Kesejahteraan Sosial
375
KESEJAIITERAAN SOSIAL DAN PLURALISME HUKUM SUATU TINJAUAN SOSIAL TERHADAP MASALAH HUKUM"' OIeh : Sulistyowati Irianto Dalam Case perkembangannya yang ,---:-;;;-:;;:-----, terakhir, yang dimulai pada awal tahun 1970-an, ketika perhatian para antropolog hukum tidak lagi pada proses penyelesaian sengketa semata-mata, masalah hukum atau pluralisme hukum di luar penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian. Masalah penyelesaian sengketa hanya menj adi salah satu aspek dalam kehidupan sehari - hari yang menyediakan lapangan yang kaya sebagai lapangan penelitian mengenai masalah - masalah hukum dan pluralisme hukum. .....""'---''--_-=-_---J
Dalam tulisan ini hendak diperlihatkan bagaimana dapat menjelaskan pendekatan antropologi hukum permasalahan-permasalahan hukum yang muneul dalam masalah penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Permasalahan hukum yang dimaksud, khususnya adalah permasalahan yang muneul dalam rangka terdapatnya berbagai pranata hukum yang mendasari mekanisme penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang bersifat kontekstual itu; dan bagaimanakah pranata pranata hukum itu bekerja dalam realita.
• Tulisan ini metupakan cuplikan dari tulisan yang berjudul -KESEl AlITERAAN SOSIAL DALAM KONSEPSI NORMATIF DAN KENYATAAN SOSIAL (SUATU TINIAUAN ANTROPOLOGI HUKUM). yang abn diterbitkan oleh Yay.san Oboe.
Agustus 1992
376 I.
Hukum dan Pembangunan KFSFJABTERAAN SOSIAL DAN AN1ROPOWGI HUKUM.
Suatu koreksi total terhadap konsep-konsep mengenai kesejahteraan sosial, nampaknya harns dilakukan. Konsep-konsep kesejahteraan sosial yang selama ini hampir selalu mengacu kepada konsep-konsep Ero-Amerika, yang mengidentikkan kesejahteraan sosial dengan social security (Inggris), atau sociale zekerheid (Belanda) yang konvensional itu sebagai inti, nampaknya hanya cocok untuk kondisi masyarakat Eropa dan Amerika saja. Karena pada umumnya dalam masyarakat-masyarakat itu dikenal kegiatan bekerja yang selalu berkorelasi dengan -- yang di Indonesia kita kenai sebagai -- jaminan sosial, yang dasar hukumnya terformulasi secara jelas dalam sistem hukum negara. To a large extent, conventional social security protects the protected,i.e. those who are earning regular wages (Seminar Report, 1991: 6). Jadi mekanisme kesejahteraan konvensional itu adalah perlindungan terhadap mereka yang terjamin. Bahkan mereka yang tidak bekerjapun terjangkau oleh mekanisme kesejahteraan sosial yang sepenuhnya ada di tangan pemerintah negara-negara tersebut. Konsep kesejahteraan sosial di Indonesia yang tertuang dalam UU No. 6/1974 pasal 2.1. belum memberikan penjelasan yang berarti mengenai batasan kesejahteraan sosial: leesejahreraan sosial adalah suaru rata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spiriruil yang diliputi oleh rasa leeselamatan, leesusiiaan, dan ketenteraman lahirdan batin,yangmemunglcinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhankebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat, dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi serra kewajiban manusia sesuai dengan Pancasiia.
Batas-batas lingkup kesejahteraan sosial, agaknya belum juga ditemukan dengan dikeluarkannya undang-undang yang barn, yaitu UU no. 3 tahun 1992 mengenai jaminan sosial tenaga kerja, yang hanya ditujukan bagi mereka yang bekerja. UU no. 3 tahun 1992 itu memang dimaksudkan sebagai pelaksanaan dari pasal 10 dan 15 dari UU no. 14 tahun 1969, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Artinya, undang-undang Nonwr 4 Tahun XXII
Kesejahteraan Sosial
3n
mengenai jaminan sosial itu hanya diperuntukkan bagi golongan-golongan sosial tertentu dalam masyarakat, yaitu pegawai negeri, ABRI, dan golongan-golongan tertentu karyawan swasta ( itupun kondisional . sifatnya, sangat tergantung pada perusahaan tempat dia bekerja ). Hal yang menjadi masalah adalah bagaimanakah halnya dengan mereka yang tidak bekerja, yang tidak terjangkau oleh UU jaminan sosial yang ada '1 Bagaimanakah halnya dengan kesejahteraan yang diperuntukkan to protect unprotected. di luar jaminan sosial, dengan Wilayah "kesejahteraan" demikian adalah mereka yang tidak terjangkau oleh perlindungan jaminan sosial, yang beraktifitas di segala bidang kehidupan, (petani, nelayan, pedagang kedl, pengasong, pengrajin kedl, penarik angkutan umum -- ojek, becak, bajaj, bemo -- pembantu rumah tangga, pemulung, dan sebagainya), baik yang tinggal di desa maupun di kota. Padahal jumlah mereka jauh lebih besar daripada golongan-golongan sosial tertentu yang terlindung dalam jaminan sosial. Di Asia Tenggara pada umumnya angka dari mereka yang . tidak terjangkau oleh mekanisme kesejahteraan sosial ini mendekati 90 % (Seminar Report,1991: 6). Karena batas-batas lingkupnyapun belum secara jelas ditemukan, maka sulitlah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap akses-akses menuju kesejahteraan sosial, yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara Indonesia ini (Tentu saja, "hak" yang diikuti oleh konsekuensi "kewajiban" bagi setiap orang untuk mewujudkan dan menjaga kesinambungan tercapainya kesejahteraan sosial itu ). Padahal kata "kesejahteraan sosial" selalu menjadi tujuan hampir setiap kegiatan umat manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang berupa materi maupun non- materi. Bahkan tidak jarang kata "kesejahteraan" menjadi alat legitimasi bagi kegiatan-kegiatan orang atau kelomwk :> orang tertentu, yang dilakukan di atas "tidak sejahteranya " kelompok - kelompok lain dalam masyarakat. Dalam konferensi intemasional yang terakhir mengenai kesejahteraan sosial, New Approach to Social Security in South East Asia, Oktober-November 1991 yang lalu di Chaing Mai, Agustus 1992
