Topik Utama KEBERLANJUTAN SUBSIDI ATAU ENERGI ? Widodo W. Purwanto Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
[email protected]
SARI Gonjang-ganjing kebijakan subsidi BBMsudah banyak dibahas oleh para pakar, pengamat, pemerintah, dan masyarakat luas, serta oleh ahli energi tanpa pendidikan energi, sehingga mungkin kita "bosan" mendengarnya. Disini penulis ingin menyampaikan perspektif ilmiah jangka panjang,"keberlanjutan", dan analisis komparatif untuk menjawab apakah kebijakan energi terutama subsidi energi yang diambil pemerintah ingin menyelesaikan akar masalah energi nasional atau hanya menyembuhkan sementara. Kata kunci : energi terbarukan, fosil, generasi penerus, keberlanjutan, subsidi energi
1. APA ITU SUBSIDI ENERGI? Subsidi energi didefinisikan sebagai tindakan pemerintah yang bertujuan menurunkan biaya produksi energi, atau mengurangi biaya yang dibayar oleh konsumen energi. Subsidi energi ada dua jenis, yaitu subsidi yang dirancang untuk mengurangi biaya konsumsi energi, yang disebut sebagai subsidi konsumen, dan subsidi yang bertujuan mendukung produksi energi domestik, atau subsidi produsen (IEA, 2010). Alasan utama subsidi energi karena subsidi dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional melalui biaya energi yang murah dan mengurangi kemiskinan dengan cara memperbesar akses energi dan manfaat sosial, terutama masyarakat berpendapatan rendah dan perdesaan. Namun demikian ada resiko yang terkait dengan subsidi energi. Dalam kondisi harga energi murah dapat menyebabkan pemborosan penggunaan energi atau tidak peduli akan penghematan dan manfaat subsidi lebih banyak dinikmati masyarakat golongan mampu karena merekalah pengguna energi utama.
10
2. SEBERAPA BESARKAH SUBSIDI ENERGI? Studi dari IEA pada 2008 memperlihatkan bahwa subsidi fosil dari 20 negara non-OECD mencapai US$310 miliar. Sebagian besar subsidi dikeluarkan dengan cara menurunkan harga untuk pengguna bahan bakar minyai (BBM), gas bumi, batubara, dan listrik (Gambar 1). Iran, Arab Saudi, dan Rusia merupakan tiga negara subsidi terbesar dengan subsidi lebih dari US$38 miliar per tahun bahkan Iran mencapai US$80 miliar per tahun. Cina, India, Venezuela, dan Mesir lebih dari US$20 miliar per tahun. Sementara Uni Emirat Arab, Indonesia, Ukraina, dan Irak termasuk negara yang dengan subsidi besar, lebih dari U$10 miliar per tahun. IEA memprakirakan akan terjadi peningkatan mencapai US$660 miliar di tahun 2020 atau sekitar 0,7% GDP dunia, jika tanpa reformasi kebijakan subsidi. Tahun 2011, subsidi energi Indonesia telah mencapai Rp137 triliun atau sekitar US$15 miliar sekitar lebih dari 2% GDP. Besarnya subsidi tersebut setara dengan total pengeluaran untuk pertahanan, pendidikan, kesehatan dan sosial (Tabel 1, ISSD, 2011).
