Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 2 – Tahun 2011, Hlm. 53- 71 PENGENDALIAN RISIKO TUNNELINGPADA TRANSAKSI MERGER & AKUISISI DAN MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE: BUKTI EMPIRIS DI ASIA Ratna Candra Sari1 Abdullah Taman2 Abstrak Di Indonesia, konglomerasi mendominasi perekonomian nasional sekaligus memberikan kontribusi besar dalam krisis ekonomi nasional. Beberapa bentuk konglomerasi di Indonesia antara lain Salim Group, Bakrie Group, Sinar Mas, Gudang Garam, Lippo dsb. Perusahaan dengan karakteristik kelompok bisnis konglomerat menyebabkan timbulnya risiko ekspropriasi sebagai akibat pengaruh kuat dari pemegang saham pengendali yang merugikan pemegang saham minoritas dan pihak eksternal lain. Salah satu bentuk eksproriasi terhadap pemegang saham minoritas adalah tunneling. Tunneling adalah transfer aset dan keuntungan keluar dari perusahaan untuk kepentingan pemegang saham mayoritas (Johnson, 2000). Dalam konteks cross border merger dan akuisisi, tunneling mempunyai dampak berpindahnya asset dan corporate control ke negara lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: pertama, apakah mekanisme corporate governance mampu mengendalikan risiko tunneling. Kedua, untuk menguji apakah karakteristik level negara lebih efektif dibanding karakteristik level perusahaan dalam mempengaruhi praktik corporate governance. Penelitian ini dilakukan dengan memetakan value destroyed deal dan value added deal dalam konteks merger dan akuisisi berdasarkan nilai wajar transaksi dan kinerja keuangan& non keuangan setelah merger dan akuisisi. Untuk menguji pengaruh mekanisme corporate governance pada pengendalian risiko tunneling, maka penelitian ini melakukan penilaian implementasi corporate governance pada perusahaan target dan perusahaan pengakusisi pada value destroyed dan value added deal. Penelitian ini berguna untuk: pertama, melindungi asset negara dari risiko tunneling. Dalam konteks cross border merger dan akuisisi, tunneling dapat menyebabkan berpindahnya asset dan corporate control ke negara lain. Kedua, meningkatkan perekonomian dan iklim investasi yang kondusif dengan memberikan perlindungan bagi investor minoritas/publik; ketiga, memberikan pemahaman pada pemegang saham public atau minoritas tentang adanya risiko ekspropriasi oleh pemegang saham mayoritas (konglomerasi) dalam bentuk tunneling. Keempat, mengusulkan model corporate governance yang dapat meningkatkan perlindungan pada pemegang saham minoritas/public. Kelima: memberikan rekomendasi pada regulator mengenai mekanisme perlindungan pada investor minoritas dan public. Keenam, memahami pentingnya implikasi karakteristik level negara dalam menjelaskan praktik corporate governance. Hasil penelitian ini memiliki implikasi dalam kebijakan publikdan model corporate governance berkaitan dengan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas (publik) dari risiko tunneling yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas (konglomerasi). Sehingga hasil penelitian ini akan layak untuk dipublikasikan dalam berbagai jurnal dan diseminarkan dalam forum nasional dan internasional. 1 LATAR BELAKANG 1 2
Dosen Jurusan Pendidikan Akuntansi – Universitas Negeri Yogyakarta Dosen Jurusan Pendidikan Akuntansi – Universitas Negeri Yogyakarta
53
Sejalan dengan deregulasi sektor keuangan dan globalisasi pasar modal, praktik akuisisi digunakan perusahaan publik untuk mempercepat pertumbuhan melalui ekspansi. Ekspansi bisnis yang terus menerus akan menimbulkan konglomerasi. Di Indonesia, konglomerat mendominasi perekonomian nasional sekaligus memberikan kontribusi besar dalam krisis ekonomi nasional. Beberapa konglomerat Indonesia antara lain Salim Group, Bakrie Group, Sinar Mas, Gudang Garam, Lippo dsb. Dinegara Jepang, bentuk konglomerasi dinamakan Keiretzu yaitu group perusahaanyang sangat terdiversifikasi bidang usahanya, misalnyaDai-Ichi, Kangyo, Hitachi,Mitshubishi, Mitsui, Nissan dan Sumitomo. Korea selatan memiliki group konglomerat yang dinamakan chaebol, antara lain Samsung, Hyundai, Daewo dan LG. Perusahaan dengan karakteristik kelompok bisnis konglomerat menyebabkan timbulnya risiko ekspropriasi sebagai akibat pengaruh kuat dari pemegang saham pengendali yang merugikan pemegang saham minoritas dan pihak eksternal lain. Salah satu bentuk eksproriasi terhadap pemegang saham minoritas adalah tunneling.Tunneling adalah transfer aset dan keuntungan keluar dari perusahaan untuk kepentingan pemegang saham mayoritas (Johnson, 2000). Akuisisi LG Merchant Bank oleh LG Securities, keduanya milik LG group, merupakan contoh tunneling. LG Merchant Bank merupakan money-loosing entity. Sebagai upaya memperbaiki kinerja LG Merchant Bank, maka LG Group mengumumkan bahwa LG Securities, perusahaan yang paling profitable dalam group, akan mengakuisisi LG Merchant Bank. Akuisisi tersebut merupakan value destroyed dealkarena menurunkan nilai perusahaan dan mengabaikan kepentingan pemegang saham minoritas.Overpayment pada perusahaan target (LG Merchant Bank) merupakan tunneling atau transfer aset dan keuntungan keluar dari perusahaan untuk kepentingan pemegang saham mayoritas (Grup LG). Merger dan akuisisi sebagai strategi bisnis telah dipahami dengan baik, namun mengapa perusahaan pengakuisisi melakukan transaksi M&A yang menurunkan nilai perusahaan, lebih lanjut, mengapa komisaris dan pemegang saham menyetujui transaksi tersebut. Beberapa penelitian M&A hanya berfokus pada salah satu sisi, perusahaan target atau perusahaan pengakuisisi saja. Graebner dan Eisenhardt (2004) menekankan bahwa pengabaian salah satu sisi akan menyebabkan pemahaman yang tidak menyeluruh dalam proses dan hasil M&A. Khususnya bagaimana karakteristik corporate governance pada kedua pihak berinteraksi dan berdampak pada hasil keseluruhan dari perusahaan yang berkombinasi. Gambar 1 berikut menunjukkan mapping implikasi corporate governance untuk merger dan akuisisi, integrasi dari perspektif target dan pengakuisisi.
