Jurnal Forum Ilmu Sosial Vol. 39 No. 2 Desember 2012 JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
Ketua Penyunting Tri Marhaeni PA Wakil Ketua Penyunting Eva Banowati Sekretaris Penyunting Asma Luthfi
ISSN 1412-971X
Daftar Isi 131 - 142
Akulturasi Budaya Aceh dan Arab dalam Keunduri Mulod Fakhrurrazi (Universitas Malikussaleh)
143 - 152
Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis Potensi Wilayah Pesisir Guna Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Rembang Heri Tjahyono, Rahma Hayati, Galuh Sitoresmi (Universitas Negeri Semarang)
153 - 171
Modal Sosial dan Kontribusi Ekonomi Pedagang Sayur di Keliling Semarang Eko Handoyo (Universitas Negeri Semarang)
172 - 183
Perilaku Ekonomi dalam Jejaring Masyarakat Konsumsi Perkotaan Hartati Sulistyo Rini (Universitas Negeri Semarang)
184 - 196
Mengungkap Kembali Tafsir Atas Pancasila dibalik Pencabutan Ketetapan MPR Tentang P4 Winarno (Universitas Sebelas Maret Surakarta)
197 - 212
Nikah Siri dalam Perspektif Struktural Fungsional Thriwaty Arsal, Ekawati Sri Wahyuni, Nurmala K Pandjaitan, Aida Vitayala (Istitut Pertanian Bogor)
213 - 229
“Penambangan Pasir dan Batu” sebagai Wujud Substitusi Kegiatan Sosial Ekonomi Petani Masyarakat Wonosobo (Kajian Ekologi Manusia dengan Pendekatan Environmental Determinism dan Sistem Terbuka “Rambo”) Nurul Fatimah (Universitas Negeri Semarang)
230 - 243
Pergeseran Identifikasi dan Representasi Sosial (Studi Atas Menguatnya Identitas Adat di Indonesia) Amin Tohari (Alumni Program Pascasarjana Politik dan Pemerintah Konsentrasi HAM dan Demokrasi lokal, UGM)
244 - 253
Mengatasi Kekerasan pada Anak dalam Pendidikan di Sekolah Tukidi (Universitas Negeri Semarang)
Bendahara Setiajid Penyunting
Pelaksana Ufi Saraswati YYFR Sunardjan Sriyono Sriyanto Sunarto Moh. Yasir Alimi Ninuk Sholikhah Akhiroh Penyunting Ahli Wasino Maman Rachman Suyahmo Mitra Bebestari Warsono (UNiversitas Negeri Surabaya) Irwan Abdullah (Universitas Gadjah Mada) Udin S. Winataputra (Universitas Terbuka) Wahyu (Universitas Lambung Mangkurat) Sapriya (Universitas Pendidikan Indonesia) Ali Saukah (Universitas Negeri Malang) Purwosantoso (Universitas Gadjah Mada) Pelaksana Tata Usaha Sakimin Januharto Partono Suharyati Basuki Mariyam Achin Baidowi Penerbit Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Unnes) Alamat Penerbit Gedung C7 Lantai 3 Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229 Telp. (024) 8508006 Email:
[email protected] Alamat E-Journal http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
Pembina: Subagyo, Penanggungjawab: Eko Handoyo, Pengarah: Erni Suharini, Cahyo Budi Utomo. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih kurang 18 halaman, dengan format tercantum pada halaman kulit belakang (“Ketentuan Penulisan Artikel Forum Ilmu Sosial”). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya.
FIS 39 (2) (2012)
FORUM ILMU SOSIAL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
AKULTURASI BUDAYA ACEH DAN ARAB DALAM KEUNDURI MULOD Fakhrurrazi* Universitas Malikussaleh Jalan Medan-Banda Aceh, Cot Tengku Nie Reuleut, Kab Aceh Utara-Provinsi Aceh-Indonesia Info Artikel
Abstract
Keywords: character education, conservation’s social values, community life
Maulid (the celebration of the birth of the Prophet Muhammad) has been form of acculturation of tradition (custom) in Aceh. At the level of culture and structure, it is called a complex trait. Traditions applied follow the tradition set in Arab countries. Maulid feast is a is unique customs and culture of Aceh. Of course, it is very relevant the lives of people in this area who has self-proclaimed to implement of Islamic law in everyday’s life. Basing the system by syariah, all aspects of life should be directed to the moral values of Islam. Attitudes, behaviors, manners should be based on Islamic law.
2012 Universitas Negeri Semarang
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
131
PENDAHULUAN Sebelum Islam masuk ke Aceh, Hindu (mistisme) merupakan agama masyarakat Aceh. Hinduisme sebagai pandangan hidup bagi masyarakat Aceh tercermin dari aktivitas ritual dan tradisi setempat. Akan tetapi mulai abad ke-7 H/13 M, Islam menjadi agama mayoritas bagi masyarakat Aceh, dan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (Sultan Malikus Shalih w. 1297) sebagai kerajaan Islam kedua di Aceh menandai bahwa kekuasaan politik di Aceh telah dikuasai oleh masyarakat Islam Aceh. Sebelum masyarakat Islam Aceh menguasai politik, muslim Islam Aceh merupakan komunitas pinggiran yang berada dibawah pengaruh kekuasaan raja Hindu yang sudah berkembang sebelumnya. Hal ini terlihat dari catatan Marcopolo yang mengunjungi Aceh pada tahun 1292 M. menurut Marcopolo, pada saat ia datang, Sumatera terbagi dalam delapan kerajaan kecil dan semua kerajaan tersebut menyembah berhala kecuali Pereulak, karena Peureulak selalu didatangi oleh pedagang muslim. Kerajaan Peureulak inilah yang merupakan kerajaan Islam pertama di Aceh yang didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H, yang diikuti dengan berkembangnya lembaga pendidikan Islam “ Dayah Cot Kala”. Lembaga pendidikan inlah menjadi dasar pengembangan ilmu keislaman di Aceh yang kemudian terus berkembang menjadi sumber perkembangan Islam di Nusantara. Islam masuk ke Aceh melalui pedagang Islam dari Arab. Disamping berdagang, mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk pribumi yang ketika itu mayoritas beragama Hindu dengan cara 132
berdakwah dan perkawinan.Pembumian Islam di Aceh oleh bangsa Arab bukan oleh India, Persi dan Gujarat sebagaimana anggapan sejarawan lain dalam kajian ini didasarkan kepada teori yang dikembangkan oleh Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas. Menurut Al-Attas, masuknya Islam di Nusantara mesti berpegang pada “teori umum mengenai islamisasi Nusantara”, di mana yang menjadi dasarnya adalah karakteristik internal Islam di dunia MelayuIndonesia yang ada saat ini. Dalam hal ini AlAttas mengatakan bahwa konsep-konsep, istilah – istilah kunci dalam literatur Melayu – Indonesia, tidak ada hubungannya dengan India, namun berhubungan langsung dengan Arab. Meskipun ada beberapa istilah Persia, namun asalnya Arab juga. Dengan demikian, jelas bahwa Islam di Nusantara dibawa langsung dari Arab. Kedatangan pedagang Arab ke Aceh, kalangan sejarawan melaporkan bahwa tidak terlepas dari popularitas kerajaan Sriwijaya yang mengalami masa puncaknya pada abad ke 9-10 M di samping pengaruh geografis di mana posisi Aceh sangat strategis bagi pelayaran lintas dunia. Daerah ini menjadi pintu utama perdagangan yang terletak di selat Melaka dan memiliki terusan sempit dalam rute perdagangan laut negeri-negeri Islam ke Cina. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ketika masyarakat Aceh mengalami akulturasi budaya dengan bangsa Arab serta migrasi agama besar-besaran masyarakat Nusantara ke agama Islam pada abad ke-15 M yang disebabkan oleh melemahnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram, Islam sebagai keyakinan bagi masyarakat semakin kuat pengaruhnya terhadap budaya di Aceh. Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Dominasi nilai-nilai Islam dalam budaya lokal Aceh memberitahukan kepada kita bahwa, masyarakat Aceh sangat cenderung kepada Islam kendati Islam merupakan agama baru bagi mereka. Pertanyaannya, bagaimana konsep Islamisasi masyarakat Aceh yang dilakukan para pendakwah?. Tentang hal ini, Sayyed Muhammad Naquib Al –Attas dalam buku Islam dan sekularisme melaporkan bahwa Islamisasi kawasan Sumatera (Aceh) dilakukan dengan pendekatan persuasif (sufistik). Dengan metode tersebut, dakwah dilakukan secara lunak (soft) sehingga tidak mengherankan bila masyarakat saat itu menerima Islam tanpa merasa keluar dari agama mereka sendiri. Dakwah dilakukan dengan cara Islamisasi budaya yaitu budaya lokal tetap dipertahankan, akan tetapi aspek normatif budaya disesuaikan berdasarkan ajaran Islam. Di antara budaya lokal yang dipertahankan dan tetap berlaku sampai sekarang di Aceh adalah penggunaan padi, beras, rumputun, tepung, boeh kruet dan lain-lain (item-culture) dalam kegiatan “Peusijeuk (Trait complex culture)” yang mana bahan-bahan tersebut juga digunakan dalam civitas budaya pra-Islam di Aceh. Ketika Islam datang, aktivitas menggunakan bahan-bahan tersebut diislamkan dengan menerapkan falsafah “tawasshul (culture)” yang merupakan salah satu thariqah (cultural universal) untuk mendekatkan diri manusia kepada Allah swt. dan upaya mendekatkan diri kepada Allah swt. adalah anjuran Islam (sistem universal Islam). Fenomena Islamisasi demikian yang menyebabkan antara hukum Islam dan budaya Aceh tidak bisa dipisahkan meskipun bisa dibedakan. Inilah yang melatari falsafah Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
“hukoem ngeun adat lage zat ngeun sifeut” yaitu budaya dalam aspek normatif adalah diberdasarkan ajaran Islam. Oleh sebab itulah budaya Aceh dinamakan sebagai budaya Islam. Dampak yang paling besar dari proses Islamisasi masyarakat Aceh dengan cara persuasif adalah tradisi politik Arab diadopsi oleh kerajaan Aceh khususnya menyangkut dengan gelar penguasa yang digelari sebagai “Sultan” dimana sebelum Islam, gelar penguasa kerajaan digelari dengan gelaran “raja”. Berdasarkan rekonstruksi sejarah di atas menunjukkan, Islamisasi Aceh secara sufistik oleh para pendakwah dari Arab telah menjadikan masyarakat Aceh sebagai bangsa yang inklusif. Hal demikian terlihat dari kebijakan penguasa kerajaan Aceh dengan menggantikan gelaran penguasa dari “raja” menjadi “sultan”. Oleh sebab itu, Islamisasi budaya dan arabisasi politik di Aceh merupakan rujukan penting dalam meneliti keaneka ragaman kebudayaan di Aceh. Di Aceh, ada sebuah tradisi yang dilaksanakan bertepatan tanggal 12 Rabiul Awwal hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut dinamakan dengan “Kanduri Mulod” yang dilakukan di dalam 3 (tiga) bulan yaitu Rabiul Awwal sebagai mulod awai, Rabiul Akhir atau mulod teungoh, dan Jumadil Awwalyang diistilahkan dengan mulod akhe. Keunduri Maulid: Kebudayaan Islam Landasan Peradaban Islam adalah kebudayaan Islam terutama wujud idealnya, sedangkan landasan kebudayaan Islam adalah agama. Dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama 133
“bumi”, agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Allah SWT. Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bagian yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat, sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya di dasarkan kepada agama; dan tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia sub-ordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya. Tentang ajaran agama Islam, Harun Nasution melaporkan, Islam pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidaklah absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Berdasarkan penjelasan tentang hubungan agama dengan budaya serta bentuk-bentuk ajaran agama oleh para pakar di atas. maka memunculkan pertanyaan dalam kajian ini, apakah peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. termasuk 134
dalam kategori agama atau budaya?. Untuk menjelaskan posisi ini, dalil-dalil Al-Quran dan Hadis yang dijadikan sebagai landasan Maulid Nabi SAW. menjadireferensi primer untuk dianalisis. Sudah menjadi konsensus di kalangan pakar hukum Islam, peringatan Maulid Nabi SAW. adalah merujuk kepada QS. Yunus : 58, artinya: “ Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan”, dan kepada Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu “ Pada setiap hari Senin yang merupakan hari kelahirannya, Rasulullah SAW. selalu berpuasa, dan suatu ketika Nabi SAW. ditanyakan oleh sahabat tentang puasa hari Senin dan beliau menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”, (HR. Muslim). Melihat kepada dua sumber dasar (nash) di atas sebagai pedoman umat Islam dalam memperingati kelahiran Nabi SAW. khususnya sumber dari Al-Quran yaitu pada kalimat “hendaklah d e n g a n i t u m e re k a b e rg e m b i r a ” teridentifikasi bahwa dilalah tersebut bersifat umum (ijmali). Umum yang dimaksud disini bukan pada aspek normatif, tetapi pada bentuk mengekspresi kegembiraan itu sendiri. Sedangkan sumber yang kedua, dengan sangat jelas terpahami kepada kita bahwa bentuk ekspresi syukur Rasulullah SAW. kepada Allah SWT. karena telah menciptakan dan mewahyukan ajaran Islam kepadanya pada hari Senin adalah dengan berpuasa pada hari tersebut. Karena umat Islam menjadikan hadis itu sebagai dasar hukum pelaksanaan Maulid Nabi SAW., maka hadis tersebut juga Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
bersifat dhanni dalam memahaminya (skriptural/subtantif?). Berdasarkan hasil analisis sumber hukum (nash) yang dijadikan sebagai legalitas peringatan Maulid Nabi SAW. jelaslah kepada kita bahwa sumber hukum tersebut adalah bersifat dhanni. Ketika nash bersifatdhanni, maka dengan metode ijtihad lah hukum diterapkan. Karena obyek ijtihad adalah Nashdhanni dan subyek ijtihad adalah manusia, maka hasil dari proses ini akan berbeda-beda (nisbi, relatif, dinamis) yang disebabkan oleh perbedaan metode pemikiran, pemahaman, waktu dan tempat. Karena hukum Maulid Nabi SAW. bersumber dari proses ijtihadi, maka posisinya dikatagorikan sebagai sumber ajaran agama yang kedua sebagaimana yang dilaporkan oleh Harun Nasution yaitu ajaran yang bersumber dari penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama dimana kriterianya tidak bersifat absolut, tidak mutlak benar, relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sumber ajaran agama yang kedua inilah yang dinamakan sebagai budaya berdasarkan pengertian budaya itu sendiri yaitu hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Umat Islam meyakini bahwa pemikiran yang dicurahkan oleh pakar agama berdasarkan ajaran Islam, maka hasil dari pemikiran tersebut dinamakan sebagai budaya Islam. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka perayaaan Maulid Nabi SAW. dikatagorikan sebagai kebudayaan Islam yang merupakan hasil ciptaan umat Islam, bersumber dari ajaran Islam dan bertujuan untuk mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Allah SWT. karena Dia telah menurunkan hamba-Nya Muhammad Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam. Maulid Nabi SAW. sebagai salah satu budaya Islam (sekunder) dan bukan sebagai agama (syari’at/primer) diperkuat oleh adanya perbedaan perspektif umat Islam tentang hal itu. Beberapa ulama Salafi dan Wahhabi tidak merayakan budaya tersebut karena dianggap bid’ah karena Nabi SAW. tidak pernah melakukannya. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakan budaya tersebut merupakan implikasi dari kesalahan dalam menafsirkan Nash sehingga keluar dari esensi Nash itu sendiri. Namun demikian, terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi SAW. bukanlah hal bid’ah, karena merupakan salah satu bentuk mengungkap rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Budaya dihasilkan dari karya, cipta dan karsa manusia. Kaitannya dengan budaya Islam adalah budaya yang dihasilkan dari karsa ulama yang didasarkan kepada upaya mereka dalam memahami ajaran Islam AlQuran dan Hadis yang bertujuan untuk diamalkan. Dengan demikian, perbedaan perspektif tentang Maulid Nabi SAW. adalah bagian dari sunnatullah (alamiah). Maulid Nabi SAW. sebagai sebuah budaya Islam, dalam pelaksanaannya akan mengalami keberagaman. Keberagaman ini dipengaruhi oleh faktor tempat dan tradisi-tradisi lokal meskipun tujuannya adalah sama. Untuk kepentingan analisis, Soerjono Soekanto membagi kebudayaan dari berbagai segi. Dari sudut struktur dan tingkatannya dikenal adanya super cultural yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Suatu super cultural biasanya dapat dijabarkan 135
dalam cultures yang mungkin didasarkan pada kekhususan daerah, golongan, etnik, dan profesi. Dalam suatu cultural mungkin berkembang lagi kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak bertentangan dengan kebudayaan induk. Hal ini disebut subcultural. Apabila kebudayaan khusus tadi bertentangan dengan kebudayaan induk, gejala itu disebut counter culture. Berkaitan dengan Maulid Nabi SAW. sebagai budaya Islam, maka yang menjadi super cultural-nya adalah legalitas Maulid Nabi SAW. berdasarkan hukum Islam kedua (ijtihad sebagai metode isthimbath hukum Islam). Sedangkan cultural-nya adalah bentuk dan cara kegiatan Maulid Nabi SAW. yang dilaksanakan berdasarkan wilayah, daerah, golongan, etnik, dan profesi. Ketika Maulid dilaksanakan berdasarkan kearifan lokal (wilayah, daerah, golongan, etnik, profesi) maka muncul lagi keanekaragaman khusus di dalam wilayah tertentu dan tidak bertentangan dengan budaya induk. Hal ini d i s e b u t s e b a g a i s u b c u l t u re . J i k a bertentangan dengan budaya induk, gejala itu disebut counter culture. Dengan mengaplikasikan kebudayaan Maulid SAW. ke dalam struktur dan tingkat sebuah kebudayaan, maka tingkatan yang mendominasi perbedaan budaya Maulid SAW. antara satu daerah dengan daerah lain, masyarakat satu dengan lain adalah terjadi pada bentuk pelaksanaan Maulid Nabi SAW. itu sendiri (cultures). Maulid Nabi SAW. yang dilaksanakan di Mesir misalnya, tidak sama bentuknya dengan Maulid Nabi SAW. yang dilaksanakan oleh umat Islam di Nusantara. Begitu juga sebaliknya. Namun unsur kesamaan terletak pada tujuan Maulid Nabi SAW. yang diseragamkan oleh 136
keyakinan bahwa Maulid Nabi SAW. merupakan sebuah kebudayaan Islam (super cultural). Tradisi Maulud dalam Sejarah Islam P e r a y a a n M a u l i d N a b i S AW. diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said Al-Qa’buri, seorang gubernur Irbil Irak pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (1138-1193 M.) zaman Dinasti Abbasiah. Namun ada juga yang berpendapat bahwa, tradisi tersebut muncul dari Shalahuddin sendiri. Tujuan kegiatan itu adalah untuk memperkuat kecintaan umat Islam kepada Nabi SAW., serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin ketika itu yang sedang berperang untuk merebut kota Yarussalem di bawah penguasaan Kristen Eropa (Perang Salib). Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi (sunni). Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah meninggalkan kampung halaman Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit Irak. Shalahuddin lahir di benteng Tikrit Irak tahun 532 H/1137 M. ketika ayahanda Shalahuddin menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Gagasan Shalahuddin memperingati Maulid Nabi SAW. pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh Syi’ah Mesir Al-Adid. Bagi Shalahuddin, dengan memperingati Maulid Nabi SAW. akan melahirkan nilainilai positif yang akan tumbuh pada umat Islam mendatang sekaligus secara politis menjadi media untuk membangkitkan semangat jihad kaum muslimin dalam menghadapi invansi umat Kristen Salib. Ketika itu, ulama Salaf dan Wahhabi mayoritas mereka tidak sependapat dengan tradisi Islam tersebut. Menurut mereka, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Maulid Nabi SAW. adalah bid’ah karena Rasulullah SAW. sendiri tidak pernah melakukannya. Dalam perkembangan umat Islam selanjutnya, Maulid Nabi SAW. baik dari kalangan sunni maupun syi’ah mereka sudah merayakan dengan meriah dalam berbagai bentuk dan corak serta waktu yang berbeda berdasarkan kearifan lokal masing-masing (local-culture). Perayaan Maulid Nabi SAW. tersebut menjadi budaya dalam masyarakat Islam seluruh dunia yang didasarkan kepada hukum Islam. Kebudayaan tersebut diistilahkan sebagai kebudayaan Islam. Keunduri Maulid dalam Budaya Aceh Maulid Nabi SAW. sebagai kebudayaan Islam dalam tingkatan aktualisasi bersifat variatif. Hal demikian disebabkan, disamping oleh aliran pemikiran furu’iyah agama yang berbeda (sunni-syi’ah) juga oleh faktor budaya lokal tempat masyarakat Islam berdomisili. Oleh sebab itu, perbedaan waktu, bentuk perayaan Maulid Nabi SAW. dan lain-lain bukan persoalan substantif karena Maulid Nabi SAW. diikat olehideologi Islam sebagai keyakinan bagi umat Islam.Dalam budaya Arab, masyarakat Islam sunni merayakan Maulid Nabi SAW. pada tanggal 12 Rabiul Awal. Sedangkan muslim syi’ah merayakan budaya tersebut pada tanggal 17 Rabiul Awal bertepatan dengan ulang tahun pemimpin syi’ah keenam, Imam Jafar As-Shadiq. Berdasarkan uraian di atas, tradisi Maulid Nabi SAW. di Arab (local-cultural) dilaksanakan yaitu pada 12 Rabiul Awwal dan 17 Rabiul Awwal. Data tersebut telah membantu untuk ketuntasan kajian ini kendati pun tidak ada rujukan lain tentang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
gambaran konkrit menyangkut aktivitas teknis dalam tradisi Maulid Nabi SAW. di Arab. Sebagaimana umat Islam di daerah lain melaksanakan Maulid Nabi SAW., masyarakat Islam di Aceh juga menyelenggarakan budaya Islam tersebut. Budaya Islam ini dalam tradisi Aceh dinamakan sebagai” Kanduri Mulod”. Bagi masyarakat Aceh, memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. (12 Rabiul Awwal) dalam bentuk “Kanduri Mulod” diselenggarakan di dalam tiga (3) yaitu bulan Rabiul Awwal (mulod awai), Rabiul Akhir (mulod teungoh) dan pada bulan Jumadil Awal (mulod akhe) . “Kanduri Mulod” merupakan salah satu adat (tradisi) yang telah tersusun aturan perayaannya di Aceh.Adat tersebut termasuk dalam salah satu adat memperingati hari besar Islam di Aceh yang meliputi juga tentang peringatan turun Al-Quran (Nuzulul Quran) dan mengenang peristiwa Israk Mi’raj. Tradis i “Kandur i Mulod” bagi masyarakat Aceh bukan dimaknai dengan makan bersama yang identik dengan hurahura dan mubazir. Bagi masyarakat Aceh, tradisi ini dilakukan sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Islam, memperkuat keimanan kepada Allah SWT. dan kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW., serta memperkokoh ukhwah islamiyah untuk menumbuhkan solidaritas dan kepekaan terhadap nasib sesama. Itulah tujuan dasar dari tradisi tersebut, dan tujuan ini relavansi dengan tujuan Islam. Berdasarkan kepada tujuan “Kanduri Mulod”, kegiatannya sarat dengan pendidikan keagamaan. Pendidikan tersebut dilakukan dalam bentuk perlombaan 5
137
hafalan Al-Quran, perlombaan shalat, cerdas cermat, pidato dan lain-lain yang diperuntukkan untuk anak – anak dan remaja. Kegiatan ini biasanya dilakukan tiga hari sebelum acara “Kanduri Mulod”. Hasil dari perlombaan ini diumumkan serta diberikan hadiah kepada para juara pada acara puncak “Kanduri Mulod” sebelum dakwah akbar dimulai. Pada hari “Kanduri Mulod”, masyarakat dengan ikhlas menyedekahkan makanan siap saji untuk dinikmati bersama yang dipusatkan di Meunasah atau Mesjid setempat. Makanan yang disedekahkan masyarakat berupa nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk segi tiga yang dinamakan dengan “bue kulah” beserta lauk pauk mulai dari gulai ayam kampung, gulai kambing, gulai ikan, telur bebek, sayur nangka, buah-buahan, kue dan lain-lain. Makanan-makanan tersebut dibungkus dengan tudung saji berkainkan berenda emas. Tudung saji tersebut berbentuk kerucut dengan warna dominan hijau, kuning, dan hitam yang dinamakan sebagai “Idang Meulapeh”. Dalam “Kanduri Mulod”, anak-anak yatim dan fakir miskin mendapat pelayanan khusus dari masyarakat sebagai wujud kecintaan mereka kepada golongan tersebut. Bahkan ada dibeberapa daerah di Aceh, masyarakat menyantuni mereka dengan sejumlah uang. Tradisi “Kanduri Mulod” di Aceh bersampulkan lantunan shalawat, zikir dan syair-syair mengagungkan Allah SWT. dan mendoakan keselamatan untuk Rasulullah SAW. keluarga beserta shahabat serta untuk seluruh umat Islam yang terdengar indah dan menggugah jiwa yang keluar dari mulut-mulut remaja Dayah 138
dengan suara yang merdu dan nyaring. Suara-suara itulah yang dinamakan dengan “Barzanji” yang merupakan salah satu karakter khusus dalam tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh. Sedangkan pada malam hari sebagai kegiatan puncak “Kanduri Mulod”, masyarakat mengadakan dakwah akbar yang berisikan tentang sirah nabawiyah untuk dijadikan sebagai ibrah oleh masyarakat Aceh dalam kehidupan. Sarana yang dipersiapkan untuk dakwah akbar berupa mimbar penda’i juga tidak luput dari sentuhan seniman-seniman remaja setempat. Bentuk-Bentuk mimbar dibuat dalam bentuk binatang, bangunan, pesawat, helikopter, mobil dan lain-lain sehingga suasana semakin semarak. Bentuk-bentuk binatang yang dibuat berupa binatang-binatang yang terlibat dalam sejarah kerasulan Rasulullah SAW. seperti unta dan laba-laba. Sedangkan mimbar dalam bentuk bangunan dibuat berbentuk bangunan Mesjid dengan atap berbentuk kubah. Keunduri Mulod: Akulturasi Budaya Arab dan Aceh Islam masuk ke Aceh berasal dari masyarakat Islam Arab. Masyarakat tersebut meskipun dalam sejarah Islam Nusantara dinamakan sebagai pedagang, namun dalam disiplin ilmu sosiologi mereka dianggap sebagai masyarakat migran. Migrasi adalah perpindahan seseorang atau sekelompok orang dari tanah kelahiran pergi ke daerah lain dengan tujuan untuk sementara waktu atau pun menetap. Pengertian tersebut sesuai dengan kedatangan masyarakat Arab ke Aceh dengan tujuan ganda, berdagang dan berdakwah. Bagi pedagang, mereka tidak menetap di Aceh. Sedangkan pendakwah, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
mereka menetap di Aceh bahkan kawin dengan masyarakat Aceh dan menjadi penduduk tetap untuk kepentingan dakwah. Migrasi memunculkan dua bentuk fenomena yang berbeda; 1). Akulturasi budaya; 2). dan konflik budaya. Hal demikian disebabkan oleh masing – masing pihak, baik pendatang maupun pihak setempat memiliki budaya sendiri. Jika sistem sosial antara dua budaya tersebut kompatibel atau dapat saling mengisi, maka proses tersebut dapat melahirkan sistem sosial dan budaya baru sebagai suatu budaya dalam bentuk akulturasi atau bahkan suatu budaya asimilasi. Sebaliknya, jika sistemsistem tersebut tidak kompatibel, tidak selaras, tidak saling komplementer, atau saling berbeda, maka fenomena yang terjadi adalah konflik atau bahkan perang terbuka. Berdasarkan sejarah, konsekwensi migrasi komunitas Arab ke Aceh adalah terbentuk budaya baru dalam bentuk akulturasi budaya Islam Arab dengan budaya Hindu Aceh. Keadaan demikian merupakan hasil dari metode dakwah yang dilakukan oleh bangsa Arab dalam bentuk islamisasi budaya Hindu Aceh secara lunak (soft) sehingga tidak mengherankan bila masyarakat saat itu menerima Islam tanpa merasa keluar dari agama mereka sendiri. Melalui proses-proses demikian, masyarakat pribumi Aceh bertambah simpatik kepada bangsa Arab sehingga tidak sedikit budaya-budaya Arab diadopsi menjadi budaya Aceh. Hasil perpaduan itulah terbentuk budaya baru di Aceh yaitu “budaya Islam Aceh”. Oleh sebab itu, membahas tentang Aceh bermakna berbicara mengenai masyarakat Islam sebagaimana yang dilaporkan oleh Amirul
Hadi dalam buku Aceh Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Di antara budaya-budaya Aceh dalam bentuk akulturasi budaya adalah tradisi (adat) “Kanduri Mulod” pada tingkatan dan struktur budaya dinamakan sebagai trait complex. Item-item dalam tradisi tersebut dikombinasikan dengan itemitem perayaan Maulid Nabi SAW. di Arab. Salah satu item yang diadopsi dalam tradisi “Kanduri Mulod” di Aceh adalah bacaan “Barzanji”. Dalam kajian ini bacaan “Barzanji” dianggap sebagai item tradisi yang diadopsi dari Arab berdasarkan kepada teori umum Al-Attas yaitu karakteristik kitab “Barzanji” bertulisan Arab yang disusun oleh Al-’Allaamah al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan bin ‘Abdul Karim al-Barzanji (1126 – 1184 H) seorang mufti As-Syafi’iyah di Kota Madinah alMunawwarah. Kitab tersebut lebih populer dengan nama “Mawlid al-Barzanji”. Sebagian ulama menyatakan bahwa nama karangan tersebut sebagai “I’qdul Jawhar fi mawlid an-Nabiyyil Azhar”. Kitab Barzanji ini tersebar luas di negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di Barat. Mayoritas umat Islam di dunia telah menghafal dan membaca dalam perhimpunan-perhimpunan agama yang munasabah. Kitab “Barzanji” berisikan tentang ringkasan sirah nabawiyyah yang meliputi kisah kelahiran, perutusan sebagai rasul, hijrah, akhlak dan peperangan sehingga kewafatan baginda Rasulullah SAW. Sedangkan item-item lain dalam tradisi “Kanduri Mulod” di Aceh adalah bernuansa lokal. Hal demikian terlihat dari jenis-jenis makanan, alat-alat penyajian makanan seperti Idang Meulapeh, tempat
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
139
perayaan dan kegiatan-kegiatan dalam perayaan tradisi tersebut. Begitu juga tentang waktu perayaan “Kanduri Mulod” di Aceh yang dirayakan pada tiga bulan yaitu pada bulan Rabiul Awwal (mulod awai), Rabiul Akhir (mulod teungoh) dan Jumadil Awwal (mulod akhe). Sedangkan di Arab dirayakan pada tanggal 12 Rabiul Awwal dan 17 Rabiul Awwal. Kebiasaan masyarakat Aceh pada tiga bulan tersebut adalah melakukan pertunangan anak (khitbah), mengawinkan anak dan melaksanakan peresmian perkawinan (walimah) karena pada bulan-bulan tersebut dianggap berkah oleh masyarakat. Kenduri Maulid Pada Masyarakat Aceh Masa Kini Di zaman yang semakin maju ini perubahan berlangsung sangat cepat. Masyarakat tidak hanya menerima informasi dari kalangan internal di masyarakatnya, tetapi mereka juga menerima berbagai macam informasi dari masyarakat yang berasal dari luar lingkungan tempat tinggal mereka. Informasi tersebut dapat berupa informasi yang positif, tetapi juga informasi yang bersifat negatif. Informasi yang bersifat positif tentunya tidak akan menimbulkan masalah bagi masyarakat. Bahkan informasi tersebut sangat menguntungkan bagi kemajuan sebuah masyarakat. Masalah akan timbul apabila informasi yang masuk ke dalam masyarakat adalah informasi yang negatif. Tidak hanya pertentangan antar masyarakat akan timbul sebagai dampak masuknya informasi yang negatif, tetapi juga pudarnya beberapa nilainilai yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat tersebut. 140
Masyarakat Aceh pun tidak terlepas dari masuknya berbagai informasi. Apabila tidak dapat tersaring informasi yang negatif, maka dikhawatirkan akan merusak sendi-sendi nilai-nilai moral yang ada dan tertanam di dalam sanubari ureung (orang) Aceh, khususnya di kalangan generasi muda. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membentengi diri dengan nilai-nilai keagamaan yang kuat. Di antara upaya tersebut adalah dengan cara memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya. Selain sebagai upaya mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, ritual maulid bagi ureung (orang) gampong dapat menjadi sarana silaturahmi dan hiburan. Dalam kenyataannya, dalam setiap maulid ada yang menyertakannya dengan dikee maulid, yaitu membaca syair secara berirama. Isi dikee maulid terutama tentang peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan luapan gembira masyarakat Madinah yang menyambut kedatangan nabi. Isi lainnya tentang status Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa rakhmat dan penyelamat kemanusiaan. Sekarang baik di gamponggampong maupun di kota lazim pula diramaikan dengan ceramah atau pidato keagamaan (dakwah Islam). Kenduri Maulid memang khas sebagai adat dan budaya Aceh. Tentunya, ia sangat relevan dengan kehidupan masyarakat di daerah ini, yang telah pula memproklamirkan diri sebagai daerah dengan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sebuah daerah yang bersyariat Islam, maka semua aspek kehidupan diarahkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sikap, perilaku, tatakrama didasarkan kepada syariat Islam. Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Gempuran nilai-nilai luar yang tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat akan terus mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Kehidupan Nabi Muhammad SAW, sifatsifat dan keteladanan disertai dengan nilainilai yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist merupakan senjata yang ampuh untuk menangkal semua pengaruh yang bersifat negatif dari dunia luar masyarakat Aceh. Peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang disimbolkan dalam bentuk kenduri Maulid telah mentradisi dilaksanakan setiap tahun. Seperti orang memperingati hari ulang tahun setiap tahun atau merayakan “tahun baru” untuk memperingati pergantian tahun Masehi pada tanggal 1 Januari. Peringatan Maulid yang dilaksanakan setiap tahun dikandung maksud sebagai sebuah upaya yang terusmenerus untuk mengingatkan kepada seluruh anggota masyarakat akan jati diri mereka sebagai umat Islam dan ureung (orang) Aceh. Pada masa yang akan datang tantangan pergeseran nilai-nilai budaya sangatlah berat. Kehidupan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Aceh makin meluas ke berbagai belahan wilayah di Aceh. Dunia telah menjadi gampong yang besar. Batas-batas antar gampong ini tidak tampak secara nyata. Peristiwa atau aktivitas dari dunia lain dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat lain.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
PENUTUP Tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh tidak bertentangan dengan worldvieuw masyarakat Aceh yaitu ”hukoem ngeun adat lage zat ngeun sifeut (hukum dan adat seperti zat dan sifat)”.Hal demikian terlihat dari aspek legalitas hukum perayaan Maulid Nabi SAW. yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis. Ke dua sumber Islam tersebut memberikan sinyal tentang kebolehan perayaan tersebut.. Sinkronisasi perayaan Maulid Nabi SAW. dengan falsafah masyarakat Aceh juga terletak pada tujuan perayaan itu sendiri. Tujuan dari peryaan ini adalah sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. yang telah menciptakan hamba-Nya Muhammad SAW. sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam. Perayaan Maulid Nabi SAW. merupakan salah satu kebudayaan Islam yang diciptakan oleh umat Islam pada abad 12 M. yang bertujuan untuk memperkuat kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW. dan juga sebagai media untuk membangkitkan semangat jihad umat Islam dalam menghadapi invansi Kristen Salib dalam perang Salib memperebutkan kota Yarussalem. Ide itu muncul pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (1138-1193 M.) zaman Dinasti Abbasiah. Inspirasi Shalahuddin tersebut sebagian sejarawan melaporkan tidak terlepas dari pemikiran Syi’ah Mesir Al-Adid. Bahkan para sejarawan lain melaporkan bahwa, gagasan itu berasal dari Abu Said Al-Qa’buri gubernur Irbil Irak bukan dari Shalahuddin sendiri. Pada masa itu, sebagian besar umat Islam sunni dan syi’ah, perayaan Maulid
141
Nabi SAW. dianggap bid’ah. Akan tetapi pada masa selanjutnya, umat Islam diseluruh dunia merayakan perayaan tersebut sehingga menjadi sebuah kebudayaan Islam yang dilaksanakan dalam berbagai bentuk berdasarkan kearifan daerah dan wilayah masing-masing baik umat Islam sunni maupun syi’ah. Aceh salah satu wilayah yang mayoritas beragama Islam juga merayakan budaya tersebut. Budaya Islam ini dirayakan berdasarkan tradisi Aceh dengan keunikankeunikan tersendiri. Idang Meulapeuh yang berisikan beragam makanan khas Aceh, Bue Kulah, Barzanji, aneka perlombaan agama untuk anak-anak dan remaja, santunan anak yatim dan fakir miskin, aneka bentuk mimbar yang unik serta dakwah akbar adalah ciri-ciri khas Aceh dalam memperingat kelahiran Nabi besar Muhammad SAW. Unsur-unsur itulah yang membedakan tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh dengan daerah dan negara Islam lain disamping dari nama tradisi tersebut yaitu “Kanduri Mulod”. Wallahu’alam.
Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang Ihsan Shadiqin, Sehat. 2008. Tasawuf Aceh, Banda Aceh : Bandar Publising S.M.N, al-Attas, 1972. Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur : Universitas Kebangsaan Malaysia Sugihen, Bahrein T. Sosiologi, Banda Aceh : Lembaga Penelitian Pengembangan dan Penerbitan Informasi Pembangunan (LP3IP) Umar, Muhammad. 2006. PERADABAN ACEH (TAMADDUN I), Banda Aceh : Yayasan BUSAFAT Banda Aceh Bekerjasama Dengan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh
DAFTAR RUJUKAN Atang Abd., Hakim, Jaih Mubarok. 2004. Metodelogi Studi Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid Dan Terjemahannya, Bandung : PT. Syaamil Cipta Mulia Hadi, Amirul. 2010. Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, edisi 1
142
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
FIS 39 (2) (2012)
FORUM ILMU SOSIAL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
APLIKASI TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK HANALISIS POTENSI WILAYAH PESISIR GUNA PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KABUPATEN REMBANG Heri Tjahjono, Rahma Hayati dan Galuh Sitoresmi* Dosen Jurusan Geografi FIS Unnes Kampus Sekaran Gunungpati Semarang Kode Pos 50229 Info Artikel
Keywords: Constitutional Court, constitutional rights, human rights, citizens
Abstract Tourism can be a top priority in supporting the development of a region. Coastal tourism is a potential tourist that will contribute significantly to the community’s economy. Rembang District as one of the coastal tourist destination, located on the north coast of Java and has the potential of natural beauty that is very interesting, but less widely known because of lack of development. The government is currently trying to develop a Rembang district coastal tourist areas to be promoted to some areas. Purpose of this study were (1) determine the potential for coastal areas in the Rembang District, (2) determine how far the development of coastal tourism in Rembang District, and (3) Provide guidance on priority areas for the development of coastal tourism in Rembang District. The variables consisted of physical potential, the social potential, and tourism development. The method of data collection using observation, documentation, and interviews. Analysis of data using scoring techniques, grades and descriptive analysis. The results showed that areas that have the potential for the development of coastal tourism in Rembang District in stages from the highest potential and Sub-district Rembang and Sarang, Sub-distric Kragan, and Lasem. The development of tourism in coastal areas in Rembang District is quite diverse among others include beautiful panorama, cultural tourism, pilgrim (religion), culinary, industrial, and commercial all of which have the potential to be marketed. Great potential is less supported the development of tourism, especially accommodation, infrastructure, facilities and services. Based on the potential physical, social, and tourism development that is directed into 3 main priorities Priority I Rembang and Sarang District are prioritized for the development of cultural tourism and pilgrim tour. Priority II Kragan District that no special priority. Priority III Lasem District priority for pilgrim tourism development
2012 Universitas Negeri Semarang
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
143
PENDAHULUAN Kabupaten Rembang sebagai salah satu daerah tujuan wisata pesisir, terletak di pantai utara pulau Jawa dan merupakan daerah pinggiran (pheripheral) wilayah Jawa Tengah. Kabupaten Rembang mempunyai 6 kecamatan yang berada di pinggiran pantai, yaitu Kecamatan Kaliori, Rembang, Lasem, Sluke, Kragan, dan Sarang. Letak strategis Kabupaten Rembang yang memanjang dengan garis pantai 60 km, menambah keindahan panorama pesisir. Kawasan wisata bahari dan pesisir di Kabupaten Rembang yang menarik untuk dikunjungi, antara lain: Pantai Kartini, Pantai Binangun, Pantai Pasir Putih, Pulau Gede, Pulau Marongan, Museum Kamar Pengabadian R.A Kartini, Jangkar Dampo Awang, dan Petilasan Sunan Bonang. Kondisi pariwisata pesisir di Kabupaten Rembang memiliki potensi keindahan alam yang sangat menarik, tetapi tidak dikenal masyarakat luas utamanya calon wisatawan karena kurangnya pengembangan terutama yang sifatnya besar-besaran. Pemerintah Kabupaten Rembang sedang berusaha untuk mengembangkan kawasan wisata pantai di Kabupaten Rembang untuk dipromosikan di beberapa daerah terutama pada bagian timurnya yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengembangan ini dilakukan untuk menarik para wisatawan guna menambah pendapatan asli daerah (PAD), sekaligus agar Kabupaten Rembang lebih dikenal oleh masyarakat luas. Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah 144
yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut, seperti pasang surut, dan intrusi air laut, sedangkan batas di laut adalah daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Rais, 2001). Ada dua batas yang terdapat di wilayah pesisir, yaitu (a) batas ke arah darat, secara ekologis batas ke arah darat merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti pasang surut, intrusi air laut dan lain-lain. Secara administratif batas ke arah darat merupakan batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbiter (2 km, 20 km, dari garis pantai). (b) batas ke arah laut, secara ekologis batas ke arah laut merupakan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah di darat seperti : (aliran air sungai, run off, aliran air tanah, dll), atau dampak kegiatan manusia di darat (bahan pencemar, sedimen dll); atau kawasan laut yang merupakan paparan benua (Continental shef). Secara administratif batas ke arah laut sejauh 4 mill, atau 12 mill, dan seterusnya dari garis pantai ke arah laut. Sedangkan dari segi perencanaan batas ke arah laut bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir (Dahuri 2001). Menurut Totok Gunawan ada empat aspek yang sangat berpengaruh dan mendukung adanya proses pengembangan wilayah, yaitu (a) aspek fisik, (b) aspek sosial budaya, (c) aspek kelembagaan dan, (d) aspek perekonomian. Aspek fisik meliputi kondisi bentuk lahan, topografi, tanah, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
penggunaan lahan, iklim, geologi, hidrologi dan geomorfologi. Bentuk lahan merupakan bentuk dan sifat dari kenampakan tertentu pada permukaan bumi (Suharsono, 1998). Tanah merupakan akumulasi tubuhtubuh alam yang bebas yang menduduki sebagian besar permukaan bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat-sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad-jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relatif tertentu selama jangka waktu tertentu pula ( Jamulya, 1983). Sujali (1989) mengatakan bahwa iklim merupakan salah satu faktor geografis yang mampu menumbuhkan variasi lingkungan alam dan budaya, sehingga dalam pengembangan pariwisata iklim sangat penting peranannya. Sumaatmadja (1981) mengatakan bahwa iklim dan cuaca merupakan faktor geografis yang berpengaruh terhadap kehidupan, sehingga harus diperhitungkan bagi kepentingan pembangunan termasuk di dalamnya pembangunan dalam bidang pariwisata. Aspek sosial budaya meliputi masalah demografi dan kependudukan, sikap atau aspirasi masyarakat, pemilikan tanah, dan mata pencaharian. Aspek perekonomian mencakup kondisi perekonomian daerah, seperti macam kegiatan yang dikembangkan di daerah tersebut. Sedangkan aspek kelembagaan meliputi unit-unit lembaga masyarakat. Menurut Karyono (1997), jenis pariwisata terdiri atas : Wisata Budaya, Wisata Kesehatan, Wisata Olah Raga, Wisata Komersil, Wisata Industri, Wisata Politik, Wisata Konvensi, Wisata Sosial, Wisata Pertanian, Wisata Maritim atau Bahari, Wisata Cagar Alam, Wisata Buru, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Wisata Pilgrim, Wisata Bulan Madu. Sedangkan jenis pariwisata yang terdapat di daerah penelitian adalah (1) Wisata Pesisir, wisata bahari sering dikaitkan dengan olah raga air seperti berenang, menyelam, dan menikmati keindahan yang tersedia di air; (2) Wisata Budaya, seseorang yang dalam perjalanan wisata dengan tujuan untuk mempelajari adat-istiadat yang terdapat di daerah tersebut; (3)Wisata Pilgrim, jenis wisata ini dikaitkan dengan agama dan kepercayaan misalnya: mengunjungi tempat-tempat suci; (4) Wisata Kuliner, jenis wisata ini dikaitkan dengan makanan atau minuman untuk dinikmati wisatawan; (5) Wisata Industri, perjalanan yang dilakukan rombongan siswa/mahasiswa ke suatu industri guna mempelajari atau meneliti industri tersebut, misalnya berkunjung ke IPTN untuk melihat industri pesawat terbang; (6) Wisata komersil atau wisata bisnis, adalah wisatawan yang melakukan perjalanan untuk melakukan tujuan komersil atau dagang, misalnya mengunjungi pameran dagang /industri. Tujuan yang ingin dicapai adalah (1) mengetahui potensi wilayah pesisir untuk pengembangan pariwisata di Kabupaten Rembang, (2) Mengetahui sejauh mana pengembangan pariwisata pesisir di Kabupaten Rembang, (3) Mengetahui arahan pengembangan untuk prioritas daerah pariwisata pesisir Kabupaten Rembang. METODE PENELITIAN Objek dalam penelitian ini adalah Kabupaten Rembang, namun dalam penelitian ini, tidak semua wilayah Kabupaten Rembang menjadi objek 145
penelitian, karena yang dikaji hanya daerah pesisir yaitu wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut. Adapun kecamatan yang dimaksud yaitu 6 kecamatan yang berada dipantai, diantaranya adalah Kecamatan Kaliori, Rembang, Lasem, Sluke, Kragan, dan Sarang. Penelitian ini menggunakan sampling jenuh atau meneliti seluruh populasi, dengan alasan (a) jumlah populasi relatif kecil, (b) penelitian ini ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Sampel yang akan digunakan sebagai objek penelitian adalah kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut yang mencakup 6 kecamatan yaitu Kecamatan Kaliori, Rembang, Lasem, Sluke, Kragan, dan Sarang, yaitu sesuai dengan populasi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a) Potensi fisik yang mencakup bentuk lahan, tanah, topografi, penggunaan lahan, klimatologi, gelombang; (b) Potensi sosial (jumlah penduduk, penduduk produktif, pendidikan, mata pencaharian); (c) Potensi pengembangan pariwisata yang mencakup atraksi, transportasi, akomodasi, pelayanan, infrastruktur dan kebijakan pariwisata. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah (a) observasi, digunakan untuk memperoleh data mengenai potensi wilayah pesisir yaitu : bentuk lahan, tanah, topografi, penggunaan lahan, klimatologi, gelombang, serta pengembangan pariwisata yaitu : atraksi, transportasi, akomodasi, fasilitas dan pelayanan serta infrastuktur; (b) dokumentasi, digunakan untuk memperoleh data dari instansi terkait yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Rembang, 146
(c) wawancara, digunakan untuk mendapatkan data tentang pengembangan pariwisata Kabupaten Rembang dengan cara bertanya langsung kepada orang yang sudah dipilih sebagai orang kunci (key person) yaitu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang, dan Kepala pengelola obyek wisata pesisir. Analisis data dilakukan dengan skoring. Potensi fisik dianalisis secara spasial menggunakan data sekunder yang berupa peta, yaitu tentang unit lahan yang kemudian diharkat (diskor) sesuai dengan kontribusi relatif untuk pariwisata. Analisis potensi sosial menggunakan data sekunder yang berupa dokumentasi (data) yang kemudian di rangking berdasarkan tingkatan tertinggi hingga terendah, kemudian diharkat sesuai dengan rangking tersebut. Analisis variabel pengembangan pariwisata, menggunakan pengamatan langsung dengan mempertimbangkan hasil wawancara yang kemudian diharkat sesuai dengan parameter yang sudah ditentukan. Adapun diagram alir dalam penelitian ini adalah seperti pada Gambar 1. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kabupaten Rembang terletak di ujung timur laut Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten ini dilalui jalan Pantai Utara Jawa (Jalur Pantura) yang merupakan jalur yang ramai dilalui kendaraan yang menghubungkan ibukota Provinsi Jawa Tengah yaitu Kota Semarang dengan Kota Surabaya yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur. Dilihat dari astronomis terletak pada garis koordinat 111° 00’ BT - 111°30’ BT dan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian 6°30’ LS - 7° 6’ LS. Kondisi tanah sebagian besar berupa dataran rendah di bagian utara dan semakin tinggi ke arah selatan dengan ketinggian wilayah maksimum kurang lebih 70 meter di atas permukaan air laut. Secara administratif, Kabupaten Rembang berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di bagian utara, Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tuban (Jawa Timur), Sebelah selatan berbatasan dengan
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Kabupaten Blora, Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pati. Kabupaten Rembang memiliki 14 kecamatan dan 287 desa. Pada penelitian ini diteliti 6 kecamatan di daerah pesisir yang diambil sebagai daerah populasi sekaligus sampel yaitu Kecamatan Kaliori menempati 7.098 hektar atau 6,044%, Kecamatan Rembang menempati areal 5.867 hektar atau 5,780%, Kecamatan Lasem menempati areal 4.442 hektar atau 4,426%, Kecamatan Sluke menempati areal 147
3.847 hektar atau 3,69%, Kecamatan Kragan menempati areal 6.797 hektar atau 6,06 %, dan Kecamatan Sarang menempati areal 9.166 hektar atau 8,976%. Secara total luas keenam kecamatan sampel 37.217 hektar atau 34,976% dari luas wilayah administrasi Kabupaten Rembang. Secara berurutan dari yang terluas hingga tersempit, lokasi penelitian adalah Kecamatan Sarang, Kaliori, Kragan, Rembang, Lasem, dan Sluke yang merupakan kecamatan tersempit. Daerah pesisir Kabupaten Rembang terdiri dari bentukan lahan asal marin, struktural dan vulkanik. Bentukan lahan asal marin, merupakan dataran pantai yang terbentuk akibat adanya proses abrasi atau penimbunan. Daerah ini merupakan daerah pesisir maupun pantai dan sekitarnya yang masih terkena pengaruh langsung dari aktivitas marin (Suharsono, 1998). Daerah pesisir Kabupaten Rembang didominasi oleh bentuk lahan asal marin karena berbatasan langsung dengan laut, yang mana mengalami proses abrasi pada daerah sekitar pantai. Bentukan lahan asal struktural terbentuk karena adanya proses endogen (tenaganya berasal dari dalam bumi) yang disebut proses tektonik atau diatropisme. Proses ini meliputi pengangkatan, penurunan, dan pelipatan kerak bumi sehingga terbentuk struktur geologi tertentu (Suharsono, 1998). Bentukan lahan asal struktural tepatnya terletak di Kecamatan Sarang telah mengalami proses pelipatan, pengangkatan dan penurunan yang mana banyak dijumpai sinklinal dan antiklinal. Bentuk lahan asal vulkanik berkaitan dengan volkanisme yaitu berbagai proses / fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma naik ke permukaan bumi. Bentuk lahan asal vulkanik terletak di 148
Kecamatan Lasem dan Sluke, yang mana terbentuk akibat proses vulkanik dari Gunung Kajar dengan ketingian 806 meter dpl. Analisis dalam penelitian ini menggunakan unit lahan. Setiap unit lahan dapat diketahui berdasarkan kode pada legenda, misalkan Ma I Al Kb 1 yang artinya Ma = Bentuk Lahan Marin, I= lereng kelas I (02%), Al = jenis tanah Aluvial, Kb= penggunaan lahan berupa kebun dan dengan 1= curah hujan kelas 1 (tipe iklim F / Kering). Peta Satuan Lahan daerah pesisir Kabupaten Rembang memiliki 2998 unit lahan. Untuk mengetahui potensi fisik secara keseluruhan, maka dilakukan analisis overlay dengan teknologi SIG pada Peta Bentuk Lahan, Peta Tanah, Peta Lereng, Peta Penggunaan Lahan dan Peta Curah Hujan Daerah Pesisir Kabupaten Rembang. Daerah pesisir Kabupaten Rembang terdiri dari 7 macam jenis tanah, yaitu Alluvial, Mediteran, Litosol, Grumusol, Regosol, Hidromorf dan Planosol yang memiliki kedalaman efektif 0 - >90 cm. Wilayah Kabupaten Rembang bagian utara merupakan kawasan pantai, bagian tengah berupa dataran rendah yang cukup luas dan pada wilayah selatan Rembang merupakan daerah perbukitan. Wilayah pegunungan merupakan bagian dari Pegunungan Kapur Utara dengan puncaknya Gunung Butak yang ber-ketinggian 679 meter. Sebagian wilayah utara arah timur, terdapat perbukitan dengan puncaknya Gunung Lasem dengan ketinggian 806 meter. Kawasan tersebut kini dilindungi dan dijadikan sebagai cagar alam merupakan sebuah gunung yang terdapat di bagian tengah Kabupaten Rembang membujur Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
mulai dari pegunungan Kapur Utara di bagian selatan hingga ke pesisir Pantai Utara di sebelah utara (Banowati, 2009). Secara keseluruhan, di daerah pesisir Kabupaten Rembang memiliki ketinggian tempat 0-800 meter dari permukaan air laut. Kabupaten Rembang terdapat perbukitan dengan puncaknya Gunung Lasem dengan ketinggian 806 meter. Sedangkan kondisi kemiringan lereng yang terbesar adalah kemiringan lereng 0-<2% yaitu mendominasi Kecamatan Kaliori, Rembang, sebagian Kecamatan Kragan dan Sarang. Sedangkan kemiringan lereng 2-<15% dan 15-<40% tersebar hanya sedikit di Kecamatan Lasem, Sluke dan Kragan. Penggunaan lahan di Kabupaten Rembang yang paling dominan adalah untuk fungsi budidaya baik itu untuk kegiatan permukiman, pertanian maupun tegalan. Sedangkan untuk fungsi lindung hanya mencakup wilayah seluas 2,84% dari luas keseluruhan Kabupaten Rembang. Penggunaan lahan terluas untuk lahan pertanian berupa sawah dan tegalan seluas 62,89%, hutan rakyat hutan negara seluas 23,69%, dan permukiman seluas 8,42%. Wilayah pesisir Kabupaten Rembang merupakan dataran rendah yang tepatnya di
bagian utara Pulau Jawa, menyebabkan wilayah ini memiliki jenis iklim tropis dengan suhu maksimum 33° C dan suhu ratarata 23° C. Kecamatan yang memiliki curah hujan dengan tipe iklim E ( menurut Schmidt dan Ferguson) atau agak kering adalah Kecamatan Kaliori, Rembang, dan Kragan. Kecamatan yang memiliki curah hujan lebat dengan tipe D atau sedang adalah Kecamatan Lasem, sedangkan kecamatan dengan tipe F atau kering adalah Kecamatan Sluke dan Sarang. Jumlah volume curah hujan selama 10 tahun yang bervariatif, dan tergolong rendah merupakan salah satu potensi pendukung di kawasan pesisir. Berdasarkan hasil penelitian tentang kondisi sosial, maka didapatkan gambaran tentang potensi sosial untuk pengembangan pariwisata wilayah pesisir Kabupaten Rembang. Untuk mengetahui potensi dari masing-masing kecamatan, dengan cara mencari potensi sosial, kemudian menganalisis hasil penelitian dengan cara pengharkatan sesuai parameter pendukung pengembangan pariwisata, dan kemudian dijumlahkan. Untuk mengetahui total skor potensi sosial pengembangan pariwisata dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis Potensi Sosial yang Berhubungan dengan Jumlah Penduduk dan Usia Produktif di Daerah Pesisir Kabupaten Rembang No 1 2 3 4 5 6
Kec. Kaliori Rembang Lasem Sluke Kragan Sarang
Jumlah Pend. 39656 84712 48905 27775 59986 61244
Kelas V I IV VI III II
Harkat 2 6 3 1 4 5
Jumlah Usia Produktif 27671 58848 33292 19218 41308 42437
Kelas V I IV VI III II
Harkat 2 6 3 1 4 5
Sumber : Analisis Hasil Penelitian, Tahun 2010
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
149
Berdasarkan Tabel 1. dapat dijelaskan bahwa potensi sosial yang berhubungan dengan kependudukan yang paling tinggi dimiliki oleh Kecamatan Rembang dengan jumlah penduduknya terbanyak dengan skor 6. Sedangkan potensi sosial yang berhubungan dengan kependudukan yang paling rendah di miliki oleh Kecamatan Sluke dengan jumlah penduduknya paling
kecil/sedikit dengan skor 1. Hasil analisis data tentang potensi pariwisata pada masing-masing kecamatan dengan menggunakan pengharkatan dari jenis wisata yang ada di daerah pesisir Kabupaten Rembang, maka potensi jenis pariwisata di daerah pesisir Kabupaten Rembang, dapat disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Analisis Potensi Jenis Wisata Daerah Pesisir Kabupaten Rembang No
Kecamatan
A
B
C
D
E
F
1 2 3 4 5 6
Kaliori Rembang Lasem Sluke Kragan Sarang
2 2 3 2 0 1
1 3 1 0 2 1
1 2 3 1 1 3
2 3 3 1 1 2
2 1 3 3 1 2
1 1 3 1 1 2
Skor 9 12 16 8 6 11
Sumber : Hasil Analisis data, Tahun 2010 Keterangan : A =Wisata Pesisir; B :=Wisata Budaya, C =Wisata Pilgrim, D = Wisata Kuliner, E = Wisata Industri, F = Wisata Komersil.
Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 2. di atas, dapat dijelaskan bahwa Kecamatan Lasem memiliki potensi jenis wisata yang tertinggi (dengan jumlah skor 16), dan Kecamatan Kragan memiliki potensi yang terendah (dengan skor 6). Potensi pengembangan pariwisata dapat dilihat juga pada kondisi objek wisata dan kekhasan /keunikan serta keindahan pada objek wisata. Daerah pesisir Kabupaten Rembang yang terletak di jalur Pantura antara Kota Semarang dan Surabaya, mempunyai potensi pariwisata yang sangat besar dan tersebar, dengan didukung oleh letak geografis daerah pantai yang membujur
150
sepanjang pantai utara Pulau Jawa kurang lebih sekitar 60 km, kekayaan alam seni dan budaya daerah serta cirri khas yang menarik. Letak strategis Kabupaten Rembang yang berada di garis pantai, menambah keindahan panorama pesisir yang tepat untuk menikmati suasana pantai serta tempat peristirahatan apabila melakukan perjalanan melewati pantura dari Semarang ke arah Lamongan atau Surabaya. Untuk mengetahui potensi pengembangan pariwisata wilayah pesisir dari masing-masing kecamatan di Kabupaten Rembang, dilakukan dengan cara menginventarisasi segala pengembangan pariwisata yang ada di daerah pesisir
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Kabupaten Rembang, kemudian menganalisis data hasil penelitian dengan pengharkatan sesuai dengan parameter pendukung pengembangan pariwisata dan kemudian dijumlahkan. Analisis hasil seperti ini bertujuan untuk mengetahui potensi secara keseluruhan pada masing-masing kecamatan. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Daerah yang memiliki potensi pesisir untuk pengembangan pariwisata yang terdiri dari potensi fisik, sosial dan pengembangan pariwisata secara bertingkat dari yang berpotensi tinggi adalah Kecamatan Rembang dan Sarang, Kecamatan Kragan, dan Kecamatan Lasem, sedangkan yang tidak berpotensi adalah Kecamatan Kaliori dan Sluke; (2) Pengembangan pariwisata yang ada di daerah pesisir Kabupaten Rembang, memiliki karakteristik atau jenis wisata pesisir, budaya, pilgrim, kuliner, industri, dan komersil yang semuanya memiliki potensi untuk dipasarkan tetapi kurang ditunjang adanya pengembangan pariwisata terutama akomodasi, infrastruktur, serta fasilitas dan pelayanan; (3) Arahan pengembangan untuk prioritas daerah pariwisata pesisir Kabupaten Rembang adalah dengan penentuan skala prioritas yaitu : (a) Prioritas I pada Kecamatan Rembang dan Sarang, Kecamatan Rembang diprioritaskan untuk pengembangan wisata budaya, sedangkan Kecamatan Sarang diprioritaskan untuk wisata pilgrim; (b) Prioritas II pada Kecamatan Kragan, Kecamatan Kragan belum dapat diprioritas-kan untuk Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
pengembangan wisata karena belum memilki jenis maupun obyek wisata unggulan. Potensi yang mendukung di Kecamatan ini adalah potensi fisik dan potensi sosial yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata yang sudah ada seperti sebagai pengoptimalan sarana dan prasarana maupun atraksi pada objek wista; (c) Prioritas III pada Kecamatan Lasem, diprioritaskan untuk pengembangan wisata pilgrim karena dahulu kala Sunan Bonang banyak mensiarkan agama Islam di daerah ini. Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah (1) Perlu penyediaan atraksi yang lebih menarik serta peningkatan sarana dan prasarana pada objek wisata pesisir; (2) Mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak yang dapat memberikan bantuan dana bagi pembangunan sarana dan prasarana serta infrastruktur pariwisata; (3) Sosialisasi kepada masyarakat sekitar untuk mengadakan penanaman mangrove agar suasana pantai tidak panas dan gersang serta menjaga kebersihan di objek wisata pesisir; (4) Perlu diadakan perencanaan wilayah serta anggaran pada sektor pariwisata untuk merevitalisasi atau membangun objek wisata baru.
DAFTAR RUJUKAN BAPPEDA, 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah 2005-2014 Kabupaten Rembang BAPPEDA Kabupaten Rembang. BPS. 2008. Kabupaten Rembang dalam Angka Tahun 2006. BPS Kabupaten Rembang 151
————. 2009. Penduduk Kabupaten Rembang Akhir Tahun 2009. BPS Kabupaten Rembang Bengen, D.G., 2000. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. PKSPL. IPB. Dahuri, Rokhmin. Rais, Jacub. Ginting, Sapta Putra. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : PT. Anem Kosong Anem. Dahuri, Rokhmin. 2001. Potensi dan permasalahan pembangunan kawasan pesisir Indonesia. PKSPL. IPB. Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga. 2009. Potensi dan Daya Tarik Wisata Kabupaten Rembang. Rembang Karyono, A. Hari. 1997. Kepariwisataan. Jakarta : Gramedia. Widrasarana. Indonesia. Lestariningsih, 2002. Keterkaitan Potensi Wilayah dalam Usaha Pengembangan Objek Wisata Api Abadi Mrapen di Kabupaten Grobogan. Skripsi. Semarang : UNNES. Puspitowati, Tri. 2007. Pengembangan Objek Wisata Pantai Ketawang Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo. Skripsi. Semarang : UNNES.
152
Rais, J., 2001. Pedoman Penggambaran, Pengukuran dan Penetapan Batas Kewenangan Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Laut. DKP. Jakarta. Santoso Budi, A. dan Parman, Satyanta. 2006. Penyajian Informasi Potensi Pariwisata Berbasis SIG Sebagai Upaya Pengembangan Kepariwistaan di Kabupaten Cilacap. Instrumen Penelitian. Semarang : UNNES. Spillane, James S. 1994. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Sunarto. 1991/1992. Geomorfologi Pantai. Makalah. Yogyakarta : Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik UGM. Tjahjono, Heri. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk A n a l i s i s P o t e n s i Wi l a y a h . Semarang : FIS UNNES. Undang-undang. No 10 Tahun 2009. Tentang Kepariwisataan.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
FIS 39 (2) (2012)
FORUM ILMU SOSIAL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
MODAL SOSIAL DAN KONTRIBUSI EKONOMI PEDAGANG SAYUR KELILING DI SEMARANG Eko Handoyo* Dosen Jurusan PKn FIS Unnes Kampus Sekaran Gunungpati Semarang Kode Pos 50229 Info Artikel
Keywords: Regional Autonomy, PAD, Oil and Gas Industry
Abstract Problems to be solved in this study are (1) what lies behind the men became itinerant greengrocer?, (2) how the itinerant greengrocer build a social network with distributors, fellow merchants and consumers?, (3) what social norms that became agreement of the itinerant greengrocer who ensure the continuity of their business? (4) what the contribution of itinerant greengrocer to the family economy, (5) how the quality of their lives?This study used a qualitative approach and case studies. This study took place in the city of Semarang. Street Vendors areas studied were Gunungpati District, where they sell vegetables around. The samples taken in a purposive and respondents taken as many as 6 people merchants. The data was taken with observation techniques, interviews, and focus group discussion. Things that can not be taken with the three techniques, conducted with the study of literature. To measure the validity of data used triangulation techniques. The results were analyzed with qualitative analysis techniques (reduction, presentation, and drawing conclusions). From the results of research and field findings, it can be concluded (1) itinerant greengrocer has characteristics different from any other street vendors, which is mostly done by men, in trading on a motorcycle, and working in residential areas of dense population, (2) they become itinerant greengrocer, because there are no other jobs are more promising, (3) social capital merchants, mainly low membership in the association and has no contribution to the economic development of households, while the social capital of social networks and trust they have thus contributing significantly to the continuity business, (4) quality of life of itinerant greengrocer is relatively low, since the daily income is only enough for family consumption needs. Just in terms of freedom of component as part darei quality of life, they have it because they do not depend in selling to anyone, except to the agent.Based on the results of research and field findings, it is suggested that (1) vegetable traders are generally not affordable by the government and financial institutions, hence the need to be nurtured and empowered them to have access in developing the capital, and (2) most traders are not members of associations, therefore need established or included in the association of merchants who provide security and comfort in its hold.
2012 Universitas Negeri Semarang
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
153
PENDAHULUAN Umumnya pemegang otoritas dan elit kota di negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengeluhkan keberadaan PKL sebagai masalah utama di kota-kota mereka (Bromley 2000). Itulah sebabnya, mereka berkeinginan agar PKL dibersihkan dan diusir ke luar area kota, karena dianggap sebagai klilip kota. Namun demikian, PKL yang lebih banyakmenjajakan barang murah (diantaranya barang-barang bekas) dan jasa yang terjangkau biayanya, sangat dibutuhkan oleh warga kota yang memiliki penghasilan pas-pasan (Destombes 2010:23). PKL dibenci oleh penguasa, tetapi di lain pihak dirindukan oleh warga kota yang memiliki pendapatan rendah. Kondisi PKL di Semarang tidak jauh berbeda dengan nasib yang dialami PKL di berbagai kota di negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Di Semarang, problematika PKL ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah kota (pemkot) yang menimbulkan dilema. Di satu sisi, pemkot menginginkan kota harus bersih, indah, dan nyaman, sehingga dapat menjadi ruang publik yang sehat bagi seluruh warga kota. Pada sisi lain, PKL butuh hidup dan menghidupi keluarganya, oleh karenanya mereka tidak mau pergi dari kota yang padat konsumen. Di kota-kota besar, PKL umumnya menempati lokasi di daerah pusat perkantoran, bisnis, perbankan, pendidikan, pariwisata, pasar tradisional dan modern. Di kota Semarang, konsentrasi PKL ada di Barito, Kalisari, Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Semarang, Kantor Bank Indonesia, Pasar Johar, Bundaran Simpang 154
Lima, Jalan Menteri Supeno, Sampangan, dan pusat-pusat keramaian lainnya. Seiring dengan perkembangan pesat kota Semarang dalam 10 tahun terakhir, PKL dengan mudah dapat dijumpai, mulai dari tengah kota hingga pinggiran kota. Keberadaan PKL bagai jamur di musim penghujan. Mereka tersebar tidak hanya di satu kecamatan, tetapi hampir seluruh kecamatan yang ada di kota Semarang terdapat PKL baik yang resmi (terorganisasi) maupun yang tidak resmi (tidak terorganisasi). Menurut data Dinas Pasar Kota Semarang, jumlah pedagang kaki lima pada tahun 2009 mencapai 11.414 dengan rincian 7.419 sesuai Perda No. 11 Tahun 2000 dan SK Walikota Semarang Nomor 130.2/339 Tahun 2000 dan SK Walikota Nomor 511.3/16 Tahun 2001 dan 3.995 PKL tidak sesuai Perda dan SK Walikota. PKL yang berjuang untuk hidup di kota Semarang beraneka ragam jenisnya, ada yang berdagang nasi, berdagang sayuran, berdagang ikan, berdagang pakaian, berdagang mainan anak-anak, berdagang onderdil sepeda motor, berdagang VCD dan DVD, berdagang tanaman hias, dan lainlain.Umumnya, mereka berdagang secara permanen, menempati suatu area tertentu, dengan membuka lapak atau dasaran seadanya. Ada juga yang memakai gerobak dorong dan mobil. Diantara mereka ada yang menggunakan sepeda motor sebagai sarana untuk mengangkut barang dagangan. Sepeda motor digunakan untuk menjajakan sayur secara berkeliling menelusuri kota. Fenomena pedagang sayur keliling inilah yang saat ini menjadi fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) mobile di kota Semarang. Para pedagang ini umumnya adalah laki-laki. Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Mereka berjuang mempertahankan hidup dan kehidupan di tengah-tengah kesulitan mencari pekerjaan di kota Semarang. Pedagang sayur keliling yang menggunakan sarana sepeda motor untuk menjajakan barang dagangan, termasuk dalam kategori pedagang kaki lima (PKL) liar, tidak resmi atau tidak terorganisasi. Mereka menjumpai para pembeli atau pelanggan di perumahan dan lokasi ramai lainnya. Mereka tergolong PKL liar, karena tidak terorganisasi, jauh dari jangkauan dan perhatian pemerintah, serta tidak dipajaki. Pedagang kaki lima jenis mobile ini banyak juga dijumpai di Thailand dan Philipina. Sektor informal, khususnya PKL, dalam sistem ekonomi kontemporer (modern) bukanlah suatu gejala negatif sebagaimana argumen yang menolak PKL seperti yang ditunjukkan oleh pejabat pemerintah kota, tetapi lebih tepat dipandang sebagai realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional (Effendi 1997:1). Demikian pula, Mustafa (2008:57), menyatakan bahwa pedagang kaki lima sebagai korban dari kelangkaan kesempatan kerja produktif di kota, sehingga pedagang kaki lima dipandang sebagai jembatan terakhir bersama berkembangnya proses urbanisasi. Dukungan mengenai peran positif dari PKL disuarakan pula oleh Morrell,dkk (2008:7) dalam kajiannya tentang sektor informal di kota Solo dan Manado. Hasil penelitian di Solo menunjukkan bahwa aktivitas sektor informal tidak hanya mengisi fungsi ekonomi, tetapi juga memberikan pendidikan, mobilitas sosial, dan meningkatkan jaminan bagi anak-anak Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
mereka.Harris sebagaimana dikutip Amin (2005) menunjukkan bukti bahwa efisiensi yang dimiliki oleh sektor informal dapat mengurangi tingkat kemiskinan urban. ILO juga menemukan bahwa sektor informal mampu menyerap migran pedesaan (Amin 2005). Kelompok PKL umumnya memiliki modal sosial terikat (bonding social capital) dan modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) yang kuat, terutama PKL yang telah terorganisasi dan diakui pemerintah.Dalam kelompok PKL, baik yang bonding social capitalnya kuat maupun yang memiliki bridging social capital, diduga para anggota kelompok memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, kepatuhan pada norma, dan mempunyai jaringan sosial, yang menyebabkan mereka eksis. Pertanyaan yang muncul adalah apakah modal sosial tersebut dimiliki oleh para PKL yang bekerja sebagai pedagang sayur keliling di kota Semarang atau apakah ketahanan para pedagang sayur keliling dalam beraktivitas ekonomi di sektor informal dipengaruhi oleh modal sosial yang mereka miliki?. James Coleman (dalam Field 2008) meyakini pentingnya modal sosial bagi kelompok miskin dan orang-orang yang termarginalkan.Jika Bourdieu percaya bahwa modal sosial hanya dapat dimiliki dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkuasa untuk mempertahankan kedudukannya, tidak demikian halnya dengan Coleman.Dalam penelitiannya, Coleman (dalan Field 2008) yakin bahwa modal sosial tidak terbatas pada kelompok penguasa atau orang-orang yang menguasai sumber daya, tetapi juga dapat dimanfaatkan 155
oleh kelompok miskin dan termarginalkan. Modal sosial yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok miskin dan termarginalkan, diantaranya adalah organisasi (bonding social capital) dan jaringan sosial yang lebih luas (bridging social capital). Berikut ini disajikan beberapa hasil penelitian, yang menunjukkan peran modal sosial bagi kelompok miskin dan termarginalkan, utamanya para pedagang kaki lima. Dalam penelitiannya tentang pedagang kaki lima di metro Cebu Philipina, Destombes (2010) menyimpulkan bahwa para pedagang kaki lima merupakan wirausahawan sektor informal, yang dapat beraktivitas sebagai wirausahawan meskipun tanpa dukungan legal dari pemerintah lokal. Keberhasilan para wirausahawan tersebut, baik menyangkut kepentingan maupun perlindungan terhadap mata pencahariannya, dipengaruhi oleh kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan kerjasama (cooperation) yang dibangun bersama oleh para pedagang. Organisasi yang berperan besar dalam memberdayakan para pedagang kaki lima di Metro Cebu adalah Cebu City United Vendors Association, Inc atau disingkat CCUVA. Pedagang buah dan bunga yang diteliti Destombes (2010), menyatakan bahwa 85,79% diantaranya bekerjasama melalui CCUVA. Ketika ditanya apakah CCUVA memberi dukungan kepada para pedagang, 65% diantaranya menyatakan CCUVA memberi dukungan. Bentuk dukungan yang diberikan diantaranya adalah: (1) perlindungan dari dan selama pembongkaran atau penggusuran, (2) saling membantu satu sama lain, dengan mendorong kerjasama, (3) mengorganisasikan fasilitas dan mengendalikan 156
para pedagang kaki lima, (4) memberikan dukungan pada saat-saat susah atau menderita, (5) bernegosiasi dengan pemerintah lokal mewakili kepentingan pedagang kaki lima, (6) mengorganisasi anggota CCUVA, (7) mengembangkan bisnis, dan (8) sebagai tempat berkonsultasi untuk memahami persoalan yang dihadapi pedagang kaki lima, dan (9) memberikan peluang untuk perbaikan pelayanan. Dalam penelitian Destombes (2010) menunjukkan bahwa peran yang dimainkan CCUVA cukup berhasil, diantaranya adalah (1) regulasi pemerintah terhadap pedagang kaki lima menjadi jelas, (2) pembangunan gedung Carbon dan Pasar Publik Ramos, dan (3) pengakuan terhadap pasar umum dan pedagang kaki lima sebagai mitra pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya dari masyarakat. Modal sosial yang berkembang dengan baik, utamanya jaringan sosial melalui keanggotaan dalam organisasi PKL, sebagaimana riset yang dilakukan oleh Destombes di atas, memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi kelangsungan usaha dan kehidupan para PKL. Perusahaan mikro atau sektor informal ini dengan pengembangan program yang difasilitasi oleh pemerintah mampu mengentaskan penduduk miskin dari jurang kemelaratan. Modal sosial yang mereka miliki membuat mereka dapat bertahan hidup (survive). Dalam kaitan dengan perusahaan mikro ini, Yasmeen (2000:39) mengungkapkan bahwa jika sektor makanan informal (informal food sector) terorganisasi dengan baik, maka ia akan bernilai bagi masyarakat, karena memiliki peran baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. PKL yang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
terorganisasi dengan baik ini, juga akan memperoleh pengakuan dari pemerintah lokal dan memiliki skala politik lebih luas dalam berbagai level negara. Pada gilirannya, PKL tersebut akan berkembang, karena didukung oleh keuangan mikro dan perlindungan sosial, seperti adanya jaminan asuransi. Adanya organisasi Victory Monument Area (VMA) yang diikuti oleh sejumlah besar pedagang kaki lima, yang sebagian besar adalah perempuan, mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota Bangkok melalui Bangkok Metropolitan Administration (BMA), merupakan contoh dari keberhasilan modal sosial (Yasmeen 2000). Pada tahun 1990, BMA membuat regulasi mengenai keberadaan PKL di Bangkok.Semula mereka bersikap keras terhadap para PKL, tetapi setelah adanya negosiasi dari VMA, para pejabat lokal Bangkok memberi toleransi kepada PKL untuk berdagang di jalanan. BMA mengambil kebijakan yang disebut dengan “jut phon pan”. Dalam bahasa Inggris, jut diterjemahkan sebagai point, sedangkan phon pan diartikan sebagai less clear. Haas sebagaimana dikutip Yasmeen (2000) mengartikan jut phan pon sebagai to ease thesituation atau meredakan situasi. Sebagai bagian dari kebijakan jut phon pan ini, BMA mendisain jalanan utama di Bangkok sebagai vendor friendly, atau jalanan yang bersahabat bagi PKL. Kebijakan ramah terhadap PKL berlanjut dengan keluarnya kebijakan dari Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yakni dengan didirikannya People’s Bank atau Bank for the Poor, yang dalam bahasa Thailand adalah krongkarn thanakarn phu prachachon. Bank ini didirikan untuk menyediakan keuangan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
mikro bagi rakyat yang berkeinginan membangun usaha kecil dan mikro, misalnya menjalankan usaha berdagang di jalanan. Dari berbagai penelitian yang dilakukan di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa modal sosial dapat dikonversi ke banyak kualitas material dari modal ekonomi (Castiglione et al. 2008:3).Modal sosial pun dapat memiliki kriteria ekonomi, seperti produktivitas, efisensi, dan efektivitas (Lawang 2005:33).Hal ini berangkat dari dua asumsi berikut. Pertama, modal sosial tidak berdiri sendiri, melainkan tertambat dalam struktur sosial.Struktur sosial yang dimaksud menunjuk pada hubungan (relation), jaringan (network), kewajiban dan harapan (expectation), yang menghasilkan dan dihasilkan oleh kepercayaan (trust) serta sifat dapat dipercaya (trustworthiness). Kedua, modal sosial memiliki fungsi yang sama dengan jenis modal lainnya dalam rangka mencapai tujuan ekonomi, seperti fungsi memperlancar (lubricant) dan fungsi mempererat (glue) ikatan-ikatan sosial dalam sistem produksi. Seperti halnya sebuah benda, modal sosial dapat diperbanyak, ditambah, dan dilihat sebagai stok.Jaringan sosial yang dikembangkan para pedagang sayur keliling, ditengarai memiliki fungsifungsi yang mampu menjadi tumpuan bagi kelangsungan usaha mereka. Fungsi-fungsi dimaksud meliputi (1) fungsi informatif, yakni sebagai jaringan informasi yang memungkinkan setiap stakeholders dalam jaringan untuk mengetahui informasi yang berhubungan dengan masalah, peluang, atau apa pun yang berkaitan dengan kegiatan usaha, (2) fungsi akses, yaitu menunjuk pada kesempatan yang dapat diberikan oleh adanya jaringan dengan orang lain dalam 157
penyediaan suatu barang atau jasa yang tidak dapat dipenuhi secara internal oleh organisasi, dan (3) fungsi koordinasi, yakni fungsi informal yang membantu mengatasi masalah kebuntuan yang disebabkan oleh keterbatasan birokrasi pemerintah (Lawang 2005:69). Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini hendak menjawab pertanyaan pokok yaitu “seberapa besar modal sosial memberi sumbangan terhadap kontribusi ekonomi Pedagang Sayur Keliling di kota Semarang? Permasalahan pokok tersebut dapat dipecahkan dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut : (1) apa yang melatarbelakangi para lelaki menjadi pedagang sayur keliling?, (2) bagaimana pedagang sayur keliling membangun jaringan sosial dengan distributor, sesama pedagang dan konsumen?, (3) norma-norma sosial seperti apakah yang menjadi kesepakatan para pedagang sayur keliling yang menjamin kelangsungan usaha mereka?,(4) apa kontribusi pedagang sayur keliling terhadap ekonomi keluarga, (5) bagaimana kualitas hidup mereka? METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong 1993: 3) dan studi kasus (Patton 1989: 303). Penelitian studi kasus ini melibatkan isu-isu yang dieksplorasi melalui satu kasus yang diikat dalam bounded system (Creswell 2007:73). Jenis studi kasus yang dipilih dalam penelitian ini adalah single 158
instrumental case study, dalam hal mana peneliti fokus pada satu isu atau pusat perhatian, lalu menyeleksi satu kasus yang diikat untuk menggambarkan kasus tersebut.Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Semarang, khususnya PKL yang menjalankan usaha di wilayah Sampangan dan Gunungpati. Unit analisis penelitian ini adalah para pedagang kaki lima sebanyak 6 orang, yang beroperasi di Gunungpati dan sekitarnya. Penelitian kualitatif memerlukan fokus, dikarenakan fokus berhubungan dengan konteks.Dalam penelitian ini, konteks tidak hanya mencakup tempat dan waktu, tetapi juga aktor atau pelaku, bahkan peristiwa penting yang menjadi setting penelitian ini. Dalam kaitan dengan tempat, fokus penelitian ini dipusatkan pada PKL yang beroperasi di wilayah Gunungpati. Waktu penelitian adalah bulan April hingga Oktober 2011. Peristiwa penting yang menjadi setting penelitian ini juga akan disertakan dalam penelitian, yaitu adanya kebijakan “SETARA” atau Semarang Kota Sejahtera dari walikota yang baru, Soemarmo. Fokus penelitian juga berkaitan dengan pertanyaan yang menjadi panduan studi atau penelitian. Dalam hubungan ini, fokus penelitian atau hal-hal yang akan dideskripsikan dan dianalisis adalah: (1) halhal yang melatarbelakangi para lelaki menjadi pedagang sayur keliling, (2) jaringan sosial yang dibangun oleh pedagang sayur keliling dengan distributor, sesama pedagang dan konsumen, (3) norma-norma sosial yang menjadi kesepakatan para pedagang sayur keliling yang menjamin kelangsungan usaha mereka, (4) kontribusi pedagang sayur keliling terhadap ekonomi keluarga, (5) kualitas hidup pedagang sayur keliling dan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
keluarganya. Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling (Sugiyono 2008 : 53). Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dijadikan responden dalam penelitian ini diseleksi dengan cara purposif (Maxwell 1996 : 70 ; Creswell 2007 : 125). Purposif, dalam arti responden dipilih berdasarkan ciri dan batasan sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam penelitian, yaitu: (1) bekerja sebagai pedagang sayur keliling yang beroperasi di Gunungpati, (2) telah bekerja sebagai pedagang sayur sekurangkurangnya 1 tahun, (3) telah berkeluarga (beristeri atau beristeri dan beranak), (4) menggunakan sepeda motor untuk berdagang. Berdasarkan pertimbangan ini, responden diambil 6 orang yang bekerja di Gunungpati. Cara snowball atau chain (Creswell 2007 ; Sugiyono 2008) juga digunakan dalam memilih responden atau informan yang dianggap paling tahu mengenai masalah penelitian. Teknik ini terutama digunakan untuk menentukan pedagang yang dianggap tahu banyak tentang kehidupan pedagang sayur keliling dan permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan usaha yang telah ditekuni.Dengan model snowball ini, informasi yang belum cukup dari pedagang pertama yang dihubungi, ditanyakan kepada pedagang berikutnya berdasarkan rujukan yang diberikan oleh responden pedagang pertama, demikian seterusnya hingga semua informasi yang dibutuhkan dapat dipenuhi. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan studi literatur. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara tidak terstruktur atau tidak terForum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
standarisasi, yaitu sebuah wawancara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun secara sistematis dan lengkap, tetapi berupa garis-garis besar pertanyaan penelitian sesuai permasalahan penelitian (Sugiyono 2008). Wawancara semi terstruktur juga digunakan, terutama untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara dimintai pendapat dan ideide secara komprehensif (Sugiyono 2008).Dalam melakukan wawancara, alat yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data dan informasi penelitian adalah buku catatan, tape recorder, dan pen-camera. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi partisipatif yang moderat serta observasi terus terang dan samar-samar (Sugiyono 2008). Dalam observasi partisipatif model moderat ini, peneliti menjaga keseimbangan sebagai orang luar dan juga seakan-akan sebagai orang dalam. Sebagai orang dalam inilah, peneliti sambil melakukan pengamatan, juga ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh pedagang dan bahkan turut merasakan suka dukanya sebagai pedagang. Dengan model observasi ini, diharapkan peneliti dapat memperoleh data secara lengkap, tajam, akurat, dan dapat memahami makna di balik perilaku pedagang. Selain observasi secara partisipatif, peneliti dalam mengumpulkan data juga menyatakan terus terang kepada responden atau informan, tetapi pada saat lain peneliti juga tidak berterus terang atau tersamar agar bisa memperoleh data yang memiliki makna khusus atau rahasia bagi responden. Kedua jenis observasi tersebut, peneliti gunakan untuk memperoleh pengalaman langsung mengenai 159
permasalahan penelitian yang belum dapat diungkap melalui wawancara, memahami konteks dalam situasi sosial apa adanya, dan secara khusus untuk memperoleh data yang akurat mengenai kualitas hidup pedagang sayur dan kondisi kehidupannya sehari-hari. Studi literatur atau tinjauan pustaka membantu peneliti untuk menentukan topik penelitian, sekaligus memberikan pengetahuan untuk membatasi ruang lingkup penelitian. Tinjauan pustaka berisi hasilhasil penelitian lain yang relevan dengan topik penelitian dan menghubungkan penelitian dengan literatur yang sudah ada (Creswell 2010:36). Penelitian ini bersifat kualitatif, maka studi literatur ini penting karena data lapangan tidak akan memiliki makna apa-apa jika tidak diikat oleh suatu konsep dan review literatur yang relevan dengan topik penelitian. Literatur yang paling banyak ditelusuri dalam penelitian ini adalah sektor informal (informal sector), pedagang kaki lima (street vendor), dan modal sosial (social capital). Hasil-hasil penelitian dari jurnal penelitian yang ada dan teori atau konsep tentang tiga variabel tersebut direview untuk memastikan bahwa penelitian ini benar-benar penting dan layak dilakukan. Data yang terkumpul diuji validitasnya dengan menggunakan triangulasi (Patton 1989: 108-109; Miles dan Huberman 1992: 434; Brannen 1997: 20).Triangulasi ini digunakan tidak hanya pada saat pengumpulan data, tetapi juga pada waktu memeriksa hasil analisis kualitatif. Penggunaan triangulasi ini bermanfaat untuk memecahkan persoalan-persoalan potensial mengenai validitas konstruk. Untuk keperluan itulah, jenis triangulasi yang akan 160
dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah: (1) triangulasi data, dengan cara mengumpulkan data dari waktu ke waktu dan orang atau sumber yang berbeda di lokasi penelitian, (2) triangulasi peneliti, dengan cara meminta peneliti lain yang pernah mengkaji tema serupa untuk memeriksa hasil analisis dan (3) triangulasi metode, dengan cara menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda dalam kaitannya dengan unit analisis atau fokus penelitian yang sama. Metode pengumpulan data yang dibandingkan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan wawancara. Untuk memperkokoh kredibilitas penelitian, selain dilakukan uji validitas dengan cara triangulasi, juga dilakukan cara lain, yaitu perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan atau pengamatan terus-menerus, analisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi, membicarakannya dengan orang lain (peer debriefing), dan member check (Nasution 1988 ; Sugiyono 2008 ). Sesuai dengan pendekatan yang dipakai, maka data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif interaktif, dimana proses analisisnya mengikuti siklus, dalam arti bahwa peneliti dituntut bergerak bolak-balik selama pengumpulan data diantara kegiatan reduksi, penyajian serta penarikan kesimpulan dan verifikasi (Miles dan Huberman 1992: 19). HASIL PENELITIAN Latar Belakang dan Karakteristik Pedagang Sayur Keliling Usaha sektor informal di kota Semarang sangat banyak dan jumlah pekerja sektor Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
informal, khususnya PKL juga banyak. Karena penelitian ini tidak dirancang untuk digeneralisasikan pada populasi lainnya, maka PKL yang diteliti pun dibatasi pada mereka yang menjalankan usaha sebagai pedagang sayur keliling. Dalam termonologi pedagang kaki lima, pedagang sayur keliling ini termasuk dalam kategori PKL mobile, yaitu PKL yang dalam menjalankan aktivitas ekonomi tidak memiliki bangunan dan lapak
yang menetap dalam melayani pembeli, tetapi dengan menggunakan sepeda motor yang dijadikan sebagai tempat sayur dan lauk mereka menjajakan barangnya dengan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Pedagang sayur ini rata-rata berasal dari luar kota Semarang, sudah beristri dan berpendidikan SMA ke bawah. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Responden dilihat dari Daerah asal, Pendidikan, dan Status Perkawinan No.
