Nanti Musita
Kajian Kandungan dan Karakteristiknya …
KAJIAN KANDUNGAN DAN KARAKTERISTIKNYA PATI RESISTEN DARI BERBAGAI VARIETAS PISANG STUDY OF CONTENT AND CHARACTERISTIC RESISTANT STARCH FROM SOME BANANA TYPE Nanti Musita Balai Riset dan Standardisasi Industri Bandar Lampung e-mail :
[email protected] Diajukan: 20 Februari 2012; Disetujui: 8 Juni 2012
Abstrak Produksi pisang Indonesia saat ini mencapai 50 % dari total produksi Asia, dan juga mempunyai berbagai jenis pisang. Pisang adalah sumber serat pangan yang sangat potensial menjaga kesehatan, dan pati resisten termasuk kelompok serat pangan. Penelitian ini menggunakan 11 jenis pisang yaitu pisang ambon, batu, janten, kapas, kepok kuning, kepok menado, muli, nangka, raja bulu, raja sereh, dan tanduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Rendemen pati dan kadar pati resisten pisang ambon (8,58%; 29,37%), batu (0,87%; 39,35%), janten (3,95%; 26,17%), kapas (5,08%; 26,55%), kepok kuning (22,01%; 27,70%), kepok manado (12,24%; 27,21%), muli (6,62%; 26,42%), nangka (3,12%; 26,28%), raja bulu (24,12%; 30,66%), raja sereh (2,32%; 25,63%), dan tanduk (2,07%; 29,60%), (2) Daya serap air dan daya kembang pisang ambon (1,44 ml/g; 2,53 g/g), batu (0,80 ml/g; 1,76 g/g), kepok kuning (1,49 ml/g; 2,58 g/g), raja bulu (0,89 ml/g; 2,11 g/g), dan tanduk (1,32 ml/g; 2,23 g/g), dan termasuk pati resisten tipe 2 (RS type II), (3) Pisang raja bulu mempunyai kandungan dan karakteristik pati resisten yang lebih baik dibandingkan pisang kepok kuning, ambon, tanduk, dan batu. Kata kunci : kajian dan karakteristik, pati resisten, pisang Abstract Production of banana in the Indonesia at this time reach 50 % from totally production in Asia and also having various banana type. Banana represent the source of very potential dietary fibre to keep in good health and resistant starch is included in group of dietary fibre. This research is used to 11 banana types, they are banana of ambon, batu, janten, kapas, kepok manado, kepok kuning, muli, nangka, raja bulu, raja sereh, and tanduk. Result of research indicate that (1) Starch rendemen and resistant starch banana of ambon (8,58%; 29,37%), batu (0,87%; 39,35%), janten (3,95%; 26,17%), kapas (5,08%; 26,55%), kepok kuning (22,01 %; 27,70%), kepok manado (12,24%; 27,21%), muli (6,62%; 26,42%), nangka (3,12%; 26,28%), raja bulu (24,12%; 30,66%), raja sereh (2,32%; 25,63%), and tanduk (2,07%; 29,60%), (2) Water absorpsion and swelling power banana of ambon (1,44 ml/g;2,53 g/g), batu (0,80 ml/g; 1,76 g/g), kepok kuning (1,49 ml/g; 2,58 g/g), raja bulu (0,89 ml/g; 2,11 g/g), and tanduk (1,32 ml/g; 2,23 g/g, and represent the resistant starch type 2 (RS Type II), (3) Banana of raja bulu has content and characteristic resistant starch better than banana of kepok kuning, ambon, tanduk, and batu. Keywords : content and characteristic, resistant starch, banana PENDAHULUAN
yang
Buah pisang adalah bahan pangan bergizi, sumber karbohidrat,
vitamin, dan mineral. Komponen karbohidrat terbesar pada buah pisang adalah pati pada daging buahnya, dan akan diubah menjadi sukrosa, glukosa
57
Jurnal Dinamika Penelitian Industri Vol. 23 No. 1 Tahun 2012
