KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
I.
PENDAHULUAN
Pada proyek konstruksi memungkinkan adanya kasus hukum yang terjadi karena adanya penyimpangan terhadap kontrak. Kasus hukum tersebut berdampak bagi pihak yang mengelola pekerjaan konstruksi berupa sanksi hukum perdata maupun pidana. Penyimpangan terhadap kontrak baik volume, kualitas maupun waktu pelaksanaan memungkinkan terjadinya kegagalan bangunan. Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi semua pihak yang terkait dalam pengelolaan pekerjaan konstruksi harus bertanggungjawab apabila terjadi kegagalan bangunan. Semua pihak baik owner, perencana, pelaksana, dan pengawas dalam pekerjaan konstruksi perlu memahami dengan cermat apa yang menjadi kewajiban dan haknya sesuai dengan perjanjian dalam kontrak serta peraturan yang berlaku sehingga tidak terjadi penyimpangan dan kegagalan bangunan/ konstruksi. Sering terdapat pemberitaan berbagai mengenai permasalahan teknis lapangan mulai dari yang kecil sampai masalah kegagalan bangunan pada proyek konstruksi, yang dikaitkan dengan masalah Korupsi. Oleh sebab itu, dalam Pekerjaan Konstruksi di lingkup pemerintah terkait dengan keuangan negara perlu adanya bentuk perjanjian, peraturan termasuk perundang-undangan yang mengatur. Dengan demikian, perlu adanya sinkronisasi antara regulasi dan praktik di lapangan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan baik pelaku konstruksi maupun keuangan negara.
II.
MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN
MAKSUD Memberikan pemahaman bagi Penyelenggara Jasa Konstruksi akan hukum kontrak sehingga dapat diupayakan pencegahan penyelewengan maupun resiko dari pelaksanaan kontrak. TUJUAN Memperoleh pemahaman yang setara oleh masing-masing pelaku konstruksi baik owner, perencana, pengawas maupun pelaksana dan aparat hukum mengenai hukum kontrak dalam lingkup perumahan dan permukiman; Mensinkronkan peraturan yang ada dan akan dibuat dengan praktik di lapangan berdasarkan pengalaman para pelaku konstruksi. SASARAN Tercapainya sikronisasi undang-undang dan peraturan yang ada dan yang akan dibuat dengan praktik di lapangan berdasarkan pengalaman pelaku konstruksi.
Halaman 1/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
III.
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4247); 3. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG 4. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa dan perubahannya Perpres No. 35 tahun 2011, Perpres No. 70 tahun 2012, Perpres No. 172 tahun 2014, dan Perpres No. 4 tahun 2015. 5. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 29/PRT/M/2006 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG
IV.
BANGUNAN GEDUNG A. Pengertian terkait Bangunan Gedung: 1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. 3. Pemanfaatan bangunan gedung adalah kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala. 4. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi. 5. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi. 6. Pemeriksaan berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam tenggang waktu tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung. 7. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki. 8. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya. 9. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung. 10. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang Halaman 2/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
11.
12.
13.
14. 15.
menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Pengkaji teknis adalah orang perorangan, atau badan hukum yang mempunyai sertifikat keahlian untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi bangunan gedung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung. Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar bangunan gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi bangunan gedung. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah kabupaten atau kota beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, kecuali untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah gubernur.
B. Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk: 1. mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya; 2. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan; 3. mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
V.
PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG A. Persyaratan Umum 1. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. 2. Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. 3. Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. 4. Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan gedung harus memiliki izin penggunaan sesuai ketentuan yang berlaku. 5. Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya setempat. B. Persyaratan Administratif Bangunan Gedung 1. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi: a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah, b. status kepemilikan bangunan gedung, dan Halaman 3/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
c. izin mendirikan bangunan gedung, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Setiap orang atau badan hukum dapat memiliki bangunan gedung atau bagian bangunan gedung. 3. Pemerintah Daerah wajib mendata bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan. 4. Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. C. Persyaratan Tata Bangunan 1. Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan. 2. Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dalam rencana tata bangunan dan lingkungan oleh Pemerintah Daerah. 3. Ketentuan mengenai tata cara penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. D. Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung 1. Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi persyaratan peruntukan lokasi, kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan. 2. Pemerintah Daerah wajib menyediakan dan memberikan informasi secara terbuka tentang persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung bagi masyarakat yang memerlukannya. 3. Persyaratan peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan tentang tata ruang. 4. Bangunan gedung yang dibangun di atas, dan/atau di bawah tanah, air, dan/atau prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang bersangkutan. 5. Ketentuan mengenai pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 6. Persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan ketinggian bangunan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan. 7. Persyaratan jumlah lantai maksimum bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan keamanan, kesehatan, dan daya dukung lingkungan yang dipersyaratkan. 8. Bangunan gedung tidak boleh melebihi ketentuan maksimum kepadatan dan ketinggian yang ditetapkan pada lokasi yang bersangkutan. 9. Ketentuan mengenai tata cara perhitungan dan penetapan kepadatan dan ketinggian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 10. Persyaratan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi: a. garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi; Halaman 4/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
b. jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan. 11. Persyaratan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan batas-batas lokasi, keamanan, dan tidak mengganggu fungsi utilitas kota, serta pelaksanaan pembangunannya. 12. Ketentuan mengenai persyaratan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
VI.
Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung A. Persyaratan Umum Keandalan Bangunan Gedung 1. Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. 2. Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan fungsi bangunan gedung. B. Persyaratan Keselamatan 1. Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir. 2. Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban muatan. 3. Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif. 4. Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah bahaya petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir. 5. Persyaratan kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) merupakan kemampuan struktur bangunan gedung 6. yang stabil dan kukuh sampai dengan kondisi pembebanan maksimum dalam mendukung beban muatan hidup dan beban muatan mati, serta untuk daerah/zona tertentu kemampuan untuk mendukung beban muatan yang timbul akibat perilaku alam. 7. Besarnya beban muatan dihitung berdasarkan fungsi bangunan gedung pada kondisi pembebanan maksimum dan variasi pembebanan agar bila terjadi keruntuhan pengguna bangunan gedung masih dapat menyelamatkan diri. 8. Ketentuan mengenai pembebanan, ketahanan terhadap gempa bumi dan/atau angin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 9. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dilakukan dengan system proteksi pasif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi kemampuan stabilitas struktur dan elemennya, konstruksi tahan api, kompartemenisasi dan pemisahan, serta proteksi pada Halaman 5/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
10.
11. 12. 13.
14.
15.
VII.
bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan menjalarnya api dan asap kebakaran. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dilakukan dengan system proteksi aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi kemampuan peralatan dalam mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap, dan sarana penyelamatan kebakaran. Bangunan gedung, selain rumah tinggal, harus dilengkapi dengan system proteksi pasif dan aktif. Ketentuan mengenai sistem pengamanan bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melindungi semua bagian bangunan gedung, termasuk manusia di dalamnya terhadap bahaya sambaran petir. Sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan instalasi penangkal petir yang harus dipasang pada setiap bangunan gedung yang karena letak, sifat geografis, bentuk, dan penggunaannya mempunyai risiko terkena sambaran petir. Ketentuan mengenai sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Undang –undang JASA KONSTRUKSI. A. KETENTUAN UMUM 1. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi; 2. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masingmasing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain; 3. Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi; 4. Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi; 5. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; 6. Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa; 7. Forum jasa konstruksi adalah sarana komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa konstruksi dan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah jasa konstruksi nasional yang bersifat nasional, independen, dan mandiri;
Halaman 6/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
8. Registrasi adalah suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang diwujudkan dalam sertifikat; 9. Perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain; 10. Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain; 11. Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan. B. ASAS DAN TUJUAN Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk : a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas; b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi. C. USAHA JASA KONSTRUKSI 1. Jenis, Bentuk, dan Bidang Usaha a. Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. b. Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi. c. Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi. d. Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi. e. Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha.
Halaman 7/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
f.
Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. g. Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya. h. Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. i. Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau mekanikal dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya. j. Ketentuan tentang jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 2. Persyaratan Usaha, Keahlian, dan Keterampilan Perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus : a. memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi; b. memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi. c. Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian. d. Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan erja dan sertifikat keahlian kerja. e. Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian. f. Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja. g. Ketentuan mengenai penyelenggaraan perizinan usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha, sertifikasi keterampilan, dan sertifikasi keahlian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. D. SANKSI Penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana atas pelanggaran Undang-undang ini. SANKSI ADIMINITRASI 1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada penyedia jasa berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi; c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; d. pembekuan izin usaha dan/atau profesi; e. pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Halaman 8/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa berupa : a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi; c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; d. larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi; e. pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi; f. pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi. 3. Ketentuan mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. SANKSI PIDANA 1. Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak. 2. Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak. 3. Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
VIII.
KASUS KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
A. Permasalahan pada Bangunan Gedung Seperti yang telah dimaksudkan dalam Undang-undang, PP dan Aturan Teknis yang terkait pada pekerjaan Konstruksi, bahwa untuk penyelenggaraan pekerjaan Bangunan gedung diselenggarakan bertujuan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya; mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan; dan mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Namun dalam praktiknya, penyelenggaraan pekerjaan tersebut tidak cukup mudah untuk bisa dikerjakaan dengan sempurna mengingat banyaknya parameter yang harus diperhatikan. Serta masih terjadinya perbedaan presepsi dalam memahami permasalahan yang muncul mulai dari permasalahan Administrasi, dilanjutkan masalah teknis yang menyebabkan penyelenggaraan Bangunan ini dianggap menjadi tidak dapat diselesaikan dengan baik. Sehingga timbul masalah pidana terhadap penyelenggaraan pekerjaan Konstruksi. Halaman 9/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
Untuk itu diperlukan pemahaman yang sama atas beberapa permasalahan yang timbul terhadap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, khususnya masalah Administrasi dan masalah Teknis. B. Permasalahan Teknis Bangunan Gedung Dalam berbagai pelaksanaan pekerjaan pembangunan Konstruksi Gedung, baik bangunan Gedung Sederhana sampai dengan Gedung Tidak Sederhana, sering dijumpai ditemukan adanya kesalahan teknis terutama pada hal berikut. 1. Perhitungan Volume dan cara pengakuan Volume 2. Kontrol Kualitas dan cara pengakuan Kualitas Selanjutnya, elemen bangunan yang sering menjadi pengamatan perhitungan Volume dalam pemeriksaan kasus suatu bangunan adalah sebagai berikut. 