Nama
Daerah Asal
Pendidikan
Status
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jumeno Nurwahid Sunarto Mungin Sidi Ngadina Mali
Ambarawa Demak Semarang Purwodadi Klaten Purwodadi
SD SMP SMA SPG SD SD
Kawin Kawin Kawin Kawin Kawin Kawin
Sumber: Data Primer
Menjadi pedagang sayur bukan pekerjaan pertama. Mereka sebelumnya telah bekerja pada sektor informal lainnya, ada yang sebelumnya menjadi sopir, berjualan nasi soto, pedagang buah-buahan, pekerja bangunan (tukang) dan teknisi. Oleh karena penghasilan yang diperoleh dari usaha sebelumnya tidak pasti, padahal sebagian besar mereka telah menikah dan memiliki tanggungan keluarga yang harus dipenuhi kebutuhannya, maka mereka beralih kepada pekerjaan sebagai pedagang sayur keliling. Sulitnya mencari pekerjaan yang sudah dijalani juga menjadi faktor penyebab mengapa mereka menjalankan aktivitas ekonomi dengan menjadi pedagang sayur keliling. Nurwahid (28 tahun) salah seorang pedagang sayur keliling yang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
ditemui saat melayani seorang pembeli, membenarkan hal tersebut di atas. “Dulu saya pernah berdagang buah pak…ya itu membuka dasaran, tapi hasilnya tidak pasti, banyak ruginya…karena itulah saya pindah jadi pedagang sayuran, kok kelihatannya gampang dan enak…ya saya jalani, toh hasilnya cukup untuk keluarga” (wawancara dengan Nurwahid, Sabtu 1 Oktober 2011).
Jumeno (25 tahun) yang pernah menjadi sopir pribadi anggota Dewan, ketika ditanya mengapa ia berjualan sayur dengan cara berkeliling, berikut ini jawabannya. “Saya dulu pernah menjadi sopir anggota DPRD pak…sesungguhnya enak, hasilnya gede, tapi namanya anak muda…saya boros dan lagian sering teman saya datang ke tempat kerja saya-ngganggu pak, yaitu sering ngajak beli minuman…saya jadi risi
161
dan tidak enak kepada majikan saya…kerja diganggu terus dan kalau begini caranya, mana mungkin saya bisa mengumpulkan penghasilan saya, yaa daripada bekerja tidak tenang, saya keluar pak…lalu setelah itu cari kerja nyatanya sulit, mau kembali jadi sopir bapak (anggota DPRD) saya malu, sehingga akhirnya saya bekerja seperti ini…sebagai pedagang sayur” (Wawancara dengan Jumeno, Minggu 2 Oktober 2011).
Jumeno termasuk sosok suami yang sayang kepada istrinya. Ketika didesak mengapa harus berdagang sayur keliling, ia menjawab “kasihan pak dia di rumah sendirian, dengan berdagang seperti ini saya sewaktu-waktu bisa dekat dengan istri” (wawancara dengan Jumeno, Minggu 2 Oktober 2011). Motor yang digunakan para pedagang untuk berdagang sayur umumnya sudah menjadi milik sendiri, meskipun sebagian dari mereka mengaku bahwa motor yang dibelinya tidak dilakukan secara cast atau bayar tunai. Nurwahid misalnya, membeli sepeda motor dengan harga Rp14,5 juta. Ia mencicil motor tiap bulannya Rp.520.000,00. Sudah dua setengah tahun ini ia membayar angsuran dan menurutnya tinggal setengah tahun lagi cicilannya selesai. Lain Nurwahid lain pula yang dialami Sunarto. Ia membeli sepeda motor Honda Tyger untuk tempat barang dagangan. Sepeda motor ini dibeli baru 5 bulan, sebelumnya ia sudah punyai sepeda motor Honda Bebek. Karena honda bebeknya sulit diajak lari, maka Sunarto membeli motor baru yang lebih besar energinya. Tiap bulan Sunarto harus mencicil sepeda motornya Rp.600.000,00 dan masih harus dilunasi 2,5 tahun lebih. Para pedagang sayuran dengan mudah
162
“kulakan” atau membeli barang-barang dagangan dari pemasok (penjual).Mereka kulakan sayur, lauk, bumbu dapur, dan lainlain di pasar yang ada di Semarang, seperti Peterongan, Johar, dan Gang Baru.Ada juga yang mengambil barang harus ke pasar Jimbaran Ambarawa, karena memang rumahnya di Ambarawa. Kebanyakan membeli dengan cara tunai. Pernah juga yang hutang barang, tetapi besok paginya harus sudah dibayar.Seperti diakui Jumeno, “saya pernah hutang tempe dan tahu, tapi besoknya sudah saya lunasi”. Nurwahid juga memiliki pengalaman yang sama dengan Jumeno, “saya pernah juga bawa barang dulu, besoknya dibayar…saling percaya saja pak” (Wawancara dengan Nurwahid, Sabtu, 1 Oktober 2011). Tempat atau lokasi berdagang PKL bervariasi. Umumnya mereka berjualan di perumahan. Jumeno memiliki daerah jualan di Perumahan Trangkil, Puri Sartika, dan Kampung Banaran. Mali berjualan di Palebon dan jalan Fatmawati. Nurwahid berdagang di Perumahan Sampangan, Kradenan, Trangkil, Puri Sartika, dan Menoreh.Sunarto berjualan di Perumahan Trangkil, Bukit Sukorejo, Puri Sartika, dan Tembalang. Sementara itu, Ngadina mencari pelanggan di Palebon dan Kauman. Lokasilokasi tersebut dipilih, karena pelanggannya banyak. Selain itu, dengan mendatangi perumahan dan tempat-tempat strategis lainnya, barang dagangan cepat habis terjual.Meskipun tidak ada kesepakatan di antara mereka, para pedagang berjualan di lokasi masing-masing tanpa terjadi konflik di antara mereka.Para pembeli umumnya membayar tunai, tidak ada yang hutang.Kalau pun, membayarnya kurang, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
besoknya sudah dilunasi. Para pedagang memiliki cara atau strategi untuk membina hubungan dengan pelanggan. Cara yang ditempuh di antaranya: (1) berkomunikasi secara baik dengan pelanggan, (2) bersikap santun, (3) memberi pelayanan dengan baik, (4) menjual barang yang berkualitas, dan (5) memberi korting atau potongan harga. Rata-rata para pedagang sayur sudah menekuni usaha berdagang sayur keliling cukup lama.Paling lama adalah Ngadina yang sudah berdagang selama 17 tahun, disusul Mali yang sudah berjualan keliling selama 14 tahun. Di antara para pedagang, hanya Jumeno yang menjadi pemain baru, karena baru 1,5 tahun ia berdagang secara keliling. Para pedagang memilih berjualan dengan keliling menggunakan sepeda motor.Ketika ditanya mengapa mereka memilih berjualan secara berkeliling menggunakan sepeda motor, jawaban dari para penjual bervariasi. ”Mencari pelanggan”, kata pak Mungin Sidi. Ngadina dan Mali mempunyai jawaban yang sama, bahwa kalau berjualan secara menetap tidak banyak pelanggan dan saingannya banyak. Lain lagi dengan jawaban Sunarto: “wah kalau harus menetap membeli kios modalnya tidak cukup pak” (Wawancara dengan Sunarto, Sabtu 8 Oktober 2011). Modal yang disiapkan untuk berdagang umumnya berasal dari diri sendiri. Jumlah modal bervariasi, mulai dari Rp.100.000,00 hingga Rp.1.000.000,00. Uang tersebut digunakan untuk membeli barang dagangan. Modal ini tidak termasuk sepeda motor yang digunakan untuk berjualan. Di antara mereka, ada satu orang yang membuka usaha ini dengan meminjam uang dari tetangga. Seperti diakui Jumeno, “saya terpaksa Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
pinjam kepada tetangga pak, tidak banyak hanya Rp.400.000,00…sekarang sudah lunas”. Penghasilan pedagang tidaklah seberapa. Rata-rata take home pay mereka berkisar antara Rp.30.000,00 hingga Rp.75.000,00 per hari. Hanya pak Mali yang memiliki pendapatan Rp.185.000,00 per harinya. Pendapatan tersebut hanya cukup untuk memenuhi keperluan hidup seharihari. Jaringan Sosial dan Norma Sosial Pedagang Sayur Keliling Para pedagang sayur keliling mampu bertahan hidup dengan berdagang sayursayuran, karena modal sosial yang mereka miliki. Dari 6 responden yang diteliti, hanya 2 orang pedagang yang menjadi anggota asosiasi. Hanya saja karena aktivitas di jalanan cukup menyita waktu, mereka tidak begitu aktif dalam asosiasi atau organisasi yang diikuti. Pedagang sayur yang menjadi anggota asosiasi menyerahkan iuran senilai Rp10.000,00. Uang ini biasanya digunakan untuk kegiatan sosial.Asosiasi pedagang ini, menurut pedagang cukup bermanfaat. Sebagaimana diakui Jumeno, pengurus bertanggung jawab terhadap anggotanya. “Pernah pak… ada anggota yang kena masalah, yakni kendaraannya berserempetan dengan kendaraan lain, sehingga sampai ke tangan polisi..pengurus asosiasi tahu masalah ini, kemudian membantu anggota untuk membereskan masalahnya” (wawancara dengan Jumeno, Minggu, 2 Oktober 2011).
Modal sosial yang membuat para pedagang dapat bertahan hidup dan meneruskan usahanya adalah jaringan sosial yang dibangun dengan agen, distributor atau pemasok sayuran dan lauk serta pelanggan. 163
Meskipun mereka tergolong PKL mobile yang mudah berganti-ganti tempat dan umumnya sulit dilacak, tetapi ketika mereka kekurangan modal, mereka dapat meminjam kepada agen. Umumnya barang bisa diambil lebih dahulu, entah sayur, tahu, atau tempe, lalu esok harinya harus dibayar lunas. Ada juga pedagang yang hutang kepada sesama pedagang, dan setelah mendapat penghasilan, segera dibayar lunas.Hubungan saling percaya yang dibangun di antara para pedaganglah yang membuat pedagang bisa hutang, baik kepada agen maupun kepada sesama pedagang sayur. Jaringan sosial yang dibangun dengan pembeli dan pelanggan juga berjalan baik. Para pedagang umumnya mengambil barang yang berkualitas, sehingga pelanggan percaya kepada barang dagangan. Sayur, lauk, atau buah yang dibeli dari pedagang sayur umumnya baik, sehingga ketika pedagang datang menawarkan sayur, lauk, atau pun buah disambut dengan baik oleh pembeli atau pelanggan. Penelitian yang dilakukan tidak menemukan adanya keluhan dari pelanggan. Pada umumnya mereka puas terhadap pelayanan pedagang sayur. Para pembeli yang sudah dikenal oleh pedagang tidak jarang belum bisa bayar pada saat membeli sayur atau lauk. Pedagang percaya dan memberinya kesempatan untuk membayar pada esok harinya. Praktik jual beli seperti ini berlangsung lancar karena adanya saling percaya antara pedagang dan pmbeli atau pelanggan. Norma yang dikembangkan pedagang adalah (1) layani pembeli seramah mungkin, (2) berikan barang yang berkualitas, (3) utamakan kepentingan pelanggan. Keramahtamahan dan komunikasi yang 164
efektif dari pedagang turut memperlancar usaha pedagang sayur keliling. Demikian pula, trust dibangun dengan memberikan barang yang baik dan berkualitas, sehingga pelanggan puas atas pelayanan dan barang yang dijual oleh pedagang. Diskon yang diberikan pedagang kepada pembeli juga menjadi sarana bagi pedagang untuk memelihara hubungan dengan pelanggan. Meskipun para pedagang menjual barang untuk memperoleh keuntungan, tetapi dalam realitasnya mereka tetap mengutamakan kepentingan pelanggan, misalnya jika ada pelanggan yang complain, pedagang akan dengan senang hati melayani. Demikian pula, ketika pelanggan menawar harga, pedagang juga dengan sabar melayani. Kadang harga kurang sedikit pun dari yang ditawarkan penjual, pedagang tetap memberikan barangnya kepada pembeli atau pelanggan. Semua itu dilakukan agar jualan tetap laku dan pelanggan tidak kecewa dan tidak lari. Kontribusi Ekonomi Pedagang Sayur Keliling Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa para pedagang berjualan keliling, alasan utamanya adalah ekonomi. Pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu pelaku ekonomi di sektor informal, dihadapkan pada keterbatasan yang dimiliki, seperti pendidikan yang relatif rendah, keterampilan yang kurang, tidak memiliki sumber daya yang memadai, misalnya tanah dan bangunan, sementara mereka harus hidup dan menghidupi keluarganya, sehingga sesuai dengan konsep ekonomi tersebut, mereka harus memilih tetap berada di kota dengan segala keterbatasan yang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
dimiliki untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya atau harus kembali ke desa asal tetapi dengan lapangan pekerjaan yang makin sempit yang belum tentu dapat menampung mereka. Ini adalah sebuah dilema sekaligus pilihan sulit bagi para PKL. PKL yang diteliti sudah cukup lama tinggal di kota Semarang, semuanya telah berkeluarga dan beberapa di antaranya memiliki tanggungan keluarga. Tingkat kompetisi yang cukup tinggi di antara pedagang, membuat mereka harus memilih strategi baru dalam mencari dan mempertahankan pelanggan. Terbatasnya tempat untuk berdagang, mendorong para pedagang menjalankan usaha dengan cara berkeliling. Berdagang dengan cara berkeliling, ternyata memiliki keuntungan tersendiri, di antaranya dapat dengan mudah menjumpai pembeli, tidak terpengaruh oleh cuaca, dan mampu mencari pembeli hingga ke pojokpojok gang. Meskipun pendapatan seharihari tidak terlalu tinggi, tetapi hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga pedagang. Seperti diakui Nurwahid berikut ini. “penghasilan saya memang tidak seberapa pak..paling banter per hari Rp60.000,00, tapi cukup kok untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari…istri saya tidak bekerja, tinggal di rumah, tiap hari saya beri uang belanja Rp10.000,00 hingga Rp.20.000,00… sisanya saya pakai untuk beli bensin dan kulakan…ya berapa pun hasilnya “dicukup-cukupke” pak” (wawancara dengan Nurwahid, Sabtu, 1 Oktober 2011).
Kontribusi ekonomi pedagang sayur keliling memang baru terbatas pada keluarga (istri dan anak-anak).Masyarakat sekitar belum merasakan kontribusi ekonomi dari
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
pedagang sayur keliling. Hanya pedagang besar, tempat di mana pedagang sayur keliling membeli barang dagangan yang merasakan manfaat dari keberadaan pedagang sayur keliling. Paling tidak barangbarang (sayur-sayuran, bumbu dapur, buah, ikan, dan lain-lain) laris dibeli oleh pedagang sayur keliling.Hal ini tentu saja mempercepat perputaran modal para pedagang besar. Karena barang dagangan yang dijual berkualitas, maka tiap hari pun barangbarang tersebut tetap habis terjual. Demikian pula, barang dagangan penjual sayur keliling terjual habis, karena barangbarang dibeli dari pedagang yang kualitasnya terjamin. Jika masih ada sisa sayur atau lauk yang belum terjual, maka oleh pedagang akan dititipkan kepada pedagang rumahan. Para pedagang yang diwawancarai, semua menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tabungan. “boro-boro nabung pak, bisa untuk makan saja sudah bagus”, demikian ungkap Jumeno. Kualitas Hidup Pedagang Sayur Keliling Pedagang sayur keliling umumnya memiliki penghasilan pas-pasan, hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Mereka umumnya tidak memiliki tabungan untuk keperluan mendadak atau pun untuk kepentingan hari tua. Rumah dengan status kepemilikan sendiri umumnya belum punya. Sunarto misalnya, hanya bisa mengontrak rumah. Tiap tahunnya, ia harus bayar Rp2,5 juta. Sementara itu, Jumeno dan istri hidup serumah dengan orangtuanya di Bandungan Ambarawa. Dari aspek kesejahteraan ekonomi, para pedagang sayur keliling, jauh dari sejahtera karena
165
pendapatan sehari-hari hanya bisa digunakan untuk keperluan konsumsi. Lainnya dipakai untuk kulakan guna jualan esok harinya. Hanya Sunarto yang menyisihkan sebagian penghasilan untuk ditabung. Dia memiliki tabungan tidak kurang dari Rp.5.000.000,00. “Kalau saya tidak menyisihkan penghasilan, dari mana saya bisa bayar kontrak rumah dan cicilan sepeda motor pak”, cetus Sunarto. Namun demikian, secara umum para pedagang dapat menggunakan pendapatannya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Meskipun harus mencari tempat sendiri untuk berjualan, para pedagang memiliki rasa aman dan tidak ada gangguan oleh siapa pun. Memang ada satu orang pedagang yang pernah terganggu, karena dianggap memasuki wilayah orang lain, tetapi itu pun dapat diselesaikan dengan baik. Selama berdagang juga tidak ada gangguan dari preman. Berkaitan dengan perputaran modal, ada seorang pedagang yang merasa dirinya tidak aman dan nyaman, karena ada beberapa pembeli yang “ngutang”, tetapi tidak dibayar. Mereka seolah-olah lupa, padahal jika ditotal, jumlahnya hampir sepuluh jutaan. Secara keseluruhan, para pedagang aman, nyaman, dan tidak ada gangguan selama menjual barang dagangannya. Para pedagang bebas berjualan di mana saja, yang penting tidak memasuki area tempat sesama pedagang sayur keliling berjualan. Di antara komponen kualitas hidup lainnya, aspek kebebasan tampaknya yang paling tinggi bobotnya. Pedagang tidak tergantung kepada siapa pun, baik kepada pemerintah daerah, pelanggan, atau pembeli. Mereka mau berdagang pada hari apa tidak ada masalah. Barang yang 166
diperdagangkan apa pun juga tidak menjadi persoalan. Pendek kata, mereka bebas berjualan di mana saja, menjual sayur apa pun, dan menjualnya kepada siapa pun, sepanjang tidak saling mengganggu di antara para pedagang sayur keliling. Setiap hari para pedagang sayur berjualan dari perumahan yang satu ke perumahan lainnya di Semarang. Bagi mereka, tidak ada hari libur. Jikalau libur pun, paling hari minggu.Itu pun tidak pasti tidak berjualan. Hanya ketika mereka lelah, maka mereka akan libur. “Kalau badan capek, ya kita tidak berjualan pak”, ungkap Jumeno. Ketika libur pun tidak mereka gunakan untuk berolahraga atau berekreasi. Mereka lakukan adalah beristirahat di rumah.Meskipun penghasilannya pas-pasan, namun para pedagang tidak termasuk orang yang pelit. Mereka hanya mengeluarkan dana ketika diminta untuk sumbangan sosial, seperti untuk kegiatan arisan, kegiatan RT, kegiatan peringatan 17-an, dan lain-lain. “tiap bulan saya membayar iuran RT Rp25.000,00 pak”, kata Nurwahid. Karena beban untuk menanggung kebutuhan hidup keluarga, para pedagang tidak banyak yang beraktivitas sosial, selain membayar iuran sosial kemasyarakatan. Pada umumnya, para pedagang tidak ingin menjadi pedagang sayur selamanya. Sunarto misalnya, berkeinginan untuk berdagang menetap di rumah dengan membuka kios sendiri. Alasannya, agar dapat beristirahat lebih banyak di rumah. Jumeno ingin jadi sopir jika nanti tidak lagi berjualan sayur keliling. Lain dengan Sunarto dan Jumeno, Mungin Sidi ingin bertani apabila badannya tidak kuat lagi untuk berjualan sayur keliling. Pendek kata, para pedagang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
ingin mengubah nasibnya lebih baik, agar kebutuhan keluarga dapat terpenuhi dan hidupnya lebih baik. PEMBAHASAN Pedagang sayur keliling memiliki karakteristik yang berbeda dengan pedagang kaki lima lainnya. Jika pedagang kaki lima umumnya menetap di suatu lokasi, sedangkan pedagang sayur keliling tidak menetap di lokasi tertentu, melainkan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka umumnya tidak terjangkau oleh peraturan pemerintah daerah, tidak kena pajak atau retribusi apa pun, dan bekerja sendirian. Kontribusi ekonomi pedagang sayur keliling baru terbatas pada sumbangannya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Meskipun pendapatannya tidak sebesar penghasilan pedagang kaki lima lainnya, namun peran ekonominya tidak kecil terutama terhadap keluarganya. Memang jika dibandingkan dengan pedagang kaki lima lainnya, kontribusi ekonomi pedagang sayur belum mampu menjangkau pihak lain atau membangun perekonomian wilayah, apalagi memberi kontribusi bagi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) suatu kota. PKL-PKL yang menetap di suatu tempat, apalagi sudah difasilitasi oleh pemerintah daerah, dengan dibuatkan tempat atau kios yang memadai, memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di kawasan di mana PKL tersebut menjalankan aktivitas ekonominya. Beberapa pihak yang turut merasakan keuntungan ekonomi dengan adanya PKL di suatu kawasan, di antaranya adalah tukang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
parkir, pengamen jalanan, dan pengemis. Karena PKL ditarik retribusi oleh pemerintah daerah, maka pendapatan daerah juga meningkat berkat aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh PKL. Hal ini dapat dilihat di sentra PKL Sampangan, sentra PKL Purwosari Raya, sentra PKL Barito, sentra PKL Jalan Menteri Soepeno, sentra PKL Kusumawardani, sentra PKL Kartini (sekarang sudah dibongkar), dan sentra PKL Simpang Lima (sekarang sedang dibuatkan shelter). Meskipun sumbangan ekonomi pedagang sayur keliling tidak begitu besar, tetapi eksistensinya telah membantu pemerintah dalam hal penyerapan tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran. Kebutuhan keluarga terpenuhi oleh pedagang sayur keliling, memberi makna pula bahwa keberadaannya tidak membebani pihak lain atau pemerintah, sebab mereka bisa membuka usaha sendiri dengan modal terbatas yang mereka miliki. Pedagang sayur keliling dengan kegigihannya berjualan dari satu tempat ke tempat lainnya, tidak mengenal panas atau pun hujan, menunjukkan bahwa mereka memiliki etos kerja yang tinggi dan jiwa wirausaha yang tidak kalah hebat daripada para pengusaha besar. Wirausaha menurut Drucker (1985) adalah “shift economic resources out of an area of lowerand into an area of higher productivity and greater yield”. Seorang wirausawan adalah seseorang yang mampu mengubah sumbersumber ekonomi dari produktivitas yang rendah ke produktivitas yang lebih tinggi dan menghasilkan sesuatu yang lebih besar. Di Amerika Serikat, enterpreneur adalah mereka yang memulai kegiatan dari dirinya sendiri, yang baru, dan dalam bisnis kecil 167
(Drucker 1985). Seorang enterpreneur juga seseorang yang selalu mencari perubahan, merespon perubahan tersebut, dan mengeksploitasi peluang yang ada. Apa yang dilakukan oleh para pria dengan berjualan sayur secara keliling, dalam perspektif Drucker tersebut, memperlihatkan bahwa para lelaki wirausaha tersebut mampu melihat peluang dengan baik, yakni dengan mendatangi pembeli yang ada di perumahan, melakukan sesuatu yang baru yang tidak dilakukan oleh orang lain, dan mereka berharap akan mendapat hasil yang lebih besar, meskipun kenyataannya tidaklah seperti itu. Beberapa riset menunjukkan bahwa para PKL merupakan wirausaha yang handal.Salah satu riset ditunjukkan oleh Destombe. Dalam penelitiannya tentang pedagang kaki lima di metro Cebu Philipina, Destombes (2010) menyimpulkan bahwa para pedagang kaki lima merupakan wirausahawan sektor informal, yang dapat beraktivitas sebagai wirausahawan meskipun tanpa dukungan legal dari pemerintah lokal. Te l a h b a n y a k p e n e l i t i a n y a n g mengungkapkan bahwa modal sosial memiliki peran penting dalam ekonomi. Nashiruddin (2009) dalam penelitiannya tentang Analisis Peran Modal Sosial dalm mengatasi Masalah Sosial Ekonomi pada Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Paguyuban Pedagang Kaki Lima Pujasera Kabupaten Jombang) menyimpulkan bahwa dengan bergabung dengan paguyuban, maka PKL melalui koperasi yang dibentuk paguyuban tersebut dapat meminjam uang untuk menambah modal usaha. Dalam observasi Fafchamps dan Minten’s di Madagaskar, modal sosial dapat mengurangi 168
biaya transaksi dan memberi jaminan terhadap resiko usaha (Grootaert and Bastelaer 2002). Demikian pula, Rose dalam studi di Rusia mencatat bahwa jaringan modal sosial memiliki peran penting bagi keamanan pendapatan. Studi-studi yang dilakukan oleh para pengkaji modal sosial umumnya memperlihatkan bahwa stok modal sosial dapat mengalir tidak hanya ke komunitas, tetapi juga ke individu dan rumahtangga (Grootaert and Bastelaer 2002). Dalam sebuah penelitian tentang peran modal sosial dalam membantu kelompok miskin di Bolivia, Burkina Faso, dan Indonesia, Christiaan Grootaert (2001) menyimpulkan bahwa modal sosial, utamanya keanggotaan dalam asosiasi lokal, merupakan bagian penting dari strategi memerangi kemiskinan. Dari beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kontribusi modal sosial cukup signifikan bagi pembangunan ekonomi dan sosial (dalam level makro) dan perubahan individu, rumahtangga, dan komunitas untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam bidang ekonomi dan sosial (dalam level mikro). Dalam kasus pedagang sayur keliling, modal sosial, dalam arti asosiasi atau kelembagaan tidak begitu berperan.Hal ini disebabkan mereka umumnya tidak menjadi anggota asosiasi pedagang. Dari aspek keanggotaan asosiasi, para pedagang tidak memiliki modal sosial. Dengan demikian, peran ekonomi dari modal sosial tidak ada.Namun, dilihat dari jaringan sosial yang mereka bangun dengan para pembeli (pelanggan) dan distributor (agen), tampak bahwa pedagang dalam struktur sosial perdagangan, utamanya relasi sosialnya dengan pelanggan dan agen, memberi Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
kontribusi bagi berlangsungnya aktivitas ekonomi mereka. Kemudahan meminjam barang dagangan dari agen (ambil barang bayar kemudian) dan sikap saling percaya di antara mereka, membuat pedagang sayur memiliki keamanan dan kenyamanan dalam berdagang. Sayur, lauk, buah, dan bumbubumbu yang dijual pedagang memiliki kualitas baik memberi rasa percaya (trust) kepada pembeli, sehingga hampir semua pedagang memiliki pelanggan dan mampu memelihara relasi dengan pelanggan, karena barang yang dijual berkualitas dan tidak jarang pembeli dapat mengambil barang dulu yang akan dibayar pada hari lain.
dalam berjualan tidak tergantung kepada siapa pun, kecuali kepada agen. Saran Pedagang sayur umumnya tidak terjangkau oleh pemerintah dan lembaga keuangan, karenanya kepada mereka perlu dibina dan diberdayakan agar memiliki akses dalam mengembangkan modal. Kebanyakan pedagang tidak menjadi anggota asosiasi, karenanya perlu dibentuk atau diikutsertakan dalam asosiasi pedagang yang memberi rasa aman dan nyaman dalam melangsungkan usahanya. DAFTAR RUJUKAN
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pedagang sayur keliling memiliki karakteristik berbeda dengan PKL lainnya, yakni kebanyakan dilakukan oleh laki-laki, dalam berdagang menggunakan sepeda motor, dan wilayah kerja di perumahan yang padat penduduk. Mereka menjadi pedagang sayur keliling, karena tidak ada pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Modal sosial pedagang, utamanya keanggotaan dalam asosiasi rendah dan tidak memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi rumahtangga, sedangkan modal sosial berupa jaringan sosial dan trust mereka miliki sehingga berkontribusi secara signifikan terhadap kelangsungan usahanya. Kualitas hidup pedagang sayur keliling relatif rendah, karena pendapatan sehari-hari hanya cukup untuk kebutuhan konsumtif keluarga. Hanya dalam hal komponen kebebasan sebagai bagian dari kualitas hidup, mereka memilikinya karena mereka Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Amin, ATM Nurul. 2005. “The Informal Sectors Role in Urban Environmental Management”. In International Review for Environmental Strategies Vol. 5, No. 2, pp. 511-530. Brannen, Yulia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bromley, Ray. 1991. “Organisasi, Peraturan, dan Pengusahaan Sektor Informal di Kota: Pedagang Kaki Lima di Cali Colombia”. Dalam C. Manning d a n T. N o e r E ff e n d i ( e d ) . Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. —————. 2000. “Street Vending and Public Policy : a Global Review”. In The International Journal of Sociology and Social Policy Volume 20 Number 1/2 2000 pp.1-28. 169
Castiglione, Dario, et.al. 2008. “Social C a p i t a l ’s F o r t u n e : A n Introduction”. In Dario Castiglione, et.al (ed). The Handbook of Social Capital. New York : Oxford University Press. Christakis, Nicholas A. dan James H. Flower. 2010. Connected Dahsyatnya Kekuatan JejaringSosial Mengubah Hidup Kita. Terjemahan Zia Anshor. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Coleman, James S. 2000. “Social Capital in The Creation of Human Capital”. In Partha Dasgupta and Ismail Serageldin.Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC : The World Bank. Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among Five Approach Second Edition.London : SAGE Publications. —————. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Terjemahan Achmad Fawaid. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Destombes, Tjerk. 2010. Informal Entrepreneurs : Street Vendors, Their Livelihoods and theInfuence of Social Capital. Master Thesis International Development Studies USC UU. Dinas Pasar Kota Semarang.2008. Buku Saku Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Semarang.Semarang : Pemerintah Kota.
170
Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Entrepreneurship Practice and Principle. New York: Harper&Row Publishers. Effendi.1997. Sektor Informal dan Wawasan Pengembangan Masyarakat. Makalah Diskusi Orientasi Pendalaman Tugas Anggota DPR Hasil Pemilu 1997. Jakarta. Field, John. 2008. Social Capital Second Edition. New York : Routledge. Grootaert, Christiaan. 2001. Does Social Capital help the Poor? A Synthesis of Findings from the Local Level Institution Studies in Bolivia, Burkina Faso, and Indonesia. Lokal Level Institution Working Paper No. 10. Washington DC: The World Bank. Grootaert, Christiaan and Thierry van Bastelaer. 2002. “Understanding and Measuring Social Capital A Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative”. Forum 1 The Institutional Approach to Donor Facilitated Economic Development Session on Social Capital 11 January 2002. Washington DC: The IRIS Center. Lawang, Robert M.Z. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar.Jakarta : FISIP UI PRESS. Maxwell, Joseph A. 1996. Qualitative Research Design An Interactive Approach. London : SAGE Publications.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press. Moleong, Lexy I. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Morrell, Elizabeth, dkk. 2008. Tata Kelola Ekonomi Informal Policy Brief 11.Australia : Crawford School of Economics and Government the Australian National University. Mustafa, Ali Achsan. 2008. Model Transformasi Sosial Sektor Informal Sejarah, Teori danPraksis Pedagang Kaki Lima. Malang : inTRANS Publishing dan INSPIRE Indonesia. —————. 2008. Transformasi Sosial Masyarakat Marginal MengukuhkanEksistensi Pedagang Kaki Lima dalam Pusaran Modernitas. Malang : in-TRANS Publishing dan INSPIRE Indonesia. Nashiruddin, Ahmad. 2009. Analisis Peran Modal Sosial dalam mengatasi Masalah Sosial Ekonomi pada Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Paguyuban Pedagang Kaki Lima Pujasera Kabupaten Jombang).Skripsi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang.Tidak diterbitkan. Nasution, S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Nirathron, Narumol. 2006. Fighting Poverty from the Street : a Survey of Street Vendors inBangkok. Bangkok : International Labour Office. Patton, Michel Quinn. 2989. Qualitative Evaluation Methods. London and New Delhi: Sage Publication, Inc. Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta. Yasmeen, G. 2000. Workers in the Urban Informal Food Sector : Innovative Organizing Strategies. Paper prepared for the Regional Seminar on Feeding Asian Cities, held in Bangkok from 27 to 30 November 2000.
171
FIS 39 (2) (2012)
FORUM ILMU SOSIAL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
PERILAKU EKONOMI DALAM JEJARING MASYARAKAT KONSUMSI PERKOTAAN Hartati Sulistyo Rini* Dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS UNNES Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang 50229 Info Artikel
Abstract
Sejarah Artikel
Keywords: Women Workers, Gender Mainstreaming, Union Worker
Consumer society is what is called as one of the major influences in the economic system of capitalistic. As a social phenomenon, the consumer society has the typical characteristics, according to the characteristics of the local community. The research question that arises is how the economic behavior of the consumer society network in the context of Tupperware direct selling business. The foundation of the theory which is used as a tool of analysis for this social phenomenon is Baudrillard idea about the consumer society. The research method in this study is descriptive qualitative analysis. Tupperware’s direct selling business model creates a unique networking society. The persistence of the network model of consumption, grow and develop to answer community needs that move from use value to sign value. The sign perpetuates the consumption through a variety of economic behavior. Economic behavior which appears is not only about how the network is formed in the consumer society, but also closely related to the formation stimulant consumerism to maintain the existence of this group.
