relatif (%), SU: Suhu udara (oC), KA: Kecepatan angin (m/dt), RM: Radiasi matahari (kal/cm2), ET: Evapotranspirasi (mm/hari)
18
Geologi dan Bahan Induk
Wilayah Kabupaten dan Kota Bogor memiliki struktur geolo gi berupa struktur lipatan, sesar, volkanik dan sedimentasi (van Bemmelen, 1949). Struktur lipatan terdapat pada batuan sedimen berumur Miosen Tengah. Batuan ini terdapat pada formasi Jatiluhur, membentuk antiklin dan sinklin yang memiliki sumbu dengan arah Tenggara-Barat Laut, membujur melalui daerah G. Hambalang, Pasir Menteng dan Pasir Gombong. Struktur sesar terdapat dalam bentuk sesar mendatar arah Timur Laut dan Barat Daya memotong sumbu lipatan, membujur melalui daerah Gunung Hambalang, Pasir Menteng, Pasir Gombong dan Pasir Kutawesi dan tampak adanya kelurusan dengan arah Timur Laut-Barat Daya dan Barat Laut-Tenggara membujur melalui Warung Borong dan Sileuwi yang menunjukkan zona lemah berupa sesar. Struktur volkanik terdapat pada batuan berumur Pleistosin. Keberadaan struktur volkanik dapat dijumpai pada deretan G. Salak, G. Gede dan G. Pangrango. Struktur sedimentasi berkaitan dengan proses sedimentasi pada cekungan Bogor yang dicirikan oleh adanya endapan marin. Kemiringan lapisan batuan rata-rata 30% dengan arah Timur Laut-Barat Daya. Formasi batuan tertua yang tersingkap adalah Formasi Kelapanunggal terdiri dari batu gamping koral dengan sisipan batu gamping pasir, napal, batu pasir kuarsa glaukonitan dan batu pasir hijau. Formasi ini diendapkan pada lingkungan marin pada masa Miosen Tengah. Tebal formasi diperkirakan 100 m tersebar di sekitar Sendanglengo, Pasir Leutik, Gunung Guha, Sileuwi dan Pasir Cabe. Batuan tufa dan breksi Pliosen Akhir secara selaras di atas Formasi Serpong yang terdiri dari tufa batu apung, breksi tufa andesitik, batu pasir tufa, batu liat tufa dengan kayu terkersikkan dan sisa-sisa tumbuhan, tersebar di sekitar Cianten. Batuan gunung api Pleistosin dan endapan permukaan Pleistosin -Holosen diendapkan di atas batuan tufa dan breksi Pliosen antara lain: endapan gunung api muda bersusunan breksi, lahar basal dan tufa breksi berselingan dengan tufa pasir dan tufa halus diperkirakan berumur Pleistosin yang diendapkan di lingkungan darat, serta endapan dari Gunung Sudamanik dengan ketebalan beberapa puluh sampai ratusan meter. Penyebaran batuan ini terdapat di sekitar Depok, Sungai Ciliwung dan di sekitar Gunung Bubur.
19
Batuan volkanik Gunung Salak yang tersusun dari tufa batu apung berpasir tersebar setempat-setempat di sekitar Gunung Menyan, Kampung Darmaga dan selatan Gunung Bubur. Batuan volkanik Gunung Salak yang tersusun dari lahar, breksi tufa dan lapili bersusunan andesit basal kebanyakan lapuk sekali, tersebar di sekitar Gunung Menyan, Cibogel dan Gunung Palasari. Sedangkan batuan volkanik Gunung Salak yang tersusun dari aliran lava andesit -basal dengan piroksin tersebar di bagian selatannya yaitu di sekitar Kampung Kiaralawang. Batuan breksi dan lava Gunung Kencana dan Gunung Limo tersusun dari bongkah-bongkah tufa dan breksi andesit dengan banyak sekali fenokris piroksin dan lava basal, tersebar di sekitar Gunung Panitisan, Gunung Kramat, Gunung Hanjuang, Gunung Palasari, Gunung Kendung, Gunung Halimun dan Gunung Kancana. Batuan volkanik dari Gunung Pangrango tersusun dari lava, lahar andesit-basal dengan oligoklas, tersebar di sekitar Bogor hingga Ciawi. Batuan sedimen dan endapan sungai (aluvium) tersusun atas batu pasir konglomerat dan batu lanau berumur Pleistosen, endapan sungai Citarum dan Cibeet, tersebar di sekitar Setu, Cijambe dan Tegalkadu dengan ketebalan mencapai 50 m. Endapan kipas aluvium berumur Pleistosen terdiri dari konglomerat, batu pasir tufa, tufa dan breksi mempunyai ketebalan mencapai 300 m, tersebar di sekitar Kota Bogor, Cibinong, Cileungsi, Bekas i dan Cikarang. Ketebalan tanah berkisar antara 3-8 m, tanah terlapuk lanjut berupa liat bertufa dan pasir lanau. Endapan sungai muda terdiri dari pasir, lumpur, kerikil dan kerakal, umumnya tersebar sepanjang jalur aliran Sungai Cihoe, Sungai Cikarang, Sungai Cikeas dan Sungai Cileungsi. Bahan volkan dari Gunung Salak dan Gunung Pangrango terdiri dari abu, pasir, tufa dan breksi andesit (Effendi, 1986), tersebar menutupi hampir seluruh bagian tengah dari wilayah Kabupaten dan Kota Bogor mulai dari Cisarua menurun sampai Gunung Sindur dan melebar sampai ke Depok dan Citeureup membentuk kipas volkan atau lebih dikenal sebagai kipas aluvium. Batuan sedimen masam yang terdapat di sekitar Jasinga tersusun atas batuliat yang bercampur tufa masam, sedangkan batuan sedimen basa yang terdapat di sekitar Jonggol (Gambar 2) tersusun dari napal dan batu gamping (Direktorat Geologi, 1969).
20
PETA GEOLOGI DAERAH BOGOR DAN SEKITARNYA Skala 1:500.000
LEGENDA: Aluvium Holosen Fasies gunung api, Plistosen Bahan volkanik tak teruraikan, Kuarter Bahan volkanik Kuarter Tua Andesit Fasies Sedimen Pliosen Fasies sedimen Miosen Fasies batu gamping Miosen
Sumber Peta : Peta Geologi Jawa dan Madura, Lembar Jawa Barat, Skala 1:500.000 (Direktorat Geologi, 1969)
Keadaan Tanah
Menurut Peta Tanah Tinjau Kabupaten dan Kota Bogor skala 1:250.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1966) menunjukkan bahwa tanah-tanah di daerah Bogor cukup beragam, sejalan dengan keragaman bahan induk tanahnya. Tanah diklasifikasikan menurut Dudal dan Soepraptohardjo (1957), terdiri dari Aluvial, Regosol, Andosol, Litosol, Renzina, Grumusol, Latosol dan Podsolik Merah Kekuningan. Latosol yang berkembang dari bahan volkanik mempunyai penyebaran paling luas di daerah Bogor (67% dari luas seluruh Kabupaten dan Kota Bogor), kemudian diikuti oleh Podsolik Merah Kekuningan (15%) yang berkembang dari batuan sedimen masam, banyak dijumpai di daerah perbukitan lipatan sekitar Leuwiliang dan Jasinga. Tanah-tanah lainnya mempunyai penyebaran sempit, seperti Mediteran dan Kompleks Renzina-Brown Forest Soil yang terdapat di sekitar daerah Jonggol dan Cariu yang berkembang dari batu gamping. Aluvial terbentuk dari bahan aluvium, mempunyai penyebaran sempit dan terbatas di sepanjang jalur aliran sungai, antara lain Sungai Cisadane, Ciliwung, Cimandiri dan Cihoe-Cibeet. Penggunaan tanah umumnya untuk persawahan. Regosol dan Andosol dijumpai di lereng atas volkan G. Salak dan G. Pangrango pada ketinggian di atas 1000 m dari permukaan laut. Sedangkan Renzina, Brown Forest Soil, Grumusol dan Mediteran berkembang dari batuan sedimen basa (batu gamping dan napal), terdapat di daerah perbukitan lipatan/angkatan di sekitar Jonggol dan Cariu. Jenis -jenis tanah utama di daerah Bogor dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan penyebarannya dari masing-masing jenis tanah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Tanah-tanah di lokas i penelitian Cimanggu, Bogor dan Gunung Sindur yang berkembang dari bahan volkanik (tufa volkan intermedier) termasuk kedalam Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Merah. Sedangkan tanah-tanah di Jasinga, yaitu di lokasi penelitian Cikopomayak dan Tegalwangi, berkembang dari batuan sedimen masam termasuk Podsolik Merah Kuning. Tanah di lokasi penelitian Jonggol termasuk Renzina, Brown Forest Soil dan Mediteran yang berkembang dari batu gamping.
22
Tabel 4. Jenis-Jenis Tanah Utama di Daerah Kabupaten dan Kota Bogor No
Jenis Tanah
Bahan Induk
Fisiografi
1
Aluvial
Endapan sungai
Dataran aluvial
2
Regosol
Pasir, abu volkan
Volkan
3
Andosol
Abu, pasir volkan
Volkan
4
Latosol
Volkan
B1, B2
5
Renzin a, Brown Forest Soil Mediteran
Tuf volkan intermedier Batu gamping
Bukit angkatan
B5
Batu gamping
Bukit angkatan
B6, B7
Batu liat/batu pasir
Bukit lipatan
B3, B4
6 7
Podsolik Merah Kekuningan
Lokasi profil
Penggunaan Lahan dan Pertanian
Penggunaan lahan di Kabupaten dan Kota Bogor secara umum terbagi dalam 5 jenis penggunaan lahan, yaitu: pertanian lahan sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, perhutanan, permukiman dan kawasan industri. Sebagian besar lahan telah digunakan terutama untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Selama masa 10 tahun terakhir telah terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman dan industri, sementara hutan -hutan yang ada semakin menyempit akibat penebangan liar (Fakultas Kehutanan IPB, 2003). Jenis dan luas penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan luas, jenis komoditas dan produktivitas pertanian lahan kering yang diusahakan masyarakat di sajikan pada Tabel 6 (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004). Pada Tabel 5 terlihat bahwa luas lahan kering di daerah Bogor pada tahun 2004 tercatat seluas 220.831 ha atau 82,1% dari luas lahan Kabupaten Bogor. Lahan tegalan dan ladang/huma biasa ditanami padi gogo dan palawija cukup luas meliputi 62.524 ha (23%). Pada lahan ini banyak diusahakan tanaman umbiumbian, terutama ubi kayu (Tabel 6), karena relatif mudah diusahakan, produksi relatif tinggi, dan tanaman toleran dengan tanah masam dan pemberian input rendah. Sementara untuk komoditas lainnya perlu diusahakan secara intensif dengan tambahan input sesuai dengan hasil yang diharapkan. Pada Tabel 6 terlihat
24
bahwa tanaman pangan lahan kering yang banyak diusahakan masyarakat setempat adalah ubi kayu, ubi jalar, padi gogo, jagung dan kacang tanah.. Tabel 5. Luas dan Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor Tahun 2003 (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004)
No 1.
2.
Jenis Penggunaan Lahan Lahan Sawah 1.1. Pengairan Teknis 1.2. Pengairan Setengah Teknis 1.3. Pengairan Sederhana PU 1.4. Pengairan Non PU 1.5. Tadah Hujan Lahan Kering 2.1. Bangunan dan Pekarangan 2.2. Tegalan/Kebun 2.3. Ladang/Huma (Padi gogo) 2.4. Penggembalaan/Padang Rumput 2.5. Rawa yang Tidak Ditanami 2.6. Kolam/Empang 2.7. Lahan Kering Tidak Diusahakan 2.8. Hutan Rakyat Tanaman Kayu-Kayuan 2.9. Hutan Negara 2.10. Perkebunan 2.11. Penggunaan Lain-Lain. Jumlah Penggunaan Lahan
Luas Ha 48.177 4.106 6.402 14.441 14.919 8.309 220.831 36.616 55.172 7.352 300 361 2.580 483 13.193 37.317 19.454 48.003 269.008
% 17,9 1,5 2,3 5,4 5,6 3,1 82,1 13,7 20,6 2,7 0,1 0,1 0,9 0,1 4,9 14,0 7,2 17,8 100,0
Tabel 6. Luas, Jenis Komoditas dan Produktivitas Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bogor Tahun 2003 (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004) No . 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7
Jenis Komoditas Padi gogo Jagung Kedelai Kacang hijau Kacang tanah Ubi kayu Ubi jalar
Luas Panen (Ha) 3.544 2.707 146 443 2.042 10.047 3.882
Produksi (Ton) 9.757 8.378 184 240 2.436 189.888 67.159
Produktivitas (Ton/Ha) 2,75 3,09 1.26 0,54 1,19 18,90 17,30
25
Tipe penggunaan lahan untuk jagung dan kacang tanah di daerah Bogor dan khususnya di sekitar lokasi penelitian umumnya tergolong pada tingkat pengelolaan dengan input sedang dan hanya sedikit sekali petani menggunakan input rendah karena telah disadari akan produktivitas lahan yang rendah. Data produktivitas lahan kering khususnya jagung, kacang tanah dan ubi kayu dengan input sedang di sekitar lokasi penelitian diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004). Produktivitas lahan rata-rata untuk jagung, kacang tanah dan ubi kayu di sekitar lokasi penelitian, rata-rata produksi di Kabupaten Bogor dan nasional serta potensi produksi hasil-hasil penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (1993, 2002) disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Produktivitas Lahan Kering Rata-rata untuk Jagung, Kacang Tanah dan Ubi Kayu di Kabupaten Bogor, Rata-rata Produksi Nasional dan HasilHasil Penelitian.
No
Nama Kecamatan
1 Jasinga 2 Cigudeg 3 Ciampea 4 Dramaga 5 Sukaraja 6 Cariu 7 Jonggol 8 Cileungsi 9 Parung 10 Gunung Sindur Rata-rata Kabupaten Bogor Rata-rata Nasional Rata-rata Hasil Penelitian : Jagung varietas Bisma Kacang tanah varietas Kelinci Ubi kayu klon MLG-1
Produktivitas Lahan (ton/ha) Kacang tanah Ubi kayu Jagung (biji kering) (polong kering) (umbi segar) 2,93 1,22 17,43 3,00 1,20 18,72 3,09 1,12 19,22 3,12 1,00 19,27 3,19 1,00 19,78 3,13 1,13 18,97 3,13 1,22 18,29 3,15 1,21 18,76 2,78 1,31 19,23 2,97 1,20 18,68 3,09 1,19 18,90 2,5 0,97 12,2 5,7-6,0 2,0-3,0 25-42
Sumber data: Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004), Sumarno (2003), Suprapto dan Marzuki (2004), Ispandi dan Sutrisno (2001), Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (1993).
Produktivitas lahan rata-rata di sekitar lokasi penelitian adalah 2,78-3,19 ton/ha biji kering jagung, 1,00-1,31 ton/ha polong kering kacang tanah dan 17,43-19,78 ton/ha umbi segar ubi kayu dengan rata-rata produktivitas lahan di Kabupaten
26
Bogor Tahun 2003 sebesar 3,0 ton/ha biji kering jagung, 1,19 ton/ha polong kering kacang tanah dan 18,90 ton/ha umbi segar ubi kayu. Data produktivitas lahan di Kabupaten Bogor masih cukup baik dan terlihat lebih tinggi dari data rata-rata produktivitas lahan nasional, yakni untuk jagung 2,5 ton/ha biji kering, kacang tanah 0,97 ton/ha polong kering (Sumarno, 2003; Suprapto dan Marzuki, 2004) dan ubi kayu 12,2 ton/ha umbi segar (Ispandi dan Sutrisno, 2001). Namun demikian, bila dibandingkan dengan potensi produksi dari hasil penelitian, misalnya untuk jagung 5-7 ton/ha biji kering, kacang tanah 2-3 ton/ha polong kering dan ubi kayu 25-42 ton/ha umbi segar (Pusat Penelitian d an Pengembangan Tanaman Pangan, 1993; Suprapto dan Marzuki, 2004; Ispandi dan Sutrisno, 2001), produktivitas lahan kering di Kabupaten Bogor tergolong rendah dan masih dapat ditingkatkan lagi produktivitasnya dengan teknologi pengelolaan yang sesuai.
27
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di 7 lokasi lahan kering di daerah Kabupaten dan Kota Bogor yang terbagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan perbedaan bahan induk dan jenis tanah, yaitu: (1) di Cimanggu (B1) dan Gunung Sindur (B2), mewakili Latosol dari bahan volkanik intermedier, (2) di Cikopomayak (B3) dan Tegalwangi (B4), Jasinga mewakili Podsolik Merah Kuning dari batuan sedimen masam, dan (3) 3 lokasi di desa Singasari, Jonggol mewakili Brown Forest Soil (B5) dan Mediteran (B6 dan B7) dari batuan sedimen basa (batu gamping). Penetapan lokasi penelitian merujuk pada Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor (Lembaga Penelitian Tanah, 1966) dan Peta Geologi Lembar Bogor skala 1:100.000 (Effendi, 1986). Waktu penelitian selama 14 bulan, dilaksanakan mulai bulan Mei 2003 sampai dengan Juni 2004.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam 4 tahapan kegiatan, yaitu: (1) karakterisasi lahan dan identifikasi tipe penggunaan lahan, (2) percobaan lapangan, (3) evaluasi kesesuaian lahan, dan (4) penyusunan kriteria kesesuaian lahan. Bagan alir kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 4.
Karakterisasi Lahan dan Identifikasi Tipe Penggunaan Lahan (TPL)
Karakterisasi lahan bertujuan untuk mengumpulkan data karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan kualitas lahan yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan di lahan kering, yaitu kualitas lahan suhu, ketersediaan air, ketersediaan oksigen, media perakaran, ketersediaan hara, retensi hara, bahaya keracunan, dan penyiapan lahan (FAO, 1983; Djaenudin et al., 2003). Dalam kegiatan ini dipelajari juga pengaruh keragaman bahan induk dan perkembangan tanah terhadap kualitas/karakteristik lahan yang terbentuk serta faktor-faktor
27
pembatas penggunaan lahan. Karakterisasi lahan meliputi pengamatan tubuh tanah (profil) dan faktor fisik lingkungannya (keadaan batuan atau singkapan batuan di permukaan tanah, bentuk wilayah/lereng, vegetasi/penggunaan lahan, ketinggian tempat dan batuan induk tanah), pengambilan contoh tanah serta pengumpulan data iklim. Pengamatan tubuh tanah dilakukan di 7 lokasi penelitian untuk memperoleh data sifat -sifat morfologi tanah yang berhubungan dengan karakteristik lahan untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan dan klasifikasi tanah, yaitu: kedalaman efektif tanah, drainase, keadaan batuan di dalam penampang, sifat-sifat horison tanah meliputi tebal dan batas horison, warna, tekstur, struktur, konsistensi, pori, keadaan perakaran dan pH tanah. Deskripsi profil tanah mengacu kepada Guideline for Soil Profile Description (FAO, 1978), Soil Survey Manual (Soil Survey Staff, 1993) dan Penuntun Pengamatan Tanah di Lapang (Lembaga Penelitian Tanah, 1969). Profil tanah dib uat sedalam 1,2 m 1,6 m atau sampai kedalaman batuan induk. Contoh tanah dari profil dan komposit (lapisan atas 0-20 cm) diambil sebanyak 1 kg untuk keperluan analisis sifat kimia dan mineralogi tanah. Contoh tanah ring dari kedalaman tanah 0-20 cm dan 20-40 cm diambil untuk menganalisis sifat-sifat fisik tanah. Tingkat perkembangan tanah di lapang dibedakan berdasarkan susunan dan sifat horison bawah penciri (B-kambik, B-argilik, B-oksik). Analisis sifat-sifat fisik, kimia dan mineralogi tanah dari contoh tanah profil dan komposit serta contoh ring untuk mempelajari asal bahan induk tanah, perkembangan dan klasifikasi tanah, penilaian status hara, pendugaan erodibilitas tanah (K) dan bahaya erosi, hubungan antar sifat-sifat tanah, serta melihat pengaruh bahan induk dan perkembangan tanah terhadap karakteristik/kualitas lahan. Jenis dan metode analisis tanah meliputi penetapan tekstur 4 fraksi cara pipet (termasuk fraksi liat halus), pH tanah (H 2O dan KCl 1N), C-organik (Walkley-Black), N-total (Kjeldahl), P dan K total (HCl 25%) dan P-tersedia (Bray I atau Olsen), basa-basa dapat tukar (NH4OAc-pH 7), KTK tanah (NH4OAc pH 7), Al dan H dapat tukar (KCl 1N), dan besi bebas (dithionite). Analisis mineral pasir dengan metoda perhitungan garis, diperlukan untuk penetapan bahan induk, komposisi dan cadangan mineral. Analisis mineral liat menggunakan alat
28
difraksi sinar-x untuk penetapan jenis dan jumlah mineral liat di dalam tanah yang berhubungan dengan sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya (Grim, 1968). Analisis sifat fisik tanah meliputi penetapan bobot isi, permeabilitas, kapasitas air tersedia, ruang pori total dan distribusi ukuran pori. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Metode dan prosedur analisis tanah mengikuti Soil Survey Laboratory Methods and Procedures for Collecting Soil Samples (SCS-USDA, 1982). Klasifikasi tanah ditetapkan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999). Pendugaan bahaya erosi atau besarnya erosi yang terjadi di setiap lokasi penelitian dihitung dengan persamaan USLE (Wischmeier dan Smith, 1978). Data iklim dikumpulkan dari stasiun iklim di Cimanggu, Gunung Sindur, Jasinga dan Jonggol selama 10-20 tahun pengamatan, terdiri dari: curah hujan bulanan, jumlah hari hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, lama penyinaran matahari, lama bulan basah dan bulan kering untuk keperluan klasifikasi iklim, perhitungan neraca air dan lamanya masa pertumbuhan (length of growing period). Besarnya evapotranspirasi acuan (ET 0) dan neraca air diperhitungkan dengan program CropWat (Clarke, 1998). Kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah ditetapkan menurut Doorenbos dan Pruitt (1984) sebesar ET0 x Kc (Kc -jagung = 0,80 dan Kc -kacang tanah = 0,75). Data iklim dari stasion Cimanggu-Bogor diperoleh dari Balai Penelitian Agroklimat, sedangkan data iklim dari stasion lainnya diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Identifikasi tipe penggunaan lahan dimaksudkan untuk mengetahui persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada tingkat pengelolaan tertentu dengan mempelajari kondisi dan luas lahan usaha, tindakan konservasi tanah yang dilakukan petani, sejarah penggunaan lahan, besarnya input produksi yang diberikan, jenis dan jumlah produksi yang dihasilkan, besarnya modal dan tenaga kerja yang digunakan, tujuan produksi, varietas dan pola tanam, cara pengolahan tanah, waktu dan cara tanam, pemeliharaan tanaman, waktu panen dan keuntungan usahatani. Identifikasi tipe penggunaan lahan dilakukan dengan mengamati jenis penggunaan lahan, wawancara dengan petani setempat dan
29
pengumpulan data input dan output produksi dari Dinas Pertanian di Kecamatan dan Kabupaten Bogor serta data statistik Kabupaten Bogor dan data dari kebunkebun percobaan lingkup Puslitbang Tanaman Pangan. Tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dibedakan berdasarkan input produksi terutama pupuk (FAO, 1983).
Percobaan Lapangan
Percobaan lapangan bertujuan untuk mempelajari pengaruh keragaman bahan induk dan perkembangan tanah serta tingkat pengelolaan lahan yang diterapkan terhadap tingkat produksi tanaman dari tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah. Dari percobaan ini dipelajari juga hubungan antara karakteristik dan atau kualitas lahan dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah sebagai dasar dalam penetapan karakteristik/kualitas lahan yang akan digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Percobaan lapangan dilakukan dalam satu musim tanam, selama empat bulan mulai Oktober 2003 sampai dengan Pebruari 2004 di 7 lokasi penelitian, yaitu di Cimanggu-Bogor (B1), Gunung Sindur (B2), Cikopomayak (B3) dan Tegalwangi (B4), Jasinga dan 3 lokasi di Singasari, Jonggol (B5, B6 dan B7). Semua lokasi penelitian terletak di lahan petani yang datar dan telah diteras. Tanaman indikator yang digunakan adalah jagung varietas Bisma dan kacang tanah varietas lokal dari Koleang, Jasinga. Perlakuan pengelolaan tanah dibedakan dalam dua tingkat, yaitu dengan input rendah (P0, tanpa pemberian pupuk) dan input sedang (P1, dengan pemberian pupuk). Pada tingkat pengelolaan sedang (P1), pemberian pupuk untuk jagung sebanyak 200 kg urea + 200 kg SP-36 + 100 kg KCl + 1000 kg bahan organik (Bokasi) per hektar dan untuk kacang tanah sebanyak 100 kg urea + 100 kg SP-36 + 100 kg KCl + 1000 kg bahan organik (Bokasi) per hektar. Untuk input rendah tidak diberikan pupuk. Pupuk SP-36, KCl dan Bokasi diberikan semua pada saat tanam, sedangkan urea diberikan 2 kali yaitu setengahnya pada saat tanam dan setengahnya lagi pada saat tanaman berumur satu bulan. Ukuran petak percobaan 4 x 5 m. Ulangan dilakukan 3 kali.
30
Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman beru mur 2, 4, dan 6 minggu setelah tanam dan komponen produksi tanaman yang terdiri dari bobot brangkasan, bobot tongkol dan bobot biji kering jagung pipilan (kadar air 14%), bobot polong kering dan biji kacang tanah. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Perlakuan terdiri dari dua faktor, yaitu faktor tanah dan faktor pengelolaan lahan. Faktor tanah terdiri dari tujuh jenis tanah dari tujuh lokasi penelitian (B1, B2, B3, B4, B5, B6 dan B7) dan faktor pengelolaan lahan terdiri dari dua tingkat, yaitu input rendah (tidak dipupuk, P0) dan input sedang (dipupuk, P1). Pengujian terhadap pengaruh jenis tanah dan tingkat pengelolaan lahan terhadap produksi tanaman jagung dan kacang tanah dilakukan dengan uji Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5% menggunakan program SAS (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Untuk melihat hubungan antara karakteristik tanah dan produksi tanaman, contoh tanah komposit dari petak percobaan diambil pada saat panen untuk dianalisis sifat-sifat kimianya.
Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan (FAO, 1976). Kualitas lahan merupakan
keragaan
lahan
(performance )
yang
berpengaruh
terhadap
kesesuaiannya untuk penggunaan tertentu dan biasanya terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan secara fisik kualitatif untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan menggunakan kualitas/karakteris tik lahan dari setiap lokasi penelitian yang dibandingkan dengan kriteria kesesuaian lahan yang disusun oleh Djaenudin et al. (2003). Kelas kesesuaian lahan terdiri dari 4 kelas, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N). Penetapan kelas kesesuaian lahan berdasarkan faktor pembatas maksimum mengikuti kaedah hukum minimum. Hasil penilaian kesesuaian lahan selanjutnya dibandingkan dengan produksi tanaman dari hasil percobaan lapangan untuk mengetahui kecocokan kriteria dan metode evaluasi kesesuaian lahan tersebut sebagai kajian awal dalam upaya perbaikan atau pengembangan kriteria kesesuaian lahan berdasarkan
31
kualitas lahan yang relevan di lahan kering dan hubungannya dengan produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah. Faktor-faktor pembatas penggunaan lahan di lokasi penelitian diidentifikasi sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan karakteristik/kualitas lahan yang digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan yang bersifat fisik -kuantitatif, meliputi jenis dan jumlah karakteristik lahan penentu setiap kualitas lahan serta pengharkatannya. Dalam perbaikan kriteria kesesuaian lahan untuk tujuan evaluasi kesesuaian lahan secara fisik-kuantitatif dalam pengertian setiap kelas kesesuaian lahan dihubungkan dengan produksi tanaman, perlu dibangun suatu klasifikasi kesesuaian lahan berdasarkan tingkat produktivitas lahan. Kisaran produksi tanaman dari masing-masing tipe penggunaan lahan untuk setiap kelas kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan indeks produksi mengacu kepada FAO (1983) dan Wood dan Dent (1983). Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian lahan terbagi dalam 5 kelas yang dihubungkan dengan indeks produksi yang digunakan untuk setiap tipe penggunaan lahan adalah sebagai berikut: sangat sesuai (S1, >80% dari produksi optimal), cukup sesuai (S2, 60-80%), agak sesuai (S3, 40-59%), tidak sesuai saat ini (N1, 20-39%) dan tidak sesuai permanen (N2, <20%).
Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan
Kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang disusun berdasarkan dua pendekatan, yaitu: (1) kualitas lahan yang relevan di lahan kering dan sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman, dan (2) tingkat produktivitas lahan. Pada pendekatan pertama, kriteria kesesuaian lahan dibangun berdasarkan kualitas lahan yang ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan yang berkorelasi baik dan berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman. Setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan yang diberi kisaran nilai sesuai dengan kebutuhan tanaman atau persyaratan penggunaan lahan (FAO, 1983). Karakteristik lahan dipilih berdasarkan besarnya pengaruh terhadap produksi yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) dan atau koefisien regresi kuadratik yang cukup besar (R 2) > 0,5. Kisaran nilai dari setiap karakteristik lahan untuk
32
masing-masing kelas kesesuaian lahan ditetapkan dengan metode trial and error berdasarkan persamaan regresi kuadratik dari hubungan karakteristik lahan dengan produksi tanaman serta kisaran produksi optimal yang ditetapkan dari setiap kelas kesesuaian lahan pada setiap tipe penggunaan lahannya. Metode trial and error dapat dilakukan dengan program Excel. Pengharkatan karakteristik lahan disesuaikan dengan kelas kesesuaian lahannya berdasarkan kisaran produksi yang ditetapkan untuk masing-masing kelas dari setiap tipe penggunaan lahan. Kelas kesesuaian lahan ditetapkan dalam 5 kelas yang disesu aikan dengan indeks produksi, dinyatakan dalam persen terhadap produksi optimal, yaitu: sangat sesuai (S1) = >80%, cukup sesuai (S2) = 60-80%, sesuai marginal (S3) =40-59%, tidak sesuai saat ini (N1) = 20-39%, dan tidak sesuai permanen (N2) =<20%. Besarnya produksi optimal untuk setiap tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang ditetapkan sebesar 0,6 dan 0,8 dari produksi optimal dengan input tinggi (FAO, 1983; Wood dan Dent, 1983) yang diasumsikan sama besarnya dengan produksi optimum yang dihasilkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pan gan. Kisaran produksi dari setiap kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan dapat ditetapkan berdasarkan indeks produksinya. Penilaian kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas maksimum terhadap penggunaan lahan dan secara agregat mengikuti hukum minimum (FAO, 1976; 1983). Dengan pendekatan ini dihasilkan kriteria kesesuaian lahan yang lebih bersifat fisikkuantitatif, dimana setiap kelas kesesuaian lahan telah dihubungkan dengan tingkat produksi tanaman pada tingkat pengelolaan tertentu. Pada pendekatan kedua, kriteria kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan tingkat produktivitas lahan. Setiap kelas kesesuaian lahan dari masing-masing tipe penggunaan lahan ditentukan oleh kisaran produksi tanaman. Pendugaan produksi ditetapkan dari persamaan regresi bertatar (stepwise) dari hubungan karakteristik lahan dengan produksi tan aman. Karakteristik lahan yang dipilih sebagai parameter yang digunakan dalam analisis regresi bertatar adalah karakteristik lahan yang sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman jagung dan kacang tanah berdasarkan koefisien korelasi yang cukup baik dan analisis regresi kuadratik. Analisis regresi bertatar dioperasikan dalam program Statistica
33
(StatSoft Inc., 1999). Secara bertahap, parameter -parameter yang kurang berpengaruh atau sangat kecil peranannya terhadap produksi dapat dihilangkan sesuai dengan kebutuhan sehingga tersisa beberapa parameter saja yang sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman. Persamaan regresi bertatar yang terpilih ditetapkan berdasarkan besarnya nilai koefisien determinan dari persamaan tersebut (R 2> 0,8) dengan jumlah parameter sesedikit mungkin. Besarnya produksi tanaman jagung dan kacang tanah dari setiap tipe penggunaan lahan dengan input tertentu dapat diduga langsung dari persamaan regresi bertatar. Kelas kesesuaian lahan ditetapkan dengan membandingkan besarnya produksi yang diduga dari persamaan regresi bertatar tersebut dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan tingkat produktivitas lahan. Kisaran produksi untuk setiap kelas kesesuaian lahan dari masing-masing tipe penggunaan lahan ditetapkan seperti pada pendekatan pertama. Pen erapan kriteria kesesuaian lahan yang telah disusun dilakukan di setiap lokasi penelitian untuk melihat hubungan kelas kesesuaian lahan dan produksi tanaman serta kecocokan kriteria tersebut dengan persyaratan penggunaan lahan yang dicerminkan oleh kesesuaiannya dengan potensi lahan atau tingkat produktivitas lahan yang sesungguhnya di lapangan.
34
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Lahan Kering Iklim merupakan salah satu faktor pembentuk tanah yang penting dan secara langsung mempengaruhi proses pelapukan bahan induk dan pembentukan tanah. Unsur-unsur iklim yang penting dalam proses pembentukan tanah dan berpengaruh terhadap produktivitas lahan adalah curah hujan dan suhu. Curah hujan dan suhu ditetapkan sebagai parameter penentu kualitas lahan ketersediaan air dan suhu yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian (FAO, 1983; CSR/FAO, 1983; Sys et al., 1993; Djaenudin et al., 2003). Kedua unsur iklim tersebut digunakan juga untuk penetapan rejim kelembapan dan rejim suhu tanah dalam klasifikasi tanah menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999). Iklim di semua lokasi penelitian termasuk ke dalam tipe iklim Afa dan tipe hujan A, kecuali Gunung Sindur termasuk ke dalam tipe hujan B yang relatif lebih kering (Schmidt dan Ferguson, 1951). Walaupun terjadi musim kemarau pada bulan-bulan Juni sampai Agustus, namun curah hujan rata-rata bulanan masih di atas 100 mm/bulan. Berdasarkan hasil penelitian Pramudya (2002) bahwa bila curah hujan rata-rata bulanan di atas 100 mm, maka sangat kecil sekali peluang terjadinya tanaman kekeringan atau kekurangan air. Hal ini sejalan dengan hasil kajian FAO (1980) yang melaporkan bahwa lamanya periode pertumbuhan (length of growing period) di daerah Bogor adalah 330 – 365 hari per tahun, berarti hampir sepanjang tahun tanaman pangan seperti jagung dan kacang tanah dapat diusahakan di lahan kering di daerah Bogor. Neraca air (Gambar 5) yang diperhitungkan dari stasiun Cimanggu, Bogor dengan program CropWat (Clarke, 1998) menunjukkan bahwa besarnya curah hujan bulanan di semua bulan dalam setahun masih di atas besarnya keh ilangan air melalui evapotranspirasi (ET 0). Sepanjang tahun tidak terjadi defisit air. Kebutuhan air untuk tanaman jagung (ETj = 0,8 x ET 0 ) dan kacang tanah (ET k = 0,75 x ET0) yang diperhitungkan menurut Doorenbos dan Pruitt (1984), menunjukkan bahwa selama pertumbuhannya tanaman cukup tersedia air dan
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
300 250 200 150 100 50 0
Curah Hujan
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
(b) 350 300 250 200 150 100 50 0
Curah Hujan
(c)
Jul Agt Sep Okt Nov Des
ET
350 300 250 200 150 100 50 0
Curah Hujan
Jul Agt Sep Okt Nov Des
ET
400 350 300 250 200 150 100 50 0
ET Jagung
Jun
Curah Hujan
Jul
ET
Agt Sep Okt Nov Des
ET Kacang Tanah
350 300 250 200 150 100 50 0 Jan Feb Mar Apr Mei
Jun
Curah Hujan
Jul
ET
Agt Sep Okt Nov Des
ET Kacang Tanah
400 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan Feb Mar Apr Mei
ET Jagung
400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
450
ET Jagung
400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
Jul Agt Sep Okt Nov Des
ET
500
ET Jagung
350
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
(d)
ET
550
Jan Feb Mar Apr Mei
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Curah Hujan
(a)
Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
500
Jun
Curah Hujan
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
550
Jul
ET
Agt Sep Okt Nov Des
ET Kacang Tanah
400 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan Feb Mar Apr Mei
Curah Hujan
Jun
Jul
ET
Agt Sep Okt Nov Des
ET Kacang Tanah
Gambar 5. Neraca air untuk tanaman jagung dan kacang tanah di Cimanggu (a), Gunung Sindur (b), Jasinga (c) dan Jonggol (d).
36
tidak akan mengalami kekurangan air atau kekeringan. Dalam Taksonomi Tanah, kondisi kelembaban tanah yang sangat basah seperti ini termasuk ke dalam rejim kelembaban tanah perudic (Soil Survey Staff, 1999). Neraca air di lokasi penelitian lainnya bila diasumsikan bahwa data iklim lainnya dianggap sama dengan Cimanggu kecuali curah hujan dan suhu udara, maka besarnya kebutuhan air yang diperhitungkan untuk tanaman jagung dan kacang tanah (Kc x ET0) tampak sedikit bervariasi di setiap lokasi penelitian. Di Cimanggu dan Jasinga, besarnya evapotranspirasi acuan tidak melebihi curah hujan bulanan, sedangkan di Gunung Sindur dan Jonggol evapotranspirasi acuan pada bulan-bulan JuniSeptember melebihi besarnya curah hujan bulanan. Namun demikian besarnya kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah di semua lokasi masih di bawah curah hujan bulanan. Tanah -tanah disini, selain di Cimanggu, tergolong mempunyai rejim kelembaban tanah udic (Soil Survey Staff, 1999), dimana tanah tidak akan mengalami kekeringan selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan neraca air dan perhitungan kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah serta waktu tanam yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian umumnya pada awal musim hujan (Oktober-Pebruari) seperti pada percobaan ini, maka faktor ketersediaan air di semua lokasi penelitian tidak menjadi pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kacang tanah. Suhu udara rata-rata bulanan di Cimanggu, Bogor berkisar dari 25,6 sampai 27,5 oC dengan suhu rata-rata tahunan 26,7 oC. Suhu udara di lokasi penelitian lainnya diduga dengan rumus Braak (dalam Mohr et al., 1972) berkisar dari 27,3 – 27,5 oC. Kisaran suhu udara antara 25 oC sampai 27 oC seperti di semua lokasi penelitian tergolong sesuai untuk tanaman jagung (Djaenudin et al., 2003; CSR/FAO, 1983; Sys et al., 1993). Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa ditinjau dari faktor iklim dalam kaitannya sebagai kualitas lahan ketersediaan air dan suhu udara untuk evaluasi kesesuaian lahan, tergolong sesuai dan tidak merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kacang tanah.
37
Karakteristik Tanah pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah
Karakteristik tanah yang dipengaruhi oleh bahan induk dan perkembangan tanah serta digunakan dalam klasifikasi tanah dan penetapan kualitas lahan untuk evaluasi kesesuaian lahan meliputi sifat-sifat morfologi, mineralogi, fisika dan kimia tanah. Uraian sifat morfologi profil tanah dari masing-masing lokasi penelitian serta data-data mineralogi, sifat fisik dan kimia tanah diberikan pada Lampiran 4 sampai dengan 8. Komposisi Mineral dan Bahan Induk. Komposisi mineral pasir dapat menjelaskan asal batuan induk tanah, cadangan mineral atau jumlah mineral dapat lapuk dalam tanah yang berhubungan dengan potensi kesuburan alami tanah, perkembangan dan klasifikasi tanah. Sedangkan komposisi mineral liat sebagai partikel koloid tanah yang aktif dalam tanah lebih banyak berperan dalam menentukan sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya, antara lain: sifat mengembang dan mengerut, kemudahan pengolahan tanah, retensi dan ketersediaan hara. Berdasarkan pada komposisi mineral pasir (Gambar 6), tanah Cimanggu (B1) tersusun dari gelas volkan, andesin, labradorit, hornb lende, augit, hiperstin, kuarsa dan opak (Lampiran 5) menunjukkan asal bahan induk tanah dari bahan volkanik bersifat intermedier (andesitik). Tanah dari Gunung Sindur (B2) yang berkembang dari bahan yang sama dengan tanah Cimanggu (Effendi, 1986), memiliki mineral dapat lapuk sangat sedikit (3%) dibanding tanah Cimanggu (38%) dan mineral resisten terutama opak dan kuarsa sangat tinggi (83%). Perbedaan komposisi mineral pasir tersebut menunjukkan perbedaan tingkat pelapukan tanah, dimana tanah Gunung Sindur telah terlapuk lanjut dibanding tanah Cimanggu. Komposisi mineral pasir dari tanah Cikopomayak (B3), Tegalwangi (B4), Jasinga dan tanah-tanah dari Jonggol (B5, B6 dan B7) didominasi oleh mineral resisten (70-94%), seperti kuarsa dan opak serta sedikit sampai sangat sedikit sekali mineral dapat lapuk dalam tanah (<10%). Komposisi mineral pasir tersebut menunjukkan asal bahan induk tanah dari batuan sedimen yang terbentuk pada masa Miosen Tengah (Van Bemmelen, 1949). Ditemukannya mineral-mineral lainnya terutama di tanah lapisan atas seperti gelas volkan,
38
B-5
B-6
B-7
Gambar 6. Difraktogram Liat dari Tanah Berbahan Induk Batuan Sedimen Basa (B-5, B-6, B-7)
40
oligoklas, andesin, labradorit, sanidin, hornblende dan hiperstin diduga berasal dari penambahan bahan volkanik yang lebih muda bersifat masam sampai intermedier (tufa dasitik atau tufa Banten dan andesitik) dari daerah di sekitarnya (Buurman et al., 1976). Ditinjau dari komposisi mineral pasirnya, tanah volkanik kecuali yang terlapuk lanjut memiliki cadangan mineral lebih baik daripada tanah tanah dari batuan sedimen. Komposisi mineral liat dari tanah Cimanggu (Gambar 7) didominasi oleh haloisit (puncak 7,2 dan 10 Å).dan tanah Gunung Sindur oleh kaolinit (7,1 Å) seperti juga telah ditemukan oleh Subardja dan Buurman (1980) pada toposekuen Latosol Bogor-Jakarta. Dari penelitian tersebut, telah diidentifikasi juga mineralmineral opak yang terdiri dari ilmenit dan magnetit yang merupakan mineral besi oksida dan magnesium oksida yang berasal dari hasil pelapukan mineral-mineral feromagnesian (augit, hiperstin, hornblende). Haloisit dan kaolinit yang terbentuk diduga berasal dari hasil pelapukan mineral-mineral feldspar (Hardjowigeno, 1993). Komposisi mineral liat dari tanah Cikopomayak didominasi oleh kaolinit (68%) dan vermikulit-montmorilonit (22%), sedangkan tanah dari Tegalwangi didominasi oleh montmorilonit (78%) dengan sedikit kaolinit (22%). Tanah-tanah dari Jonggol (B5, B6 dan B7) didominasi oleh montmorilonit (67-87 %) dengan sedikit kaolinit (16-33%). Pada difraktogram liat (Gambar 8), montmorilonit dicirikan oleh puncak 17 Å atau lebih tinggi, sedangkan vermikulit dicirikan oleh puncak 14 Å pada perlakuan penjenuhan liat dengan Mg-glycerol (Grim, 1968; Carroll, 1970). Hasil yang sama telah ditemukan juga oleh Dai dan Driessen (1973) pada tanah-tanah merah dari tufa dasitik di sekitar Serang. Tipe liat 2:1 (montmorilonit) yang sekarang ada dalam tanah diduga berasal dari bahan induk tanah yang terbentuk secara geogenesis (Hardjosoesastro dan Dai, 1983). Sejalan dengan perubahan lingkungan dalam tanah yang menjadi sangat masam, montmorilonit menjadi kurang stabil dan rusak, kemudian kaolinit terbentuk dan sebagian struktur liat hancur menyumbangkan aluminium yang tinggi (Grim, 1968). Ditinjau dari komposis i mineral liatnya, tanah Cikopomayak telah mengalami pelapukan lebih intensif daripada tanah Tegalwangi. Demikian juga halnya dengan tanah Jonggol-B7 lebih berkembang dibanding tanah-tanah
40
Gambar 7. Distribusi Sifat Kimia Tanah : % liat, pH, C-organik, P-total, K-total, dan P-tersedia
pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian
53
Gambar 8. Distribusi Sifat Kimia Tanah : K-dd, Ca-dd, Mg-dd, KTK liat dan Kejenuhan Basa Pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian
56
Jonggol lainnya (B5 dan B6), ditandai oleh peningkatan jumlah kaolinit dan penurunan jumlah montmorilonit di dalam tanah. Dari komposisi mineral liatnya, tanah dari batuan sedimen basa mengandung liat montmorilonit lebih tinggi dan memberikan peranan yang sangat besar terhadap lingkungan kimia tanah yang lebih baik daripada tanah lainnya, terutama sumbangannya terhadap KTK tanah dan ketersediaan hara (terutama kation-kation basa) bagi tanaman. Perkembangan dan Klasifikasi Tanah: Tabel 7 menyajikan ringkasan sifat-sifat morfologi dan kimia tanah dari profil tanah di masing-masing lokasi yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat perkembangan dan klasifikasi tanah menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999). Uraian deskripsi profil tanah secara lengkap disajikan pada Lampiran 4. Tanah Cimanggu (B1) terbentuk dari bahan volkanik intermedier, mempunyai drainase agak terhambat dan permeabilitas agak lambat. Tanah pernah digunakan sebagai lahan sawah beririgasi yang ditanami padi 2x setahun berlangsung cukup lama. Kedalaman efektif tanah sangat dalam (> 120 cm). Lapisan atas tanah (Ap) tipis setebal 13 cm, berwarna coklat gelap kemerahan (5YR3/3), tekstur liat, struktur cukup, gumpal halus, konsistensi gembur, perakaran halus banyak. Reaksi tanah masam (pH 4,7), kadar C-organik tanah rendah (1,61%) dan kejenuhan basa (KB) rendah. Sifat tanah lapisan atas menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) tidak memenuhi kriteria epipedon molik, umbrik atau epipedon lainnya kecuali okrik. Horison bawah bertekstur liat, struktur cukup gumpal sedang, agak teguh, karatan Mn dan besi mulai kedalaman 37 cm sampai 120 cm. Kapasitas tukar kation (KTK) liat di atas 16 cmol(+)/kg liat dan jumlah mineral dapat lapuk lebih dari 10%. Terdapat kenaikan liat total, namun tidak didukung oleh kenaikan nilai rasio liat halus/liat total sebesar 1,2x serta tidak dijumpai selaput liat yang memenuhi kriteria horison argilik. Ciri-ciri horison bawah ini memenuhi kriteria sebagai horison kambik (Bw). Pada kedalaman 25 sampai 100 cm dari permukaan tanah mempunyai kandungan liat cukup tinggi, 72-81%, kejenuhan basa 51-55% atau kurang dari 60%. Liat didominasi oleh haloisit. Rejim kelembaban tanah tergolong perudik (tidak pernah kekeringan sepanjang tahun) dan rejim suhu tanah isohipertermik.
Tanah
ini
mempunyai
susunan
horison
Ap-Bw-BC,
diklasifikasikan sebagai Latosol Coklat Kemerahan (Soepraptohardjo, 1961) atau
43
Tabel 7. Sifat Morfologi, Kimia dan Mineralogi Tanah di Lokasi Penelitian
44
Tabel 7. (Lanjutan)
45
menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Oxyaquic Dystrudepts, very fine, halloysitic, isohyperthermic. Tanah dari Gunung Sindur (B2) berkembang dari bahan induk yang sama dengan tanah Cimanggu, namun telah terlapuk lanjut yang ditandai oleh kandungan mineral dapat lapuk di dalam tanah sangat sedikit (< 10%). Solum tanah sangat tebal dan kedalaman efektif tanah sangat dalam, lebih dari 120 cm. Mempunyai sifat morfologi hampir homogin di seluruh penampang tanah, drainase baik dan permeabilitas sedang. Penggunaan tanah sebagai tegalan untuk tanaman umbi-umbian (singkong, ubi jalar) dan kacang-kacangan (kacang tanah, kacang panjang). Lapisan atas tanah (Ap) tipis, setebal 12 cm, berwarna merah gelap (2,5YR3/6), tekstur liat, perkembangan struktur tanah cukup, gumpal halus sampai remah, konsistensi gembur, pori mikro banyak, perakaran halus banyak, reaksi tanah sangat masam (pH 4,4), kandungan C-organik rendah (1,46%) dan kejenuhan basa sedang (52%). Menurut Taksonomi Tanah, ciri tanah lapisan tanah termasuk epipedon okrik (Soil Survey Staff, 1999). Horison bawah tanah (12-160 cm) homogin, batas horison baur, berwarna merah (2,5YR4/6), tekstur liat, tidak ada kenaikan liat secara nyata, struktur tanah cukup, gumpal halus, gembur, pori mikro banyak sampai sedang (porus), reaksi tanah sangat masam, bahan organik sangat rendah dan menurun secara teratur, kejenuhan basa di seluruh horison di atas 35%, mineral dapat lapuk sangat rendah (0 -2%) dan liat didominasi oleh kaolinit. KTK liat < 16 cmol(+)/kg liat dan KTK Efektif liat < 12 cmol(+)/kg liat. Horisan bawah tanah memenuhi kriteria sebagai horison oksik. Rejim kelembaban tanah termasuk udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah mempunyai susunan horison Ap -Bo-BC, diklasifikasikan sebagai Latosol Merah menurut klasifikasi Soepraptohardjo (1961) atau menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Typic Eutrudox, very fine, kaolinitic, isohyperthermic. Berdasarkan pada komposisi mineral dan horison bawah pencirinya, tanah Gunung Sindur telah terlapuk lanjut dan lebih berkembang dibanding tanah Cimanggu. Tanah dari Cikopomayak (B3) dan Tegalwangi, Jasinga (B4) berkembang dari batuan sedimen masam (batu pasir/batu liat bertufa dasitik), pada lahan tegalan diteras datar pada bekas perkebunan karet swasta dari perbukitan
46
angkatan/lipatan dengan bentuk wilayah bergelombang sampai berbukit. Kedalaman efektif tanah dalam (> 100 cm), drainase baik dan permeabilitas sedang. Tanah lapisan atas dari Cikopomayak (B-3) agak tebal (22 cm), berwarna coklat gelap kemerahan (5YR3/3-3/4), tekstur liat, struktur tanah cukup gumpal halus sampai sangat halus, gembur, perakaran halus banyak, pori mikro banyak, reaksi tanah sangat masam (pH 4,3), C-organik rendah (1,41%), kejenuhan basa sangat rendah (<20%). Ciri lapisan atas tanah tidak memenuhi kriteria epipedon lainnya selain okrik. Horison bawah tanah (22-145 cm), berwarna coklat kemerahan (5YR4/3-4/4) sampai merah kekuningan (5YR4/6). Tekstur liat, struktur gumpal sampai gumpal bersudut sedang, agak teguh. Tampak ada kenaikan liat dan selaput liat tipis pada kedalaman 53-115 cm. KTK liat 24-26 cmol(+)/kg liat dan kejenuhan basa sangat rendah (8-11%). Kandungan C-organik sangat rendah dan menurun secara teratur. Kandungan mineral dapat lapuk sangat rendah (1-4%) dan mineral liat didominasi oleh campuran kaolinit dan vermikulitmontmorilonit. Ciri horison bawah tanah memenuhi kriteria sebagai horison argilik. Rejim kelembaban tanah tergolong udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini memiliki susunan horison Ap -Bt-BC, diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kekuningan menurut klasifikasi Soepraptohardjo (1961), atau menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Typic Hapludults, very fine, mixed, semiactive, isohyperthermic. Tanah lapisan atas dari Tegalwangi, Jasinga (B4) agak tebal (21 cm) berwarna coklat kemerahan (5YR4/3), tekstur liat, struktur gumpal halus, gembur, pori mikro banyak, perakaran halus banyak. Reaksi tanah sangat masam (pH 4,1), kandungan C-organik tergolong sedang (2,65%) dan kejenuhan basa rendah. Ciri tanah lapisan atas ini tidak memenuhi kriteria epipedon lainnya kecuali okrik. Horison bawah tanah (21-155 cm) berwarna merah kekuningan (5YR4/4 -4/6), tekstur liat, struktur gumpal sedang, gembur, batas horison jelas rata. Kandungan liat sangat tinggi (84-92%). Kenaikan liat total dan selaput liat tipis jelas terlihat mulai kedalaman 21 cm, memenuhi kriteria horison argilik. Kandungan C-organik 16,31 kg/m3. KTK liat cukup tinggi (35-46 cmol(+)/kg liat), kejenuhan basa tergolong rendah sampai sangat rendah (5 -31%). Mineral dapat lapuk sangat rendah (2-9%) dan liat didominasi oleh montmorilonit (79%) dengan sedikit
47
kaolinit (21%). Solum tanah sangat tebal (142 cm) dengan susunan horison Ap Bt-C. Rejim kelembaban tanah termasuk udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kekuningan menurut klasifikasi Soepraptohardjo (1961) atau menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Typic Haplohumults, very fine, smectitic, isohyperthermic. Ditinjau dari komposisi mineral liat dan muatan koloidnya (KTK liat), tanah Cikopomayak tampak lebih berkembang daripada tanah Tegalwangi. Tanah-tan ah dari Singasari, Jonggol (B5, B6 dan B7) berkembang dari batuan sedimen basa (batu gamping), umumnya telah mengalami perataan atau penterasan sederhana. Penggunaan lahan umumnya tegalan yang ditanami serealia, umbi-umbian dan kacang-kacangan, kecuali Singasari B-6 merupakan sawah tadah hujan yang ditanami padi sekali setahun. Tanah Singasari B-5 relatif dangkal (< 50 cm), drainase sedang dan permeabilitas agak lambat. Lapisan atas tanah agak tebal (19 cm) berwarna coklat gelap (7,5YR3/2), tekstur liat, struktur cukup gumpal halus, agak teguh, perakaran halus dan pori halus banyak. Reaksi tanah netral (pH 6,8), kejenuhan basa tinggi (94%), C-organik rendah (1,46%). Ciri lapisan tanah atas ini memenuhi syarat sebagai epipedon molik. Horison bawah tanah telah berkembang membentuk horison B-alterasi (Bw) setebal 27 cm (19-46 cm) berwarna coklat (7,5YR4/4), tekstur liat, struktur cukup sampai lemah, gumpal bersudut sedang, teguh, perakaran halus sedikit sampai sedang, pori mikro sedikit, reaksi tanah netral samp ai alkalis (pH 7,2-7,9), kejenuhan basa pada seluruh horison tergolong sangat tinggi (93 -100%). Mineral dapat lapuk sedikit (10-11%) dan liat didominasi oleh montmorilonit (84-87%) dengan sedikit kaolinit (13-16%). Ciri horison bawah memenuhi kriteria horison kambik. Kandungan liat tinggi (65-79%). Rejim kelembaban tanah udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini mempunyai susunan horison Ap -Bw-BC-C, diklasifikasikan menurut klasifikasi Soepraptohardjo (1961) sebagai Brown Forest Soil dan. menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Lithic Hapludolls, very fine, smectitic, isohyperthermic. Tanah Singasari B6 lebih berkembang dari pada Singasari B5, solum agak tebal (80 cm) dan kedalaman efektif tanah dalam. Drainase tanah agak terhambat
48
dan permeabilitas agak lambat. Tanah lapisan atas tipis (12 cm) berwarna coklat kemerahan (5YR4/4), tekstur liat, struktur cukup gumpal bersudut halus sampai sedang, agak teguh, perakaran halus banyak dan pori mikro banyak. Reaksi tanah masam (pH 5,3), kandungan C-organik rendah (1,06%) dan kejenuhan basa sangat tinggi (100%). Ciri tanah lapisan atas termasuk epipedon okrik. Horison bawah (12-80 cm) berwarna coklat gelap kemerahan (5YR3/4) sampai coklat terang kemerahan (5YR6/4), tekstur liat, tidak ada kenaikan liat, karatan Mn berwarna hitam (5YR2,5/1) sedikit sampai banyak pada seluruh horison bawah. Pada kedalaman 61-80 cm, warna tanah coklat terang kemerahan (5YR6/4) bercampur dengan kelabu (5YR6/1) dan putih pink (5YR8/2) menunjukkan horison peralihan ke bahan induk (BC). Reaksi tanah agak masam (pH 5,6-6,5), kandungan Corganik sangat rendah dan menurun secara teratur, KTK liat 39-59 cmol(+)/kg liat dan kejenuhan basa sangat tinggi (100%) di seluruh horison. Mineral pasir dapat lapuk 3-4% dan liat didominasi oleh montmorilonit (73%) dan kaolinit (27%). Horison bawah tanah memenuhi kriteria horison kambik (Bw). Rejim kelembaban tanah termasuk udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini mempunyai susunan horison Ap-Bw-BC-C, diklasifikasikan sebelumnya oleh Soepraptohardjo (1961) sebagai Mediteran Coklat Kemerahan. Tanah ini menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Aquic Eutrudepts, fine, smectitic, isohyperthermic. Tanah Singasari B7 lebih berkembang lagi daripada tanah B5 dan B6. Solum cukup tebal (73 cm) dan kedalaman efektif tanah dalam (>100 cm). Drainase tanah sedang dan permeabilitas agak lambat. Tanah lapisan atas (Ap) tipis setebal 15 cm, berwarna coklat kemerahan (5YR4/4), tekstur liat, struktur cukup gumpal halus, gembur, perakaran halus dan pori mikro banyak. Reaksi tanah masam (pH 4,9), kandungan C-organik sangat rendah (0,91%), kejenuhan basa tinggi (74%). Ciri tanah lapisan atas termasuk epipedon okrik. Horison bawah (15-73 cm) berwarna coklat terang kemerahan (5YR6/4 -6/3), tekstur liat, struktur cukup sampai lemah, gumpal bersudut sedang sampai kasar, agak teguh. Pada kedalaman 54-73 cm merupakan horison peralihan ke bahan induk (BC), berwarna campuran coklat terang kemerahan (5YR6/3) dan kelabu pink (5YR6/2),
49
terdapat karatan Mn berwarna hitam (5YR2,5/1) bintik kecil sedikit. Kenaikan liat dan selaput liat tipis terdapat pada kedalaman 15-54 cm, memenuhi kriteria horison argilik (Bt). KTK liat 53-64 cmol(+)/kg liat dan kejenuh an basa 64-100%. Mineral dapat lapuk sangat sedikit (1-2%), liat didominasi oleh montmorilonit (69-80%) dan kaolinit (20 -31%). Rejim kelembaban tanah termasuk udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini mempunyai susunan horison lengkap Ap-Bt-BC-C, diklasifikasikan menurut Soepraptohardjo (1961) sebagai Mediteran Coklat Kemerahan atau menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Typic Hapludalfs, fine, smectitic, isohyperthermic. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disusun sekuen perkembangan tanah berdasarkan bahan induk, susunan horison dan klasifikasi tanahnya sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Pada kelompok bahan induk volkanik intermedier, tanah Gunung Sindur (B2: Eutrudox) telah terlapuk lanjut dan lebih berkembang daripada tanah Cimanggu (B1: Dystrudepts). Sedangkan pada kelompok batuan sedimen masam, tanah dari Cikopomayak (B3: Hapludults) lebih berkembang dari tanah Tegalwangi (B4: Haplohumults). Tanah dari Singasari, Jonggol yang berasal dari batuan sedimen basa, perkembangannya mengikuti sekuen tanah: Hapludolls (B5) à Eutrudepts (B6) à Hapludalfs (B7).
