Kompresi Audio Secara Terdistribusi Pada Microphone Array Retnawati, Wirawan, Endang Widjiati Jurusan Teknik Elektro FTI – Institut Teknologi Sepuluh November
Kompresi dan rekonstruksi yang dilakukan menggunakan transformasi DWT yang mendekomposisi sinyal secara diskrit dan pengkodean Huffman dengan memakai prinsip pengkodean sumber terdistribusi pada kanal.
Abstrak — Kompresi suara telah banyak dipakai untuk mengefisiensikan penyimpanan dan pengiriman suara pada media digital. Pada Tugas Akhir ini dilakukan sebuah penelitian untuk mengkompresi sinyal suara yang lebih dari satu sumber. Biasanya kompresi ini disebut dengan pengkodean sumber terdistribusi (Distributed Source Coding/ DSC). DSC ini diterapkan pada microphone array yang memakai mikropon lebih dari satu. Konfigurasi yang digunakan pada tugas akhir ini adalah konfigurasi huygen’s dengan teknik pengkodean multiterminal. Dimana masing-masing sinyal dikodekan pada enkoder yang berbeda dan kemudian didekodekan dengan dekoder yang sama. Kompresi audio secara terdistribusi ini menggunakan transformasi Discrete Wavelet Transform (DWT) yang digabungkan dengan Huffman Coding serta pengkuantisasian yang optimal. Sehingga diharapkan rasio kompresi serta kualitas sinyal suara meningkat. Penilaian yang dilakukan meliputi 2 hal yaitu penilaian secara obyektif dan subyektif. Penilaian obyektif diperoleh dengan mengukur Mean Square Error (MSE) antara sinyal asli dengan sinyal rekonstruksi, sehingga dapat ditentukan Signal to Noise Ratio (SNR) dan besarya rasio kompresi masing-masing sinyal. Sedangkan penilaian subyektif berdasarkan pada penilaian pendengaran manusia dengan menggunakan Mean Opinion Score (MOS).
II. TEORI PENUNJANG A. Microphone Array Microphone array merupakan proses penyaluran suara dengan menggunakan banyak mikropon yang penempatan letaknya berbeda-beda. Keuntungan dari penggunaan microphone array adalah memungkinkan pengguna untuk terbebas dari penggunaan mikropon yang harus dibawa kemana-mana (hands-free), Menghasilkan suara yang bersih yang terbebas dari gangguan dan juga menghasilkan suara yang nyaring. Terdapat banyak aplikasi pada microphone array, diantaranya : - Sistem untuk pengolahan suara dari ambient noise (telephones, speech recognition systems, hearing aids) - Surround sound dan related technologies - Penentuan lokasi objek dengan suara : acoustic source localization, biasanya digunakan oleh militer untuk menentukan lokasi sumber dari pasukan meriam, tracking lokasi pesawat induk. - Untuk tracking objek pada robot.
Kata Kunci — microphone array, distributed source coding, Discrete Wavelet Transform (DWT), Huffman coding
Gambar 1 adalah salah satu aplikasi microphone array sebagai penentu lokasi sumber suara pada industri pesawat udara. Dimana pengukuran digunakan untuk menyediakan informasi mengenai sumber kebisingan suara mesin dan badan pesawat.
I. INTRODUCTION
P
ADA aplikasi-aplikasi jaringan seperti sensor nirkabel dan kamera jaringan, banyak sumber informasi yang dilibatkan dan sering dipisahkan dalam jarak yang jauh tidak memungkinkan untuk mentransmisikan semua data ke base station dalam jumlah besar, sehingga perlu dikompresi. Untuk melakukan kompresi pada pengkodean sumber konvensional, sebuah enkoder tunggal memanfaatkan redundancy pada sumber untuk melakukan kompresi. Masalah pengkodean sumber tersebut disebut Distributed Source Coding (DSC) [1]. DSC merupakan kompresi dari beberapa sumber informasi yang dikorelasikan dan tidak berkomunikasi dengan yang lainnya serta memodelkan korelasi tersebut dengan perkalian sumber pada sisi dekoder secara bersama dengan kode kanal. Pada Tugas Akhir ini permasalahan yang dibahas adalah kompresi dan rekonstruksi sinyal audio secara terdistribusi, dimana mikropon memiliki data yang berbeda bergantung dari konfigurasi sensor dan hasil rekaman. Tujuan dari kompresi audio secara terdistribusi ini adalah menghasillkan sinyal rekonstruksi yang mirip dengan sinyal aslinya.