Strong Corporate Acquiring Governance Firm Weak Corporate Governance
II. Disciplinary M&A
I. Synergistic M&A
III. Double-edge Agency Problem
IV. Managerial Hubris
Weak Corporate Governance
Strong Corporate Governance Target Firm
54
Gambar 1: implikasi corporate governance untuk merger dan akuisisi integrasi dari perspektif target dan akuisisi Value creation atau value destroyed di pengaruhi oleh interaksi mekanisme corporate governance perusahaan target dan perusahaan pengakuisisi. Heterogenitas kepentingan pemilik akan memperlemah monitoring oleh prinsipal sehingga kurang mengendalikan kecenderungan managerial untuk melakukan akusisi yang menurunkan nilai perusahaan. Dengan mengetahui pengaruh heterogenitas kepentingan pemilik dan bargaining power masing-masingpihak pada penciptaan nilai dalam transaksi merger dan akuisisi, maka dapat diketahui mengapa perusahaan melakukan value destroyed melalui merger dan akuisisi dan mengapa pemegang saham menyetujui transaksi yang menurunkan nilai perusahaan tersebut. Mekanisme corporate governance, baik mekanisme pada level perusahaan maupun pada level negara, diharapkan dapat mengurangi atau mencegah aktivitas tunneling. Hak untuk menuntut pemegang saham mayoritas, perlakuan yang sama pada pemegang saham minoritas, misalnya, akan membatasi keleluasaan pemegang saham mayoritas dan kemampuan untuk memindahkan asset perusahaan. Doidge, Karolyi dan Stulz (2007) menunjukkan bahwa meknisme pada level negara seperti legal protection untuk pemegang saham minoritas lebih penting dibanding mekanisme pada level perusahaan dalam menjelaskan corporate governance, terlebih pada negara-negara berkembang. 2 TUJUAN PENELITIAN Paper ini bertujuan untuk mengetahui: pertama, apakah mekanisme corporate governance, baik pada level negara dan level perusahaan, dapat mengendalikan risikotunneling. 3 KONTRIBUSI DAN KEBAHARUAN DALAM BIDANG PENELITIAN Penelitian ini berguna untuk: pertama, melindungi asset negara dari risiko tunneling. Dalam konteks cross border merger dan akuisisi, tunneling dapat menyebabkan berpindahnya asset dan corporate control ke negara lain. Kedua, meningkatkan perekonomian dan iklim investasi yang kondusif dengan memberikan perlindungan bagi investor minoritas/publik; ketiga, memberikan pemahaman pada pemegang saham public atau minoritas tentang adanya risiko ekspropriasi oleh pemegang saham mayoritas (konglomerasi) dalam bentuk tunneling. Keempat, mengusulkan model corporate governance yang dapat meningkatkan perlindungan pada pemegang saham minoritas/public. Kelima: memberikan rekomendasi pada regulator mengenai mekanisme perlindungan pada investor minoritas dan public. Keenam, memahami pentingnya implikasi karakteristik level negara dalam menjelaskan praktik corporate governance. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya mengenai tunneling: pertama, deteksi adanya tunneling dalam penelitian ini berbeda dengan Bertrand et al (2000), Facio dan Stolin (2006) dan Bae et al (2002). Bertrand et al (2000) menguji adanya tunneling dengan menguji bagaimana respon perusahaan pada shock eksternal dilihat dari ukuran akuntansi perusahaan. Facio dan Stolin (2006) menguji bagaimana reaksi pasar modal pada saat akuisisi. Sedangkan penelitian ini menguji tunneling pada transaksi merger dan akuisisi dengan mengukur deal value yang merugikan pemegang saham minoritas. Tunneling teridentifikasi ketika ada kecenderungan transfer asset melalui overpayment pada perusahaan target yang juga dimiliki sebagian oleh perusahaan pengakuisisi atau terdapat overlap owner. Kedua,penelitian sebelumnya mengabaikan karakteristik corporate governance pada kedua sisi,bidder dan target. Penelitian ini memasukkan mekanisme corporate governance pada kedua pihak karena keberhasilan dan kegagalan merger dan akusisi sangat dipengaruhi oleh bargaining power kedua pihak. 55
Bab III. STUDI PUSTAKA DAN PEMBENTUKAN HIPOTESIS 1 CORPORATE GOVERNANCE Untuk mengatasi masalah keagenan dan memastikan bahwa pemilik perusahaan bertindak sesuai kepentingan pemegang saham, maka mekanisme corporate governance di gunakan. Mekanisme corporate governance tidak hanya ditentukan pada karakteristik level perusahaan namun juga pada level negara. COUNTRY LEVEL:
FIRM LEVEL:
- legal environtment
- Investor protection; auditor quality, financial reporting quality
- investor protection
- structure of corporate governance; structure ownership, stucture of commisioner, and commitees
- capital market development - disclosure requirement litigation standard
corporate governance
2 TUNNELING Merger dan akuisisi dapat ditinjau dari 3 teori yaitu Teori Neoklasik (neoclassical theory) atau ’the good’, Teori Redistribusi (redistribution theory) atau ’the bad’ dan teori keprilakuan (behavioral theories) atau ’the ugly’. Tunneling
56
Paper 3 Teori Merger dan akuisisi
Teori Redistribusi (The Bad)
Teori Keprilakuan (The Ugly)
Teori Neoklasik (The Good)
The School of Overpayment
Redistribusi dari Pemegang Saham Minoritas
Hubris dan The Winner’s Curse
The School of Agency Problem
Keuntungan Pajak (Tax Gains)
Ketidaktepatan penilaian (misvaluation di pasar modal)
The School of CEO Hubris
Kekuatan Pasar
Masalah Keagenan
The School of Top Management Complementary
Redistribusi dari Pemegang Obligasi
Permasalahan Integrasi
The School of Experience & Knowledge
Redistribusi dari Tenaga Kerja
The School of Employee Distress
The School of Conflicting Culture
The School of ntegration Process
The ResourceBased View School
Menurut Teori Redistribusi (redistribution theory), aktivitas tunneling termasuk dalam the bad. Tunneling adalah transfer aset dan keuntungan keluar dari perusahaan untuk kepentingan pemegang saham mayoritas (Johnson, 2000). Bae et al. (2002) menguji apakah perusahaan milik kelompok bisnis Korea (chaebols) memperoleh keuntungan dari akuisisi. Apakah akuisisi digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan pemegang saham control dengan meningkatkan nilai perusahaan lain dalam satu group. Bae menguji value added view(menambah nilai pada anggota perusahaan mereka) dan tunneling view(kesempatan bagi pemegang saham kontrol untuk malakukan transfer sumber daya untuk keuntungan pemegang saham kontrol) dalam konteks merger dan akuisisi. Pandangan Value added memprediksi bahwa return chaebol bidder setelah pengumuman M&A akan lebih tinggi dibanding bidder yang lain. Pandangan value added berargumen bahwa chaebol bidder yang memiliki kinerja bagus sebelum merger mempunyai sumber daya yang lebih dan berperan penting dalam alokasi sumber daya internal antar anggota grup chaebol. Sehingga chaebol bidder diharapkan memiliki return lebih tinggi disbanding tipe bidder lain. Pandangan Tunneling memprediksi bahwa masalah keagenan antara owner-manager dan pemegang saham minoritas. Lemahnya mekanisme corporate governance menyebabkan owner manager kurang memperhatikan kepentingan pemilik minoritas dan memberi perhatian lebih pada kesejahteraannya. Sehingga tunneling view memprediksi bahwa return chaebol bidder akan lebih rendah setelah pengumuman M&A dibanding tipe bidder lain. Menurut pandangan tunneling, banyak sumber daya yang akan dialihkan dari chaebol bidder yang memiliki kinerja bagus sebelum merger, sehingga chaebol bidder akan memperoleh return negative. 57