378
Hukum dan Pembangunan
Tahiland, masih diperdebatkan apakah ke dalam pengertian social security itu, termasuk juga social welfare, income generation schemes, the delivery of goods and services not regulated by the state. Akbimya disepakati bahwa tidak perlu untuk mencapai suatu definisi yang jelas, hanya dalam konferensi itu disepakati bahwa ke dalam pengertian kesejahteraan sosial itu termasuk juga ke dalamnya, "social safety nets". "social policy" , "social protection" dan ·comprehensive social security" ( Seminar Report, 1991: 5 ) Bila seperti yang diinginkan oleh UU no. 6/1974, bahwa kesejahteraan sosial dalam konteks Indonesia tidaklah yang semata-mata penekanannya material, tetapi juga spiritual, kiranya dapat dipertanyakan apakah kesejahteraan sosial itu seharusnya meliputi juga kesejahteraan yang bersifat sosial, kultural dan politik. Artinya, kesejahteraan sosial seharusnya meliputi juga perlindungan untuk mendapatkan: pendidikan seluas-luasnya, pe1ayanan kesehatan (pelayanan terhadap masaJah-masalah yang berkaitan dengan gizi, penyakit, kehamilan, cacat, kematian), perumahan, sanitasi dan air bersih, pemeliharaan orang tua dan anak-anak. Lebih jauh dapat dipertanyakan apakah kesejahteraan sosial dalam konteks Indonesia akan meliputi juga perlindungan untuk mendapatkan akses kepada: keadilan, kebebasan menyuarakan aspirasi politik, mengembangkan budaya masing-masing, menggunakan sumber daya ekonomi (termasuk tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya ), Iingkungan hidup yang sehat, dan perlindungan sebagai konsumen. Dalam hal ini dapat juga dipertanyakan, jika demikian apakah perlu diadakan standard of living --semacam standar kemiskinan "Sayogyo" menurut hitungan kalori 1 beras yang membedakan kebutuhan orang desa dan kota itu. Jika perlu, standar of living yang bagaimana yang dapat dipakai berdasarkan lingkupan kesejahteraan sosial yang bersifat tidak hanya ekonomi, tetapi juga sosio - kultural dan politik itu ? Di mana Ietak relevansi untuk mengkaji masalah sosial dalam pengkajian hukum? Formulasi kesejahteraan kesejahteraan sosial terletak dalam berbagai bentuk pranata Nomor 4 Tahun XXII
Kesejahteraan Sosial
379
hukum. Dari uraian di atas dapat dilihat adanya dua macam mekanisme kesejahteraan sosial. Pertama adalah kesejahteraan sosial dalam arti sempit, yang kita kenal sebagai jaminan sosial itu; yaitu perlindungan terhadap mereka yang secara hukum mendapat akses untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Pada umumnya mekanisme kesejahteraan sosial ini berhubungan dengan pekerjaan, sehingga mekanisme ini memberi perlindungan terhadap kondisi di mana pekerjaan atau penghasilan terhenti akibat sakit, cacat, usia lanjut, kematian, dan sebab- sebab lain. Pengaturannyapun terdapat dalam undang-undang dan peraturan hukum negara. Meskipun di luar itu terdapat pula yang tidak diatur oleh negara, sebagai contoh adalah terhentinya penghasilan karena usia lanjut. Negara menyelenggarakan penampungan dan perawatan bagi orang lanjut usia, namun sudah menjadi pemandangan umum bahwa dalam banyak suku bangsa di Indonesia, orang lanjut usia dipelihara oleh anak-anak atau kerabatnya. Hal ini disebabkan oleh proses sosialisasi nilai-nilai dari generasi kegenerasi, bahwa orang tua menjadi tanggungan dari anak-anak atau kerabatnya. Contoh lain, adalah pegawai negeri di suatu desa di kecamatan Tarutung, Tapanuli Utara, yang gajinya kecil dan tidak mencukupi kebutuhan dia dan keluarganya, sangat terbantu oleh isterinya yang bertenun ulos. Bila ia sakit, keluarga besamya ikut merawatnya. Kedua, adalah kesejahteraan sosial dalam arti luas, yaitu mekanisme kesejahteraan sosial yang tidak hanya berada di tangan pemerintah (jaminan sosial) , dan tidak selalu berkorelasi dengan pekerjaan, tetapi mdiputi banyak bidang dalam kehidupan manusia dalam mencapai kesejahteraan (untuk mendapatkan penghidupan, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan sebagai konsumen, --pada prinsipnya adalah mendaptkan akses secara ekonomi, politik, dan kulturai ). Mekanisme kesejahteraan sosial inilah yang dalam prakteknya menghidupi hayat orang banyak dan yang justru lebih banyak diselenggarakan oleh masyarakat sendiri. Pengaturannya bisa terdapat daiam peraturan perundangan bisa juga tidak diatur sarna sekali oleh negara, namun dalam prakteknya sebagian besar pengaturannya terdapat dalam sistem nilai atau
Agustus 1992
380
Hukum dan Pembangunan
kebiasaan-kebiasaan yang diatur dan dipelihara oleh rnasyarakat sendiri, pada banyak etnik terutarna berada di tangan kekerabatan.