2012 Universitas Negeri Semarang
1172
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat dalam roda pergerakan kapitalisme merupakan ciri utama yang nampak secara dominan dewasa ini. Kapitalisme bukan lagi sekedar paham atau ide dalam dunia abstrak, namun telah mampu mengejawantah dalam kehidupan masyarakat global. Bahkan kapitalisme telah sampai pada fase perkembangan puncak dimana ketika berbicara mengenai kapitalisme, bukan hanya tentang hal-hal yang terkait dengan proses produksi tapi juga menyentuh ranah konsumsi. Karena produksi dan konsumsi bagi kapitalisme adalah seperti dua sisi mata uang, tak terpisahkan. Seiring dengan berjalannya waktu, alasan-alasan atas tindakan konsumsi manusia itu mulai mengalami perubahan. Kini orang tidak lagi melihat bahwa konsumsi itu didasarkan atas kegunaan atau fungsi barang sebagai alat memenuhi kebutuhan ataupun berdasarkan pada skala prioritas yang telah disusun, namun dewasa ini konsumsi dimaknai sebagai nilai tanda atas lifestyle atau gaya hidup yang dianut. Menurut Baudrillard (2009:139), bahwa dalam masyarakat konsumen yang dikontrol oleh kode, hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungannya dengan konsumsi objek. Agaknya makna kebanyakan objek berasal dari perbedaan hubungannya dengan, dan atau objek lain. Hal senada juga diungkapkan oleh Noviani (2002 : 15) bahwa di dalam masyarakat konsumen, obyek-obyek material yang diproduksi untuk dikonsumsi, tidak hanya digunakan untuk memuaskan kebutuhan seperti sandang, pangan dan papan dengan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
segera, tetapi juga berfungsi sebagai “marker” dan komunikator perbedaanperbedaan interpersonal, seperti kehormatan, prestige, tinggi rendahnya kekuasaan di dalam kelompok sosial. Konsumsi dijadikan ukuran untuk berkembangnya relasi antar individu di dalam masyarakat. Fenomena masyarakat konsumsi seperti ini mulai menyebar, tidak hanya terjadi pada negaranegara maju yang memiliki tingkat sosial ekonomi tinggi dan kehidupan berkecukupan, namun juga telah menyebar ke negara-negara sedang berkembang yang secara sosial ekonomi memiliki tingkat yang jauh lebih rendah. Kecenderungan ini pula yang terjadi di Indonesia. Salah satu komoditas global yang masuk ke Indonesia adalah bisnis direct selling Tupperware. Sebagai merek dagang yang telah mendunia dan memiliki reputasi sebagai produsen peralatan rumah tangga yang eksklusif dan berharga mahal, Tupperware memasuki pangsa pasar Indonesia, salah satunya di Yogyakarta. Hal ini memunculkan perkembangan jejaring masyarakat konsumsi yang terbentuk karena mekanisme kapitalisme dan konsumsi yang melingkupinya. Masalah penelitian yang mengemuka dalam kajian ini adalah bagaimana perilaku ekonomi dalam jejaring masyarakat konsumsi pada konteks bisnis direct selling Tupperware. Landasan teori yang digunakan sebagai alat untuk mengupas fenomena sosial ini adalah masyarakat konsumsi dari Baudrillard. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Lokasi 173
penelitian ini adalah di kota Yogyakarta, di mana terdapat dua distributor Tupperware dan jaringan masyarakat konsumsi yang ditimbulkan olehnya. Sumber data penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Validitas data dari triangulasi sumber dan analisis interpretatif menjadi metode analisis datanya. Dalam kajian ini, peneliti menggunakan 12 informan dimana 2 orang adalah distributor, sedang 10 orang lainnya merupakan bagian dari jejaring masyarakat konsumsi ini yaitu sebagai member. HASIL DAN PEMBAHASAN Tupperware adalah sebuah merek produk plastik untuk peralatan rumah tangga yang terkenal dari Amerika. Penciptanya bernama Earl Sillas Tupper yang lahir pada tanggal 28 Juli 1907 di Berlin, New Hampshire, Amerika Serikat. Tahun 1947, Tupper berhasil membuat wadah plastik yang berpenutup kedap air dan kedap udara bernama bell tumbler dan wonder bowl. Pertemuannya dengan Brownie Wise telah membawa keduanya dalam perpaduan model pemasaran yang berbeda dari biasanya dan unik. Ini diberi nama party selling, yaitu semacam demo produk Tupperware yang dilakukan secara langsung di depan beberapa orang untuk menghemat biaya dan waktu promosi apabila dibandingkan dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Hal ini memerlukan keterampilan dan pengetahuan tentang kelebihan tutup sealnya yang istimewa sehingga orang tidak bisa secara langsung dan serta merta bisa tertarik untuk membeli dan menggunakannya. Secara resmi Tupperware dipasarkan di 174
Indonesia tahun 1991. PT. Alif Rose di Jakarta merupakan distributor resmi pertama Tupperware. Dalam kurun waktu kurang lebih dua dasawarsa ini perkembangan jumlah distributor di Indonesia telah mengalami peningkatan. Sekarang telah ada kurang lebih 69 distributor Tupperware di 46 kota di seluruh wilayah Indonesia. Penjualan Tupperware di seluruh dunia juga berkembang dengan sangat bagus. Saat ini, Tupperware sudah terjual di hampir 100 negara di dunia. Bahkan nilai total penjualan yang diterima oleh Tupperware pada tahun 2009 mencapai angka $2,1 milyar dengan penjual sebanyak 2,4 juta orang yang tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2010, Tupperware juga masuk ke dalam The World’s Most Admired Company versi majalah ekonomi Fortune. Pencapaian yang telah diraih oleh Tupperware Indonesia pada tahun 2010 adalah pada kuartal ke-2 berhasil menduduki Peringkat No. 1 di Asia Pasifik. Tupperware Indonesia berhasil mengalahkan Tupperware Jepang dan Australia yang biasanya merajai peringkat ini. Pada bulan Juli 2010, penjualan Tupperware Indonesia telah mencapai angka 1 trilliun, sedangkan tahun lalu angka ini baru bisa ditembus pada bulan Oktober (www.tupperware.co.id). Di Yogyakarta sendiri, distributor Tupperware pertama kali berdiri pada tahun 1998 dengan nama PT Sentosa Agung Suryatama (PT SAS). Fitri (42 tahun), distributor PT SAS telah mengenal produk Tupperware ini sejak dirinya masih kuliah di Amerika pada tahun 1990. Melihat perkembangan yang cukup pesat di Yogyakarta, maka pada tahun 2002 kantor pusat Tupperware Jakarta memberikan kesempatan pada para member yang telah Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
memenuhi syarat menjadi distributor untuk mengikuti seleksi. Pada tahun yang sama pula terpilihlah Vivi Meliana Setiawan (36 tahun) sebagai distributor kedua di Yogyakarta dengan mengusung nama PT
Indovima Sentosa Mandiri (PT ISM). Potensi pasar yang dimiliki Yogyakarta terlihat dalam pencapaian salah satu distributornya seperti pada tabel 1.
Tabel 1 Capaian Tahun 2010 dan Target Tahun 2011 PT SAS Yogyakarta Keterangan
Capaian Tahun 2010
Target Tahun 2011
Omset (retail sales force) Recruit Dealer aktif (akumulasi) Promo up manajer Net PUM No off manajer (akumulasi) Vanguard of manager No off GM
9,5 M 2461 orang 7765 16 8 76 50 3
12 M Min. naik 25 % Min. naik 25 % 30 20 96 Min. naik 25 % 4
Sumber: Hasil Penelitian Hasil yang diterima oleh salah satu dealer Tupperware dalam laporan tahunan tersebut memberikan gambaran betapa besarnya potensi konsumsi masyarakat akan produk-produk rumah tangga berbahan plastik ini. Ketika omset tahun 2010 yang mencapai 9,5 miliar rupiah tersebut tercapai, berarti dalam 1 (satu) bulan rata-rata penjualan produk ini ada pada kisaran 790 juta. Dengan hasil ini, distributor tetap optimis bahwa hasil penjualan akan bisa terus meningkat. Walaupun hal ini tidak dapat digeneralisasi, namun paling tidak ini merupakan gambaran riil yang terjadi bahwa tingkat konsumsi masyarakat untuk barangbarang non primer dengan harga relatif mahal mencapai angka yang cukup tinggi. Namun ini bisa jadi bukanlah gambaran masyarakat kita yang telah mencapai kesejahteraan dan kenaikan tingkat sosial ekonomi. Kecenderungan ini bisa saja
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
diinterpretasikan sebagai wujud terbentuknya masyarakat konsumsi yang sedang melanda masyarakat dunia ketiga yang berbeda dengan yang dialami oleh negara-negara maju. Bahwa kecenderungan terbentuknya masyarakat konsumsi di negara-negara maju adalah akibat dari membaiknya sistem ekonomi yang didorong oleh berkuasanya sistem kapitalistik adalah suatu keniscayaan. Kelimpahruahan produksi yang secara otomatis membutuhkan pasar ditanggapi secara linier oleh masyarakat di negara maju seiring dengan kesejahteraan yang mereka miliki. Kondisi yang demikian tidaklah terjadi pada masyarakat dunia ketiga. Konsumsi bukanlah indikasi atas terjadinya kesejahteraan namun sebagai bukti bahwa bujuk rayu kapitalisme telah merasuk ke dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga ditunjang oleh masih banyaknya masyarakat
175
di negara-negara berkembang yang terkena sindrom yang mudah terpesona dan tergagap-gagap terhadap apa yang datang dari negara maju yang bersifat kapitalistik. Konsumsi atas komoditas kapitalisme ini seolah-olah juga mampu menempatkan individu atau sekelompok individu tersebut ke dalam kelas sosial tertentu yang cenderung ada pada level tinggi di masyarakat atau bahkan dapat dikatakan sebagai penanda kelas sosial tertentu. Semakin banyak mereka mengkonsumsi simbol-simbol kapitalisme, maka semakin tinggi level kelas sosial yang mereka sandang. Perilaku Ekonomi Dalam jejaring Masyarakat Konsumsi Seperti layaknya bisnis yang menggunakan metode penjenjangan lainnya, Tupperware pun juga memiliki level-level yang bisa dicapai oleh para membernya apabila mampu memenuhi target penjualan dan ketentuan-ketentuan lain yang diberikan oleh perusahaan. Jenjang karir yang diberlakukan setiap perusahaan seperti ini akan berkaitan dengan bonus yang
diterimanya. Dalam hal ini, Tupperware menolak dikatakan sebagai bisnis multi level marketing (MLM) karena bonus yang diterima up line itu berdasarkan pada hasil penjualan barang yang dilakukannya dan down line yang berhasil direkrutnya namun hanya terbatas pada 1 (satu) atau 2 (dua) downline di bawahnya. Dalam bisnis yang murni melakukan MLM biasanya jenjang karirnya hanya akan berdasar pada jumlah rekruitmen dan pendapatan bonus dari down line yang jumlahnya tak terbatas di bawahnya. Tupperware merupakan bisnis yang dijalankan dengan prinsip multi level marketing (MLM) dengan metode direct selling (penjualan langsung). Menurut Riswanda (2004), MLM adalah sistem pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Seorang disebut upline jika memiliki downline, baik satu maupun lebih. MLM digerakkan dengan jaringan, terdiri dari up line dan down line, dan pemasarannya mengandalkan kekuatan penjualan langsung. Tabel 2 berikut adalah jenjang karir dalam konteks bisnis.
Tabel 2 Jenjang Karir Dalam Bisnis Tupperware No. 1.
176
Jenjang
Syarat
Dealer
Pembelian produk senilai Rp 750.000,- dan wajib mengikuti program NDOP (New Dealer Orientation Program) dan party training.
Keuntungan Diskon 30% untuk seluruh pembelian produk Tupperware; berhak menebus produk dengan harga starchart yang disediakan pada level-level penjualan tertentu; berkesempatan mengikuti Activity bulanan (berdasarkan konsistensi omset setiap minggu per bulan); berhak mendapatkan stardealer dengan cara harus mencapai target pembelian awal bulan sejumlah Rp 3.500.000,juta akumulasi minggu 1-2 (tiap pencapaian target, berhak mendapatkan 2 kupon stardealer yang bernilai @ Rp 50.000,- berlaku 6 bulan ke depan).
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
No.
Jenjang
Keuntungan
Syarat
2.
Team Captain (TC)
Telah mengikuti NDOP; dalam 1 bulan melakukan 3 party dengan penjualan @ Rp 750.000,- di 3 minggu yang berbeda; dan masih dalam bulan yang sama juga melakukan 3 rekrut dealer baru.
Bonus, hadiah stardealer, hadiah rekrut, hadiah sales force activity, memiliki kesempatan mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh Tupperware Indonesia yaitu Winning team Celebration, dan Allstar Celebration, serta berkesempatan mengikuti training motivasi.
3.
Manager
Dalam periode 3 (tiga) bulan secara berturut-turut setiap bulannya minimal 2 (dua) kali melakukan 1-2-1 di minggu yang berbeda. 1-2-1 adalah melakukan kegiatan yang terdiri dari : party dengan penjualan minimal Rp 1.000.000,-; 2 dealer masingmasing melakukan party minimal Rp 750.000,-; dan merekrut 1 dealer baru yang telah melakukan pembelian Rp 750.000,-.
Bonus override, bonus vanguard, bonus promote up, kupon stardealer, mengikuti activity, berkesempatan mengikuti acara-acara seperti M a n a g e r C o n f e re n c e , Wi n n i n g Te a m Celebration, All Star Celebration, dan memiliki kesempatan pula dalam mengikuti training motivasi seperti : TBS (Tupperware Bussiness School), MLP (Manager Leadership Program)
4.
Group Manager (GM).
Memiliki manajer yang aktif minimal 6 orang; melakukan 1-21 minimal 10 kali; mempromosikan 6 manager baru; mencapai vanguard tiap bulannya Rp 24.000.000,; penjualan total yang dicapainya per bulan minimal Rp 45.000.000,-; dan mendapat persetujuan dari Tupperware Indonesia.
Bonus override, vanguard bonus, bonus promosi manajer baru. GM bonus, stardealer, hadiah rekrut dan hadiah sales force activity.
Peningkatan jumlah dealer yang naik menjadi manager, juga menjadi prioritas dalam pengembangan bisnis ini, karena akan berdampak pada peningkatan penjualan. Manager yang mampu mencapai level vanguard tertentu akan mendapatkan gaji/bonus dari perusahaan. Berikut ini tabel yang menerangkan jumlah vanguard yang harus dicapai oleh manager per bulannya bila ingin mendapatkan bonus (gaji) dari perusahaan. Untuk mewujudkan pencapaian angkaangka itu, maka tiap manager harus mengikuti aturan main perusahaan yaitu dengan menambah jumlah dealer aktif dan meningkatkan jumlah pembelian. Oleh
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
karenanya, berbagai usaha pemasaran dilakukan untuk menjadikan masyarakat sekonsumtif mungkin adalah satu-satunya jalan agar target dapat tercapai. Dengan demikian, keuntungan yang diterima oleh member dapat terus bertambah dan bisnis ini akan menjadi alat akumulasi capital baik para up line-nya maupun bagi para pemodalpemodal besar. Inilah apa yang dikatakan oleh Marx sebagai nilai lebih. Suseno (2005 : 192) menjelaskan bahwa yang eksploitatif bukan nilai lebih itu sendiri, melainkan bahwa semata-mata ia menjadi milik pemilik modal itu sendiri, entah untuk konsumsi pribadinya, entah ditanamkan kembali dalam perusahaan yang menjadi milik eksklusif si
177
kapitalis, meskipun modal yang ditanamkan kembali itu dihasilkan oleh buruh. Peningkatan jumlah konsumsi masyarakat yang bermuara pada dinikmatinya nilai lebih bagi para up-line dan pemodal pada prinsipnya adalah tujuan yang ingin dicapai kelompok jejaring ini. ini juga harus ditunjang dengan pengembangan dan perluasan wilayah di sekitar Yogyakarta. Walaupun kota-kota yang berada di sekitar Yogyakarta, seperti Klaten, Magelang, dan Solo juga memiliki kantor distributor namun hal itu bukanlah sesuatu yang perlu
dikhawatirkan. Menurut Vivi (distributor), bahwa potensi dan kemampuan masyarakat Yogyakarta untuk berbelanja itu masih sangat tinggi. Apalagi masih banyak kelompokkelompok masyarakat potensial yang belum tersentuh oleh bisnis ini, seperti yang dikemukakan berikut ini : “ Perkembangan bisnis Tupperware akan bagus-bagus saja karena masih banyak kelompok-kelompok masyarakat yang belum dijangkau oleh bisnis ini, misalnya banyak keluarga-keluarga muda, keluarga-keluarga baru.”
Tabel 3 Vanguard Level dan Bonus (Gaji) Per Bulan Vanguard Level
Vanguard Sales(Rp)
Vanguard Bonus(Rp)
Pre base (Work standard) Base Crown Gold Diamond Platinum Double Platinum Mega Platinum Titanium Giganium Milenium
8.500.000 11.000.000 17.000.000 24.000.000 31.000.000 39.000.000 77.000.000 116.000.000 154.000.000 193.000.000 231.000.000
170.000 330.000 510.000 850.000 1.225.000 1.560.000 3.080.000 4.640.000 6.160.000 7.720.000 9.240.000
Sumber: Buku New Manager Orientation Program Yogyakarta tetap dianggap sebagai magnet yang kuat untuk terbentuk dan berkembangnya masyarakat. Kota ini merupakan salah satu jantung perekonomian yang signifikan bagi daerah-daerah di sekitarnya, sehingga datangnya kaum pendatang dan membentuk kelompokkelompok masyarakat baru sangat memungkinkan sebagai potensi ber-kembangnya jaringan bisnis ini. Keluarga-keluarga muda juga dianggap sebagai pangsa pasar
178
yang prospektif, karena mereka membutuhkan perlengkapan untuk keluarga dan anak-anak yang disediakan oleh produsen produk ini. Untuk pengembangan usaha, distributor juga melihat pasar yang masih luas di sekitar Yogyakarta, seperti di kabupaten Gunung Kidul dan kabupaten Kulon Progo. Stimulan Pencipta Konsumerisme Untuk menjaring para konsumen dan
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
meningkatkan omset penjualan, bermacammacam metode dan cara digunakan oleh anggota dalam jejaring masyarakat konsumsi pada bisnis Tupperware ini. Bagi mereka, ini merupakan stimulan yang efektif untuk mencapai tingkat penjualan yang mereka inginkan. Stimulan ini diterapkan baik dalam strategi pemasaran maupun sistem pembayaran. Beberapa macam strategi pemasaran yang dilakukan dalam bisnis ini adalah : party, katalog, opportunity hour (OH), dan kegiatan rutin di kantor distributor. Party adalah metode yang diciptakan oleh Brownie Wise untuk memudahkan sistem penjualan langsung dengan mengadakan demo produk di depan beberapa orang agar konsumen dapat secara langsung melihat dan mencoba produk Tupperware. Metode party ini dapat menghemat waktu dan tenaga apabila dibandingkan dengan door to door selling. Dengan party, lebih banyak orang yang akan hadir dan mendengar sendiri tentang produk Tupperware dengan segala kelebihannya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan party, diperlukan keterampilan komunikasi sekaligus pemahaman tentang seluk beluk Tupperware yang cukup untuk dapat mengorganisasi party dan yang paling penting adalah melakukan persuasi terhadap calon konsumennya agar mau membeli produk ini. Walaupun tidak semua party itu berhasil menjual produk, namun terdapat tujuan lain yang dapat dicapai yaitu konsumen menjadi tahu tentang produk Tupperware. Harapannya adalah konsumen tersebut dapat menularkan pengetahuan tentang produk Tupperware ini kepada orang lain sehingga lebih banyak lagi orang yang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
tahu tentang Tupperware. Untuk menunjang penyebaran pengetahuan mengenai produk ini, maka Lina (manager, 42 tahun) menyatakan bahwa setiap ada kesempatan untuk bertemu banyak orang maka promosi dan perkenalan produk dapat dilakukan. Walaupun tidak dalam kondisi party yang direncanakan demo produk bisa dilakukan, dengan konsekuensi dia sering membawa beberapa produk Tupperware ini sebagai contoh dan sebagai upaya untuk meyakinkan calon pembeli. Strategi kedua adalah dengan menggunakan katalog. Dengan ini maka pemasaran menjadi lebih fleksibel, bisa dilakukan di mana saja dan tidak dibatasi ruang dan waktu, karena katalog biasanya juga boleh dibawa pulang oleh calon pembeli. Dengan katalog, member cukup memberikan keterangan singkat tentang produk karena informasi lengkapnya dapat dibaca pada katalog tersebut. Katalog berisi tentang daftar produk-produk beserta keterangan informatif mengenai produk yang dimunculkannya. Tupperware memproduksi beberapa macam katalog. Katalog Reguler adalah katalog yang dikeluarkan setiap 6 bulan sekali. Katalog ini berisi daftar seluruh produk Tupperware yang dapat diperoleh selama 6 bulan ke depan. Selain itu katalog ini juga berisi tentang beberapa hal terkait dengan informasi mengenai acara atau kegiatan yang dilakukan oleh Tupperware. Katalog kedua yang dikeluarkan oleh Tupperware yaitu katalog Promo. Katalog Promo merupakan katalog yang berisi informasi produk baru, produk dengan harga diskon, maupun produk dengan kondisi yang terbatas jumlahnya. Katalog Promo ini terbit tiap sebulan sekali. Katalog promo inilah
179
yang biasanya dijadikan sebagai penarik perhatian untuk calon konsumen. Katalog yang ketiga adalah katalog Activity. Activity merupakan suatu program yang diadakan oleh Tupperware untuk member yang mampu memenuhi target omset tertentu tiap minggu dalam waktu satu bulan. Yang paling penting dalam pencapaian target kegiatan Activity ini adalah konsistensi omset setiap minggunya dalam sebulan. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan tersebut, para member berhasil mencapai target yang telah ditentukan oleh Tupperware maka akan mendapatkan hadiah produk Tupperware. Hadiah yang disediakan itu merupakan produk Tupperware yang sifatnya eksklusif, tidak dijual secara bebas, tidak ada dalam katalog, dan biasanya apabila dihargai dengan uang, nominalnya akan lebih mahal. Apabila hadiah tersebut tidak akan digunakan sendiri pun, masih bisa dijual kepada konsumen. Hadiah untuk kegiatan Activity ini akan berbeda setiap bulannya. Strategi berikutnya adalah melalui acara-acara perekrutan/Opportunity Hour (OH). Ini dilakukan untuk menarik minat dan antusiasme publik yang lebih besar, maka Tupperware juga mengadakan acara-acara perekrutan yang diselenggarakan secara masif pula. Kegiatan OH ini diprioritaskan bagi para konsumen yang belum menjadi member di Tupperware. Sebagai sebuah brand yang sudah mendunia, Tupperware memilih beberapa hotel bintang 4 dan 5 sebagai tempat penyelenggaraan kegiatannya untuk menampilkan kesan mewah dan berkelas, seperti hotel Phoenix dan Hotel Melia Purosani. Ini juga berfungsi sebagai
180
media pencitraan dan penandaan bahwa produk ini adalah tanda dari kelas sosial tertentu. Kegiatan ini dikondisikan sedemikian rupa dengan mengedepankan hiburan dan tidak ada pungutan biaya bagi para pesertanya. Dalam kegiatan berskala besar seperti ini, Shahnaz Haque yang merupakan brand ambassador Tupperware Indonesia juga dilibatkan sebagai pengisi acara utama. Lalu sebagai pendamping atau sebagai bintang tamu dalam acara ini, biasanya dipilihlah perempuan-perempuan yang dipandang memiliki kehidupan yang sukses, seperti Yati Pesek. Kisah-kisah hidup, kegagalan dan keberhasilan para perempuan inilah yang disandingkan dengan program dari Tupperware yang memberikan ilustrasi bahwa perempuan yang tergabung di Tupperware nantinya akan menjadi perempuan yang sukses. Dalam kegiatan ini ditawarkan pula misi Tupperware bagi perempuan-perempuan Indonesia yang sukses dengan 3E, yaitu Enlight (pencerahan), Educate (pendidikan), dan Empower (pemberdayaan). Selain acara-acara yang diselenggarakan oleh manajemen Tupperware pusat, masing-masing distributor di tiap kota juga memiliki agenda rutin agar dapat menarik minat konsumen dan menguatkan jejaring masyarakat konsumsi dalam konteks bisnis ini. Berikut ini adalah jadwal kegiatan yang diselenggarakan oleh 2 (dua) distributor di Yogyakarta. Assembly merupakan acara pertemuan rutin yang diikuti oleh semua member, dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi. Bahkan disarankan bagi para member untuk membawa konsumen non member agar bisa dikenalkan dengan situasi dalam bisnis ini. Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Tabel 4 Jadwal Kegiatan di Kantor Distributor Tupperware Yogyakarta Hari
Senin
Selasa Rabu
Jam
Kegiatan PT SAS Kotabaru
PT ISM Godean
10.00 13.00
Jenjang karir Assembly
14.00 10.00 12.00
NDOP -
Assembly special promo baru (awal bulan) Jenjang karir Party training,(Recruiting, Dating, Party planning)Product Knowledge Assembly Briefing Manager,Keuntungan dealer,Analisis bisnis Tupperware,Career passport, NDOP
13.00 Kamis 10.00 Jumat 11.00 14.00 Sabtu 10.00 11.00
Cooking class Party Training Assembly Briefing manager -
Dalam Assembly ini juga diumumkan pencapaian target penjualan dari para member, dan tiap level pencapaian penjualan akan diberikan hadiah produk Tupperware, disebut dengan spell up. Party training adalah kegiatan khusus untuk memberikan pelatihan penyelenggaraan party. NDOP (New Dealer Orientation Program) merupakan kegiatan pembekalan dan pelatihan yang dikhususkan bagi para dealer (member baru dan pada level terbawah). Selanjutnya, jenjang karir merupakan acara yang dikhususkan untuk membahas mengenai jenjang-jenjang atau level yang bisa diraih oleh member dengan mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Tupperware. Sedangkan, Briefing manager adalah acara yang diselenggarakan pada tiap akhir minggu dan dikhususkan bagi para manager untuk menerima pengarahan dari distributor maupun penghitungan omset
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
yang telah mereka lakukan selama seminggu. Kegiatan cooking class, dilakukan untuk membuktikan kualitas dari produk Tupperware yang digunakan. Sedangkan acara assembly khusus promo diselenggarakan pada awal bulan, khusus untuk membahas produk promo pada bulan yang bersangkutan. Hal menarik yang ditemui pada setiap penyelenggaraan acara-acara rutin itu adalah selalu dimulai dengan promosi produk. Hal ini dilakukan untuk senantiasa mengingatkan para member untuk melihat kembali jumlah penjualan yang sudah dilakukan apakah sudah mencapai target atau belum. Karena dengan tercapainya target maka akan menambah jumlah omset penjualan sehingga akan mendapatkan reward dari Tupperware baik berupa produk maupun akan menambah penghasilan atau bonus berupa uang di akhir bulan. Sekaligus juga untuk menunjukkan
181
kepada para member, persediaan barang apa saja yang masih ada di gudang distributor. Ini juga merupakan usaha persuasif untuk menggenjot lagi target penjualan bagi para member. Dengan demikian, konsumsi adalah menjadi inti dari keberlangsungan kelompok masyarakat ini. Selain strategi-strategi pemasaran di atas, maka metode pembayaran yang dilakukan pun juga disesuaikan dengan kondisi konsumen yang bersangkutan. Pembelian di tingkat distributor memang harus dilakukan secara tunai (cash), namun kondisi yang lain terjadi pada tingkat dealer maupun manager. Pada tingkat ujung tombak ini, konsumen dapat saja membayar dengan 2 (dua) cara yang berbeda yaitu dapat membayar tunai maupun kredit (dicicil). Dengan membayar tunai, konsumen bisa mendapatkan diskon sampai dengan 20%. Hal ini disesuaikan dengan kesepakatan antara dealer atau manager dengan pihak konsumen. Sementara itu, bagi konsumen yang memilih untuk membayar dengan sistem kredit biasanya dikenakan harga sesuai yang tertera di katalog produk atau tanpa diskon. Berapa kali dan besarnya jumlah cicilan juga merupakan kesepakatan antara konsumen dan dealer. Walaupun sebenarnya sistem kredit ini tidak disarankan oleh para distributor, namun rupanya cukup ampuh digunakan sebagai alternatif oleh para member dalam rangka membujuk para konsumennya untuk melakukan transaksi. Berbagai metode yang digunakan oleh anggota dalam jejaring bisnis ini, adalah sebagai upaya untuk melanggengkan keberadaan masyarakat konsumsi itu sendiri. Kapitalisme yang semula berkembang atas
182
nama mode of production kini mulai berganti menjadi dimensi mode of consumption. Perubahan besar yang terjadi ini karena kapitalisme telah menciptakan produksi masif yang terus menerus sehingga mau tidak mau harus diciptakan pula suatu sistem cara kerja tertentu untuk menghabiskan hasil produksi tersebut. Konsumsi adalah jawabannya. Dalam hal ini, konsumsi bukan hanya berhenti pada batas definisi atas proses menghabiskan hasil-hasil produksi saja, namun juga telah bergerak kearah mengkonsumsi tanda-tanda yang dimiliki oleh komoditi yang dipertukarkan tersebut. Jadi, secara signifikan masyarakat diajak pada satu pola konsumsi atas nama nilai tanda (sign value). Tanda yang dikonsumsi tersebut memiliki nilai atas makna yang direproduksi. Oleh karena itu, untuk menciptakan sistem tanda terus menerus harus didukung dengan adanya sistem masyarakat yang mengartikulasikan bahwa tanda menjadi bagian penting dalam kehidupan. Salah satunya adalah dengan terciptanya masyarakat konsumsi. Menurut Smith (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005 : 263) masyarakat konsumen adalah masyarakat dimana orang-orang berusaha mengafirmasi, meneguhkan identitas dan perbedaannya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli dan mengkonsumsi sistem tanda bersama. Demikian juga yang ditemui dalam masyarakat konsumsi yang terbentuk sebagai konsumen dari Tupperware. Di dalam bisnis ini tercipta suatu jejaring masyarakat konsumsi yang begitu setia dengan berbagai manuver yang diproduksi oleh produsen Tupperware. Dorongan
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
konsumsi diciptakan melalui pencitraan produk yang disalurkan melalui perilaku ekonomi untuk mendukung dan memelihara konsumsi masyarakat atas produk ini. PENUTUP Jejaring masyarakat konsumsi dalam konteks bisnis Tupperware ini memberikan deskripsi atas realitas kapitalisme masa kini. Perilaku-perilaku ekonomi yang terlihat di dalamnya, merupakan mekanisme masyarakat konsumsi untuk mempertahankan dirinya. Konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat baik secara materiil maupun sistem tanda yang diciptakannya merupakan hal mendasar bagi pembentukan dan perkembangan jejaring masyarakat konsumsi ini.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
DAFTAR RUJUKAN Baudrillard, J.P. 2009. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Noviani, R. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. PT Indovima Sentosa Mandiri. 2010. Buku Panduan New Manager Orientation Program. Yogyakarta. Riswanda. 2004. 3 Langkah Mengenali MLM Sejati dan MLM Palsu. Yogyakarta : Pustaka Ar Raudhoh. Suseno, F.M. 2005. Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2009. Te o r i - Te o r i K e b u d a y a a n . Yogyakarta : Kanisius. www.tupperware.co.id
183
FIS 39 (2) (2012)
FORUM ILMU SOSIAL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
MENGUNGKAP KEMBALI TAFSIR ATAS PANCASILA: DIBALIK PENCABUTAN KETETAPAN MPR TENTANG P4
Winarno* Prodi PPKn FKIP UNS Surakarta
Info Artikel
Abstract
Sejarah Artikel
Pancasila is the foundation of the state of the Unitary Republic of Indonesia. The thought of Pancasila in state political lines are included in the MPR decree No. XVIII/MPR/1998 which also repeals provisions of Decree No. II/MPR/1978 about P4 (The Guidlines for Appreciating and Implementing Pancasila). The background of the issue the political determination is that the MPR decree on P4, the substance and implementation are no longer fit with the times. Pancasila charge in P4 is considered to have an expansion in interpretation of Pancasila. Implementation of the P4 upgrading program is considered to be the doctrinative, ineffective and spend a lot of costs. For the future, the interpretation of Pancasila should refer to the historical interpretation of the founding fathers and is developed through historical approach and juridical interpretations developed through legal approach. The implementation of Pancasila can be done with socialization through education.
Keywords: dengue hemorrhagic fever (DHF), GIS,
2012 Universitas Negeri Semarang
184
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
PENDAHULUAN Sudah lebih dari satu dasawarsa, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi di bumi Indonesia. Pencabutan atas ketetapan tersebut dilakukan melalui MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Kembali Pancasila sebagai Dasar Negara. Keluarnya ketetapan tersebut sesungguhnya dapat dikatakan sebagai momentum penting dan bersejarah mengenai bagaimana bangsa ini saat itu memahami, mensikapi, dan sekaligus tertindak terhadap Pancasila. Pancasila yang selama masa Orde Baru, sangat “disakralkan” dan dijadikan legitimasi ideologis untuk mengendalikan seluruh segi kehidupan, dengan serta merta dan dengan mudahnya pula turut dihapuskan. Boleh jadi, tuntutan gerakan reformasi yang menolak semua hal yang berbau Orde Baru, maka Pancasila ikut “terdeskreditkan” secara jauh dan salah satu keputusan penting Orde Baru itupun turut dirobohkan. Saat ini, ketika bangsa dan masyarakat Indonesia ramai-ramai untuk kembali kepada Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan, tidak banyak publik yang mengerti benar mengapa ketetapan MPR tentang P4 tersebut dihapuskan yang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
diketahui umumnya adalah implikasi yang timbul setelah ditidakannya ketetapan tersebut. Misalnya, dalam pelajaran PPKn 1994, butir-butir Pancasila dalam P4 tidak lagi menjadi materi pokok. Dalam pelajaran PKn 2006, butir-butir P4 secara eksplisit juga tidak tampak. Dampak lainnya adalah dihapuskannya BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai lembaga negara yang selama masa Orde Baru bertugas mengelola dan menyelenggarakan program penataran P4, melalui Keputusan Presiden No 27 Tahun 1999 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 Tentang Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila. Mengapa ketetapan MPR tentang P4 tersebut dicabut, dapat kita ketahui berdasar konsideran Ketetapan MPR No XVIII/ MPR/1998 yang mengatakan bahwa materi muatan dan pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Namun demikian dengan menyatakan bahwa materi muatan dan pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara, dapat dikatakan belum mampu memberi rasionalitas yang lebih luas dan jelas dibalik pencabutan tersebut. Masyarakat Indonesia perlu mendapatkan penjelasan dan argumentasi yang lebih akademik akan hal tersebut. Hal ini dimaksudkan agar di masa depan warga bangsa tidak salah dalam memperlakukan 185
Pancasila. Pancasila, oleh bangsa Indonesia telah diterima dan diposisikan sebagai sesuatu yang luhur berharga dan penting. Misalkan, dikatakan Pancasila merupakan jatidiri bangsa (LPPKB, 2005), konsensus bangsa (Asaad Ali, 2009), dan warisan jenius pendiri bangsa (Yudi Latief, 2011). Di masa depan, kita dapat belajar dari cara memahami dan memperlakukan Pancasila melalui ketetapan MPR tersebut. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi lebih lanjut, latar belakang pencabutan ketetapan MPR tahun 1998. Penulis berangkat dari asumsi bahwa latar dibalik pencabutan ketetapan MPR tersebut adalah bagaimana para anggota MPR melalui pengalamannya masing-masing mempersepsi tafsir atas Pancasila, khususnya ketetapan MPR tentang P4. Sumber data untuk penulisan ini adalah dokumen formal berupa risalah sidang MPR tahun 1998 terkait dengan ketetapan MPR tentang P4. Sumber lain adalah buku-buku referensi perihal Pancasila dan wawancara dengan narasumber terkait. Oleh karena itu, pembahasan diawali dengan sekitar tafsir atas Pancasila, kemudian latar belakang pencabutan ketetapan MPR tentang P4 dan usulan akademik bagaimana menafsir Pancasila untuk masa depan. PERIHAL TAFSIR ATAS PANCASILA Studi AMW Pranarka (1985) menyatakan bahwa Pancasila sebagai obyek pemikiran akademik ternyata memiliki 5 problem atau masalah. Kelima masalah tersebut meliputi : 1) masalah sumber, 2) masalah tafsir, 3) masalah pelaksanaan, 4) masalah apakah Pancasila itu subject to 186
change dan 5) problem evolusi dan kompleksitas di dalam pemikiran tentang Pancasila. Terkait dengan problem tafsir berhubungan dengan pertanyaan apakah Pancasila itu dan apakah yang dimaksudkan dengan masing-masing sila Pancasila itu. Terhadap hal ini terdapat beragam pendapat atau tafsir. Jadi heterogenitas tafsir atas Pancasila tidak hanya menyentuh Pancasila secara keseluruhan tetapi juga pada masingmasing sila di dalamnya, termasuk pula mana diantara sila tersebut yang utama. Heterogenitas tafsir atas Pancasila meliputi tafsir berdasar agama atau tafsir theologis, misal Pancasila versi Islam, Pancasila versi Katolik, Pancasila versi Kristen dan Pancasila versi Marxis. Disamping itu terdapat pula tafsir dalam pendekatan ideologis yang biasanya bersifat eklektis, tafsir filosofis dan sejarah. Ia juga menyebut adanya heterogenitas pendekatan terhadap Pancasila sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang kaya akan kepustakaan Pancasila tetapi sekaligus membawa suasana perpleksitas pemikiran. Ragam pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan ideologis, pendekatan ilmiah, pendekatan filosofis dan pendekatan idelogis. Dinyatakan pula adanya dua jalur pemikiran mengenai Pancasila yakni pemikiran yang berkembang dalam jalur politik kenegaraan di satu pihak dan pemikiran mengenai Pancasila yang berkembang dalam jalur akademis di lain pihak (Pranarka, 1985: 368, 388). Pemikirian akademis mengenai Pancasila meliputi pemikiran ilmiah, filosofis dan theologis. Akan tetapi ditinjau dari jenis pemikiran secara epistemologis,
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
dapat dibedakan adanya empat macam pemikiran mengenai Pancasila yaitu 1) pemikiran ideologis, 2) pemikiran ilmiah, 3) pemikiran filosofis dan 4) pemikiran theologis. Pemikiran ilmiah, filosofis dan teologis mengenai Pancasila termasuk pemikiran akademis yang bersifat reflektif, obyektif, kritis, logis dan sistematis. Pemikiran ideologis bukan termasuk pemikiran akademis oleh karena pendekatan ideologis mengenai Pancasila adalah uraian yang tidak mempersoalkan konsistensi yang yang menyangkut substansi, tidak memperhitungkan “nilai kebenaran internal” atas uraian itu tetapi lebih menitik beratkan pada tujuan konkrit sebagai motivasi utamanya. Keragaman pendapat mengenai kedudukan Pancasila dapat dimengerti, oleh karena disebabkan perbedaan sudut pandang pemikiran, dasar keilmuan yang melandasi serta konteks situasi dimana pemikiran tersebut dikemukakan. Bahwa pemikiran mengenai Pancasila tumbuh berkembang dalam sejarah masyarakat Indonesia dan kebudayaan Indonesia (Pranarka, 1985: 385). Tafsir atas Pancasila itu terjadi dalam “waktu tertentu” yang mengandung di dalamnya aspek masa lampau, masa kini, dan masa depan. Syafii Maarif (1985:152) mengakui bahwa Pancasila terbuka bagi bermacam-macam tafsiran filosofis. Pembicaraan Pancasila di depan sidang Majelis Konstitutuante telah mempersoalkan ini dengan bebas menurut pandangan hidupnya masing-masing. Menurut Eka Darmaputra (1997:116), setiap kelompok boleh memiliki penafsiran sendiri-sendiri terhadap Pancasila, penafsiran tunggal tidaklah mungkin dan apabila dipaksakan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
justru akan bertentangan dengan maksud dan jiwa asli Pancasila itu sendiri. Jadi ada tafsir yang dikembangkan berdasar pendekatan ideologis, pendekatan theologis, filosofis, dan pendakatan ilmiah (Pranarka, 1985: 345). Ada Islamologische interpretasi, Chrsitelijke interprestasi dan Marxistische interprestasi (Roeslan Abdulhani, tt b: 50). Oleh karena itu, terhadap keragaman pengertian dan kedudukan Pancasila, Kaelan (2002: 46) menyatakan bahwa pengertian, kedudukan, dan fungsi Pancasila itu masingmasing harus dipahami sesuai dengan konteksnya. Oleh karena itu, menarik untuk ketahui bagaimana Pancasila termasuk P4 dipahami dan ditafsirkan oleh para anggota MPR di tahun 1998. Ketetapan MPR No XVIII/ MPR/1998 yang dapat dikatakan mengakhiri riwayat P4 dapat pula dikatakan sebagai bentuk pemikiran di jalur politik kenegaraan saat itu terhadap Pancasila. LATAR BELAKANG PENCABUTAN KETETAPAN MPR TENTANG P4 Sebagaimana telah dikemukakan di atas, penjelasan formal perihal mengapa kebijakan P4 ini dibubarkan dapat kita ketahui dari konsideran Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998 yang mengatakan bahwa materi muatan dan pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Hal yang menarik adalah, meskipun P4 telah dicabut, sebagian publik masih 187
menyatakan persetujuan dengan apa yang termuat dalam P4 tersebut. P4 ini dianggap sebagai sesuatu yang baik, tidak ada yang salah, memiliki tujuan yang baik dan justru penting digunakan untuk membangun jatidiri manusia Indonesia atau dengan istilah manusia Indonesia seutuhnya. Secara substansi P-4 lebih menitikberatkan pada pembentukan moral dalam bersikap dan bertingkah laku warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (http://lppkb.wordpress.com). P-4 merupakan etika sosial dan politik bagi seluruh bangsa Indonesia (Achmad Fauzi, 2003:98). Tap. MPR No. II/MPR/1978 adalah pedoman yang dapat dijadikan penuntun dan pegangan terhadap sikap dan tingkah laku bagi setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Ketut Rindjin, 2010: 12). Yuwono Sudarsana menilai tidak semua materi yang diberikan dalam penataran P4 dahulu salah. Menurut pengamatannya, penataran P4 sebenarnya bertujuan baik, namun dalam implementasinya terlalu kaku dan dipaksakan (Kompas, 1 September 2007). Kaelan menyatakan sebenarnya P4 itu baik dan jika diajarkan isi P4 itu tidak masalah, hanya saja yang terjadi selama ini adalah politisasi (Wawancara, Desember 2010). R Soeprapto menyatakan bahwa P4 itu sebenarnya baik, tidak ada yang mengatakan itu tidak baik, yang ditolak adalah patut diduga bahwa penataran P4 itu nuansa politiknya lebih banyak serta dianggap menghambur-hamburkan uang negara yang sebenarnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah sekarang ini (Wawancara, Maret 188
2011). Soemarno Soedarsono dari Yayasan Jatidiri Bangsa juga mengatakan bahwa P4 itu baik sekali, hanya kelemahannya pada metodenya yakni terlalu indoktriner sebagai bahan pengajaran, mestinya diarahkan pada pembentukan karakter bangsa sebagai cerminan nilai-nilai Pancasila (Wawancara, Maret 2011). Pernyataan-pernyataan di atas sejalan dengan pembicaraan-pembicaraan yang terjadi selama masa sidang MPR tahun 1998, khususnya pada rapat-rapat Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR RI yang salah satu tugasnya mambahas usulan Rancangan Keputusan (Rantus) MPR dan Rancangan Ketetapan (Rantap) MPR. Terhadap rancangan ketetapan MPR mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ini, fraksi-fraksi dalam MPR menyampaikan pendapatnya. Iris Indira Mukti sebagai juru bicara fraksi Karya Pembangunan menyatakan bahwa fraksinya mengusulkan adanya rancangan ketetapan MPR mengenai perubahan atas ketetapan MPR tentang P4 tahun 1978. Menurutnya penjabaran nilainilai Pancasila mencerminkan nilai-nilai positif budaya budaya bangsa yang sejalan dengan ajaran agama tetap diperlukan dan haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang senantiasa mengalamai kemajuan sesuai dengan sifat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Penyelenggaraan penataran P4 sebelumnya dikatakan ; “ ... ternyata dalam prakteknya telah menimbulkan kesan indoktrinasi bahkan telah dijadikan suatu persyaratan dalam menduduki suatu jabatan formal tertentu. Selain itu kita merasakan penataran-penataran yang dilalukan
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
dengan biaya besar dan waktu yang banyak itu tidak memberikan hasil yang efektif dalam kerangka membentuk perilaku masyarakat seperti yang dikehendaki “ (Risalah Rapat ke 2 Panitia Ad Hoc II Badan pekerja MPR RI 1998)
Qomari Anwar dari fraksi Persatuan Pembangunan mengakui bahwa menjadi kewajiban warga negara untuk menjaga kemurnian Pancasila sebagai dasar negara dan berkeyakinan bahwa kekuatan Pancasila adalah pada keterbukaannya. Oleh karena itu perlu dihindari dan dicegah penafsiran tunggal dan final yang justru mempersempit dasar negara. Selanjutnya dikatakan sosialiasi Pancasila lewat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila di zaman Orde Baru tidak jauh berbeda dengan Tujuh Bahan Indoktrinasi (Tubapin) di zaman Orde Lama. Dikatakan sebagai berikut; “... telah menggiring Pancasila pada posisi seolah-olah sebagai ‘agama’ baru yang secara tidak bertanggung jawab, tidak jarang justru diperhadapkan dan dipersaingkan dengan agama yang sesungguhnya. Disosialisasikannya sekian puluh butir ‘tafsir’ Pancasila versi P-4 telah memunculkan kesan kuat bahwa pemilik dan penafsir tunggal Pancasila adalah negara, dalam hal ini BP7. Sesuai dengan semangat reformasi, dimana negara menjadi pemilik dan penafsir tunggal dasar negara harus diakhiri. Biarkanlah Pancasila tumbuh subur sebagai milik seluruh rakyat” (Risalah Rapat ke 2 Panitia Ad Hoc II Badan pekerja MPR RI 1998)
Pembahasan yang lebih lengkap mengenai ketetapan MPR tentang P-4 ini dilakukan pada rapat ke 3 Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR tahun 1998. Berdasarkan kata pengantar Widodo AS selaku ketua rapat, diketahui bahwa usulan Rantap MPR tentang Pencabutan, Peninjauan atas ketetapan MPR No
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
II/MPR/1978 tentang P-4 diusulkan oleh Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatuan Pembangunan. Dalam rapat ke -3 tersebut Yusuf Thalib dari Fraksi Karya Pembangunan mengatakan bahwa sebagai dasar negara Pancasila memerlukan kesamaan pemahaman penerapan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Kelima nilai dasar Pancasila pada hakekatnya berakar dari nilai-nilai agama dan budaya bangsa sehingga penjabaran nilai-nilainya harus mencerminkan nilai positif yang sesuai dengan nilai ajaran agama dan budaya bangsa. Dalam posisi yang demikian penjabaran Pancasila dalam bentuk Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila masih diperlukan. Perihal muatan Pancasila dalam bentuk P-4 ini, fraksi karya pembangunan tidak mempermasalahkannya. Hal yang dikritik adalah penyalahgunaan program tersebut. Yusuf Thalib mengatakan; “ Belajar dari pengalaman sejarah pembangunan bangsa selama waktu lima dasawarsa harus diakui sejujur-jujurnya telah terjadi proses berkepanjangan penyalahgunaan. Berbagai ketentuan konstitusional termasuk Tap MPR No II/MPR/1978 tentang P-4 dipergunakan atau disalahpraktekkan sebagai instrumen politik untuk memperkuat dan memperkokoh kekuasaan sekaligus mengabsahkan kelangsungan kekuasaan” (Risalah Rapat ke 3 Panitia Ad Hoc II Badan pekerja MPR RI 1998)
Setelah menyatakan telah terjadinya penyalahgunaan dari pelaksanaan tap MPR tentang P-4, fraksinya mengajukan usulan perlunya kajian ulang mengenai metode penerapan P-4. Usulan perubahan ketetapan MPR tersebut menyangkut metode dan fungsinya sebagai pedoman yang
189
baru yang tidak bertentangan. Selanjutnya ia sependapat bahwa penataran P-4 yang dilakukan dengan menyita waktu dan biaya yang cukup besar ternyata kurang efektif hasilnya dalam membentuk perilaku masyarakat yang kita kehendaki. M en u r u tn y a, jik a k elemah an atau ketidakpuasan itu pada pelaksanaan, maka perlu dilakukan penyempurnaanpenyempurnaan terhadap segala kekurangan dalam sosialisasinya. Fraksi ABRI dapat menerima adanya penyempurnaan atas ketetapan MPR tentang P-4. (Risalah Rapat ke 3 Panitia Ad Hoc II Badan pekerja MPR RI 1998) Fraksi Demokrasi Indonesia memberikan tanggapan perihal pendapat yang menyatakan bahwa penafiran tunggal Pancasila dianggap sebagai hal yang buruk. Fraksi Demokrasi Indonesia belum yakin atas hal tersebut. Menurut juru bicaranya Untung Sutomo, patokan tunggal atas Pancasila tetap diperlukan sebab apabila tidak ada suatu patokan tunggal lalu masingmasing membuat penafsiran sendiri-sendiri terhadap Pancasila dikhawatirkan akan terjadi kekacauan penafsiran tentang Pancasila. Yang terjadi sebenarnya dan diakui adalah ketetapan MPR No. II /MPR/1978 itu mengalami ekses yakni pemaksaan menjadikan syarat-syarat mendapatkan suatu jabatan dan sebagainya. Namun dengan adanya ekses ini tidak menjadikan harus dicabut ketetapan tersebut. Yang dapat kita lakukan adanya mengurangi atau menghilangkan ekses tersebut (Risalah Rapat ke 3 Panitia Ad Hoc II Badan pekerja MPR RI 1998). Fraksi utusan daerah melalui juru bicaranya Lilik Hendrajaya menyatakan jika 190
dilihat dari tujuannya, ketetapan MPR No II tahun 1978 itu baik, moral bangsa dijabarkan
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
penerapannya tidak merupakan keharusan atau kewajiban. Metode penerapan P-4 diusulkan sebagai gerakan kemasyarakatan. Sementara itu, fraksi Persatuan Pembangunan melalui juru bicaranya Qomari Anwar menegaskan kembali tentang sifat keterbukaan dari Pancasila dan cara mempertahankan keterbukaan itu adalah dengan menghindarkan diri dari segala bentuk penafsiran tunggal dan final. Menurutnya dengan sifat keterbukaan ini, Pancasila akan semakin kaya dengan pemikiran-pemikiran alternatif yang mendukungnya serta warga negara memiliki kesempatan menghayati dan mengamalkannya sesuai dengan bimbingan hati nurani dan agamanya. Pancasila tidak akan memberikan makna yang tinggi tanpa ajaran agama. Ia mengatakan : “ misalnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, saya kira Pancasila kita memang tidak bicara apa-apa tentang Ketuhanan, yang punya konsep dan bisa bicara ketuhanan adalah agama. ... hanya di pangkuan para pemeluk agama yang teguh Pancasila akan tumbuh subur sebagai dasar negara” (Risalah Rapat ke 3 Panitia Ad Hoc II Badan pekerja MPR RI 1998)
Perihal program penataran P-4, dikatakan bahwa sosialisasi yang telah dilakukan dengan mengorbankan banyak tenaga, pikiran, dana dan banyak lagi pengorbanan lagi justru menyebabkan distorsi yang banyak dan munculnya KKN. Dikatakan juga program P-4 ini sejak kelahirannya sudah bermasalah, bukan kelahiran Pancasila, apalagi dalam pelaksanaannya jauh dari melahirkan manusia Indonesia seutuhnya, jauh dari melahirkan manusia yang semakin bisa disiplin, jujur, bersih dan menghindarkan diri dari sifat kebohongan.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Di sisi lain P4 ditolak oleh Fraksi Persatuan Pembangunan oleh karena dianggap telah terjadi penyelewengan pembuatan pedoman. Barlianta Harahap dari Fraksi Persatuan Pembangunan menyatakan Pancasila dasar negara itu sudah ada penjabarannya yakni dalam pasal batang tubuh maupun penjelasannya sehingga tidak perlu lagi ditetapkan oleh MPR. Jadi jangan cepat-cepat menafsirkan atau membuat pedoman karena itu sudah dijabarkan. Mengenai naskah Eka Prasetya Panca Karsa, ia mengatakan sebagai berikut; ... ini sangat berbahaya, pedoman Penghayatan Pancasila sudah terjadi pertama reduksi, depresiasi bahkan apresiasi atau kata-kata politiknya penyelewengan, bayangkan saudara ketua, dasar negara yang kita akui dirubah mulamula pada kalimat keempat, sumber jiwa rakyat Indonesia. Benarkah Pancasila rohnya bangsa Indonesia ...” (Risalah Rapat ke 3 Panitia Ad Hoc II Badan pekerja MPR RI 1998).