dan fruktosa pada saat pisang matang (15-20%) (Bello et al., 2005). Ada empat jenis pisang yaitu pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak, pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak, pisang yang diambil seratnya, dan pisang berbiji. Berdasarkan cara komsumsinya buah pisang dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu golongan banana (dikomsumsi langsung) seperti pisang ambon, pisang raja, pisang muli, dan lain-lain, dan plaintain (dikomsumsi setelah dimasak terlebih dahulu), seperti pisang kepok, pisang tanduk, pisang janten. Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini mengharapkan pangan dapat berfungsi sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran. Bila dimungkinkan, pangan harus dapat mencegah, menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu. Kenyataan tersebut menuntut bahan pangan tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan dasar tubuh yaitu bergizi dan lezat, tetapi juga dapat bersifat fungsional. Bahan pangan dapat dikatakan bersifat fungsional jika mengandung komponen (baik nutrisi maupun non nutrisi) yang bermanfaat terhadap fungsi-fungsi organ di dalam tubuh relevan untuk menjaga kesehatan atau mempunyai efek fisiologis yang menguntungkan (Roberfroid, 2000). Dahulu diyakini bahwa pati yang kita komsumsi dapat tercerna secara sempurna di dalam usus halus. Pemahaman tersebut berubah setelah banyak peneliti mengungkapkan dan menemukan bahwa adanya pati dalam usus besar. Fraksi pati yang sampai di usus besar dikenal sebagai pati resisten (resistant starch). Pati resisten (resistant starch) didefinisikan sebagai sejumlah pati dari hasil degradasi pati yang tidak dapat diserap oleh usus halus manusia dan dikelompokkan ke dalam serat pangan (dietary fiber) (AACC, 2001). Kenyataan menunjukkan bahwa daya tahan pati terhadap serangan enzim alfa amilase berbeda-beda. Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa beberapa jenis pati mengalami retrogradasi selama penyimpanan setelah tergelatinisasi
58
Hal. 57–65
(Jayakody et al., 2005). Hal ini menunjukkan bahwa pati-pati tersebut mengandung bagian yang tidak dapat tergelatinisasi dengan baik dan diduga bahwa bagian ini merupakan pati resisten. Keberadaan pati resisten dalam bahan makanan dapat meningkatkan efek fisiologis dari makanan tersebut. Salah satu sifat fisiologis dari pati resisten adalah kemampuannya untuk dapat difermentasi oleh bakteri-bakteri usus yang menguntungkan (Johnson and Southgate, 1994). Di dalam usus kecil pati resisten tidak diserap sehingga tetap utuh sampai di dalam usus dan akan difermentasi oleh bakteri-bakteri menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli, sehingga pati resisten juga berpotensi sebagai prebiotik (Haralampu, 2000). Menurut Gibson and Roberfroid (1995), prebiotik didefinisikan sebagai bahan makanan yang tidak dapat dicerna yang mampu berfungsi sebagai substrat bagi pertumbuhan atau penyeleksian sejumlah bakteri yang menguntungkan yang tumbuh dalam usus manusia. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji mengenai kandungan dan sifat pati resisten (resistant starch) dari berbagai jenis pisang. Hasil yang akan diapat dari penelitian ini diharapkan berguna untuk meningkatkan pemanfaatan buah pisang khususnya sebagai sumber pangan fungsional. BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah 11 jenis pisang yaitu Pisang Ambon (Musa paradisiaca var Sapientum), Pisang Batu (Musa brachycarpa Harper), Pisang Janten (Musa eumusa AAB Group), Pisang Kapas (Musa corniculata), Pisang Kepok Kuning (Musa normalis L.), Pisang Kepok Menado (Musa normalis L.), Pisang Muli (Musa AAA Group), Pisang Nangka (Musa paradisiaca forme typica L.), Pisang Raja Bulu (Musa sapientum var Paradisiaca baker), Pisang Raja Sereh (Musa sapientum var
Nanti Musita
Kajian Kandungan dan Karakteristiknya …