Gambar 1. Contoh aplikasi microphone array [2]
B. Distributed Source Coding (DSC) Salah satu penerapan dari DSC adalah kompresi audio secara terdistribusi pada microphone array. DSC mengkompresi sumber data yang banyak dengan adanya hubungan korelasi antara sumber-sumber ini, meskipun tanpa akses pada realisasi masing-masing sumber, melalui penggunaan dekoder gabungan, seperti yang terlihat pada 1
Gambar 2. Tujuan dari kompresi audio secara terdistribusi ini adalah mengurangi kompleksitas perhitungan, menghemat bandwidth dan mengurangi kosumsi daya.
Proses rekonstruki dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses rekonstruksi DWT (IDWT)
2. Proses Kuantisasi Kuantisasi merupakan konversi dari sinyal yang bernilai kontiniu waktu-diskrit menjadi sinyal bernilai diskrit dengan waktu diskrit. Nilai setiap cuplikan sinyal direppresentasikan dengan nilai terpilih dari himpunan nilai-nilai yang mungkin. Gambar 5 merupakan proses kuantisasi empat level. Stelah proses kuantisasi dilakukan, selanjutnya akan dilakukan proses pengkodean.
Gambar 2. Pengkodean sumber terdistribusi [3]
Kompresi audio secara terdistribusi ini mempergunakan transformasi wavelet diskrit (DWT) yang digabungkan dengan Entropy Huffman Coding serta pengkuantisasian yang optimal. 1. Discrete Wavelet Transform (DWT) Prinsip dasar dari DWT adalah bagaimana cara mendapatkan representasi waktu dan skala dari sebuah sinyal menggunakan teknik pemfilteran digital dan operasi subsampling [4]. Sinyal pertama-tama dilewatkan pada rangkain filter high-pass dan low-pass, kemudian setengah dari masingmasing keluaran diambil sebagai sample melalui operasi subsampling. Proses ini disebut sebagai proses dekomposisi satu tingkat. Dekomposisi satu tingkat ditulis secara matematis pada persamaan (1) dan (2). Ytinggi[k] =
(1)
Yrendah[k] =
(2)
Gambar 5. Proses Kuantisasi
3. Pengkodean Huffman Pada pengkodean Huffman, sinyal informasi yang frekuensi munculnya banyak dikodekan dengan jumlah bit terkecil dan sebaliknya untuk informasi yang frekuensi munculnya sedikit dikodekan dengan jumlah bit terbesar. Dikarenakan pembentukan kode dari suatu karakter berdasarkan nilai peluangnya, maka proses pembentukan Huffman tree apabila ada 4 simbol yaitu simbol 00, 01, 10 dan 11 dengan nilai peluang masing-masing simbol 0,125; 0,125; 0,125 dan 0,5 adalah sebagai berikut: Proses diawali dengan menggabungkan dua karakter terakhir (simbol 00 dan 01 yang memiliki nilai peluang 0,125) untuk membentuk output gabungan yang baru dimana nilainya adalah jumlah peluang dari kedua karakter tersebut (0,25). Proses selanjutnya adalah menggabungkan nilai peluang dari proses awal dengan nilai karakter selanjutnya (simbol 10 dengan nilai peluang 0,25), sehingga didapat nilai peluang dari penggabungan tersebut adalah 0,25. Proses selanjutnya adalah menggabungkan nilai peluang dari proses penggabungan tersebut dengan nilai karakter selanjutnya (simbol 11 dengan nilai 0,5), sehingga didapat nilai peluang dari penggabungan tersebut adalah 1. Dari Gambar 5 dan tabel 1 dapat dilihat bahwa kode dari karakter dengan peluang terkecil yaitu 0,125 memiliki panjang bit sebesar 3 dan kode dari peluang terbesar memiliki panjang bit sebesar 1.
Dimana: Ytinggi = hasil dari high-pass filter Yrendah = hasil dari low- pass filter x[n] = merupakan sinyal asal h[n] = highpass filter g[n] = lowpass filter Proses dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses Dekomposisi sinyal
Setelah melalui tahapan dekomposisi maka koefisienkoefisien wavelet tersebut akan dibentuk kembali melalui proses rekonstruksi. Proses ini disebut inverse discrete wavelet transform (IDWT) [5]. Sehingga persamaan dapat ditulis sebagai berikut: (3)
2
- dua buah laptop/ PC - sebuah speaker - kabel audio sepanjang 5m. Desain sistem untuk perekaman ini dapat dilihat pada Gambar 7. Suara yang dibangkitkan oleh speaker ditangkap oleh dua buah mikropon yang tehubung ke soundcard. Soundacard tersebut juga telah terhubung dengan sebuah laptop yang sudah terinstal software nuendo didalamnya. Software ini bisa merekam sinyal suara secara langsung dan bersamaan yang kemudian disimpan kedalam file berbentuk wav.
