KONFIGURASI POLITIK DAN LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Suatu Kajian tentang Positivisasi Fikih Muamalah dalam Perspektif Politik Hukum)
Oleh : Suhartono, S.Ag., SH., MH. (PP. PA Lamongan / CAKIM menunggu SK Penempatan) E-mail:
[email protected]
Abstract : Islamic law legislation is a form a law awareness in Islamic shariah wich both in sociological either in cultural are never been lost since the colonial system until now days political system. Along with the authority of Islamic court to judge the shariah economic cases as said ini Pasal 49 UU No. 3 Th. 2006 so the legislation of Islamic private law is become the best solution to fill the emptiness in shariah economic law and to make a positives of Islamic laws. According to the historical
notes, the way to the
positivation of the Islamic law was not easy. So it is important to know about the political configuration and calculatinig the social, politic, culture and economic strength. Beside that, it also important to calculate about the law ethic, good side and bad side, fair or not, match or not about the law for society, because this has a strong relation whether this law will be obey in society.
Keywords: Political configuration, Legislation, Islamic law, Positivation, Islamic private law, political law.
2
Pendahuluan Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik
hukum
terhadap
cenderung
hukum
pembangunan
atau
hukum.
mendiskripsikan
pengaruh Bellfroid
sistem
pengaruh politik
mendefinisikan
politik
terhadap
rechtpolitiek
yaitu proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk
memenuhi
kebutuhan
perubahan
dalam
kehidupan
masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum. 1 Hukum
adalah
hasil
tarik-menarik berbagai
kekuatan
politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Dalam hal ini Satjipto
Raharjo
menyatakan,
bahwa
hukum
adalah
instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan
undang-undang
sarat
dengan
kepentingan-
kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan
pembuat
undang-undang
menjadi
penting
karena
pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Disamping 1
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003, hal. 74.
3
konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, diabaikan tersebut
intervensi-intervensi
dalam
pembentukan
dilakukan
terutama
dari
luar
tidak
undang-undang.
oleh
golongan
dapat
Intervensi
yang memiliki
kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi.2 Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia.3 Menurut
Mahfud
MD,
politik
hukum
juga
mencakup
pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.4 Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan
hukum
itu
bagi
masyarakat
yang
bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.5 Senada dengan pendapat Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki
daya
tawar
yang
kuat
dalam
interaksi
politik,
pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun
2
Jazuni, Legislsi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 9-10. 3 Tjuk Wirawan, Politik Hukum di Indonesia, UPT Unej, Jember, 2004, hal. 8. 4 Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hal. 12. 5 Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum No. 9 Thn. IV, Al-Hikmah, Jakarta, 1993, hal. 56.
4
memiliki peluang yang sangat besar.6 Begitupula sebaliknya ketika menengok sejarah pada masa penjajahan Belanda, posisi hukum
Islam
sangat
termarjinalkan.
Hukum
Islam
hanya
dipandang sebagai hukum apabila diresepsi ke dalam hukum adat, itu pun dalam strata ketiga setelah hukum Eropah dan hukum Adat orang timur asing (Arab, China dan India).7 Indonesia yang merupakan negara jajahan Belanda, telah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan sistem hukum asing ke dalam hukum masyarakat pribumi.8 Refleksi Perjalanan Politik Hukum Islam di Indonesia Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga Peradilan Agama
di
Jawa
dan
Madura,
merupakan
indikasi
kuat
diterimanya hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1927). Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yang berlaku baginya.9 Dengan adanya teori 6
Cik Hasan Bisri, Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Mimbar Hukum No. 56 Thn XIII, Al-Hikmah, Jakarta, 2002, hal. 31. 7 Ibid, hal. 32. 8 Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV, AlHikmah, Jakarta, Januari-Maret 2003, hal. 80. 9 Daud Ali, Op.Cit., hal 242.
5
receptio in Complexu maka hukum Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya. Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven (1874 – 1933) dan C.S. Hurgronje (1857 – 1936) yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie, menurut teori ini hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adat yang menentukan ada tidaknya hukum
Islam.