Pada rescue merger, chaebol bidder yang mempunyai kinerja bagus sebelum merger mengakuisisi target yang distress dalam chaebol yang sama. Menurut pandangan value added,transaksi tersebut akan meningkatkan nilai baik chaebol bidder dan anggota perusahaan lain. Sedangkan tunneling view berargumen bahwa transaksi tersebut akan memfasilitasi transfer kesejahteraan dari bidder ke anggota perusahaan lain, at the expense pemegang saham lain. Mereka menemukan bahwa ketika chaebol-affiliated firms melakukan akuisisi, ratarata harga saham turun. Pemegang saham minoritas menderita kerugian akibat akuisisi tersebut karena penurunan nilai perusahaan, tetapi pemegang saham kontrol memperoleh keuntungan karena akuisisi meningkatkan nilai perusahaan lain dalam group yang sama. Penelitian ini mendukung hipotesis tunneling. Bertrand et al. (2002) menemukan bukti bahwa pemilik bisnis group melakukan ekspropriasi pemegang saham minoritas dengan tunneling sumberdaya dari perusahaan yang mana mereka memiliki hak cash flow rendah ke perusahaan yang mana mereka memiliki hak cash flow tinggi. Indian group melakukan tunneling dengan melakukan manipulasi komponen non operasi dari laba (seperti item non recurring). Tidak ditemukan bukti adanya tunneling dalam komponen laba operasi. Keuntungan dan kerugian non operasi digunakan untuk menutup menutup real profit shocks atau transfer cash dari perusahaan lain. Bertrand menemukan fenomena tunneling melalui komponen laba non operasional. Faccio dan Stolin (2006) menguji adanya transfer yang tidak terantisipasi dalam akuisisi perusahaan, menggunakan sample Eropa. Tunneling terjadi ketika terdapat sharing keuntungan yang tidak proporsional antar pemegang saham. Jika perusahaan A memiliki 50% perusahaan B, dan B mengalami peningkatan nilai perusahaan sebesar $100, maka seharusnya nilai perusahaan A meningkat $50 ($100x50%), peningkatan nilai perusahaan A diluar level tersebut mengindikasikan adanya tunneling. Facio dan Stolin memberikan ilustrasi untuk mengukur apakah bidder melakukan akuisisi yang lebih menguntungkan pemegang saham control atau pemegang saham secara keseluruhan: Gambar Struktur kepemilikan Piramida dan horizontal.
58
Family Z
O= 40%
CAR=0% V=$100
O= 30%
CAR=10% Company A
O= 25%
CAR=2,5% Company B
Company C
V=$200
V=$100
CAR=10%
O= 20%
O= 25%
V=$150 CAR=5% Company D
Company E
V=$200
O= 25%
CAR=10%
Company F
V=$400
Kepemilikan ultimate (family Z) memiliki control terhadap bidder sebesar 1,56% (25%x25%x25%). Sehingga perubahan kesejahteraan pemegang saham ultimate yang berasal dari bidder seharusnya 1,54% dari$40 atau $0,625.Tetapi perubahan kesejahteraan yang actual sebesar $10x0%x0,4 + $200x0,1x0,3 + $100x0,025x0,25 = $6,625, lebih tinggi dari yang seharusnya. Hal ini mengindikasikan adanya tunneling atau ekspropriasi. Ukuran tunneling yang digunakan: E = Σ N i=1 Oi x CARi x Vi – Ob x CARb x Vb Oi kepemilikan langsung oleh pemegang saham control pada perusahaan first layer dalam pyramid, CARi adalah cumulative abnormal retun pada perusahaan first layer dalam pyramid, Vi nilai sebelum pengumuman akuisisi pada perusahaan first layer dalam pyramid. Ob kepemilikan ultimate pemegang saham control pada perusahaan bidder, CARb adalah cumulative abnormal retun pada perusahaan bidder, Vb nilai sebelum pengumuman akuisisi pada perusahaan bidder. Dalam contoh diatas,besar tunneling: E = $10x0%x0,4 + $200x0,1x0,3 + $100x0,025x0,25 - $400x0,1x0,25x0,25x0,25 = $6 59
Bidder
Mereka menemukan bahwa kesejahteraan pemegang saham control tidak meningkat secara tidak proporsional relative terhadap investasi pemegang saham control pada bidder. Pada seluruh sample, perubahan nilai yang diimplikasikan dengan abnormal return perusahaan bidder (perubahan nilai tanpa ada ekspropriasi) secara rata-rata US$ 976.3, sedangkan perubahan actual kesejahteraan yang diperoleh oleh pemegang saham control perusahaan bidder adalah US$ -1.481,4. Hal ini tidak konsisten dengan fenomena ekspropriasi. 3.HIPOTESIS Pada umumnya dalam proses M&A akan menguntungkan perusahaan target. Tetapi jika keuntungan atau kerugian hanya dilihat dari satu sisi (perusahaan target saja atau perusahaan pengakuisisi)maka tidak akan memberikan informasi sesungguhnya mengenai pengaruh value creating atau destroying dari transaksi M&A. Menurut transfer of wealth hypothesis, pemegang saham perusahaan pengakuisisi mungkin menderita kerugian jika management lebih bayar perusahaan target. Karena pemegang saham perusahaan pengakuisisi juga merupakan pemilik perusahaan target, maka kerugian perusahaan pengakuisisi akan tertutup oleh keuntungan pada perusahaan target. Jika terdapat overlapping kepemilikan yang mempengaruhi transaksi M&A maka mereka akan mengambil posisi yang menjamin bahwa pengaruh keseluruhan dari transaksi tersebut akan menguntungkan mereka (Holland, 1998). Contoh berikut menunjukkan tunneling sebagai alat untuk transfer kesejahteraan dari perusahaan yang mana pemilik mayoritas memiliki cash flow right rendah ke perusahaan lain yang mana pemilik mayoritas memiliki cash flow right tinggi. Misalnya perusahaan B memiliki 35% (langsung 5% dan tidak langsung 30%) dan 16% cash flow right (5% memalui kepemilikan langsung dan 11% melalui kepemilikan tidak langsung) dan 100% hak control dan hak cash flow pada perusahaan target (K). Perusahaan B merupakan overlap owner karena mempunyai kepemilikan di perusahaan pengakuisisi dan target. Jika overlap investor (B) melalui kontrolnya pada bidder membayar lebih (overpay) pada perusahaan target, maka overlap owner akan memperoleh keuntungan 100% dari overpayment dengan hanya membayar 16% untuk keuntungan tersebut. Sehingga terjadi transfer kesejahteraan dari perusahaan pengakuisisi yang mana overlap owner memiliki hak cash flow rendah ke perusahaan target yang mana overlap owner memiliki hak cash flow yang tinggi. Hal ini menunjukkan ilustrasi yang jelas adanya tunneling melalui transfer kesejahteraan dari pemegang saham bidder pada overlap owner.