Paradisiaca), dan Pisang Tanduk (Musa corniculata rumph). Pisang tersebut sudah tua tetapi belum matang penuh dengan warna masih hijau dan tekstur keras, yang diperoleh dari beberapa tempat di Bandar Lampung. Bahan kimia yang digunakan antara lain pepsin, enzim alfa amilase (merk NOVO) dan enzim amiloglukosidase (merk NOVO), dan bahan kimia lain. B. Peralatan Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik (merk Mettler Rj 2000), penangas air (merk GLF), pH meter (merk Hanna), shaker incubator (merk Polyscience Dual Action Shaker), vortex mixer, magnetic stirer (merk IKA Mag), sentrifius, autoclave (merk. Sturdy), colony counter (merk Erma), Ion Chromatography (merk ICS 1000) dan lainnya. C. Metode Penelitian Penelitian berupa faktor tunggal yang terdiri dari 11 jenis pisang dengan tiga ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat. Data kemudian dianalisis lebih lanjut dengan beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5 % dan 1 %. D. Pelaksanaan Penelitian Ekstraksi pati pisang Pisang yang telah tua tapi masih keras dikupas, direndam dalam air selama 5 menit, dipotong tipis-tipis dan dihancurkan dengan blender menjadi bubur buah dengan menambahkan air perbandingan 1:1 (b/v), kemudian disaring dengan kain saring untuk memisahkan pati dan ampas, ke dalam ampas ditambahkan kembali air dengan perbandingan 1 : 1 (b/v) sambil diremasremas untuk mengeluarkan pati yang masih tersisa, lalu disaring kembali. Proses penyaringan dilakukan berulangulang tergantung banyak tidaknya pati sampai hasil saringan tampak jernih. Hasil saringan didiamkan sekitar 12 jam agar mengendap. Setelah mengendap bagian yang jernih dibuang. Endapannya dikeringkan dalam oven
bersuhu 40 oC selama 12 jam dan merupakan pati pisang. Pembuatan pati resisten Pembuatan pati resisten pisang menggunakan metode Goni et al. (1996). Sebanyak 100 mg sampel (pati kering) dimasukkan ke dalam tabung sentrifius. Lalu ditambahkan 10 ml KCl-HCl buffer pH 1,5 pengaturan pH dilakukan dengan menambah HCl (2 M) atau NaOH (0,5 M). Kemudian ditambahkan 2 ml larutan pepsin (1 g pepsin/10 ml buffer KCl-HCl). Campuran dimasukkan ke dalam water bath suhu 40oC selama 60 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Setelah pH diatur menjadi 6,9 dengan menambah NaOH (0,5 M) lalu ditambah 1 ml larutan enzim alfa amilase. Campuran diinkubasi selama 16 jam pada water bath suhu 37 oC dengan pengadukan konstan. Campuran disentrifuse selama 15 menit (3000 rpm) lalu supernatan yang diperoleh dibuang. Sedangkan residu ditambahkan dengan 10 ml air destilat, lalu disentrifuse kembali (15 menit, 3000 rpm). Residu yang tersisa sebagai pati resisten lalu dikeringkan dan untuk dianalisa kadar dan karakteristik pati resisten. E. Pengamatan Pengamatan terhadap 11 jenis pisang berupa kadar pati dan kadar pati resisten. Kemudian dipilih 5 jenis pisang berdasarkan kadar pati resisten tertinggi dan diamati kapasitas pembentukan gel (gelation capacity), daya serap air dan daya kembang menggunakan metode Rosario and Flores (1981). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen Pati dan Kadar Pati Resisten Hasil analisis ragam menunjukan jenis pisang berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen pati dan kadar pati resisten pisang. Selanjutnya pada uji lanjutan dengan BNT pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rendemen pati dan pati resisten dari 11 jenis pisang yang dipergunakan pada penelitian ini (Gambar 1). Keadaan ini disebabkan
59
Jurnal Dinamika Penelitian Industri Vol. 23 No. 1 Tahun 2012
perbedaan varietas pisang tersebut. Pisang batu mempunyai rendemen pati paling kecil (0,87%) tetapi pati resistennya paling tinggi (39,35%) dibandingkan jenis pisang yang lain. Pisang raja bulu memiliki rendemen pati (24,12%) paling tinggi dan pati resisten juga tinggi (30,66%). Tingkat resistensi pati dari 11 jenis pisang terhadap serangan enzim alfa amilase dan amiloglukosidase berbeda-beda dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kandungan amilosa dan amilopektin, struktur fisik, derajat gelatinisasi (Goni et al., 1996). 45 39.35