Klaim
provokatif
dan
distorsif
ini
sangat
berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika itu, oleh karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis”. 10 Dengan adanya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi (usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad No. 116 Tahun 1937 yang berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah waris dan
lainnya.
Perkara-perkara
ini
kemudian
dilimpahkan
kewenangannya kepada Landraad (Pengadilan Negeri).11
10
Suhartono, Aktualisasi Hukum Islam dalam Masalah Perkawinan dan Kewarisan di Indonesia (Suatu Perspektif Sosio Kultural Historis), Jurnal Mimbar Hukum No. 54 Thn XII, Al-Hikmah, September-Oktober 2001, hal. 55. 11 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, LKiS, Yogyakarta, 2005 hal. 53
6
Legislasi Hukum Islam di Indonesia Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan,
kesadaran
umat
Islam
untuk
melaksanakan
hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan
melegal-positifkan
hukum
Islam
mulai
menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan
konstitusional
yuridis.
Berbagai
peraturan
perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih -yang dianggap representatif- telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir, ia merupakan tindak lanjut dari UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden
7
Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI
nantinya
negara
diproyeksikan
(hukum
materiil)
sebagai yang
Undang-Undang
digunakan
di
resmi
lingkungan
Pengadilan Agama sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan diamandemennya
Undang-Undang
Nomor
14
Tahun
1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi
Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
2004
tentang
Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis
membawa
efek
sehingga
Undang-Undang
berantai Nomor
pada 7
Peradilan
Tahun
1989
Agama, tentang
Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
2006
tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang di atas membawa lompatan besar hukum Islam dalam perkembangan hukum nasional. Sebab unsur-unsur hukum positif yang berupa nilai, norma, peraturan,
pengadilan,
penegakan
hukum,
dan
kesadaran
hukum masyarakat menjadi sempurna. Dengan demikian hukum Islam yang telah menjadi bagian hukum nasional dengan sempurna ialah hukum perkawinan, hukum waris, hukum hibah serta wasiat, hukum wakaf, hukum zakat dan hukum bisnis Islam
(ekonomi
syari’ah).
Perubahan
tersebut
sebenarnya
merupakan tantangan bagi Peradilan Agama dalam bidang
8
organisasi, sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Oleh karena itu perubahan tersebut merupakan amanat yang sangat berat bagi jajaran Pengadilan Agama.12 Adanya kewenangan baru di atas, semakin menguatkan eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional, namun permasalahannya
bertambahnya
kewenangan
baru
tersebut
belum diimbangi dengan adanya hukum substansial, sehingga hakim
kembali
dihadapkan
pada
kitab-kitab
fikih
untuk
menemukan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang pada dekade terakhir ini perkembangannya cukup signifikan. Adapun untuk menguji tingkat keabsahan putusan hakim tersebut dari segi penerapan asas-asas hukum belum teruji dalam tataran akademis, sehingga hal ini perlu untuk terus dikaji. Upaya hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah dengan cara menggali norma-norma serta nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat melalui kitab-kitab fikih adalah merupakan bagian dari rechtvinding, dan itu dianjurkan jika tidak menemukan aturannya dalam undang-undang, karena pada diri hakim melekat prinsip ius curia novit (hakim dianggap mengetahui hukumnya), sehingga menurut azas hukum hakim tidak
boleh
menolak
perkara
dengan
alasan
tidak
ada
hukumnya.13 Seiring dengan momentum amandemen Undang-Undang tentang Peradilan Agama, maka baru yakni
muncul perubahan paradigma
Peradilan Agama dari peradilan keluarga menuju
peradilan modern. Semula Peradilan Agama hanya menangani 12
Taufiq, Nadhariyyatu al-Uqud al-Syar’iyyah (makalah pelatihan Tehnis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi Para Ketua Pengadilan Agama se Jawa di Malang), Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2 Mei 2006, hal. 1. 13 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 165.