60
B O=30%
O=40%
PT.I
O=5%
PT.J
O=20% O=10%
Bidder H
O=100%
Target
Company K
Gambar 4 Ownership Structure: Overlap Owner Dalam konteks Merger dan Akuisisi, deal value merupakan signal dari ekspektasi perusahaan akuisisi dan perusahaan target mengenai aliran income yang akan datang dari perusahaan target (marks, 1982). Manajer akan memperoleh keuntungan personal ketika melakukan transaksi yang besar. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ukuran perusahaan merupakan prediktor utama dari kompensasi CEO (Gomez-Meija, 1994), sehingga dorongan untuk bertumbuh sangat beralasan dari perspektif manajer, tetapi pertumbuhan tersebut tidak selalu memberikan keuntungan bagi pemegang saham. Moeller et al (2004) menemukan bahwa pemegang saham memperoleh gain ketika mengakuisisi target yang lebih kecil tetapi menderita kerugian ketika mengakuisisi target yang besar. Tetapi jika prinsipal memiliki kepentingan yang heterogen mengenai suatu transaksi, akan berakibat pada lemahnya monitoring dan tekanan pada akuntabilitas manajemen menurun. Sehingga eksekutif akan melakukan transaksi yang besar, yang memberikan keuntungan personal pada manajemen melalui status, kompensasi dan perquisite. Sehingga agen akan cenderung untuk melakukan transaksi yang besar ketika terdapat perbedaan kepentingan pemilik dibanding ketika dihadapkan pada pemilik yang homogen. Overlap owner lebih menyukai total gain yang diperoleh dari transaksi dibanding bagaimana gain tersebut dialokasikan antara perusahaan target dan perusahaan pengakuisisi (Easterbrook and Fischel, 1982). Manajer perusahaan pengakuisisi dengan kepemilikan overlap yang besar akan lebih leluasa untuk overpay pada target. Meskipun kepentingan pemilik minoritas atau pemilik ‘solo’ terkorbankan karena overpayment tersebut. Overlapping owner dapat memperoleh keuntungan dari overpayment tersebut dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham target. Sehingga overlapping owner kurang kritis terhadap manajemen ketika manajemen melakukan overpay pada target atau melakukan transaksi value destroyed. Menurut hipotesis transfer of wealth, Overpayment pada target merupakan transfer kesejahteraan dari pemegang saham ‘solo’ pada overlap owner. Overpayment tersebut merupakan transfer asset untuk kepentingan pemegang saham mayoritas (konglomerasi) atau tunneling. 61
H1: deal value pada perusahaan target lebih tinggi dalam merger dengan overlapping ownership tinggi dibanding pada merger dengan overlapping rendah. Bidder dengan overlapping ownership tinggi akan overpay pada target. Konflik kepentingan principal – principal – agen menimbulkan masalah keagenan. Kepentingan principal yang heterogen menimbulkan konflik kepentingan principal- principal – agen, bukan konflik agen - principal maupun principal – principal. Heterogenitas kepentingan principal tersebut merupakan tantangan bagi mekanisme corporate governance saat ini. Perusahaan dengan corporate governance yang baik akan lebih baik dalam memutuskan transaksi merger. Misalnya,dengan adanya hak bagi pemilik saham minoritas, adanya proteksi terhadap pemilik saham minoritas dan mekanisme kontrol internal lain seperti adanya komisaris independen akan mengurangi konflik tersebut, sehingga membatasi dan melakukan control yang efektif pada tindakan-tindakan yang dilakukan manajemen atau pemilik mayoritas dalam melakukan value destroying deals. Karakteristik corporate governance pada kedua pihak berinteraksi dan berdampak pada hasil transaksi M&A. Gambar berikut menunjukkan mapping implikasi corporate governance untuk merger dan akuisisi, integrasi dari perspektif target dan pengakuisisi.
Strong Corporate Acquiring Governance Firm Weak Corporate Governance
II. Disciplinary M&A
I. Synergistic M&A
III. Double-edge Agency Problem
IV. Managerial Hubris
Weak Corporate Governance
Strong Corporate Governance Target Firm
Ketika mekanisme corporate governance perusahaan target dan pengakuisisi lemah, maka mekanisme control dan penyelarasan berbagai kepentingan menjadi berkurang, akibatnya insider dapat leluasa melakukan merger yang value destroyed. Sebaliknya, jika kedua sisi,target dan pengakusisi,mempunyai corporate governance yang baik maka aktivitas tunneling dapat dikendalikan. Sehingga kami menghipotesiskan, mekanisme corporate governance yang baik akan memperlemah aktivitas tunneling. Hipotesis 2: mekanisme corporate governance pada perusahaan pengakusisi dan perusahaan target memoderasi hubungan antara overlapp owner dan deal value. Semakin bagus corporate governance perusahaan pengakuisisi dan target akan mengurangi tunneling.