40
Kadar (%, b/b)
35 30
30.66
29.37 26.17
27.70
26.55
27.21
26.42
26.28 24.12
25
29.60 25.63
22.01
20 15
12.24
10 8.58
6.62 3.95
5 0
dd
0.87
Ambon
Rendemen Pati
5.08
ii
gg
f f
Batu
Janten
Kapas
bb
cc
ee
Kepok Kepok Muli Kuning Manado
Kadar Pati Resisten
3.12 gh gh
Nangka
2.32
2.07
a a
h h
Raja Bulu
Raja Tanduk Sereh
h
h
Jenis Pisang
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5%
Hal. 57–65
Chen, 1992). Hidrolisis oleh enzim alfa amilase lebih banyak terjadi pada bagian amorf. Unit kristalin lebih tahan terhadap perlakuan enzim dibandingkan unit amorf karena pada unit kristalin ikatan antar molekul sangat kuat sehingga sukar dihidrolisis oleh enzim (Franco et al., 1986). Unit kristal dipengaruhi oleh amilopektin, semakin banyak kandungan amilopektin maka unit-unit kristal semakin banyak (Hoover, 2001). Ukuran granula pati juga berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pati. Pati dengan ukuran granula kecil akan lebih mudah dihidrolisis oleh enzim dibandingkan pati yang memiliki ukuran granula besar (Jane and Chen, 1992). Granula pati pisang mempunyai ukuran rata-rata 39 μm. Pada difraksi sinar X menunjukkan pola campuran antara tipe polymorphs A dan B, juga mendekati tipe C. Rasio absorbansi (1045/1022 cm 1) yang terukur dengan spektroskopi infrared adalah 1.12, menunjukkan bahwa komponen kristalin lebih besar dari pada daerah amorphs (Bello et al., 2005). Hasil scanning elekron memperlihatkan granula pati pisang berukuran sangat besar (20-50 μm) (Gambar 2) (González-Soto et al., 2006), dengan keadaan tersebut pati pisang lebih tahan terhadap enzim pencernaan.
Gambar 1. Rendemen pati dan kadar pati resisten dari berbagai jenis pisang
Komposisi kimia pati yaitu kadar amilopektin sangat berpengaruh pada kandungan pati resisten. Semakin tinggi kandungan amilopektin maka pati akan semakin sulit (resisten) untuk dicerna. Menurut Winarno (2008) laju hidrolisis oleh enzim alfa amilase akan lebih cepat pada rantai lurus (amilosa) dibandingkan pada rantai yang bercabang (amilopektin). Struktur fisik pati berpengaruh terhadap tingkat resistensi pati terhadap enzim pencernaan. Zat pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Granula-granula ini bervariasi bentuk dan ukurannya tergantung sumber patinya. Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Jane and
60
Gambar 2. Scanning Electron Mikrographs pati pisang González-Soto et al., 2006)
Menurut American Association of Cereal Chemist (AACC) (2001), pati resisten merupakan total pati dan pati dari hasil degradasi pati yang tidak dapat diserap oleh usus halus manusia dan lolos ke dalam usus besar (kolon), dan dikatagori ke dalam serat pangan (dietary fiber). Adanya kandungan pati resisten pada pati pisang ambon, batu,
Nanti Musita
Kajian Kandungan dan Karakteristiknya …
janten, kapas, kapok kuning, kepok manado, muli, nangka, raja bulu, raja sereh, dan janten menunjukkan kesebelas jenis pisang tersebut berpotensi sebagai sumber serat pangan (dietary fiber) dan diharapkan dapat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Data pengamatan kadar pati resisten pisang sebelumnya menjadi dasar untuk pengamatan parameter lain yaitu parameter kemampuan membentuk gel, daya serap air dan daya kembang. Dari 11 jenis pisang dalam penelitian ini hanya diambil 5 jenis pisang yang memiliki rendemen pati resisten tertinggi, yaitu pisang batu (39,35%), raja bulu (30,66%), tanduk (29,60%), ambon (29,37%), dan kepok kuning (27,70%). B. Karakteristik Pati 1. Kemampuan membentuk gel (Gel Capacity) Tabel 1 memperlihatkan bahwa pati resisten pisang ambon, batu, kepok kuning, raja bulu, dan tanduk tidak dapat membentuk gel pada konsentrasi 8%, sedangkan pada konsentrasi yang sama, pati pisang tersebut sedikit membentuk gel. Hal ini menunjukkan bahwa pati resisten kelima jenis pisang tersebut tergolong dalam pati resisten tipe 2 (RS type II) yang bersifat tidak tergelatinisasi (ungelatinized starch) (Haralampu, 2000). Tabel 1. Kemampuan pembentukan gel pada pati dan pati resisten pisang Jenis Pisang 1 (*) (*) (*) (*) (*)