Gambar 6. Huffman tree [6]
Tabel 1. Nilai peluang dan kode Huffman Simbol Nilai Peluang Kode Huffman 00 0,125 111 01 0,125 110 10 0,250 10 11 0,500 0 Gambar 7. Desain sistem perekaman suara
Penilaian Kinerja Kompresi 1. Penilaian secara obyektif Mean Square Error (MSE) MSE = Dimana e(N) = S(N) -
Proses perekaman dilakukan dengan sumber suara (speaker) sejajar dengan mikropon 1. Jarak antara kedua mikropon adalah 50 cm, sedangkan jarak antara speaker dan mikropon adalah 50 cm. Dimana sumber suara yang digunakan adalah sinyal sinus dan sinyal wicara dengan ucapan “TA 304”.
(4) (N), dengan N adalah jumlah
A. Pengukuran Kalibrasi Mikropon Pengukuran kalibrasi ini dapat dilakukan dengan konfigurasi mikropon dan speaker berada pada posisi saling berhadapan, kemudian jarak antar keduanya diubah-ubah dan dapat diamati dari level sinyal suara yang diterima masingmasing mikropon pada masing-masing jarak.
sampel, e(N) merupakan selisih sinyal, S(N) menyatakan daya sinyal asli dan (N) menyatakan daya sinyal rekonstruksi.
Signal to Noise Ratio (SNR) SNR (dB)= 10 log
B. Pengukuran Pola Radiasi Mikropon Pada pengukuran pola radiasi mikropon, mikropon ditempatkan di tengah, yaitu pada koordinat (0,0) dengan jarak 30 cm dari speaker. Kemudian speaker diputar searah jarum jam dengan posisi sudut 0-330° pada interval 30°.
(5)
Rasio Kompresi Rasio Kompresi = 100% -
100%
(6)
C. Pengukuran Pola Radiasi Speaker Tidak berbeda dengan pengukuran pola radiasi mikropon, pengukuran pola radiasi speaker juga dillakukan dengan menempatkan speaker pada koordinat (0,0) dan jarak 30 cm dari mikropon. Sudut posisi mikropon diubah-ubah terhadap speaker 0-330° pada interval 30°.
Dimana x' adalah ukuran audio hasil kompresi dan x adalah ukuran audio asli (sebelum kompresi) 2. Penilaian secara subyektif Penilaian secara subyektif didasarkan pada persepsi pendengaran manusia yang dihitung dengan Mean Opinion Score (MOS). Penggunaan MOS melibatkan beberapa orang responden untuk memberikan penilaian terhadap sinyal yang didengarkan. Penggunaan MOS untuk ujicoba terhadap kualitas suara diatur dalam standar ITU-T P.800.
D. Proses Kompresi dan Rekonstruksi Proses kompresi dan rekonstruksi dijelaskan pada Gambar 9. Dari Gambar 9 dapat dijelaskan proses kompresi dan rekonstruksi sebagai berikut: 1. Masing-masing sinyal 1 dan 2 di transformasi DWT, dimana kedua sinyal tersebut di dekomposisi dengan wavelet diskrit. Masing-masing sinyal dilewatkan pada filter tinggi dan filter rendah, kemudian didownsample sehingga menghasilkan dua buah koefisien, yaitu koefisien aproksimasi dan koefisien detail. 2. Koefisien aproksimasi pada sinyal 1 dan 2 dikuantisasi pada beberapa level kuantisasi, yaitu 4, 8, 16, 32, 64, 128 dan 256 level.
III. PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI Pada tugas akhir ini, sebelum proses kompresi dan rekonstruksi, dilakukan proses perekaman suara. Pada proses perekaman digunakan beberapa hardware yang harus dikonfigurasikan satu sama lainnya. Hardware yang digunakan antara lain: - dua buah mikropon SM57 - sebuah soundcard ESU1808 3
3. Sinyal hasil kuantisasi dari masing-masing sinyal selanjutnya di kodekan dengan pengkodean Huffman yang mengkodekan sinyal berdasarkan frekuensinya. Hasil dari pengkodean huffman menghasilkan suatu sinyal terkompres.