Bab III. METODE PENELITIAN SUMBER DATA Data merger dan akuisisi dari Zephyr database periode 2006-2007. Struktur kepemilikan dan laporan keuangan diperoleh dari Osiris database. PENGUJIAN HIPOTESIS Untuk menguji hipotesis 1 dan 2 digunakan persamaan berikut:
62
Deal = β1 + β2 TotOverlap + β3CG bidder + β4CG target + Β5TotOverlap x CG bidder +β6TotOverlap x CG target + β7control variables + ε
VARIABEL PENELITIAN DEPENDENT VARIABLE: 1. Deal value Deal value is payment from bidder for target company relative to firm value of target. We measure firm value with book value and market value of target firm preceding of the deal. Tingginya ration deal value/ market value menunjukkan overpayment pada target. INDEPENDENT VARIABLE: 1. Overlapping owner’s Total overlapping owner diukur dari persentase kepemilikan overlapping owner pada perusahaan pengakuisisi dan perusahaan target.
Jo int_ Overlap
TB * MVB TT * MVT MVB MVT
TB:
Persentase kepemilikan overlapping owner pada perusahaan pengakuisisi MVB market value perusahaan pengakuisisi TT Persentase kepemilikan overlapping owner pada perusahaan target. MVT market value target 2. Corporate Governance Corporate governance diukur dengan indicator independensi perusahaan untuk menilai tingkat independensi perusahaan dengan pemegang sahamnya. Bricley et al (1988) menemukan bahwa hanya pemilik yang independen dari pengaruh manager akan melakukan monitoring pada manager dengan baik. Berdasarkan indicator independensi dari BvD’s database, kualifikasi adalah sebagai berikut: Indicator A Perusahaan yang tidak mempunyai pemegang saham dengan kepemilikan diatas 24.99%. Dikategorikan sebagai A+, A, or AIndicator B Perusahaan dengan satu atau lebih pemegang saham dengan persentase kepemilikan diatas dan tidak memiliki pemegang saham dengan persentase kepemilikan (langsung atau total) lebih dari 49.99%. Dikategorikan sebagai B+, B and B-. Indicator C Perusahaan dengan pemegang saham dengan kepemilikan (langsung atau tidak langsung) melebihi 49.99% . Indicator C juga untuk perusahaan yang memiliki pemegang saham ultimate. 3. Investor Protection a. Outside Investor Right. b. Disclosure requirements. c. Importance of equity market. d. Legal enforcement. CONTROL VARIABLES: 1. Performance 63
Ukuran kinerja perusahaan adalah return on assets (ROA) and Return on Equity (ROE), consistent with prior research (Haunschild, 1993; Sanders, 2001). Hasil dan Analisis Data Deskripsi Sampel dan Variabel Penelitian ini berhasil menemukan adanya kejadian merger dan akuisisi selama tahun 2005 sampai dengan 2008 sebanyak 58 merger dan akuisisi dengan adanya bukti overlapp owner di Indonesia, Jepang dan Korea. Dari sejumlah data tersebut terdapat beberapa kasus kejadian yang tidak dapat digunakan karena tidak terdapat nilai deal value, data kejadian tidak lengkap, ketiadaan nilai pasar saham, dan pengeliminasian outlier dalam perbandingan antara nilai deal value dan nilai pasar saham perusahaan target dan pengakuisisi. Sampai dengan akhir data diolah, data yang berhasil dianalisis akhir sebanyak 39 kejadian deal value merger dan akuisisi. Tabel 1 berikut menyajikan statistik deskriptif penelitian. Tabel 1 Statistik Deskriptif Variabel Mean Dev. Stdr. Min Maks. Ln (Deal Value) 23,9867 1,6686 20,2950 27,2597 Skore CG Target 1,4103 1,9428 0,0000 5,0000 Skore CG Acquiror 0,1795 0,3888 0,0000 1,0000 Total Overlap (%) 4,7304 10,9509 0,0000 50,8160 Cashflow Target (%) 6,0882 11,0865 0,0000 50,4800 Control Right Bidder (%) 4,9346 11,2158 0,0000 50,9000 Ln (Intangible) 165.225,99 447.177,64 -84.612,68 2.562.702,93 ROE 3,8592 54,7658 -232,9000 71,1000 N = 39 Tabel 1 tersebut di atas menginferensikan bahwa besaran deal value relatif setara untuk setiap kejadian per kejadian dalam merger dan akuisisi. Hal yang menarik perhatian atas data tersebut adalah skore corporate governance bagi peruahaan target yang bervariasi dari satu sampai dengan lima, sedangkan bagi perusahaan pengakuisisi yang hanya dalam satu ranking yang bernilai satu. Inferensi yang dapat dipetik menunjukkan bahwa perusahaan pengakuisisi dalam ketalaksanaan korporat tidak lebih baik dalam bandingannya dengan perusahaan target. Dalam kaitannya dengan konsep tunneling yang pemilik mayoritas lebih bertindak untuk mengurangi kesejahteraan pemilik minoritas, data menunjukkan bahwa overlapowner memiliki kepemilikan pada target dan bidder dengan mean sebesar 4,73%. Overlapowner memiliki cash flow right pada target sebesar 6,09%, dan control right pada bidder sebesar 4,94%. Tingginya cash flow right pada target dalam bandingannya secara relatif terhadap control right pada bidder memberikan dorongan bagi overlapowner untuk melakukan tunneling yang dilakukan dengan overpayment pada target. Hasil Pengujian Hipotesis Hasil estimasi pengujian hipotesis tersaji pada Tabel 2. Hipotesis (H1) yang menyatakan bahwa bahwa deal value M&A yang terdapat adanya overlapping ownership berkonsekuensi untuk terjadinya berlebihnya pembayaran yang tinggi. Prediksi ini didukung apabila koefisien β2 yang positif dan signifikan secara statistis. Hasil estimasi menunjukkan koefisien β2 positif sebesar 0,635 pada pengujian awal dan 0,805 pada pengujian pemoderasian yang signifikan secara statistis pada level 5% dan 1%. Bukti empiris ini menunjukkan bahwa hipotesis (H1) terdukung. Oleh karena itu, studi ini mengisyaratkan bahwa semakin besar kepemilikan overlapping owner pada perusahaan pengakuisisi dan perusahaan target menyebabkan semakin tinggi kecenderungan overpayment pada perusahaan target.