Menurutnya, hal ini bukan sekedar penyalahpraktekkan tapi penyalahtafsiran. Dasar negara dibuat jadi sumber jiwa atau dianggapnya jiwa bangsa Indonesia. Tafsir seperti inilah yang ditolak oleh Fraksi Persatuan Pembangunan, termasuk oleh Mohammad Hatta. Dikatakan sebagai berikut; “Ini yang ditolak oleh pendiri Republik Dr Mohammad Hatta, beliau waktu kita menghadap di Diponegoro, beliau mengatakan tidak bisa bung Barlianta jiwa roh yang hanya bersumber dari Tuhan eh sekarang Pancasila menjadi jiwa roh kita ... (Risalah Rapat ke 3 Panitia Ad Hoc II Badan pekerja MPR RI 1998)
Fraksi ABRI melalui juru bicaranya Agus Wijaya sepakat dan sependapat Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa, merupakan azas dalam kehidupan bernegara dan sifat keterbukaannya yang bisa menerima nilai-nilai 191
didalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur” Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, keampuhan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia” (Naskah P4, dalam UUD 1945, P4 dan GBHN; 1993)
Uraian-uraian dalam kalimat di atas, dianggap sebagai perluasan tafsir bahkan penyalahgunakan tafsir Pancasila yang jelasjelas berkedudukan sebagai dasar negara. Sementara itu pula tafsir Pancasila dasar negara adalah sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 terutama bagian pasal-pasalnya. Bisa jadi Orde Baru terlalu bersemangat dalam memperlakukan Pancasila sehingga tidak jelas mana yang merupakan nilai-nilai bernegara dan mana yang merupakan nilainilai individu dan kelompok. Pancasila mengatasi semuanya dan menyerambah di semua lini kehidupan manusia Indonesia termasuk hal-hal yang sifatnya personal. Hal-hal demikian tentu saja untuk sebagian tidak bisa diterima. Ada pandangan bahwa Pancasila bukanlah ideologi yang komprehensif dan juga Pancasila adalah sebatas konsepsi politik, menjangkau masalah publik bukan privat (Agus Wahyudi, 2007). Oleh karena itu, sebenarnya bukan hanya masalah pelaksanaannya yang bermasalah, tetapi substansi Pancasila yang diuraikan dalam naskah P4 dianggap pula bermasalah, yakni terjadinya perluasan tafsir Pancasila. Inilah yang menjadi rasionalitas di balik pencabutan ketetapan MPR tentang P4, sebagaimana terungkap dari risalah sidang MPR tahun 1998.
192
MENAFSIR PANCASILA KE DEPAN Jika Pancasila telah ditegaskan kedudukannya sebagai dasar negara sebagaimana ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998, maka dapat kita katakan itulah pemikiran Pancasila melalui jalur politik kenegaraan dewasa ini. Sejalan dengan pendapat Pranarka (1985), pemikiran Pancasila melalui jalur politik kenegaraan memiliki sifat decisif dan selesai untuk diperdebatkan kembali. Pemikiran Pancasila di jalur politik kenegaraan selanjutnya memerlukan tindak lanjut sebagai konsekwensi putusan yang sifatnya decisif tersebut. Tindak lanjut tersebut umumnya melalui mekanisme hukum agar bisa dilaksanakan. Namun demikian kita tidak mendapatkan penjelasan maupun tindak lanjut, misalnya melalui mekanisme hukum, tentang Pancasila sebagai dasar negara. Bunyi ketetapan MPR tahun 1998 hanya menyatakan bahwa Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Lalu bagaimana cara melaksanakan yang konsisten tersebut, tidak ada mekanisme hukum yang mengaturnya. Lebih dari itu juga tidak ada penjelasan apa makna Pancasila dasar negara dan apa isi tafsir masing-masing sila Pancasila dasar negara tersebut. Justru ketetapan MPR No I/MPR/2003 menetapkan bahwa ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 ini termasuk ketetapan yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Oleh karena itu dapat dikatakan tidak ada mekanisme hukum lebih lanjut tentang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
bagaimana atau cara melaksanakan Pancasila dasar negara ini secara konsisten dalam kehidupan bernegara, sebagaimana diamanatkan oleh ketetapan itu sendiri. Tampaknya publik cukup dimnita untuk menerima saja, konsepsi Pancasila dasar negara, tanpa perlu mempertanyakan bagaimana cara melaksanakan, termasuk makna dan kandungan sila-sila Pancasila dasar negara. Dimungkinkan pula, negara tampaknya juga tidak mau lagi memberi tafsiran terhadap Pancasila, khawatir akan terjadinya penafsiran tunggal terhadapnya sebagaimana terjadi dalam sejarah Orde Baru. Namun demikian, untuk kepentingan “national and character” serta kepentingan komunitas bersama, negara menurut pandangan kaum komunitarian berkepentingan dalam mensosialisasikan nilainilai bersama, kebajikan bersama atau kebaikan bersama kepada warganya. Sebuah negara komunitarian dapat dan seharusnya mendorong orang untuk menerima konsepsikonsepsi tentang kebaikan yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat, sementara mencegah berbagai konsepsi tentang kebaikan yang bertentangan dengan pandangan hidup komunitas ini (Will Kymlicka, 2004:276). Untuk kasus Indonesia, nilai dan kebajikan bersama itu adalah Pancasila. Oleh karena itu Pancasila layak untuk disemai dan disosialisasikan kepada diri warga bangsa, yakni makna, dan kandungan nilai-nilainya. Masalahnya adalah makna dan tafsir dari Pancasila yang manakah yang layak untuk diberikan kepada warga bangsa Indonesia , misal melalui pendidikan ? Berdasar uraian-uraian sebelumnya, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
dapat kita simpulkan bahwa suatu kenyataan sejarah bahwa tafsir mengenai Pancasila memiliki keragaman sebagaimana dinyatakan ada keragaman tafsir atas Pancasila (Pranarka, 1985:365; Adian Huzaini, 2009:83), bahkan tafsir filosofispun bermacam-macam (Syafii Maarif, 1985:52). Hal demikian merupakan problem tentang tafsir manakah yang layak dan dapat dipertanggungjawaban, misalnya untuk kepentingan pendidikan Pancasila bagi anak bangsa. Tafsir mengenai isi Pancasila menurut perspektif pendiri negara atau tafsir historis, menurut hemat penulis, layak untuk dijadikan muatan Pancasila dalam pendidikan. Hal ini dikarenakan tafsir demikian dapat ditelusuri melalui pendekatan historis dan memiliki pertanggungjawaban akademik yang kuat. Sebagaimana dikatakan Silalahi (2001:160) bahwa berdasar pengalaman sejarahnya, tampaknya Pancasila tidak perlu ditafsirkan panjang lebar, tetapi cukuplah apabila Pancasila itu ditafsirkan seperti apa yang diutarakan penggalinya. AB Kusuma (2006: 431) juga menyatakan Pancasila harus dipahami dengan memperhatikan interpretasi dari para pembuatnya. Penafsiran Pancasila menurut Panitia Lima sendiri dibentuk oleh presiden Soeharto kala itu karena dianggap dapat memberikan pengertian yang sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir batin para penyusun UUD NRI 1945 dengan Pancasilanya (Panitia Lima, 1977:7), meskipun pada akhirnya ditolak oleh rezim Orde Baru karena laporannya justru bersifat kritis terhadap kebijakan pembangunan Orde Baru (David Bourchier, 2007: 344). Perspektif wacana
193
politik pendiri bangsa, misalnya Pancasila dapat dikaji sebagai wacana pendidikan politik yang penting dalam rangka menegakkan demokrasi dan mencegah disintegrasi (Nur Khoiron et al., 1999:24). Tafsir para pendiri negara tampak pula bisa diterima oleh elemen bangsa. Pemikiran Soekarno perihal Pancasila dewasa ini semakin mengemuka seperti yang ditunjukkan oleh pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara Peringatan Hari Lahir Pancasila baik di tahun 2006 maupun di tahun 2010. Dikatakan sebagai berikut; “Dalam deskripsi singkat ini, saya ingin mengikuti jalan pikiran Bung Karno pada 1 Juni 1945. Karena menurut saya, masih tetap relevan dan juga masih tetap menjadi kerangka dan sumber inspirasi dan solusi menghadapi permasalahan kebangsaan dewasa ini. Pertama, mari kita bicara kembali tentang kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, dan internasionalisme atau peri kemanusiaan” (Sekretariat Negara , 2007)
Pada pidato tanggal 1 Juni 2010, gagasan Pancasila dari Soekarno juga diungkap kembali oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengatakan “Pada saat ini juga pidato saya akan mengedepankan sejumlah pemikiran besar Bung Karno yang saya anggap relevan untuk menghadapi keadaan baik yang dihadapi oleh bangsa kita dan dihadapi oleh dunia” (Sekretariat Negara, 2010). Meskipun pemikiran Soekarno ini dipahami sebagai bentuk pemikiran ideologis bukan pemikiran akademik, namun untuk kepentingan pembangunan semangat kebangsaan dan cinta tanah air masih relevan dan bisa diterima. Berdasar hal ini, tafsir Pancasila secara historis menurut perspektif pendiri negara bisa dimuat sebagai materi pendidikan, misal 194
dalam PKn sebab secara akademik dapat dipertanggungjawabkan dan secara politik bisa diterima banyak kalangan. Di sisi lain, tafsir yuridis atas Pancasila juga perlu diberikan melalui pendidikan. Hal ini dikarenakan tafsir yuridis atas Pancasila pada dasarnya merupakan bentuk pemikiran di jalur politik kenegaraan, yang memang seharusnya dijalankan. Selama ini, meskipun tidak secara tersurat dapat diterima bahwa tafsir yuridis Pancasila adalah sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 (bagian pasal-pasalnya). Contoh, sila pertama Pancasila diberi tafsiran dalam Pasal 29 UUD 1945, sila kedua dalam pasal 28 A sampai J UUD 1945, dan seterusnya. Namun demikian tafsir yuridis, bukan tafsir akademik meskipun pada mulanya dibangun dari pemikiran akademik. Tafsiran yuridis suatu saat akan berkembang dan berubah, misal jika dilakukan amandemen atas UUD 1945. Oleh karena itu tafsir yuridis atas Pancasila kurang lebih bersifat relatif, kontekstual dan dapat dilakukan jika memang terdapat sandaran hukumnya. PENUTUP Berdasar uraian-uraian di atas, kita ketahui bahwa Pancasila tetap memiliki problem akademik, terutama problem tafsir yang berkonsekwensi pada problem pelaksanaan dalam kehidupan bernegara. Jadi problematik pelaksanaan Pancasila terletak pada problem tafsir. Sejarah pemikiran Pancasila telah memberi pelajaran bahwa Pancasila memang terbuka terhadap bermacam-macam tafsir. Bahkan sebuah tafsir atas Pancasila bisa digunakan sebagai legitimasi ideologis kekuasaan. Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Namun demikian, sebagai suatu nilai kebaikan bersama, apa Pancasila dan kandungan makna yang ada dalam setiap silanya, mesti disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada semua warga termasuk warga yang sedang memerintah (penyelenggara negara). Menurut hemat penulis, Pancasila perlu disosialisasikan melalui pendekatan historis, dalam hal ini mengembangkan tafsir historis para pendiri negara. Pendekatan historis adalah pendekatan ilmiah akademis yang dapat dipertanggungjawabkan. Di sisi lain juga perlu menggunakan pendekatan yuridis oleh karena Pancasila sebagai dasar negara pada dasarnya berkonotasi yuridis. Dengan pendekatan yuridis, maka Pancasila sebagai pemikiran di jalur politik kenegaraan memiliki mekanisme hukumnya untuk dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara memiliki tafsiran yang didukung oleh pemikiran akademik maupun pemikiran di jalur politik kenegaraan. DAFTAR RUJUKAN Abdulgani, Roeslan. (tt b). Resapkan dan Amalkan Pantjasila. Jakarta: BP Prapantja. Ali, Asa’ad Said. (2009). Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Bersama. Jakarta: LP3S. Bahar, Saafroedin & Hudawatie, Nanie. (Peny) (1998). Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Bourchier, David .(2007). Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Organis. Terj. Agus Wahyudi. Yogyakarta : Aditya Media dan PSP UGM. Darmaputra, Eka .(1997). Pancasila antara Identitas dan Modernitas. Tinjauan Etis dan Budaya. Edisi ke-6. Jakarta: Gunung Agung Darmodihardjo, Darji .(1981). Santiaji Pancasila. Surabaya: Pustaka Nasional. Huzaini, Adian. (2009). Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Ismail, Faisal. (1999). Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kaelan. (2002). Filsafat Pancasila . Yogyakarta : Paradigma Kahin, George Mc Turnan (1995) Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan. Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No II / MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara.
195
Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) Khoiron, Nur dkk. (1999). Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda. Yogyakarta: LkiS Kuntowijoyo. (1997). Identitas Politik Umat Islam. Jakarta:Mizan Kusuma, A.B. (2010). “Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara”. Makalah disajikan dalam Kongres Pancasila II tanggal 31 Mei-1 Juni 2011 di Denpasar Kymlicka, Will. (2004). Pengantar Filsafat Politik Kontemporer. Terjmh: Agus Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Latif, Yudi.(2011). Negara Paripurna: Historiositas, Rasionalitas, Aktualias Pancasila . Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. LPPKB.(2005). Pedoman Umum Implementasi Pancasila dalam kehidupan Bernegara. Jakarta: Cipta Prima Budaya. Maarif, Syafii. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3S. Panitia Lima. (1977). Uraian Pancasila . Jakarta: Penerbit Mutiara. Pasha, Mustafa Kamal.(1988). Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri. Pranarka, AMW. (1985). Sejarah Pemikiran Pancasila. Jakarta: CSIS. PSP UGM & Yayasan Tifa .(Peny)(2008).
196
Pancasila Dasar Negara, Kursus P re s i d e n S o e k a r n o t e n t a n g Pancasila. Yogyakarta: Aditya Media. Rindjin, Ketut. (2010). “Penjabaran Filosofis dan Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Penjabarannya”. Makalah disajikan dalam Kongres Pancasila II tanggal 31 Mei-1 Juni 2010 di Denpasar Risalah sidang umum MPR tahun 1998. Tersedia di www.mpr.go.id Diakses tanggal 27 Desember 2010 Silalahi. (2001). Dasar-Dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara. Jakarta : Gramedia. Wahyudi, Agus. (2004). “Ideologi Pancasila: Doktrin yang Komprehensif atau Konsepsi Politis?”. Makalah diskusi bulanan di Pusat Studi Pancasila (PSP),UGM, Yogyakarta, 17 Desember 2004. Tersedia/ dimuat kembali di http://bhinnekatunggalika.web.id/artikel_detail.ph p?act=view&id=7. Diakses pada tanggal 27 Desember 2010 Yudhoyono, Susilo Bambang. (2010). “Pidato dalam rangka peringatan hari lahir Pancasila” di hadapan sidang MPR tanggal 1 Juni 2010 , dimuat kembali di http://www. setneg.go.id. Diakses tanggal 2 Oktober 2010
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
FIS 39 (2) (2012)
FORUM ILMU SOSIAL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
NIKAH SIRI DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL Thriwaty Arsal* Mahasiswa S3 IPB Ekawati Sri Wahyuni, Nurmala K Pandjaitan, Aida Vitayala Institut Pertanian Bogor Info Artikel Sejarah Artikel
Keywords: access, control, women, sharecroppers
Abstract Nikah siri is not a new phenomenon in Indonesia, but based on positive law and Marriage Act 1974 violate norms despite siri marriage in Islam is a legitimate action in accordance with the terms valid throughout the wedding. The act of marriage siri is not only done in certain circles, people with socio-economic and educational status of established, can not be separated from action siri marriage. Negative implications posed by siri siri marriage but marriage still exist and flourish in society, because marriage siri functional for the culprit. various factors that shape a person to take action siri marriage, for example; strict rules state certified, and low levels of economic hardship, low education, knowledge of the concept of marriage, and personal experience.
2012 Universitas Negeri Semarang
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
197
PENDAHULUAN Lembaga perkawinan merupakan institusi manusia pertama yang ada di dunia. Perkawinan didefinisikan sebagai dua orang atau lebih membentuk keluarga dengan suatu pola sosial yang disetujui, yang tidak hanya mencakup hak untuk melahirkan dan membesarkan anak, tetapi juga seperangkat kewajiban dan hak istimewa yang mempengaruhi banyak orang dalam masyarakat (Horton dan Hunt dalam Ram dan Sobari, 1992). Arti sesungguhnya perkawinan adalah penerimaan status baru, adanya sederetan hak dan kewajiban, penerimaan dan pengakuan akan status baru oleh orang lain. Pola perkawinan menurut Parsons (1998) merupakan hubungan antara dua orang yang sederajat. Meskipun terdapat keanekaragaman, konsep pernikahan dan keluarga di berbagai budaya memiliki beberapa kesamaan, semua masyarakat menggunakan pernikahan dan keluarga untuk menetapkan pola pemilihan pasangan, garis keturunan, warisan dan wewenang. Setiap kelompok manusia menetapkan norma untuk mengatur siapa menikah dengan siapa, dalam beberapa masyarakat menetapkan norma-norma ini merupakan hukum tertulis, namun sebagian masyarakat norma yang berlaku bersifat formal namun tidak semua orang memahami tujuan perkawinan dengan cara yang sama. Ketidaktahuan tentang tujuan pernikahan inilah yang menyebabkan manusia memiliki sikap yang beragam terhadap perkawinan. Pada semua masyarakat, peraturan yang komplek mengatur proses pemilihan pasangan dan akhirnya juga perkawinan. Goode (2007) dan Henslin (2007) upacara 198
perkawinan merupakan suatu ritual perpindahan bagi setiap pasangan. Perkawinan tidak hanya mencakup hak-hak dan kewajiban baru, tetapi juga menandakan adanya persetujuan masyarakat atas ikatan itu karena perkawinan merupakan kepentingan umum di semua masyarakat dan masyarakat secara umum berkepentingan atas akibatnya. Pada bangsa-bangsa Barat, berabad-abad yang lalu, negara telah mengambil peranan penting dalam undangundang perkawinan daripada bangsa-bangsa Timur. Sepanjang sejarah Indonesia sebagai Negara Timur, wacana Undang-Undang Perkawinan setidaknya selalu melibatkan tiga pihak kepentingan, yakni kepentingan agama, negara dan perempuan. Dalam wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar perkawinan cenderung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks ini baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu, negara sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya. Meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama dari pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain. Sebelum Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan diberlakukan, hukum yang mengatur Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
perkawinan di Indonesia masih beraneka ragam yaitu sesuai dengan hukum agama dan hukum adat yang dianut masyarakat. Pada jaman kolonial di Indonesia, penguasa Hindia Belanda berkepentingan untuk mengukuhkan pengaruh dan kekuasaannya atas warga jajahan dengan cara mengatur masyarakat melalui serangkaian produk UU, termasuk di dalamnya hukum perkawinan yang dinamakan Compendium Freijer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh Pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur (V.O.C.). Melalui pengaturan inilah tata kependudukan negara jajahan di atur. Setelah UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 tersebut diberlakukan maka peraturanperaturan yang mengatur tentang perkawinan yang dibuat oleh Hindia Belanda diantaranya Perkawinan campuran, ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan-peraturan lain yang mengatur perkawinan dinyatakan tidak berlaku. Dalam UUP No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dijelaskan bahwa perkawinan dipandang sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya, selanjutnya dalam ayat (2) perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pentingnya pencatatan nikah karena menyangkut status istri dan anak secara obyektif. Jika suatu perkawinan telah di catat oleh PPN dengan bukti adanya buku nikah maka akan memiliki akibat hukum, sedangkan perkawinan yang tidak sesuai dengan apa yang di gariskan dengan UUP dan kompilasi Hukum Islam atau tidak Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
dicatat dan tidak ada bukti buku nikah maka tidak memiliki kekuatan hukum, hal ini akan menimbulkan masalah bagi anggota keluarga di kemudian hari. Berbagai kasus pernikahan siri yang muncul; baik pada masyarakat biasa maupun pejabat Negara (pejabat publik), memperlihatkan bahwa siapapun bisa melakukan nikah siri tanpa memandang status sosial dan stratifikasi seseorang dalam masyarakat, namun perempuan dan anak yang paling dirugikan dalam pernikahan siri. Apapun motif-motif seseorang untuk melakukan nikah siri dan dampak apapun yang ditimbulkan oleh nikah siri namun yang pasti nikah siri pada masyarakat tetap berkembang dan eksis dari waktu ke waktu karena nikah siri fungsional bagi pelakunya bagi. Perspektif struktural fungsional Merton (1949 dan 1979) menegaskan bahwa fenomena eksis dan berkembang dalam masyarakat berarti fenomena sosial tersebut mempunyai fungsi positif (fungsional) dalam masyarakat, dengan kata lain fenomena sosial itu eksis karena ia berfungsi bagi sistem sosial budaya di mana ia berada dan kalau fenomena sosial tersebut tidak fungsional (disfungsional), maka fenomena itu akan hilang dan diabaikan oleh masyarakat. Fenomena nikah siri yang berkembang dan dipraktekkan secara luas dalam masyarakat tanpa memandang status sosial, ekonomi dan pendidikan yang mapan serta stratifikasi sosial, bisa saja melakukan tindakan nikah siri, karena nikah siri fungsional bagi masyarakat khususnya bagi laki-laki (suami) yang ingin berpoligami atau ingin memiliki isteri lebih dari satu pada saat yang bersamaan. Sementara itu Gans (1972) 199
menunjukkan bahwa kemiskinan itu tetap eksis karena ia fungsional bagi berbagai kelompok dalam masyarakat sedangkan nikah siri tetap eksis karena dalam ruang sosial memiliki fungsi dalam bentuk integrasi sosial legal-unlegitimate, sehingga ada pihak-pihak yang ingin melanggengkan nikah siri, namun disisi lain ada pihak-pihak yang menganggap bahwa nikah siri itu tidak positif (disfunction) bahkan tidak sedikit masyarakat yang menganggap miring pelaku nikah siri, dalam ruang hukum nikah siri eksis bukan karena fungsional tetapi ada sumber legitimasi lain yang mengukuhkan nikah siri. Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari suatu masyarakat adalah “bertentangan dengan fakta”, sebagai misalnya nikah siri beberapa masyarakat menganggap bahwa tidakan nikah siri bersifat fungsional karena dapat mencegah perbuatan dosa dan zina, akan tetapi disfungsional bagi kelompok lain artinya ada kelompok-kelompok tertentu yang dirugikan oleh tindakan nikah siri. Sejarah Pencatatan Perkawinan Secara historis, pencatatan nikah belum dikenal dan belum diatur pada masa Rasul dan sahabat. Suatu perkawinan dianggap sah ketika memenuhi rukun dan syarat nikah, namun perlu dicermati bahwa Rasulullah senantiasa mengumumkan (i’lan) pelaksanaan akad nikah melalui acara walimatul ursy yang merupakan sunnah dalam suatu pernikahan. Sabda beliau ; “umumkan pernikahan ini dan ramaikan 200
dengan rebanah, (HR Ibnu Majah dari ‘Aisyah)” dan “Adakan walimah sekalipun hanya memotong seekor kambing (HR Bukhori dari Abdur Rahman bin Auf”. Manakala dalam akad hutang piutang seperti disyaratkan dalam Al-Qur’an surat alBaqarah 282 :”Hai orang beriman, manakala kamu malakukan akad hutang piutang untuk dilunasi waktu tertentu, kamu catatlah itu….” penting untuk dilakukan pencatatan (lil-irsyad) untuk kebaikan duniawi, tentu logika kita akan mengatakan; bahwa dalam akad yang lebih besar seperti akad nikah yang dapat menyentuh berbagai aspek mu’amalah umat, pencatatan nikah sangat diperlukan sekali, bahkan mutlak adanya. Perkembangan selanjutnya seiring dengan tuntutan zaman, beberapa negara muslim termasuk Indonesia memuat aturan pelaksanaan akad nikah dengan administrasi pencatatan dan dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan. Di Indonesia ketentuan berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangundangan negara yang khusus berlaku bagi warga Negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975. Undang-Undang ini merupakan peraturan materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1989 dan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Islam. Pentingnya pencatatan nikah karena menyangkut status istri dan anak secara obyektif, jika suatu perkawinan telah di catat oleh Pegawai Pencatat Nikah dengan bukti adanya buku nikah maka akan memiliki akibat hukum, sedangkan perkawinan yang tidak sesuai dengan apa yang di gariskan dengan Undang-Undang Perkawinan dan kompilasi Hukum Islam atau tidak dicatat dan tidak ada bukti buku nikah maka tidak memiliki kekuatan hukum, hal ini akan menimbulkan masalah bagi anggota keluarga di kemudian hari. Secara aksiologis, nikah yang sah menurut undangundang adalah nikah yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Pencatatan ini dilakukan jika ketentuan dan peraturan sebagaimana Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 telah dipenuhi. Suatu perkawinan dianggap sah apabila telah mendapat pengakuan dari negara.Negara mengatur pada setiap perkawinan yang berlangsung pada masyarakat namun tidak semua perkawinan yang berlangsung dalam masyarakat selaras dengan norma hukum perkawinan yang berdasarkan negara yaitu pernikahan siri. Secara historis tidak diketahui kapan nikah siri itu mulai dilakukan masyarakat, karena pernikahan siri sendiri sudah ada sebelum Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. Istilah siri itu sendiri sulit ditemukan dalam terminologi fiqh Islam, ia hadir dan aktual hanya melalui lisan khususnya pada masyarakat muslim Indonesia. Istilah itu muncul di Indonesia setelah diakomodirnya hukum Islam tentang perkawinan menjadi hukum nasional karena Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
konotasi siri itu sendiri pada dasarnya penghindaran dari salah satu ketentuan yang ada didalam hukum perkawinan, yakni pencatatan dan pengawasan perkawinan. Merujuk kepada kitab-kitab Fiqh normatif dari berbagai mazhab Fiqh maupun ensiklopedi Islami, teminologi nikah siri atau pernikahan siri sulit untuk ditemukan dan tidak aktual di lingkungan fuqha’. Istilah nikah siri hanya populer/dipopulerkan di lingkungan masyarakat muslim Indonesia di pedesaan maupun perkotaan dan menjadi fenomena di lingkungan masyarakat Islam .(Zahrah, 1958; Mujib, 1980 dan Yunus, 1983). Fenomena nikah siri hanya dikenal pada masyarakat muslim karena agama lain di luar Islam misalnya agama Katolik tidak dikenal istilah nikah siri. Perkawinan dalam ajaran Katolik bersifat monogami, perceraian tidak diakui oleh gereja Katolik sehingga pasangan yang telah terikat perkawinan akan kekal walaupun mengadakan perceraian di Catatan Sipil, mereka masih dipandang terikat dalam perkawinan dengan jodohnya yang pertama. (Michael, 2006). Sifat monogami dalam ajaran Katolik merupakan salah satu sifat hakiki perkawinan. Hal ini berbeda dalam agama Islam yang memperbolehkan seorang suami untuk memiliki isteri lebih dari satu sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah (ayat 223 dan 231), surat An Nisa (ayat 3, 21 dan 24) dalam ayat ini menyebutkan bahwa seorang suami boleh berpoligami sampai empat orang saja dengan syarat-syarat tertentu yaitu harus bersikap adil dan jika tidak dapat berlaku adil maka kawinilah satu saja. Ayat ini ditafsirkan oleh sebagian masyarakat untuk beristeri lebih dari satu atau berpoligami dan merupakan 201
salah satu alasan bagi seorang suami untuk menikah lagi walaupun secara siri. Maraknya pernikahan siri itu menjadikan pemerintah dan kalangan agamawan prihatin karena nikah siri memiliki permasalahan sosial seperti rentan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, pengabaian hak-hak hukum pada masa mendatang baik terhadap istri maupun anak yang dilahirkan, nikah siri memiliki legitimasi yang rendah (unlegitimate) jika dibandingkan dengan pernikahan resmi yang berdasarkan agama dan UndangUndang Perkawinan yang ditetapkan oleh negara sehingga nikah siri dianggap menyimpang dari peraturan Negara karena tidak dicatatkan di lembaga yang berwenang untuk mengurusi masalah perkawinan, oleh karena itu Departemen Agama (Depag) telah memberikan pernyataan tegas seputar nikah siri yang termaktub dalam Counter Legal Draft Komplikasi Hukum Islam (CLDKHI) yang diajukan Departemen Agama 2004 bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan. Perkawinan yang dilakukan akan menjadi batil secara hukum Negara, jika tidak dicatatkan, karena dianggap telah melanggar hukum Negara, maka secara otomatis sang pelaku mesti memperoleh sanksi, namun draft yang di buat pemerintah tidak memberikan ketentuan hukum secara konkret jenis hukuman terhadap para pelaku nikah siri dan ternyata draft itu tidak berfungsi hingga tahun 2010. Realitasnya, para pelaku nikah siri juga masih banyak dan tidak ada yang tersentuh sanksi pidana, baik bentuk materi (uang) atau penjara. Pelaku nikah siri berusaha menghindari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan 202
perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang birokratis, berbelit, ketatnya tuntutan-tuntutan dan aturan-aturan prosedural pada pernikahan resmi yang dicatatkan serta lama pengurusannya, untuk itu pasangan menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Melakukan pernikahan siri yang pertama sebagian besar dilakukan bagi mereka yang memang sudah menikah sebelumnya dan kebanyakan yang melakukan adalah diawali oleh status suami yang sudah menikah, kemudian memilih nikah siri (untuk berpoligami) karena ingin mempunyai pasangan nikah lebih dari satu pada saat yang bersamaan, akhirnya si suami melakukan nikah siri karena akan rumit dan sulit bila harus mendapatkan ijin dari istri yang sah menurut hukum, terutama bagi mereka yang masih berstatus nikah resmi dengan seorang perempuan, hal ini juga di atur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 Bab 1 pasal 4 ayat (1) dalam hal seorang suami akan beristri lagi maka wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan. Seorang suami yang menikah lagi dan berpoligami, biasanya akan menimbulkan pertengkaran (Vitayala, 2010) yang mengarah kepada disharmoni dan disintegrasi keluarga baik antara suami dan isteri maupun antar isteri dan keluarga kedua belah pihak, karena isteri tidak bisa menerima si suami untuk menikah lagi. Nikah siri terjadi tidak hanya karena suami ingin berpoligami, ada pula pasangan yang melakukan nikah siri dikarenakan memang tidak mampu membayar besarnya biaya pencatatan nikah, karena alasan kesulitan dan rendahnya tingkat ekonomi, ketatnya Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
tuntutan-tuntutan dan aturan-aturan prosedural pada pernikahan resmi yang bersertifikat negara atau munculnya kebijakan-kebijakan dan peraturanperaturan yang mengikat pernikahan siri. Fenomena nikah siri tidak hanya berkembang di Indonesia tapi juga di sejumlah negara Arab dan negara-negara Islam yang dikenal dengan istilah nikah urfi, nikah misyar yang memiliki persamaan dengan nikah siri (Duraiwisy, 2010; Hoda, Osman dan Fahimi, 2005), persamaan istilah-istilah itu terletak pada kenyataan bahwa semuanya mengandung pengertian sebagai bentuk perkawinan yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga tidak dicatatkan secara resmi melalui pejabat yang berwenang. Pemerintah Mesir dan Saudia Arabia misalnya akan menjatuhkan hukuman berdasarkan peraturan perundangundangan kepada pelaku nikah urfi bahkan status anak-anak yang terlahir dari wanita Mesir yang menikah urfi dengan lelaki luar Mesir, tidak memiliki hak untuk memperoleh kewarganegaraan Mesir. Di Indonesia, masalah perkawinan siri sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengetahuan pihak berwenang tersebut, pada umumnya perkawinan siri dilakukan dihadapan seorang ustadz/kyai, tokoh masyarakat sebagai penghulu atau dilakukan berdasarkan adat istiadat oleh tokoh adat dan bukan seorang ustadz. Perkawinan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang yaitu Kantor Urusan Agama (bagi yang muslim) dan bagi non muslim (agama Katolik), pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (Gerald 1996). Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Persepsi masyarakat tentang perkawinan terkait erat dengan nilai sosial, budaya dan agama. Dalam konteks masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan memaknai perkawinan sebagai suatu kewajiban sosial daripada manifestasi kehendak tiap individu (terutama perempuan) namun pada masyarakat tradisional makna perkawinan sebagai keharusan sosial yang merupakan tradisi yang dianggap sakral, suci, keramat yang bisa berfungsi seremonial sedangkan pada masyarakat modern menganggap perkawinan sebuah kontrak sosial, oleh karena itu perkawinan merupakan sebuah pilihan. Karena bukanlah suatu kebutuhan, maka pernikahan tidak lagi sakral, suci dan sebagainya karena semata-mata orang menikah hanya untuk memenuhi tuntutan struktur sosial dalam keluarga/masyarakat, sehingga tidak menikah atau menikah di usia matang akan dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Tuntutan sosial seperti ini tidak jarang membuat orang memilih pasangan hidup secara sembarangan, karena mereka hanya mengejar target umur (khususnya bagi perempuan), faktor bibit, bebet dan bobot tidak lagi menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan atau pasangan dipilih berdasarkan cinta karena cinta dianggap sebagai alasan utama untuk dapat bertahannya suatu perkawinan. Hubungan suatu pasangan dapat bertahan menurut Parsons (Leslie and Korman, 1985; Simmel, 1998; Newman and Graueholz, 2002; Goode, 2007) karena diikat oleh cinta romantis. Bagaimana dengan pasangan nikah siri? Apakah pernikahan tersebut terjadi karena romantisme cinta atau didorong oleh motif-motif tertentu? 203
Suatu pernikahan tidak hanya didasari oleh cinta romantis tetapi juga diikat oleh suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Soemiyati (2007; Duraiwisy, 2010) perjanjian yang dimaksud bukanlah sembarang perjanjian seperti perjanjian jual-beli atau sewamenyewa, tetapi perjanjian dalam nikah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita, suci dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan. Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain, berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturanperaturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Oleh karena itu perkawinan bukanlah suatu permainan dan juga tidak untuk dipermainkan. Namun ketika salah satu pihak yang sudah mengucapkan janji melakukan pernikahan lagi dengan wanita lain dengan cara berpoligami atas nama agama maka telah terjadi pengingkaran terhadap janji yang sudah diikrarkan. Begitu mudahnya untuk melaksanakan pernikahan, cukup dengan ijab kabul walaupun tidak dicatatkan di KUA, bentuk pernikahan seperti ini dikenal dengan nama nikah siri Posisi perempuan nikah siri tidak jarang melahirkan penderitaan dan perempuan menjadi objek kepuasan kaum lelaki untuk menunjukkan kekuasaan dan arogansinya. Kaum perempuan yang terikat dalam pernikahan siri berada pada posisi yang dirugikan dan acapkali menjadi korban 204
bahkan tersubordinasi, biasanya kerugian tersebut antara lain dalam hal identitas, status yang tidak jelas, keadilan memperoleh hak sebagai istri bahkan status anak. Perempuan yang nikah siri, secara catatan hukum atau administrasi tidak memiliki identitas yang jelas di hadapan negara, akibatnya sulit untuk mendapatkan hak-haknya sebagai seorang istri. Pernikahan siri berdampak pula pada kelemahan posisi anak secara hukum dan rentan untuk tidak mendapatkan haknya karena tidak kuat secara hukum, jadi nikah siri itu tidak adil bagi kaum perempuan dan anak. Moghadam dan Fahimi (2005) dalam reforming Family Laws to Promote Progress in The Middle East and North Africa bahwa dibeberapa negara di Afrika Timur, Utara dan Tengah, secara hukum keluarga, perempuan mengalami diskriminasi dalam hal pengaturan hukum perkawinan, perceraian, pemeliharaan hak asuh anak dan warisan. Abdullah (2000) memandang bahwa perlakuan diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya berasal dari negara, masyarakat dan keluarga namun bisa juga berasal dari perempuan itu sendiri. Sertifikasi Pencatatan Pernikahan Sertifikasi sebuah pernikahan dengan pencatatan merupakan rekaman melalui cara resmi dalam berkas-berkas negara dan bukubuku induk lainnya oleh pihak-pihak yang berwenang dan lembaga-lembaga resmi lainnya untuk menjadi rujukan saat diperlukan (Mudzhar, 1999; Duraiwisy, 2010; Indra, 1994) Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian, hal ini dilakukan untuk Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
ketertiban pelaksanaan pernikahan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan pernikahan itu sendiri serta akibat dari terjadinya pernikahan. Sertifikasi akad nikah secara tertulis di lembaran-lembaran kertas resmi oleh petugas agama, mempunyai nilai penting dan kredibel karena mengandung bentuk penjagaan terhadap kehormatankehormatan orang, pemeliharaan hak-hak pasangan suami isteri dan hak-hak anak. Dokumen resmi ini akan menjadi dasar kuat ketika terjadi konflik dan pengingkaran dan mengalahkan kekuatan persaksian atau membenarkan klaim di hadapan sidang pengadilan saat saksi-saksi sedang tidak ada atau telah meninggal, berdasarkan bukti resmi tersebut, akad pernikahan telah terealisasikan secara pasti. Konsepsi Nikah Siri Pernikahan merupakan legalisasi penyatuan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri oleh institusi agama, pemerintah atau kemasyarakatan yang memenuhi legal procedure. Salah jenis pernikahan yang tidak memenuhi legal procedure adalah nikah siri. Konsepsi dan pemaknaan nikah siri tetap eksis dari waktu ke waktu dan pada dasarnya bertujuan untuk “merahasiakan” pernikahan agar ada pihakpihak tertentu yang tidak mengetahui terjadinya pernikahan tersebut, pemaknaan nikah siri dari sisi konsep ajaran Islam, merupakan bentuk pernikahan yang secara substantif di dalamnya terdapat indikasi kekurangan syarat dan rukun perkawinan walaupun secara formal terpenuhi. Sementara dari sisi terminologi sosiologis Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