Tabel 8. Klasifikasi dan Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian Bahan Induk dan Perkembangan Tanah Kode Susunan Horison penciri lokasi horison Bahan volkanik intermedier (Andesitik) B1
Ap-Bw-C
Okrik/Kambik
B2
Ap-Bo-C
Okrik/Oksik
Klasifikasi Tanah Soepraptohardjo (1961) Latosol Coklat Kemerahan Latosol Merah
Taksonomi Tanah (1999) Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox
Batuan sedimen masam (bat uliat/batupasir bertufa dasitik) B3
Ap-Bt-C
Okrik/Argilik
B4
Ap-Bt-C
Okrik/Argilik
Podsolik Merah Kekuningan
Typic Hapludults Typic Haplohumults
Batuan sedimen basa (batu gamping) B5
Ap-Bw-C-R
Molik/Kambik
B6
Ap-Bw-C
Okrik/Kambik
B7
Ap-Bt-C
Okrik/Argilik
Brown Forest Soil Mediteran Coklat Kemerahan
Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs
50
Sifat Fisik Tanah. Sifat-sifat fisik tanah yang berhubungan dengan tanaman dan kualitas lahan meliputi kedalaman efektif, tekstur, struktur, drainase, bobot isi (bulk density), ruang pori, kadar air dan air tersedia disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang dapat ditembus oleh akar tanaman (Hardjowigeno, 1995). Pengamatan kedalaman efektif di lapangan meliputi penyeb aran dan banyaknya perakaran halus maupun kasar serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah. Kedalaman efektif tanah dari bahan volkanik dan tanah-tanah dari batuan sedimen masam Jasinga tergolong sangat dalam (>120 cm), sedangkan tanah-tanah dari Jonggol yang berkembang dari batu gamping tergolong dangkal (< 50 cm) sampai dalam (75-100 cm). Berdasarkan kedalaman efektif, tanah-tanah di semua lokasi penelitian tergolong sesuai untuk tanaman jagung dan kacang tanah. Walaupun terdapat tanah yang dangkal di Jonggol (B5), namun kedalamannya masih lebih dari 40 cm yang tergolong sesuai untuk tanaman jagung dan kacang tanah (Wood dan Dent, 1983; Djaenudin et al., 2003). Tekstur tanah menggambarkan kasar atau halusnya tanah. Berdasarkan atas perbandingan banyaknya pasir (2 mm – 50 um), debu (50 um – 2 um) dan liat (< 2 um) maka tekstur tanah dapat dikelompokkan ke dalam 14 kelas, mulai dari kelas tekstur pasir (terkasar) sampai kelas tekstur liat (terhalus). Tanah-tanah di semua lokasi penelitian tergolo ng ke dalam kelas tekstur liat, dengan kandungan liat total berkisar dari 41% sampai 93%. Tanah-tanah bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Semakin tinggi kadar liat akan mempunyai kemampuan yang lebih besar dan lebih aktif dalam reaksi kimia tanah (Hardjowigeno, 1995). Terkait dengan tekstur adalah konsistensi tanah yang merupakan kekuatan daya tahan tanah terhadap gaya yang akan mengubah bentuk, misalnya pencangkulan, pembajakan dan sebagainya. Tanah yang mempunyai konsistensi baik umumnya mudah diolah dan tidak melekat pada alat pengolah tanah. Konsistensi tanah di lapisan olah (0-20 cm) sampai kedalaman 50 cm pada beberapa lokasi penelitian yaitu di Cimanggu, Gunung Sindur, dan Jasinga termasuk gembur (lembab) yang tergolong mudah diolah, sedangkan tanah-tanah di lokasi penelitian Jonggol (B5,
51
B6 dan B7) mempunyai konsistensi agak teguh sampai teguh yang relatif lebih sulit diolah dan mudah melekat pada cangkul ketika mengolah tanah. Kadar liat tanah yang tinggi (> 60%), disertai oleh dominasi liat tipe 2:1 (montmorilonit) dan konsistensi tanah yang teguh seperti pada tanah-tanah dari Jonggol, selain berpengaruh terhadap pengolahan tanah juga akan sangat mempengaruhi perkembangan akar tanaman dan pembentukan polong pada kacang tanah. Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir -butir tanah yang terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat dari bahan organik, oksida-oksida besi dan bahan lainnya. Struktur tanah dibedakan
berdasarkan
bentuk,
ukuran
dan
kemantapan
atau
tingkat
perkembangannya. Hampir di semua lokasi penelitian mempunyai struktur tanah cukup kuat, remah sampai gumpal halus di lapisan atas (0-20 cm) dan gumpal halus sampai sedang di lapisan bawah (20-100 cm), kecuali tanah -tanah dari Jonggol mempunyai struktur tanah gumpal bersudut halus di lapisan atas dan gumpal bersudut sedang sampai kasar di lapisan bawah dengan perkembangan cukup kuat .sampai lemah. Tanah dengan struktur mantap, remah sampai gumpal memiliki tata udara yang baik, pori-pori tanah banyak terbentuk dan tanah mudah diolah, sedangkan pada struktur tanah gumpal bersudut memiliki pori-pori lebih sedikit atau tata udara kurang baik, tanah agak sulit diolah dan melekat ketika dicangkul (Hardjowigeno, 1995). Drainase tanah menunjukkan mudah tidaknya air hilang dari tanah, dapat dibedakan atas kelas drainase terhambat (tergenang) sampai kelas drainase sangat cepat, dimana air sangat cepat hilang dari tanah. Di lapang kelas drainase ditentukan dengan melihat adanya gejala-gejala reduksi-oksidasi atau pengaruh air dalam penampang tanah, seperti adanya warna kelabu atau becak-becak karatan. Kelas drainase tanah-tanah di lokasi penelitian sedikit bervariasi dari agak terhambat (B1 dan B6), sedang (B5, B7) sampai baik (B2, B3, B4). Tanah yang berdrainase agak terhambat ditandai oleh banyaknya karatan Mn dan Fe dalam penampang tanah mulai kedalaman 12 cm dari permukaan tanah. Kondisi seperti ini tampaknya berhubungan dengan penggunaan tanah saat sekarang atau di masa lampau. Pada B6, saat ini digunakan sebagai sawah tadah hujan yang ditanami padi satu tahun sekali pada musim hujan. Dalam penampang tanahnya dijumpai
52
sedikit warna kelabu pada kedalaman 12-29 cm selain juga dijumpai banyak karatan dan konkresi Mn berwarna hitam. Karatan Mn ditemukan sampai kedalaman 80 cm dan jumlahnya menurun semakin sedikit ke lapisan bawah tanah. Tanah Cimanggu (B1) pernah disawahkan cukup lama pada 20 tahun lalu, memperlihatkan drainase yang relatif lebih baik daripada B6 (Jonggol), ditandai oleh jumlah karatan Mn dan Fe lebih sedikit dalam penampang tanah dan tanpa warna kelabu. Pada tanah-tanah yang berdrainase baik tidak dijumpai karatan, tanah dalam keadaan oksidasi berwarna coklat kemerahan sampai merah homogin di seluruh penampang. Keadaan drainase tanah dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Dalam prakteknya, petani menanam jagung dan kacang tanah dalam bedengan-bedengan dimana lapisan atas tanah diolah dengan baik dan di antara bedengan dipisahkan oleh saluran drainase, sehingga kondisi drainase tanah lapisan atas menjadi lebih baik dan karenanya faktor drainase menjadi kurang berpengaruh terhadap tanaman. Bobot isi (bulk density) merupakan petunjuk kepadatan tanah. Semakin padat tanah maka semakin tinggi bobot isinya yang berarti makin sulit meneruskan air, makin sedikit ruang pori dan makin sulit tanah ditembus akar tanaman. Akar tanaman dapat berkembang bebas dan menembus lapisan-lapisan tanah jika bobot isi tanah berkisar antara 1,0 – 1,5 g/cc. Bobot isi tanah lebih besar dari 1,5 g/cc, tanah terlalu padat dan menghambat perkembangan akar tanaman dan laju infiltrasi air. Bobot isi tanah lapisan atas (0-10 cm) di lokasi penelitian berkisar dari 0,90 – 1,28 g/cc dan di lapisan bawah (20 -30 cm) berkisar dari 0,86 – 1,35 g/cc. Bobot isi terendah pada tanah Podsolik Tegalwangi, Jasinga (B4) sebesar 0,89 – 0,90 g/cc dan tertinggi pada tanah Mediteran Jonggol (B6 dan B7) sebesar 1,22 – 1,28 g/cc pada lapisan atas dan 1,30 – 135 g/cc di lapisan bawah. Secara umum tanah-tanah di lokasi penelitian mempunyai bobot isi dalam kisaran yang kurang dari 1,5 g/cc sehingga tanah tidak cukup padat dan tidak menghambat perkembangan akar tanaman. Sangat erat terkait dengan bobot isi adalah pori-pori tanah. Semakin tinggi bobot isi cenderung semakin sedikit kandungan pori total atau sebaliknya semakin rendah bobot isi maka semakin tinggi pori total tanah, seperti ditunjukkan pada tanah Podsolik Jasinga (B4) yang mempunyai BD 0,89-0,90 g/cc dan ruang pori total: 69 -71% dibanding dengan
53
tanah Mediteran Jonggol (B7), mempunyai BD 1,22-1,35 g/cc dan ruang pori total 49-54%. Tanah di lokasi penelitian umumnya memiliki ruang pori total lebih dari 50% dari massa tanah yang dapat diisi air dan udara, menunjukkan bahwa tanah cukup porus. Tanah-tanah yang memiliki ruang pori total lebih tinggi (B4: 6971%) cenderung lebih mudah melepas air sehingga tanaman mudah kekeringan (Hardjowigeno, 1995). Namun demikian mengingat percobaan lapang dilak ukan pada musim hujan (Oktober-Pebruari) dengan jumlah curah hujan relatif tinggi dan merata selama pertumbuhan tanaman maka gejala kekeringan atau kekurangan air dari pertanaman jagung dan kacang tanah tidak tampak di lapangan. Pori drainase cepat atau disebut juga pori aerasi umumnya sedang sampai rendah (6,7-14,4%) baik di lapisan atas tanah maupun di lapisan bawahnya, kecuali tanah Gunung Sindur mempunyai pori drainase cepat tergolong tinggi (16,0-19,4%). Ini berarti bahwa tanah-tanah di lokasi penelitian umumnya mempunyai aerasi atau ketersediaan oksigen tergolong sedang sampai rendah. Namun demikian faktor aerasi telah dapat diatasi oleh petani dengan pengolahan tanah yang baik ketika akan menanam. Pori drainase lambat yang berfungsi sebagai tempat lewat air lebih umumnya terdapat dalam jumlah sedikit terutama pada lapisan tanah bawah (< 5%), yang berarti bahwa sarana untuk pergerakan air secara perlahan-lahan ke lapisan bawah tergolong rendah. Pori air tersedia umumnya tergolong sedang (10,3-13,9 %) kecuali pada lapisan atas tanah Gunung Sindur (B2) dan Cikopomayak (B3) tergolong relatif rendah (9,1 -9,9%). Ini berarti bahwa tanah -tanah di lokasi penelitian umumnya mempunyai daya menahan atau menyediakan air tergolong sedang dimana tanaman akan cukup memperoleh air, kecuali di Gunung Sindur dan Cikopomayak ketersediaan air pada musim kemarau (Juni-Agustus) akan menjadi pembatas pertumbuhan tanaman. Permeabilitas tanah umumnya rendah sampai agak rendah terutama di lapisan bawah tanah (0,37-1,54 cm/jam), sedangkan di lapisan atas tanah Gunung Sindur, Cikopomayak, Tegalwangi dan sebagian tanah Jonggol (B -7) tergolong sedang (2,76-4,68%). Ini berarti bahwa tanah -tanah di lokasi penelitian umumnya mempunyai permeabilitas atau daya melewatkan air dalam penampang tanah tergolong agak lambat sampai lambat. Pengolahan tanah, pembuatan bedeng
54
tanaman dan saluran drainase secara tradisional oleh petani serta bertanam di awal musim hujan dimungkinkan dapat memperbaiki aerasi atau ketersediaan udara dan tercukupinya kebutuhan air buat tanaman. Dari uraian di atas tampak bahwa ditinjau dari sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian yang berkaitan dengan kualitas lahan ketersediaan udara (oksigen), ketersediaan air, media perakaran dan penyiapan lahan atau pengolahan tanah tidak merupakan faktor pembatas yang serius untuk tanaman jagung dan kacang tanah, namun masih dapat diatasi sendiri oleh petani dari kebiasaannya mengelola lahan dan tanamannya. Sifat Kimia Tanah . Sifat kimia tanah yang berkaitan dengan kualitas lahan ketersediaan hara, retensi hara dan unsur bersifat racun (toksik) terdiri dari reaksi tanah (pH), C-organik, N, P dan K, kation basa dapat tukar, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), Al-dd dan atau kejenuhan aluminium (KAl). Distribusi beberapa sifat kimia tanah pada penampang tanah di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9 dan 10. Reaksi tanah dari tanah-tanah di lokasi penelitian cukup bervariasi mulai dari sangat masam sampai agak alkalis, tampak ada hubungan dengan asal bahan induk dan perkembangan tanahnya. Tanah dari bahan volkan umumnya masam (B1) dan meningkat kemasamannya pada tanah yang telah berkembang lanjut (B2). Tanah dari batuan sedimen masam umumnya tergolong sangat masam (B3 dan B4). Sedangkan tanah -tanah dari batuan sedimen basa tergolong netral sampai agak alkalis (B5) dan meningkat kemasaman tanahnya menjadi masam sampai agak masam sejalan dengan perkembangan tanahnya (B6, B7). Perbedaan reaksi tanah di beberapa lokasi penelitian terkait erat dengan reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam tanah berhubungan dengan kelarutan dan ketersediaan unsur-unsur hara dalam tanah baik bersifat toksik ataupun tidak terhadap tanaman. Bila dibandingkan dengan nilai pH-KCl, terlihat bahwa nilai pH-KCl di semua lokasi penelitian lebih kecil dari pH-H2O yang berarti bahwa muatan koloid liat tanah di semua lokasi penelitian masih bermuatan negatif. Jumlah muatan negatif pada tanah yang berasal dari batuan sedimen basa Jonggol umumnya lebih tinggi. Hal ini berhubungan dengan kandungan mineral liat tipe 2:1 (montmorilonit) di lokasi tersebut cukup tinggi.
55
Gambar 9. Distribusi Sifat Kimia Tanah: pH, C -organik, P-total, K-total dan P-tersedia pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian
56
Kandungan C-organik tan ah umumnya rendah sampai sangat rendah (< 2%) di lapisan atas (0-20 cm), kecuali tanah dari Tegalwangi, Jasinga (B4) mempunyai C-organik lebih tinggi (2,6%). Hal ini diduga karena di lokasi penelitian tersebut merupakan lahan bukaan baru dari bekas kebun karet swasta. Kandungan C-organik di lapisan bawah menurun teratur mengikuti kedalaman tanah. Kandungan C-organik yang relatif tinggi memberikan kontribusi terhadap perbaikan sifat fisik dan kimia tanah. Kandungan N-total tanah di seluruh lokasi penelitian umumnya tergolong rendah sampai sangat rendah (< 0,2 %), kecuali tanah di Tegalwangi (B4: Haplohumults) relatif lebih baik sejalan dengan kandungan C-organiknya. Kandungan P-total tanah (P 2O5 -HCl 25%) sangat bervariasi dari sangat rendah (B7) sampai sangat tinggi (B1) di lapisan atas (0-20 cm) dan umumnya tergolong rendah di lapisan bawah, kecuali pada tanah Cimanggu (B1) masih sangat tinggi (> 60 mg/100 g tanah). Hal ini tampak berkaitan dengan intensitas penggunaan lahan. Tanah -tanah yang sering diberakan seperti di lokasi B7 dan B5 (Jonggol) umumnya mengandung P-total rendah, sedangkan kandungan P-total yang tinggi pada tanah Cimanggu (B1) diduga akibat dari pemberian pupuk P yang sangat intensif dalam jumlah cukup tinggi (> 200 kg TSP/ha/musim). Kandungan P-total umumnya menurun ke lapisan bawah. Kandungan P-tersedia tampak mengikuti pola kandungan P-totalnya. Pada tanah yang sering diberakan atau diberi sedikit P (< 50 kg TSP/ha/musim) umumnya mengandung P-tersedia tergolong rendah (< 10 ppm), seperti pada B2 (Gunung Sindur), B3 (Cikopomayak, Jasinga), B5 dan B7 (Jonggol), sedangkan pada B1, B4 dan B6 yang pernah dipupuk P secara intensif dan dalam dosis tinggi mengandung Ptersedia di lapisan atas relatif tinggi. Kondisi kandungan P-total dan P-tersedia dalam tanah yang cukup bervariasi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, khususnya pada jagung dan kacang tanah. Kandungan K-total tanah (K 2O-HCl 25%) di semua lokasi penelitian umumnya tergolong rendah sampai sangat rendah (< 20 mg/1 00 g tanah). Kandungan K-total dari tanah-tanah Cimanggu (B1) dan Jonggol (B6) yang mendapat pemupukan K intensif mengandung K-total relatif lebih baik. Walaupun demikian kandungan K-dd di semua lokasi penelitian umumnya tergolong rendah
57
Gambar 10. Distribusi Sifat Kimia Tanah: K-dd, Ca-dd, Mg-dd, KTK tanah, Al-dd dan Kejenuhan Basa pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian
58
(< 0,3 me/100 g tanah). Keadaan ini mengindikasikan bahwa untuk memperoleh produktivitas lahan yang lebih baik, sangat diperlukan pemupukan K sesuai kebutuhan tanaman. Kandungan Ca-dd tanah tampaknya berhubungan dengan asal bahan induk tanahnya. Kandungan Ca-dd dari tanah-tanah volkan (B2) dan batuan sedimen masam (B3, B4), umumnya tergolong rendah dan menurun dengan kedalaman tanah, sedangkan kandungan Ca-dd dari tanah yang berkembang dari batuan sedimen basa (Jonggol) tergolong sedang (B7) sampai sangat tinggi (B5) di lapisan atas tanah dan meningkat dengan kedalaman tanah. Kandungan Ca-dd tanah Cimanggu relatif lebih baik dari tanah Jasinga (B3, B4) dan Gunung Sindur (B2). Kandungan Mg-dd dari tanah sedimen masam Jasinga umumnya tergolong rendah (B3 dan B4) dan menurun menurut kedalaman tanah, sedangkan tanah dari bahan volkanik (B1, B2) dan batuan sedimen basa Jonggol (B5, B6 dan B7) tergolong sedang sampai tinggi di lapisan atas dan menurun menurut kedalaman tanah. Pada umumnya tanah dari batuan sedimen basa mengandung Mg-dd lebih tinggi dibanding dengan tanah lainnya. Kandungan Mg-dd yang cukup tinggi p ada tanah Cimanggu (B1) dan meningkat jumlahnya dengan kedalaman tanah, diduga selain berasal dari pemupukan Mg (dolomit) karena tanah sering ditanami kedelai juga kemungkinan berasal dari hasil pelapukan mineral feromagnesian (hiperstin, hornblende) yang cukup tinggi di tanah tersebut. Kejenuhan basa (KB) tanah cukup bervariasi, dari sangat rendah (< 20%, seperti pada B3) sampai sangat tinggi (> 80%, seperti pada B6) di lapisan atas tanah. Kejenuhan basa dari tanah sedimen masam menurun dengan kedalaman, sedangkan kejenuhan basa dari tanah-tanah volkan dan batuan sedimen basa umumnya meningkat dengan kedalaman. Hal ini diduga berkaitan dengan asal bahan induk tanahnya. Kejenuhan basa dari tanah volkanik tergolong sedang dan tanah-tanah dari batuan sedimen basa umumnya tinggi sampai sangat tinggi (KB mencapai 100%). Kapasitas tukar kation tanah (KTK-tanah) agak bervariasi, mulai dari rendah (< 16 cmol(+)/kg tanah, seperti pada B2) sampai sangat tinggi (> 40 cmol(+)/kg tanah, seperti pada B5). Hal ini sangat terkait dengan asal bahan induk tanah dan kandungan jenis dan jumlah mineral liat dalam tanah. Tanah-tanah dari
59
batuan sedimen basa dengan kandungan tipe liat 2:1 (montmorilonit) tinggi menunjukkan KTK-tanah tinggi sedangkan KTK-tanah dari bahan volkanik yang didominasi oleh tipe liat 1:1 (kaolinit) tergolong rendah. Pengaruh kandungan bahan organik tanah (C -organik) terhadap KTK-tanah pada hampir semua lokasi penelitian tampak tidak begitu nyata kecuali pada lokasi B5 karena kandungan Corganik di lapisan atas tanah relatif tinggi (epipedon molik) baru terlihat kontribusinya terhadap KTK-tanah. KTK-tanah berhubungan erat dengan KTKliat yang besarnya sangat ditentukan oleh jenis dan jumlah tipe liat di dalam fraksi liat tanah. Kandungan KTK-liat yang sangat rendah (< 16 cmol(+)/kg liat) terdapat pada tanah Gunung Sindur (B2), sedang tanah-tanah dari Cimanggu (B1) dan Cikopomayak, Jasinga (B3) tergolong sedang (24-40 cmol(+)/kg liat). KTKliat dari tanah -tanah yang berkembang dari batuan sedimen basa (Jonggol) umumnya tergolong tinggi (38-65 cmol(+)/kg liat), hal ini tampak adanya hubungan erat antara KTK-liat dengan kandungan montmorilonit yang tinggi di dalam tanah. Keadaan KTK-tanah dan KTK-liat akan berpengaruh terhadap kualitas lahan ketersediaan dan retensi hara di dalam tanah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hara bagi tanaman. Kandungan Al-dd sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Meningkatnya Al-dd dalam tanah-tanah dari batuan sedimen masam (B3 dan B4) diduga berasal dari kerusakan struktur mineral liat (montmorilonit) yang disebabkan oleh perubahan lingkungan yang sangat masam (pH< 4,5) menghasilkan Al-dd cukup tinggi (7,39,4 me/100 g tanah). Sedangkan kandungan Al-dd tanah dari bahan volkanik tergolong rendah (< 2 me/100 g tanah). Kandungan Al-dd dari tanah sedimen basa kecuali pada B7, sangat rendah sekali bahkan mencapai 0 me/100 g tanah. Kejenuhan aluminium (KAl) tanah dari batuan sedimen masam umumnya tergolong sangat tinggi (> 60%), sedangkan tanah dari batuan sedimen basa, kecuali lapisan atas tanah B7 termasuk sangat rendah (< 10%). Kejenuhan aluminium dari tanah volkanik termasuk rendah (B1) dan meningkat sampai sedang sejalan dengan tingkat perkembangan tanahnya (B2). Kandungan Al-dd atau kejenuhan Al yang tinggi dalam tanah dapat bersifat toksik bagi pertumbuhan tanaman dan berpengaruh terhadap produksi beberapa jenis tanaman pangan lahan kering (FAO, 1983).
60
Berdasarkan pada distribusi sifat kimia tanah di lokasi penelitian (Gambar 9 dan 10), tampak bahwa aktivitas biologi dan proses pelapukan tanah terjadi sangat intensif di lapisan atas tanah pada kedalaman 0-20 cm. Berpijak dari keadaan tersebut, maka penetapan sifat-sifat tanah yang diperlukan dalam evaluasi kesesuaian lahan khususnya untuk tanaman pangan lahan kering seperti jagung dan kacang tanah yang memiliki perakaran relatif dangkal, digunakan data analisis tanah dari contoh tanah lapisan atas atau komposit (0-20 cm).
Pengaruh Lereng dan Konservasi Tanah terhadap Bahaya Erosi
Sebagai sumberdaya alam untuk pertanian, tanah mempunyai dua fungsi utama yaitu: (1) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan, dan (2) sebagai media tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan serta tempat unsurunsur hara dan air ditambahkan. Hilangnya atau menurunnya fungsi tanah tersebut menyebabkan kerusakan atau degradasi tanah (Arsyad, 1989). Kerusakan tanah terjadi terutama disebabkan oleh erosi yang berkaitan dengan kondisi lereng, pengelolaan tanah dan tanaman. Kerusakan tanah akibat erosi yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan sifat-sifat fisik dan kimia tanah, seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan tanah dan ketahanan penetrasi dan akhirnya menyebabkan memburuknya pertumbuhan tanaman dan menurunnya produktivitas lahan. Lokasi penelitian terletak pada dataran volkan atau “ kipas aluvium” (B1 dan B2), di daerah perbukitan angkatan/lipatan dari batuan sedimen masam (B3 dan B4) dan batuan sedimen basa (B5, B6 dan B7) yang telah diteras atau diratakan sehingga membentuk permukaan tanah yang datar dengan lereng kurang dari 2%. Tanah umumnya dikelola dengan baik. Atas dasar kemiringan lahan yang relatif datar akibat tindakan konservasi yang telah dilakukan petani di semua lokasi penelitian, tampaknya erosi yang terjadi sangat rendah dan tidak membahayakan terhadap penggunaan lahan yang ada. Pendugaan erosi yang terjadi di lokasi penelitian dengan menggunakan persamaan USLE (Wischmeier dan Smith, 1978) dan erosi yang diperbolehkan menurut Hammer (dalam Arsyad,
61
1989) disajikan pada Tabel 9. Perhitungan cara pendugaan erosi selengkapnya diberikan pada Lampiran 10. Tabel 9. Pendugaan Bahaya Erosi dan Erosi yang Diperbolehkan di Lokasi Penelitian Kode Lokasi
Klasifikasi Tanah
Besarnya Erosi (ton/ha/th) Aku Aju T (1)
(2)
Indeks Bahaya Erosi (1)
(2)
Kelas
B1
Oxyaquic Dystrudept
6,14
6,58
33,00
0,18
0,20
SR
B2
Typic Eutrudox
1,58
1,69
35,28
0,04
0,04
SR
B3
Typic Hapludult
5,76
6,17
24,61
0,23
0,25
SR
B4
Typic Haplohumult
2,76
2,96
31,95
0,08
0,09
SR
B5
Lithic Hapludoll
5,17
5,54
11,96
0,43
0,46
SR
B6
Aquic Eutrudept
7,76
8,31
25,80
0,30
0,32
SR
B7
Typic Hapludalf
8,70
9,32
20,99
0,41
0,44
SR
Keterangan: Indeks Bahaya Erosi (IBE) = A/T, ditetapkan menurut Hammer dalam Arsyad (1989) Nilai IBE < 0,5: kelas bahaya erosi sangat rendah (SR) Aku: Erosi pada tanaman kacang tanah- ubi kayu, Aju : Erosi pada tanaman jagung-ubi kayu
Dari Tabel 9 tampak bahwa perkiraan erosi yang terjadi (A) bila lahan ditanami berturut-turut: kacang tanah -ubi kayu (A ku) dan atau jagung-ubi kayu (A ju) selama setahun adalah sebesar 1,58 – 9,32 ton/ha/tahun, masih jauh di bawah erosi yang diperbolehkan (T), yaitu sebesar 11-35 ton/ha/tahun. Nilai indeks bahaya erosi (A/T) yang diperhitungkan pada kedua macam tutupan lahan di semua lokasi penelitian adalah kurang dari 0,5 yang berarti bahwa semua lokasi penelitian mempunyai kelas bahaya erosi yang tergolong sangat rendah. Oleh karena itu, faktor lereng atau faktor bahaya erosi dalam evaluasi kesesuaian lahan tidak diperlukan karena dianggap tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kacang tanah. Agar dapat diekstrapolasi ke daerah lain, maka besarnya lereng yang masih bisa ditanami jagung dan kacang tanah pada setiap jenis tanah dengan berasumsi bah wa besarnya erosi yang terjadi masih tergolong rendah atau E < T adalah sebagai berikut: Oxyaquic Dystrudepts lereng < 3%, Typic Eutrudox lereng < 8%, Typic Hapludults lereng < 3%, Typic Haplohumults lereng < 5%, dan pada tanah -tanah dari batu gamping (Lithic Hapludolls, Aquic Eutrudepts, dan Typic Hapludalfs) lereng < 2%.
62
Tipe Penggunaan Lahan dan Produktivitas Lahan Kering
Tipe Penggunaan Lahan Tipe penggunaan lahan (TPL) merupakan jenis -jenis penggunaan lahan yang diuraikan lebih detil, menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan dan keluaran yang diharapkan secara spesifik (FAO, 1976; Djaenudin et al., 2003). Tipe penggunaan lahan yang umum di lahan kering selain komoditas jagung dan kacang tanah juga ditanam umbi-umbian, terutama ubi kayu, masingmasing terbagi dalam 2 tingkat pengelolaan berdasarkan input yang diberikan kepada lahan usahatani, yaitu tanpa atau sangat sedikit sekali input yang diberikan (input rendah) dan input sedang. Uraian masing-masing TPL untuk jagung dan kacang tanah yang diidentifikasi berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
TPL 1: Tanaman jagung dan ubi kayu, input rendah Tipe penggunaan lahan ini memproduksi biji jagung kering 1-2 ton/ha dan 10-13 ton/ha umbi segar ubi kayu untuk bahan pangan dan atau pakan ternak. Jagung ditanam selama 3-4 bulan (90-100 hari) dan ubi kayu selama 8-9 bulan secara bergiliran di lahan kering tadah hujan (tegalan) datar atau diteras. Jagung ditanam di awal musim penghujan (Oktober-Nopember) dan setelah dipanen dilanjutkan oleh tanaman ubi kayu. Luas lahan umumnya sempit 0,1-0,3 ha. Sebagian besar hasil usahatani dikonsumsi sendiri (50-75%) dan hanya sedikit (25%) yang dijual. Modal usaha kecil, jumlah tenaga kerja sedikit berasal dari dalam keluarga. Pengolahan tanah menggunakan alat tangan (cangkul, garpu, kored, dll.). Ditanam varietas lokal dan atau varietas unggul (a.l. Bisma, Pioner), kebutuhan bibit (biji) jagung 40 kg/ha. Jarak tanam bervariasi 20-30 cm x 60-80 cm. Jagung ditanam dalam bedengan-bedengan berukuran 3-4 m x 10-12 m dan setelah tanaman berumur 1 bulan dibumbun. Ubi kayu dari bibit lokal ditanam setelah jagung dalam guludan dengan jarak tanam 1,0 x 0,8 m. Pupuk dan insektisida pemberantas hama tidak atau sedikit sekali diberikan. Sebagian petani menggunakan pupuk kandang kotoran ayam 200 -300 kg/ha, diberikan saat menanam jagung. Pada tanaman ubi kayu tidak diberikan lagi pupuk kandang.