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama
Gambar 2. Subsidi energi di beberapa negara (IEA, 2008) Tabel 1. Pengeluaran dan subsidi tahun 2005 sampai 2011 (dalam triyun Rp)
Pengeluaran Total Seluruh Subsidi Subsidi Energi - Subsidi Bahan Bakar - Subsidi Listrik Pengeluaran Modal (Penanaman Modal) Pertahanan Pendidikan Kesehatan Jaminan Sosial
2005 LKPP 361 121 105 96 9 33
2006 LKPP 440 108 95 64 31 55
2007 LKPP 505 150 117 84 33 64
2008 LKPP 693 275 223 139 84 73
2009 LKPP 629 138 95 45 50 76
2010 APBN-P 782 201 144 89 55 95
22 29 6 2
24 45 12 2
31 51 16 3
9 55 14 3
13 85 16 3
21 97 20 4
2011 RAPBN 824 185 134 93 41 122 45 82 13 4
APBN 837 188 137 96 41 136 47 92 14 5
Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2010)
Keberlanjutan Subsidi atau Energi? ; Widodo W. Purwanto
11
Topik Utama 3. PERBANDINGAN HARGA BBM Gambar 2 (a) dan Gambar 2(b) memperlihatkan seberapa murah harga BBM (bensin dan solar) di Indonesia dibandingkan dengan negara lain (GTZ, 2011). Untuk harga minyak mentah US$80/ barel, Gambar 2 (b) Harga solar subsidi sangat murah 51 cent$/liter (Rp 4.500/liter), Indonesia termasuk negara dengan Category 1 dimana harga BBM lebih rendah dari harga minyak mentah. Pada Gambar 2 (a) untuk harga bensin 79 cent $/liter merupakan harga Pertamax, untuk harga bensin subsidi sama dengan harga solar yaitu Rp. 4.500 per liter (51 cent$/liter). Negara Category 1 umumnya adalah negara yang kaya akan minyak seperti Arab Saudi, Iran, Venezuela, Qatar, dan Libya dengan penduduk yang jauh lebih sedikit dari Indonesia. Jadi Indonesia
merupakan satu-satunya negara Category 1 dengan jumlah penduduk paling besar yaitu 240 juta jiwa, dan cadangan minyak terbukti per kapita hanya 1/560 cadangan terbukti Arab Saudi. 4. SUBSIDI DAN DAMPAK The International Institute for Sustainable Development (IISD), dalam laporannya "Untold Billions: Fossil-fuel subsidies, their impacts and the path to reform", 2010. Subsidi energi akan mendistorsi harga, tidak mencerminkan biaya yang sesungguhnya dari pasokan energi dan kemudian mempengaruhi kebijakan alokasi sumber daya, produksi, dan konsumsi. Dari sisi ekonomi dampak subsidi energi yang berasal dari fosil (subsidi fosil) akan meningkatkan
Gambar 2 (a). Perbandingan harga bensin dunia (GTZ, 2011)
12
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama
Gambar 2 (b). Perbandingan harga solar dunia (GTZ, 2011) konsumsi energi dan mengurangi insentif bagi upaya energi efisiensi dan konservasi, mengerogoti anggaran pemerintah, mengurangi anggaran untuk infrastruktur, dan investasi energi alternatif/terbarukan. Dengan adanya disparitas harga energi, subsidi akan mendorong terjadinya penyelundupan dan korupsi. Dari sisi sosial subsidi fosil lebih banyak dinikmati masyarakat kaya dibanding golongan kurang mampu karena orang kaya punya akses yang energi lebih dan membelanjakan uang untuk kebutuhan energi lebih banyak. Selain itu subsidi juga dapat mengurangi ketersediaan energi bagi masyarakat kurang mampu karena dalam lingkungan harga energi murah, produsen enggan untuk memproduksi dan memasok lebih, dan energi yang diproduksi sebagian besar akan dikonsumsi oleh orang kaya juga. Subsidi juga membelokkan penggunaan anggaran
pemerintah yang seharusnya untuk programprogram sosial seperti kesehatan, pendidikan, makanan dan program bantuan langsung lainnya. Data IEA menunjukkan bahwa hanya 8% subsidi fosil dunia yang sampai ke masyarakat miskin, 20% dari populasi dunia. Fakta ini memperlihatkan bahwa adanya ketidakefisienan subsidi energi karena sebagian besar subsidi tersebut lebih banyak dinikmati oleh msyarakat golongan mampu karena memiliki akses energi yang lebih besar dibanding masyarakat kurang mampu. Senada dengan laporan IEA, hasil sejumlah penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar manfaat subsidi dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi. Karena subsidi BBM tidak membedakan golongan konsumen energi, maka kalangan yang paling