masyarakat Indonesia dalam kerangka normatif perundang-undangan perkawinan, dimaknai pada setiap pernikahan yang tidak dicatatkan oleh lembaga yang berwenang mengurusi pernikahan (Duraiwisy, 2010; Abdul 1997) Nikah siri dalam pandangan Islam (Muhammad, 1992) adalah nikah yang dilaksanakan sekedar untuk memenuhi ketentuan mutlak untuk sahnya akad nikah yang ditandai dengan adanya 1) Calon pengantin laki-laki, 2) Wali pengantin perempuan, 3) Dua orang saksi, 4) Ijab dan qobul Proses nikah siri hanya dilaksanakan wajib atau rukun nikahnya saja sedangkan sunnah nikah tidak dilakukan, khususnya mengenai mengumumkan pernikahan atau yang disebut walimah/perayaan, dengan demikian orang-orang yang mengetahui pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan tertentu saja. Nikah siri dalam tinjauan sosial ada dua bentuk; Pertama, pernikahan yang dilangsungkan antara mempelai lelaki dan perempuan tanpa kehadiran wali dan saksisaksi, atau dihadiri wali tanpa saksi-saksi, kemudian mereka saling berwasiat untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Jenis pernikahan ini batil (tidak sah), karena tidak memenuhi persyaratan-persyaratannya, yaitu unsur wali dan saksi-saksi. Kedua, pernikahan yang berlangsung dengan rukunrukun dan syarat-syaratnya yang lengkap, seperti ijab kabul, wali dan saksi-saksi, akan tetapi mereka itu (suami, isteri, wali dan saksi-saksi) satu kata untuk merahasiakan pernikahan dari pengetahuan masyarakat atau sejumlah orang. Sebagaimana yang tertuang dalam UU 205
No. 23 Th. 2006 Tentang Adminstrasi Kependudukan bahwa perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak dan perubahan status kewarganegaraan. Semua peristiwa penting tersebut wajib dilaporkan dan dicatatkan untuk tertib administrasi dalam kependudukan. UU Kependudukan dan UU Perkawinan sudah mewajibkan suatu perkawinan dicatatkan. Melakukan pernikahan siri yang pertama sebagian besar dilakukan bagi mereka yang memang sudah menikah sebelumnya. Kebanyakan yang melakukan, diawali oleh status si suami yang sudah menikah dan ingin berpoligami karena akan rumit bila harus mendapatkan ijin dari isteri yang sah secara hukum maka mereka memilih nikah siri. Nikah siri memang lebih menguntungkan laki-laki dan di sisi lain sangat merugikan bagi perempuan. Tindakan nikah siri tanpa wali, dengan wali atau tanpa ijin isteri pertama merupakan salah satu bentuk pernikahan yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu suatu pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Islam dengan modin atau kyai sebagai pelaksana (yang mengukuhkan). Pernikahan semacam ini (Wirawan dan Hariadi, 1994; Abdul, 1997) dilakukan secara rahasia dikarenakan; Pertama, pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali, Kedua, faktor biaya atau karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu;. Ketiga, takut mendapatkan stigma negatif dari
206
masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri ; Pasangan yang melaksanakan pernikahan siri (Ramli, 2007; Nurhaedi, 2003; Abdul, 1997) melakukannya dengan pertimbangan kesadaran dan tujuan tertentu yang berhubungan dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Nilai paling dominan adalah yang terdapat dalam agama Islam, sesuai dengan tingkat pilihan, pemahaman, keterpengaruhan pelakunya dan telah terinternalisasi, dengan alasan karena konsep nikah siri biasanya lebih mengacu pada nilai atau ajaran yang terdapat dalam agama Islam, sedangkan orientasi nilai yang terkandung dari merahasiakan pernikahannya, karena disebabkan oleh adanya beberapa anggapan masyarakat, yaitu; (1) prosesi pernikahan yang dipimpin oleh seorang ulama, kiai, atau yang semacamnya, lebih utama (afdhal) atau memiliki nilai sakralitas yang lebih, kualitas dan integritas spiritual menjadi pertimbangan ; (2) wali nikah , tidak harus oleh ayah dari pihak perempuan tetapi dapat dilimpahkan pada kyai, Ustadz atau Modin; (3) dilakukan di antara orang-orang yang dipercaya dan dalam lingkup terbatas, karena bila dilakukan dalam lingkup yang luas maka nilai kerahasiannya akan berkurang. Hal ini biasanya berkaitan dengan pertimbangan bahwa orang-orang yang dipercaya atau dalam lingkup terbatas ini dianggap memiliki kesamaan pemahaman dan persepsi tentang nikah siri. Selanjutnya jika nikah siri dibandingkan dengan bentukbentuk pernikahan lain, seperti kumpul kebo, nikah siri memiliki orientasi dan pijakan norma-spiritual yang jelas serta norma-norma agama yang tertuang dalam ketentuan legal-formal, pernikahan memiliki Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
fungsi afeksi, sosialisasi, reproduksi, pengaturan seksual, fungsi perlindungan dan ekonomi, namun dalam nikah siri tidak terdapat tujuan pernikahan seperti dalam nikah yang dicatatkan. Nikah Siri Dalam Perspektif Agama Islam Pandangan Hukum Islam yang merujuk pada sejarah, nikah siri pada awalnya merupakan pernikahan yang dilarang dalam Islam karena tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang berupa saksi namun dalam perkembangannya pada masyarakat Islam, nikah siri merupakan pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat pernikahan sehingga masyarakat memandang sah menurut agama (Islam). Kemudian nikah siri berkembang kembali ketika dikaitkan dengan aturan yang ditetapkan pemerintah sehingga nikah siri bermakna pernikahan yang tidak dicatatkan di KUA. Nikah siri atau perkawinan dibawah tangan menurut hukum Islam adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak dicatatkan. Karena syariat Islam dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Sedangkan menurut hukum positif, nikah siri ini tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sah perkawinan yaitu pencatatan perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Tanpa adanya pencatatan, maka pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa buku nikah. Sedangkan akta nikah tersebut diperoleh melalui permohonan itsbat nikah yang diajukan kepada Pengadilan Agama. Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan, dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Seluruh peristiwa penting yang terjadi dalam keluarga (yang memiliki aspek hukum), perlu didaftarkan dan dibukukan, sehingga baik yang bersangkutan maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti yang outentik tentang peristiwaperistiwa tersebut, dengan demikian maka kedudukan hukum seseorang menjadi tegas dan jelas dalam rangka memperoleh atau mendapatkan kepastian kedudukan hukum seseorang, perlu adanya bukti bukti otentik yang sifat bukti itu dapat dipedomani untuk membuktikan tentang kedudukan hukumnya. Bukti bukti ontentik yang dapat digunakan untuk mendukung kepastian tentang kedudukan seseorang itu ialah adanya akta yang dikeluarkan oleh suatu lembaga. Lembaga inilah yang berwenang untuk mengeluarkan akta-akta mengenai kedudukan hukum tersebut. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, 207
selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syaratsyarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang. Tujuan pencatatan dan bukti otentik berupa Akta Nikah adalah ingin melindungi hak-hak asasi dari masing-masing pihak, baik dari suami apalagi istri dan keluarga besar dari kedua belah pihak. Di dalam akta nikah dicantumkan proses ijab kabul, yang merupakan implementasi penyerahan sepenuhnya dari pihak wali, dalam hal ini bapak kandung atau yang mewakili, Ijab kabul itu tidak bermain-main, sehingga akad tersebut dilakukan secara langsung lalu ada saksi-saksi. Makna kehadiran dari dua saksi itu adalah Islam menghendaki akad nikah ini disosialisasikan bukan hanya dua saksi yang mengetahui telah terjadi proses pernikahan namun dua saksi dalam pernikahan yang adil, tidak fasik dan akan memberitakan kepada pihak lain bahwa benar yang bersangkutan adalah suami isteri Berkenaan dengan nikah siri tokoh Majelis Ulama Indonesia Kyai Ma’ruf menegaskan, bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Jadi, “Haramnya itu datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga seorang laki-laki akan berdosa karena mengorbankan istri atau anak, sah tapi haram kalau sampai terjadi korban”. Inilah uniknya nikah siri dan keunikah inilah yang tidak dipikirkan oleh pelaku nikah siri dan pihak-pihak yang terlibat serta 208
mendukung tindakan nikah siri. Meskipun nikah siri sah menurut Islam tapi hal tersebut kurang sesuai dengan ajaran Islam, karena Nabi Muhammad SAW bersabda: “Umumkanlah perkawinan itu”, dan firman Allah yang artinya: “Hai orang orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan kepada pemerintah yang sah (ulil amri minkum).” Berdasarkan firman tersebut, maka orang yang melakukan nikah siri berarti tidak taat pada pemerintah yang telah menetapkan untuk mencatatkan perkawinannnya di Kantor Urusan Agama. Nikah Dalam Perspektif Negara Nikah siri jika dikaitkan dengan hukum negara sebenarnya berkaitan dengan pencatatan perkawinan pada instansi pemerintah yang berwenang yaitu Kantor Urusan Agama, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Undang-Undang tersebut bukanlah pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi muslim Indonesia. Sebelumnya sudah ada Undang-Undang No.22 Tahun 1946, yang mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, disebutkan: (1) perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah; (2) bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena merupakan suatu pelanggaran. Lebih tegas tentang pencatatan dan tujuan pencatatan perkawinan ditemukan dalam penjelasannya, bahwa dicatatkannya perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban, kemudian dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
disebutkan,”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”. Sementara pada pasal lain disebutkan,”perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Selanjutnya dalam penjelasan UndangUndang Perkawinan tersebut tentang pencatatan dan sahnya perkawinan disebutkan : (1) tidak ada perkawinan diluar hukum agama; dan (2) maksud hukum agama termasuk ketentuan perundangundangan yang berlaku. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan, tujuan pencatatan perkawinan yang dilakukan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. Secara garis besar, pernikahan yang tidak dicatatkan tidak diakui oleh Negara karena sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar pernikahan, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapak, dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak. Tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan, dalam artian, jika tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti melakukan suatu kejahatan, namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu, khususnya merugikan perempuan dan anakanak. Pernikahan yang telah melalui Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
pencatatan berarti adanya kemaslahatan bagi umum, artinya kaum wanita terlindungi hak asasinya, tidak dilecehkan. Bisa saja, suatu waktu sang ayah menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya, hal ini jelas merugikan, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. Pernikahan siri berdampak mengkhawatirkan atau merugikan, kecuali jika kemudian perempuan tersebut melakukan pernikahan yang sah. Implikasi-Implikasi Nikah Siri Beberapa dampak sosial nikah siri yang berhubungan dengan masyarakat yang dialami baik suami, namun lebih banyak dampak negatif yang dialami oleh perempuan (isteri ) dan anak, akibat-akibat yang timbul selain dampak positif namun bilangannya tidak banyak, juga implikasiimplikasi yang buruk bahkan terkadang membahayakan terutama bagi isteri. Implikasi-implikasi yang berhubungan dengan pernikahan siri baik yang positif maupun yang negatif yaitu : a. Terhadap suami Pernikahan siri justru lebih menguntungkan laki-laki, karena 1) Suami bebas untuk menikah lagi dengan perempuan lain, karena pernikahan siri sebelumnya yang dianggap tidak sah dimata hukum; 2) Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya; 3) Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain; 4) Biaya pernikahan siri lebih ringan dibandingkan pada pernikahan resmi (tercatat); 5) Melalui pernikahan siri seorang 209
laki-laki dapat menghindari aturan-aturan resmi yang berlaku pada pernikahan dan norma yang berkembang di masyarakat yang telah menghalangi pernikahan resmi, seperti aturan batas usia, perbedaan strata sosial antara mempelai laki-laki dan perempuan; b. Terhadap isteri Pernikahan siri merugikan bagi istri, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum: 1) Tidak dianggap sebagai istri sah karena tidak tercatat dalam dokumen resmi Negara; 2) Hilangnya hakhak isteri yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti mas kawin, nafkah, hak perolehan warisan dari suami jika meninggal dunia dan hak-hak lainnya; 3) Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan; 4) Isteri tidak dapat melakukan gugatan cerai secara legal karena tidak adanya surat ketetapan akad pernikahan di hadapan pengadilan. Sementara suami tidak menceraikan juga tidak menggaulinya, serta tidak memberi hak-hak sebagai isteri. Seringkali isteri mengalami hal itu karena terdesak untuk menuntut talak, diintimidasi dan haknya dikebiri sampai isteri divonis cerai atas aturan tradisi, kalau tidak, suami akan meninggalkannya dalam status menggantung, bukan lagi menjadi isteri, juga bukan seorang perempuan yang terceraikan, hingga boleh menikah dengan laki-laki lain, apalagi sampai bisa mendapat kesempatan mengajukan pengaduan berdasarkan undang-undang dan normanorma yang berlaku, karena perempuan tertuduh telah memadukan dua suami ketika sudah menikah lagi. Secara sosial: 1) Akan sulit bersosialisasi karena dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan
210
perkawinan (kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan ketika masyarakat tidak mengetahui hakikat pernikahan yang terjadi dan tidak disosialisasikan. Perempuan menjadi buah bibir atas prasangka dan gosip tak sedap ketimbang suaminya; 2) Isteri adalah obyek yang lebih banyak menanggung beban-beban pernikahan dan dampak-dampaknya ketika suami memungkiri pernikahan. Nikah siri merupakan jembatan guna merampas hak isteri supaya melakukan tawar-menawar untuk melepaskan diri dari pernikahan dengan gugatan perceraian. c. Terhadap anak Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. (Duraiwisy, 2010) PENUTUP Nikah siri atau perkawinan dibawah tangan menurut hukum Islam adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak dicatatkan. Karena syariat Islam dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Sedangkan menurut hukum positif, nikah siri ini tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sah perkawinan yaitu pencatatan perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah, tanpa adanya pencatatan, maka pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa buku nikah. Namun tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
dalam artian, jika tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti melakukan suatu kejahatan, namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu, khususnya merugikan perempuan dan anak-anak. Pernikahan yang telah melalui pencatatan berarti adanya kemaslahatan bagi umum, artinya kaum wanita terlindungi hak asasinya, tidak dilecehkan. Bisa saja, suatu waktu sang ayah menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya, hal ini jelas merugikan, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. Berbagai dampak dan kerugian yang ditimbulkan oleh adanya praktek nikah siri namun nikah siri tetap berkembang dan dipraktekkan secara luas dalam masyarakat karena memiliki fungsi-fungsi tertentu bagi pelakunya. Laki-laki atau perempuan menjadikan nikah siri sebagai pilihan tanpa memikirkan resiko yang akan timbul ketika menjalani pilihan tersebut dengan alasan untuk menghindari zina dan dosa. Pasangan yang melakukan nikah siri menyadari tindakan mereka dan tahu benar resikonya namun tetap melakukan pernikahan siri. Pernikahan siri membuat posisi perempuan semakin tersudut, jika dalam perjalanannya, pernikahan mengalami masalah atau terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan kebanyakan perempuan dan anak sebagai korban bisa melaporkan namun akan sulit untuk mengajukan tuntutan atau jika terjadi pengabaian terhadap isteri dan anak, pihak perempuan juga tidak memiliki bukti kuat lantaran pernikahan siri tidak dicatatkan., sehingga. tidak diakui secara hukum negara Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Walaupun terjadi kekerasan dalam pernikahan siri namun tidak adil jika kemudian dampak negatif dari pernikahan siri digeneralisasi terjadi kepada semua pelakunya, walaupun beberapa kasus yang terjadi membuktikan bahwa perempuan cenderung mengalami ketidakadilan, karena tidak adanya ikatan hukum yang bisa menjadi alat untuk mengadukan dan menyelesaikan kasus di meja hijau. DAFTAR RUJUKAN Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press. Duraiwisy, Yusuf. 2010. Nikah Siri, Mut’ah dan Kontrak (Mengkritisi Isu Gender): dalam Timbangan AlQur’an dan As-Sunnah. Jakarta: Darul Haq. Goode, William J. 2007. Sosiologi Keluarga. (Terjemahan dan Penyunting: Lailahanoum Hasyim dan Sahat Simamora). Jakarta: Bumi Aksara. Henslin, James.M. 2007. Essentials of Sociology: A Down-To-Earth th Approach (Book Alone), 6 Edition. Published by Pearson Education, Inc, Publishing as Allen & Bacon. Hoda, Rashad, Osman Magued and Farzaneh Roudi-Fahimi. Marriage in The Arab World. Population Reference Bureau, September 2005 Horton, Paul B dan Hunt, Chester L. 1992. Sosiologi Jilid 2. Di Indonesiakan oleh Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga
211
Indra M. Ridwan. 1994. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: CV. Haji Masagung. Keene, Michael, 2006. Agama-Agama Dunia. Penerbit: Kanisius. Yogyakarta. Moghadam M. Valentine and Farzaneh Roudi-Fahimi. Reforming Family Laws to Promote Progress in The Middle East and North Africa. Population Reference Bureau, Desember 2005 Mudzhar M. Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mujib, Abu. 1980. Al-Qowaid Al- Fighiyah. Penerbit: Nurcahaya. Yogyakarta. Merton, K. Robert. 1949. Social Theory and Social Structure. Revised and Enlarged Edition. The Free Press of Glencoe. Merton. K. Robert. 1979. The Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations. University of Chicago Press. Newman, David M and Liz Grauerholz. 2002. Sociology of Family. London: Sage Publication O’Collins, Gerald SJ. 1996. Kamus Theologi. Penerbit: Kanisius, Yogyakarta. Parsons, Talcott. Robert F. Bales. 1955. F a m i l y, S o c i a l i z a t i o n a n d Interaction Process. The Free Press. New York. Collier Macmillan Limited. London.
212
Parsons, Talcott. 1998. Teori Fungsionalis. Dalam Bainar, Wacana Perempuan Dalam Ke Indonesiaan dan Kemodernan. Yokyakarta: Pustaka Cidesindo. Ramli, H.S. 2007. Mengenal Islam ( Pergaulan Dalam Islam atau Munakahat Semarang : UPT : MKU Universitas Negeri Semarang. Simmel, George. 1998. On the Sociology of the Family. Theory, Culture dan Society. Sage, London, Thousand Oaks and New Delhi. Vol. 15 : 283293 Soemiyati, 2007. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan) Yogyakarta: Penerbit Liberty. Vitayala, 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Sambutan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Bogor. PT. Penerbit IPB Press. Kampus IPB Taman Kencana Bogor.1958. Zahrah. 1958. Ushul Figh, Dar- Al- Fikry AlAroby. Kairo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
FIS 39 (2) (2012)
FORUM ILMU SOSIAL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
“PENAMBANGAN PASIR DAN BATU” SEBAGAI WUJUD SUBSTITUSI KEGIATAN SOSIAL EKONOMI PETANI MASYARAKAT WONOSOBO (Kajian Ekologi Manusia dengan Pendekatan Environmental Determinism dan Sistem Terbuka “ Rambo”) Nurul Fatimah* Dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi, FIS UNNES Info Artikel
Abstract
Sejarah Artikel
Keywords: engagement, local communities, tourism potential
The Environtmental destroyed had been mortally if no respectation from all. For thus, we need some respons to avoid them don’t be seriously. The human ecology is being to protect beetwen human relation equilibrium with those environtment. Many of approaches can be applied on human ecology to analyze multy various cases. The Environtmental destroyed case is causes by ferry man of sand is very serious case and urgent to find the problem solving comprehensively. Goals to be achieved is to describe and give perception about causes and reason why the farmer doing some activities (ferry man of sand and stone), give some analysis from the case with a few of human ecology approaches and so give some recomendation for stakeholders to reach of sustainable development with environtmental determinism and openeed system approach from Rambo. The result show that the ferry man of sand and stone is doing by farmer community in Wonosobo region have many of reason. According to the environmental determinism approach, the basic problem which cause those activity is supply of natural resources i.e the sand and stone. So, in this case generally people or farmer community especially is not wrong. In another side this activity is appear causes bay interrelationship between social system and society inner-ecosystem (local farry man) with social system and society outer ecosystem (governmant and foreign farry man). Implications from applied those two approaches need some thinker will be cooperative to get the smart solution.
2012 Universitas Negeri Semarang
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
213
PENDAHULUAN Di dalam alam, mahluk hidup akan bersuksesi dalam ekosistemnya dan berupaya mencapai kondisi yang stabil hingga klimaks. Kondisi stabil dan klimaks terjadi bila hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan lingkungannya berjalan dengan mulus, yaitu berarti semua kebutuhan hidupnya terpenuhi. Manusia sebagai mahluk hidup juga merupakan ekosistem yang bersuksesi dan ingin hidup stabil dan mencapai klimaks. Populasi manusia meningkat dengan cepat disertai dengan kemajuan teknologi yang meningkat pesat, maka terjadilah pemanfaatan sumber daya alam secara besar-besaran dengan teknologi yang paling ekonomis, sehingga menimbulkan dampak yang tidak semuanya bisa diterima oleh alam. Ekologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan fungsional antara organisme dengan lingkungan hidupnya. Dalam konteks Antropologi sekarang ini, sudut pandang ekologi lebih merupakan suatu upaya untuk mendapatkan suatu kerangka analisis, terutama dalam konteks kajian mengenai saling pengaruh mempengaruhi antar manusia dengan seluruh isi alam di dalamnya, dengan maksud untuk melihat manusia dengan latar belakang habitatnya, apakah melalui pemahaman yang bersumberkan antropogeografi ataukah possibilisme. Perkembangan kajian ekologi dalam antropologi sering dikaitkan dengan munculnya pemikiran Darwin & Haeckel (1983), yaitu yang mencoba meneliti hubungan manusia dan lingkungan dalam perspektif sejarah perkembangan mereka (Poerwanto, 2000) 214
Perkembangan pola pikir manusia dalam mengembangkan hubungannya dengan alam terkadang bersifat tidak seimbang. Hal ini yang kemudian memunculkan masalah keseimbangan lingkungan alam dengan manusia. Perlu diketahui bahwa seiring dengan perkembangan masyarakat, di dalam masyarakat kita mengenal ada 2 (dua) orientasi dalam hubungan dan pemanfaatan lingkungan yaitu bersifat subsisten (semua dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri) dan orientasi profit/kapitalis yang cenderung mengeksploitasi dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Banyak kasus atau permasalahan yang terjadi baik di tingkat lokal, regional, maupun global. Maraknya kapitalisme yang merasuk pada setiap individu baik masyarakat lokal maupun investor, menimbulkan semakin besarnya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Meskipun kerusakan tidak serta merta selalu ditimbulkan oleh ulah kapitalis, karena ada juga yang disebabkan oleh faktor alam. Tetapi paling tidak dengan beberapa pendekatan ekologi manusia, berbagai masalah terkait dengan lingkungan dan manusia akan bisa diberikan solusi. Dalam kaitan masalah tersebut di atas, dalam penulisan ini mengambil studi kasus mengenai eksploitasi lingkungan dengan adanya kegiatan penambangan pasir dan batu di areal lahan produktif, tepatnya di daerah Wonosobo, Jawa tengah. Dengan maraknya penambangan pasir dan batu ternyata menimbulkan masalah lingkungan dan sosial yang harus segera diberikan solusinya. Penyebab mengapa penambangan marak Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
dilakukan oleh petani di areal lahan produktif, memang tidak bisa dianggap enteng. Faktor penyebab dan akibat yang ditimbulkan terhadap keseimbangan ekosistem manjadi suatu masalah yang sangat penting demi pembangunan yang berkelanjutan. Faktor apa yang menyebabkan perilaku manusia tersebut dan akibat apa yang ditimbulkan, akan kita lihat dalam pembahasan kasus selanjutnya. Sesuai dengan latar belakang di atas maka pembahasan tulisan ini difokuskan pada alasan atau (faktor penyebab) masyarakat melakukan kegiatan penambangan, alasan apa yang memperkuat mereka (penambang) untuk melakukan penambangan, apa dan bagaimana (akibat) yang muncul dengan adanya kegiatan penambangan tersebut dan bagaimana sikap serta kebijakan pemerintah terkait dengan masalah tersebut. Wonosobo merupakan salah satu dataran tinggi di Jawa Tengah. Selain memiliki iklim yang sejuk, juga terkenal sebagai daerah pertanian yang subur dengan berbagai hasil pertanian yang cukup melimpah. Kondisi iklim dan lingkungan tersebut yang mendukung untuk daerah pertanian. Akan tetapi kenyataan itu akhirakhir ini mulai bergeser, salah satu faktor penyebabnya adalah munculnya alihfungsi lahan produktif menjadi lahan pertambangan pasir dan batu. Semua itu dilakukan oleh para petani yang merasa adanya tuntutan kebutuhan semakin kompleks sementara kalau hanya mengandalkan hasil pertanian tidak cukup dan memakan waktu yang cukup lama, sehingga petani mulai berfikir praktis dan tidak mau ambil resiko dengan susahsusah bertani. Alih fungsi lahan pertanian menjadi Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
pertambangan pasir dan batu marak di sejumlah wilayah di Kabupaten Wonosobo. Minimnya penghasilan yang didapat dari bercocok tanam membuat para petani pemilik lahan memilih menjual lahan mereka untuk kemudian digali untuk diambil kandungan pasir dan batunya. Akibat penambangan tersebut, lahan pertanian menjadi rusak. Untuk mengambil batu dan pasir, lahan pertanian dikeruk dan dikepras hingga setinggi 12 meter. Sejumlah lahan pertanian kini menjadi tampak seperti keprasan bukit berongga. Dalam membedah kasus tersebut, guna mendapat pemahaman keberlanjutan pembangunan pada kasus penambangan pasir dan batu oleh masyarakat petani di Wonosobo, terkait dengan ekologi manusia, maka digunakan dua pendekatan ekologi manusia yaitu: environmental determinism dan sistem terbuka “Rambo”. Environmental Determinism Pendekatan Environmental Determinism juga dikenal dengan istilah geographical determinism atau ethnographic environmentalism. Pendekatan ini lebih mendasarkan pada suatu pandangan bahwa kondisi suatu lingkungan amat berperan dalam membentuk kebudayaan suatu suku bangsa, antara lain tampak dari pendapat Elsworth Huntington (1983) yang percaya bahwa ada saling mempengaruhi antara kondisi iklim dengan kebudayaan. Semua aspek tingkah laku dan kebudayaan merupakan hasil dari bentukan lingkungan alam, artinya; lingkungan alam dinilai mempunyai kekuatan aktif yang memberikan warna terhadap pola kebudayaan, sedangkan manusia dinilai pasif 215
dan menerima, dan adanya variasi tertentu terlepas dari pengaruh geografi dinilai sebagai gejala kebetulan saja (Rambo, 1981). Dalam perkembangannya kemudian, terutama ahli Antropologi Amerika, muncul pemikiran yang bertentangan. Kaum possibilism berpendapat bahwa pada hakikatnya perilaku dalam sebuah kebudayaan dipilih secara selektif, atau jika tidak, secara tak terduga merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Pada dasarnya kedua pendekatan tadi merupakan upaya untuk melihat manusia dengan latar belakang habitat mereka yang tidak lain adalah cerminan dari hasil adaptasi makhluk manusia itu sendiri. Pada umumnya istilah environmentalism, dipakai untuk mengelompokkan suatu pemikiran yang
beranggapan bahwa perilaku sosial budaya dari makhluk hidup ditentukan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, tetapi dalam proses pembentukannya lebih ditentukan oleh lingkungan alam tempat mereka bertempat tinggal (Poerwanto, 2000). Ada beberapa kajian empirik yang mencoba menggambarkan bahwa suatu lingkungan dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia (Ellen, 1941 dalam Poerwanto, 2000). Akan tetapi berbagai paradigma environmental determinism yang dibangun oleh kaum environmentalism, ternyata lebih didukung oleh data empirik yang diperoleh selama observasi daripada dihasilkan melalui suatu hipotesis yang telah mengalami berbagai uji coba kebenarannya.
Gambar 1 Model Enviromental Determinism
Dengan kata lain teori determinisme menekankan pada penjelasan faktor tunggal dengan mengabaikan interaksi kompleks dari sistem biologis. Sehingga menganggap wajar dominasi politik pada bidang tertentu (Marten, 2001). Dengan demikian, mereka
216
ditentukan oleh aturan yang ada dan mengendalikan domain yang lebih lemah dengan penduduk yang kurang berani, urang pandai dan lemah. Posisi superior secara teknologis menunujukkan bahwa yang kuat benar-benar terdiri atas orang-orang yang
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
bermutu. Superioritas ini dihasilkan oleh kondisi geoklimatis yang menguntungkan. Untuk lebih jelas dapat dilihat di dalam gambar skema model Environmental Determinism (gambar 1). Pendekatan Sistem Terbuka dari Rambo Pendekatan ini mengacu pada teori struktural fungsional, yaitu terdapat interaksi antara sistem sosial dan ekosistem, yaitu berupa pertukaran arus energi, materi, dan informasi. Jika interaksi ini berjalan terusmenerus maka akan terjadi overloads yang menyebabkan terjadinya eksploitasi (Rambo, 1981) Merupakan sebuah pendekatan yang menjelaskan bahwa komponen yang satu dengan yang lain membentuk satu kesatuan. Dalam pendekatan sistem dibagi kedalam 2 subsistem yaitu social sistem dan ekosistem. Ekosistem yang digunakan dalam pendekatan ini adalah ekosistem dalam pendekatan terbuka, artinya manusia masuk didalamnya dalam proses ekosistem itu sendiri. Pendekatan sistem dikatakan terbuka karena kedua sub sistem (sistem sosial dan
ekosistem) bisa menerima input dari luar dan juga bisa mengeluarkan output ke sistem sosial yang lain. Dengan kata lain terjadi pertukaran aliran antara energi, materi, dan informasi dari satu sistem sosial ke ekosistem dan begitu sebaliknya dari ekosistem ke sistem sosial begitu seterusnya. Sub sistem dari sistem sosial yang terdiri dari berbagai komponen (teknologi, organisasi sosial, kesehatan, nilai dan norma, bahasa, ideologi, karakteristik biofisik, dan lain-lain) terbuka terhadap sistem sosial lain artinya mau menerima input dari sistem sosial lain dan juga memeberikan output kepada sistem sosial yang lain. Begitu juga dengan sub sistem yang kedua yaitu ekosistem yang terdiri dari berbagai komponen biotik dan abiotik (air, udara, iklim, tanaman, hewan, dan lain-lain) bersifat terbuka terhadap ekosistem lain, yang berarti mau menerima input dari ekosistem lain dan mau memberikan output kepada ekosistem yang lain. Secara jelas dapat dilihat pada gambar 2, mengenai skema model pendekatan sistem terbuka (Rambo).
Gambar 2. Model sistem dalam ekologi manusia Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
217
METODE PENELITIAN Data yang dikumpulkan dalam penelitian penambangan pasir dan batu ini berwujud kata-kata dan penjelasan (bukan angka-angka), karena itu dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif studi kasus. Metode penelitian ini digunakan untuk memahami peristiwa, kejadian, pelaku, dalam situasi tertentu yang bersifat alamiah atau natural (Moleong, 2002). Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Candimulyo Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo, dengan alasan lokasi tersebut sebagai tempat penambangan pasir dan batu yang sangat mencolok dan juga sebagian penduduknya melakukan kegiatan penambangan. Penelitian ini memfokuskan pada masalah alasan apa yang mendasari masyarakat melakukan penambangan pasir dan batu, bagaimana dampak atas aktivitas yang dilakukan dan bagaimana kebijakan pemerintah terkait dengan kasus tersebut. Informan dalam penelitian ini ada dua yaitu informan kunci dan informan pendukung. Informan kunci adalah tokoh masyarakat/ pemerintah setempat yang paling mengetahui perihal penambangan tersebut. Informan pendukungnya adalah pemilik lahan pertambangan atau pengusaha pertambangan. Sedangkan subyek dalam penelitian ini adalah masyarakat panambang pasir dan batu baik (lokal maupun dari luar daerah) atau yang melaksanakan praktik kegiatan penambanga Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara mendalam (indept i n t e r v i e w ) , d o k u m e n t a s i . Te k n i k 218
pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi. Teknik triangulasi yang dilakukan dengan sumber, maksudnya adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif analisis adalah gambaran tentang subjek sampel dimana langkah penelitian baru diketahui dengan jelas setelah penelitian selesai dan analisa data dilakukan bersamasama dengan pengumpulan data. Analisis model interaktif terdiri dari tiga jalur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu ; Dalam kegiatan reduksi data dilakukan pengurangan data dan membuang yang tidak sesuai dengan tema penelitian seperti saran Miles (1992:16) bahwa reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Setelah direduksi data yang ada disajikan untuk kemudian disusun sehingga mampu memberikan sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Menarik kesimpulan merupakan sebagian dari suatu kegiatan konfigurasi yang utuh. Setelah data direduksi dan disajikan maka dari data yang ada tersebut kita dapat melakukan penarikan kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran kembali yang terlintas dalam pemikiran penganalisis selama ia menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan atau peninjauan kembali serta tukar pikiran di antara teman sejawat untuk mengembang-kan kesepakatan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
intersubjektif atau juga upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Wonosobo berada di dataran tinggi, 270 sampai dengan 2250 meter di atas permukaan laut, dan meliputi wilayah seluas 984,68 Km2. Karena itu, kawasan Wonosobo, yang berhawa dingin, cocok untuk tempat ‘tetirah’ (peristirahatan), sekaligus wisata alam. Namun demikian, tempat ini bukan merupakan tujuan utama. Orang menuju ke Wonosobo umumnya hanya singgah, sembari menikmati pemandangan alam Dieng. Untuk daya tarik, sebuah ikon tentang Wonosobo perlu diciptakan, sehingga orang ke Wonosobo semata-mata ingin menikmati keindahan Wonosobo, tidak sekadar numpang lewat dan mampir. Bagi penggemar rokok, orang selalu ingat Wonosobo. Tak dapat dipungkiri, kabupaten ini merupakan penghasil tembakau kelas satu di dunia, yang banyak digunakan oleh sejumlah pabrik rokok, baik dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, Wonosobo juga dikenal dari hasil kentang, sayur-mayur, jamur, teh dan kopi. Satu lagi, yang berasal dari hasil hutan seperti kayu lapis. Bahkan, sejumlah kandungan tambang di dalam tanah, seperti sumber air panas, kaolin, asbes dan batu kuarsa belum tersentuh. Tentu saja, semua produk ini menguntungkan secara ekonomis, baik untuk masyarakat maupun daerah. Hanya saja, eksploitasi alam ini, termasuk pembalakan liar dan penambangan pasir, harus dibayar mahal, berupa kerusakan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
hutan dan lingkungan. Aktivitas Penambangan Pasir dan Batu Hasil emas hijau ini sangat menggiurkan bagi petani Wonosobo pada saat harganya bagus sehingga mereka memandang tembakau sebagai salah satu prioritas utama dalam hidup mereka. Jatuhnya harga tembakau beberapa tahun terakhir mengakibatkan putus sekolah yang tinggi bahkan kerawanan gizi serta penurunan status sosial ekonomi. Oleh karena itu masyarakat mulai berpikir bagaimana caranya agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan memanfaatkan ketersediaan SDA yang ada. Sebagai satu bentuk realisasi aktivitas sosial ekonomi, masyarakat mulai melakukan kegiatan penambangan pasir dan batu di sejumlah areal lahan yang dimiliki. Menurut warga sekitar pertambangan, alih fungsi lahan itu sudah mulai terjadi sejak lima tahun silam (tahun 2003). Di Desa Candimulyo, misalnya, semula hanya 1-2 petani pemilik lahan yang menjual lahannya ke pengusaha pasir dan batu. Namun, karena harga tanah yang ditawarkan untuk lahan yang akan dipakai sebagai pertambangan hampir dua kali lipat dari harga pasar, banyak pemilik lahan yang ikut-ikutan menjual. Pengusaha pasir dan batu berani membeli lahan di area pertanian yang mengandung pasir dan batu dengan harga per meter persegi antara Rp 50.000 sampai Rp 70.000. Padahal, normalnya harga lahan itu hanya Rp 35.000 sampai Rp 40.000 pada saat tahun 2003. Waris (31 th), warga Dusun Madukoro, Desa Candimulyo, mengungkapkan: “ ...kini ada puluhan petani yang merelakan tanahnya dibeli pengusaha pasir dan batu untuk
219
dikeruk dan dijadikan penambangan pasir serta batu. Belum lagi petani yang memilih melakukan bagi hasil penambangan lahannya untuk diambil pasir dan batunya. Sekarang kalau lahan itu ditanami jagung atau tembakau, sulit dijadikan sandaran untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Panen tembakau belum tentu ada hasilnya, itu pun setahun sekali. Panen jagung hanya cukup untuk makan sehari-hari, kadang kurang. Makane sekarang seperempat hektar lahan milik saya dijadikannya pertambangan pasir dan batu juga. “ (wawancara tahun 2009).