Pati Pisang 2 (*) (*) (*) (*) (*)
Pisang Ambon Pisang Batu Pisang Kepok Kuning Pisang Raja Bulu Pisang Tanduk Keterangan: ( * ) = sedikit membentuk gel pada konsentrasi 8% ( − ) = tidak terbentuk gel pada konsentrasi 8%
3 (*) (*) (*) (*) (*)
Tabel 1. Kemampuan pembentukan gel pada pati dan pati resisten pisang (lanjutan) Jenis Pisang 1 (−) (−) (−) (−) (−)
\Pati Resisten 2 (−) (−) (−) (−) (−)
3 Pisang Ambon (−) Pisang Batu (−) Pisang Kepok Kuning (−) Pisang Raja Bulu (−) Pisang Tanduk (−) Keterangan: ( * ) = sedikit membentuk gel pada konsentrasi 8% ( − ) = tidak terbentuk gel pada konsentrasi 8%
Zat pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Pati yang pada umumnya apabila dilarutkan dalam air (larutan sekitar 8-12%) dan dipanaskan akan mengalami suatu proses yang disebut gelatinisasi yang akan meningkatkan disintegrasi granula sehingga molekul-molekul pati akan lebih mudah dicerna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pati resisten yang telah diisolasi dari pati pisang setelah dilarutkan dengan air (konsentrasi larutan 8%) dan dipanaskan sampai mendidih tidak mengalami pembentukan gel tetapi bersifat kental. Sifat kental pati resisten sebagaimana serat pangan larut air (soluble fiber) itu dapat menghambat pencernaan dan absorbsi karbohidrat di dalam usus halus. Bentuknya yang kental akan menyebabkan peningkatan ketebalan lapisan antara makanan dan permukaan brush-border di dalam usus halus sehingga mencegah absorbsi zat gizi, termasuk glukosa sehingga nilai glisemik indeksnya menjadi rendah (Marsono, 1998). Kemampuan pati membentuk gel dapat dipengaruhi oleh komposisi kimia pati itu sendiri seperti perbandingan antara kandungan amilosa dan amilopektin dan juga ukuran granula pati (Tester, 1997). Pati dengan ukuran granula kecil akan lebih mudah mengalami proses gelatinisasi. Selain itu perbandingan antara bagian amorf dan bagian kristalin juga mempengaruhi gelatinisasi. Semakin tinggi bagian amorf maka pati akan semakin mudah mengalami proses gelatinisasi karena bagian amorf dapat menyerap air lebih banyak sehingga granula pati akan membengkak dan membentuk gel. Pada bagian amorf kandungan amilosa lebih banyak dibandingkan kandungan amilopektinnya (Jane and Chen, 1992). Hasil pembacaan dengan teknik spektroskopi infra merah menunjukkan bahwa pati pisang mempunyai komponen kristalin lebih besar dari pada daerah amorphs (Bello, et al., 2005) dan ini sejalan dengan hasil penelitian Von Loesecke (1950) yang menunjukkan proporsi amilosa 20,5% dan amilopektin 79,5% pada buah pisang segar. Pati resisten pisang ambon, batu, kepok
61
Jurnal Dinamika Penelitian Industri Vol. 23 No. 1 Tahun 2012
2. Daya serap air dan daya kembang Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pisang berpengaruh sangat nyata terhadap daya serap air dan daya kembang pati resisten pisang. Selanjutnya dari hasil uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5 % menunjukkan bahwa daya serap air pati resisten pisang ambon, kapok kuning dan tanduk tidak berbeda nyata, pisang batu tidak berbeda nyata dengan pisang raja bulu. Pengamatan terhadap daya serap air pati resisten dari beberapa jenis pisang disajikan pada Gambar 3.