Keberlanjutan Subsidi atau Energi? ; Widodo W. Purwanto
13
Topik Utama banyak menggunakan bahan bakarlah yang paling banyak mendapatkan manfaat dari subsidi tersebut. Konsumen energi terbesar adalah masyarakat golongan atas dan masyarakat di daerah perkotaan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2009 dan Bank Dunia (2011) menunjukkan bahwa masyarakat dan pengguna kendaraan pribadi terhitung sepertiga dari total penerima manfaat subsidi BBM Dua pertiga sisanya tersalur ke penggunaan transportasi komersil, seperti bis dan bisnis (IISD, 2011). 5. POPULIST PARADOX Kebijakan subsidi populis biasanya dilakukan oleh negara-negara yang kaya akan minyak karena opportunity cost tidak begitu terlihat dalam anggaran negaranya, banyak masyarakat tak menyadari besarnya biaya subsidi karena minyak bumi adalah sumber daya domestik. Tujuan utama kebijakan ini adalah mengatasi bahaya ketidaksatabilan politik dan mereka percaya bahwa satu cara untuk mengurangi bahaya tersebut adalah dengan memberikan pelayanan utilitas publik (BBM dan listrik) dengan harga yang murah. Begitu cara ini ditempuh berikutnya akan sulit untuk dihentikan. Indonesia dan beberapa negara lain pengekspor minyak pada tahun 1970-an memanfaatkan pendapatan windfalls dari ekspor minyaknya untuk mendukung pasokan BBM dengan harga murah (IISD, 2009). Pada awalnya tidak ada masalah, namun seiring dengan produksi minyak Indonesia yang semakin menurun hingga menjadi net oil importer, maka semakin menyulitkan anggaran pemerintah. Kondisi inilah yang saat ini sedang kita hadapi. Dengan pemahaman publik tentang energi yang masih minim serta partai politik yang hanya melihat permasalahan energi dalam konteks saat ini tanpa melihat jangka panjang, dan ketidak jelasan kebijakan reformasi subsidi energi, maka apabila kita tanya apakah keberlanjutan subsidi atau energi, maka jawabannya adalah keberlanjutan subsidi.
14
6. PEMBATASAN VERSUS KENAIKAN HARGA Dengan kondisi masyarakat saat ini, di mana budaya antri saja sulit ditemui dan perilaku kita berkendara di jalan raya yang semakin tanpa aturan, adalah sangat sulit untuk melakukan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Adanya disparitas harga yang tinggi untuk BBM tentunya akan menyebabkan banyak penyelewengan dan pengawasannya tentu sangat mahal. Menaikkan harga BBM secara bertahap merupakan alternatif yang lebih logis, walaupun harus disiapkan kebijakan secara lebih matang terutama pengelolaan dampak sosial dari kenaikan harga tersebut. 7. FUEL SWITCHING (BBM KE BBG DAN BBN) Konversi minyak ke gas bumi telah berhasil dilakukan untuk minyak tanah ke LPG, terutama untuk sektor rumah tangga. Namun demikian untuk sektor transportasi permasalahannya lebih kompleks, karena volume energinya lebih banyak dan masalah infrastruktur transmisi dan distribusi gas bumi, selain bahan bakar mobilnya sendiri berbeda, yaitu berbasis energi cair, BBM. Di samping itu harga gas bumi harus rasional (minimum 50-60% harga BBM tiap nilai kalorinya), sehingga produsen gas enggan memasuki bisnis ini. Masalah infrastruktur gas bumi harus ada intervensi yang nyata dari pemerintah dalam pengembangannya. Kebijakan ini harus dimulai dengan angkutan umum terlebih dulu kemudian ke kendaraan pribadi. Sayangnya angkutan umum kita kebanyakan dikelola oleh swasta. Dari sisi pengguna, sektor manufaktur otomotif juga harus mendukung program ini. Terjadi paradoks dalam pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia; di satu sisi ingin mengembangkan BBN, tetapi di sisi lain BBM masih disubsidi. Kenaikan harga BBM subsidi merupakan syarat mutlak agar BBN dapat berkompetisi, dan perlunya pengalihan subsidi