Hal itu tidak hanya disebabkan oleh keterbatasanketerbatasan upaya pernerintah dalarn rangka rnenyelenggarakan kesejahteraan sosial bagi rnasyarakatnya, tetapi juga disebabkan oleh tersedianya peluang-peluang yang rnendapat ternpat dalam arena-arena sosial. Dalarn arena-arena sosial itu kernudian lahir pranata-pranata hukurn, atau kebiasaan-kebiasaan seternpat yang dianggap sebagai hukurn, yang dianggap dapat dijadikan dasar bagi penyelenggaraan kesejahteraan sosial rnasyarakat seternpat (selfregulation, Moore, 1983). Pranata-pranata tersebut rnuncul jauh sebelum dibentuknya pranata hukurn oleh negara, atau dapat juga berjalan bersama-sama dengan pranata hukurn negara dan saling mernpengaruhi. Secara: lebih luas pranata hukurn yang hidup dalam rnasyarakat itu rnendapatkan bentuknya tidak hanya dalam hubungan kekerabatan yang sernpit, tetapi juga hubungan pertetanggaan, perternanan, dan karena kepentingan-kepentingan politik dan ekonorni juga terdapat dalarn hubungan patron-client, brokerage, dan hubungan- hubungan lain yang rnenyediakan ternpat bagi diselenggarakannya kesejahteraan sosial dengan rnekanisrne dan cara-cara tertentu. Sebagai contoh adalah, dicanangkannya program koperasi oleh pernerintah sebagai salah satu sarana untuk mencapai kesejahteraan rnasyarakat. Pengaturannya terdapat dalam berbagai peraturan perundangan. Narnun dalam prakteknya, tidak jarang program koperasi tersebut tidak dapat rnencapai apa yang rnenjadi tujuannya secara resrni, karena faktor-faktor sosial dan politik ( terrnasuk politik pada tingkat lokal ). Hal yang berjalan justru adalah rnekanisrne lokal, yang sarna sekali tidak diatur oleh negara. Dengan dernikian secara "resrni" terdapat dua rnacarn mekanisrne kesejahteraan sosial, yaitu kesejahteraan sosial dalarn arti sernpit (jaminan sosial), dan kesejahteraan sosial dalam arti luas, yang pembagiannya tidaklah terletak pada diatur atau tidaknya oleh hukurn negara. Kedua rnacarn rnekanisrne kesejahteraan sosial itu, terbukti sarna-sarna di atur oleh negara baik secara rnendasar (jarninan sosial), rnaupun tidak secara ketat
Nomor 4 Tahun XXII
Kesejahteraan Sosial
381
(program-program kesejahteraan seperti koperasi, PKK, dsb). Keduanya sarna-sarna pula diatur oleh sistern pranata hukurn lain di luar hukurn negara (adat, agarna, kebiasaan-kebiasaan lain yang dianggap sebagai "hukurn" --unnamed law), baik secara rnendasar, rnaupun tidak secara ketat. Dengan dernikian pada tingkat individu seseorang bisa terjaring daIam berbagai hubungan kesejahteraan sosiaI daIarn waktu yang sarna (F dan K Benda-Beckmann, 1991:4)
n.
KESEJAHTERAAN SOSIAL PLURALISME HUKUM
A.