9
perkara-perkara sumir -sebagian besar masalah perceraian- kini dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah yang relatif baru
dalam
dunia
ekonomi
Indonesia,
namun
dalam
perkembangannya cukup mempengaruhi konfigurasi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah tidak cukup hanya berbekal pada doktrin hukum “fikih madzhab” yang merupakan produk nalar para imam madzhab sekitar tiga belas abad yang lalu, tetapi harus dibekali dengan undang-undang, mengapa? Kalau penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah hanya didasarkan pada madzhab fikih yang dianut oleh masing-masing hakim, itu sangat berbahaya karena akan menjurus pada suatu putusan yang berdisparitas tinggi dan tidak adanya kepastian hukum, karena masingmasing hakim akan berbeda madzhab, sehingga yang terjadi adalah
pertarungan
madzhab
(meminjam
istilah
Yahya
Harahap). Hal ini akan sangat merugikan para pihak pencari keadilan yang kebetulan madzhabnya juga berbeda. Putusan yang demikian bertentangan dengan azas legalitas (principle of legality). Oleh karena itu adanya undang-undang yang mengatur tentang ekonomi syari’ah menurut teori kontrak sosial adalah merupakan
bagian
dari
upaya
negara
untuk
memberikan
perlindungan hukum bagi warga negara pencari keadilan. Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan
perundang-undangan
merupakan
tuntutan
dari
kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa
10
ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan
konsep
hukum
dengan
nilai-nilai
yang
lebih
universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Syari’at
Islam
meskipun
dalam
realitanya
telah
membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan banyak dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara, namun belum merupakan undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundangundangan yang mengatur masalah kegiatan di bidang ekonomi syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam, khususnya dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya. Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang
diyakini
masyarakat
sebagai
suatu
pranata
dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi
syari’ah)
misalnya,
hukum
perbankan
dan
perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih
11
kegiatan
di
bidang
perkembangannya
ekonomi telah
syari’ah
mengalami
signifikan, namun banyak menyisakan
di
Indonesia
dalam
pertumbuhan
yang
permasalahan karena
belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial peraturan
perundang-undangan
yang
dalam bentuk
mengatur
kegiatan
ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. terhadap
Oleh
karena
itu
tidak
subyek
hukum
Islam
perlu
-yang
dipersoalkan
melakukan
jika
kegiatan
dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip unifikasi hukum memang harus jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin,
maka
pluralitas
hukum
haruslah
secara
realitas
diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional.
14
Untuk memenuhi
kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yang tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya dapat mengakui atau mempertahankan 14
Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 107.
12
hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat yang merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama dan hukum Barat yang merupakan peninggalan kolonialis.15 Kaitannya dengan konsepsi wawasan nusantara yang mencakup
perwujudan
kepulauan
nusantara
sebagai
suatu
kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan
untuk
mewujudkan
kepulauan
nusantara,
ini
dipandang sebagai satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya
ada
kepentingan
satu
hukum
nasional.
nasional
Namun
yang
bukan
mengabdi
berarti
kepada
pembangunan
hukum nasional diarahkan pada unifikasi seluruh bidang hukum dalam satu kesatuan, tetapi unifikasi mengenai bidang-bidang hukum tertentu sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Ini berarti, bahwa bangsa Indonesia akan menyatu dalam
bidang-bidang
hukum
yang
sama
yang
mungkin
disatukan, yaitu bidang-bidang hukum yang bersifat netral, dan akan berbeda dalam bagian-bagian hukum yang tidak sama yang sama sekali tidak mungkin disatukan, yaitu bagian-bagian hukum yang berjalin berkelindan dengan keyakinan agama yang pelaksanaannya dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dus, pengaturan kegiatan di bidang ekonomi syari’ah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan datang dilembagakan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Islam dalam
15
Yusril Ihza Mahendra, Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 43.