64
Hipotesis (H2) adalah mekanisme CG pada perusahaan pengakusisi dan perusahaan target yang mampu memoderasi hubungan antara overlapping owner dan deal value. Semakin bagus CG perusahaan pengakuisisi dan target mampu mengurangi tunneling. Hipotesis (H2) dapat didukung jika koefisien β7 dan β8 bertanda negatif, yang dalam arti bahwa apabila corporate governance berskore baik meskipun terdapatnya kepemilikan overlapping owner pada target dan bidder tinggi, maka kecenderungan tunneling yang berupa overpayment menjadi rendah karena mekanisme corporate governance diharapkan dapat sebagai alat mekanisme yang melindungi kepentingan minoritas. Hasil analisis pada Tabel 2 menunjukkan bahwa koefisien β7 negatif tetapi tidak signifikan secara statistis, demikian juga dengan koefisien β8. Bukti empiris menunjukkan bahwa hasil pengujian tidak mendukung hipotesis (H2) yang menyatakan bahwa mekanisme CG pada perusahaan pengakusisi dan perusahaan target memoderasi hubungan antara overlapping owner dan deal value. Hasil uji terhadap β7 dan β8 yang terbukti tidak berasosiasi dengan deal value secara statistis signifikan, terbuktikan dalam uji awal atas koefisien β3 dan β4 yakniranking baikburuknya ketatalaksanaan korporat perusahaan target dan pengakuisisi. Hasil uji tahap awal menunjukkan bahwa koefisien β3 sebesar -0,213 dengan nilai-t sebesar -1,554 yang tidak signifikan secara statistis, sedangkan koefisien β4 sebesar -0,830 dengan nilai-t sebesar -1,130 yang juga tidak signifikan secara statistis. Sekalipun tanda koefisien telah menunjukkan negatif, namun kedua koefisien ini tidak mampu memoderasi untuk melemahkan hubungan antara total overlap owner dan deal value M&A. Hasil pengujian dalam tahap pemoderasian menghasilkan besaran koefisien yang tidak berubah. Hasilnya adalah koefisien β 3 sebesar 0,307 dengan nilai-t sebesar -1,533 yang tidak signifikan secara statistis, sedangkan koefisien β4 sebesar -0,035 dengan nilai-t sebesar -0,030 yang juga tidak signifikan secara statistis. Oleh karena itu, studi ini menyimpulkan bahwa ketatalaksaan korporat perusahaan target dan pengakuisisi tidak mampu melemahkan hubungan overlap owner dan deal value M&A. Tabel 2 Hasil Pengujian Hipotesis Variabel
Tanda Uji Awala Prediksi Koefisien t-value ? 24,061 67,970 *** + 0,635 1,843 * + 0,015 0,406 -0,609 -1,936 * -0,213 -1,554 -0,830 -1,130 + 0,000 2,375 ** + 0,010 2,233 ** -
Uji Pemoderasianb Koefisien t-value 23,777 57,444 *** 0,805 2,156 0,011 0,303 -0,679 -2,123 ** -0,307 -1,533 -0,035 -0,039 0,000 2,366 ** 0,009 1,879 * 0,061 0,703
Konstanta Total Overlap Cashflow Target Cash Right Bidder Skore CG Target Skore CG Acquiror Ln (Intangible) ROE Skore CG Tar. X Overlap Skore CG Acq. X -0,172 -1,592 Overlap Adj R2 0,259 0,276 Nilai-F 2,896 ** 2,608 ** Keterangan: a) Ln(Deal Value) = β1 + β2TotOverlap + β3CF + β4CR + β5CG bidder + β6CG target + β9control variables + ε
65
b) Ln(Deal Value) = β1 + β2TotOverlap + β3CF + β4CR + β5CG bidder + β6CG target + β7TotOverlap*CG bidder + β8 TotOverlap*CG target + β9control variables + ε * signifikannsi pada level 10%; ** signifikannsi pada level 5%; signifikannsi pada level 1% Sementara itu, hasil pengujian variabel kontrol yaitu intangible asset dan kinerja perusahaan target berpengaruh positif dan signifikan secara statistis pada deal value M&A. Hasil ini sesuai yang diprediksikan dalam studi ini. Oleh karena itu, hasil ini menyimpulkan bahwa tingginya kinerja perusahaan dan intangible asset perusahaan target berasosiasi terhadap deal value secara positif. Hal ini mengisyaratkan bahwa kinerja dan intangible asset perusahaan meningkatkan deal value perusahaan yang melakukan M&A. Diskusi dan Temuan Penelitian Konflik kepentingan prinsipal-prinsipal-agentterjadi antara overlap owner–’solo’ owner dan manager. Overlap owner lebih menghendaki total keuntungan yang diperoleh dari transaksi dalam bandingannya dengan pengalokasian keuntungan di antara perusahaan target dan perusahaan pengakuisisi. Overlap owner dapat memperoleh keuntungan dari overpayment dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham target. Sehingga, overlapping owner kurang kritis terhadap managemen ketika managemen melakukan pembayaran berlebih pada target atau melakukan transaksi value destroyed. Tingginya cashflow right pada perusahaan target mendorong overlap owner untuk melakukan transfer sumberdaya demi kepentingannya (Bertrand, et al, 2002; Faccio, and Stolin, 2006). Konsep inilah yang disebut sebagai tunneling. Oleh karena itu, kepentingan pemilik minoritas atau pemilik ‘solo’ terkorbankan karena adanya overpayment tersebut. Manager perusahaan pengakuisisi dengan kepemilikan overlap yang besar lebih leluasa untuk overpay pada target. Hipotesis tunneling (Bae et al, 2002; Johnson, 2000; Holland, 1998; Moeller, et al, 2004) memprediksi ketika persentase kepemilikan overlap owner pada perusahaan target dan pengakuisisi tinggi, maka kecenderungan overpayment pada target meningkat. Pengujian dalam penelitian ini mendukung prediksi tersebut. Hasil indikasi terbuktikan adanya overpayment ini mengisyaratkan bahwa perusahaan pengakuisisi memastikan terhadap aliran kas masa mendatang dari kejadian M&A. Secara lebih spesifik, perusahaan pengakuisisi mampu memastikan adanya aliran kas masuk yang lebih besar di masa mendatang dengan melakukan M&A (Marks, 1982). Demikian juga, kepastian adanya aliran kas masuk di masa mendatang tersebut terdorong oleh manager dalam kaitannya dengan kompensasi (Mueller, and Sirower, 2003). Dorongan M&A yang dilakukan oleh para manager mengisyaratkan bahwa dengan M&A dapat terciptakan adanya kepastian aliran kas bagi