63
Penyiangan dilakukan 1-2 kali, yaitu saat tanaman jagung berumur 1 bulan dan atau 2 bulan. Lokasi kebun umumnya relatif jauh dengan jalan desa (>500 m). Sebagian hasil dijual melalui tengkulak. Pendapatan keuntungan bersih tergolong rendah.
TPL 2: Tanaman jagung dan ubi kayu, input sedang Tipe penggunaan lahan ini memproduksi biji jagung kering 2-3 ton/ha (kadar air 14%) dan 14-17 ton/ha umbi segar ubi kayu untuk bahan pangan dan atau pakan ternak. Diusahakan satu kali tanam setahun secara bergiliran di lahan kering tadah hujan (tegalan) datar atau diteras. Jagung ditanam pada awal musim hujan (Oktober-Nopember) selama 3-4 bulan. Setelah panen dilanjutkan dengan tanaman ubi kayu selama 8-9 bulan. Luas lahan usahatani 0,3-0,8 ha, lebih luas dari lahan pada TPL 1. Sebagian besar hasil dijual (>75%) dan sedikit yang dikonsumsi (<25%). Modal usahatani sedang, jumlah tenaga kerja tergolong sedang berasal dari dalam keluarga dan luar keluarga (25-50%). Pengolahan tanah menggunakan alat tangan (cangkul, garpu, kored, dll.). Ditanam jagung varitas unggul (Bisma, Pioner, dll.). Kebutuhan bibit biji jagung kering sebanyak 40 kg/ha. Jarak tanam agak bervariasi 20 -30 cm x 70-80 cm. Ubi kayu ditanam setelah jagung dalam guludan dengan jarak tanam umumnya 1,0 x 0,8 m atau 12.500 tanaman/ha dan tidak diberikan pupuk. Pemupukan untuk jagung diberikan dengan dosis : 100 -200 kg/ha urea, 100-200 kg/ha SP-36, 50-100 kg KCl dan 500-1000 kg bahan organik (bokasi, pupuk kandang kotoran ayam). Penyemprotan hama dan penyakit tanamam 1-2 kali, biasa dilakukan saat ada serangan. Penyiangan dilakukan 2-3 kali yaitu saat tanaman berumur 2 minggu, 4 minggu dan atau 6-8 minggu. Jagung ditanam dalam bedengan-bedengan berukuran 3-4 m x 10 m dan setelah berumur 1 bulan dibumbun. Lokasi kebun umumnya dekat dengan jalan desa dan hasil mudah dijual melalui tengkulak. Pendapatan keuntungan bersih tergolong rendah sampai sedang.
TPL 3: Tanaman kacang tanah dan ubi kayu, input rendah Tipe penggunaan lahan ini memproduksi polong kacang tanah kering 0,61,2 ton/ha dan 12-14 ton/ha umbi segar ubi kayu untuk bahan pangan, sebagian
64
besar dikonsumsi sendiri dan hanya sedikit dijual (25%). Kacang tanah ditanam pada awal musim hujan (Oktober-Nopember) selama 3-4 bulan (90-100 hari), setelah dipanen dilanjutkan dengan ubi kayu selama 8-9 bulan secara bergiliran di lahan kering tadah hujan (tegalan) datar atau diteras. Luas lahan umumnya sempit, 0,1-0,3 ha. Modal kecil dan tenaga kerja sedikit berasal dari dalam keluarga. Pengolahan tanah dengan alat tangan: cangkul, garpu, kored, dll. Umumnya ditanami varietas lokal, kebutuhan bibit kacang tanah (polong kering) sekitar 80100 kg/ha. Jarak tanam bervariasi 20 -35 cm x 20-35 cm. Ubi kayu jenis lokal ditanam dalam guludan dengan jarak tanam umumnya 1,0 x 0,8 m. Pemupukan dan pemberantasan hama/penyakit tidak atau sangat jarang dilakukan. Pada tanaman kacang tanah sebagian kecil petani menggunakan pupuk kandang kotoran ayam sebanyak 200-300 kg/ha. Penyiangan dilakukan 1-2 kali, yaitu pada tanaman berumur 3-4 minggu dan atau 6-8 minggu. Pembumbunan biasanya dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan. Lokasi kebun umumnya relatif jauh dari jalan desa (>500 m). Hasilnya dapat dikonsumsi langsung dan mudah dijual ke tengkulak. Pendapatan keuntungan bersih tergolong rendah.
TPL 4: Tanaman kacang tanah dan ubi kayu, input sedang Tipe penggunaan lahan ini memproduksi polong kering kacang tanah 1,22,0 ton/ha untuk bahan pangan dan bahan industri makanan atau minyak goreng serta 15-18 ton/ha umbi segar ubi kayu untuk bahan pangan dan bahan industri tepung pati. Sebagian besar hasil usahatani dijual (75%). Kacang tanah ditanam pada awal musim hujan (Oktober-Nopember) selama 3-4 bulan (90-95 hari) dan dilanjutkan oleh ubi kayu selama 8-9 bulan secara bergiliran di lahan kering tadah hujan (tegalan) datar atau diteras. Luas lahan umumnya sempit 0,3-0,8 ha, lebih luas dari TPL 3. Modal usahatani kecil sampai sedang. Jumlah tenaga kerja tergolong sedang berasal dari dalam keluarga dan luar keluarga (25-50%). Pengolahan tanah dengan alat tangan: cangkul, garpu, kored, dll.
Ditanam
varietas lokal dan atau varietas unggul (a.l. Kidang, Gajah, Kelinci) pada bedengan berukuran 3-4 m x 8-10 m. Kebutuhan bibit (polong kering) kacang tanah sebanyak 80-100 kg/ha. Jarak tanam agak bervariasi 20-35 cm x 20-35 cm. Pemupukan dengan dosis per -hektar: 50-100 kg urea, 100-200 kg SP-36, 50-100
65
kg KCl dan 500-1000 kg bahan organik (bokasi, pupuk kandang kotoran ayam). Penyemprotan hama/penyakit dilakukan 1-2 kali sesuai kebutuhan dan biasanya pada saat terjadi serangan hama/penyakit. Penyiangan dilakukan 2-3 kali, yaitu 2 minggu, 4 minggu dan 6-8 minggu setelah tanam. Pada tanaman berumur 1 bulan dilakukan pembumbunan, biasanya bersamaan dengan penyiangan kedua. Ubi kayu ditanam setelah kacang tanah dipanen, dalam guludan dengan jarak tanam umumnya 1,0 x 0,8 m dan tidak diberikan pupuk lagi. Lokasi kebun umumnya dekat dengan jalan desa dan hasilnya mudah dijual ke pasar atau melalui tengkulak. Pendapatan keuntungan bersih tergolong rendah sampai sedang. Produktivitas Lahan Kering di Lokasi Penelitian Produktivitas lahan kering untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang berdasarkan pada hasil percobaan lapangan di 7 lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 11. Hasil-hasil selengkapnya dari komponen produksi yang diamati dan diukur di lapangan diberikan pada Lamp iran 11 dan 12. Tabel 10. Produksi Rata-rata Jagung dan Kacang Tanah di Lokasi Penelitian
B1
Oxyaquic Dystrudept
Produktivitas Lahan (ton/ha/musim) Jagung Kacang Tanah (Biji kering) (Polong kering) TPL-1 TPL-2 TPL-3 TPL-4 2,712 Ba 4,890 Aa 1,505 Bb 2,205 Ab
B2
Typic Eutrudox
1,385 Bc
2,155 Ac
0,825 Bd
1,185 Ae
B3
Typic Hapludult
0,290 Be
1,185 Ad
0,610 Bf
1,065 Ae
B4
Typic Haplohumult
0,590 Bd
1,315 Ad
0,680 Bf
1,410 Ac
B5
Lithic Hapludoll
1,355 Bc
3,480 Ab
0,900 B c
1,560 Ac
B6
Aquic Eutrudept
1,885 Bb
4,805 Aa
1,680 Ba
2,670 Aa
B7
Typic Hapludalf
0,210 Be
2,080 Ac
0,720 Be
1,340 Ad
Kode Lokasi
Klasifikasi Tanah
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil sama menurut kolom dan huruf besar sama menurut baris dalam kelompok variabel yang sama me nunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
66
Produktivitas jagung dan kacang tanah di semua lokasi penelitian cukup beragam, terutama produksi tanaman jagung pada input rendah (TPL 1) mulai dari 0,210 ton/ha sampai 2,712 ton/ha biji kering dan untuk produksi kacang tanah (TPL 3) mulai dari 0,610 ton/ha sampai 1,680 ton/ha polong kering. Sedangkan pada TPL 2 untuk jagung dan TPL 4 untuk kacang tanah dengan input sedang memberikan produksi lebih tinggi dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan TPL input rendah, yaitu berkisar dari 1,185 ton/ha sampai 4,890 ton/ha biji kering jagung dan 1,065 ton/ha sampai 2,670 ton/ha polong kering kacang tanah. Uji Duncan pada taraf nyata 5% terhadap pengaruh lokasi (keragaman tanah) dan perlakuan pengelolaan lahan pada komponen produksi jagung dan kacang tanah menunjukkan perbedaan nyata. Keragaman produktivitas jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian tampaknya sangat berhubungan erat dengan keragaman bahan induk, perkembangan tanah dan pengelolaan lahannya.
5,5 4,89
Produksi Jagung (ton/ha)
5,0
4,8
4,5 4,0 3,48
3,5 3,0
2,71
2,5
2,16
2,08 1,89
2,0 1,39
1,5
1,31
1,19
1,0
1,37
0,59
0,5
0,29
0,21
0,0 B1
B2
TPL_1
B3
B4
B5
B6
B7
TPL_2
Gambar 11. Produksi Jagung pada Input Rendah (TPL 1) dan Input Sedang (TPL 2) di Lokasi Penelitian
67
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan Kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, biasanya terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan (FAO, 1976; Hardjowigeno et al., 1999). Mengacu kepada kualitas lahan yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering seperti dikemukakan oleh Djaenudin et al. (2003), FAO (1983) dan Sys et al., (1993), jenis-jenis kualitas lahan yang erat hubungannya dengan bahan induk dan perkembangan tanah adalah ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan hara, daya retensi hara, bahaya keracunan, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi atau degradasi tanah. Kualitas lahan pada berbagai bahan induk dan perkembangan tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11.
Pengaruh Bahan Induk terhadap Kualitas Lahan Karakteristik tanah yang menyusun kualitas lahan seperti pada Tabel 11 tersebut berasal dari sifat-sifat morfologi, mineralogi, fisika dan kimia tanah yang sangat dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Ketersediaan air yang diduga dari pori air tersedia dari tanah -tanah yang berkembang dari bahan induk volkanik tergolong sedang (Lembaga Penelitian Tanah, 1974), yang berarti akan cukup tersedia air dalam tanah untuk tanaman. Bila curah hujan cukup dan tidak merupakan faktor pembatas, maka jumlah air yang tersedia dalam tanah tergantung dari jumlah pori air tersedia. Semakin besar kandungan pori air tersedia dalam tanah maka semakin besar kemampuan tanah untuk menyediakan air bagi tanaman. Berdasarkan pada jumlah pori air tersedia, tanah berbahan induk volkanik mempunyai kualitas lahan ketersediaan air yang relatif lebih baik dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen. Hal ini diduga karena pengaruh dari proses atau sifat batuan induk sedimen yang memadat (masif). Peningkatan ketersediaan air dalam tanah dapat disebabkan oleh pengaruh proses pelapukan bahan induk dan juga pengaruh kandungan bahan organik tanah (Hardjowigeno, 1995).
68
Tabel 11. Kualitas Lahan pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian No 1 2
3
4
5
6
7
Kualitas/karakteristik lahan Ketersediaan air: Pori air tersedia (% vol) Ketersediaan oksigen: Kelas drainase tanah Pori drainase cepat (%vol) Ketersediaan hara: -Tingkat ketersediaan: N-total (%) P-tersedia (ppm) K-dd (me/100 g) -Indikator ketersediaan: Ph Nisbah Fe2O3 /liat -Indikator pembaharuan: K-total (mg/100 g) P-total (mg/100 g) Mineral dapat lapuk (%) Daya retensi hara: pH KTK-liat (cmol(+)/kg liat) Kejenuhan Basa (%) C-organik (%) Kondisi perakaran: Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman efektif (cm) Bobot isi (g/cm3) Bahaya keracunan: Al-dd (me/100 g tanah) Kejenuhan Al (%) Kemudahan pengolahan Tekstur lapisan atas(klas) Nisbah (pasir+debu)/liat Dominasi tipe liat
Volkanik Udept Udox (B1) (B2)
Sed imen masam Udult Humult (B3) (B4)
Sedimen basa Udoll Udept Udalf (B5) (B6) (B7)
13,9
11,5
10,3
12,3
11,0
11,8
12,0
at 11,1
b 17,7
b 7,8
b 12,8
s 9,8
at 10,2
s 12,3
0,18 79,90 0,68
0,16 14,32 0,13
0,20 10,80 0,14
0,28 12,70 0,22
0,20 16,60 0,14
1,13 50,60 0,13
0,10 5,40 0,05
5,0 0,06
4,8 0,07
4,2 0,10
4,2 0,07
6,5 0,06
5,6 0,10
5,1 0,10
32,00 160,0 38
6,00 36,0 3
9,00 37,0 2
12,00 38,0 10
9,00 19,0 10
9,00 98,0 3
6,00 18,0 1
5,0 28,71 49,0 1,39
4,8 14,61 47,5 1,22
4,2 26,67 13,5 1,66
4,2 42,00 30,0 1,95
6,5 64,95 99,0 1,30
5,6 47,49 100,0 1,01
5,1 46,11 69,0 0,91
halus <2% >120 1,11
halus <2% >120 0,98
halus <2% >120 1,07
halus <2% >120 0,89
halus <2% 46 1,04
halus <2% 120 1,29
halus <2% 120 1,28
0,35 3,7
1,47 16,0
9,43 81,0
7,34 59,0
0,00 0,0
0,00 0,0
4,34 33,5
liat 0,46 H
liat 0,12 K
liat 1,00 K/V
liat 0,29 M/K
liat 0,27 M/K
liat 1,01 M/K
liat 1,33 M/K
Bahaya erosi: Kepekaan erosi (K) 0,18 0,10 0,25 0,12 0,22 0,33 8 Lereng (%) <2% <2% <2% <2% <2% <2% Bahaya erosi sr sr sr sr sr sr Keterangan: Kelas drainase: at=agak terhambat, b=baik, s=sedang Tipe liat: H=haloisit, K=kaolinit, V=Vermikulit, M=montmorilonit Bahaya erosi: sr=sangat rendah
0,37 <2% sr
69
Ketersediaan oksigen ditentukan oleh kelas drainase tanah dan pori aerasi (pori drainase cepat). Kelas drainase tanah di lokasi penelitian termasuk baik sampai agak terhambat, umumnya baik sampai sedang. Drainase tanah agak terhambat lebih disebabkan oleh faktor penggunaan lahan, dimana lahan saat ini atau sebelumnya pernah disawahkan dalam waktu yang relatif lama. Secara umum, tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai drainase lebih baik dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen yang didukung oleh data pori drainase cepat. Pori drainase cepat dari tanah-tanah volkanik tergolong sedang (11,1-17,7% volume), sementara tanah-tanah dari batuan sedimen tergolong rendah sampai sedang (7,812,8% volume). Ini menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman dari bahan volkanik relatif lebih baik daripada batuan sedimen. Ketersediaan oksigen dalam tanah berhubungan juga dengan kandungan bahan organik tanah. Kandungan bahan organik tanah yang tinggi cenderung meningkatkan ketersediaan oksigen dalam tanah. Ketersediaan hara dalam tanah dapat diduga dari indikator tingkat ketersediaan hara, indikator ketersediaan dan indikator pembaharuan hara (FAO, 1983). Tingkat ketersediaan hara ditetapkan dari N-total, P-tersedia dan K yang dapat dipertukarkan (K-dd). Indikator ketersediaan ditetapkan oleh pH tanah dan nisbah Fe2O3 /liat. Sedangkan indikator pembaharuan ditetapkan dari P dan K total serta jumlah mineral dapat lapuk. Kadar N-total, P-tersedia dan K-dd dalam tanah dari berbagai bahan induk agak bervariasi, terutama P-tersedia dari rendah sampai tinggi. Tingginya kadar P-tersedia pada sebagian lokasi penelitian (B1 dan B6) diduga akibat dari pengaruh penggunaan lahan dan pemberian pupuk P yang terus menerus ke dalam tanah. Pengaruh bahan induk terhadap ketersediaan hara sangat baik dicerminkan oleh pH tanah. Tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai pH tergolong masam, sedangkan tanah-tanah dari batuan sedimen masam tergolong sangat masam dan tanah -tanah dari batuan sedimen basa mempunyai pH tergolong lebih baik, umumnya agak masam sampai netral. Nilai nisbah Fe2O3 /liat tanah pada semua bahan induk tanah tampak sedikit bervariasi menunjukkan kandungan besi bebas hampir sama dan sedikit pengaruhnya terhadap ketersediaan hara, terutama P-tersedia (FAO, 1983). Mineral dapat lapuk menunjukkan cadangan hara dalam tanah. Pengaruh bahan induk tanah terhadap
70
ketersediaan hara dalam tanah sangat jelas dicerminkan olek kandungan mineral dapat lapuk dalam tanah (gelas volkan, feldspar, mineral feromagnesian). Tanah dari bahan volkanik mengandung lebih banyak mineral dapat lapuk dibanding tanah dari batuan sedimen. Kandungan mineral dapat lapuk pada tanah-tanah dari bahan volkanik relatif lebih baik daripada tanah -tanah dari batuan sedimen. Secara umum, ketersediaan hara dari tanah-tanah volkanik lebih baik daripada tanah tanah dari batuan sedimen. Tanah-tanah dari batuan sedimen masam memiliki ketersediaan hara yang paling rendah dibanding tanah-tanah dari kedua bahan induk lainnya. Pengaruh bahan induk terhadap daya retensi hara diduga dari pH, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB). Reaksi tanah (pH) yang optimum untuk kebanyakan tanaman adalah 5,5-7,0. Terlalu rendah pH (<4,0) dan terlalu tinggi pH (>7,5) menyebabkan tidak tersedianya hara yang dibutuhkan tanaman. Reaksi tanah yang sangat masam dapat meningkatkan kelarutan unsur yang bersifat racun (Al). Pengaruh bahan induk terhadap ketersediaan dan retensi hara sangat baik dicerminkan oleh pH tanah. Reaksi tanah dari bahan volkan relatif lebih baik dari tanah batuan sedimen masam, sedangkan pH tanah dari batuan sedimen basa (batu gamping) lebih tinggi dan mendekati netral. Pengaruh bahan induk tanah sangat besar terhadap KTK tanah, terutama berhubungan dengan kandungan tipe liat di dalam tanah. Tanah dari bahan volkanik mempunyai KTK liat relatif lebih rendah dibanding tanah -tanah dari batuan sedimen yang mengandung tipe liat 2:1 (montmorilonit). Pengaruh bahan induk terhadap daya retensi hara juga dicerminkan oleh kejenuhan basa tanah. Kejenuhan basa dari tanah-tanah volkanik relatif lebih tinggi dibanding tanah -tanah dari batuan sedimen masam Jasinga, sedangkan kejenuhan basa dari tanah -tanah sedimen basa Jonggol tergolong sangat tinggi dan mencapai 100%. Kejenuhan basa tinggi yang disertai KTK tanah tinggi mencerminkan daya retensi hara tinggi dan sebaliknya semakin kecil kejenuhan basa dan KTK tanah menunjukkan daya retensi hara yang rendah. Daya retensi hara tinggi berarti tanah mempunyai kemampuan memegang hara dengan kuat dan hara tidak mudah hilang karena pencucian.
71
Pengaruh bahan induk terhadap kondisi perakaran diduga dari tekstur, kandungan bahan kasar (kerikil atau batu-batuan) kedalaman efektif tanah dan bobot isi (BD). Kandungan bahan kasar dan tekstur tanah hampir sama untuk semua bahan induk tanah di lokasi penelitian, walaupun sedikit bervariasi dari kandungan liatnya. Kedalaman efektif tanah menggambarkan kedalaman tanah yang dapat ditembus akar tanaman dengan mudah dan tanpa mendapatkan hambatan. Tanah-tanah volkanik yang mudah terlapuk memiliki kedalaman efektif yang relatif lebih dalam dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen. Tanah-tanah dari batugamping Jonggol memiliki kedalaman efektif relatif lebih dangkal dibanding dengan tanah-tanah dari bahan volkanik dan batuan sedimen masam (bertufa) Jasinga. Hal ini diduga karena batuan induk dari batugamping relatif lebih lambat melapuk dan tanah yang terbentuk sangat peka atau lebih mudah tererosi. Bobot isi tanah menunjukkan besarnya pengaruh tanah terhadap tingkat kepadatan tanah dan daya penetrasi atau perkembangan akar tanaman. Bobot isi tanah lebih dari 1,5 g/cm3 dianggap tanah telah memadat dan menghambat pertumbuhan akar tanaman. Di lokasi penelitian nilai BD tanah berkisar dari 0,89 sampai 1,29 g/cm3, masih di bawah 1,5 g/cm3, sehingga belum merupakan pembatas terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaruh bahan induk terhadap bobot isi tanah dari tanah-tanah volkanik dan batuan sedimen masam (bertufa) tidak begitu jelas.Tanah dari kedua bahan tersebut memiliki bobot isi yang hampir sama (rata-rata 1,04-0,98 g/cm3) namun agak berbeda dibanding bobot isi tanah dari sedimen basa yang menunjukkan lebih tinggi (rata-rata 1,2 g/cm3). Ditinjau dari media perakaran tanaman, terutama berdasarkan kedalaman efektif dan bobot isi tanah, maka tanah -tanah dari bahan volkanik relatif lebih baik daripada batuan sedimen, kemudian diikuti oleh tanah-tanah dari batuan sedimen (bertufa) masam dan batuan sedimen basa. Namun karena tujuan penilaiannya untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah yang memerlukan kedalaman perakaran tanaman yang relatif dangkal, maka perbedaan kondisi perakaran yang ada pada setiap bahan induk tanah tidak akan banyak berpengaruh terhadap produktivitas tanaman.
72
Pengaruh bahan induk terhadap bahaya keracunan dapat diduga dari Al-dd atau kejenuhan aluminium (K-Al). Kejenuhan aluminium lebih besar dari 60% sudah tergolong sangat tinggi dan dapat bersifat racun bagi beberapa jenis tanaman pangan (Hardjowigeno, 1993). Tanah -tanah dari bahan volkanik mempunyai kejenuhan aluminium yang lebih rendah (3,7-16,0%) dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen masam yang mempunyai kejenuhan aluminium sangat tinggi (59-81%), sedangkan tanah-tanah dari batuan induk sedimen basa umumnya mempunyai kejenuhan aluminium sangat rendah (mendekati 0), kecuali pada tanah yang lebih berkembang (B7) tergolong sedang (33,5%). FAO (1983), memasukkan faktor kedalaman karbonat ke dalam kualitas lahan bahaya keracunan. Pengaruh bahaya keracunan yang ditimbulkan karbonat bersifat tidak langsung, lebih kepada pengaruh konsentrasi karbonat yang tinggi sehingga akar tanaman dijenuhi unsur Ca dan menghalangi akar tanaman menyerap hara lainnya. Kadar Ca yang tinggi dalam tanah dapat menyebabkan tidak tersedianya P dan hara mikro (Cu, Fe, Zn, B, Mo) serta menghambat serapan hara K dan Mg bagi tanaman. Semakin dangkal kedalaman karbonat maka berpotensi menimbulkan bahaya keracunan atau kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman. Di lokasi penelitian, tanah yang kemungkinan bermasalah karena mempunyai kedalaman karbonat relatif dangkal adalah Brown Forest Soil (B5) di Jonggol. Kejenuhan Ca dari tanah-tanah volkanik dan tanah dari sedimen basa tergolong tinggi, yaitu rata-rata 68,9% untuk tanah volkanik dan 79,5% untuk tanah dari sedimen basa, sedangkan tanah dari batuan sedimen masam termasuk rendah (rata-rata 23,2%). Pengaruh konsentrasi karbonat atau kejenuhan Ca tinggi, sekalipun terdapat pada tanah dangkal dari batugamping, seperti Renzina dan atau Brown Forest Soil di Jonggol, namun sampai saat ini belum ditemukan adanya kasus pengaruh bahaya keracunan yang serius terhadap tanaman (FAO, 1983). Kemudahan pengolahan tanah diduga dari tekstur tanah, nisbah % (pasir+debu)/%liat dan komposisi mineral liat tanah. Semakin halus tekstur tanah maka akan semakin sulit tanah diolah, apalagi bila tanah tersebut didominasi oleh tipe liat 2:1, tanah lengket bila dicangkul dan menjadi keras dan retak -retak pada musim kemarau. Semakin besar nilai nisbah % (pasir+debu)/%liat, maka semakin
73
mudah tanah diolah, karena semakin sedikit kandungan liat dalam tanah. Kelas tekstur tanah di semua lokasi penelitian tergolong sama, yaitu liat, sehingga pengaruh bahan induk dan perkembangan tanah terhadap kemudahan pengolahan tanah ditinjau dari tekstur tanah tidak tampak berbeda. Pengaruh bahan induk terhadap kualitas lahan ini lebih jelas terlihat dari nisbah %(pasir+debu)/%liat dan kandungan tipe liat tanah. Tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai nilai nisbah % (pasir+debu)/ %liat berkisar dari 0,12 – 0,46, relatif lebih kecil dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen, berkisar dari 0,29 -1,00 untuk tanah dari batuan sedimen masam dan 0,27-1,33 untuk tanah dari batuan sedimen basa. Ini berarti kandungan liat dari tanah-tanah volkanik relatif lebih tinggi dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen, namun karena kandungan tipe liatnya didominasi tipe 1:1 dan struktur tanahnya remah atau gumpal halus sehingga menjadi tidak sulit diolah. Sedangkan pada tanah-tanah dari batuan sedimen, walaupun mempunyai nilai nisbah lebih besar, yang berarti kandungan liatnya lebih rendah, namun masih di atas 40% dengan tipe liat didominasi 2:1 menyebabkan pengolahan tanah menjadi lebih berat dan tanah lebih lengket bila dicangkul, seperti pada tanah-tanah di Jonggol (B5, B6). Pada sebagian tanah Jasinga (B4), meskipun kandungan liatnya tinggi dan tipe liat didominasi oleh tipe 2:1, tetapi karena kandungan bahan organiknya juga cukup tinggi, maka tanah tersebut masih mudah diolah. Bahaya erosi dapat diduga dari kepekaan erosi tanah (soil erodibility), yang dapat ditetapkan dengan bantuan nomograf erodibilitas tanah (Wischmeier et. al., 1971 dalam Arsyad, 1989). Hasil penetapan nilai kepekaan erosi tanah (K) dari tanah-tanah di lokasi penelitian berkisar dari 0,10 sampai 0,37, sangat rendah sampai agak tinggi (Arsyad, 1989). Tanah -tanah dari bahan volkanik mempunyai nilai K sebesar 0,10 sampai 0,18, tergolong sangat rendah sampai rendah, relatif lebih kecil bila dibanding dengan tanah -tanah dari batuan sedimen. Tanah-tanah dari batuan sedimen masam memiliki nilai K berkisar dari 0,12 sampai 0,25, tergolong rendah sampai sedang, lebih rendah dari tanah-tanah dari batuan sedimen basa yang mempunyai nilai K= 0,22 sampai 0,37, sedang sampai agak tinggi. Berdasarkan bahan induk tanahnya, dapat dikemukakan bahwa tanah-tanah dari batuan sedimen basa (batu gamping) mempunyai kepekaan erosi yang lebih
74
tinggi daripada tanah-tanah dari batuan sedimen masam dan bahan volkanik. Tanah-tanah dari bahan volkanik memiliki kepekaan erosi yang paling rendah dibanding tanah-tanah dari kedua bahan induk lainnya. Berdasarkan keadaan lereng dan hasil perhitungan besarnya erosi yang terjadi di lokasi penelitian menunjukkan bahaya erosi yang terjadi pada semua tanah dari berbagai bahan induk tergolong sangat rendah. Berdasarkan uraian diatas, secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh bahan induk di lokasi penelitian tampak sangat jelas terhadap kualitas lahan ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan. Ketersediaan hara tampak lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pengelolaan lahan. Terhadap kualitas lahan lainnya, yaitu ketersediaan air, ketersediaan oksig en, kondisi perakaran, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi kurang tampak atau sedikit sekali dipengaruhi oleh bahan induk tanah.