Daya Serap Air (ml/g)
1,60
1,49
1,44
2,58
2,53
2,50 2,11
2,00
2,23
1,76
1,50 1,00
ab
a e
c cd
0,50 0,00
Ambon
Batu
Kepok Kuning
Raja Bulu
Tanduk
Jenis Pisang
Keterangan :
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5%
Gambar 4. Daya kembang pati resisten dari berbagai jenis pisang
1,20 1,00
0,89 0,80
0,80
ab
a de
0,40
bc d
0,20 0,00 Ambon
Batu
Kepok Kuning
Raja Bulu
Tanduk
Jenis Pisang
Keterangan :
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5%
Gambar 3. Daya serap air pati resisten dari berbagai jenis pisang
62
3,00
1,32
1,40
0,60
Gambar 3 memperlihatkan bahwa pati resisten kepok kuning memiliki daya serap air (1,49 ml/g) paling tinggi dibandingkan pati resisten pisang jenis lain tetapi tidak berbeda dengan daya serap air pati resisten pisang ambon (1,44 ml/g). Sedangkan pisang batu memiliki daya serap air paling rendah (0,80 ml/g) tetapi tidak berbeda dengan daya serap air pati resisten pisang raja bulu (0,89 ml/g). Hasil uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5 % menunjukkan bahwa daya kembang pati resisten pisang ambon dan kepok kuning tidak berbeda nyata, juga antara pisang raja bulu dan tanduk, namun berbeda nyata dengan pisang batu. Pengamatan terhadap daya serap air dan daya kembang pati resisten dari beberapa jenis pisang disajikan pada Gambar 4.
Daya Kembang (g/g)
kuning, raja bulu, dan tanduk diduga memiliki bagian kristalin yang tinggi dan kandungan amilopektin yang banyak sehingga sulit membentuk gel. Hasil penelitian González-Soto et al. (2006) menunjukan suhu gelatinisasi pati pisang lebih tinggi dibandingkan pati jagung dan pati mangga, yaiu 76,3 ±0,06oC dan entalpinya 11,8 ± 0,64 J/g, dari penelitian Bello et al. (2005) adalah 77,6 dan entalpinya 23.4J/g. Menurut Lii and Chang (1991), suhu gelatinisasi pati pisang relatif tinggi dibandingkan dengan pati umbi-umbian, diduga disebabkan adanya kandungan posfor yang relatif tinggi (0,05-0,07 mg/g), posfor tersebut diduga teresterfikasi dengan granula pati sehingga memperkuat struktur granula pati.
Hal. 57–65
Gambar 4 memperlihatkan adanya perbedaan daya kembang pada kelima jenis pisang. Keadaan tersebut disebabkan oleh perbedaan kandungan pati resistennya yang selanjutnya berpengaruh terhadap daya serap air. Pati resisten pisang kepok kuning memiliki daya kembang paling tinggi (2,58 g/g) dibandingkan pati resisten pisang lain, tetapi tidak berbeda dengan pisang ambon (2,53 g/g). Untuk pati resisten pisang batu memiliki daya kembang paling rendah yaitu 1,76 g/g.