1. Pekerjaan Volume Galian 2. Pekerjaan Volume Pondasi 3. Pekerjaan Volume Pembesian 4. Pekerjaan Volume Pembetonan 5. Pekerjaan Volume Cetakan Beton 6. Pekerjaan Volume Dinding Kopel 7. Pekerjaan Volume Lantai Cara perhitungan yang berbeda dan cara pengakuan besarnya Volume terpasang, sering menjadi perbedaan yang mendasar dan hasil pengakuan perhitungan Volume inilah yang mejadi sumber yang disengketakan. Sedangkan untuk pemeriksaan Kualitas Bangunan yang sering menjadi pengamatan dalam pemeriksaan kasus suatu bangunan adalah sebagai berikut. 1. Pemeriksaan Mutu Material Beton 2. Pemeriksaan Mutu Material Baja 3. Pemeriksaan Mutu Material Kayu Pemeriksaan tersebut diatas, diutamakan pada bagian material struktur bangunan, namun jarang sekali dilakukan pemeriksaan terhadap material non struktur. Padahal secara nilai ekonomis penggunaan material non struktur lebih besar. Cara mengevaluasi dan mengakui kualitas material yang berbeda juga mejadi sumber yang disengketakan. Bahkan pemahaman dari penggunaan SNI yang terkait dengan pengujian material tidak dilaksanakan dengan baik pula. Sebetulnya permasalahan teknis pada bangunan Konstruksi Gedung cukup banyak, namun sebesar apapun permasalahan teknis, akan dapat diselesaikan secara teknis pula. Penyelesaian masalah teknis diharapkan agar Konstruksi Bangunan Gedung dapat mempunyai kehandalan yang cukup sehingga dapat dihindari adanya Kegagalan Konstruksi maupun Kegagalan Bangunan. Halaman 10/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
C. Contoh evaluasi dan penerimaan beton (SNI 03-2847-2002) 1. Beton harus diuji dengan ketentuan 7.6(2) hingga 7.6(5). Teknisi pengujian lapangan yang memenuhi kualifikasi harus melakukan pengujian beton segar di lokasi konstruksi, menyiapkan contoh-contoh uji silinder yang diperlukan dan mencatat suhu beton segar pada saat menyiapkan contoh uji untuk pengujian kuat tekan. Teknisi laboratorium yang mempunyai kualifikasi harus melakukan semua pengujian-pengujian laboratorium yang disyaratkan. 2. Frekuensi pengujian (1) Pengujian kekuatan masing-masing mutu beton yang dicor setiap harinya haruslah dari satu contoh uji per hari, atau tidak kurang dari satu contoh uji untuk setiap 120 m3 beton, atau tidak kurang dari satu contoh uji untuk setiap 500 m2 luasan permukaan lantai atau dinding. (2) Pada suatu pekerjaan pengecoran, jika volume total adalah sedemikian hingga frekuensi pengujian yang disyaratkan oleh 7.6(2(1)) hanya akan menghasilkan jumlah uji kekuatan beton kurang dari 5 untuk suatu mutu beton, maka contoh uji harus diambil dari paling sedikit 5 adukan yang dipilih secara acak atau dari masing-masing adukan bilamana jumlah adukan yang digunakan adalah kurang dari lima. (3) Jika volume total dari suatu mutu beton yang digunakan kurang dari 40 m3, maka pengujian kuat tekan tidak perlu dilakukan bila bukti terpenuhinya kuat tekan diserahkan dan disetujui oleh pengawas lapangan. (4) Suatu uji kuat tekan harus merupakan nilai kuat tekan rata-rata dari dua contoh uji silinder yang berasal dari adukan beton yang sama dan diuji pada umur beton 28 hari atau pada umur uji yang ditetapkan untuk penentuan fc’. 3. Benda uji yang dirawat di laboratorium (1) Contoh untuk uji kuat tekan harus diambil menurut SNI 03-2458-1991, Metode pengujian dan pengambilan contoh untuk campuran beton segar. (2) Benda uji silinder yang digunakan untuk uji kuat tekan harus dibentuk dan dirawat di laboratorium menurut SNI 03-4810-1998, Metode pembuatan dan perawatan benda uji dilapangan dan diuji menurut SNI 03-1974-1990, Metode pengujian kuat tekan beton. (3) Kuat tekan suatu mutu beton dapat dikategorikan memenuhi syarat jika dua hal berikut dipenuhi: a) Setiap nilai rata-rata dari tiga uji kuat tekan yang berurutan mempunyai nilai yang sama atau lebih besar dari fc’. b) Tidak ada nilai uji kuat tekan yang dihitung sebagai nilai rata-rata dari dua hasil uji contoh silinder mempunyai nilai di bawah fc’ melebihi dari 3,5 MPa. (4) Jika salah satu dari persyaratan pada 7.6(3(3)) tidak terpenuhi, maka harus diambil langkah-langkah untuk meningkatkan hasil uji kuat tekan rata-rata pada pengecoran beton berikutnya. Persyaratan pada 7.6(5) harus diperhatikan jika ketentuan 7.6(3(3b)) tidak terpenuhi. 4. Perawatan benda uji di lapangan (1) Jika diminta oleh pengawas lapangan, maka hasil uji kuat tekan benda uji silinder yang dirawat di lapangan harus disiapkan. Halaman 11/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