Pengaruh Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan Secara umum dapat dikemukakan bahwa perkembangan tanah dari tanah tanah yang berkembang dari semua bahan induk tanah yang diteliti pada tingkat lanjut cenderung menurunkan kualitas lahan (Tabel 11). Tampak jelas pengaruh perkembangan tanah pada kualitas lahan ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan hara, daya retensi hara, kondisi perakaran, bahaya keracunan, kemudahan pengolahan tanah dan bahaya erosi. Perkembangan tanah dari bahan volkanik tampak menurunkan jumlah pori air tersedia atau ketersediaan air. Hal ini diduga berhubungan dengan proses pelapukan bahan induk yang menghasilkan jumlah liat tinggi dan membentuk struktur tanah remah halus, sehingga meningkatkan jumlah pori aerasi dan sebaliknya menurunkan jumlah pori air tersedia. Hal yang sama terjadi pada tanah-tanah dari batuan sedimen masam di Jasinga yang telah tercampuri di atasnya oleh bahan volkanik masam (tufa dasitik). Pada tanah -tanah yang berasal dari batuan sedimen basa (batu gamping) di Jonggol, perkembangan tanah dapat meningkatkan jumlah pori air tersedia, hal ini diduga berkaitan dengan proses pembentukan dan perkembangan struktur tanah dari masif, lempeng, atau gumpal bersudut kasar menjadi gumpal atau gumpal bersudut halus. Perkembangan tanah
75
juga cenderung meningkatkan jumlah pori aerasi tanah yang berarti juga meningkatkan ketersediaan oksigen tanah. Pengaruh perkembangan tanah terhadap ketersediaan hara dicerminkan oleh kadar hara tersedia dan hara cadangan dalam tanah (P dan K-total, mineral dapat lapuk) serta pH tanah. Perkembangan tanah cenderung menurunkan hara tersedia dan pH tanah. Penurunan pH tanah diduga terjadi akibat pelepasan dan pencucian kation-kation basa tanah (Na, K, Ca, Mg), yang berarti juga menurunkan ketersediaan hara dalam tanah. Perkembangan tanah pada tahap lanjut juga menurunkan kandungan mineral dapat lapuk dalam tanah, seperti tampak jelas pada tanah-tanah volkanik, Dystrudept (B1) dibanding Eutrudox (B2). Nilai nisbah Fe2O3 /liat untuk semua jenis bahan induk tidak terlalu tampak berbeda, berkisar dari 0,6 sampai 1,0. Perkembangan tanah cenderung meningkatkan nilai nisbah Fe2O3/liat, yang berarti meningkatkan kadar besi bebas dalam tanah yang selanjutnya dapat menurunkan ketersediaan hara dalam tanah, terutama P-tersedia akan terikat oleh besi bebas (Fe-P) menjadi bentuk tidak tersedia dalam tanah (FAO, 1983). Perkembangan tanah berpengaruh terhadap daya retensi hara, yang dicerminkan oleh pH, KTK, KB dan bahan organik tanah. Pada tahap lanjut, perkembangan tanah menurunkan daya retensi hara. Nilai KTK liat menurun sejalan dengan perkembangan tanah akibat perubahan atau menurunnya kandungan tipe liat 2:1 di dalam tanah berbahan induk batuan sedimen dan perubahan mineral liat haloisit menjadi kaolinit pada tanah volkanik. Pada perkembangan tanah Dystrudept menjadi Eutrudox dari bahan volkanik terjadi perubahan min eral liat haloisit menjadi kaolinit, dan dimungkinkan juga terbentuk goetit seperti dilaporkan oleh Subardja dan Buurman (1980), diikuti oleh penurunan KTK liat dari 28,7 cmol(+)/kg liat menjadi 14,6 cmol(+)/kg liat. Hal yang sama terjadi pada tanah -tanah berbahan induk batuan sedimen masam dan basa. Perubahan kemasaman tanah (pH) menjadi lebih masam atau sangat masam akibat pencucian kation-kation basa dalam tanah mengakibatkan terjadinya perubahan atau penurunan kadar montmorilonit menjadi kaolinit, diikuti oleh penurunan KTK-liat tanah. Besarnya KTK tanah selain berasal dari sumbangan
76
jumlah dan jenis liat dalam tanah juga berasal dari sumbangan bahan organik tanah. Perkembangan tanah cenderung menurunkan kadar bahan organik tanah. Perkembangan tanah ditandai oleh peningkatan kadar liat sebagai koloid aktif dalam tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan hara dan daya retensi hara di dalam tanah serta memberikan kemudahan akar tanaman dapat berkembang. Namun ini sangat ditentukan oleh jumlah dan tipe liat di dalam tanah. Bahan volkanik relatif lebih mudah melapuk dibanding batuan sedimen (batuliat, napal dan atau batugamping) yang masif, sehingga mendorong terbentuknya tanah-tanah bersolum dalam dengan kadar liat tinggi. Sedangkan batuan sedimen relatif lambat melapuk sehingga membentuk tanah-tanah yang relatif dangkal dengan kandungan liat relatif rendah. Pada tanah volkanik, pengaruh perkembangan tanah cenderung meningkatkan kadar liat tanah, sedangkan tanah-tanah dari batuan sedimen menunjukkan hal sebaliknya dimana perkembangan tanah menurunkan kadar liat tanah. Hal ini diduga karena pada tanah-tanah dari batuan sedimen, terutama batuan sedimen basa, liat didominasi oleh tipe liat 2:1 yang mudah terdispersi sehingga mudah tererosi. Pengaruh perkembangan tanah terhadap bobot isi tidak begitu jelas pada tanah-tanah volkanik. Pada tanah -tanah dari batuan sedimen, terutama batuan sedimen basa, perkembangan tanah cenderung meningkatkan bobot isi tanah. Perkembangan tanah cenderung meningkatkan Al-dd atau kejenuhan aluminium dan mendorong terjadinya bahaya keracunan bagi tanaman. Kejenuhan aluminium diatas 60% dapat mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman (Hardjowigeno, 1993). Dalam kaitan ini, tanah -tanah dari bahan volkanik dan batuan sedimen basa memiliki Al-dd atau kejenuhan aluminium rendah sampai sangat rendah, sedangkan tanah -tanah dari batuan sedimen masam mengandung Al-dd dan kejenuhan aluminium sangat tinggi yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Pengaruh perkembangan tan ah terhadap tingkat kemudahan pengolahan tanah tampak pada tanah-tanah dari bahan volkanik menurunkan nilai nisbah atau meningkatkan kandungan liat yang berarti juga meningkatkan kesulitan pengolahan tanah. Sedangkan untuk tanah -tanah dari batuan sedimen berlaku sebaliknya, perkembangan tanah meningkatkan nilai nisbah atau menurunkan
77
kadar liat dan kandungan tipe liat 2:1, sehingga meningkatkan kemudahan dalam pengolahan tanah. Dalam praktek, walaupun tanah -tanah dari bahan volkanik mengandung liat relatif tinggi tetapi karena didominasi tipe liat 1:1 maka dalam pengolahan tanahnya relatif mudah dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen yang mengandung liat lebih rendah dengan tipe liat yang didominasi oleh 2:1. Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Produksi Tanaman Data rata-rata produksi jagung dan kacang tanah di 7 lokasi penelitian dari 3 jenis bahan induk dan 7 macam tanah pada 4 tipe penggunaan lahan (TPL) disajikan pada Tabel 12. Produksi jagung dan kacang tanah pada berbagai macam tanah dan tingkat pengelolaan lahan disajikan pada Gambar 12. Tabel 12. Produksi Tanaman pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian No. TPL
1.
2.
3.
4.
Komponen Produksi
Jagung, input rendah Brangkasan kering Biji kering Jagung, input sedang Brangkasan kering Biji kering Kacang, input rendah Brangkasan kering Polong kering Kacang, input sedang Brangkasan kering Polong kering
Volkanik Udept Udox (B-1) (B-2) (t/ha) (t/ha)
Sedimen masam Udult Humult (B-3) (B-4) (t/ha) (t/ha)
Udoll (B-5) (t/ha)
Sedimen basa Udept Udalf (B-6) (B-7) (t/ha) (t/ha)
4,190 2,712
1,870 1,385
0,425 0,290
1,375 0,590
1,765 1,355
3,220 1,885
0,415 0,210
6,280 4,890
2,780 2,155
2,015 1,185
3,545 1,315
4,915 3,480
6,155 4,805
3,020 2,080
2,305 1,505
1,410 0,825
1,175 0,610
1,430 0,680
1,460 0,900
2,465 1,680
1,235 0,720
3,770 2,205
1,990 1,185
1,815 1,065
2,305 1,410
2,900 1,560
4,635 2,670
2,235 1,340
Pengaruh Bahan Induk terhadap Produksi Tanaman Pada semua TPL yang d iterapkan, produksi jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang, baik dalam bentuk bobot rata-rata brangkasan kering maupun biji kering atau polong kering menunjukkan hasil yang cukup bervariasi pada setiap bahan induk dan macam tanah.
78
Gambar 12. Produksi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Berbagai Jenis Tanah dan Tingkat Pengelolaan Lahan di Lokasi Penelitian
79
Pada TPL 1, produksi jagung dengan input rendah, dalam bentuk brangkasan kering menunjukkan kisaran hasil dari 0,485 sampai 4,190 ton/ha dan untuk biji kering berkisar dari 0,210 sampai 2,712 ton/ha. Produksi brangkasan dan biji kering dari tanah-tanah volkanik relatif lebih tinggi bila dibanding dengan tanah-tanah dari bahan induk lainnya, yaitu sebesar 1,870 – 4,190 ton/ha atau ratarata produksi 3,030 ton/ha untuk brangkasan kering dan 1,385 – 2,712 ton/ha atau rata-rata 2,048 ton/ha untuk biji kering. Produksi brangkasan dan biji kering dari tanah-tanah yang berkembang dari batuan sedimen basa lebih rendah, berkisar dari 0,485 – 3.220 ton/ha atau rata-rata 1,825 ton/ha brangkasan kering dan 0,210 – 1,885 ton/ha atau rata-rata 1,151 ton/ha biji kering. Sedangkan untuk tanah tanah dari batuan sedimen masam, hasilnya sangat rendah, yaitu berkisar dari 0,425 – 1,375 ton/ha atau rata-rata 0,900 ton/ha brangkasan kering dan 0,290 – 0,590 ton/ha atau rata-rata 0,440 ton/ha biji kering. Pada TPL 2, produksi jagung dengan input sedang menunjukkan hasil yang lebih tinggi bila dibanding dengan produksi pada TPL 1, yaitu 2,15 kali untuk brangkasan kering dan 2,40 kali lebih besar untuk biji kering jagung. Produksi tertinggi yaitu 6,280 ton/ha brangkasan kering dan 4,890 ton/ha biji kering jagung dicapai oleh Dystrudept dari bahan volkanik, sedangkan produksi terendah sebesar 2,015 ton/ha brangkasan kering dan 1,185 ton/ha biji kering jagung pada Hapludult Jasinga dari batuan sedimen masam. Pengaruh bahan induk tanah terhadap produksi jagung juga terlihat jelas pada TPL 2, seperti halnya pada TPL 1. Produksi jagung rata-rata tertinggi dicapai oleh tanah-tanah dari bahan volkanik, kemudian diikuti oleh tanah -tanah dari batuan sedimen basa dan terendah pada tanah-tanah dari batuan sedimen masam. Rendahnya hasil dari Hapludult-Jasinga yang berkembang dari batuan sedimen masam diduga disebabkan oleh pengaruh kemasaman tanah dan tingginya kadar aluminium yang bersifat racun terhadap tanaman serta rendahnya ketersediaan hara, terutama Ptersedia di dalam tanah. Produksi rata-rata kacang tanah pada TPL 3 (input rendah), baik berupa brangkasan kering maupun polong kering pada ketiga bahan induk tanah terlihat hampir sama dan menunjukkan perbedaan hasil yang tidak begitu nyata, walaupun tampak pada bahan volkanik relatif sedikit lebih baik. Produksi rata-rata
80
brangkasan kering berdasarkan bahan induk tanah adalah 1,857 ton/ha dari bahan volkanik, 1,302 ton/ha dari batuan sedimen masam dan 1,720 ton/ha dari batuan sedimen basa. Produksi rata-rata polong kering 1,165 ton/ha dari bahan volkanik, 0,625 ton/ha dari batuan sedimen masam dan 1,100 ton/ha dari batuan sedimen basa. Produksi kacang tanah berdasarkan macam tanahnya menunjukkan variasi hasil yang cukup besar dan tampak pengaruh perkembangan tanah terhadap penurunan produktivitas lahan. Produksi brangkasan kering berkisar dari 1,235 sampai 2,465 ton/ha dan polong kering 0,610 sampai 1,680 ton/ha. Produksi kacang tanah tertinggi (2,465 ton/ha brangkasan kering dan 1,680 ton/ha polong kering) diperoleh dari Eutrudept (B6) yang berkembang dari batuan sedimen basa dan produksi terendah sebesar 1,175 ton/ha brangkasan kering dan 0,610 ton/ha polong kering pada Hapludult dari batuan sedimen masam. Produksi kacang tanah yang relatif lebih baik pada sebagian tanah yang berkembang dari batuan sedimen basa (batu gamping) diduga karena lingkungan kimia tanahnya sangat mendukung pertumbuhan tanaman, yaitu kemasaman tanah, kejenuhan basa, ketersediaan hara terutama Ca-dd lebih baik dan kejenuhan aluminium sangat rendah. Sebaliknya dengan Hapludult dari batuan sedimen masam memiliki reaksi tanah yang sangat masam, kejenuhan basa dan Ca-dd sangat rendah dan kejenuhan Al sangat tinggi (73-89%). Produksi kacang tanah pada TPL 4 (input sedang) menunjukkan perbedaan hasil sangat nyata bila dibanding dengan TPL 3 (input rendah), yaitu 1,73 kali lebih tinggi untuk produksi brangkasan kering dan 1,58 kali lebih tinggi untuk produksi polong kering. Pada TPL 4 hampir sama halnya seperti pada TPL 3, bahwa produksi rata-rata kacang tanah berdasarkan asal bahan induk tanahnya tidak menunjukkan hasil yang begitu berbeda, berkisar dari 2,880 – 3,256 ton/ha brangkasan kering dan 1,695 – 1,856 ton/ha polong kering, walaupun masih tampak bahwa produksi rata-rata kacang tanah pada bahan induk batuan sedimen basa relatif lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa pengaruh bahan induk tidak begitu besar terhadap produksi kacang tanah, yang berarti juga bahwa tanaman kacang tanah cukup toleran dan dapat berproduksi cukup baik pada ketiga jenis bahan induk tanah tersebut.
81
Besarnya produksi yang diakibatkan oleh pengaruh perbedaan pengelolaan lahan, baik terhadap jagung maupun kacang tanah pada tanah -tanah dari bahan induk berbeda cukup bervariasi. Pengaruh pengelolaan lahan dengan input sedang dibanding input rendah terhadap produksi biji kering jagung dan polong kering kacang tanah berturut-turut adalah Dystrudept: 1,80 dan 1,46 kali lebih besar; Eutrudox: 1,55 dan 1,46; Hapludult: 4,08 dan 1,74; Haplohumult: 2,22 dan 1,46; Hapludoll: 2,56 dan 1,73; Eutrudept: 2,54 dan 1,58; dan Hapludalf: 9,90 dan 1,86. Dari data produksi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada tingkat pengelolaan lahan dengan input sedang pada semua macam tanah dari bahan induk berbeda, baik untuk tanaman jagung maupun kacang tanah, dapat menghasilkan produksi lebih tinggi dan berbeda nyata bila dibanding dengan input rendah, berkisar dari 1,55-9,90 kali lebih tinggi untuk produksi biji kering jagung dan 1,46-1,86 kali lebih tinggi untuk produksi polong kering kacang tanah. Tanaman jagung sangat responsif terhadap perbedaan pengelolaan lahan dan jenis bahan induk atau tanah yang diperlihatkan oleh produksinya yang sangat bervariasi. Pada tanah-tanah yang telah berkembang dengan kesuburan tanah relatif rendah, pada pengelolaan lahan dengan input sedang dapat meningkatkan produksi jagung sangat nyata, misalnya pada Hapludalf Jonggol dan Hapludult Jasinga mencapai 10 dan 4 kali lebih tinggi dibanding dengan input rendah. Sementara pada Eutrudox dari Gunung Sindur, kenaikan produksi jagung hanya 1,55 kali, paling kecil kenaikannya bila dibanding dengan tanah-tanah lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan tipe liat dalam tanah yang dapat meningkatkan efisensi pemupukan. Sedangkan pada kacang tanah kenaikan produksi akibat pengelolaan lahan hampir merata pada semua bahan induk dan tanah (berkisar 1,46-1,86), artinya tanaman kacang tanah sangat toleran pada berbagai macam bahan induk dan tanah. Produksi jagung dan kacang tanah pada Dystrudept dari bahan volkanik dan Eutrudept dari batuan sedimen basa, pada tingkat pengelolaan lahan berbeda, menunjukkan produksi cukup tinggi, diduga lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pengelolaan tanah sebelumnya, dimana kandungan P -tersedia pada lapisan atas tanah -tanah tersebut sangat tinggi.
82
Pengaruh Perkembangan Tanah terhadap Produksi Tanaman Tanaman Jagung. Perkembangan tanah berpengaruh terhad ap penurunan produksi jagung, baik bobot brangkasan kering maupun bobot biji kering jagung. Pada TPL 1, produksi jagung dari Dystrudept adalah 4,190 ton/ha brangkasan dan 2,712 ton/ha biji kering dan Eutrudox yang telah berkembang lanjut dari bahan induk yang sama, lebih rendah yaitu sebesar 1,870 ton/ha brangkasan dan 1,385 ton/ha biji kering. Hapludult yang lebih berkembang dari Haplohumult dari batuan sedimen masam menghasilkan produksi jagung yang lebih rendah, 0,290 ton/ha dibanding 0,590 ton/ha biji kering. Demikian juga halnya Hapludalf dari batuan sedimen basa yang lebih berkembang dari Hapludoll dan Eutrudept, berproduksi jauh lebih rendah, yaitu hanya 0,210 ton/ha biji kering jagung dibanding 1,355 dan 1,885 ton/ha. Produksi biji kering jagung tertinggi pada Dystrudept dari bahan volkanik (2,712 ton/ha) dan produksi terendah (0,210 ton/ha) pada Hapludalf Jonggol dari batuan sedimen basa (batu gamping). Hal ini berhubungan dengan ketersedian hara dalam tanah, terutama P-tersedia yang tergolong sangat rendah pada tanah tersebut. Pada TPL 2, produksi jagung lebih tinggi dan berbeda nyata bila dibanding dengan produksi pada TPL 1. Pada tingkat pengelolaan lahan tersebut, pengaruh perkembangan tanah terhadap produksi masih tampak jelas menunjukkan perbedaan hasil yang cenderung menurun. Misalnya, produksi biji kering jagung pada Dystrudept (4,890 ton/ha) dibanding Eutrudox (2,155 ton/ha), Haplohumult (1,315 ton/ha) dibanding Hapludult (1,185 ton/ha) dan Hapludoll (3,480 ton/ha) atau Eutrudept (4,805 ton/ha) dibanding Hapludalf (2,080 ton/ha). Tanaman Kacang Tanah. Pengaruh perkembangan tanah terhadap produksi kacang tanah menunjukkan penurunan produksi baik terhadap bobot brangkasan kering maupun bobot polong kering. Pada TPL 3, bobot polong kering kacang tanah pada Dystrudept (1,505 ton/ha) lebih baik dibanding Eutrudox (0,825 ton/ha) dari bahan volkanik, demikian juga halnya dengan Haplohumult (0,680 ton/ha) dari batuan sedimen masam dibanding Hapludult (0,610 ton/ha), dan Eutrudept (1,680 ton/ha) dari batuan sedimen basa dibanding dengan Hapludalf (0,720 ton/ha). Produksi kacang tanah tertinggi dicapai pada Eutrudept sebesar 2,465 ton/ha brangkasan kering dan 1,680 ton/ha polong kering, dan
83
terendah pada Hapludult, sebesar 1,175 ton/ha brangkasan kering dan 0,610 ton/ha polong kering. Pada TPL 4, pengaruh perkembangan tanah pada tahap lanjut masih menunjukkan perbedaan produksi yang cenderung menurun. Misalnya pada Dystrudept dari bahan volkanik dibanding Eutrudox dari bahan induk yang sama. Demikian juga perkembangan tanah pada bahan induk lainnya, seperti Haplohumult terhadap Hapludult dari batuan sedimen masam dan Eutrudept terhadap Hapludalf dari batuan sedimen basa. Produksi kacang tanah tertinggi seperti halnya pada TPL 3, dicapai pada Eutrudept dari batuan sedimen basa, sebesar 4,635 ton/ha brangkasan kering dan 2,670 ton/ha polong kering, sedangkan produksi terendah pada Hapludult dari batuan sedimen masam, sebesar. 1,815 ton/ha brangkasan kering dan 1,065 ton/ha polong kering. Secara spesifik, produksi kacang tanah pada Dystrudept dibanding dengan Eutrudox dari bahan induk yang sama (bahan volkanik), menunjukkan perbedaan hasil yang cukup nyata dan terlihat menurun, yaitu untuk brangkasan kering 3,770 ton/ha dibanding 1,990 ton/ha dan 2,205 ton/ha dibanding 1,185 ton/ha polong kering. Hal yang sama juga terlihat pada Haplohumult dibanding Hapludult dari batuan sedimen masam dan Eutrudept dibanding Hapludalf dari batuan sedimen basa.
Hubungan Kualitas Lahan dan Produksi Tanaman
Kualitas lahan dapat terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya untuk penggunaan tertentu. Banyak kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang telah diidentifikasi untuk tujuan evaluasi kesesuaian lahan bagi tanaman pangan di lahan kering, antara lain oleh CSR/FAO (1983), FAO (1983), Sys et al. (1993), dan terakhir oleh Djaenudin et al. (2003). Beberapa kualitas lahan yang digunakan sebagai faktor pembeda terhadap tipe penggunaan lahan berbasis tanaman jagung dan kacang tanah di lahan kering beriklim basah adalah ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan hara, daya retensi hara, kondisi perakaran, bahaya keracunan, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi. Secara lengkap, kualitas lahan dan karakteristik lahan yang diidentifikasi, kisaran nilai karakteristik lahan dan kebutuhan optimum tanaman jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.
84
Pada Tabel 13 terlihat bahwa faktor iklim yang terdiri dari kualitas lahan suhu udara dan ketersediaan air, serta ketersediaan oksigen, kondisi perakaran, kemudahan pengolahan tanah dan bahaya erosi untuk tanaman jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian yang merupakan lahan kering beriklim basah termasuk cukup sesuai dan tidak menjadi pembatas terhadap penggunaannya.
Tabel 13. Kualitas Lahan dan Kebutuhan Optimum Tanaman No 1 2
3
4
5
6
7 8
9
Kualitas Lahan Suhu udara: Suhu udara rata-rata bulanan (oC) Ketersediaan air: Curah hujan selama tumbuh (mm) Pori air tersedia (% volume) Ketersediaan oksigen: Kelas drainase tanah Pori drainase cepat (% volume) Ketersediaan hara: N-total (%) P-tersedia (ppm) K-dd (me/100 g tanah) Daya retensi hara: pH KTK liat (cmol(+)/kg liat) Kejenuhan basa (%) C-organik (%) Kondisi perakaran: Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman efektif (cm) Bobot isi (g/cm3) Bahaya keracunan: Kejenuhan aluminium (%) Pengolahan tanah: Batuan dipermukaan (%) Singkapan batuan (%) Bahaya erosi: Kepekaan erosi (K) Lereng (%) Bahaya erosi
Kisaran nilai
Kebutuhan Optimum1) Kacang Jagung tanah
25,7-27,5
20-27
25-30
800-1500 10,3-13,9
500-1200 10-15
400-1100 10-15
at-b 10,2-17,7
at-b 10-15
at-b 10-15
0,10-0,28 5,4-79,9 0,05-0,68
> 0,20 > 15 > 0,4
> 0,20 > 15 > 0,4
4,2-6,5 14,6-64,9 20-99 0,91-1,95
5,6-7,0 > 24 > 50 > 1,00
6,0-7,0 > 24 > 35 > 1,20
halus <2% 46-150 0,98-1,29
sed-halus <15 > 40 < 1,50
sed-halus <15% > 40 < 1,50
0-81
< 20
< 20
<2% <2%
<5% <5%
<5% <5%
0,10-0,37 <2% sr
< 0,20 <8% sr
< 0,20 <8% sr
1)
menurut Djaenudin et al. (2003), CSR/FAO (1983), Wood dan Dent (1983); Sumarno (1995; 2003)
85
Kualitas lahan ketersediaan hara, daya retensi hara dan bahaya keracunan aluminium yang umum menjadi kendala di lahan kering tampaknya akan sangat menentukan tingkat produktivitas lahan kering di lokasi penelitian. Seperti telah dibahas, bahwa keragaman produksi dari hasil percobaan lapang sangat terkait dengan keragaman karakteristik tanahnya. Oleh karenanya, untuk melihat pengaruh dari masing -masing karakteristik tanah terhadap produksi tanaman dapat ditetapkan dengan melihat hubungan kedekatan (korelasi) antara karakteristik tanah dan produksi tanaman. Karakteristik tanah yang menentukan produksi tanaman akan memiliki keragaman sifat yang sejalan dengan keragaman produksi tanaman. Ketersediaan hara yang ditentukan oleh P-tersedia dan K-dd cukup bervariasi, kecuali kadar N-total umumnya rendah di dalam tanah. Kedua karakteristik tanah tersebut dapat dipertimbangkan sebagai unsur-unsur penentu kualitas lahan ketersediaan hara. Kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa dan kadar C-organik cukup beragam di dalam tanah -tanah yang diteliti, juga dapat dipertimbangkan sebagai unsur penentu kualitas lahan daya retensi hara. Demikian juga halnya dengan kadar Al-dd atau kejenuhan aluminium yang cukup bervariasi di lokasi penelitian dapat dipertimbangkan sebagai penentu kualitas lahan bahaya keracunan. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara beberapa karakteristik tanah dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah (Lampiran 13 dan 14), menunjukkan bahwa pH, P-tersedia, K-dd, KB, dan Al-dd memiliki korelasi yang relatif lebih baik terhadap produksi tanaman dibanding dengan karakteristik tanah lainnya. Kualitas lahan kemudahan pengolahan tanah ditentukan juga oleh tekstur tanah lapisan atas dan kandungan tipe liat (jumlah dan jenis mineral liat). Kisaran kelas tekstur tanah dan kadar liat tanah tergolong hampir sama, tetapi berbeda dalam kandungan mineral liatnya, sehingga kombinasi kadar liat dan tipe liat dapat dipertimbangkan sebagai kualitas lahan tersebut, namun dalam prakteknya petani tidak mendapatkan kesulitan yang berarti dalam pengolahan tanah. Kepekaan erosi tanah (K) sedikit bervariasi dari sedang sampai rendah, namun karena faktor lereng di lokasi penelitian umumnya datar dan atau lahan telah diteras sehingga erosi yang terjadi sangat rendah dan berada di bawah kisaran
86
erosi yang dapat diabaikan, sebagaimana telah dibahas dan ditunjukkan pada Tabel 9. Berdasarkan uraian di atas, kualitas lahan yang sangat menentukan produksi tanaman jagung dan kacang tanah pada tipe penggunaan lahan tersebut adalah ketersediaan hara, daya retensi hara dan bahaya keracunan. Ketiga kualitas lahan tersebut dapat ditetapkan sebagai faktor pembeda dalam klasifikasi kesesuaian lahan atau digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan yang ditetapkan. Kualitas lahan lainnya cukup sesuai dan tidak bermasalah terhadap produksi tanaman. Karakteristik lahan yang sangat berperan dalam kualitas lahan dan berkorelasi baik dengan produksi jagung dan kacang tanah adalah pH, P-tersedia, kejenuhan basa, dan Al-dd. Produksi jagung baik dalam bentuk brangkasan maupun biji kering sangat ditentukan oleh pH, P-tersedia, dan Al-dd, ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) yang berkisar dari 0,5-0,9. Sedangkan produksi kacang tanah lebih ditentukan oleh P-tersedia, kation-kation basa (K, Mg) atau kejenuhan basa dan Al-dd. Kecuali dengan Al-dd yang berkorelasi negatif, parameter lainnya berkorelasi positip dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah. Ini berarti bahwa produksi tanaman jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian, terutama pada tanah -tanah sangat masam dari batuan sedimen masam, dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan memperbaiki kualitas lahan ketersediaan hara, daya retensi hara, mencegah bahaya keracunan aluminium dan menetralisir kemasaman tanah melalui upaya pemupukan berimbang (terutama penambahan hara P), penambahan bahan organik dan pengapuran. Pemberian pupuk N dalam jumlah yang cukup diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman karena tanah-tanah di lokasi penelitian umumnya mengandung N yang rendah. Hubungan beberapa karakteristik tanah (pH, P-tersedia, kation-kation basa atau kejenuhan basa dan Al-dd) dengan produksi kacang tanah tidak menunjukkan korelasi yang baik seperti pada jagung, ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang lebih rendah (r = 0,4-0,8), walaupun dari pembahasan sebelumnya terdapat indikasi adanya pengaruh kualitas/karakteristik lahan tersebut terhadap produksi kacang tanah ditinjau dari keragaman bahan induk dan perkembangan tanahnya. Hal ini diduga karena tanaman kacang tanah lebih toleran terhadap kemasaman
87
tanah dan ketersediaan hara yang rendah dibanding tanaman jagung serta dapat menyediakan sendiri hara N (Sudaryono, 1997; Sumarno, 2003). Tanah-tanah yang mengandung hara P-tersedia, kation-kation basa (K, Ca, Mg), pH, dan Corganik lebih tinggi dengan Al-dd atau kejenuhan aluminium yang rendah pada Eutrudept dan atau Dystrudept menghasilkan produksi kacang tanah relatif lebih baik. Pada tanah sangat masam, C-organik rendah, P dan K rendah, serta Al-dd atau kejenuhan aluminium tinggi seperti pada tanah-tanah dari batuan sedimen masam, memberikan produksi yang rendah. Bahkan dari hasil pengamatan di lapangan pada Hapludult Jasinga, terdapat banyak polong yang tidak berisi, biji kecil-kecil dan berkeriput. Pada Hapludult Jasinga dengan input rendah hanya mampu menghasilkan 0, 610 ton/ha polong kering, dibanding Eutrudept Jonggol dan atau Dystrudept Cimanggu sekitar 1,50-1,68 ton/ha polong kering. Pada pengelolaan lahan dengan input sedang, sebagian pembatas kualitas lahan terutama ketersediaan hara dapat diatasi dan produksi kacang tanah meningkat menjadi 1,4 sampai 1,8 kali lebih besar dari input rendah. Pengelolaan lahan dengan input sedang pada tanaman jagung dapat meningkatkan produksi secara nyata untuk semua lokasi penelitian sebanyak 1,55 sampai 9,90 kali lebih besar daripada input rendah.