13
mengamalkan ajaran agamanya, tidaklah bertentangan bahkan selaras dengan wawasan nusantara. Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab bunyi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing
dan
untuk
beribadat
menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keperdataan sesuai dengan konsep syari’at Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.16 Penafsiran terhadap Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 29 ayat (2) di atas, tidak perlu diletakkan pada posisi dikotomis dan kontradiktif, namun dalam hubungan lex generalis dan lex spesialis. Persamaan di depan hukum bagi
seluruh warga, ini
berlaku umum (lex generalis). Sedangkan semua penduduk diberi hak untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing, ini berlaku khusus (lex spesialis).
Ada
kekhususan
hukum
untuk
pemeluk
agama
tertentu.17 Demikian pula halnya bunyi Pasal 5 ayat (1) UU 16
Rachmat Syafe’I, Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syari’ah, http://www.pikiran.rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm. (diakses pada tanggal 21 Maret 2005). 17 Ismail Suny, Sekitar UUPA ((Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 114.
14
Nomor 4 Tahun 2004, bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan
tidak
membeda-bedakan
orang, sedangkan
dalam Pasal 58 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2006 dalam bunyi yang sama dengan pasal di atas, berarti khusus tidak membedabedakan hukum antara orang-orang yang beragama Islam. Pendek kata, Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 adalah lex generalis, sedangkan Pasal 58 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2006 adalah lex specialis.18 Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 3 Tahun 2006 hasil amandemen dari UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan lainlain, itu menunjukkan bahwa keberlakuan hukum Islam itu dalam posisi pilihan yang bebas berkehendak dan dapat dengan sepenuhnya
tunduk
berdasar
kepada
ajaran-ajaran
akhlak
Islam.19 Menurut Hazairin dan Moh. Daud Ali,20 terhadap bunyi Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, ada dua penafsiran yakni: 1) Dalam Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI) tidak
boleh
bertentangan
terjadi dengan
atau
berlaku
kaidah-kaidah
sesuatu agama,
yang baik
kaidah-kaidah agama Islam bagi umat Islam, atau bertentangan dengan kaedah-kaedah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan 18
Ibid hal. 117. Rachmat Syafe’I, Ibid. 20 Moh. Daud Ali, Sikap Negara Dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Bagi Warga Negara dan Perkawinan Antar Pemeluk Agama yang Berbeda, Jurnal Mimbar Hukum No.5 Th.III, Al-Hikmah, Jakarta, 1992, hal. 65. 19
15
kesusilaan agama Budha bagi umat Budha. Artinya adalah di dalam NKRI ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan
dan
atau
diciptakan
hukum
yang
bertentangan dengan norma-norma hukum agama dan norma kesusilaan bangsa Indonesia, yang berasal dari atau berdasarkan kaedah fundamental Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) NKRI wajib menjalankan hukum Islam bagi orang Islam, hukum Nasrani bagi orang Nasrani, dan hukum Hindu atau Budha bagi pemeluk agama Hindu atau Budha, selama
agama
tersebut
memerlukan
perantaraan
kekuasaan negara. Makna
dari
dua
penafsiran
di
atas,
negara
wajib
menjalankan dalam arti menyediakan fasilitas dan kondisi yang kondusif, agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sebaik-baiknya, sepanjang pelaksanaan kekuasaan
hukum atau
agama
itu
penyelenggara
memerlukan negara,
bantuan
seperti
alat
hukum
muamalah (ekonomi syari’ah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat dan benda. Mengingat
semakin
meningkatnya
kesadaran
kaum
muslimin di satu pihak dalam menjalankan agamanya, dan di pihak lain dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan, maka dapat diperkirakan akan terjadi peningkatan frekuensi hubungan hukum di antara umat Islam dalam masalah-masalah ekonomi yang berbasis syari’ah. Faktor sosial budaya juga mempunyai pengaruh penting dalam
perkembangan
hukum
Islam
di
Indonesia,
dalam
kenyataannya telah mewarnai produk-produk pemikiran hukum
16