A. Pengukuran Kalibrasi Mikropon Kalibrasi mikropon ini bertujuan untuk mengetahui sampai pada jarak berapa mikropon mampu menangkap sinyal suara yang direkam. Pengukuran ini dilakukan dengan menempatkan microphone pada jarak 5 cm sampai 100 cm dari sumber suara. Pada pengujian ini dihasilkan level penerimaan sinyal dari dua buah mikropon terhadap jarak yang diubah-ubah sebesar 5 cm dengan pengaturan volume maksimum. Gambar 10 adalah hasil pengukuran respon jarak, dimana semakin jauh jarak antara mikropon dan speaker, Level penerimaan suara pada mikropon 1 dan 2 semakin menurun hingga -20,8248 dB untuk mikropon 1 dan -19,3796 dB untuk mikropon 2. Level ini menandakan sinyal yang diterima mikropon semakin lemah. -6 Mikropon 1 Mikropon 2
-8
Level (dB)
-10
-12
-14
-16
-18
-20
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Jarak (cm) Gambar 10.Respon jarak mikropon 1 dan 2
B. Pengukuran Pola Radiasi Mikropon Pengukuran pola radiasi mikropon bertujuan untuk mengetahui pola sebaran suara yang mampu ditangkap mikropon. Dari hasil pengukuran yang dilakukan, dapat ditampilkan grafik pada gambar 5. Pada Gambar 11 telihat bahwa pada sudut 0º microphone mempunyai intensitas level yang tinggi,yaitu sebesar -15 dB dan terjadi perubahan intensitas level disetiap perubahan sudut. Perubahan yang drastis terjadi pada saat sudut 180º.
Gambar 9. Konfigurasi perangkat saat perekaman suara
4. Sinyal 1 dan 2 yang terkompresi didekodekan dengan Huffman dekoder dan pada kedua sinyal tersebut dilakukan joint decoding sehingga menghasilkan satu sinyal output. 5. Sinyal hasil Huffman dekoder direkonstruksi dengan invers DWT, dimana sinyal hasil Huffman dekoder dan sinyal koefisien detail masing-masing dilewatkan pada filter tinggi dan rendah kembali, kemudian di upsample sehingga menghasilkan sinyal hasil rekonstruksi seperti sinyal asli kembali. 6. Sinyal hasil rekonstruksi selanjutnya dibandingkan dengan sumber suara asli, kemudian menghitung nilai SNR dan MSE.
C. Pengukuran Pola Radiasi Speaker Sama dengan pengukuran pola radiasi mikropon, pengukuran pola radiasi speaker juga bertujuan untuk mengetahui pola sebaran suara yang dihasilkan oleh speaker sebagai sumber suara. Hasil pengukuran pola radiasi speaker ini dapat dilihat pada Gambar 12. Dari gambar dapat dianalisa bahwa posisi terbaik adalah speaker dengan posisi sudut mendekati 0º terhadap mikropon. Pada posisi itulah hasil yang didapat merupakan hasil yang terbaik dengan besar level yang diterima adalah sebesar -5,8299 dB.
IV. HASIL PENGUKURAN DAN ANALISA Data suara yang digunakan pada pengukuran pada beberapa hardware yang digunakan pada proses perekaman adalah berupa sinyal sinus yang dibangkitkan dengan frekuensi sampel 4000 Hz dan level maksimum daya sebesar 0 dB.
4
3.5
x 10
-6
3
sinyal 1 sinyal 2 sinyal joint decoding
MSE
2.5 2 1.5 1 0.5 0 2
3
4
5
6
7
8
Bit Kuantisasi
Gambar 11. Pola Radiasi Mikropon
Gambar 13. Grafik perbandingan nilai MSE sinyal 1, sinyal 2 dan sinyal joint decoding pada sinyal sinus 64 sinyal 1 sinyal 2 sinyal joint decoding
62
SNR (dB)
60 58 56 54 52 50 48 2
Gambar 12. Pola Radiasi Speaker
3
4
5
6
7
8
Bit Kuantisasi Gambar 14. Grafik perbandingan nilai SNR sinyal 1, sinyal 2 dan sinyal joint decoding pada sinyal sinus
D. Pengujian Kompresi dan Rekonstruksi Pada pengujian kompresi dan rekonstruksi digunakan dua buah sampel suara (sinyal sinus dan sinyal wicara) yang masing-masingnya dilakukan tiga pengujian. Pengujian untuk sinyal 1, sinyal 2 dan sinyal hasil joint decoding yang diberi nama “sinyal joint decoding”.