Kelas Kesesuaian Lahan versus Kualitas Lahan
Tingkat kesesuaian lahan menunjukkan kemampuan lahan untuk menghasilkan produksi tanaman yang diinginkan sesuai dengan kualitas atau karakteristik lahan yang dimilikinya. Berdasarkan kualitas lahan yang dimiliki oleh masing-masing lokasi penelitian, maka dapat dibandingkan (matching) dengan persyaratan penggunaan lahan untuk tanaman jagung dan kacang tanah (Djaenudin et al., 2003), menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang bersifat fisik kualitatif seperti pada Tabel 14. Penilaian kelas kesesuaian lahan mengikuti hukum minimum atau pembatas maksimum (FAO, 1976; 1983). Demikian juga halnya dengan penilaian pada kualitas lahan yang mempunyai lebih dari satu karakteristik lahan. Dari Tabel 14 ternyata bahwa sebagian besar lahan di lokasi penelitian mempunyai kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jagung dan kacang
88
tanah tanpa atau dengan input rendah tergolong sesuai marginal (kelas S3) dengan faktor pembatas utama kualitas lahan retensi hara (pH dan KB) dan media perakaran (kedalaman efektif tanah), kecuali pada Eutrudept Jonggol (B6) dari batuan sedimen basa tergolong cukup sesuai (kelas S2) dengan pembatas ringan, yaitu suhu udara (dinilai terlalu panas) dan retensi hara (pH tanah sedikit masam). Tabel 14. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kualitas Lahan di Lokasi Penelitian
Kualitas Lahan Suhu udara (t) Suhu udara Ketersed. air (w): Curah hujan Kelembaban Keterd. oksigen (o) Drainase Media akar (r): Tekstur Kedalaman Bahan kasar Retensi hara (n): KTK liat KB pH C-organik Bahaya erosi (e) Lereng Kelas kesesuaian
Udept (B1) Jg s1 s1 s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s2 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s1 s1 s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s1 s3 s1 s1 s1 S3 n
Udox (B2) Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s2 s2 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s2 s1 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kelas Kesesuaian Lahan Udult Humult Udoll (B3) (B4) (B5) Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s3 s1 s1 s1 S3 n
Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s2 s2 s1 s1 s1` s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s3 s1 s1 s1 S3 n
Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s2 s1 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 S2 tr
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 S3 r
Udept (B6) Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s2 s1 s1 s2 s1 s1 s1 S2 tn
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s2 s1 s1 s2 s2 s1 s1 S2 tn
Udalf (B7) Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s1 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s1 s3 s2 s1 s1 S3 n
Kelas kesesuaian lahan: S2 = cukup sesuai, S3 = sesuai marginal Faktor pembatas: n = retensi hara, r = media perakaran, t = suhu udara
Besarnya produksi yang dicapai pada kelas S3 dan S2 dari hasil penilaian kesesuaian lahan tersebut di atas bila diasumsikan sama dengan 0,5 dan 0,75 dari produksi tertinggi di lokasi penelitian, maka kelas-kelas kesesuaian lahan dari hasil penilaian tersebut dapat dibandingkan dengan produksi tanaman dari hasil percobaan lapang, seperti untuk kasus tanaman jagung (Gambar 13). Hasil penilaian kelas kesesuaian lahan dengan menggunakan metode Djaenudin et al., (2003), ternyata tidak sesuai bila dibandingkan dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah dari hasil percobaan lapang. Sebagai contoh, untuk tanah-tanah Dystrudept, Eutrudox dan Hapludalf yang memiliki sifat-sifat tanah berbeda, terutama sifat kimia tanah yang cukup variatif digolongkan ke dalam kelas kesesuaian lahan yang sama yaitu kelas S3, padahal produksi jagung dan kacang
89
tanah yang dihasilkan sangat berbeda. Demikian juga untuk Hapludoll dangkal (B5) dan Eutrudept (B6) dari batu gamping dinilai lebih baik, kelas S2, dibanding Dystrudept (B1) dari bahan volkanik yang dinilai sebagai kelas S3; padahal dari produksi jagung dan kacang tanah yang dihasilkannya hampir sama atau malah lebih rendah. Kasus-kasus seperti ini seringkali terjadi di lapangan, dimana hasil penilaian kelas kesesuaian lahan seringkali tidak sesuai dengan keadaan potensi lahan yang sesungguhnya (Hardjowigeno, et al., 1999). Untuk ini maka perlu dilakukan perbaikan terhadap kriteria kesesuaian lahan yang telah ada khususnya untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan di lahan kering beriklim basah yang dihubungkan dengan produksi tanaman. Jenis atau jumlah karakteristik/kualitas lahan yang diperlukan serta pengharkatannya yang digunakan dalam kriteria kesesuaian lahan perlu diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan persyaratan penggunaan lahan.
Produksi Jagung (ton/ha)
3,0
2,5
S2
S2
2,0 S3
1,5
S3
S3
S3
S3
1,0
0,5
0,0 B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
Lokasi Produksi Jagung
Kelas Kesesuaian Lahan
Gambar 13. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan vs Produksi Jagung Tanpa Input
90
Kelas Kesesuaian Lahan versus Produksi Tanaman Kelas kesesuaian lahan dapat didekati dengan besarnya produksi tanaman yang dihasilkan dari tipe penggunaan lahan tertentu. Di lokasi penelitian telah diidentifikasi dan ditetapkan 4 tipe penggunaan lahan untuk jagung-ubi kayu dan kacang tanah-ubi kayu dengan dua macam input, yaitu input rendah dan input sedang. Dalam pembahasan selanjutnya, penekanan komoditas pada tipe penggunaan lahan tersebut lebih difokuskan kepada tanaman jagung dan kacang tanah. Besarnya produksi yang dicapai pada tingkat pengelolaan sedang dan rendah masing-masing diasumsikan setingkat dan dua tingkat leb ih rendah atau setara 0,8 dan 0,6 dari produksi optimal dengan input tinggi (Wood dan Dent, 1983). Bila diasumsikan produksi optimal yang dicapai untuk jagung dan kacang tanah dengan input tinggi sama dengan produksi optimal yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, yaitu 6 ton/ha biji kering jagung varietas Bisma dan 3 ton/ha polong kering kacang tanah varietas Kelinci (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 1993; Suprapto dan Marzuki, 2004; Sumarno, 1995), maka besarnya produksi optimal yang dapat dicapai pada tingkat pengelolaan dengan input sedang dan rendah ditetapkan berturut-turut sebesar 4,8 ton/ha dan 3,6 ton/ha biji kering jagung, dan 2,4 ton/ha dan 1,8 ton/ha polong kering kacang tanah. Perkiraan produksi tersebut hanya sedikit berbeda dibanding dengan produksi tertinggi yang dihasilkan dari percobaan lapangan. Misalnya untuk jagung.pada input sedang dan rendah sebesar 4,89 ton/ha dan 2,71 ton/ha biji kering, sedangkan untuk kacang tanah 2,67 ton/ha dan 1,68 ton/ha polong kering. Hasil penelitian Sudaryono (1997), menunjukkan bahwa pemberian input tinggi sebesar 135-225 kg N, 100 kg P2O5 dan 100 kg K2O per hektar dapat menghasilkan jagung 5,9 – 6,0 ton/ha biji kering, sedangkan Christianto dan Hernusye (1997), melaporkan produksi biji kering jagung sebesar 4,0 ton/ha diperoleh dengan pemberian 100 kg N, 100 kg P2O5 dan 60 kg K2O per hektar. Hidayat et al. (2000) telah melaporkan produksi kacang tanah sebesar 1,5 – 2,3 ton/ha polong kering yang dicapai dengan input 100 kg urea + 100 kg TSP + 100 kg KCl per hektar. Sebelumnya Sumarno (1995) dengan pemberian 75 kg urea, 75 kg TSP dan 75 kg KCl per hektar di Sikka menghasilkan 1,9 ton/ha polong kering.
91
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka hubungan kelas kesesuaian lahan dengan produksi jagung dan kacang tanah pada masing-masing tingkat pengelolaan lahan dengan input tinggi, sedang dan rendah dapat disusun dengan mengacu pada Wood dan Dent (1983) seperti disajikan pada Tabel 15. Kelas kesesuaian lahan dibagi dalam 5 kelas dan kisaran produksi untuk masing-masing kelas ditetapkan berdasarkan indeks produksi sebagai berikut: kelas S1 (sangat sesuai): > 0,80 dari produksi optimal, kelas S2 (cukup sesuai): 0,60-0,80 dari produksi optimal, kelas S3 (sesuai marginal): 0,40-0,59 dari produksi optimal, kelas N1 (tidak sesuai saat ini): 0,20 -0,39 dari produksi optimal, dan kelas N2 (tidak sesuai permanen): < 0,20 dari produksi optimal.
Tabel 15. Hubungan Kelas Kesesuaian Lahan dengan Produksi Tanaman Tipe Penggunaan Lahan dan Kelas Kesesuaian Lahan TPL-input tinggi:
Indek Produksi
Produksi (ton/ha/musim) Jagung Kacang tanah (Biji kering) (Polong kering)
S1: Sangat sesuai
> 0,80
> 4,80
> 2,40
S2: Cukup sesuai
0,60-0,80
3,60 – 4,80
1,80 – 2,40
S3: Sesuai marginal
0,40-0,59
2,40 – 3,59
1,20 – 1,79
N1: Tidak sesuai saat ini
0,20-0,39
1,20 – 2,39
0,60 – 1,19
N2: Tidak sesuai
< 0,20
< 1,20
< 0,60
S1: Sangat sesuai
> 0,80
> 3,84
> 1,92
S2: Cukup sesuai
0,60-0,80
2,88 – 3,84
1,44 – 1,92
S3: Sesuai marginal
0,40-0,59
1,92 – 2,87
0,96 – 1,43
N1: Tidak sesuai saat ini
0,20-0,39
0,96 – 1,91
0,48 – 0,95
N2: Tidak sesuai
< 0,20
< 0,96
< 0,48
S1: Sangat sesuai
> 0,80
> 2,88
> 1,44
S2: Cukup sesuai
0,60-0,80
2,16 – 2,88
1,08 – 1,44
S3: Sesuai marginal
0,40-0,59
1,44 – 2,15
0,72 – 1,07
N1: Tidak sesuai saat ini
0,20-0,39
0,72 – 1,43
0,36 – 0,71
N2: Tidak sesuai
< 0,20
< 0,72
< 0,36
TPL-input sedang:
TPL-input rendah:
92
Berdasarkan pada hubungan antar kelas kesesuaian lahan dengan perkiraan produksi seperti pada Tabel 15 tersebut, maka kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing tipe penggunaan lahan di lokasi penelitian dapat ditetapkan menurut besarnya produksi tanaman jagung dan kacang tanah yang diperoleh dari hasil percobaan lapangan, secara lengkap disajikan pada Tabel 16. Dari tabel tersebut, tampak bahwa hasil penilaian kelas kesesuaian lahan dengan pendekatan produksi tanaman untuk TPL 1 (jagung dengan input rendah), menghasilkan kelas-kelas kesesuaian lahan yang tergolong pada kelas S2 (cukup sesuai) sampai kelas N2 (tidak sesuai permanen). Sedangkan pada TPL 2 (jagung dengan input sedang), menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang lebih baik yaitu tergolong sangat sesuai (kelas S1) sampai tidak sesuai saat ini (kelas N1). Kelas kesesuaian lahan untuk jagung pada TPL 2 adalah setingkat sampai dua tingkat lebih baik daripada TPL 1. Misalnya pada TPL 1, tanah -tanah Dystrudept, Eutrudox, Hapludult dan Haplohumult berturut-turut termasuk ke dalam kelas S2, N1, N2 dan N2 menjadi kelas setingkat lebih baik pada TPL 2, yaitu berturut-turut S1, S3, N1 dan N1. Sedangkan pada tanah -tanah dari batuan sedimen basa, Hapludoll, Eutrudept dan Hapludalf pada TPL 2, menghasilkan kelas kesesuaian lahan dua tingkat lebih tinggi dari TPL 1, yaitu dari kelas N1, S3, dan N2 menjadi kelas S2, S1 dan S3. Ini berarti bahwa peningkatan produksi melalui pengelolaan lahan dengan input sedang pada tanah -tanah tersebut cukup berhasil. Perbaikan kualitas lahan ketersediaan hara melalui pemberian pupuk (terutama P) yang menjadi pembatas pada tanah -tanah tersebut dapat meningkatkan produktivitas lahan dua kali lebih besar daripada tanpa input dan pemberian input (pupuk) telah digunakan secara lebih efisien dibanding dengan tanah lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan pengaruh mineral liat di dalam tanah yang didominasi oleh tipe liat 2:1 dan ditunjukkan oleh KTK liat tanah yang cukup tinggi (46-64 cmol(+)/kg liat). Pada TPL 3 (kacang tanah dengan input rendah), kelas kesesuaian lahan dari tanah-tanah yang sama di lokasi penelitian tergolong kelas S1 (sangat sesuai) sampai kelas N1 (tidak sesuai saat ini) dan tidak ada yang tergolong tidak sesuai permanen (kelas N2), menunjukkan bahwa tanaman kacang tanah relatif toleran pada berbagai kondisi tanah dan dapat tumbuh dan berproduksi lebih baik dibanding tanaman jagung. Tanaman kacang tanah dilaporkan lebih toleran
93
terhadap kemasaman tanah dan kadar aluminium dalam tanah dibanding tanaman jagung (Sumarno, 1995; Sudaryono, 1997). Pada TPL 4 (kacang tanah dengan input sedang), menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang sedikit lebih baik daripada TPL 3, yaitu termasuk kelas S1 (sangat sesuai) sampai kelas S3 (sesuai marginal) dan tidak ada yang kelas N1 dan N2 (tidak sesuai). Tabel 16. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Produksi Tanaman di Lokasi Penelitian Jagung Produksi Kelas (ton/ha) lahan
Kacang Tanah Produksi Kelas (ton/ha) lahan
B1: Oxyaquic Dystrudepts
2,712
S2
1,505
S1
B2: Typic Eutrudox
1,385
N1
0,825
S3
B3: Typic Hapludults
0,290
N2
0,610
N1
B4: Typic Haplohumults
0,590
N2
0,680
N1
B5: Lithic Hapludolls
1,355
N1
0,900
S3
B6: Aquic Eutrudepts
1,885
S3
1,680
S1
B7: Typic Hapludalfs
0,210
N2
0,720
N1
B1: Oxyaquic Dystrudepts
4,890
S1
2,205
S1
B2: Typic Eutrudox
2,155
S3
1,185
S3
B3: Typic Hapludults
1,185
N1
1,065
S3
B4: Typic Haplohumults
1,315
N1
1,410
S3
B5: Lithic Hapludolls
3,480
S2
1,560
S2
B6: Aquic Eutrudepts
4,805
S1
2,670
S1
B7: Typic Hapludalfs
2,080
S3
1,340
S3
Tipe Penggunaan Lahan, Kode Lokasi dan Jenis Tanah TPL-input rendah:
TPL-input sedang:
Pada Eutrudox (B2, Gunung Sindur) produksi kacang tanah dengan input sedang memperoleh sedikit kenaikan produksi, tetapi tidak menaikkan kelas kesesuaiannya, tetap pada kelas S3 (sesuai marginal). Hal ini diduga karena pada tanah tersebut telah mengalami proses pelapukan yang intensif dan tanah telah berkembang lanjut, menghasilkan kadar liat yang tinggi dengan mineral liat yang didominasi oleh kaolinit dan sedikit oksida besi (goethit) menyumbang KTK liat
94
yang sangat rendah (<16 cmol(+)/kg liat), sehingga daya sangga tanah sangat kecil tarhadap hara (pupuk) yang d itambahkan ke dalam tanah atau dengan perkataan lain efisiensi pemupukan pada tanah sangat rendah. Dalam penilaian kelas kesesuaian lahan berdasarkan pendekatan produksi tanaman perlu diperhatikan pembatas fisik (faktor iklim, lereng dan tanah) yang ada di lokasi penelitian, terutama untuk penetapan kelas tidak sesuai permanen (N2). Bila faktor pembatas fisiknya tidak sangat berat, seperti misalnya untuk jagung dengan input rendah di lokasi penelitian yang hanya karena faktor ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan yang relatif mudah diperbaiki, walaupun produksi yang dihasilkannya sangat rendah, maka pada lahan tersebut tidak dinilai ke dalam kelas N2, tetapi harus dinilai serendah rendahnya masuk ke kelas N1. Oleh karenanya, pada Hapludult, Haplohumult dan Hapludalf yang mempunyai produksi jagung sangat rendah (< 0,36 ton/ha biji kering) tidak dinilai sebagai kelas N2 seperti pada Tabel 16 di atas, tetapi seharusnya dinilai sebagai kelas N1. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah Kriteria kesesuaian lahan spesifik lokasi untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada lahan kering datar atau diteras yang beriklim basah dengan keragaman bahan induk dan perkembangan tanahnya di daerah Bogor dapat dibangun berdasarkan kualitas lahan yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan persyaratan penggunaan lahan dan produksi tanaman. Pada pembahasan sebelumnya telah diidentifikasi beberapa kualitas lahan yang diperkirakan sebagai sifat penciri (diagnostic criterion ) yang berpengaruh nyata terhadap produksi dan menentukan kelas kesesuaian lahan, yaitu ketersediaan hara, retensi hara, dan bahaya keracunan. Kualitas lahan lainnya, seperti suhu udara, ketersediaan air, ketersediaan oksigen, kondisi perakaran, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi telah sesuai dengan kondisi lahannya sehingga tampak kurang berpengaruh terhadap produksi tanaman jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian. Namun demikian, kualitas-kualitas lahan
95
tersebut masih perlu dipertimbangkan penggunaannya terutama untuk daerah daerah lain di luar lokasi penelitian. Beberapa kualitas lahan yang telah diidentifikasi sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan dan berpengaruh terhadap produksi jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian adalah ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan. Karakteristik lahan yang menentukan kualitas lahan tersebut untuk tanaman jagung dan kacang tanah berdasarkan matriks korelasi (Lampiran 13, 14) dan analisis regresi kuadratik pada Tabel 17 adalah pH, P-tersedia, KB dan Al-dd. Karakteristik lahan tersebut mempunyai korelasi yang baik dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian. Hubungan antara karakteristik atau sifat-sifat tanah tersebut dengan produksi tanaman umumnya digambarkan menurut pola kurva kuadratik (Wood dan Dent, 1983), kecuali hubungan Al-dd dengan produksi lebih sesuai mengikuti pola hubungan linier. Analisis regresi bertatar (stepwise) digunakan untuk menduga besarnya produksi di setiap lokasi atau jenis tanah berdasarkan interaksi beberapa parameter tanah. Berdasarkan analisis tersebut, juga diperoleh parameter-parameter tanah yang dapat ditetapkan sebagai unsur pembeda dalam penilaian kelas kesesuaian lahan. Penetapan kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap produksi serta merupakan unsur pembeda dalam penilaian kelas kesesuaian lahan adalah sangat penting sebagai dasar dalam membangun kriteria kesesuaian lahan spesifik lokasi yang bersifat fisik kuantitatif. Hasil analisis regresi kuadratik antara sifat-sifat tanah (pH, P-tersedia, KB dan Al-dd) dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah , baik terhadap bobot brangkasan kering (BOK) maupun bobot biji kering (BBK) atau bobot polong kering (BPK) pada tingkat pengelolaan berbeda, menunjukkan pengaruh yang cukup bervariasi, diperlihatkan oleh nilai koefisien korelasi (R 2) dari persamaan regresi tersebut berkisar dari 0,44-0,95. Sifat-sifat tanah umumnya berkorelasi positif dengan produksi, kecuali Al-dd berkorelasi negatif, yang berarti bahwa peningkatan Al-dd akan mengakibatkan penurunan produksi tanaman, baik terhadap jagung maupun kacang tanah. Pengaruh P-tersedia terhadap produksi jagung dengan input rendah sangat tinggi sekali, diperlihatkan
96
Tabel 17. Hasil Analisis Regresi Kuadratik antara Sifat Tanah dan Produksi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah No
Parameter
1 Jagung, input rendah: 1.1. Bobot Brangkasan Kering (BOK): BOK vs pH BOK vs P-tersedia BOK vs Al -dd 1.2. Bobot Biji Kering (BBK): BBK vs pH BBK vs P-tersedia BBK vs Al -dd 2 Jagung, input sedang: 2.1. Bobot Brangkasan Kering (BOK): BOK vs pH BOK vs P-tersedia BOK vs Al -dd 2.2. Bobot Biji Kering (BBK): BBK vs pH BBK vs P-tersedia BBK vs Al -dd 3 Kacang tanah, input rendah: 3.1. Bobot Brangkasan Kering (BOK): BOK vs P-tersedia BOK vs KB BOK vs Al -dd 3.2. Bobot Polong Kering (BPK): BPK vs P-tersedia BPK vs KB BPK vs Al -dd 4. Kacang tanah, input sedang 4.1. Bobot Brangkasan Kering (BOK): BOK vs P-tersedia BOK vs KB BOK vs Al -dd 4.2. Bobot Polong Kering (BPK): BPK vs P-tersedia BPK vs KB BPK vs Al -dd
R2
Persamaan regresi
0,79 0,95 0,57
Y= - 50,62 + 19,74X – 1,78X2 Y= - 0,2205 + 0,1191X - 0,0001X2 Y= 2,74 - 0,26X
0,85 0,89 0,62
Y= - 37,42 + 14,47X – 1,30X2 Y= -0,0791 + 0.0705X – 0,0001X2 Y= 1,81– 0,19X
0,90 0,46 0,67
Y = - 53,55 + 21,13X - 1,87X2 Y = 1,8466 + 0,0111X + 0,0001X2 Y = 5,16– 0,41X
0,92 0,45 0,67
Y = - 51,68 + 20,12X – 1,79X2 Y = 1,8466 + 0,0111X + 0,0001X2 Y = 5,16 – 0,41X
0,83 0,54 0,52
Y= 0,9048+ 0,0436X – 0,0001X2 Y= 0,734 + 0,032X – 0,0001X2 Y= 1,95– 0,10X
0,77 0,56 0,55
Y= 0,4271+ 0,0340X- 0,0001X2 Y= 0,250+ 0,026X-0.0001X2 Y= 1,27– 0,086X
0,64 0,54 0,46
Y = 1,5653 + 0,0404X + 0,00001X2 Y = 0,921 + 0,055X-0,0001X2 Y = 3,40 – 0,21X
0,65 0,55 0,44
Y = 0,9818 + 0,0169X + 0,0001X2 Y = 0,497+ 0,035X-0,0001X2 Y = 1,95 – 0,12X
oleh nilai koefisien korelasi, R2 : 0,95 untuk BOK dan R2 : 0,89 untuk BBK. Kemasaman tanah (pH) dan Al-dd berkorelasi cukup baik dengan produksi jagung (R 2: 0,60-0,76), sedangkan sifat-sifat tanah lainnya menunjukkan korelasi yang sangat rendah. Pada input sedang, peranan pH masih cukup besar terhadap produksi jagung (R 2 : 0,90-0,92), sedangkan peranan P-tersedia sudah berkurang pengaruhnya terhadap produksi (R 2 : 0,45-0,46), diduga telah tercukupi melalui
97
pemupukan P (SP-36). Hal ini juga mengindikasikan bahwa dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk jagung pada input sedang, faktor ketersediaan P tidak diperlukan lagi. Korelasi antara sifat-sifat tanah dengan produksi kacang tanah, baik untuk bobot brangkasan kering (BOK) maupun bobot polong kering (BPK) kacang tanah tidak sebaik pada jagung. Sifat -sifat tanah yang terlihat berkorelasi cukup baik dengan produksi kacang tanah pada input rendah adalah P-tersedia, KB dan Al-dd, dengan koefisien korelasi berkisar dari 0,52 sampai 0,83. Korelasi terbaik adalah antara P -tersedia dengan BOK dan atau BPK kacang tanah (R 2 : 0,77-0,83), sedangkan peranan karakteristik lainnya lebih rendah. Pada input sedang, pengaruh Al-dd tampak berkurang terhadap produksi, sehingga dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk kacang tanah pada input sedang maka Al-dd dapat diabaikan. Hal ini mungkin disebabkan karena tanaman kacang tanah cukup toleran terhadap faktor kemasaman tanah dan kadar Al-dd tinggi sehingga menjadi kurang berpengaruh terhadap produksi kacang tanah. Berdasarkan pada uraian di atas dan dengan memperhatikan Tabel 17, maka dapat ditetapkan lebih jelas lagi bahwa karakteristik lahan yang dipilih sebagai unsur penentu kualitas lahan ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan di lokasi penelitian berturut-turut adalah pH, P -tersedia, KB dan Al-dd. Pada tanaman jagung dengan input rendah, karakteristik lahan yang berperan cukup penting terhadap produksi jagung adalah pH tanah, P-tersedia, dan Al-dd. Pada input sedang, produksi jagung masih dipengaruhi oleh karakteristik lahan pH dan Al-dd. Produksi kacang tanah pada input rendah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan hara P, kejenuhan basa (KB) dan bahaya keracunan aluminium. Pada input sedang, produksi kacang tanah masih dipengaruhi oleh P-tersedia dan kejenuhan basa. Bahaya keracunan aluminium dianggap sudah dapat diatasi sehingga tidak berpengaruh lagi terhadap produksi kacang tanah. Karakteristik lahan yang sudah teridentifikasi tersebut selanjutnya akan digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan. Hubungan antara karakteristik lahan dengan produksi jagung dan kacang tanah pada pembahasan selanjutnya, berkaitan dengan penyusunan kriteria kesesuaian lahan, lebih difokuskan lagi hanya pada bobot biji kering jagung (BBK) dan bobot polong kering kacang tanah (BPK).