Islam, baik yang berbentuk kitab fikih, peraturan perundangundangan, keputusan pengadilan, maupun fatwa-fatrwa ulama. Oleh karena itu, maka apa yang disebut hukum Islam dalam kenyataan yang sebenarnya adalah produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil interaksi antara ulama sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun al-Qur’an dan as-Sunnah mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi jumlahnya sangat sedikit di banding dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukum, terutama dalam bidang muamalah yang belakangan ini jumlahnya meningkat pesat. Untuk mengisi kekosongan hukum itu, maka para ulama telah menggunakan akalnya yang menghasilkan fatwa produk pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Apakah warna atau dinamika produk pemikiran hukum itu akan kita biarkan seperti apa adanya sekarang ini ?. Produk pemikiran hukum yang berbentuk fatwa ulama sebagaimana yang dipakai landasan bagi pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah, hanyalah bersifat kasuistik hanya sebagai respon atau jawaban terhadap permasalahan yang dimintakan fatwa. Dalam perpektif ilmu hukum, fatwa tidak mempunyai kekuatan mengikat, dalam arti bahwa pemberi fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum dari fatwa yang dieberikan. Demikian pula masyarakat luas tidak harus terikat dengan fatwa ulama tersebut.21 Hadirnya hukum ekonomi syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip 21
Atho Mudzhar, Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Pemikiran Hukum Islam, Jurnal Mimbar Hukum No. 4 Tahun II, Al-Hikmah, Jakarta, 1991, hal. 22.
17
hukum sebagai agent of development (hukum sebagai sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana modernisasi) dan hukum sebagai a tool of social engineering (sarana
rekayasa
sosial)22.
Namun
dengan
bertambahnya
kewenangan tersebut belum diimbangi dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus perkara. 23 Oleh karena itu adanya produk legislasi yang mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang pasti akan
dirasakan
oleh
para
hakim
di
lingkungan
Peradilan
Agama.24 Keberadaan
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur tentang ekonomi syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya hukum materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah, 25 sehingga gagasan legislasi fikih muamalah dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum Islam.26 Kedudukan
undang-undang
tentang
ekonomi
syari’ah
nantinya adalah sebagai norma ukuran, kaidah hukum resmi dan
22
Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan, Bandung: Mandar Maju, 2002 hal : 70. 23 M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Mimbar Hukum edisi No. 5 Thn III, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta, 1992, hal. 26. 24 Hartono Mardjono, Prospek Berlakunya Hukum Muamalah di Indonesia (Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH.), PP-IKAHA, Jakarta, 1994, hal. 336. 25 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 436. 26 Ibid, hal 432.
18
baku bagi Pengadilan Agama, maupun masyarakat muslim dan para pencari keadilan sehingga terwujud:
27
1. Kesatuan landasan hukum (unified legal frame work) dan keseragaman
pandangan
hukum
(unified
legal
opinion)
sehingga dapat dihindarkan dan diperkecil putusan-putusan hukum
yang
berdisparitas
tinggi
dan
bercorak
“ketidakpastian”. 2. Membina kepastian penegakan hukum, agar dapat direalisir kehidupan negara hukum dan supremasi “ rule of law” yakni keunggulan kekuasaan hukum. 3. Memberi perlakuan yang sama (equal treatment ini smilar cases) sehingga undang-undang ekonomi syari’ah dapat dan mampu berperan menegakkan prinsip “Predictable” yakni dapat diperkirakan kebenaran putusan yang akan diberikan oleh hakim Pengadilan Agama. Urgensi dari tulisan ini adalah untuk mengemukakan gagasan tentang pentingnya legislasi fikih muamalah yang mengatur tentang ekonomi Islam pasca amandemen UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa untuk memutus suatu perkara di pengadilan tidak cukup hanya berlandaskan fatwa ulama, pendapat para ahli fikih maupun kitab-kitab klasik yang berisi pendapat hukum para imam madzhab sekitar 13 abad yang lalu. Oleh karena itu legislasi fikih muamalah adalah sebagai upaya mempositifkan “nilai-nilai” hukum Islam yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah
secara terumus dan
sistematis dalam “kitab hukum” atau positivisasi hukum Islam.28
27
Matardi, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan di Pengadilan Agama, Mimbar Hukum edisi no. 24 thn VII, Al-Hikmah, Jakarta, 1996, hal. 31. 28 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 434.