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama BBM ke subsidi BBN. Pengembangan BBN melibatkan lebih banyak pihak (multi-actor policy) dibanding BBM, sehingga koordinasi antarpihak yang terlibat perlu ditangani lebih serius. Dengan kondisi saat ini, struktur industri biodiesel yang terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit dan kilang CPO yang masih bisa "hidup" karena sebagian produknya diekspor dan nilai tambah produk samping. 8. PASOKAN ENERGI Kita hidup di dunia yang sumber dayanya, terutama fosil, terbatas dengan pertumbuhan populasi yang semakin meningkat. Indonesia sendiri diperkirakan memiliki cadangan minyak bumi terbukti sekitar 4 miliar barel; jika kita bagi dengan jumlah penduduk Indonesia, maka cadangan minyak terbukti per kapita tidak lebih dari 16,6 barel per kapita atau sekitar 2.656 liter per kapita, atau sekitar 66 kali mengisi premium full tank. Bandingkan dengan Arab Saudi 9.297 barel per kapita (560x), Kuwait 38.645 barel per kapita (2.328x), Qatar 32.629 barel per kapita (1965x), dan Malaysia 155 barel per kapita (9,3x). Jika ditambah dengan cadangan gas terbukti dan batubara terbukti, maka total cadangan fosil terbukti tidak lebih dari 213 setara barel per kapita. Selain itu kita masih dikaruniai potensi non-conventional fossil, seperti CBM, shale gas, dan NGH, serta potensi besar energi terbarukan, seperti geothermal, surya, dan biofuels. Terkait dengan keamanan pasokan BBM kita rentan dan ketergantungan pada impor semakin besar. Hal ini diperparah dengan laju pengurasan minyak bumi di Indonesia lebih besar dan laju penemuan cadangan baru sangat minim. Oleh sebab itu, mau tidak mau harus ada alternatif pasokan selain minyak bumi, yaitu gas bumi, batubara, dan energi terbarukan. Untuk itu perlu dibarengi dengan penyediaan infrastruktur karena berbeda dengan infrastruktur minyak bumi. 9. PERMINTAAN ENERGI Kebutuan BBM Indonesia mencapai sekitar 40 juta kL per tahun atau 167 liter per kapita per
tahun dan listrik 508 kWh per kapita per tahun. Untuk kebutuhan listrik kita bisa bandingkan dengan negara tetangga, misalnya Singapura 8.053 kWh per kapita (16x), Malaysia 3.725 kWh per kapita (7x), dan Cina 2.585 kWh per kapita (5x). Dilihat dari data tersebut kebutuhan energi per kapita Indonesia masih relatif kecil, artinya, untuk menjadi negara yang makmur masih perlu pasokan yang lebih besar lagi. Berdasarkan Human Development Index, untuk mencapai negara sejahtera, maka minimum kebutuhan listrik per kapita per tahun sekitar 4.000 kWh. Bisa dibayangkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sekitar di atas 6% dibutuhkan pasokan energi yang sangat besar pula (lebih dari 5x dalam kurun waktu 20 tahun ke depan). Dari sisi permintaan, bukan masalah penghematan energi, akan tetapi masalah pasokan dan akses energi. Ketidakefisienan penggunaan energi di Indonesia dibanding negara lain terutama bila dikaitkan dengan produktivitas atau yang sering dikenal dengan intensitas energi (Gambar 3), yaitu rasio kebutuhan energi tiap fungsi produksi (boe/US$). Hasil beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa intensitas energi sektor industri lebih tinggi dibanding intensitas energi nasional. Hal ini menunjukkan adanya ketidakefisienan terutama di sektor produktif/industri. 10. KEBERLANJUTAN ENERGI Dalam kontek filosofis "keberlanjutan", kita bisa mulai dengan pertanyaan, apakah kita bangga sebagai bangsa besar yang dalam aktifitas keseharian kebutuhan energinya masih mengandalkan subsidi?. Jawabnya tentunya tidak. Dari sisi jenis energi, energi fosil merupakan energi yang sudah komersial dan energi baru dan terbarukan masih dalam tahap pengembangan menuju komersial, mana yang lebih berhak untuk disubsidi? Semestinya energi baru dan terbarukan. Apakah generasi saat ini mempunyai hak untuk menggunakan minyak bumi sebesar-besarnya tanpa memperdulikan kebutuhan energi generasi ke depan? Jawabannya tentunya tidak.