Pluralisme Hukum
DALAM
KONTEKS
Mendefinisikan arti kesejahteraan sosial sarna sulitnya dengan rnendefinisikan arti hukurn. Arti kesejahteraan sosial daIam pendekatan sosiaI terhadap hukurn, sangatlah bersifat kontekstual. Pernaharnan rnengenai kesejahteraan sosiaI haruslah diternpatkan pada konteks politik, ekonorni dan sosio - kulturaI setiap rnasyarakat, pada dirnensi waktu tertentu. Oleh karena itu kesejahteraan sosiaI dapat sangat bersifat pluraIistik. Seperti yang telah diuraikan di atas, rnaka untuk kepentingan analitik, kesejahteraan sosial tidaklah dilihat sebagai dikotorni yang terbagi ke dalam kesejahteraan sosiaI daIarn arti sernpit (jaminan sosial ) yang diatur oleh hukurn negara, sernentara kesejahteraan sosial dalarn arti luas diatur oleh pranata hukurn yang lain di luar negara -- Artinya kesejahteraan sosial yang diatur oleh pranata hukurn adat, agarna, dan hukurn lain yang tidak bisa dirnasukkan ke sistern-sistern hukurn yang disebut terdahulu, atau unnamed law rnerninjarn istilah F.Benda- Beckmann ( 1990: 11 ). Narnun tulisan ini akan rnelihat bagairnana kedua rnekanisrne kesejahteraan sosial itu, yang diatur oleh berbagai sistern pranata hukurn, diternpatkan dalarn konteks pluraIisrne hukurn. PluraIisrne hukurn di sini bukanlah daIarn arti weak legal pluralism, suatu konsep dari Griffiths dalarn , rangka kritikannya yang tajarn terhadap pernikiran legal centralism. Apa yang Agustus 1992
382
Hukum dan Pembangunan
dimaksud sebagai weak legal pluralism adalah, diakuinya adanya kemajemukan hukum, tetapi tetap ditempatkan dalarn kerangka pemikiran legal centralism, yang mengakui bahwa hukum satusatunya adalah hukum negara -- dalam arti modem --, atau dijalankan oleh satu-satunya lembaga, yaitu lembaga negara. Contoh yang jelas dari konsep di atas barangkali adalah pada pemerintahan Belanda di Indonesia, di mana .. hukumhukum" diberlakukan secara berbeda-beda, untuk golongangolongan masyarakat yang berbeda, dan untuk masalah yang berbeda - beda, dalam rangka untuk kepentingan pemerintah kolonial. masa
F. Benda-Beckmann yang berusaha lebih menjadi map makers daripada explorer dalarn jungle of legal pluralism mengatakan bahwa jika keanekaansistem hukum merupakan situasi yang umum, atau setidak-tidaknya terjadi dalam suatu lapangan kajian tertentu -- dalarn hal ini misalnya kesejahteraan sosial -, maka h;il yang menarik bukanlah terletak pada dapat ditunjukkannya keanekaan peraturan hukum, tetapi yang lebih penting adalah, apakah yang terkandung dalam keanekaan hukum itu, bagaimanakah sistem-sistem hukum itu saling berinteraksi satu sarna lain, bagaimanakah keberadaan sistem-sistem hukum itu secara bersama-sama dalam suatu lapangan pengkajian tertentu (F. Benda-Beckmann , 1990: 2). Selanjutnya, perlu untuk melihat bahwa meskipun secara . empirik sistem-sistem hukum itu berbeda satu sarna lain dalam bentuk, struktur, isi substantive, fungsi politik dan efektifitasnya, tetapi keanekaan hukum itu masing - masing dipahami sarna secara analitik. Titik tolak dari diskusi mengenai pluralisme hukum adalah menyangkut konsep hukum yang mendasar. Kebanyakan sarjana hukum dogmatik tidak akan meniadakan bahwa memang terdapat variasi dalam peraturan-peraturan normatif dalam banyak masyarakat. Mereka juga tidak ingin meniadakan bahwa peraturan semacarn itu bisa mempengaruhi perilaku orang. Namun mereka tidak ingin mengatakan bahwa peraturan semacam itu adalah hukum, karena tidak berhubungan dengan kriteria mereka, kriteria yang dibentuk oleh peraturan hukum negara. Dari sudut pandang
Nomor 4 Tahun XXII
Kesejahteraan Sosial
383
mi, peraturan semacam norma sosial, konvensi, kebiasaan dan peraturan-peraturan informal, hidup dalam dunia yang kurang penting, yang secara konseptual ditentukan oleh negara dan oleh saxjana hukum yang berasal dan hidup di lingkungan sistem rakyat sendiri ( F. Benda-Beckmann, 1990: 2 ).