Nanti Musita
Kajian Kandungan dan Karakteristiknya …
Menurut González-Soto et al. (2006), pati mangga dan pisang ekstrudat mempunyai persentase pengembangan yang kecil dibandingkan pati jagung ekstrudat. Ukuran granula dan perbandingan amilosa dan amilopektin mempunyai peranan penting dalam hal ini. Dalam uji kelarutan (%), pati jagung menunjukkan kenaikan kelarutan dengan bertambahnya kecepatan putaran. Ukuran granula pisang yang sangat besar (20-50 μm) berpengaruh terhadap kelarutan dan pengembangannya, sehingga semakin kecil rasio antara permukaan volume yang berarti memperkecil kemungkinan kontak, konsekwensinya adalah rendahnya daya kembang dan kelarutannya (Thomas and Atwell, 1999). 3. Rekapitulasi Pengamatan Hasil Tabel 2. Rekapitulasi pengamatan hasil Jenis Pisang
Rendemen pati (%)
Ambon Batu Janten Kapas Kepok Kuning Kepok Manado Muli Nangka Raja Bulu Raja Sereh Tanduk
8,58 0,87 3,95 5,08 22,01 12,24 6,62 3,12 24,12 2,32 2,07
Pati resisten (%) 29,37 39,35 26,17 26,55 27,70 27,21 26,42 26,28 30,66 25,63 29,60
Daya Daya serap air Kembang (ml/g) (g/g) 1.44 2.53 0.80 1.76 1.49 2.58 0.89 2.11 1.32 2.23
Pisang ambon merupakan produk utama pisang, yang dimanfaatkan baik dalam keadaan mentah, maupun masak, atau diolah menjadi produk lain, bahkan di Indonesia umum memberikan makanan pertama bagi bayi dengan pisang ambon matang. Pisang kepok kuning memiliki karakteristik yang hampir meyerupai pisang raja bulu walau sedikit lebih rendah dalam hal rendemen pati dan kadar pati resistennya. Namun pisang ini mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki pisang lain, yaitu warna dan teksturnya lebih baik. Warna tepung pisang cenderung putih dan patinya putih cerah, dengan tekstur tepung lembut. Selain itu pisang jenis ini banyak ditanam masyarakat sehingga cukup tersedia di pasaran, sehingga pisang kepok baik jika dibuat menjadi tepung dan dipergunakan sebagai bahan baku alternatif atau substitusi tepung pada aneka produk makanan. Selain dijadikan tepung, pati resisten pada kesebelas jenis pisang tersebut dapat diekstrak kemudian dijadikan tepung pati resisten. Produk ini mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi dan dapat disubsitusikan pada makanan bayi, susu formula ataupun produk diet. KESIMPULAN DAN SARAN
Diantara kesebelas jenis pisang terlihat pisang raja bulu yang mempunyai rendemen patinya paling tinggi (24,12 %), dan kadar pati resistennya juga tinggi (30,66 %) (Tabel 2). Keadaan tersebut secara ekonomis menguntungkan karena tepung pati resisten yang akan diperoleh cukup besar. Pisang batu merupakan pisang yang memiliki rendemen pati paling kecil (0,87 %) tetapi kadar pati resistennya paling tinggi (39,35 %) (Tabel 2). Keadaan tersebut secara ekonomis tidak menguntungkan karena tepung pati resisten yang akan diperoleh sangat kecil. Tetapi jika dilihat dari segi kesehatan, pisang batu sangat baik karena mengandung pati resisten yang tinggi sehingga memiliki nilai Glycemic Index yang rendah.
A. Kesimpulan 1. Rendemen pati dan kadar pati resisten pisang ambon (8,58%; 29,37%), batu (0,87%; 39,35%), janten (3,95%; 26,17%), kapas (5,08%; 26,55%), kepok kuning (22,01%; 27,70%), kepok manado (12,24%; 27,21%), muli (6,62%; 26,42%), nangka (3,12%; 26,28%), raja bulu (24,12%; 30,66%), raja sereh (2,32%; 25,63%), dan tanduk (2,07%; 29,60%) 2. Daya serap air dan daya kembang pisang ambon (1,44 ml/g; 2,53 g/g), batu (0,80 ml/g; 1,76 g/g), kepok kuning (1,49 ml/g; 2,58 g/g), raja bulu (0,89 ml/g; 2,11 g/g), dan merupakan pati resisten tipe 2 (RS type II) karena bersifat tidak dapat tergelatinisasi secara sempurna.