98
Produksi kacang tanah (polong kering) di lokasi penelitian, seperti juga jagung, sangat dipengaruhi oleh kualitas lahan ketersediaan hara, daya retensi hara dan bahaya keracunan. Kualitas lahan ketersediaan hara ditentukan oleh Ptersedia, retensi hara oleh KB dan bahaya keracunan oleh Al-dd. Tampaknya pada kacang tanah, karakteristik lahan P-tersedia, KB dan Al-dd lebih besar pengaruhnya terhadap produksi polong kering daripada karakteristik lahan lainnya. Walaupun pengaruh Ca-dd terhadap produksi kacang tanah tidak begitu nyata (R 2: 0,28), namun banyak dilaporkan bahwa pembentukan polong kacang tanah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan hara P, K dan Ca, sedang kualitas biji dipengaruhi oleh ketersediaan N, P dan K (Anderson, 1970; Hall, 1975). Kahat Ca pada tanah masam menyebabkan tanaman kerdil, polong hampa atau tidak bernas, sehingga pemberian Ca atau pengapuran pada tanah-tanah masam sangat diperlukan untuk memperoleh produktivitas lahan yang optimal (Suyamto, 1993). Di lokasi penelitian, kadar Ca-dd dalam tanah umumnya cukup tersedia (4 -44 me/100 g tanah), kecuali pada Hapludult Jasinga tergolong sangat rendah, sehingga tanaman kacang tanah tidak mengalami kekurangan Ca dan mampu berproduksi dengan baik. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kriteria kesesuaian lahan spesifik lokasi untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada lahan kering beriklim basah, dapat disusun dengan cara yang lebih sederhana berdasarkan kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang relevan dan berpengaruh terhadap produksi sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan yang ditetapkan. Kualitas atau karakteristik lahan yang digunakan untuk menyusun kriteria tersebut jauh lebih sedikit dibanding dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah disusun oleh Djaenudin et a l. (2003). Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan tersebut terdiri dari 2 cara, yaitu: (1) klasifikasi kelas kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan kualitas lahan yang dihubungkan dengan produksi tanaman, dan (2) klasifikasi kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan tingkat produktivitas lahannya. Kedua pendekatan tersebut lebih diarahkan pada sistem penilaian kelas kesesuaian lahan yang bersifat fisik kuantitatif, artinya setiap kelas kesesuaian lahan dinyatakan dalam besarnya produksi tanaman (ton/ha) yang diharapkan
99
sesuai dengan potensi lahannya. Beberapa asumsi yang digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan tersebut, sebagai berikut: a. Kriteria kesesuaian lahan yang dibangun hanya berlaku di daerah penelitian dan atau di derah lainnya yang memiliki spesifikasi lokasi yang sama (faktor iklim, lereng, karakteristik tanah, tingkat pengelolaan lahan dan tanaman). b. Kelas kesesuaian lahan terdiri dari 5 kelas (S1, S2, S3, N1 dan N2`) yang dinyatakan dengan indeks produksi atau kisaran faktor produksi (bersifat fisik kuantitatif) pada tingkat pengelolaan tertentu menurut Wood dan Dent (1983). c. Penilaian kelas kesesuaian lahan ditetapkan dengan menggunakan metoda penghambat maksimum atau hukum minimum (FAO, 1976; 1983). d. Persyaratan penggunaan lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan dinyatakan dalam kualitas lahan yang terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan. e. Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan kualitas lahan yang relevan di lahan kering beriklim basah dan menjadi pembatas terhadap tipe penggunaan lahan yang diterapkan atau penentu kelas kesesuaian lahan. f. Kualitas lahan lainnya dianggap telah sesuai atau tidak menjadi pembeda terhadap tipe penggunaan lahan tersebut, sehingga tidak diperhitungkan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan. g. Kisaran nilai karakteristik lahan ditetapkan melalu i pendekatan produksi untuk setiap kelas kesesuaian lahan pada tipe penggunaan lahan tertentu. Pada penyusunan kriteria kesesuaian lahan dengan pendekatan pertama, mula-mula dilakukan pemilihan karakteristik lahan dari 3 kualitas lahan yang telah diidentifikasi di lahan kering beriklim basah dan dapat digunakan sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan yang ditetapkan. Ketiga kualitas lahan tersebut terdiri dari 8 karakteristik lahan, yaitu: N-total, P-tersedia dan K-dd sebag ai penyusun kualitas lahan ketersediaan hara (n); KTK, KB, pH dan C-organik sebagai penyusun kualitas lahan retensi hara (r); dan kejenuhan aluminium atau Al-dd sebagai penyusun kualitas lahan bahaya keracunan (x). Ke delapan karakteristik lahan tersebut kemudian dilihat korelasinya dengan produksi tanaman, baik jagung (bobot biji kering) maupun kacang tanah (bobot polong kering) seperti dalam matriks korelasi di Lampiran 13 dan 14, ternyata hanya 5 karakteristik lahan yang mempunyai korelasi relatif baik
100
terhadap produksi, yaitu P-tersedia, K-dd, pH, KB dan Al-dd. Selanjutnya dengan memperhatikan koefisien regresi kuadratik dari Tabel 17, dapat ditentukan 4 karakteristik lahan yang mempunyai pengaruh cukup baik terhadap produksi tanaman, yaitu P-tersedia, pH dan Al-dd untuk tanaman jagung; P-tersedia, KB dan Al-dd untuk tanaman kacang tanah. Pada input sedang hanya 2 karakteristik lahan yang muncul berpengaruh terhadap produksi tanaman, yaitu pH dan Al-dd untuk jagung serta P-tersedia dan KB untuk kacang tanah. Kualitas/karakteristik lahan tersebut digunakan sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan di lokasi penelitian. Pengharkatan terhadap masing -masing karakteristik lahan dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi kuadratik tersebut dan metode trial and error yang dioperasikan dalam program Excel. Nilai-nilai peubah dimasukkan dalam persamaan tersebut, maka akan diperoleh besarnya produksi tanaman. Kisaran nilai dari setiap karakteristik lahan untuk setiap kelas kesesuaian lahan disesuaikan dengan kisaran produksi tanaman untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan dan tipe penggunaan lahannya yang telah ditetapkan sebelumnya (Tabel 15). Kriteria kesesuaian lahan yang dibangun untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 18, 19, 20 dan 21. Kelas kesesuaian lahan terdiri dari 5 kelas dan dinyatakan dengan besarnya produksi tanaman (ton/ha). Kriteria kesesuaian lahan tersebut lebih bersifat spesifik lokasi dan fisik kuantitatif dengan tetap memperhatikan azas kelestarian lingkungan dan produktivitas lahan secara berkelanjutan. Pada Tabel 18, kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dengan input rendah dibangun oleh 3 kualitas lahan yang sangat berpengaruh terhadap produksi jagung dan dijadikan sebagai pembeda kelas yaitu ketersediaan hara (n) yang ditentukan oleh karakteristik lahan P-tersedia, retensi hara (r) ditentukan oleh pH dan bahaya keracunan (x) ditentukan oleh Al-dd, sedangkan pada input sedang (Tabel 19), produksi jagung lebih dipengaruhi oleh kualitas lahan retensi hara (pH) dan bahaya keracunan (Al-dd). Pada kacang tanah dengan input rendah (Tabel 20), kualitas lahan yang sangat berpengaruh terhadap
101
produksi dan merupakan pembeda kelas kesesuaian adalah ketersediaan hara (n) yang ditentukan oleh karakteristik lahan P-tersedia, retensi hara (r) oleh KB dan bahaya keracunan oleh Al-dd. Pada input sedang (Tab el 21), produksi polong kering kacang tanah masih ditentukan oleh kualitas lahan ketersediaan hara (P tersedia) dan retensi hara (KB). Pada tanaman jagung dengan input sedang, tampaknya faktor ketersediaan hara (P) tidak diperlukan lagi karena telah menunjukkan pengaruh yang kecil terhadap produksi. Pada tanaman kacang tanah dengan input sedang, faktor ketersediaan hara (P) masih menjadi pembeda kelas kesesuaian lahan. Mengingat faktor pembatas di lokasi penelitian relatif mudah diperbaiki, maka dalam pengharkatan setiap karakteristik lahan hanya ditetapkan sampai kelas N1. Tabel 18. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dengan Input Rendah Kualitas Lahan Ketersediaan hara: P-tersedia (ppm) Daya retensi hara: pH Bahaya keracunan: Al-dd (me/100 g)
S1 (>2,88)
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S2 S3 N1 (2,16-2,88) (1,44-2,15) (<1,44)
N2 (<1,44)
>69
43-69
26-42
<26
<26
5,0-6,0
6,1-6,5 4,6-4,9
6,6-7,0 4,0-4,5
>7,0 <4,0
>7,0 <4,0
<1,25
1,25-2,56
2,57-4,54
>4,54
>4,54
Tabel 19. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dengan Input Sedang Kualitas Lahan
S1 (>3,84)
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S2 S3 N1 (2,88-3.84) (1,92-2,87) (<1,92)
N2 (<1,92)
Daya retensi hara: pH
5,0-6,5
6,5-7,0 4,6-4,9
7,1-7,5 4,0-4,5
>7,5 <4,0
>7,5 <4,0
Bahaya keracunan: Al-dd (me/100 g)
<1,65
1,65-2,86
2,87-5,32
>5,32
>5,32
102
Tabel 20. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah dengan Input Rendah Kualitas Lahan Ketersediaan hara: P-tersedia (ppm) Daya retensi hara: KB (%) Bahaya keracunan: Al-dd (me/100 g)
S1 (>1,44)
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S2 S3 N1 (1,08-1,44) (0,72-1,07) (<0,72)
N2 (<0,72)
>35
24-35
6-23
<6
<6
>40
30-40
15-29
<15
<15
<1,41
1,41-2,54
2,55-5,54
>5,54
>5,54
Tabel 21. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah dengan Input Sedang Kualitas Lahan
S1 (>1,92)
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S2 S3 N1 (1,44-1,91) (0,96-1,43) (<0,96)
N2 (<0,96)
Ketersediaan hara: P-tersedia (ppm)
>45
25-45
8-24
<8
<8
Dayan retensi hara KB (%)
>45
35-45
15-34
<15
<15
Penyusunan kriteria kesesuaian lahan dengan pendekatan kedua, berdasarkan pada tingk at produktivitas lahan yang diduga dari persamaan regresi bertatar (stepwise). Analisis regresi bertatar (stepwise) dilakukan dengan menggunakan program Statistica (StatSoft Inc., 1999). Sejumlah karakteristik lahan yang telah diidentifikasi berkorelasi baik dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah dari setiap tipe penggunaan lahan, seperti pada cara pertama, dipilih sebagai parameter yang digunakan dalam analisis tersebut. Secara bertahap persamaan yang dihasilkan dievaluasi mengenai besarnya sumban gan atau peranan dari masing-masing parameter terhadap komponen produksi yang ditetapkan. Parameter-parameter yang kecil peranannya secara bertahap dihilangkan sampai diperoleh persamaan dengan kombinasi parameter yang terbaik. Persamaan regresi bertatar terpilih (Tabel 22) ditetapkan berdasarkan jumlah parameter yang relatif sedikit, dan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap komponen produksi yang dievaluasi.
103
Tabel 22. Persamaan untuk Pendugaan Produksi Jagung dan Kacang Tanah di Lokasi Penelitian Tipe Penggunaan Lahan Jagung : Input rendah Input sedang Kacang tanah : Input rendah Input sedang
Persamaan Regresi Bertatar
R2
Y = 0,134 + 0,137pH + 0,026P – 0,077Al Y = 0,178 + 0,748pH – 0,254Al
0,96 0,86
Y = 0,665 + 0,017P + 0,010KB – 0,026Al Y = 0,561 + 0,023P + 0,010KB
0,92 0,85
Hasil analisis regresi bertatar menunjukkan bahwa parameter-parameter yang berperan terhadap produksi jagung masih ditentukan oleh P-tersedia, pH dan Al-dd, sedangkan untuk kacang tanah adalah P-tersedia, KB dan Al-dd. Kombinasi dari parameter-parameter tersebut dalam persamaan di atas menyumbangkan 96% terhadap pendugaan produksi jagung dan 92% terhadap produksi kacang tanah pada input rendah. Parameter P-tersedia dan pH lebih berpengaruh terhadap produksi jagung dibanding Al-dd. Sedangkan terhadap produksi kacang tanah, P-tersedia dan KB lebih berperan dibanding Al-dd. Parameter-parameter lainnya sedikit sekali sumbangannya (3-8%) terhadap produksi jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian, antara lain C-organik, Kdd, dan KTK. Persamaan regresi yang dihasilkan dapat digunakan langsung untuk menduga besarnya produksi tanaman dari setiap tipe penggunaan lahan di setiap lokasi penelitian. Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan kisaran produksi untuk mas ing-masing kelas kesesuaian lahan dari setiap tipe penggunaan lahan yang ditetapkan. Penilaian kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan ditetapkan dengan cara membandingkan hasil pendugaan produksi dari persamaan regresi tersebut dengan kisaran produksi dari masing-masing kelas kesesuaian lahan pada tabel kriteria yang disusun (Tabel 23) sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Penetapan kelas kesesuaian lahan menurut Tabel tersebut perlu mempertimbangkan faktor pembatas penggunaan lahannya. Bila pembatas yang ada seperti di lokasi penelitian relatif mudah diperbaiki maka hasil penilaian kelas kesesuaian tidak ada yang jatuh ke kelas N2 atau serendah-rendahnya ke kelas N1, walaupun tingkat produktivitasnya sangat rendah sekali.
104
Tabel 23. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah Berdasarkan Tingkat Produktivitas Lahan di Lokasi Penelitian Tipe Penggunaan Lahan
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S1
S2
S3
N1
N2
Input rendah
> 2,88
2,16-2,88
1,44-2,15
0,72-1,53
< 0.72
Input sedang
> 3,84
2,88-3,84
1,92-2,87
0,96-1,91
< 0,96
Input rendah
> 1,44
1,08-1,44
0,72-1,07
0,36-0,71
< 0,36
Input sedang
> 1,92
1,44-1,92
0,96-1,43
0,48-0,95
< 0,48
TPL–jagung:
TPL-kacang tanah:
Penggunaa n Kriteria Kesesuaian Lahan di Lokasi Penelitian
Evaluasi kesesuaian lahan dengan menggunakan kriteria yang dibangun dengan pendekatan pertama di lokasi penelitian menghasilkan kelas-kelas kesesuaian lahan yang sesuai dengan potensi lahan atau produksi jagung dan kacang tanah dari setiap tipe penggunaan lahan yang dievaluasi (Tabel 24 dan 25). Faktor-faktor pembatas penggunaan lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung pada tanah-tanah dari batuan sedimen basa lebih banyak ditentukan oleh ketersediaan hara (P-tersedia), tanah -tanah dari bahan volkanik oleh ketersediaan hara (P) dan retensi hara (kemasaman tanah, pH), sedangkan tanah -tanah dari batuan sedimen masam ditentukan oleh ketersediaan hara (P), retensi hara (pH) dan bahaya keracunan aluminium. Hasil evaluasi kesesuaian lahan pada TPL 1 (tanaman jagung dengan input rendah) menunjukkan kelas-kelas kesesuaian lahan yang sedikit beragam sesuai dengan keragaman produktivitas lahannya, termasuk pada kelas S2 sampai N1 dengan pembatas utama adalah ketersediaan hara (n), retensi hara (r) dan bahaya keracunan aluminium (x). Tidak ada yang termasuk ke dalam kelas N2 karena pembatas yang ada di lokasi penelitian umumnya berupa kualitas lahan dari sifat-sifat kimia tanah yang relatif mudah diperbaiki untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Pada TPL 2 (tanaman jagung, input sedang), menunjukkan kelas-kelas kesesuaian yang lebih baik, setingkat sampai
105
dua tingkat lebih tinggi, termasuk ke dalam kelas S1 sampai N1. Tampak bahwa perbaikan kualitas lahan dengan pemberian input produksi (pupuk) dapat meningkatkan kelas kesesuaian lahan dan secara langsung juga meningkatkan produktivitas lahannya. Kasus di Jasinga, pada tanah-tanah sangat masam (Hapludult dan Haplohumult) dari batuan sedimen masam menunjukkan bahwa pada TPL 2 masih tergolong ke dalam kelas N1 dengan pembatas utama bahaya keracunan alumunium (x). Perbaikan pengelolaan lahan (peningkatan input) tidak menunjukkan peningkatan terhadap kelas atau produktivitas lahannya secara nyata. Perbaikan kualitas lahan tampaknya tidak cukup dengan input itu saja tetapi juga diperlukan input lainnya untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan, antara lain tindakan pengapuran yang dapat menetralisir kemasaman tanah dan menekan bahaya keracunan alumin ium. Tabel 24. Hubungan Kelas dan Produksi berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung di Lokasi Penelitian Kode lokasi B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
Jenis Tanah Oxyaquic Dys trudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Typic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs
TPL-1 Produksi Kelas (ton/ha) S2-r 2,71 N1-n 1,39 N1-nx 0,29 N1-nx 0,59 N1-n 1,37 S3-n 1,89 N1-n 0,21
TPL-2 Produksi Kelas (ton/ha) S1 4,89 S3-r 2,16 N1-x 1,19 N1-x 1,31 S2-n 3,48 S1 4,80 S3-x 2,08
Faktor pembatas: n: ketersediaan hara (P), r: retensi hara (pH), x: bahaya keracunan (Al)
Tabel 25. Hubungan Kelas dan Produksi berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah di Lokasi Penelitian Kode lokasi B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
Jenis Tanah Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Typic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs
TPL-3 Produksi Kelas (ton/ha) S1 1,51 S3-n 0,82 N1-nrx 0,61 N1-x 0,68 S3-n 0,90 S1 1,68 N1-n 0,72
TPL-4 Produksi Kelas (ton/ha) S1 2,21 S3-n 1,19 S3-nr 1,07 S3-n 1,41 S2-n 1,56 S1 2,67 S3-n 1,34
Faktor pembatas: n: ketersediaan hara (P), r: retensi hara (KB), x: bahaya keracunan (Al)
106
Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis kacang tanah (Tabel 25), menunjukkan bahwa pada TPL 3 (input rendah) kelas kesesuaian lahan cukup bervariasi, mulai dari kelas S1 sampai kelas N1 sejalan dengan produksi tanaman. Tidak ada lahan yang dinilai kelas N2 karena faktor pembatasnya relatif mudah diatasi. berupa ketersediaan hara (n), retensi hara (r), dan bahaya keracunan (x). Tanah-tanah masam dari Jasinga memiliki pembatas terberat dibanding dengan tanah-tanah lainnya. Upaya peningkatan produktivitas lahan pada tanah tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian pupuk berimbang (terutama P), dan pengapuran (dolomit). Pada TPL 4 (input sedang) terlihat kelas kesesuaian lahannya umumnya setingkat lebih tinggi daripada TPL 3, termasuk kelas S1 sampai S3 dan tidak ada yang termasuk ke dalam kelas yang tidak sesuai (N1, N2). Pembatas yang masih muncul umumnya adalah ketersediaan hara dan retensi hara yang perlu diatasi terus-menerus agar upaya mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan kering dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pendugaan produksi dengan menggunakan model persamaan regresi bertatar adalah cukup akurat dengan simpangan rata-rata relatif rendah (<10%) dari produksi yang sebenarnya di lapangan. Penetapan kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan hasil dari pendugaan produksi terhadap kisaran produksi dari setiap kelas kesesuaian lahan yang telah ditetapkan. Hasil pendugaan produksi dengan model persamaan tersebut dan penetapan klasifikasi kesesuaian lahannya untuk setiap tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 26. Penilaian kelas kesesuaian lahan di lokasi penelitian tidak ada yang termasuk kelas N2, mengingat faktor pembatasnya (kualit as lahan) relatif mudah diperbaiki dan produktivitas lahan dapat ditingkatkan secara optimal. Penilaian kelas kesesuaian lahan dengan cara kedua, yaitu berdasarkan pendugaan produksi, memberikan hasil yang cukup baik, dimana besarnya produksi yang diduga dari model persamaan regresi bertatar telah sesuai dengan produksi di lapangan dan kelas kesesuaiannya. Walaupun terdapat perbedaan selisih hasil namun tidak terlalu besar dan masih pada batas kisaran produksi dalam kelas yang sama.
107
Tabel 26. Pendugaan Produksi dan Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah Kode lokasi B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
Tipe Penggunaan Lahan dan Jenis Tanah TPL-1:Jagung, input rendah Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs TPL-2:Jagung, input sedang Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs TPL-3:Kacang tanah, input rendah Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs TPL-4:Kacang tanah, input sedang Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs
Produksi Lapangan (ton/ha)
Pendugaan Produksi (ton/ha)
Kelas Kesesuaian (1) (2)
2,712 1,385 0,290 0,590 1,355 1,885 0,210
2,787 1,233 0,223 0,616 1,349 1,715 0,343
S2r N1n N1nx N1nx N1n S3n N1n
S2 N1 N1 N1 N1 S3 N1
4,890 2,155 1,185 1,315 3,480 4,805 2,080
3,928 2,864 1,183 1,404 3,741 3,988 2,372
S1 S3r N1x N1x S2n S1 S3x
S1 S3 N1 N1 S2 S1 S3
1,505 0,825 0,610 0,680 0,900 1,680 0,720
1,583 0,898 0,551 0,799 0,939 1,794 0,684
S1 S3n N1nrx N1x S3n S1 N1n
S1 S3 N1 N1 S3 S1 N1
2,205 1,185 1,065 1,410 1,560 2,670 1,340
2,287 1,284 0,977 1,415 1,898 2,488 1,379
S1 S3n S3nr S3n S2n S1 S3n
S1 S3 S3 S3 S2 S1 S3
Kelas kesesuaian: (1) pendekatan kualitas lahan, (2) pendekatan produktivitas lahan, S1: sangat sesuai, S2: cukup sesuai, S3: sesuai marginal, N1: tidak sesuai saat ini. Faktor pembatas: n: ketersediaan hara, r: retensi hara, x: bahaya keracunan.
Dalam kasus di lokasi penelitian, kualitas/karakteristik lahan yang diperlukan untuk menyusun kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah jauh lebih sedikit daripada kriteria yang telah ada sehingga proses evaluasi kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut dapat dilakukan lebih cepat, mudah dan murah dengan hasil yang akurat.
108
Evaluasi kesesuaian lahan menggunakan kriteria tersebut di lokasi penelitian menghasilkan kelas -kelas kesesuaian lahan yang lebih sesuai dengan potensi lahan dan produksinya. Klasifikasi kesesuaian lahan menggunakan pendekatan produksi (fisik kuantitatif) tampak cukup baik dan sesuai dengan potensi lahannya. Kriteria kesesuaian lahan yang telah dibangun masih perlu dimantapkan lagi dengan didukung oleh data produksi dan data fisik lingkungan (iklim, tanah) yang lebih banyak lagi sehingga menghasilkan metoda evaluasi kesesuaian lahan yang baku khususnya untuk tipe penggunaan lahan berbasis tanaman jagung dan kacang tanah di lahan kering beriklim basah.
Kelebihan dari Kriteria Kesesuaian Lahan yang Dibangun
Kriteria kesesuaian lahan untuk jagung dan kacang tanah telah disusun oleh Djaenudin et al. (2003) Wood dan Dent (1983), dan Sys et al. (1993) dalam bentuk tabel kriteria kesesuaian lahan untuk tujuan evaluasi kesesuaian lahan. Seperti juga halnya yang dilaporkan FAO (1983), bahwa cukup banyak kualitas dan karakteristik lahan yang dapat digunakan dalam mengevaluasi kesesuaian lahan tersebut, walaupun dalam prakteknya hanya beberapa saja dari kualitas atau karakteristik lahan tersebut muncul sebagai faktor pembatas atau pembeda kelas kesesuaiannya. Kriteria tersebut dibuat secara empiris, berlaku umum dan terlalu banyak parameter yang digunakan sehingga tidak sesuai bila diterapkan pada lokasi yang spesifik dengan tipe penggunaan lahan tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan dengan menggunakan kriteria tersebut menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang bersifat fisik kualitatif yang belum dihubungkan dengan tingkat produktivitas lahannya atau belum dinyatakan dalam bentuk besaran produksi (ton/ha biji kering atau polong kering). Kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dibangun berdasarkan pada kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap produksi tanaman, yaitu ketersediaan hara, daya retensi hara dan bahaya keracunan alumunium. Kualitas lahan tersebut digunakan sebagai unsur pembeda dalam klasifikasi kesesuaian lahannya. Penyusunan kriteria lebih diarahkan untuk tujuan spesifik lokasi dengan hasil penilaian secara
109
fisik kuantitatif, artinya setiap kelas kesesuaian lahan telah dihubungkan dengan tingkat produktivitas lahannya atau dinyatakan dalam besaran produksinya, misalnya dalam bentuk ton/ha biji kering jagung atau ton/ha polong kering kacang tanah. Dari setiap kelas kesesuaian lahan yang ditetapkan dapat diketahui langsung kisaran produksi atau dugaan besaran produksinya. Kriteria kesesuaian lahan dibangun oleh sangat sedikit kualitas lahan atau karakteristik lahan yang relevan di lahan kering beriklim basah dan telah memberikan hasil evaluas i kesesuaian lahan yang lebih baik dan akurat. Dengan kebutuhan data kualitas/karakteristik lahan yang minimal memungkinkan proses evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan lebih mudah, cepat dan murah dengan hasil yang baik. Karakteristik lahan yang diperlukan untuk mengevaluasi tanaman jagung hanya terdiri dari pH, P-tersedia dan Al-dd, sedangkan untuk kacang tanah adalah P-tersedia, KB dan Al-dd. Kualitas lahan ketersediaan hara dan bahaya keracunan aluminium yang cukup mempengaruhi produksi tanaman dan menjadi pembeda kelas kesesuaian lahan telah diakomodir dalam kriteria tersebut yang sebelumnya tidak digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan oleh Djaenudin et al. (2003). Kriteria kesesuaian lahan yang dibangun didasarkan pada beberapa kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang mempunyai korelasi yang baik dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah dan digunakan sebagai pembeda kelas kesesusaian lahan, sedangkan kualitas/karakteristik lahan lainnya tidak digunakan karena menunjukkan korelasi yang rendah terhadap produksi. Hal ini diduga karena karakteristik lahan tersebut walaupun ketersediaannya rendah di dalam tanah (misalnya N) tetapi tidak termasuk sebagai faktor pembatas utama atau pembeda terhadap produksi tanaman jagung dan kacang tanah. Faktor-faktor lainnya diasumsikan telah sesuai dan tidak menjadi pembatas terhadap penggunaan lahan yang ditetapkan, seperti misalnya faktor iklim (ketersediaan air dan suhu), konservasi lahan dan bahaya erosi, pengelolaan tanaman, sifat-sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah lainnya ( serta unsur hara mikro lainnya). Sejauh ini, kriteria yang telah disusun telah memberikan hasil yang maksimal, misalnya dengan penggunaan kualitas/karakteristik lahan yang sedikit telah memberikan hasil penilaian kesesuaian lahan yang lebih baik daripada sistem evaluasi
110
kesesuaian lahan yang telah ada. Kualitas lahan ketersediaan hara dan bahaya keracunan aluminium yang sangat umum dijumpai dalam tanah-tanah masam di lahan kering sering diabaikan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan dengan asumsi bahwa kualitas lahan tersebut sangat mudah diperbaiki oleh petani. Dalam kenyataannya di lapangan, faktor pembatas tersebut tetap ada di lahan petani. Oleh karenanya dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan ini, kualitas lahan tersebut diakomodir dan digunakan sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan. Kriteria kesesuaian lahan disusun secara fisik kuantitatif dan spesifik lokasi. Klasifikasi kesesuaian lahan di dalam kriteria tersebut telah dihubungkan dengan produksi tanaman. Setiap kelas kesesuaian lahan telah dinyatakan dalam besaran produksinya (ton/ha biji kering jagung atau ton/ha polong kering kacang tanah). Kriteria ini dapat berlaku di luar daerah Bogor yang memiliki kemiripan ekosistem atau karakteristik lingkungannya dengan lokasi penelitian di Bogor, yaitu pada lahan kering dataran rendah yang beriklim basah, datar atau diteras dengan tipe penggunaan lahan yang ditetapkan.
111
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Keragaman bahan induk dan perkembangan tanah sangat berpengaruh terhadap kualitas lahan retensi hara dan bahaya keracunan aluminium serta tingkat produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah. Kualitas lahan ketersediaan hara lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pengelolaan lahan. Perkembangan tanah pada tahap lanjut menurunkan kualitas lahan dan produktivitasnya.
2. Tanah -tanah dari batuan sedimen masam memiliki faktor pembatas penggunaan lahan yang paling berat dibanding tanah-tanah dari ke dua bahan induk lainnya. Upaya perbaikan lahan pada tanah-tanah masam tersebut adalah dengan pemupukan berimbang (terutama P), penambahan organik dan pengapuran untuk memperbaiki ketersediaan hara, menetralisir kemasaman tanah dan mencegah bahaya keracunan aluminium.
3. Kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah yang dibangun bersifat spesifik lokasi dan fisik kuantitatif. Kualitas lahan yang digunakan sebagai pembeda klasifikasi kesesuaian lahan adalah ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan aluminium yang diduga oleh pH tanah, P-tersed ia, kejenuhan basa (KB) dan aluminium dapat dipertukarkan (Al-dd). Kebutuhan data kualitas/karakteristik lahan yang relatif sedikit memungkinkan proses evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan lebih mudah, cepat dan murah dengan hasil yang akurat.
Saran-saran Kriteria kesesuaian lahan spesifik lokasi yang dibangun ini perlu dik aji dan dikembangkan di daerah lainnya yang memiliki karakteristik lingkungan yang mirip dengan lokasi penelitian sehingga dihasilkan metode evaluasi kesesuaian lahan yang tepat dalam rangka memanfaatkan dan meningkatkan produktivitas lahan kering beriklim basah secara optimal dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A. 1989. Rainfall Erosivity and Soil Erodibility in Indonesia: Estimation and Variation with Time. Thesis Doctor. Faculty of Agriculural Science. Ghent. Belgium. Adiningsih, Sri J., Agus Sofyan dan Dedi Nursyamsi. 2000. Lahan sawah dan pengelolaannya. Dalam: Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. p.:165-196. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Anderson, G.D. 1970. Fertility studies on sandy loam in Deni and Tanzania. II. Effect of phosphorous, potassium and lime on yields of groundnuts. Exp. Agric. 6(3): 213-220. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. McCraken. 1980. Soil Genesis and Classification. The Iowa State University Press. Buurman, P., L. Rochimah, and A.M. Sudihardjo. 1976. Soil genesis on acid tuffs in Banten, West Java, Indonesia. Proceed. ATA-106. Midterm Sem. Soil Res. Inst. Bogor. Bull. 3. p.: 151-172. Caroll, D. 1970. Clay Mineralogy. A Guide to Their X-Ray Identification. The Geology Society of America Inc. Colorado. Christianto, L., dan Hernusye H. 1997. Indeks lah an suatu metode penilaian kesesuaian lahan dalam menetapkan sentra pengembangan agribisnis jagung. Dalam: Akselerasi Pengembangan Teknologi Hasil Penelitian Jagung Menunjang Intensifikasi. Prosid. Seminar dan Lokakarya Jagung di Maros-Ujungpandang, 11-12 Nopember 1997. p. 95-113. Clarke, D. 1998. CropWat for Windows. Version 4.2. IIDS. University of Southampton, U.K. CSR/FAO. 1983. Reconnaissance Land Resource Surveys 1:250.000 Scale. Atlas Format Procedures. AGOF/INS/78/006. Manual 4 Ver.1. CSR, Bogor. Dai, J., and P.M. Driessen. 1973. A General orientation proceeding the resumption of clay mineralogical studies of the Soil Research Institute Bogor. Proceed. ASC., Jakarta. Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. 2004. Luas Penggunaan Lahan dan Produktivitas Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bogor Tahun 2003. Kabupaten Bogor Dalam Angka.