Keberlanjutan Subsidi atau Energi? ; Widodo W. Purwanto
15
Topik Utama
Gambar 3. Komparasi intensitas energi (WEC, 2010) Dengan situasi keenergian Indonesia tersebut di atas, apakah keberlanjutan energi ke depan terjamin?. Jawabnya adalah tidak jika pemenuhan kebutuhan energi masih sangat tergantung pada energi fosil, terutama minyak bumi, masih membudayanya subsidi energi terutama BBM dan listrik, dan kemampuan inovasi energi masih terbatas. <Sustainable energy is "a living harmony between the equitable availability of energy services to all people and the preservation of the earth for future generations", Tester, MIT> Untuk mencapai tujuan keberlanjutan energi adalah tidak mudah dikarenakan bersifat multidimensi, baik sosial, ekonomi, lingkungan, teknologi dan politik, tidak bisa hanya dengan satu tahap untuk mencapainya, tetapi perlu melalui beberapa tahapan terutama transformasi institusi-institusi, pelaku bisnis dan individu-individu. Sebagai bagian dari masyarakat dunia dengan keterbatasan sumber energi fosil, kita harus berperan dalam mengubah sistem pengelolaan energi melalui perubahan perilaku,gaya hidup selain pilihan-pilihan
16
teknologi energi bersih dan terbarukan sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi dengan cara yang lebih berkelanjutan. Walaupun dengan kompleksitas permasalahan energi yang tinggi, dalam tataran praktis kita harus menggunakan prinsip-prinsip energi yang sederhana dalam memprioritaskan penyelesaian berdasarkan tingkat keberlanjutan yaitu hirarki energi (Gambar 4) yang terdiri atas tahapan utama, di sisi supplai kita masih mengandalkan fosil dan teknologi rendah karbon dan energi terbarukan untuk menggantikan fosil. Sedangkan di sisi permintaan kita harus menggunakan teknologi hemat energi dan upaya konservasi dengan merubah perilaku masayarakat untuk mengurangi permintaan. Kita harus merubah pola pikir dari kebijakan yang selama ini berorientasi supply side menjadi bersifat demand side dan dari un-sustainable menjadi sustainable. 11. LANGKAH SELANJUTNYA Beberapa langkah penting untuk mencapai keberlanjutan energi, bukan keberlanjutan subsidi, adalah:
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama
Gambar 4. Tingkat keberlanjutan energi
–
Menghapus subsidi energi secara bertahap dan terencana serta perencanaan pengelolaan dampak sosialnya.
–
Melakukan pendidikan publik tentang energi dan keterbatasan energi fosil, terutama minyak dan keterbukaan perhitungan biaya subsidi energi yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Dengan pemahaman yang baik tentang energi diharapkan masyarakat bangga kalau bisa membeli energi tanpa subsidi.
–
Mengubah paradigma energi fosil tidak lagi sebagai sumber devisa negara yang utama sehingga energi fosil, terutama minyak dan gas bumi, lebih diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik agar rantai nilai migas dapat dimaksimalkan untuk kemakmuran bangsa.
–
Mengalihkan subsidi energi untuk mendukung anggaran program-program sosial, kesehatan, pendidikan dan riset energi, serta infrastruktur energi
–
Perlunya lembaga riset kebijakan energi nasional independen yang dapat dijjadikan
sebagai rujukan tentang informasi energi dan analisis kebijakan yang andal, sehingga masyarakat tidak hanya menerima edukasi energi dari media massa.
–
Perlu adanya keberanian generasi sekarang menghadapi resiko membeli energi komersial dengan harga keekonomian tanpa harus mewariskan resiko tersebut ke generasi berikutnya tetapi membekali generasi kedepan dengan kemampuan menghadapi perubahan dalam menjamin keberlanjutan energinya.
12. DAFTAR PUSTAKA IISD www.iisd.org IEA www.iea.org GTZ www.gtz.de/fuelprices WEC www.worldenergy.org Bahan kuliah sustainable energy
Keberlanjutan Subsidi atau Energi? ; Widodo W. Purwanto
17