63
Jurnal Dinamika Penelitian Industri Vol. 23 No. 1 Tahun 2012
3. Pisang raja bulu mempunyai kandungan dan karakteristik pati resisten yang lebih baik dibandingkan pisang kepok kuning, ambon, tanduk, dan batu. B. Saran Pisang ambon, batu, janten, kapas, kepok kuning, kepok menado, muli, nangka, raja bulu, raja sereh, tanduk mengandung pati resisten yang cukup tinggi dengan daya serap air dan daya kembang yang cukup baik sehingga dapat diolah menjadi tepung pisang ataupun tepung pati resisten dan dipergunakan sebagai bahan baku alternatif atau substitusi tepung pada aneka produk makanan, susu, dan makanan bayi. DAFTAR PUSTAKA American Association of Cereal Chemist (AACC). (2001). The Definition of Dietary Fiber . Cereal Foods. World. Bello-Pérez, L.A. A. De Francisco, E. Agama-Acevedo, F. GutierrezMeraz, and F.J.L.García-Suarez. (2005). Morphological and Molecular Studies of Banana Starch. SAGE Publications, DOI: 10: 1177. Franco, C.M.L., S.J. Preto, C.F. Ciacco, and D.O. Travares. (1986). Studies on The Susceptibility of Granular Cassava and Corn Starches to Enzymatic Attack. Prt 2. Study of The Granular Structure of Starch. J. Starch 40: 29-32. Gibson, G.R. and M.B. Roberfroid. (1995). Dietary Modulation of Human Clonic Microbiota: Introduction The Concept of Prebiotic. J. Nutr. 125: 1401-1412. Goni, L., L. Gracia-Diz,mas.d” and F. Saura-Calixto. 1996. Analysis of Resistant Starch : Method of Food Product. J. Food Chem. 56 (4): 445-449. González-Soto, R.A., L.SánchezHernández, J. Solorza-Feria, C. Núñez-Santiago, E. FloresHuicochea1 and L.A.Bello-Pérez. (2006). Resistant Starch
64
Hal. 57–65
Production from Non-conventional Starch Sources by Extrusion. J. Food Sci. Tech. Int SAGE Publications 12 (1): 5–11 Haralampu, S.G. (2000). Resistant Starch-A Review of The Physical Properties and Biological Impact of RS. J. Carbohydr. Polym. 41 : 285292. Hoover, R. (2001). Composition, Molecular Structure and Physicochemical Properties of Tuber and Root Starches : A Review. J. Carbohydr. Polym. 45 : 253-267. Lii, Cheng-Yi and Chang, Yung-Ho. (1991). Study of Starch in Taiwan. Food Reviews International, Marcel Dekker, Inc., New York. 7 (2): 192193. Jane, J.L. and J.F. Chen. (1992). Effect of Amylose Molecular Size and Amylopectin Branch Chain Length on Paste Properties of Starch. J. Cereal Chem. 69: 60-65. Jayakody, L., R. Hoover, Q.Liu, and W.Weber. (2005). Studies on Tuber and Root Starch. Structure and Physicochemical Properties of Innala Starch Grown in Sri Lanka. Food Research International. Pp.125. Johnson, L.T. and D.A.R. Soutgate. (1994). Dietary Fiber and Related Substrate. Chapman and Hall London. Marsono, Y. (1998). Perubahan Kadar Resistant Starch (RS) dan Komposisi Kimia Beberapa Pangan Kaya karbohidrat dalam Pengolahan. J. Agritech 19 (3): 124-127. Roberfroid, M.B. (2000). Concept and Strategy of Food Science. The Europan Perspective. Am. J. Cli. Nutr. (71)6: 1660-1664. Rosario, R. del and D.M. Flores. (1981). Functional Properties of Mung Bean Flour. J. Sci. Food Agriculture 32: 175-180. Tester, R.F. 1997. Starch: The Polysaccharide Frections In P.J. Frazier, P. Richmond and A.M. Donald. Starch, Structure and
Nanti Musita
Kajian Kandungan dan Karakteristiknya …
Functionally. Royal Society of Chemistry. Pp: 163-171. Thomas D.J. and Atwell W.A. (1999). Starches: Practical Guides for the Food Industry. St. Paul, MN: Eagan. Press Handbook Series AACC. Von Loesecke. (1950). Banana Chemistry, Physiology and Technology. Vol. I Interscience Publisher Ld. London dalam Pengaruh Pengolahan terhadap Pati Resisten Pisang Kepok dan Pisang Tanduk, Marsono, Y. J. 22 (2): 56-59. Winarno, F.G. (1983). Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
65