(2) Perawatan benda uji di lapangan harus mengikuti SNI 03-4810-1998, Metode pembuatan dan perawatan benda uji di lapangan. (3) Benda-benda uji silinder yang dirawat di lapangan harus dicor pada waktu yang bersamaan dan diambil dari contoh adukan beton yang sama dengan yang digunakan untuk uji di laboratorium. (4) Prosedur untuk perlindungan dan perawatan beton harus diperketat jika kuat tekan beton yang dirawat di lapangan menghasilkan nilai fc’ yang kurang dari 85% kuat tekan beton pembanding yang dirawat di laboratorium. Batasan 85% tersebut tidak berlaku jika kuat tekan beton yang dirawat di lapangan menghasilkan nilai yang melebihi fc’ sebesar minimal 3,5 MPa. 5. Penyelidikan untuk hasil uji kuat tekan beton yang rendah (1) Jika suatu uji kuat tekan [lihat 7.6(2(4))] benda uji silinder yang dirawat di laboratorium menghasilkan nilai di bawah fc’ sebesar minimal 3,5 MPa [lihat 7.6(3(3b))] atau bila uji kuat tekan benda uji yang dirawat di lapangan menunjukkan kurangnya perlindungan dan perawatan pada benda uji [lihat 7.6(4(4))], maka harus dilakukan analisis untuk menjamin bahwa tahanan struktur dalam memikul beban masih dalam batas yang aman. (2) Jika kepastian nilai kuat tekan beton yang rendah telah diketahui dan hasil perhitungan menunjukkan bahwa tahanan struktur dalam memikul beban berkurang secara signifikan, maka harus dilakukan uji contoh beton uji yang diambil dari daerah yang dipermasalahkan sesuai SNI 03-2492-1991, Metode pengambilan benda uji beton inti dan SNI 03-3403-1994, Metode pengujian kuat tekan beton inti. Pada uji contoh beton inti tersebut harus diambil paling sedikit tiga benda uji untuk setiap uji kuat tekan yang mempunyai nilai 3,5 MPa di bawah nilai persyaratan fc’. (3) Bila beton pada struktur berada dalam kondisi kering selama masa layan, maka benda uji beton inti harus dibuat kering udara (pada temperatur 15°C hingga 25°C, kelembaban relatif kurang dari 60%) selama 7 hari sebelum pengujian, dan harus diuji dalam kondisi kering. Bila beton pada struktur berada pada keadaan sangat basah selama masa layan, maka beton inti harus direndam dalam air sekurang-kurangnya 40 jam dan harus diuji dalam kondisi basah. (4) Beton pada daerah yang diwakili oleh uji beton inti harus dianggap cukup secara struktur jika kuat tekan rata-rata dari tiga beton inti adalah minimal sama dengan 85% fc’, dan tidak ada satupun beton inti yang kuat tekannya kurang dari 75% fc’. Tambahan pengujian beton inti yang diambil dari lokasi yang memperlihatkan hasil kekuatan beton inti yang tidak beraturan diperbolehkan. (5) Bila kriteria 7.6(5(4)) tidak dipenuhi dan bila tahanan struktur masih meragukan, maka pengawas lapangan dapat meminta untuk dilakukan pengujian lapangan tahanan struktur beton sesuai dengan pasal 22 untuk bagian-bagian struktur yang bermasalah tersebut, atau melakukan langkah-langkah lainnya yang dianggap tepat.
Halaman 12/13
KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG
IX.
PENUTUP
Demikian materi mengenai Konstruksi Bangunan, khususnya Bangunan Gedung ini kami sampaikan. Semoga dengan adanya kegiatan Sosialisasi Undang-Undang dan Peraturan Bidang Perumahan dan Permukiman tentang Hukum kontrak konstruksi dapat mencapai peningkatan pemahaman mengenai hukum kontrak bagi pelaku konstruksi dan meningkatkan pemahaman mengenai hukum kontrak dalam lingkup perumahan dan permukiman baik bagi owner, perencana, pengawai maupun pelaksana serta tercapainya sikronisasi peraturan yang ada dan yang akan dibuat dengan praktik dilapangan berdasarkan pengalaman pelaku konstruksi.
Penyusun,
Ir. Mudji Irmawan, MS IPU-HAKI
Halaman 13/13