Berbicara mengenai pluralisme hukum di sini adalah dalam arti analitik sebagai totalitas dari gejala - gejala hukum yang diciptakan dan dipelihara dalam suatu unit sosial tertentu. Hukum, sistem hukum atau pluralisme hukum secara analitik harus dipisahkan dari proses-proses sosial yang membuat, memelihara dan mengubah, dan dipengaruhinya. Jika tidak, maka hubungan-hubungan antara perangkat perangkat atau sistem-sistem dari konsepsi kognitip dan normatip yang kita sebut hukum itu, dan proses-proses yang dibuat, diinterpretasi, digunakannya itu, tidak bisa dianalisa. Selanjutnya menurut Benda - Beckmann, konsepsi hukum bisa mempengaruhi perilaku orang dalam berbagai cara: penama, orang dimotivasi oleh pertimbangan dunia normatip, dalam hal pertimbangan itu dapat memberikan orientasi dan arah bagi perilaku mereka. Ke dua, mereka juga bisa, secara instumen tal, strategik, menggunakan bentuk-bentuk hukum yang didefinisi kan dari organisasi dan transaksi (pengadilan, perkawinan, pemilihan umum, perusahaan konstruksi hukum, dan transfer barang dan orang, dan sebagainya). Ke tiga, yang tidak kalah penting, konsepsi hukum bisa mempengaruhi perilaku orang dalam membuat hukum baru. Orang juga bisa menggunakan konsepsi hukum untuk merasionalisasikan dan membenarkan perilakunya dan perilaku orang lain. Hal itu harus diasumsikan bahwa terdapat konstelasi yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda-beda dalam arena interaksi yang berbeda-beda, dan juga harus diasumsikan bahwa hal itu memiliki akibat-akibat yang berbeda bagi interaksi mereka. Namun sebagai peristiwa dalanr suatu kondisi, konstelasi pluralisme hukum mendahului setiap peristiwa, meskipun konstelasi tersebut bisa berubah sepanjang peristiwa.
Agustus 1992
Hukum dan Pembangunan
384
Hal-hal di atas membawa Benda-Beckmann pada tiga pertanyaan mengenai sistem-sistem htikum yang perangkat beragam: 1. .
Sistem-sistem normatip yang bagaimanakah yang tercipta dan bagaimana mereka dipelihara dan diubah ( oleh siapa, bagaimana ), dalam setiap lapangan tertentu yang dipilih untuk dikaji. Bagaimanakah dalam hal sistem-sistem normatip yang menjemuk, terbentuk saling hubungan antara sistem-sistem itu .
2.
Apakah pengaruh dari kontelasi sistem normatip tertentu terhadap perilaku orang
3.
Pertanyaan ketiga berhubungan dengan apakah signifikansi yang terdapat pada perilaku bagi interaksi selanjutnya dan bagi pemeliharaan sistem hukum yang saling berhubungan itu.
Pertanyaan-pertanyaan ini bertemu dalam setiap usaha untuk melukiskan dan menganalisa setiap peristiwa khusus atau interaksi, meskipun mereka secara analitik berbeda dan biasanya menemukan jawabannya dalam perangkat-perangkat gejala yang sangat berbeda (F.Benda-Beckmann, 1990: 3)
B. Letak Hukum dalam Plurallsme Hukum Dalam rangka menjawab dimanakah letak hukum dan pluralisme hukum, jawabannya adalah pasti. Hukum berada dalam masyarakat. Masyarakat bisa dipikirkan sebagai terdiri atas Rompleks susunan hubungan-hubungan yang saling berjumbuh ( overlapping) dan saling ketergantungan, dan jaringan interaksi ( semi-autonomous social fields --selanjutnya disingkat SASF--, Moore, 1973, F. Benda-Beckmann 1979, Griffiths 1986, Giddens 1979,1984 dalam F. Benda-Beckmann: 1990,15). Bagaimanapun pernyataan tersebut belum memberikan penjelasan lebih jauh. Nomor 4 Tahun XXII
Kesejahteraan Sosial
385
Masalah dalam SASF adalah SASF itu bersifat arbitrary.Jaringan . hubungan dan inter aksi di antara partisipannya dalam semi otonomi, yang mengem bangkan peraturan dan proses-proses sanksi, terdapat dimana-mana. Pengkajian mereka menawarkan dan mengasumsikan suatu pilihan sebelum kita melihat adanya jaringan hubungan dan interaksi. Tempat dan jenis interaksi dan peristiwa-peristiwa yang dikaji oleh seseorang, tergantung pada apa yang ingin diketahuinya: pengetahuan mengenai kompleksitas norrnatip dalam suatu wilayah tertentu atau lapangan kehidupan, penjelasan mengenai perkembangan dan pengarnh mereka terhadap praktek-praktek sosial, hubungan mereka dengan sistem kapitaiis, dengan pandangan tidak menyetujui atau sebaliknya mendukung pemyataan teori, ideologi, metodologi atau empirikal yang dibuat orang lain. Hal itu akan tergantung pada kepentingan secara teoretik, apakah seseorang memilih tempat berdasarkan geografi, seperti kepulauan Indonesia, suatu tempat struktural, seperti yang dilakukan oleh de Sousa Santos 1987, atau meciptakan domain fungsional secara analitik seperti yang dilakukan Goldschmidt 