dirinya atau kompensasi di masa mendatang (Gomez-Meija, 1994; Hartzell, et al., 2004; Cotter and Zenner, 1994; Walkling and Long, 1984, Sanders, 2001). Konflik kepentingan prinsipal tersebut merupakan tantangan bagi mekanisme CG saat ini. Perusahaan dengan CG yang baik semestinya mampu memutuskan transaksi merger dan akuisisi secara lebih baik. Misalnya, dengan adanya hak bagi pemilik saham minoritas, adanya proteksi terhadap pemilik saham minoritas, dan adanya mekanisme kontrol internal lain seperti dengan adanya komisaris independen yang mampu mengurangi konflik hubungan tersebut (North, 2001; Weir & Laing, 2003; Cotter, Shivdasani, and Zenner, 1997). Oleh karena itu, dengan semakin baik CG mampu membatasi dan melakukan pengendalian yang efektif pada tindakan-tindakan yang dilakukan managemen atau pemilik mayoritas dalam melakukan value destroying deals. Hipotesis tunneling memprediksi bahwa semakin baik CG pada bidder dan target, maka kecenderungan tunneling menurun (Hartzell, et al., 2004; Cotter, and Zenner, 1994; Walkling, and Long, 1984). Hasil empiris penelitian ini tidak 66
mendukung prediksi tersebut. Indikasi yang menyebabkan tidak terdukungnya hipotesis tersebut yaitu pengukuran corporate governance yang menggunakan struktur, bukan efektivitas CG. Penelitian ini merumuskan dalam kemungkinan bahwa menemukan bahwa indeks CG memberikan penjelasan lebih baik terhadap penerapan dan efektivitas CG dalam bandingannya dengan struktur CG. Keterbatasan Hasil pengujian CG yang tidak mampu menunjukkan kemampuannya untuk memoderasi secara negatif hubungan antara overlap owner dan deal value dalam M&A merupakan penunjuk kelemahan penelitian ini. Kelemahan pertama, skore CG yang cenderung terkonsentrasi pada skore yang rendah antara nol dan satu menjadi penghambat adanya hubungan asosiasi tersebut. Rendahnya skore CG tersebut bagi perusahaan-perusahaan di Asia disebabkan oleh masih terkonsentrasinya kepemilikan atau masih adanya sistem kepemilikan kekeluargaan yang dominan. Di samping itu, penelitian ini yang mengamati M&A dari tahun 2005 masih menunjukkan adanya perusahaan yang belum menerapkan independen board of directors yang dalam arti rendahnya CG (Cotter, Shivdasani, and Zenner, 1997). Kemanfaatan dari komisaris independen ini dapat membentengi kejadian takeover yang dapat mengurangi kesejahteraan pemegang saham minoritas (Bertrand, et al, 2002; Johnson & Greening (1999);Cotter, Shivdasani, and Zenner, 1997). Kedua, skore CG yang digunakan di dalam penelitian ini bukan mengarah pada kualitas CG. Hal ini menjadi kelemahan penginferensian penelitian ini yang disebabkan oleh kuantifikasi ketatalaksanaan korporat ke dalam sistem kuantifikasi. Dengan kata lain, pengujian CG dalam penelitian ini menggunakan struktur yang menghasilkan kelemahan hasil uji. Hasil uji yang baik dapat menggunakan indeks CG yang mampu menghasilkan penjelasan secara lebih mapan. Ketiga, terdapat kemungkinan pengaruh pengukuran CG dalam kaitannya dengan tunneling bukanlah dalam bentuk moderating, melainkan interverning. Penelitian ini hanya menguji dalam satu sisi pengaruh pemoderasian yang berhasil akhir tidak terbukti. Hanya saja, konsep pengukuran CG yang mempengaruhi hipotesis tunneling masih harus diidentifikasi secara jelas. Keempat, hasil pengujian yang menunjukkan adanya multi kolinearitas antara varibel overlap perusahaan pengakuisisi dan pengukuran total overlap ketika terjadi M&A yang diperoleh darii proses penghitungan dapat menimbulkan bias hasil penelitian ini. Proses penghitungan ini tidak dapat dihindari karena senyatanya data menunjukkan adanya kepemilikan overlap. Simpulan dan Saran Hasil pengujian menyimpulkan bahwa deal value M&A yang terdapat adanya overlapping ownership berkonsekuensi untuk terjadinya berlebihnya pembayaran yang tinggi terbukti. Oleh karena itu, studi ini mampu mengidentifikasi bahwa overlap owner menghendaki total keuntungan yang diperoleh dari transaksi M&A. Overlap owner senyatanya mampu memperoleh keuntungan dari overpayment dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham target. Hasil tersebut juga mengindikasikan bahwa dengan adanya overpayment tersebut mengisyaratkan bahwa perusahaan pengakuisisi memastikan terhadap aliran kas masa mendatang dari kejadian M&A. Demikian juga, kepastian adanya aliran kas masuk di masa mendatang tersebut terdorong oleh manager dalam kaitannya dengan kompensasi. Penelitian ini tidak mampu membuktikan bahwa pengukuran CG mampu menurunkan dampak buruk dari tunneling. Sekalipun, konsepnya menyatakan bahwa perusahaan dengan CG yang baik semestinya mampu memutuskan transaksi merger dan akuisisi secara lebih baik. Penekanan terhadap konsep CG yang secara spesifik mensyaratkan adanya adanya proteksi terhadap pemilik saham minoritas, dan adanya mekanisme kontrol internal dengan adanya komisaris independen yang mampu mengurangi konflik hubungan tersebut perlu ditekankan. Sehingga, semakin baik CG mampu membatasi dan melakukan pengendalian 67
yang efektif pada tindakan-tindakan yang dilakukan managemen atau pemilik mayoritas dalam melakukan value destroying deals. Hanya saja, keterbatasan penelitian yang tidak mampu membuktikan pengaruh pemoderasian CG dalam kaitannya dengan hipotesis tunneling ini masih terdapat kemungkinan dipengaruhi oleh konsep pengukuran skore CG, konsentrasi skore CG perusahaan sampel yang dalam skore yang rendah, dan multi kolinearitas antar variabel pengukur overlap yang digunakan oleh penelitian ini. Oleh karena itu, studi ini menyarankan untuk penggunaan indeks CG yang berkemungkinan dapat menyelesaiakan tujuan penelitian ini secara lebih sempurna.