19
Dengan
demikian,
kehadiran
undang-undang
yang
mengatur kegiatan ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara subtansial
akan
dijadikan
sebagai
landasan
bagi
hakim
Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah.
Selanjutnya
diperlukan
intervensi
negara
dalam
pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.
D.
Penutup 1. Pelembagaan
hukum
Islam
dalam
perjalanannya
mengalami benturan dan pergumulan kepentingan, hal ini lazim karena pembuatan undang-undang bukan sekedar merumuskan materi hukum an sich, namun yang lebih penting adalah mengkalkulasi kekuatan politik terlebih dahulu. 2. Hukum Islam dalam eksistensinya tidak cukup hanya sebatas pengakuan sebagai sub sistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi hendaknya menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata subtansinya, tetapi perlu legal formal dan positif, bukan sekedar legalisasi tetapi perlu legislasi. 3. Penambahan
kewenangan
Peradilan
Agama
menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah belum dimbangi oleh adanya payung hukum yang memadai, sehingga apabila terjadi sengketa ekonomi syari’ah, hakim menggali norma-norma dan nilai-nilai yang hidup dalam
20
masyarakat melalui sudut pandang kitab-kitab fikih. Hal ini kurang kondusif bagi perkembangan hukum Islam karena memungkinkan lahirnya putusan berdisparitas
dalam
perkara yang sama dan mengaburkan kepastian hukum. 4. Sebagaimana teori kontrak sosial, Negara bertanggung jawab memberikan perlindungan hukum bagi para pencari keadilan, oleh karenanya memperhatikan kebutuhan yang ada,
maka
adanya
undang-undang
yang
mengatur
masalah ekonomi syari’ah adalah suatu keniscayaan, oleh karena
itu
diperlukan
intervensi
negara
dalam
pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.
21
DAFTAR PUSTAKA Atho
Mudzhar, Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Pemikiran Hukum Islam, Jurnal Mimbar Hukum No. 4 Tahun II, Al-Hikmah, Jakarta, 1991.
Cik Hasan Bisri, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistim Hukum Nasional, Jurnal Mimbar Hukum Nomor 56 Thn XIII, Al-Hikmah, Jakarta, 2002. Ismail Suny, Sekitar UUPA ((Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, LKiS, Yogyakarta, 2005. Matardi, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan di Pengadilan Agama, Jurnal Mimbar Hukum No. 24 Thn VII, Al-Hikmah, Jakarta, 1996. Moh. Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998. M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Jurnal Mimbar Hukum No. 5 Thn III, Al-Hikmah, Jakarta, 1992. Nani Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam Dalam Perkembangan, Mandar Maju, Bandung, 2002. Rachmat Syafe’I, Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syari’ah, http://www.pikiran.rakyat.com/cetak/2005/0305/21/08 02.htm
22
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993. Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV, Al-Hikmah, 2003. Suhartono Notohardjo, Aktualisasi Hukum Islam Dalam Masalah Perkawinan dan Kewarisan di Indonesia (Suatu Perspektif Sosio Kultural Historis), Jurnal Mimbar Hukum No. 54 Thn XII, Al-Hikmah, September-Oktober 2001. Taufiq, Nadhariyyatu al-Uqud al-Syar’iyyah (Makalah Pelatihan Tehnis Fungsional Peningkatan Profesionalisme Bagi Para Ketua Pengadilan Agama se Jawa di malang), Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006. Tjuk Wirawan, Politik Hukum di Indonesia, UPT Unej, Jember, 2004. Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990. Yusril Ihza Mahendra, Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990 Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum No. 9 Thn IV, Al-Hikmah, Jakarta, 1993.