Pernyataan tersebut didukung oleh informan yang lain Siswoto (43 th) sebagai berikut: “....namun, bila lahan itu dijadikan pertambangan pasir dan batu hanya duduk saja para petani ini bisa mengeruk keuntungan Rp 60.000 sampai Rp 80.000 per hari. Sebenarnya kami tahu ini bisa merusak lingkungan. Pemerintah pernah memperingatkannya. Namun, kalau tidak mau makan apa? Seharusnya kalau disuruh berhenti, kami diberi solusi bantuan. Sekarang saya melego lahan pertanian saya menjadi tambang “ ( wawancara tahun 2009)
Kegiatan penambangan batu untuk dijadikan batu kerikil mendatangkan penghasilan juga bagi buruh penambang batu. Para buruh saat menambang dan menghimpun batu hasil tambangnya untuk dijadikan batu kerikil dan dijual pada pembeli. Setelah semua hasil penambangan cukup memenuhi angkutan, kemudian dilakukan tahap selanjutnya yaitu pengangkutan dan siap dikirim ke beberapa daerah yang membutuhkan. Dengan demikian masyarakat sekitar akan merasakan adanya keuntungan atas aktivitas penambangan yang dilakukannya.
220
Dampak Aktivitas Penambangan Pasir dan Batu Pengeprasan lahan pertanian menjadi area penambangan pasir ini seperti terlihat di Desa Candimulyo dan Desa Kalikuto, Kecamatan Kertek, serta di Desa Kwadung Gunung, Kecamatan Kledung. Pemandangan serupa ada di Desa Grenjeng, Kecamatan Kertek. Setiap musim hujan tiba, berita tentang musibah tanah longsor dan banjir terdengar di mana-mana. Sedihnya, tidak hanya korban harta benda yang muncul, tapi tak jarang bencana alam tersebut juga memakan korban manusia. Sejumlah nyawa manusia melayang akibat kejadian yang datang tak pernah diduga-duga sebelumn yaitu. Wonosobo sebagai daerah pegunungan yang bercurah hujan tinggi, tak terlepas dari ancaman banjir dan tanah longsor. Fakta membuktikan, hampir tiap musim hujan kota itu menjadi langganan bencana tanah longsor dan banjir. Kondisi alamnya yang berbukitbukit dan lingkungan yang rusak memang rawan terjadi musibahbencanaalam. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2005-2008), menurut data Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH XI Yogyakarta, tercatat di kota ber-motto ASRI (aman, sehat, rapi dan indah) itu, terjadi 17 kali banjir dan 70 kali tanah longsor. Belum lagi musibah yang tidak terpantau oleh pemerintah kabupaten (pemkab) yang melanda lahan-lahanwarga. Diakui atau tidak, kerusakan lingkungan tersebut akibat perilaku manusia yang tidak ramah terhadap alam. Warga cenderung mengekploitasi lahan untuk kepentingan ekonomi. Kasus itu banyak terjadi di wilayah pegunungan Dieng. Karena hasil yang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
didapat sangat baik, petani mengabaikan aspek keselamatan tanahdanlingkungan. Komoditas tanaman keras yang sangat baik untuk menjaga kelestarian alam dibabat habis, diganti dengan tanaman produktif yang menguntungkan, meski dari aspek lingkungan sangat merugikan. Hutan lindung yang semula rimbun disulap menjadi lahan pertanian. Penjarahan hutan selama beberapa tahun hampir terjadi di semua wilayah hutan di Wonosobo.
Upaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemrov) Jawa Tengah diminta lebih meningkatkan pengawasan terhadap praktik penambangan galian C di sejumlah wilayah. Jika dibiarkan berlarutlarut, ancaman kerusakan lingkungan tidak dapat terhindarkan. Seperti yang dikutip dari harian Suara Merdeka (Selasa, 10 November 2009), Anggota Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, Alwin Basri menyampaikan;
Upaya atau Solusi yang dilakukan oleh Pemerintah Berbagai upaya untuk mencegah semakin parahnya dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui Gerakan Indonesia Menanam yang diikuti Gerakan Wonosobo Menaman terus digalakkan. Setidaknya, itu sebagai upaya mendorong masyarakat untuk terus gemar menanam. Di Wonosobo sendiri Gerakan Wonosobo Menanam terus bergulir. Pasalnya, setelah dicanangkan gerakan penyelamatan lingkungan itu, gerakan sejenis terus berlanjut. Ada Wakil Rakyat Menanam, Gerakan Wanita Menanam, Gerakan Wartawan Menanam, Gerakan Ibu Menanam Anak Memanen, Gerakan Pramuka Menanam, hingga Gerakan Santri dan Pelajar Menanam di lahan kosong milik pemerintah maupun perorangan. Sayangnya, dari ribuan tanaman keras dan buah yang ditanam, dari data yang ada, hanya empat puluh persen yang berhasil. Karena belum diikuti dengan program pemeliharaan tanaman.
lebih ditingkatkan. Baik penambangan dengan
“...sudah semestinya pengawasan terhadap penambangan galian C di beberapa kawasan
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
menggunakan alat berat, maupun dengan alat tradisional. Pengetatan pengawasan bisa dimulai dari pemberian izin kepada para pelaku penggalian. Izin yang diberikan harus dengan mempertimbangkan aspek kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan komitmen kuat dari pemerintah, mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga pemerintah desa, untuk ikut meningkatkan pengawasan terhadap galian C” (Koran Harian Suara Merdeka, 10 November 2009. Kerusakan lingkungan akibat galian C parah).
Untuk mengatasi masalah kerusakan parah akibat penambangan pasir dan batu secara berlebihan tersebut, pemerintah propinsi telah bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Jawa Tengah dan Komando Daerah Militer IV/ Diponegoro untuk bersama-sama melakukan pengawasan, agar tidak terjadi lagi penambangan liar. Selain itu, pemerintah provinsi juga mengharap dukungan dari DPRD Jateng serta masyarakat untuk menyelesakan permasalahan ini, serta menjaga lingkungan di sekitarnya. Upaya yang lebih tegas lagi juga dilakukan oleh pemerintah kabupaten. 221
Kebijakan yang dikeluarkan adalah bahwa Galian pasir dan batu (golongan C) di Kabupaten Wonosobo secara serentak ditutup 17 Pebruari 2009. Penutupan serentak di lima kecamatan, meliputi Kertek, Kejajar, Garung, Mojotengah dan Selomerto. Demikian diungkapkan Asisten Pemerintahan Setda Wahyu Wijajanto (45 th): “Penutupan tidak harus menunggu instruksi, itu harus secara otomatis karena sudah melanggar UU Lingkungan Hidup. Jika sampai 17 Februari masih ada penambangan, maka akan ditindak,” (wawancara tahun 2009).
Analisis kasus dengan pendekatan Environmental Determinism Dari kasus di atas dapat kita lihat bahwa penyebab utama masyarakat melakukan penambangan pasir dan batu di areal lahan produktif mereka, karena faktor kebutuhan. Secara singkat di atas dijelaskan bahwa jika hanya dengan mengandalkan hasil pertanian saja, mereka (petani) tidak akan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan hidup seharihari. Oleh karena itu, mereka (petani) mengupayakan bagaimana agar bisa mendapat penghasilan lebih dengan cara dan biaya yang mudah dan murah. Prinsip ekonomis, mulai nampak disini yaitu dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya. Meskipun kurang memperhitungkan aspek yang lain karena yang menjadi perhatian utamanya adalah masalah ekonomi. Selain masalah ekonomi, ada faktor lain yang berpengaruh yang terkait dengan pendekatan ini adalah faktor alam yang mendukung. Seperti yang dikatakan Rambo
222
d a l a m p e n d e k a t a n E n v i ro n m e n t a l determinism, ternyata faktor tunggal yang mendominasi dalam bentuk budaya atau perilaku masyarakat adalah alam. Seperti yang sudah saya singgung di atas, faktor kebutuhan memang menjadi alasan, tetapi jika kita kaitkan dengan pendapat Rambo, lingkungan alam juga sangat menentukan. Kita ambil contoh ketika masyarakat terjepit dalam sebuah kesulitan seperti apapun, mereka selalu merespon apa yang ada atau apa yang disediakan oleh alam yang kira-kira bisa diolah untuk bisa mengatasi kesulitan yang sedang mereka alami. Jadi, dengan kata lain kalau lingkungan tidak mendukung, pastinya masyarakat tidak akan berperilaku seperti apa yang tidak disediakan oleh alam. Merunut pada bagan skema di atas mengenai model environmental determinism (lihat gambar 1), maka dalam kasus ini dapat kita terapkan bahwa selain faktor kebutuhan, faktor yang membentuk perilaku atau menyebabkan masyarakat petani di Wonosobo melakukan tindakan penambangan pasir dan batu adalah sebagai berikut : Topografi, Letak geografi, Iklim, Sumber Daya Alam (SDA). Dari beberapa faktor lingkungan alam tersebut, akan membentuk pola tindakan atau perilaku rutin yang kita sebut sebagai bentuk budaya masyarakat setempat. Masyarakat setempat (petani), mengalami perubahan bentuk budaya sesuai dengan tuntutan dan ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan. Pada awalnya mereka berperilaku sebagai petani dengan menanam berbagai macam tanaman, kemudian berganti menjadi penambang pasir dan batu Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
karena diketahui bahwa di areal lahan yang selama ini mereka tanami, ternyata mengandung bahan galian yang memiliki nilai jual tinggi dengan resiko yang cukup rendah dalam jangka waktu tertentu.
1. Sub sistem dari sistem sosial Unsur-unsur dalam subsistem sistem sosial yang terdapat dalam kasus penambangan pasir dan batu di areal lahan produktif di daerah Wonosobo diantaranya (Teknologi/ cara penambangan manual tradisional), Kemajuan teknologi berpengaruh dalam penambangan pasir dan batu. Dengan adanya teknologi, masyarakat jadi mengetahui adanya kandungan bahan galian di areal lahan produktif mereka. Teknologi juga mendukung proses eksploitasi bahan galian dalam jumlah besar. Teknologi yang dilakukan oleh masyarakat setempat masih bersifat manual dan tradisional dengan alat ala kadarnya dan resiko keselamatan yang cukup tinggi, sehingga jumlah yang dihasilkan tidak begitu banyak dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sedangkan teknologi yang digunakan oleh pemegang modal sudah modern dan mekanik dengan mesin penambang dan standar keselamatan yang
cukup tinggi, sehingga cenderung mengeksploitasi sumber daya. Pola-pola eksploitasi SDA (masuknya penambang asing dari luar daerah) Seperti telah disinggung dalam kasus penambangan di atas, bahwa sistem penambangan dilakukan dengan 2 cara yaitu di ’lego’ atau dijual pada pemilik modal atau ditambang sendiri. Biasanya yang dikelola oleh penambang yang datang dari luar daerah inilah yang cenderung mengeksploitasi bahan galian pasir dan batu, apalagi dengan modal yang besar maka peralatan dan teknologi yang digunakan lebih canggih untuk mendapatkan hasil galian dalam jumlah besar dan waktu yang cepat. Pola tersebut sebenarnya sudah menjadi perhatian dan ketakutan bagi masyarakat setempat baik yang terlibat dalam kegiatan penambangan maupun tidak. Kekhawatiran tersebut dapat berupa ketakutan akan terjadinya bencana, menggeser para pekerja tambang tradisional, dan terjadi persaingan harga di pasaran. Secara tidak langsung masyarakat melegalkan penambangan tradisional tetapi kurang menyepakati penambangan dalam skala besar (dengan alat-alat penambangan modern). Organisasi Sosial (ketidakmampuan organisasi petani dalam membantu menyelesaikan masalah petani) Organisasi sosial yang ada di dalam masyarakat sekitar daerah penambangan juga memberikan pengaruh terhadap proses penambangan yang dilakukan mereka (petani). Salah satu organisasi sosial yang terdapat di sana adalah o rg a n i s a s i k e m a s y a r a k a t a n P e t a n i Wonosobo. Organisasi petani tersebut seharusnya memberikan manfaat secara
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
223
Analisis kasus dengan pendekatan Sistem Terbuka (dari Rambo) Lain halnya jika kita lihat dengan pendekatan sistem terbuka (Rambo), dalam pendekatan ini kasus tersebutdapat dibedah dalam dua sub sistem yang melatarbelakangi perilaku masyarakat melakukan penambangan pasir dan batu. Dua subsistem tersebut adalah: Sub Sistem dari Sistem Sosial dan Sub Sistem dari Ekosistem.
o p t i m a l b a g i a n g g o t a n y a . Te t a p i kenyataannya tidak berfungsi secara optimal. Sehingga tidak menutup kemungkinan dengan banyaknya masalah yang dihadapi petani dan tidak ada solusi yang diperoleh dari organisasi petani tersebut, maka para petani mengambil inisiatif lain untuk menyelesaikan permasalahan sendiri tentunya disesuaikan dengan kemampuan SDA dan SDM yang tersedia. Dalam hal ini solusi yang ditempuh adalah dengan menambang pasir dan batu untuk mendapat pendapatan yang lebih banyak dalam tempo yang cukup singkat. Pertama. Pengetahuan masyarakat selalu berkembang, dari pengetahuan cara bercocok tanam sampai dengan pengetahuan dalam masalah penambangan pasir dan batu. Pengetahuan selalu bertambah tergantung pada banyaknya sumber dan informasi yang diterima oleh individu atau masyarakat dengan berbagai macam media baik media massa, media elektronik, secara langsung (gethok tular) maupun tidak langsung. Dalam hal ini pengetahuan masyarakat mengenai cara menambang dan bagaimana proses penjualan diperoleh dari berbagai sumber seperti yang telah disebutkan di atas. Kedua. Ideologi (pandangan yang melekat pada pola pikir masyarakat penambang pasir dan batu), Ideologi yang dimaksud dalam kasus ini adalah, adanya sumber yang tersedia dialam yang harus dimanfaat semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (ideologi ekonomi). Bertolak dari ideologi tersebut, maka kegiatan penambangan ini sebenarnya tidak bisa disalahkan. Tetapi perlu dibatasi dalam pemanfaatannya agar tidak terjadi kerusakan lingkungan. 224
Merubah ideologi yang sudah terlanjur terpatri dalam setiap individu petani memang tidak mudah, tetapi paling tidak bisa dilakukan perubahan dalam hal cara atau teknik dalam menjalankan aktivitas penambangan pasir dan batu tersebut. Ketiga. Nilai dan norma (Nilai keselarasan dengan alam dengan penggunaan SDA secara wajar), jelas dalam setiap masyarakat yang merupakan struktur sosial pasti didalamnya ada sejumlah nilai dan norma yang dijadikan pegangan dalam bertindak. Terkait dengan kasus ini, jelas masyarakat sekitar daerah penambangan baik yang terlibat langsung maupun tidak memiliki sejumlah normadan nilai. Contohnya, ketika menghadapi penambangan yang berasal dari luar atau milik modal mereka (petani) merasa khawatir kalau nanti terjadi bencana yang tidak diharapkan oleh masyarakat setempat, karena terjadi eksploitasi secara besarbesaran. Mereka (petani) sadar meskipun masalah ekonomi penting tetapi kelangsungan hidup atau keselamatan juga menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Jadi secara singkat mereka menganggap penambangan kalau dilakukan secara wajar alam tidak akan rusak tetapi kalau dieksploitasi itu yang tidak dikehendaki. Keempat. Bahasa (sarana mediator komunikasi antara penambang lokal, dari luar, dan pemerintah setempat), Bahasa menjadi suatu isyarat yang cukup penting di dalam proses komunikasi. Menurut Habermas, komunikasi merupakan hal yang penting untuk menjembatani terjadinya konflik dan penyelesaiannya. Bahasa petani setempat dengan bahasa penambang dari luar Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
memang agak berbeda sehingga sering terjadi konflik, meskipun bukan konflik terbuka. Konflik yang sering muncul adalah masalah persaingan harga dan penggunaan teknologi yang cenderung meminggirkan para pekerja tambang. Konflik-konflik tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan komunikasi dan penyamaan bahasa dalam pengelolaan sumber daya alam bersama. Dengan demikian terjadi kesepakatan dalam pemanfaatan sumber daya dengan seimbang dan tidak mengeksploitasinya. Komunikasi dengan pemerintah juga menjadi hal yang cukup penting, kaitannya dengan masalah ini adalah dengan lancarnya komunikasi, maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah akan tepat sasaran dan tidak menimbulkan masalah baru. Karena kebijakan diberlakukan berdasarkan konsensus (kesepakatan) bersama. Karakteristik biofisik (karakteristik khas masyarakat petani pegunungan), Karakteristik bofisik, menjadi suatu hak yang cukup penting terkait dengan kemampuan adaptasi makhluk hidup untuk survive dalam lingkungannya. Dengan cara apa dan bagaimana makhluk tersebut dapat beradaptasi. Dalam hal ini adalah manusia sebagai penambang pasir batu batu yang sebenarnya hampir sama dengan tipikal sebagian besar masyarakat pegunungan dan iklim tropis. Cenderung malas untuk berusaha lebih keras karena memang terbentuk oleh lingkungan yang dingin dan lembab sehingga malas untuk melakukan aktivitas. Dalam kasus ini nampak jelas mereka (petani) tidak mau berusaha lebih keras dengan resiko yang tinggi dengan mempertahankan diri menjadi petani, tetapi mereka (petani) lebih memilih untuk Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
melakukan aktivitas penambangan pasir dan batu yang menurut mereka lebih mudah dan biaya ringan. Penduduk (peningkatan jumlah penduduk memicu eksploitasi sumber daya), Pertumbuhan penduduk, karena migrasi atau alami (kematian dan kelahiran) juga memberi pengaruh yang cukup besar. Semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin banyak sumber daya alam yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk. Semakin banyak kebutuhan sementara sumber daya jumlahnya terbatas, maka terjadi persaingan dalam pengelolaannya. Hal ini yang cenderung menjadikan seseorang untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Secara tidak disadari pemanfaatan yang tidak seimbang akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa menekan laju pertumbuhan penduduk adalah cara yang cukup tepat dalam upaya menjaga keseimbangan ekosistem. Kesehatan (kegiatan penambangan yang dilakukan belum memenuhi standar keselamatan kerja), Masalah yang sering diremehkan tetapi sebenarnya paling mahal harganya adalah kesehatan. Ada kecenderungan masyarakat petani kurang memperhatikan kesehatan, mungkin karena dianggap hal yang biasa, karena tidak ada uang untuk berobat, karena ketidaktahuan maupun karena terbatasnya tenaga kesehatan dan obat-obatan. Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat petani Wonosobo pada umumnya, cenderung mengangap kesehatan hal yang sepele. Ada istilah badan kalau tidak dibuat kerja terasa pegal-pegal semua, dan pegal-pegal semua tadi akan sirna seketika ketika dibawa kerja dilahan pertanian. 225
Demikian juga dengan penambang pasir dan batu, aspek keselamtan kurang diperhatikan, dengan menggunakan alat penambangan yang sederhana dan berhadapan dengan tingginya keprasan tanah yang mau ditambang. Tidak pernah dibayangkan jika tiba-tiba tanah keprasan tersebut longsor dan menimpa tubuhnya. Dapat dilihat dalam (gambar 4 & 5) di atas. Nutrisi/Gizi (kualitas dan kuantitas pangan masyarakat penambang pasir dan batu sangat dipengaruhi oleh pendapatan hasil tambang), Makanan menjadi sumber utama dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dibayangkan orang tanpa asupan makanan pasti tidak memiliki energi dan tidak mampu melakukan berbagai aktivitas. Sumber makanan diperoleh dari hasil panen dan sebagian dari hasil menjual panen yang ditukar dengan barang yang dibutuhkan. Karena kegiatan bercocok tanam mulai dikurangi dan diganti dengan kegiatan penambangan, maka berbagai kebutuhan pangan dan gizi diperoleh dari hasil me “lego” atau menyewakan tanahnya dan atau menambang sendiri. Hasil tambang dijual dan dibelikan berbagai kebutuhan pangan sehari-hari. 2. Sub sistem dari Ekosistem Unsur-unsur dalam subsistem ekosistem yang terdapat dalam kasus penambangan pasir dan batu di areal lahan produktif di daerah Wonosobo diantaranya Udara, Tanah (tanah produktif dan mengandung bahan galian pasir dan batu), Air (debit air yang mulai berkurang akibat penambangan), Iklim, Hewan (untuk konsumsi dan memabantu keg pertanian) dan Tumbuhan (komoditas tanaman pangan, tembakau, dan 226
pohon kayu). Dari dua subsistem tersebut, akan melakukan pertukaran aliran baik materi, energi, maupun informasi dari ekosistem menuju sistem sosial, dan begitu juga sebaliknya dari sitem sosial menuju ke ekosistem. Proses pertukaran tersebut melalui proses pemilihan dan adaptasi. Maksudnya disini adalah bahwa, dalam kondisi apa dan bagaimana sebuah sistem sosial membutuhkan beberapa unsur yang ada di dalam ekosistem dan begitu sebaliknya dengan ekosistem memberi pengaruh apa pada sistem sosial. Masing-masing subsistem memiliki keterbukaan dalam menerima dan memberi informasi, materi, dan energi baik dari dalam maupun keluar subsistem yang lain. Semua komponen dalam sistem sosial maupun ekosistem memilik keterkaitan yang cukup erat, sehingga jika satu komponen bermasalah maka akan berpengaruh pada komponen yang lain atau dengan kata lain sistem tidak dapat berfungsi dengan baik. Dalam kasus penambangan pasir dan batu oleh petani di sini, nampak sangat jelas bahwa sistem sosial yang terdapat di dalam dan di luar kasus (sistem sosial lain). Sistem sosial dalam (penambang lokal), cara penambangan yang masih sangat sederhana, sangat memperhatikan nilai dan norma keselarasan dengan alam sehingga melakukan proses penambanangan dengan cara yang wajar. Dengan kurang memperhatikan aspek keselamatan karena dengan penggunaan alat dan cara yang dibawah standar keselamatan. Kepadatan penduduk juga sangat berpengaruh pada besarnya pengahasilan dan pola pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
menentukan jumlah kandungan nutrisi yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Masyarakat lokal cenderung masih memegang tuguh ideologi pemenuhan kebutuhan dengan pemanfaatan alam secara optimal dan tidak berlebihan, dan masih banyak faktor seperti yang sudah disinggung diatas. Sistem sosial luar 2 (penambang dari luar), Penambang dengan alat penambangan canggih oleh penambang dari luar yang dapat menimbulkan konflik, dan cenderung mengeksploitasi lingkungan karena melanggar norma kewajaran yang semestinya dipatuhi, selain itu juga. Penambangan dari luar memberikan pengetahuan baru bagi penambang lokal untuk cenderung meniru pola eksploitasi yang telah dilakukan oleh penambang dari luar. Sistem sosial luar 1 (Pemerintah kabupaten dan Propinsi), Adanya campur tangan pemerintah dalam menangani masalah penambangan pasir dan batu baik yang dilakukan oleh penambang lokal maupun penambang dari luar, banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi belum membuahkan hasil yang maksimal. Bahkan pada akhirnya dikeluarkan perda mengenai penutupan penambangan bahan galian C secara serempak. Sehingga jika masih ada yang melakukan aktivitas penambangan akan dikenakan sanksi. Sistem sosial dalam masyarakat penambang lokal dengan terbuka menerima masukan dan campurtangan dari sistem sosial lain dalam hal ini adalah menerima masuknya penambang luar dan mencoba meniru cara penambangan dengan cara yang lebih canggih, meskipun sering terjadi konflik juga. Selain dengan penambang luar, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
penambang lokal juga menerima masukan dan himbauan yang diberikan oleh pemerintah terkait dengan masalah kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir dan batu yang berizin maupun tidak berizin, meskipun solusi yang diberikan belum bisa menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Begitu juga sebaliknya masyarakat lokal (sistem sosial dalam) memberikan masukan pada pemerintah (sistem sosial lain) mengenai permasalahan yang sebenarnya dihadapi adalah masalah ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup, serta memberi masukan pada penambang luar (sistem sosial lain) terkait dengan nilai dan norma dalam memanfaatkan alam lingkungan secara wajar dan adanya keseimbangan dalam menetapkan harga jual. Sedangkan Ekosistem yang terdapat di dalam kasus tersebut, dibedakan juga dalam ekosistem dalam dan ekosistem luar (lain), Ekosistem dalam, merupakan semua komponen baik air yang mulai berkurang debitnya, tanah yang memiliki kandungan pasir dan batu serta produktif untuk bercocok tanam, udara dan iklim yang sejuk, serta kekayaan hewan dan tumbuhan yang terdapat disekitar daerah penambangan pasir dan batu sangat mendukung dalam pencapaian tujuan masyarakat setempat. Ekosistem luar (lain), ekosistem lain bisa datang dari budidaya ataupun tidak sengaja dibawa dalam hal ini baik oleh penambang luar maupun oleh pemerintah atau pihak-pihak lain yang memiliki interest dalam masalah ini.
227
PENUTUP Dari uraian kasus di atas dapat diambil beberapa simpulan penting, bahwa penambangan pasir dan batu yang dilakukan di areal tanah produktif di Wonosobo, selain faktor ekonomi, jika dilihat dengan pendekatan environmental determinism merupakan suatu kondisi yang muncul sebagai bentuk respon masyarakat terhadap ketersediaan alam (pasir dan batu). Sehingga aktivitas penambangan ini tidak dapat dipersalahkan. Masalah penambangan pasir dan batu memunculkan dampak negatif terhadap keseimbangan alam (debit air menurun, tanah longsor, erosi, polusi udara, rusaknya infrastruktur jalan karena mobilitas kendaraan yang intens dan lain-lain), sehingga jika dilihat dengan pendekatan sistem terbuka (Rambo), untuk mencari solusi yang tepat terhadap masalah tersebut diperlukan hubungan timbal balik dengan mengetahui subsistem (sistem sosial dan ekosistem dalam masyarakat penambang lokal yang saling melakukan pertukaran arus materi, energi dan informasi) dengan subsistem yang lain (sistem sosial dan ekosistem dari penambang luar dan pemerintah setempat). Solusi atau kebijakan yang selama ini ditempuh oleh pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini belum berjalan secara optimal, sehingga masyarakat masih terus melakukan aktivitas penambangan dengan cara ilegal. Oleh karena itu perlu ada langkahlangkah yang perlu dilakukan untuk menghindari dampak lingkungan di antaranya adalah dengan memanfaatkan teknologi konservasi lahan dan penegakan hukum melalui peraturan perundangan yang 228
jelas, transparan dan akuntabel, serta pelibatan peran aktif masyarakat. Peran aktif masyarakat inilah yang sangat penting dalam mendapatkan solusi komprehensif (solusi tanpa menimbulkan masalah baru) karena mengetahui apa sebenarnya masalah yang dihadapi dan apa yang diinginkan oleh masyarakat. DAFTAR RUJUKAN Marten, G. 2001. Human Ecology (Basic Concepts for Sustainable Development). Earthscan Publication Ltd: London (Sterling,VA) Poerwanto, Heri. 2000. Kebudayaan dan lingkungan dalam perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar Offset:Yogyakarta Rambo, Terry. (Editor). Conceptual Approaches to Human Ecology: A s o u rc e b o o k o n A l t e r n a t i v e Paradigms for the Studi of Human Interaction with the Environment. Has been prepared for distribution toparticipants in the EAPI workshop on Human Ecology Research for Sosial Scientist (4 May-12 June, 1981). Honolulu, Hawaii, USA Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan: Jakarta Kerusakan Lingkungan Jadi Kendala Wonosobo, Jawa Tengah. Suara Merdeka. Edisi 24 Agustus 2009. [online] http;//suaramerdeka. Web.id
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Kerusakan lingkungan akibat galian C parah Suara Merdeka. Edisi Selasa, 10 November 2009. [online] Suaramerdeka.com. All rights reserved Wonosobo,Semua Galian C ditutup. Suara Merdeka. Edisi 16 Pebruari 2009. [online] Suaramerdeka.com Marak, Alih Fungsi Lahan di Wonosobo Lahan Pertanian Dikeruk. Kompas. 20 September 2009. [online] kompas.com
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
229
FIS 39 (2) (2012)
FORUM ILMU SOSIAL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
PERGESERAN IDENTIFIKASI DAN REPRESENTASI SOSIAL (STUDI ATAS MENGUATNYA IDENTIFIKASI ADAT DI INDONESIA) Amin Tohari* Alumni Program Pascasarjana Politik dan Pemerintahan, Konsentrasi HAM dan Demokrasi Lokal UGM Yogyakarta Info Artikel Sejarah Artikel
Abstract This paper tries to show a shift in social identification Indonesia after decentralization. Identification of Indonesian society is no longer sufficient menggunakaan read only religious or ideological basis. Post-New Order social identification back to the community is the identification of a local
Keywords: fishing, crisis, economy
basis, is considered pure, and genuine. Using the case of emerging and strengthening indigenous movement and the basis of social identification that is attached to it, this paper finds that indigenous movement as a political movement managed to emerge and be recognized. But sentiment was used by indigenous local elite to gain importance in the local political arena. This sentiment is also a mechanism of exclusion inkulsi and other groups outside themselves relating to their rights to the resources in the area. Not infrequently he is a source of social tension. Decentralization and the emergence of social identity, citizenship melokal shows an increasingly serious problem.