REFERENCES Amihud Y., & Lev B. 1981. Risk reduction as a managerial motive for conglomerate mergers. Bell Journal of Economics, 12: 605-617. Bae, Kee Hong, Jun Koo Kang, and JinMo Kim. 2002. Tunneling or value added? Evidence from mergers by Korean business groups. Journal of Finance 57:2695–2740. Bertrand, Marianne, Paras Mehta, and Sendhil Mullainathan. 2002. Ferreting out Tunneling: An application to Indian business groups. Quarterly Journal of Economics 117:121– 48. Brush T.H. 1996. Predicted change in operational synergy and post-acquisition performance of acquired businesses. Strategic Management Journal, 17: 1-24. Claessens, S-; S. Djankov; J. Fan; and L, Lang. 1998. Corporate Diversification in East Asia: The Role of Ultimate Ownership and Group Affiliation. Working Paper. World Bank. Coff R.W. 1993. Corporate acquisitions of human-asset-intensive firms: Let the Buyer Beware. University of California, Los Angeles, unpublished dissertation. Coff R.W. 1993. Corporate acquisitions of human-asset-intensive firms: Let the Buyer Beware. University of California, Los Angeles, unpublished dissertation. Easterbrook F.H., & Fischel D.R. 1982. Corporate Control Transactions, The Yale Law Journal, 91(March): 698-737. Faccio, Mara and David Stolin. 2007. Expropriation vs Proportional Sharing in Corporate Acquisition. Journal of Business. 79. GraebnerM.E., & Eisenhardt K.M. 2004. The Seller’s Side of the Story: Acquisition as Courtship and Governance as syndicate in entrepreneurial firms. Administrative Science Quarterly, 47: 366-403. Hansen R.G., & Lott J.R.Jr. 1996. Externalities and Corporate Objectives in a World with Diversified Shareholder/Consumers. Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol 31(1): 43-68. Haunschild P.R. 1993. Interorganizational imitation: The impact of interlocks on corporate acquisition activity. Administrative Science Quarterly, 38: 564-592. 68
Healy P., Palepu K., Ruback R. 1992. Does corporate performance improve after mergers? Journal of Financial Economics, 31(2): 135-175. Hitt M.A., Harrison J., Ireland R.D. 2001. Mergers and Acquisitions: A Guide to Creating Value for Stakeholders. OxfordUniversity Press: Oxford, U. K. Holland J. 1998. Influence and intervention by financial institutions in their investee companies. Corporate Governance, 6(4): 249-264. Holmen, Martin, and John D. Knopf. 2004. Minority shareholder protections and the private benefits of control for Swedish mergers. Journal of Financial and Quantitative Analysis 39: 167–91. Johnson, Simon, Rafael La Porta, Florencio Lopez-de-Silanes, and Andrei Shleifer. 2000. Tunneling. American Economic Review Papers and Proceedings 90:22–27. Khanna, Tarun, and Krishna Palepu, "Is Group Membership Profitable in Emerging Markets? An Analysis of Diversified Indian Business Groups," Journal of Finance, LV(2000), 867-891. King D.R., Dalton D.R., Daily C.M., Covin J.G. 2004. Meta-analysis of post-acquisition performance: indications of unidentified moderators. Strategic Management Journal, 25(2): 187-200. King D.R., Dalton D.R., Daily C.M., Covin J.G. 2004. Meta-analysis of post-acquisition performance: indications of unidentified moderators. Strategic Management Journal, 25(2): 187-200. King D.R., Dalton D.R., Daily C.M., Covin J.G. 2004. Meta-analysis of post-acquisition performance: indications of unidentified moderators. Strategic Management Journal, 25(2): 187-200. Korea Herald. 1999. LG Securities in mergers talks with LG Merchant Bank. Kusewitt J.B. 1985. An exploratory study of strategic acquisition factors relating to performance. Strategic Management Journal, 6(2): 151-169. La Porta, R., F. Lopez-de-Silanes, A Shleifer, AND R. Vishny. “Law and finance.” Journal of Political Economy 106 (December 1998), 1113-1155. La Porta, Rafael, Florencio Lopez-de-Silanes, and Andrei Shleifer. 1999. Corporate ownership around the world. Journal of Finance 54:471–518. La Porta, Rafael, Florencio Lopez-de-Silanes, and Andrei Shleifer. 1999. Corporate ownership around the world. Journal of Finance 54, 471-517. Leuz, Christian. Nanda, Dhananjay. Wysocki., D. Peter. 2003. Earnings management and investor protection: an international comparison. Journal of Financial Economics.
69
Lins. K. V., and H. Servaes. 2002. Is Corporate Diversification Beneficial in Emerging Markets? Financial Managemen,. 31. Morck R., Shleifer A., Vishny R. 1988b. Management ownership and market valuation. Journal of Financial Economics, 20: 293-315. Morck R., Shleifer A., Vishny R.W. 1990. Do managerial objectives drive bad acquisitions? Journal of Finance, 45(1): 31-48. Palepu K. 1986. Predicting Takeover Targets: A Methodological and Empirical Analysis. Journal of Accounting and Economics, 8: 3-35. Palepu K., Healy P., Bernard V. 2000. Business Analysis & Valuation: Using Financial Statements, SouthWesternCollege Publishing. Palepu K.1985. Diversification Strategies, Profit Performance and the Entropy Measure. Strategic Management Journal, 6: 239-255. Ranft A.L., & Lord M.D. 2002. Acquiring new technologies and capabilities: A grounded model of acquisition implementation. Organization Science, 13(4): 420-441. Reuer J.J. 2005. Avoiding Lemons in M&A Deals. MIT Sloan Management Review, 46(3): 15- 17. Rumelt R.P. 1974. Strategy, Structure and Economic Performance, HarvardUniversity Press Rumelt R.P. 1974. Strategy, Structure and Economic Performance, HarvardUniversity Press Rumelt R.P. 1982. Diversification strategy and profitability. Strategic Management Journal, 3: 359- 369. Salter M., & Weinhold W. 1979. Diversification through Acquisition: Strategies for Creating Economic Value, Free Press, New York. Sanders Wm.G. 2001. Behavioral responses of CEOs to stock ownership and stock option pay. Academy of Management Journal, 44 (3): 477-492. Saxton T., & Dollinger M. 2004. Target Reputation and Appropriability: Picking and Deploying Resources in Acquisitions. Journal of Management, 30(l): 123-147. Scherer F.M. 1988. Corporate takeovers: the efficiency arguments. Journal of Economic Perspectives, 2: 69-82. Seth A. 1990. Value creation in acquisitions: A re-examination of performance issues. Strategic Management Journal, 11: 99-115. Sirower M.L. 1997. The Synergy Trap: How Companies Lose the Acquisition Game, The Free Press, New York, NY
70
Thompson S., & Wright M. 1995. Corporate governance: the role of restructuring transactions. The Economic Journal, 105(5): 690-703.
71