2. Sinyal Wicara Bila dibandingkan dengan sinyal sinus, sinyal wicara lebih rumit, karena memiliki level yang berbeda-beda tiap sampelnya. Gambar 15 dan 16 menunjukkan perbandingan nilai MSE dan SNR dari sinyal 1, sinyal 2 dan sinyal joint decoding. Hasil rekonstruksi terbaik untuk ketiga sinyal tersebut yaitu pada level kuantisasi 256. Pada sinyal 1 dihasilkan MSE sebesar 0,8392x 10-7 dan SNR sebesar 52,5459 dB, sinyal 2 menghasilkan nilai MSE (0,8208 x 10-7) dan SNR (52,5808 dB), sedangkan pada sinyal joint decoding nilai MSE dan SNR yang dihasilkan sebesar (0.4566 x 10-7) dan 55,1898 dB. Bila dibandingkan, pengkompresian sinyal secara terdistribusi menghasilkan nilai MSE dan SNR yang lebih baik daripada pengkompresian sinyal secara tersendiri. Dimana sinyal hasil rekonstruksinya pun lebih baik dibandingkan yang lainnya. Dapat dianalisa bahwa kompresi audio secara terdistribusi telah berhasil melakukan rekonstruksi dengan baik. Dimana jumlah level kuantisasi berperngaruh terhadap kualitas sinyal hasil rekonstruksi. Berdasarkan gambar 15 dan 16 terlihat nilai MSE dan SNR yang dihasilkan semakin bagus.
Penilaian Obyektif Pengukuran MSE dan SNR Kompresi dilakukan dengan mengubah-ubah nilai dari level kuantisasinya, yaitu dari level 4 sampai level 256. Berdasarkan nilai kuantisasi ini dihitung nilai MSE dan SNR. Yaitu dengan membandingkan antara sinyal rekonstruksi dengan sinyal asli hasil rekaman. 1. Sinyal Sinus Rekonstruksi dengan menggunakan transformasi DWT dan pengkodean Huffman, mampu merekonstruksi sinyal sinus dengan baik. Pada sinyal 1, hasil rekonstruksi terbaik berada pada level kuantisasi 256 dengan nilai MSE (0,3183 x 10-5) dan nilai SNR 49,3824 dB. Pada sinyal 2, nilai MSE yang dihasilkan sebesar 0.1347 x 10-6 dengan SNR sebesar 49,3821 dB untuk level kuantisasi 256. Sedangkanpada sinyal joint decoding, hasil rekonstruksi sinyal terbaik juga pada level kuantisasi 256 dengan nilai MSE (0,3125 x 10-6) dan SNR (63,1890 dB). Gambar 13 dan 14 menampilkan perbandingan hasil rekonstruksi antara ketiga sinyal tesebut. Dapat dilihat bahwa sinyal 1 memiliki nilai MSE terbesar dan SNR terkecil. Sedangkan sinyal joint decoding menghasilkan nilai MSE dan SNR terbaik. Hal ini berarti sinyal yang dikompresi secara terdistribusi dengan melakukan penggabungan sinyal pada dekoding (joint decoding) menghasilkan sinyal rekonstruksi terbaik yang sama dengan sinyal aslinya. 5
x 10
-8
90
sinyal 1 sinyal 2 sinyal joint decoding
10
Persentase pemampatan
11
MSE
9 8 7 6 5 4 2
3
4
5
6
7
sinyal 1 sinyal 2
85 80 75 70 65 60
8
Bit Kuantisasi
55 2
3
4
5
6
7
8
Gambar 15. Grafik perbandingan nilai MSE sinyal 1, sinyal 2 dan sinyal joint decoding sinyal wicara
Bit Kuantisasi Gambar 18. Persentase pemampatan pada sinyal sinus
Rasio Kompresi Perhitungan rasio kompresi dilakukan untuk mengetahui berapa persen besarnya pemampatan dari sinyal hasil kompresi. Rasio kompresi dihitung dengan membandingkan sinyal asli dengan sinyal hasil kompresi. Gambar 17 - 18 merupakan rasio kompresi untuk masing-masing sinyal pada sinyal wicara dan sinyal sinus. Berdasarkan grafik pada gambar-gambar tersebut dapat dilihat bahwa terjadinya penurunan rasio kompresi pada setiap kenaikan jumlah bit kuantisasi. Hal ini terjadi karena semakin banyak jumlah level kantisasi, jumlah bit kuantisasi semakin besar dan rasio kompresi juga akan semakin besar, sehingga jika jumlah bit kuantisasi bertambah besar maka rasio sinyal asli dengan sinyal hasil kompresi akan semakin kecil.