1966, F. Benda-Beckmann 1979 ( dalam F. Benda- Beckmann:1990,16 ) Inilah pilihan-pilihan yang menentukan penstIwa atau rangkaian peristiwa (proses-proses sosial) macam apa, yang berlokasi di SASF yang bagaimana, yang dikaji oleh seseorang, dan yang "eksistensi" unsur-unsur dari sistem hukumnya yang lebih dan satu itu secara empirik harns dicari. Hal ini juga secara analitik membatasi lapangan yang menyediakan dasar bagi pertanyaan apakah "situasi-situasi" didefinisikan secara sarna atau berbeda, dan dibuat subjek untuk peraturan yang sarna atau berbeda dengan menamakan sistem-sistem hukum, perangkat-perangkat hukum yang tidak bemama ( unnamed bodIes or law), atau interaksi dan keputusan individual ( F. Benda-Beckmann, 1990: 16-17). Akhimya apakah yang dimaksudkan dengan "eksistensi" , dan bila manakah dapat dikatakan "peraturan-peraturan hukum saling bertemu "? Dalam pandangan Benda-Beckmann, tidak ada Agustus 1992
386
Hukum dan Pembangunan
eksistensi yang tunggal atau hanya satu bentuk sistem hukum, tetapi lebih merupakan eksistensi dari bermacam-macam sistem hukum. Dalam hal ini kiranya perlu diingat pembedaan analitik mengenai pluralisme hukum sebagai bagian dari konteks dan yang mempertajam konteks. Dalam kondisi itu orang saling berinteraksi, dan dalam proses interaksi itu hukum dapat dipakai sebagai sumber bahasa (Fuller), senjata (Turk ), alat, instrumental, dan sebagainya. Dalam setiap peristiwa, interaksi atau rangkaian interaksi yang dipilih oleh seseorang untuk dikaji, pluralisme hukum adalah suatu aspek dari konteks sosial, politik dan ekonomi, yang terbentuk secara historikal. Setiap peristiwa atau interaksi dapat dilihat terjadi dalam "bayangan pluralisme hukum· , suatu bayangan yang di dalamnya terdapat orang-orang berinteraksi dalam situasi tertentu, ' dengan tanpa pengaruh, atau sedikit pengaruh atau malahan saling tergantung dan secara simultan menuju kepada interaksi yang terpelihara, dan diubah sepanjang waktu dan tempat yang berbeda-beda. Konstruksi pluralisme hukum, konstruksi yang tepat dari arena-arena jurisdictional atau perlengkapan hukum ( transaksi sumber daya, dan sebagainya ) menjanjikan keberhasilan yang rata-rata berbeda pada lingkungan validitas yang berbeda. Tidaklah mengherankan bahwa manusia memperhitungkan peraturanperaturan semacam itu. Diskusi mengenai perilaku dalam situasi pluralisme hukum terlalu kuat terfokus pada pembuatan pilihan di antara perangkat-perangkat peraturan dan pranata yang berbeda: pluralisme dilihat sebagai suatu perangkat pilihan-pilihan akan kegiatan instrumenial. Menurut F. Benda - Beckmann (1990: 17) pengkajian pembuatan pilihan, dan teori-teori yang berkembang mengenai hal itu ( Nader, Todd, Black, Griffiths) biasanya cenderung ke arah suatu • interaksionisme strategik " (Edgerton ) yang berfokus pada " bebas, tanpa hukum yang terpilih " sebagai variabel memperhitungkan hukum n lain • sebagai suatu variabel penjelas yang menjelaskan pilihan-pilihan itu. Dalam pengkajian-pengkajian mengenai lembaga dan pranata pribumi yang digunakan secara berbeda-beda dalam penyelesaian sengketa, peraturan-peraturan ( adat, agama dan negara ) mengenai pilihan-pilihan yang n tepat " N011Wr 4 Tahun XXII
Kesejahteraan Sosial
387
,oleh karenanya diabaikan ( F. Benda-Beckmann 1985). Untuk pluralisme hukum yang" ada " dalam konteks inter aksi, cukuplan jika orang-orang yang berinteraksi, atau bahkan satu dari orang-orang yang berinteraksi itu, "mengetahui " mengenai pluralisme hukum, betapapun rinci dan membingungkannya pengetahuan tersebut ( F. Benda - Beckmann 1979). Konteks interak si itu selalu dibentuk oleh keseluruhan dari apa yang diketahui orang mengenai pluralisme hukum. Terhadap kompleksitas dan tota litas pluralisme hukum sebagai konteks interaksi kita harus melihat cara memilih dan kekhususan-kekhususan peristiwa dan interaksi. Unsur-unsur hukum yang digunakan orang dalam interaksi untuk merasionalisasi dan membenarkan perilaku mereka, perangkat-perangkat yang dibuat secara sah yang digunakan dalam perilaku mereka, "self-regulation" yang mereka kembangkan, dan konstelasi konkrit dari pluralisme hukum yang mereka buat melalui pilihan-pilihan dan penggunaan-penggunaannya, di pihak lain, akan selalu dilakukan secara selektif, meskipun akan mengandung unsur-unsur dari peraturan-peraturan hukum yang berbeda-beda. Hal ini sangat berbeda .dengan " kehadiran " hukum dan pluralisme hukum dalam interaksi itu (F. Benda- Beckmann, 1990 : .l7 )