Direktorat Geologi. 1969. Peta Geologi Jawa dan Madura. Lembar Jawa Barat, Skala 1:500.000. Cetakan ke tiga. Bandung. Djaenudin, D., Basuni, Sarwono Hardjowigeno, H. Subagyo, M. Sukardi, Ismangun, Marsoedi DS.,N. Suharta, Lukman Hakim, Widagdo, Junus Dai, V. Suwandi, S. Bachri dan E.R. Jordens.1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan. Lap.Tek. N0.7 Ver.1.0. LREP-II, CSAR, Bogor. Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani dan Nata Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,Bogor. Djaenudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Doorenbos, J., and W.O. Pruitt. 1984. Guidelines for Predicting Crop Water Requirements. FAO Irrigation and Drainage Paper No. 24. Rome. Driessen, P.M. 1971. Parametric Land Classification. Dok. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor. Dudal, R., and M. Soepraptohardjo. 1957. Soil Classification in Indonesia. Cont. Gen. Agr. Res. Sta. No.148. Bogor. Effendi, A.C. 1986. Peta geologi lembar Bogor, Jawa. Skala 1:100.000, Lembar No. 9/XIII-D. Puslitbang Geologi, Bandung. Fakultas Kehutanan IPB. 2003. Analisis Perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan Citra Satelit SPOT-5 di Wilayah Kabupaten Bogor. Kerjasama antara BAPEDA Kabupaten Bogor dengan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Bull. No.32. FAO, Rome. FAO. 1978. Guidelines for Soil Profile Description. FAO/UNESCO, Rome. FAO. 1980. Report on the Agro-ecological Zones Project. Results for Southeast Asia. Vol. 4. Rome. FAO. 1983. Guidelines: Land Evaluation for Rainfed Agriculture. FAO Soil Bull. 52. Rome. Firmansyah, M.A. 1997. Pedogenesis dan Potensi Tanah-tanah Areal Pengembangan Perkebunan Tebu Pelaihari Kalimantan Selatan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Grim, R.E., 1968. Clay Mineralogy. Second Ed. McGraw Hill Book. New York.
114
Hall, A.M. 1975. Effect of phosphorus, potassium and calcium on peanut at Manke, New Zealand. J. of Exp. Agric. 3: 117 -200. Hardjosoesastro, R., and J. Dai. 1983. Pumiceous tuff of the eruption of Krakatau in 1883 on Rakata island and its development. Symp. 100th Year Development of Krakatau and Its Surroundings. L.I.P.I., Jakarta. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. AKAPRES, Jakarta. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Ed. rev. Cet. 4. Akademika Presindo. Jakarta. Hardjowigeno., Widiatmaka dan Anang S. Yogaswara. 1999. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Hidayat, A., Hikmatullah dan Djoko Santoso. 2000. Potensi dan pengelolaan lahan kering dataran rendah. Dalam: Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. p. 197-222. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hidayat, J.R., S. Kartaatmadja dan Sri Astuti. 2000. Teknologi Produksi Benih Kacang Tanah. Pusat Penelitan dan Pengembangan Tanaman Pangan. Klingebiel, A.A., and P.H. Montgomery. 1961. Land Capability Classification. Agric. Handbook No. 210, SCS-USDA, Washington. Lembaga Penelitian Tanah. 1966. Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor. Dok. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. Lembaga Penelitian Tanah. 1969. Pedoman Pengamatan Tanah di Lapang. Dok. No.4/1969. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. Lembaga Penelitian Tanah. 1974. Penuntun Analisa Fisika Tanah. Publ. LPT No. 8. Bogor. Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I. Ed-2. IPB Press. Mohr, E.C.J., F.A. van Baren, and J. van Schuylenborgh. 1972. Tropical Soils. W. van Hoeve Publ. Ltd. The Hague. NWMCP. 1998. The Use of The Universal Soil Loss Equation in the RTL Process. Tech. Report No. 30. DHV Consultant BV Amersfoot, the Netherland – PT. Mapalus Menggala Engineering Bandung, Indonesia.
115
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Terms of Reference Klasifikasi Kesesuaian Lahan. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi. Dok. Pusat Penelitian Tanah. Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Peta Sumberdaya Tanah Indonesia Tingkat Eksplorasi, Skala 1:1000.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 1993. Varietas Unggul Tanaman Pangan 1918-1993. Publ. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Pramudia, A. 2002. Analisis Sensitivitas Tingkat Kerawanan Produksi Padi di Pantai Utara Jawa Barat Terhadap Kekeringan dan El-Nino. Tesis Magister Sains pada Program Studi Agrokimatologi. Program Pascasarjana IPB. Rossiter, D., and van Wambeke. 1994. Automated Land Evaluation System (ALES). User Manual. Ver.4.6. Cornell University, Ithaca, New York. Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No. 42 Jawatan Meteorologi dan Geofisik, Jakarta. SCS-USDA. 1982. Soil Survey Laboratory Methods and Procedures for Collecting Soil Samples. USDA. Soil Survey Invest. Rep ort 1. Setda Kabupaten Bogor. 2001. Potret Kabupaten Bogor dalam Otonomi Daerah. Edisi Lanjutan. Publ. Pemerintah Kabupaten Bogor. Soepraptohardjo, M. 1961. Klasifikasi Tanah Kategori Tinggi. Balai Penyelidikan Tanah, Bogor. Soepraptohardjo, M. 1970. Klasifikasi Kemampuan Wilayah. Dok. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor. Soil Survey Staff. 1993. S oil Survey Manual. Agric. Handb. No.18. SCS-USDA, Washington DC. Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System for Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition. USDA-NRCS Agric Handbook 436. Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah. 1983. Klasifikasi kesesuaian lahan. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi, Pusat Penelitian Tanah. Bogor. StatSoft, Inc. 1999. Statistica for Windows. Tulsa, OK.
116
Subagyo, H., Nata Suharta dan Agus B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Dalam: Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. p. 21-61. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Subardja and P. Buurman. 1980. A toposequence of Latosols on volcanic rocks in the Bogor-Jakarta areas. In P. Buurman (ed.) Red Soils in Indonesia. Centre for Agric. Publ and Doc., Wageningen. Sudaryono. 1997. Teknologi produksi jagung. Dalam: Akselerasi Pengembangan Teknologi Hasil Penelitian Jagung Menunjang Intensifikasi. Prosid. Seminar dan Lokakarya Jagung di Maros-Ujungpandang, 11-12 Nopember 1997. p. 137-158. Sumarno. 1995. Adaptasi agroklimat dan maksimasi produktivitas kacang tanah. Makalah Lokakarya Usahatani Kacang Tanah di Malang, 4 -5 Oktober 1995. 9 pp. Sumarno. 2003. Teknik Budidaya Kacang Tanah. Cetakan ke-3. Sinar Baru Algensindo. Bandung. Suprapto, H.S., dan A.R. Marzuki. 2004. Bertanam Jagung. Ed. rev. Cet. XXIII. Penebar Swadaya. Jakarta. Suyamto, H. 1993. Hara mineral dan pengelolaan air pada tanaman kacang tanah. Dalam: Kacang Tanah. Monograf Balitan Malang No.12. p.108-119. Sys, C. 1978. Evaluation of land limitations in the humid tropics. Pedologie, XXVIII -3, p. 307-335. Ghent, Belgium. Sys, C., E. van Ranst, J. Debaveye, and F. Beernaert. 1993. Land Evaluation Part III: Crop Requirement. ITC. Sci. Univ. Ghent. Agric. Publ. No.7. Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian. 1998. Laporan Hasil Penelitian Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian Dalam Pelita VI. Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia. Vol. IA. Gov. Print. Office. The Hague. Wischmeier, W.H. 1976. Use and misuse of the universal soil loss equation. Journ. Soil and Water Conserv. 31(1): 5-9. Wischmeier, W.H., and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide to Conservation Planning. USDA Agric. Handbook No. 537. Wood, S.R., and F.J. Dent. 1983. LECS Methodology. Ministry of Agric., Gov. of Indonesia/FAO-AGOF/INS/78/006.
117
Lampiran 1. Kualitas/Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Kering (FAO, 1983) No. 1.
2.
3.
Kualitas Lahan Radiasi matahari
Suhu udara
Ketersediaan air
4
Ketersediaan oksigen untuk akar
5
Ketersediaan hara
Karakteristik Lahan Radiasi gelombang pendek selama masa pertumbuhan 2. Rata-rata penyinaran harian selama masa pertumbuhan 3. Panjang hari pada masa kritis 1. Suhu rata-rata selama masa pertumbuhan 2. Suhu rata-rata bulan terdingin selama masa pertumbuhan 3. Suhu rata-rata maksimum harian bulan terpanas selama masa pertumbuhan 1. Lamanya masa pertumbuhan 2. Curah hujan total selama masa pertumbuhan 3. Defisit evapotranspirasi relatif selama masa pertumbuhan 4. Hasil tanaman relatif dihitung menurut model neraca air 5. Defisit evapotranspirasi relatif selama masa kritis 6. Peluang bahaya kekeringan nyata 7. Adanya indikator vegetasi 1. Kelas drainase tanah 2. Masa jenuh air dari zona akar 3. Adanya indikator vegetasi Tingkat ketersediaan hara: 1. N-total 2. Ketersediaan P 3. Kalium dapat tukar 1.
Indikator ketersediaan: 1. Reaksi tanah 2. Rasio Fe2O3 : liat
6
Daya retensi hara
7.
Kondisi Perakaran
8.
Kondisi untuk perkecambahan
Satuan mW/m2 jam/hari jam o C o
C
o
C hari mm rasio rasio rasio % kelas hari % ppm me/100 g pH rasio
Indikator pembaharuan: 1. Mineral dapat lapuk 2. P-total 3. K-total 4. Bahan induk tanah 1. KTK, rata-rata horison bawah 2. Total basa-basa dapat tukar, rata-rata horison bawah 3. Kelas tekstur, horison bawah 1. Kedalaman efektif tanah 2. Penetrasi akar 3. Kerikil dan batuan 4. Berat isi
kelas cm kelas % g/cm 3
1.
kelas
Kenampakan erosi
% mg/100 g mg/100 g kelas me/100 g me/100 g
120
Lampiran 1. (Lanjutan) No. 9. 10.
Kualitas Lahan Kelembaban udara yang mempengaruhi pertumbuhan Kondisi untuk pematangan
11.
Bahaya banjir
12.
Bahaya iklim
13.
Ekses garam-garam (salinitas, alkalinitas)
14.
Bahaya keracunan (toksisitas)
15.
Hama dan penyakit
16.
Kemudahan pengolahan tanah Potensi mekanisasi Penyiapan dan pembukaan lahan Kondisi penyimpanan dan pengolahan Kondisi waktu berproduksi Akses dengan unit produksi Satuan potensi pengelolaan Lokasi (akses yang ada dan yang berpotensi) Bahaya erosi
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
25.
Bahaya degradasi tanah (degradasi fisik, kimia dan biologis)
1.
Karakteristik Lahan Rata-rata kelembaban relatif selama masa pertumbuhan
%
1. 2. 3. 1. 2.
Jumlah hari kering Jumlah jam penyinaran Suhu udara Lama genangan selama masa pertumbuhan Frekuensi bahaya banjir
hari jam o C hari kelas
1.
Satuan
Hujan lebat yang merusak selama masa pertumbuhan 2. Bahaya pembekuan selama masa pertumbuhan 1. EC, horison atas dan bawah zone akar 2. Total garam larut 3. ESP 4. SAR 1. Kejenuhan Al 2. Reaksi tanah 3. Kedalaman karbonat 4. CaCO3 dalam zona perakaran 5. Kedalaman gipsum 6. CaSO4 dalam zona perakaran 1. Hama 2. Penyakit 3. Indikator iklim 4. Indikator tanah 1. Tekstur lapisan atas 2. Lamanya tanah dapat diolah pertahun 1. Lereng 1. Landform 2. Kelas vegetasi 1. Kelembaban udara saat panen 2. Tekstur lapisan atas 1. Waktu berbunga, panen
-
mS/cm ppm % rasio % pH cm % cm % kelas hari % kelas % kelas tanggal
1. 2. 1.
Terrain Sudut lereng >33% Ukuran minimum
kelas % ha
1. 2. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Jarak dari/ke jalan Indeks asesibilitas Jumlah tanah hilang (USLE, dll.) Lereng/grup tanah Erosi yang teramati Rasio dispersi Indeks crusting Lamanya tanah bera
km ton/ha/tahun % kelas rasio R%
-
121
Lampiran 2. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jagung (Djaenudin, et al., 2003) Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata ( 0c) Ketersediaan air (wa) Curah Hujan (mm) Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
Media perakaran (rc) Tekstur Bahan Kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol (+)/kg) Kejenuhan Basa (%) pH H20
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
20-26
26-30
16-20 30-32
< 16 > 32
500 – 1200 >42
1200 - 1600 400 - 500 36 - 42
>1600 300 – 400 30 – 36
< 300 < 30
baik sampai agak terhambat
agak cepat
terhambat
sangat terhambat cepat
h, ah, ss < 15 > 60
h, ah, s 15 – 35 40 – 60
ak 35 – 55 25 – 40
k > 55 < 25
< 60 < 140 saprik +
60 – 140 140 – 200 saprik, hemik
140 – 200 200 – 400 hemik,fibrik
> 200 > 400 fibrik
> 16 > 50 5,8 – 7,8
= 16 35 – 50 5,5 – 5,8 7,8 – 8,2 = 0,4
< 35 < 5,5 > 8,2
C-organik (%) > 0,4 Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) <4 4–6 6–8 >8 Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) < 15 15 - 20 20 – 25 > 25 Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) > 100 75 - 100 40 – 75 < 40 Bahaya erosi (eh) Lereng (%) <8 8 – 16 16 – 30 > 30 Bahaya erosi sr r - sd b sb Bahaya banjir (fh) Genangan FO F1 > F2 Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) <5 5 – 15 15 – 40 > 40 Singkapan batuan (%) <5 5 - 15 15 – 40 > 25 Keterangan : Tekstur h = halus; ah = agak halus; s = sedang; ak = agak kasar. + = gambut dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral Bahaya erosi sr = sangat ringan; r = ringan; sd = sedang; b = berat; sb = sangat berat
122
Lampiran 3. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Kacang Tanah (Djaenudin, et al., 2003) Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata ( 0c) Ketersediaan air (wa) Curah Hujan (mm) pada masa pertumbuhan Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
Media perakaran (rc) Tekstur Bahan Kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol (+)/kg) Kejenuhan Basa (%) pH H20 C-organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
25 – 27
20 – 25 27 – 30
18 – 20 30 – 34
<18 >34
400 – 1100
1100 – 1600 300 – 400 >80 <50
1600 – 1900 200 – 300
>1900 >200
baik-agak terhambat
agak cepat
terhambat
sangat terhambat cepat
h, ah, s <15 >75
h, ah, s 15 – 35 50 – 75
sh, ak 35 – 55 25 – 50
k >55 <25
<60 <140 saprik
60 – 140 140 – 200 saprik, hemik
140 – 200 200 – 400 hemik, fibrik
>200 >400 fibrik
>16 >35 6,0 – 7,0 >1,2
<16 <35 5,0 – 6,0 7,0 – 7,5 0,8 – 1,2
<5,0 >7,5 <0,8
<4
4–6
6–8
>8
<10
10 – 15
15 – 20
>20
>100
75 – 100
40 – 75
<40
<8 sr
8 – 16 r – sd
16 – 30 b
>30 sb
F0
-
-
>F1
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
>40 >25
50 - 80
Keterangan : Tekstur: sh = sangat halus (tipe liat 2 : 1); h = halus; ah = agak halus; s = sedang; ak = agak kasar. + = gambut dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral Bahaya erosi: sr = sangat ringan; r = ringan; sd = sedang; b = berat; sb = sangat berat
123
Lampiran 4. Uraian Morfologi Profil Tanah di Lokasi Penelitian Kode Profil Tanggal Pengamatan Lokasi
Ketinggian Tempat Klasifikasi Tanah : Soepraptohardjo (1961) Soil Taxonomy, USDA (1999) Fisiografi/Lereng Bahan Induk Drainase/Permeabilitas Penggunaan Lahan
: B1 : 22 Mei 2003 : Kebun Percobaan Cimanggu Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor : 240 m dpl
: Latosol Coklat Kemerahan : Oxyaquic Dystrudepts : Kipas aluvium, datar (<2%) : Tufa volkan intermedier (Andesitik) : Agak terhambat/Agak lambat : Kebun percobaan tanaman pangan (Jagung dan kacang-kacangan) --------------------------------------------------------------------------------------------------Horison Uraian sifat morfologi --------------------------------------------------------------------------------------------------Ap 0 - 13 cm. Coklat kemerahan gelap (5YR3/3), liat, cukup gumpal halus, gembur, perakaran halus sedang sampai banyak, pH 4.6, batas horison jelas rata beralih ke Bw1
13-37 cm. Coklat kemerahan (5YR4/3), liat, cukup gumpal sedang,agak teguh, akar halus sedikit, karatan besi bintik berganda baur sedikit kuning kemerahan (5YR6/6), karatan Mn hitam (5YR 2,5/1) bintik berganda kecil dan sedang, jelas, sedikit-sedang, pH 5.3, batas horison berangsur rata beralih ke
Bw2
37-73 cm. Coklat kemerahan (5YR4/4), liat, cukup gumpal sedang, agak teguh, akar halus sedikit, karatan Mn hitam (5YR 2,5/1) bintik berganda jelas, sedang–besar, banyak, pH 5.4, batas horison berangsur rata beralih ke
Bw3
73-104 cm. Coklat kemerahan (5YR5/4), liat, cukup -lemah gumpal sedang, gembur, karatan Mn hitam (5YR 2,5/1) bintik berganda sedang, jelas, sedang, pH 5.3, batas horison baur beralih ke
Bw4
104-120 cm. Coklat kemerahan (5YR5/4), liat , cukup-lemah gumpal halus -sedang, gembur, karatan Mn hitam (5YR 2,5/1) bintik berganda sedang, jelas, sedikit-sedang, pH 5.3. --------------------------------------------------------------------- -----------------------------Catatan: Regim kelembaban: perudik, regim suhu tanah isohipertermik. Epipedon okrik dan horison bawah kambik. Lapisan ke-2 agak memadat akibat pengolahan tanah (tapak bajak ). Sebelumnya, 20 tahun yang lalu pernah disawahkan secara intensif 2x setahun. Cuaca saat deskripsi profil terang, kemarinnya hujan besar.
122
Lampiran 4. (Lanjutan) Kode Profil Tanggal Pengamatan Lokasi
Ketinggian Tempat Klasifikasi Tanah M. Soepraptohardjo (1961) Soil Taxonomy, USDA (1999) Fisiografi/Lereng Bahan Induk
: B2 : 24 Juni 2003 : Kebun Anggrek Bpk Ismail Kamp. Pondok Mere, Desa Rawakalong Kecamatan Gunung Sindur : 70 m dpl
: Latosol Merah : Typic Eutrudox : Kipas aluvium, datar (<3%) : Tufa Volkan Intermedier (Andesitik) Drainase/Permeabilitas : Baik/Sedang Penggunaan Lahan : Kebun anggrek, kebun singkong, pepaya dan pisang. --------------------------------------------------------------------------------------------------Horison Uraian sifat morfologi --------------------------------------------------------------------------------------------------Ap 0 – 12 cm. Merah gelap (2.5YR3/6), liat , cukup gumpal sangat halus remah, gembur, perakaran halus banyak, pori mikro banyak, pH 4.4, batas horison jelas rata beralih ke Bo1
12-46 cm. Merah (2.5YR4/6), liat, cukup gumpal sedang-halus, gembur, perakaran halus sedang-sedikit, pori mikro sedikit-sedang, pH 4.4, horison horison berangsur rata beralih ke
Bo2
46-94 cm. Merah (2.5YR4/6), liat, cukup gumpal halus, gembur, perakaran halus sangat sedikit, pori mikro sedang, pH 4.4, batas horison baur rata beralih ke
Bo3
94-130 cm. Merah (2.5YR4/6), liat, cukup gumpal halus, gembur, pori mikro sedang, pH 4.6, batas horison baur rata beralih ke
Bo4
130-160 cm. Merah (2,5YR 4/6), liat, cukup gumpal halus, gembur, pH 4,6. --------------------------------------------------------------------------------------------------Catatan: Memiliki ciri epipedon okrik dan horison bawah oksik (KTK liat <16 me/100g liat), regim kelembaban udik dan regim suhu tanah isohipertermik. Saat deskripsi cuaca terang, kemarinnya hujan.
123
Lampiran 4. (Lanjutan) Kode Profil Tanggal Pengamatan Lokasi Ketinggian tempat Klasifikasi Tanah Soepraptohardjo (1961) Soil Taxonomy, USDA (1999) Fisiografi/lereng
: B3 : 18 September 2003 : Cikopomayak, Kecamatan Jasinga : 90 m dpl
: Podsolik Merah Kekuningan : Typic Hapludults : Bukit Angkatan/Lipatan, berombak (3-8%) Bahan induk : Batuan sedimen masam (batuliat bertufa) Drainase/Permeabilitas : Baik/ Sedang Penggunaan Lahan : Tegalan: singkong, ubijalar, kacang-kacangan. --------------------------------------------------------------------------------------------------Horison Uraian sifat morfologi --------------------------------------------------------------------------------------------------Ap 0-22 cm. Coklat kemerahan gelap (5YR3/3-3/4), liat, gumpal halus, gembur, perakaran halus dan sedang banyak, pori mikro bamyak, pH 4.3, batas horison jelas rata beralih ke BA
22-53 cm. Coklat kemerahan (5YR4/3), liat, gumpal halus, gembur, perakaran halus banyak, perakaran sedang sedikit, pori mikro banyak, pH 4.2, batas horison jelas rata beralih ke
Bt1
53-78 cm. Coklat kemerahan (5YR4/4), liat, gumpal bersudut sedang, agak teguh, perakaran halus sedang, pori mikro sedang, pH 4.2, selaput liat jelas tipis, sedikit, batas horison berangsur rata beralih ke
Bt2
78-115 cm. Merah kekuningan (5YR4/6), liat, gumpal bersudut sedang, agak teguh, akar halus sedikit, pori mikro sedang-sedikit, pH 4.3, selaput liat jelas sedang, batas horison jelas rata beralih ke
C
115-145 cm. Lapukan batuan merah kekuningan (5YR4/6) dan kuning kemerahan pH 4.3. --------------------------------------------------------------------- ------------------------------
Catatan: Lahan milik Perkebunan Karet Swasta, dikelola oleh petani (Bpk. Selamat). Memiliki epipedon okrik, horison bawah argilik. Kuarsa bening halus banyak tersebar dipermukaan tanah. Regim kelembaban tanah udik dan regim suhu tanah isohipertermik.
124
Lampiran 4. (Lanjutan) Kode Profil Tanggal Pengamatan Lokasi
: B4 : 19 September 2003 : Kampung Cokrat, Desa Tegalwangi Kecamatan Jasinga Ketinggian tempat : 100 m dpl Klasifikasi Tanah : Soepraptohardjo (1961) : Podsolik Merah Kekuningan Soil Taxonomy, USDA (1999) : Typic Haplohumults Fisiografi/Lereng : Perbukitan, bergelombang-berbukit Bahan induk : Batuan sedimen masam (batuliat bertufa) Drainase/Permeabilitas : Baik/ Sedang Penggunaan Lahan : Tegalan: singkong, kacangkacangan, p isang --------------------------------------------------------------------------------------------------Horison Uraian sifat morfologi --------------------------------------------------------------------------------------------------Ap 0-21 cm. Coklat kemerahan (5YR4/3), liat, gumpal halus-sedang, agak teguh, perakaran halus banyak, akar sedang sedikit, pori mikro banyak, pH 4.1, batas horison jelas rata beralih ke Bt1
21-50 cm. Co klat kemerahan (5YR4/4), liat, gumpal bersudut sedang, agak teguh perakaran halus sedikit -sedang, pori mikro sedang, pH 4.3, selaput liat jelas tipis sedikit-sedang, batas horison jelas rata beralih ke
Bt2
50-88 cm. Merah kekuningan (5YR4/6), liat, gumpal bersudut halus, gembur, akar halus sedikit, pori mikro banyak, pH 4.1, batas horison jelas rata beralih ke
Bt3
88-142 cm. Merah kekuningan (5YR4/6), liat, gumpal sedang lemah, gembur, pori mikro sedang, pH 4.1, batas horison jelas rata beralih ke
C
142-155 cm. Lapukan batuan merah kekuningan sampai kuning kemerahan (5YR5/6-6/6). --------------------------------------------------------------------------------------------------Catatan: Lahan milik Perkebunan Karet Swasta, dikelola oleh petani (Bpk. Kocod) Epipedon okrik dan horison bawah argilik. Regim kelembaban tanah udik, regim suhu tanah isohipertermik.
125
Lampiran 4. (Lanjutan) Kode Profil Tanggal Pengamatan Lokasi Ketinggian tempat Klasifikasi Tanah Soepraptohardjo (1961) Soil Taxonomy, USDA (1999) Fisiografi/Lereng Bahan induk Drainase/Permeabilitas Penggunaan lahan
: B5 : 23 Oktober 2003 : KP Peternakan IPB, Jonggol : 120 m dpl
: Brown Forest Soil : Lithic Hapludolls : Bukit angkatan, berombak(3-8%) : Batu gamping : Baik/Agak lambat : Tegalan diteras sederhana, diberakan lebih dari 5 tahun. --------------------------------------------------------------------------------------------------Horison Uraian sifat morfologi --------------------------------------------------------------------------------------------------Ap 0-19 cm. Coklat gelap (7.5YR3/2), liat, gumpal bersudut halus, agak teguh, perakaran halus banyak, pori halus banyak, pH 6.8, batas horison nyata rata beralih ke Bw
19-35 c m. Coklat (7.5YR4/4), liat, gumpal bersudut sedang, teguh, perakaran halus sedikit, pori halus sedang -sedikit, pH 7.2, batas horison jelas rata beralih ke
BC
35-46 cm. Coklat kuat (7.5YR5/6), liat, lemah gumpal bersudut sedang kasar, agak teguh, pH 7.9, lapukan batuan kuning kemerahan (7.5YR 7/8) dan pink (7.5YR 8/2) 10 -20%, batas horison jelas rata beralih ke
C 46-100 cm. Lapukan batugamping --------------------------------------------------------------------------------------------------Catatan: Epipedon molik, horison bawah kambik, regim kelembaban udik dan regim temperatur isohipertermik.
126
Lampiran 4. (Lanjutan) Kode Profil Tanggal pengamatan Lokasi
Ketinggian tempat Klasifikasi Tanah Soepraptohardjo (1961) Soil Taxonomy, USDA (1999) Fisiografi/lereng Bahan induk Drainase/permeabilitas Penggunaan lahan
: B6 : 23 Oktober 2003 : Kampung Melati Desa Singasari, Kecamatan Jonggol : 110 m dpl
: Mediteran Coklat Kemerahan : Aquic Eutrudepts : Bukit angkatan, berombak (3-8%) : Batu gamping : Agak terhambat/Agak lambat : Sawah tadah hujan berteras, sekali setahun ditanami padi. --------------------------------------------------------------------------------------------------Horison Uraian sifat morfologi --------------------------------------------------------------------------------------------------Ap 0-12 cm. Coklat kemerahan (5YR4/4), liat, gumpal bersudut halus-sedang, agak teguh, perakaran halus banyak, pori mikro banyak, pH 5.3, batas horison jelas rata beralih ke Bw1
12-29 cm. Coklat kemerahan gelap (5YR3/4), liat, gumpal bersudut sedang, teguh, kongkresi dan karatan Mn hitam (5YR 2.5/1), bintik berganda banyak, perakaran halus sedang-sedikit, pH 5.6, batas horison jelas rata beralih ke
Bw2
29-61 cm. Coklat kemerahan terang (5YR6/4), liat, gumpal bersudut sedang, agak teguh, kongkresi dan karatan Mn hitam (5YR2.5/1), sedikit, pH 5.8, batas horison berangsur rata beralih ke
BC
61-80 cm. Coklat kemerahan terang (5YR6/4) cam pur kelabu (5YR6/1) dan putih pink (5YR8/2), liat, lemah gumpal bersudut, agak teguh, karatan Mn hitam (5YR2.5/1), sedikit, pH 6.5, batas horison jelas rata beralih ke
C
80-100 cm. Lapukan batugamping berwarna putih pink sampai putih (5YR8/1-8/2). --------------------------------------------------------------------------------------------------Catatan: Epipedon okrik, horison bawah kambik, regim kelembaban tanah udik dan regim temperatur isohipertermik.
127
Lampiran 4. (Lanjutan) Kode Profil Tanggal pengamatan Lokasi
Ketinggian tempat Klasifikasi Tanah Soepraptohardjo (1961) Soil Taxonomy, USDA (1999) Fisiografi/lereng
: B7 : 23 Oktober 2003 : Kampung Ciukuy Babakan Cijambe, Desa Singasari Kecamatan Jonggol. : 100 m dpl
: Mediteran Coklat Kemerahan : Typic Hapludalfs : Bukit angkatan, datar agak berombak Bahan induk : Napal dan batu gamping Drainase/permeabilitas : Sedang/Agak lambat Penggunaan lahan : Tegalan diberakan lebih dari 5 tahun. --------------------------------------------------------------------------------------------------Horison Uraian sifat morfologi --------------------------------------------------------------------------------------------------Ap 0-15 cm. Coklat kemerahan (5YR4/4), liat, gumpal halus, gembur, perakaran halus banyak, pori mikro banyak, pH 4.9, batas horison jelas rata beralih ke Bt
15-54 cm. Coklat kemerahan terang (5YR6/4), liat, gumpal bersudut sedang, agak teguh, selaput liat sedikit-sedang pada ped, perakaran halus sedikit, pori mikro sedang, pH 5.0, batas horison berangsur rata beralih ke
BC
54-73 cm. Coklat kemerahan terang. (5YR6/3) dan kelabu pink (5YR6/2), liat, lemah gumpal bersudut sedang-kasar, agak teguh, kongkresi dan karatan Mn hitam (5YR2.5/1) sedang, pH 5.5, batas horison jelas rata ke
C
73-120 cm. Kelabu (5YR5/1) dan kuning kemerahan (5YR6/8), liat, lemah gumpal bersudut kasar sampai masif, pH 7.9. --------------------------------------------------------------------------------------------------Catatan: Epipedon okrik, horison bawah argilik, regim kelembaban tanah udik dan regim temperatur isohipertermik.
128