Penilaian Subyektif Pada pengujian ini ada sepuluh orang responden. Masingmasing responden diminta menilai kualitas audio hasil kompresi yang dihasilkan berdasarkan score yang telah ditentukan. Berdasarkan penilaian para responden, sinyal yang dikompresi dengan level kuantisasi 256 bernilai 5 (sangat baik) sedangkan level kuantisasi 4 bernilai 2 (jelek). Hal ini menandakan sinyal rekonstruksi yang dihasilkan adalah bagus, sesuai dengan sinyal aslinya. V. KESIMPULAN Dari hasil pengambilan data dan analisa yang dilakukan selama pengerjaan Tugas Akhir ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengukuran respon jarak kedua mikropon harus dilakukan pada penguatan yang sesuai sehingga keduanya dapat menangkap sinyal dengan level suara yang sama. 2. Semakin jauh jarak sumber dari mikropon, maka level penerimaan suara makin kecil yaitu sebesar -20,8248 dB pada mikropon 1 dan -19,3796 dB pada mikropon 2 dan begitu juga sebaliknya. 3. Polaradiasi mikropon dan speaker menghasilkan level terbaik pada posisi (0,0), yaitu mikropon dan speaker berhadapan satu sama lainnya pada posisi 0⁰. 4. Level Kuantisasi berpengaruh pada kualitas sinyal hasil rekonstruksi. 5. Pada level kuantisasi yang semakin besar (256 level) nilai MSE makin kecil dan nilai SNR semakin besar. Dimana menandakan hasil rekonstruksi sinyal semakin baik. 6. Rasio kompresi semakin kecil dengan bertambahnya level kuantisasi, yaitu menjadi 60 % pada level kuantisasi 256. Dimana sebelumnya mencapai nilai 90 % pada level kuantisasi 4, hal ini dikarenakan jumlah bit yang dihasilkan semakin banyak. 7. Kompresi audio secara terdistribusi menghasilkan kualitas sinyal rekonstruksi yang lebih baik daripada pengkompresian sinyal secara tersendiri dimana nilai SNR yang dihasilkan lebih besar, yaitu mencapai 55,1898 dB untuk sinyal wicara dan 63,5465 dB untuk sinyal sinus.
55.5 55
sinyal 1 sinyal 2 sinyal joint decoding
SNR (dB)
54.5 54 53.5 53 52.5 52 51.5 2
3
4
5
6
7
8
Bit Kuantisasi Gambar 16. Grafik perbandingan nilai SNR sinyal 1, sinyal 2 dan sinyal joint decoding pada sinyal wicara
Persentase pemampatan
90 sinyal 1 sinyal 2 85
80
75
70
65
60 2
3
4
5
6
7
8
Bit Kuantisasi Gambar 17. Persentase pemampatan pada sinyal wicara
DAFTAR PUSTAKA
6
[1] Dragoti Pier Luigi, Gatstpor Michael, Distributed Source CodingIntroduction, Elsevier, 2009. [2] M.G.Smith, K.B.Kim and D.J.Thompson. Noise Source Identification Using Microphone Array. Reprinted from Proceedings of the Institute of Acoustics Vol. 29. Pt.5 2007. [3] Venkataraman, Jagadish, “Analysis of Slepian Wolf Coding”, University of Notredame,2003 [4] Polikar R, The Wavelet Tutorial, Part IV, Rowan University, Glassboro, NJ 08028. [5] Nainggolan, Jannus M, Discrete Wavelet Transform: Teori dan Penerapan pada Sistem Daya, Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003 [6] Cover, Thomas M And Thomas, Joy A, “Elements of Information Theory”, John Willey and Son’s, Inc. Publication, 2005.
RIWAYAT PENULIS Retnawati, putri sulung dari pasangan Junahar dan Zulhamni, lahir di Bukittinggi, 8 Maret 1987. Menempuh pendidikan di SDN 09 Sitapung, kemudian SLTPN 1 IV Angkat Candung dan SMUN 1 IV Angkat Candung. Lulus SMU tahun 2005 dan melanjutkan pendidikan D3 di Politeknik Negeri Padang jurusan Elektro dan lulus dengan gelar Amd pada tahun 2008. Penulis melanjutkan studi tingkat Sarjana di jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya pada Februari 2009 melalui program Lintas Jalur dengan mengambil bidang studi Telekomunikasi Multimedia
7