Secara metodologis, di dalam bidang kajian antropologi hukum, masalah kesejahteraan sosial mempunyai relevansinya. Dalam rangka hendak digalinya pranata-pranata yang dihayati sebagai hukum ( konsepsi kognitip dan konsepsi normatip, F. Benda- Beckmann, 1986: 96) oleh kelompok orang, atau kelompok masyarakat; maka kasus-kasus sengketa (Hoebel 1983: 29 ), maupun kasus-kasus di luar penyelesaian sengketa ( Holleman, 1986: 116) dapat memberi penjelasan apa yang dianggap sebagai pranata hukum itu. Selanjutnya dapat ditelusuri bagaimanakah pranata hukum itu bekerja dalam prakteknya. Kemudian melalui kasus-kasus yang diperoleh di lapangan dapat dijembatani jurang antara pranata hukum sebagai sesuatu yang ideal di satu pihak, dan keadaan yang senya,tanya berlaku, yang tercermin dalam perilaku sosial di pihak lain; dengan cara Agustus 1992
388
Hukum dan Pembangunan
mengkaji berbagai aspek di luar hukum yang mempengaruhi hukum, seperti aspek agama, sosial, ekonomi,dan politik. Kasus - kasus mengenai masalah kesejahteraan sosial diangkat untuk dapat memberikan pemahaman dan penjelasan yang nantinya dapat menggambarkan hukum dalam konteks gejala atau proses sosial dalam pandangan antropologi hukum itu. Penjelasan mengenai masalah itu akan diungkap secara dalam dengan mencari kaitannya dalam konteks yang lebih luas ( sosial, ekonomi, politik ) supaya dapat memberikan gambaran yang utuh. Kasus - kasus tersebut seyogyanya digali berdasarkan problem oritented (situational analysis, van Velzen 1967: 129 - 149), yang unit analisanya terus bergulir dalam rangka mencari pemahaman yang seluas-luasnya mengenai pokok permasalahan yang hendak dikaji (extended case method, Gluckman, 1961). Dalam hal ini suatu kasus mengenai konflik · atau hal yang tidak lazim terjadi dalam kenyataan sosial, ditempatkan sebagai variasi, keunikan yang mewarnai proses sosial, tidak sebagai penyimpangan atau . kekecualian (Van Velzen, 1967: 136 - 137 ).
c. Kesejahteraan Sosial yang kontekstual. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa karena kesejahteraan sosial yang sifatnya kontekstual itu, maka ia juga dapat bersifat pluralistik. Oleh karena itu disamping terdapat pluralisme hukum, terdapat pula pluralisme kesejahteraan sosial. Namun untuk kepentingan analitik, membuat pemisahan antara kesejahteraan sosial yang dibuat oleh negara, agama, ikatan-ikatan adatl tradisionall lokal, dan ikatan-ikatan lain, dapat mengakibatkan salah pengertian. Meskipun dalam hal ini negara mengkhususkan untuk memberikan kesejahteraan sosial pada golongan-golongan sosial tertentu, begitu pula lembaga agama memberikannya pada golongan-golongan tertentu, ikatan adat juga demikian, dan seterusnya. Karena seperti yang telah dijelaskan terdahulu, dalam Nomor 4 Tahun XXII
Kesejahteraan Sosial
389
situasi Indonesia, setiap orang dapat teCJanng dalam berbagaibagai mekanisme kesejahteraan sosial pada waktu yang sarna. Each oC these systems contains ideas about need and distress and defines the conditions under which certain categories oC people are to receive or to give support. Each establishes its own institutions, or assigns a social serutiy role to existing institusions. But the ways in which the actu.aI relationship and practices oC social security combine elements Crom these regulatory sistems varies considerably (F dan K Benda-Beckmann, 1991:5)
Oleh karena itu kurang dirasa perlu untuk memikirkan variasi gejala yang relevan untuk dibuatkan defmisinya mengenai kesejahteraan sosial itu. Hal yang lebih perlu adalah bagaimana mengidentifikasikan keseluruhan kompleks pranata, hubungan, interaksi dan inter hubungan dalam organisasi sosial, dan apa artinya ketika sistem-sistem itu beroperasi secara bersarnaan dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam masalah kesejahteraan sosial terdapat dilema - dilema yang paling mendasar yang harus dihadapi oleh negara - negara, yaitu pertama, dilema antara pembangunan (pertumbuhan ) dan keadilan sosial. Kedua, adalah dilema antara ekonomi memahami kesejahteraan sebagai investasi sosial atau sebagai bagian dari labor cost. Ketiga, adalah dilema dalam rangka perluasan kesejahteraan sosial yang bagilimana yang dapat mengatasi kemiskinan dan menyumbangkan untuk dapat mengurangi kemiskinan. (Seminar Report 1991 : 9). Mengenai dilema yang pertama, terdapat keadaan di mana penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah saling berketergantungan dengan kegiatan ekonomi, yang sebaliknya ekonomi juga dipengaruhi oleh situasi globalisasi. Rencana untuk memperluas kesejahteraan sosial yang tergantung pada pertumbuhan ekonomi sebaliknya dapat terpengaruh jika negara gagal untuk mencapai pertumbuhan rata - rata seperti yang diharapkan, atau jika negara menderita ~nflasi yang tinggi. Kenaikan permintaan kesejahteraan sosial di semua negara
Agustus 1992
390
Hukum dan Pembangunan
disebabkan oleh dua alasan, yaitu naiknya jumlah penduduk dan naiknya harapan hidup. Mengenai dilema yang kedua, muncul pertanyaan apakah pengeluaran untuk kesejahteraan sosial dipandang oleh masyarakat sebagai investasi atau konsumsi. Dalam beberapa kasus di negara - negara berkembang, lebih banyak uang dikumpulkan sebagai kapital, untuk kegiatan - kegiatan mengatasi pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja (melalui industrialisasi), daripada untuk memperluas kesejahteraan sosial. Dalam rangka menjawab dilema yang ketiga, yaitu kesejahteraan sosial yang bagaimana yang dapat mengatasi dan mengurangi kemiskinan, mensyaratkan adanya social commitment dan poltical will, bila upaya perluasan dan pembaharuan kesejahteraan sosial memang dikehendaki. Permasalahan yang utama dalam hal ini adalah sistem - sistem kesejahteraan sosial yang ada sekarang dirancang oleh para administrator yang tidak mengerti situasi, perspektif dan perasaan apa yang dibutuhkan oleh kaum miskin. Untuk keadaan Indonesia, hal ini dapat ditunjukkan oleh praktek - prektek kesejahteraan sosial dalam arti sempit (jaminan sosial ), yang meskipun sudah ada peraturan peraturan dan undang- undangnya tetapi mengalami banyak kesulitan dalam pelaksanaannya. Lihat saja pemogokan-pemogokan buruh yang kebanyakan penyebabnya adalah menuntut "kesejahteraan" yang layak (Kompas, 7 Juli 1992). Selanjutnya mengenai mekanisme kesejahteraan sosial dalam arti luas, bagaimanakah program-program pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat bekerja dalam praktelcnya. Sebagaimana diketahui program -program ini banyak sekali macam dan jumlahnya, karena hampir setiap departemen memiliki program kesejahteraan, yang pada umumnya diturunkan kepada pemerintahan desa dan lembaga-lembaga desa sebagai pelaksana. Namun upaya - upaya ini tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan. Dalam pada itu mekanisme kesejahteraan sosial yang diselenggarakan oleh ikatan -ikatan kekerabatan, ' lokal, agama, adat, dan ikatan sosial lainnya dalam praktelcnya
Nomor 4 Tahun XXII
Kesejahteraan Sosial
391
narnpaknya lebih bisa memberi jaminan kepada mereka, khususnya yang tidak terlindung dalam sistem jaminan sosial.
DAFI'AR PUSTAKA Benda-Beckmann, F 1979 PROPERTY IN SOCIAL CONTINUITY . : Continuity and Change in the Maintenance of Property Relationships through Time in Minangkabau, West Sumatera. Disertasi. The Hague : Martinus Nihoff 1986 Anthropology and comparative law dalam K.Benda-Beckmann dan F . Stribosch, ANTHROPOOGY OF AW IN THE NETHERANDS . Dordrecht : Foris Publications. 1986 1989 The Law of Primitive Man to the SOcio-Legal Study of Complex Societies, Antropologi Indonesia no. 471 XIII
1990 CHANGING LEGAL PLURALISM IN INDONESIA, VI th International Symposium Commission on Folk Law and Legal Pluralism, Ottawa Berida-Beckmann, F dan K 1991 RURAL POPULATIONS, SOCIAL SECURITY AND LEGAL PLURALISM IN THE CENTRAL MOLUCCAS OF EASTERN INDONESIA. Gluckman, M 1961 Ethnographic Data in British Social Anthroplogy, The Sociological Review, N.S. vo1.9 no. I Griffiths, 1986 WHAT IS LEGAL Pluralism 24
PLURALISM,
Journal
of Legal
Agustus 1992
392
Hukum dan Pembangunan
Hoebel, EA & LLlewellyn, KN 1983 THE CHEYENNE WAY, Conflict and Case Law in University Primitive jurisprudence. of Oklahoma Press.Cetakan ke 8 Holleman, JF 1986 Trouble-cases and trouble-less cases in the study of customary law and legal reform dalam K. Benda-Beckmann dan F. Stribosch, ANTHROPOLOGY OF LAW IN THE NEfHERLANDS. Dordrecht : Foris Publications. Kompas, 1992 Dari Sarasehan Perburuhan : 'Seberapa Cepat Mau Keluar dari. Lembah AirMata ", "Hukum Perburuhan Dianggap Obat Tanpa Mengetahui Penyakitnya" ,7 Juli Moore, S.F 1983 Law as Process: An Anthropological Approach. London Routledge & Kegan Paul. Edisi paper back.
Seminar Report 1991 NEW APPROACHES TO SOCIAL SECURITY IN SOUTH AND SOUTHEAST ASIA. Chiang Mai Thailland, GTZ - GMBH van Velzen 1967 The Extended Case Method and Situational Anaysis dalam A.L .Epstein , The Craft os Social Anthropology. London
***
Nonwr 4 Tahun XXII