2012 Universitas Negeri Semarang
230
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia belum begitu lama memiliki pengalaman berbangsa dan bernegara. Tentu saja jika hal ini dibandingkan dengan pengalaman negaranegara lain yang sudah beratus-ratus tahun hidup dalam rasa berkebangsaan seperti Cina, India, Amerika, Perancis, dan sebagainya. Sangat bisa diperdebatkan, misalnya, apakah kedewasaan pengalaman berbangsa berkaitan dengan kualitas demokrasi, kesejahteraan, citizenship, atau representasi politik yang hakiki. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa pengalaman berbangsa atau masyarakat yang konstruksi kebangsaanya lebih paripurna akan memiliki derajat kualitas berdemokrasi lebih tinggi, terbentuknya citizenzhip yang aktif dan representasi politik yang lebih baik. Pengalaman berbangsa yang dimaksudkan itu adalah dikelolanya perbedaan masyarakat dengan cara-cara yang demokratis dan elegan, serta menghindarkan sejauh mungkin diskriminasi atas dasar identitas apapun. Dalam kondisi kedewasaan berbangsa itu apa yang disebut dengan unity in diversity tidak sekedar jargon politik semata tetapi benarbenar terejawantah secara utuh di dalam interaksi sosial di level mikro dan tercermin pada sistem politik di level makro. Konflik dan ketegangan memang tidak dapat dihilangkan dari masyarakat yang plural tetapi hal ini justru harus menjadi modal penting membangun demokrasi dan tidak malah melahirkan kekerasan dan korban yang sia-sia. Menariknya masyarakat Indonesia memiliki beberapa persoalan terkait dengan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
konstruksi kebangsaan tersebut. Persoalan itu diantaranya adalah pertama, masih diperdebatkannya konstruksi kebangsaan yang oleh sebagian orang dianggap belum selesai. Namun di sisi lain juga belum terang benar apa yang dimaksud dengan ‘konstruksi kebangsaan yang selesai’ itu. Kedua, unity in diversity tidak melahirkan active citizenship yang hal ini diperlukan sebagai fondasi dasar untuk membangun sistem demokrasi yang kuat. Ketiga, pemilahan masyarakat Indonesia masih menyisakan banyak problem representasi. Hal ini menyulitkan untuk menyambungkan negara dan civil society. Oleh karena problem reprsentasi itu tidak pernah tuntas, maka banyak pihak merasa tidak terepresentasikan oleh sistem politik yang bekerja saat ini. Tulisan ini tidak untuk mengeksplorasi tiga persoalan tersebut tetapi ingin melihat pada bagaimana pemilahan masyarakat Indonesia terjadi saat ini, apa basis atas pemilahan tersebut, dan bagaimana pemilahan itu direpresentasikan. Rentang waktu yang disorot dibatasi hanya pada era pasca reformasi sekitar sepuluh tahun terakhir. Bagaimana perluasan dan dinamika pemilahan itu berkembang dan berubah setelah selama tiga puluh tahun Orde Baru mengkompres seluruh perbedaan dalam payung ideologi yang tafsirnya seragam. Secara lebih spesifik, tulisan ini mendiskusikan kebangkitan dan menguatnya identitas “masyarakat adat”, termasuk sejarah marjinalisasinya dalam konstruksi hukum Indonesia. Bagaimana kebangkitan adat ini dimanfaatkan dan menjadi kendaraan bagi elit lokal yang memiliki ikatan geneologi keadatan untuk merebut kekuasaan, serta bagaimana kebangkitan ini 231
membangun sentimen etnis yang mengancam kehidupan berdemokrasi. PERUBAHAN BASIS IDENTIFIKASI SOSIAL PASCA REFORMASI Identifikasi sosial masyarakat Indonesia tidak tunggal, artinya tidak ada satu pemilahan sosial tertentu yang berlaku sepanjang massa. Alih-alih pemilahan sosial sosial tersebut justru terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan sudut pandang orang yang melihatnya. Studi Feith dan Castle (1970) misalnya, melihat masyarakat Indonesia yang terpilah-pilah berdasar ideologi. Castle dan Feith (1970) menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia terpilah dalam beberapa bagian berdasar ideologi yaitu komunisme, sosialisme, nasionalisme, islam, tradisionalisme, dan Jawa. Pemilahan ini tampak sekali didasarkan pada bentuk representasi politik di masa Orde Lama ketika pemilu tahun 1955 memperlihatkan konfigurasi identitas ideologi yang beragam. Tetapi apakah model pemilahan ini masih bisa digunakan membaca masyarakat Indonesia masa kini, tentunya sulit hal ini sudah berubah jauh. Di masa Orde Baru mungkin masih bisa dilihat pola pemilahan seperti di atas. Meskipun pembonsaian partai politik dilakukan secara represif namun jejak-jejak ideologi tersebut masih terlihat. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) biasanya diidentikkan dengan representasi kelompokkelompok Islam seperti Muhammdiyah, NU, Persis, dan kelompok kecil dari sisa-sisa Masyumi, sedangkan PDI diidentikkan dengan kaum nasionalis, dan Golkar adalah 232
representasi partai penguasa. Untuk saat ini dalam derajat tertentu sulit menghubungkan partai politik di Indonesia sebagai representasi ideologi kelompok yang mencerminkan pemilahan sosial masyarakat Indonesia. Ideologi tampaknya jauh dari menjadi basis partai politik saat ini, yang tampak jelas justru partai politik dideterminasi oleh kepentingan kekuasaan dari pada sebuah wadah di mana ideologi diperjuangkan. Studi lain yang melihat pemilahan masyarakat Indonesia adalah Geertz (1981). Penelitian Geertz di Mojokuto menemukan bahwa pemilahan masyarakat Indonesia terbagi dalam tiga kelompok besar yaitu santri, priyayi, dan abangan. Dikotomi Geertz ini bahkan menjadi teori yang banyak digunakan untuk membaca masyarakat Indonesia. Hanya saja pemilahan Geertzs ini tidak menggambarkan pemilahan masyarakat Indonesia secara keseluruhan melainkan terbatas untuk masyarakat Jawa. Komentar Suparlan (1981) dalam pengantar buku terjemahan dari versi aslinya The Religion of Java menyebutkan bahwa selain pemilahan ini hanya pada masyarakat Jawa seperti disebutkan di atas, klasifikasi yang digunakan Geertz sebetulnya didasarkan pada agama (santri dan abangan) dan satu klasifikasi yang dikaitkanya dengan kategori budaya. Santri dan abangan dibedakan dari ketaatan mereka terhadap agama (Islam), santri lebih taat dalam beragama daripada abangan. Sedangkan priyayi adalah kelompok yang biasanya sangat teguh memegang etika, sopan-santun, dan segala bentuk tata krama yang bersumber dari budaya keraton. Dalam pengamatan Suparlan dan juga Bachtiar (1981) apa yang Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
tidak dimasukkan ke dalam basis klasifikasi Geertz adalah Geertz melupakan apa yang disebut dengan agama Jawa. Tidak sebagaimana banyak orang mengira bahwa agama Jawa ditandai terutama oleh pemujaan terhadap leluhur tetapi pada dasarnya agama Jawa, dalam perpektif Suparlan, didasarkan pada prinsip sangkan paraning dumadi yaitu prinsip tentang eskistensi manusia dalam kosmologi Jawa. Hal ini terbukti karena abangan yang diidentifikasi Geertz tidak begitu taat agama tetapi mereka pada dasarnya mengidentifikasikan diri sebagai orang Islam, dan istilah abangan lebih bernada peyoratif karena istilah ini disematkan oleh kelompok santri dalam menyebut orang islam ini (abangan). Terlepas dari hal ini, di masa kini apakah tipologi Geertz masih relevan dipakai untuk membaca masyarakat Indonesia khususnya di Jawa, tentunya hal ini sangat bisa diperdebatkan. Menarik dalam mendiskusikan basis representasi masyarakat Indonesia terkini dengan melihat studi Demos (2007) tentang identifikasi diri orang Indonesia pasca-reformasi dan basis-basis sosial di mana identifikasi itu dilekatkan. Dua kondisi yang menjadi alas bagi hadir dan menguatnya identitas kelompok pasca reformasi adalah di satu sisi runtuhnya Orde Baru dan dengan demikian lepas dari hegemoni politik Jawa (Anderson 1990), dan di sisi lain terbukanya ruang untuk mengekspresikan basis-basis identitas baru. Riset Demos ini menunjukkan bahwa para pemilih di tingkat lokal lebih melekatkan identitas mereka ke daerah primordial dan kurang mengimajinaskan ide-ide nasionalisme. Isu-isu seperti putra daerah Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
yang muncul, yang menunjukkan hubungan genealogis seseorang dengan budaya atau daerahnya atau latar belakang keagamaan seorang kandidat menjadi sangat menentukan preferensi pilihan para pemilih. Masyarakat kembali menguatkan ikatanikatan identitas mereka dengan entitasentitas kultural yang didasarkan pada agama, etnis, kedaerahan, atau dengan hubunganhubungan komunitarian (Samadhy 2009; Klinken 2007). Survey Demos tahun 2007 itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia terbelah-belah dalam batas-batas etnik dan agama. Diterapkanya Perda Syari’ah dan Perda-Perda sejenis yang bersumber dari ajaran agama tertentu terjadi di beberapa daerah (Aceh, Bali, Banten, Bulukumba, Manokwari). Kenyataan ini menunjukkan bahwa basis agama di tingkat lokal menjadi dasar identitas yang kuat. Politik lokal juga menunjukkan realitas kontradiktif dalam cara masyarakat membangun self-identificatian diri dan kelompoknya. Di aras lokal agama, etnis, dan sentimen kedaerahan merupakan faktor utama yang derajat determinasinya bagi identitas seseorang sangat kuat. Selama pemilihan lokal, 40% masyarakat mengaku bahwa mereka lebih mengindentifikasi diri mereka sebagai penduduk (bukan warga atau citizen) dari kota/kabupaten/provinsi, sedangkan 23% lainnya mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota sebuah komunitas etnis atau klan tertentu. Prosentase ini berubah bagi mereka yang berada di daerah konflik. Dalam kondisi konflik identitas berbasis etnis atau klan menjadi penting sekitar 36%. Sedangkan dalam konteks pemekaran atau pembentukan daerah baru, mereka menjadi mengindentifikasi diri 233
mereka sebagai bagian dari kelompok etnik tertentu atau sebagai orang daerah (Samadhy: 2009). Temuan Demos tersebut melampaui pembacaan atas basis identitas sosial masyarakat Indonesia berdasar ideologi dan semata-mata berdasar agama. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mengalami problem yang serius berkaitan dengan persoalan kewarga-negaraan (citizenship). Setiap lapisan identitas yang menguat dan diciptakan sebagai bentuk gugatan kepada negara dan keinginan untuk diakui, sebenarnya di dalam dirinya menyimpan potensi untuk mengeksklusi kelompok lain yang dianggap tidak memiliki garis genealogi yang sama. Problem lain yang muncul adalah pada level representasi. Desain partai politik sebagai basis utama representasi sosial yang dianggap mampu mewadahi perbedaan basis representasi tidak cukup signifikan berperan. Bagian berikut ini mendiskusikan tentang basis identitas yang muncul dan menguat khususnya di level lokal yang berbarengan dengan desentralisasi dan pelembagaan institusi-institusi demokrasi lokal. MASYARAKAT ADAT; SEJARAH MARJINALISASI DALAM KONSTRUKSI HUKUM NASIONAL Membaca pemilahan masyarakat Indonesia sekarang ini tidak bisa lepas dari kategori masyarakat adat sebagai bagian penting konfigurasi sosial utamanya di level lokal. Di masa Orde Baru masyarakat adat tidak begitu tampak mengemuka seperti saat ini. Meskipun banyak disebut tetapi ia lebih banyak dilihat sebagai entitas eksotis, 234
peninggalan sejarah dari masa lalu yang masih hidup, dan banyak dikaitkan dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di bawah kendali (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata) Menbudpar. Selain isu tentang putra daerah, etinisitas, agama, dan sentimen kedaerahan, masalah adat kini juga berkontestasi di panggung publik Indonesia (Klinken 2007). Situasi ini tidak muncul secara tiba melainkan proses yang sangat panjang yang melibatkan politik marjinalisasi dan represi. Sejarah marjinalisasi masyarakat adat terjadi jauh bahkan ketika konstruksi hukum yang mengatur keberadaan masyarakat adat sedang dibuat. Kategori adat ini menjadi kian penting ketika persoalan adat kini menjadi bagian dari dinamika politik yang berkembang dan di beberapa daerah pasca desentralisasi. Istilah masyarakat adat adalah terjemahan dari istilah indigenous people atau tribal people yang banyak digunakan oleh lembaga-lembaga internasional seperti ILO 1982. Istilah ini juga lebih disukai dan dipilih oleh Kongres Masyarakat Adat Nasional (KMAN) pada 1999. Alternatifnya bervariasi mulai dari “orang asli”, “pribumi”, “masyarakat hukum adat”, “masyarakat tradisional” dan “bangsa asal”. Bagi masyarakat Papua jika yang dipilih adalah istilah “orang asli”, maka perjuangan mereka bisa dianggap rasis. Sedangkan istilah pribumi dinilai terlalu umum dan seringkali untuk merujuk pada golongan masyarakat yang bukan Cina, Arab, dan bukan keturunan Eropa. Istilah “masyarakat adat” diterima sebagai kompromi dari istilah “masyarakat hukum adat” yang ditawarkan oleh negara (Moniaga 2010:310). KMAN dalam sebuah perss release pada 1993 Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
mendifinisikan masyarakat adat sebagai “kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kemudian merevisi definisi tersebut dan mengajukan definisi baru yaitu “komunitaskomunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengalola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”. Jika ditarik lebih luas, problem masyarakat adat ini salah satunya bersumber pada politik hukum nasional yang mengatur masyarakat adat, tanah adat, dan hak ulayat masyarakat adat. Di Indonesia pengaturan tanah adat, masyarakat, dan hak ulayat masyarakat adat terlihat ambigu. Di satu sisi, dalam beberapa klausul undang-undang tampak mengakui eksistensi masyakat hukum adat sebagai sebuah entitas yang memiliki hukum sendiri. Namun di sisi lain ada kehendak dari negara untuk menguasai sepenuhnya sumber daya yang menjadi hak kelola masyarakat adat, utamanya sumber daya agraria. Ketidakjelasan ini, antara mengakui atau menguasai tanah adat atau tanah ulayat ini oleh negara, membuat perangkat regulasinya juga tidak pernah tegas memberikan sepenuhnya pengelolaan tanah adat kepada masyarakat hukum adat. Akibatnya, banyak terjadi konflik antara otoritas pengaturan negara dengan otoritas masyarakat adat yang masing-masing merasa memiliki referensi atas hak Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
pengelolaan atau penguasaan tanah adat. Masalah ini sangat terkait dengan sejarah konstruksi hukum agraria nasional dan bagaimana masyarakat hukum adat dan hakhak pengelolaanya diletakkan dalam konstruksi hukum tersebut. Setidaknya ada dua kemungkinan mengapa di satu sisi negara mengakui dan belakangan ini mengangkat masalah tanah adat tetapi di sisi lain seolah enggan sepenuhnya memberikan hak pemilikan dan penguasaan tanah adat kepada masyarakat adat. Pertama, pernyataan yang menyebutkan bahwa pengakuan adat akan diberikan sejauh masyarakat adat masih ada atau tidak luntur, sebenarnya berdiri di atas asumsi bahwa lunturnya adat ini dilihat sebagai sebuah proses evolutif alamiah. Tetapi sejarah politik tanah adat menunjukkan fakta historis yang berbeda. Di masa ketika semangat nasionalisme dan kebangsaan sangat kuat ada kehendak untuk melampui kolektifitas ke-adat-an untuk mengukuhkan hak kolektif sumber daya agraria di bawah kekuasaan negara. Politik stabilisasi ekonomi dan depolitisasi massa di masa Orde Baru memberikan konteks pada lahirnya perundang-undangan yang menyeragamkan semua organ masyarakat, dan menggunakan frasa ‘kepentingan nasional’ atau ‘kepentingan umum’ untuk melandasi Hak Menguasai Negara. Akibat dari proses kesejarahan ini terjadilah pengisolasian pengaturan adat dari pengaturan hubungan ekonomi, ekologi dan politik, karena diambil alih oleh Negara. Istilah ‘tanah negara’ dan ‘hutan negara’ merupakan cermin dari begitu kuatnya negara dalam konteks ini dalam menguasai tanah. Proses ini menunjukkan bahwa adat ternyata tidak luntur semata235
mata secara alamiah karena proses evolusi dari masyarakat tradisional ke modern, seperti banyak diasumsikan. Adat meluntur diantaranya karena ada intervensi yang menyebabkan pelunturannya, bukan sekedar evolusi natural. Kedua, persoalan politik tanah adat ini terkait dengan identitas ‘komunal’ yang dalam batas tertentu terlalu dikhawatirkan dapat mengganggu identitas yang ‘nasional’. Penguasaan wilayah oleh masyarakat adat dikhawatirkan dapat memunculkan eksklusivisme yang menyulitkan penyediaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum, menyuburkan primordialisme, bahkan membangkitkan separatisme yang bisa mengarah pada disintegrasi (Gautama, Sudargo, Soetijarto 1997). Dengan demikian, perubahan-perubahan yang terjadi dalam konstitusi Indonesia mengedepankan persoalan mendasar yang belum tuntas tentang pengakuan masyarakat adat sebagai sebuah identitas dan entitas. Persoalan ini lahir karena adanya prasangka (presumption) yang muncul karena lapisanlapisan sejarah (Sudargo dan Sutijarto, 1997). Sejarah marjinalisasi masyarakat adat ini setidaknya terjadi dalam tiga fase kebijakan. Pertama, untuk melancarkan penjajahan, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan kependudukan yang membagi penduduk dalam tiga kategori yaitu eropa, timur asing, dan pribumi. Bagi kelompok Eropa berlaku hukum Eropa sedangkan bagi kelompok pribumi terikat dengan hukum adat yang berlaku di kalangan mereka. Di masa ketika UUD 1945 dirumuskan ada keingin kuat untuk menghilangkan diskriminasi rasial dan 236
mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia, maka istilah yang digunakan adalah “orang Indonesia asli”. Peraturan perundang-undangan lainya yang dibentuk kemudian berbeda-beda dalam meletakkan masyarakat adat ini selain juga berbeda dalam menggunakan istilah untuk masyarakat adat. UUPA No. 5 Tahun 1960, misalnya, menggunakan istilah “masyarakat hukum adat”, istilah yang sama juga digunakan oleh (Undang-Undang Pokok Kehutanan) UUPK No. 5 Tahun 1967. Sedangkan Departemen Sosial menggunakan istilah “masyarakat terasing”. Terlihat bagaimana ambigunya negara meletakkan masyarakat adat dalam konstruksi hukumnya. Memang ada keinginan untuk membuat Undang-Undang Agraria Nasional tetapi kemudian masyarakat adat dan hak pengelolaanya terhadap sumber-sumber agraria dibatasi oleh prinsip “dikuasai oleh negara” (pasal 33 UUD 1945), atau “tanah negara” (Fitzpatrick 2010). Prinsip inilah yang kemudian melahirkan beberapa undang-undang yang lahir di masa Orde Baru yang semakin menyingkirkan eksistensi masyarakat adat. Undang-undang tersebut di antaranya adalah UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967, UU Pokok Pertambangan/1967, UU Penanaman Modal Asing/1967 (Fauzi 1997: 115-170). Di samping itu, negara dengan menggunakan istrumen hukum pertambangan, konservasi, pertanahan, kelautan, dan sebagainya untuk mengontrol dan menguasai sumber-sumber daya alam. Kenyataanya, semua aturan hukum yang dibuat negara ini tidak menghargai hukumhukum adat berkaitan dengan tanah, hutan, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
dan sumber-sumber daya alam lainya, yang masih hidup di sebagian masyarakat Indonesia. Implikasinya, berbagai komunitas adat kehilangan akses tradisionalnya terhadap sumber daya yang ada. Wilayahwilayah yang sebelumnya mereka manfaatkan sebagai areal-areal perladangan atau pemanfaatan hasil hutan, sudah dikonversi oleh negara melalui instrumen peraturan menjadi hutan lindung, hak pengusahaan hutan (PHH), kontrak karya (KK) pertambangan, hak guna usaha (HGU) perkebunan besar. Proses konversi ini seringkali tanpa konsultasi dan menggunakan pendekatan kekerasan oleh aparat negara (Sangaji 2010:354-355). Isu ini menjadi salah pembahasan dan tuntutan utama dalam Kongres Nasional Masyarakat Adat II, mereka menyatakan bahwa UUPA/1960, UU Pertambangan/1967, UU Pokok Kehutanan/1967 adalah bentuk dari kekuasaan negara untuk mengambil hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam (Acciaioli 2010:339). Tuntutantuntunan yeng berkembang yang fokus pada mengembalikan hak kelola masyarakat ada atas sumber daya agraria ini memuncak pada tuntutanan atas pengakuan negara terhadap masyarakat adat; “Kalau negara tidak mengakui kami, kamipun tidak mengakui negara”. Selain itu, apa yang membuat gerakan masyarakat adat ini menguat adalah persoalan, yang juga menjadi tuntutan utama mereka, pemaksaan sistem yang seragam dalam pemerintahan lokal yang didasarkan pada desa administratif. Dasar penyeragaman ini ditetapkan dalam dua peraturan yaitu UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Para wakil Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
masyarakat adat menilai bahwa undangundang ini telah memecah komunitas lokal, bahkan meleburnya menjadi unit-unit baru yang tidak punya kesamaan adat. Oleh karena itu mereka mengajukan tuntutan untuk merubah undang-undang ini (Acciaioli 2010). GERAKAN MASYARAKAT ADAT DAN POLITIK LOKAL DI INDONESIA Kristalisasi gerakan masyarakat pada dekade tahun 90-an menghantarkanya menjadi salah satu basis identitas kelompok, menandai tuntutan pengembalian hak pengelolaan terhadap sumber-sumber agraria, dan menjadikanya kekuatan politik yang cukup diperhitungkan dalam dinamika perpolitikan di tingkat lokal. Sebagian pihak melihat bahwa gerakan adat sudah dibajak sementara pihak untuk memuluskan kepentingan politik dan basis legetimasi identitas politik kandidat yang bertarung dalam pemilihan lokal. Selama berpuluh-puluh tahun masyarakat adat telah berjuang untuk mendapatan kembali tanah dan kehidupan menurut adat mereka. Sebagian tegar menentang secara terbuka ekstraksi sumber daya alam oleh pengusaha dan penguasa setempat, sebagian berjuang diam-diam. Di tahun 1988, ratusan orang Batak Toba menentang industri pulp dan rayon PT. Inti Indorayon Utama. Perusahaan ini memperoleh izin mengkonversi hutan penduduk setempat menjadi hutan tanaman industri. Di Ketapang, Kalimantan Barat, orang Dayak Simpang telah bertahan terhadap pengembangan perkebunan kelapa sawit dan usaha pembalakan hutan pada tanah mereka. Di Kalimantan Timur, orang Dayak Bentian yang terkenal sebagai pembudidaya rotan, 237
berjuang melawan pembalakan hutan yang menghancurkan kebun-kebun mereka. Maka pada Maret 1999, lebih dari 200 perwakilan adat nusantara berkumpul pada KMAN I. Mendapat dukungan dari berbagai LSM yang memiliki fokus advokasi terhadap masyarakat adat, kongres ini diselenggarakan di Jakarta, mendapat liputan luas dari media, dan berhasil membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Penyelenggaran ini diuntungkan dengan situasi dimana setahun sebelumnya yaitu pada 1998 Soeharto, penguasa Orde Baru, mengundurkan diri. Situasi ini memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi organisasi masyarakat sipil untuk menampilkan diri. Hingga pada Agustus 2003, organisasi ini telah mendaftar 927 kelompok masyarakat adat, 777 di antaranya terdaftar sebagai anggota yang terverifikasi. Pada Kongres KMAN II, yang diselenggarakan pada tahun 2001 di Lombok, jumlah ini meningkat menjadi lebih dari 1000 perwakilan masyarakat adat (Sangaji 2010). Gerakan yang mendasarkan diri pada basis identitas indeginitas (Davidson 2010) ini berhasil mendesakkan tuntutan mereka dan membuat perubahan pada persepsi negara, kalangan pengusaha, LSM, dan masyarakat luas mengenai eksistensi masyarakat adat dan hak-hak yang melekat pada pengakuan indigintas ini. Perubahan ini tampak, meskipun beberapa kalangan tidak melihanya cukup signifikan, misalnya pada isu tanah dan masyarakat adat ditemuikan dalam pasal 18b, 28, dan 33 amandemen UUD 1945. Selain itu MPR juga melahirkan ketetapan No. IX/2001 yang menyebutkan tentang hak-hak masyarakat adat atas 238
sumber daya agraria/alam, pluralisme hukum, serta hak asasi manusia yang ditetapkan sebagai landasan pembaruan hukum dan kebijakan tentang sumber daya agraria dan sumber daya alam (Sangaji 2010:316). Kementerian lingkungan juga melakukan hal sama dengan dukungan dan konsultasi dengan akademisi, perwakilan LSM untuk menyusun undang-undang yang lebih mengakui hak-hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya agraria. Namun terjadi perdebatan di internal pemerintahan sendiri. Draft RUU ini mendapat dukungan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Pertanian, Departemen Hukum dan HAM, tetapi mendapatkan perlawanan yang sengit dari Departemen Kehutanan dan Departemen Sumber Daya Energi dan Mineral. Dengan mengontrol hampir 70% seluruh luas daratan di Indonesia Departemen Kehutanan memang sangat berkuasa. Pihak departemen pun tidak berniat meninjau kembali atau mereformasi Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 yang sarat kritik, lantaran gagal mengakui hak-hak masyarakat adat serta terus mempertahankan tradisi kontrol negara atas kawasan hutan (Sangaji:317). Di penghujung tahun 2004, Kementerian Kehutanan mengklaim bahwa luasan seluruh kawasan hutan adalah 126,8 juta hektar. Wilayah in diklasifikasikan menurut fungsi yaitu; hutan konservasi (23,2 juta hektar), hutan lindung (32,4 juta hektar) hutan produksi terbatas (21,6 juta hektar), hutan produksi (35,6 juta hektar) dan hutan produksi konversi (14 juta hektar) (Moniaga 2010: 156) Di tingkat lokal, gerakan masyarakat adat ini berhasil mendesakkan agenda Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
pembuatan peraturan-peraturan daerah terkait yang mengakui keberadaan masyarakat adat. Di Bali muncul Perda No. 3/2001 tentang Desa Pakraman. Di Banten sejak tahun 1990-an sudah ada Perda No. 13 tahun 1990 yang mengakui pemberlakuan lembaga/pranata adat khususnya masyarakat Baduy/Kanekes sedangkan Perda No. 32/2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy/Kanekes baru disahkan setelah reformasi. Perda No. 3 dan No. 4 Kabupaten Nunukan merinci syarat-syarat komunitas adat dapat mengklaim tanah komunalnya. Di Sumatera Barat dimana adat nagari-nya kocar-kacir semenjak diterapkanya UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa yang menyeragamkan tata administratif desa, peluang otonomi dengan hadirnya UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah memberikan keleluasaan bagi masyarakat adat untuk menghidupkan kembali sistem nagari. Perkembangan positif ini tampak menggembirakan dimana masyarakat yang lama termarjinalisasi ini mampu bersuara bahkan mendesakkan kepentingankepentinganya. Namun beberapa ahli melihat bahwa kebangkitan gerakan indigenitas ini membawa serta konsekuensi yang mengkhawatikan yaitu bangkitnya sentimen etnis dan politik eksklusi yang disadari atau tidak telah bekerja selama beberapa tahun gerakan masyarakat adat yang mulai memiliki kepercayaan diri dan berhasil mengajukan klaim atas hak-hak kewilayahannya (Li 2010; Davidson; 2010; Bourchier 2010; Sangaji 2010; Klinken 2010). Suatu hal yang pasti (Moniaga;313), bahwa beberapa bangsawan masyarakat adat berusaha mendapatkan keuntungan pribadi Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
dari kebangkitan kembali posisi lama mereka yang pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Revitalisasi adat, bahkan, dapat membawa ke arah yang berbeda-beda dan dapat digunakan untuk maksud yang berbeda-beda pula oleh komunitas yang berlainan. Beberapa pihak didorong oleh meningkatnya posisi masyarakat adat, peluang politik lokal yang terbuka lebar, dan diakuinya kembali posisiposisi tradisional mereka yang sudah lama mereka tinggalkan kini kembali ke gelanggang politik di tingkat lokal dengan modal budaya yang mereka miliki. Sangaji (2010) mencatat sejak reformasi eksploitasi sentimen adat berjalan kencang buktinya terlihat pada 2003 ketika berlangsung pemilihan kepala daerah. Ketika berlangsung pemilihan bupati kabupaten Parigi Moutong (Parimo), seorang tokoh adat Olongian Pepitu Muhammad al-Amin dari Desa Lombok Kecamatan Tinombo mangancam akan memisahkan diri dari Provinsi Sulawesi Tengah dan akan bergabung dengan Provinsi Gorontalo jika keinginan mereka untuk mencalonkan empat putra daerah asal Tinombo Tomini Moutong sebagai kandidat tidak didengar oleh DPRD Tingkat II setempat (Sangaji;364). Klienken (2010) juga melihat banyak kasus yang sama di mana elite-elite lokal memanfaatkan peluang-peluang politik dengan menggunakan sentimen adat dan putra daerah yang sedang naik daun. Bagi kalangan aktivis advokasi hak-hak masyarakat adat situasi ini memperlihatkan, dalam bahasa mereka, “pembajakan isu-isu adat”. Meskipun mungkin, hal-hal ini sah dan wajar dalam kacamata politik ketika seseorang 239
mengerahkan semua sumber daya yang mereka miliki untuk meraih jabatan-jabatan publik tetapi di sisi lain kenyataan ini membalik asumsi awal mengenai gerakangerakan berbasis indigenitas seperti ini. Li (2010) menyatakan dengan singkat bahwa “menggunakan adat adalah mengklaim kemurnian dan otentisitas dari maksud seseorang”. Pada kanyataanya apa yang disebutkan kebangkitan adat ini penuh dengan tarikan kepentingan dan sedikit sekali bersifat murni dan otentik. MASYARAKAT ADAT DAN BANGKITNYA SENTIMEN KOMUNAL Meskipun mungkin pada awalnya, seperti yang disebutkan Bourchier (2010), gerakan yang menggunakan idiom adat ini berawal dari upaya kolektif untuk menolak kecenderungan sentralisme negara dengan mengajukan klaim-klaim ‘kedaerahan’ atau “lokalisme’. Dan hal ini termanifestasi dalam berbagai bentuk, dorongan untuk merdeka, lepas dari Indonesia, otonomi di dalam Indonesia, dan perwakilan yang lebih besar bagi putera daerah di dalam pemerintahan. Sulit untuk digeneralisir tetapi perkembangan gerakan yang membawa identitas adat ini di beberapa tempat telah menguatkan komunitas lokal dalam mempererat ikatan dan kepentingan komunal. Dan pada saat yang sama ia memiliki potensi nyata, untuk menimbulkan kekerasan, kebencian etnis, mengukuhkan hirarki sosial masa lampau, dan mengabaikan hak asasi manusia. Menarik untuk melihat mengapa gerakan-gerakan ini mendapat sambutan luas dan dalam derajat tertentu berhasil 240
mendesakkan aspirasi mereka. Salah satu aspek yang dilihat Bourchier adalah bahwa keberhasilan ini sebagianya disebabkan representasi wajah adat yang mereka tampilkan secara bijaksana, harmonis secara sosial, komunalistik, dan selaras dengan alam. Hal ini cocok dengan konstruksi terima adat yang banyak digandrungi dalam pemikiran politik Indonesia, adat dilihat bersifat baik, murni, dan asli. Gerakan ini tidak akan mendapat sambutan begitu rupa dari penguasa politik kalau mereka menggunakan bahasa hak-hak kelas atau hak minoritas. Satu implikasi yang mungkin sulit untuk dikendalilan adalah ketika kebangkitan ini, di beberapa tempat, telah memicu kembali lahirnya ethnonasionalisme, atau nasionalisme etnik dan beberapa bentuk manifestasi chauvinisme yang bercampur dengan asumsi-asumsi kekhasan, keharmonisan, dan penilaian bahwa mereka mampu mengurus diri sendiri. Davidson (2010) misalnya, menyebutkan bahwa penyebaran yang cepat dari kesadaran Dayak yang dipromosikan oleh ornop seperti IDRD (Institute of Dayacology Research Development) memiliki peran yang besar terhadap luasnya kerusuhan. Sementara di Maluku perseteruan antara masyarakat setempat dengan para pendatang juga terwujud dalam bentuk-bentuk keagamaan dan budaya. Di Sulawesi Tengah, meski tampak lebih halus, namun hal itu justru sebagianya didorong oleh hasrat memangkas hak-hak orang “pendatang baru” Bugis (Bouichier; 139140). Identifikasi terhadap ikatan komunal ini saat ini di banyak daerah tengah berlangsung dalam frekuensi yang beragam. Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Persoalannya berlapis-lapis dari mulai masalah stereotype kelompok, ketersediaan sumber daya dan akses terhadapnya, dan sejuahmana negara memiliki kekuatan untuk menjaga dan menjamin sentimen semcam ini meluas menjadi kerusuhan massal. Seperti yang diungkapkan Li (2002), masalahnya adalah bagaimana caranya untuk meneruskannya; pengakuan atas hak atas tanah tetap penting bagi mata pencaharian dan kesejahteraan berjuta-juta penduduk pedesaan. Akan tetapi ketiadaan pemerintah yang transparan, proses hukum yang tidak jelas, dan kebebasan demokratis yang nyata dari desa sampai ke tingkat di atasnya, klaimklaim sepihak dari hak-hak tersebut bisa mengorbankan kaum pendatang yang sama lemahnya dengan masyarakat adat tersebut dan sering lebih parah. Revitalisasi gerakan indigenitas seperti kebangkitan masyarakat adat ini membuka tantangan yang serius bagi otoritas negara dan cita-cita yang tertuang dalam gagasan “Indonesia” seperti yang telah dibentuk dan diciptakan. Secara khusus, landasan yang mendasari konsep kewarganegaraan yang modern dan demokratis, kesetaraan, keadilan, dan kenetralan di depan hukum menjadi terancam. Ketegangan yang berasal dari eksklusi dan inklusi , politisasi hak individu versus hak kolektif, dan etnisitas sedang membayangi perjalanan sejarah negeri ini dan membahayakan ribuan orang lainnya. PENUTUP Pemilahan basis sosial masyarakat Indonesia kontemporer tampak bergeser ke arah penguatan basis-basis identitas lokal yang ikut bermain dalam politik lokal dan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
nasional. Dikotomi sosial seperti yang ditawarkan Geerts dan Feith dan Castle, meskipun masih tetap penting tampaknya harus ditambah dengan mempertimbangkan bagaimana basis identitas yang dilekatkan pada komunitas adat ini cenderung menguat khususnya di bagian luar Jawa. Secara formal basis identitas ini tidak membentuk representasi formal tetapi terlihat mengemuka dan menguat di dalam konteks politik lokal. Di Indonesia tampaknya, daripada representasi asimetris yang berbasis kelas, representasi simetris yang pemilihanya berdasarkan agama dan budaya lebih cenderung menguat. Bangkitnya masyarakat adat sebagai basis identitas baru merupakan kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Sejarah marjinalisasi komunitas adat berlangsung sejak pemerintahan kolonial dan meskipun ada keinginan untuk menghilangkan diskriminasi berdasar identitas lokal ini tetapi konstruksi hukum Indonesia masih menyisakan perlakuan yang ambigu dan cenderung tidak tegas terhadap eksistensi masyarakat adat. Perlakukan ini berlanjut dengan legitimasi klaim negara atas penguasaan segenap sumber daya alam yang notabene masih berada di bawah klaim kelola masyarakat adat. Masyarakat adat selama puluhan tahun berjuang baik secara terbuka maupun diam-diam melawan kontrol penguasaan pengusaha dan penguasa lokal atas sumber daya agraria/sumber daya alam yang mereka miliki. Gerakan ini kemudian membesar dan berhasil membangun konsolidasi gerakan di momen yang memberikan mereka keleluasaan yaitu masa reformasi. Gerakan ini dalam tingkatan tertentu berhasil mendesakkan kepentingan 241
mereka kepada negara untuk mengakui dan memberikan hak kelola sumber daya alam/agraria yang mereka miliki. Namun di sisi lain gerakan ini menjadi peluang bagi elite-elite lokal yang memiliki garis geneologi keadatan untuk memanfaatkan sentimen adat dan kedaerahan dalam pertarungan politik lokal untuk memperebutkan jabatan-jabatan publik dan menguasai sumber-sumber akumulasi modal. Di level birokrasi isu putra daerah yang menguat bersama dengan isu masyarakat adat menjadi bagian penentuan formasi birokrasi yang cenderung memberikan ruang lebih lebar bagi putra daerah untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis. Kondisi ini di sisi lain memunculkan situasi yang mungkin di luar kontrol banyak pihak, di mana kebangkitan masyarakat adat telah membangun sentimen komunal yang berkecenderungan menyingkirkan kelompok-kelompok di luar mereka. Politik eksklusi dan inklusi menjadi bagian tak terhindarkan dari kebangkitan masyarakat adat ini. Di beberapa daerah bahkan sentimen ini menyulut dan memperluas kerusuhan sosial yang mengakibatkan pembantaian massal dan pindahnya ribuan orang dari rumah mereka. Hal ini merupakan tantangan serius bagi negara dan demokrasi karena cita-cita membangun kewarganegaraan yang inklusif yang berakar pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, netralitas di depan hukum, dan sebagainya semakin terancam. Menjadi sangat krusial mendiskusikan bagaimana sentimen kelompok ini diarahkan menjadi bagian penting dari kehidupan demokrasi,
242
active citizenship, penghormatan terhadap HAM, dan menjadi bagian penting dari nation building yang tampaknya masih jauh dari harapan. DAFTAR RUJUKAN Davidson, Jemie S., Henley, David., Moniaga Sandra (edt). 2010. Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia. Feith, Herbert & Lance Castles (ed). 1970. Indonesian Political Thinking 1945-1966. Ithaca: Cornell University Press. Gautama, Sudargo dan Ellyda T. Soetijarto. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan PeraturanPertauran Pelaksanaannya (1996). 1997. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Herbert Feith & Lance Castles (ed). 1988. Pemikiran Politik Indonesia 18451966. Jakarta: LP3ES. Murray, Li Tania (edt). 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nordholt, Henk Schulte., Van Klinken, Gerry., (edt). 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia. Samadhi, Willy Purna ; Warouw, Nicholaas. 2009. Demokrasi Di Atas Pasir. Jakarta: Demos.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Tamrin Amal Tamagola. 2006. Republik Kapling. Yogyakarta: Resist Book’s. Twikromo, Argo., Zamroni, Imam M., Gunawan (edt). 2010. Pencitraan Adat Menyikapi Globalisasi. Yogyakarta: PSAP UGM dan Forf Foundation. Van Klinken, Gerry. 2007. Perang Kota Kecil; Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
243
FIS 39 (2) (2012)
FORUM ILMU SOSIAL http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
JURNAL
FORUM ILMU SOSIAL
MENGATASI KEKERASAN PADA ANAK DALAM PENDIDIKAN DI SEKOLAH Tukidi* Dosen Jurusan Geografi FIS Unnes Info Artikel
Abstract
Sejarah Artikel
Keywords: Role Community, Cultural Preservation, Javanese Dance
Children are the next generation to achieve the ideals of family, nation and country who have a strategic role in ensuring the existence of the nation and the state in the future, therefore, they should be free from any violence. Violence against children often happens in education at schools, both physical and non-physical (psychic). To minimize the occurrence of violence in the educational environment, the school, especially the teachers can select and use a more humanistic approach to learning by considering various dimensions to be achieved in the National Educational Objectives. One alternative to reduce the violence in the educational environment, educators or teachers can be the use of the PAKEM learning model with Child Friendly Teaching Model (CFTM) or 3P-based learning model (Provision, Protection and Participation).
2012 Universitas Negeri Semarang
244
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
PENDAHULUAN Anak merupakan generasi penerus citacita keluarga, bangsa dan negara yang memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Anak kelak dapat memikul tanggung jawab sebagai anggota keluarga maupun masyarakat dengan baik, sehingga mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritualnya. Sayangnya di dalam masyarakat masih sering terjadi tindak kekerasan terhadap anak, baik yang dilakukan oleh orang tua, pengasuh, atau seorang guru. Kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan dapat terjadi dengan berbagai bentuk, seperti yang kita ketahui dari media televisi maupun dari melalui media massa lainnya seperti koran. Tujuan atau maksud guru memberi sanksi terhadap anak didik yang melakukan kesalahan sering berujung pada kekerasan. Tujuannya untuk memberikan pendidikan pada anak justru terjadi tindak kekerasan, misalnya anak diminta berdiri di depan kelas sambil mengangkat satu kaki, dengan cubitan, atau dengan menjewer telinga anak. Kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak sangat berdampak terhadap perkembangan psikologis anak, hukuman yang bersifat fisik pada anak sudah seharusnya ditinggalkan, karena cara mendidik anak tidak harus dengan kekerasan. Kekerasan yang terjadi dalam pendidikan tidak hanya yang bersifat fisik saja, tetapi juga dapat berupa kekerasan psikologis. Unicef mengartikan kekerasan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
sebagai penggunaan kekuatan fisik dengan sengaja atau bentuk kekuatan lainnya, ancaman, atau perbuatan nyata terhadap seseorang, orang lain, atau terhadap suatu kelompok atau komunitas yang mengakibatkan atau memiliki kemungkinan besar mengakibatkan cidera, kematian, kerugian psikologis. Kekerasan fisik yang dimaksud meliputi: memukul, menampar, mencubit, melempar, menjambak, menendang, mencekik, menjewer, sedangkan yang termasuk kekerasan secara psikis meliputi: memaki, menghina, membentak, membodohi, mengancam dan sebagainya. Pendidik mungkin kurang menyadari bahwa hasil bentakan terhadap anak, dengan merendahkan mereka di depan temantemannya akan berdampak buruk terhadap psikologis anak. Anak akan merasa tertekan, malu dan lebih lanjut dapat berdampak pada menurunnya motivasi untuk belajar dan bersekolah. Jadwal pelajaran yang padat sehubungan dengan perubahan kurikulum juga merupakan bentuk kekerasan pada anak, karena dengan pemberian tugas-tugas yang padat tanpa memperhitungkan waktu dan kemampuan siswa, menyebabkan anak hampir tidak mempunyai waktu luang untuk berinteraksi dengan teman-teman dan anggota keluarganya karena waktunya habis untuk mengerjakan pekerjaan rumah (tugastugas sekolah). Silih bergantinya kurikulum dalam waktu yang singkat juga dapat menimbulkan kekerasan psikologis pada anak dan merupakan salah satu indikator kegagalan dalam pendidikan. Sejak sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diterapkan hingga Kurikulum 2006, baru sebagian kecil guru 245
yang menerapkan proses belajar siswa yang cerdas dan kreatif, serta minimnya penggunaan alam sebagai media pembelajaran, ini merupakan sebuah indikator miskinnya kapasitas seorang guru. Proses belajarmengajar di dalam kelas yang berlangsung secara monoton dan berkelanjutan pada akhirnya membuahkan generasi statis dan kurang menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Pemahamam substansi pendidikan yang ditinggalkan oleh guru sebagai pendidik dan keterbatasan ruang kreasi terkadang menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Tujuan Pendidikan Nasional yang ingin mewujudkan anak Indonesia yang sehat, cerdas dan berakhlak mulia tampaknya baru menjadi slogan semata, karena dalam berbagai sektor kehidupan perilaku bangsa ini masih jauh dari yang telah dicita-citakan dan menjadi tujuan pendidikan nasional. Peran orang tua siswa untuk berani bersuara dan berdialog dengan pihak sekolah sangat penting terkait dengan banyaknya pungutan di sekolah dengan berbagai bentuknya. Apabila tidak ada suara dari orang tua siswa, maka bukan tidak mungkin Komite Sekolah (yang pada umumnya diisi oleh pejabat pemerintah dan pengusaha) akan memberlakukan pungutan yang tidak wajar di sebuah sekolah. Demikian juga, ketika masih kerap terjadi kekerasan terhadap anak di sekolah, maka sudah selayaknya orang tua siswa berani membuat pengaduan kepada institusi terkait (Dinas Pendidikan), maupun kepada pihak penegak hukum (bila telah dianggap sangat tidak wajar), agar pendidikan menjadi lebih baik di masa mendatang. 246
Tulisan ini lebih lanjut akan memaparkan tentang tujuan pendidikan nasional, teori belajar mengajar humanistik dan salah satu solusi (cara) mengatasi kekerasan dalam pendidikan di sekolah. TUJUAN PENDIDIKAN Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan Pendidikan menurut Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sintem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berupaya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Tujuan pendidikan yang ingin dicapai melalui proses belajar mengajar menuntut pengembangan dimensi kognitif, psikomotorik dan afektif secara terpadu. Ketiga ranah tersebut harus dikembangkan secara seimbang, tidak boleh hanya memfokuskan Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
pada salah satu atau sebagian ranah saja, akan tetapi harus mencakup kesemuanya karena ketiga ranah tersebut merupakan kesatuan yang utuh. Tujuan pendidikan yang bersifat kognitif lebih banyak berkenaan dengan perilaku berfikir (intelektual), dan perkembangannya dapat dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar diri anak. Faktor dalam adalah kondisi biologis anak yang sangat dipengaruhi oleh nutrisi dan intelegensi anak, sedangkan faktor luar adalah kebudayaan peserta didik yang banyak dipengaruhi oleh cara belajar dan cara mengajar anak (Bruner dalam Mardapi, 2004: 20). Lebih jauh Bruner menjelaskan bahwa perkembangan kognitif anak dapat dipercepat melalui pengajaran yang efektif dan lingkungan yang kondusif, serta pentingnya motivasi dalam menentukan keberhasilan belajar seseorang. Kemampuan yang penting pada ranah kognitif adalah kemampuan menerapkan konsep-konsep untuk memecahkan masalah yang ada di lapangan. Hampir semua mata pelajaran berkaitan dengan kemampuan kognitif, karena di dalamnya diperlukan kemampuan berfikir untuk memahaminya. Ranah psikomotorik berkaitan dengan ketrampilan atau kemampuan motorik yang berhubungan dengan gerak yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otak. Kemampuan psikomotorik ini dapat dikembangkan di sekolah melalui beberapa mata pelajaran yang memerlukan praktek. Kemampuan tersebut misalnya dalam bentuk gerak adaptif atau gerak terlatih (adaptive movement) dapat dikembangkan atau dilatihkan dalam mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi dalam bentuk Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
ketrampilan pemakaian peralatan laboratorium, dan ketrampilan komunikasi berkesinambungan (non-discursive communication) dapat dilatihkan dalam mata pelajaran kesenian. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai moral yang terlihat pada diri siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti sikap mereka terhadap pelajaran, berkenaan dengan etika dan nilai moral yang akan meningkatkan kedisiplinan siswa dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Menurut Popham dalam Mardapi (2004: 99), ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang, mereka yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan studi secara optimal, dan sebaliknya mereka yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu, semua guru harus mampu membangkitkan minat belajar semua siswa pada pelajaran yang diampu guru dan membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya, untuk itu semua lembaga pendidikan dalam merancang program pemebelajaran harus memperhatikan ranah afektif. Setiap siswa memiliki potensi pada dua ranah, yaitu kemampuan berfikir dan ketrampilan, namun tingkatannya dari satu siswa ke siswa yang lain bisa berbeda. Ada siswa yang memiliki kemampuan berfikirnya tinggi, namun kerampilannya rendah, dan sebaliknya, ada peserta didik yang memiliki kemampuan berfikir rendah, namun memiliki ketrampilan yang tinggi. Ada pula peserta didik yang memiliki kemampuan 247
berfikir dan ketrampilannya tinggi, dan sebaliknya, ada peserta didik yang kemampuan berfikir dan keterampilannya sedang atau rendah, tidak ada yang menonjol. Namun jarang sekali ada peserta didik yang memiliki kemampuan berfikirnya rendah dan ketrampilannya rendah, karena apabila demikian, sulit bagi mereka untuk hidup di tengah masyarakat. Hal ini merupakan keadilan dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, sehingga setiap peserta didik memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk bekal hidup di masyarakat. TEORI BELAJAR HUMANISTIK Teori belajar humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri, dan lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicitacitakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya (Budiningsih, 2002: 68). Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri, maka dari itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati kajian bidang filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori belajar ini lebih mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar. Banyak tokoh 248
penganut aliran humanistik, diantaranya adalah Kolb, Honey dan Mumford, Hubermas, Bloom dan Krathwohl. Pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan Ausubel dalam Budiningsih (2003: 68) tentang belajar bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna, yakni materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran, asalkan tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Bloom dan Krathwohl dalam Budiningsih (2003), lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar) setelah melalui peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom yang terdiri dari tiga ranah atau domain yakni: kognitif, psikomotorik dan afektif, melalui taksonomi Bloom inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran praktis, Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru dalam merumuskan tujuan-tujuan belajar yang ingin dicapai dengan rumusan yang mudah dipahami, sehingga taksonomi Bloom ini banyak dikenal dan paling popular di lingkungan pendidikan Indonesia. Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia, hal ini menjadikan teori belajar humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya, dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun asal tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan manusia. Banyak ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu mereka melakukan penelitian dengan sudut pandangnya dan menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai, maka lahirlah berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan masing-masing para ahli tersebut. Perbedaan antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut pandang semata, atau kadang-kadang hanya
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
perbedaan aksentuasi. Jadi pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama dipandang dari sudut pandang yang berlainan. Dengan demikian, teori humanistik dengan pandangannya yang eklektik, memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin dilakukan, tetapi justru harus dilakukan. Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis dan dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, serta sukar menterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih konkrit dan praktis, namun karena sifatnya yang ideal, yakni memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan-tujuan pembelajaran. Semua tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri, maka sangat perlu diperhatikan perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan diri, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan karakteristik individu dalam belajar perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran, karena seorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Teori humanistik akan sangat membantu
249
para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sangat besar. Ideide, konsep-konsep, dan taksonomitaksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakikat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran, seperti perumusan tujuan, pemilihan strategi pembelajaran, dan pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan. Komponen utama dari pengelolaan proses belajar mengajar adalah strategi dalam melaksanakan proses belajar mengajar, yakni dalam pemilihan dan menerapkan metode mengajar. Pemilihan metode mengajar ditentukan oleh karakteristik bidang studi dan perkembangan psikologis peserta didik. Karakteristik bidang studi dapat dilihat dari struktur keilmuan, jalinan berbagai konsep, prinsip, generalisasi, dan teori yang di dalamnya ada yang bersifat abstrak dan ada yang dapat dijelaskan dengan konkrit. Hasil belajar peserta didik merupakan fungsi kemampuan peserta didik dan kemampuan pendidik. Pendidik yang baik mampu mengajar peserta didik dengan berbagai tingkat kemampuan. Pendapat ini berdasarkan asumsi bahwa hampir semua orang dapat belajar apa saja, hanya waktu
250
yang dibutuhkan berbeda. Ada peserta didik yang bisa belajar cepat, ada yang lambat, ada yang normal dan rata-rata saja. Perbedaan kemampuan peserta didik membutuhkan pendekatan mengajar yang berbeda. SOLUSI MENGHADAPI KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN Paradigma manajemen pendidikan sentralistik terbukti tidak memadahi untuk menangani perubahan dan perkembangan yang ada di masyarakat, maka lahir paradigma manajemen pendidikan desentralistik. Perubahan paradigma manajemen pendidikan di level sekolah adalah dengan dilaksanakannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS dapat didefinisikan sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional (Azis, 2008: 29). Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keleluasaan dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah, dan dalam pembelajaran digunakan pendekatan PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif melakukan aktivitas bertanya dan mengemukakan gagasan. Belajar merupakan suatu proses aktif dari si
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah dari guru tentang pengetahuan. Kreatif yang dimaksud adalah agar guru mampu menciptakan kegiatan belajar yang beragam, tidak membosankan dan memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa, sedangkan yang dimaksud menyenangkan adalah guru mampu menceritakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, sehingga siswa dapat memusatkan atau mencurahkan perhatiannya secara penuh pada pelajaran. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Guru hendaknya dapat mengarahkan, membimbing dan mempermudah para siswa dalam penguasaan sejumlah konsep dasar sehingga mereka dapat membentuk struktur ilmu pengetahuannya sendiri. Tugas ini tidak mudah mengingat kemampuan siswa sekolah memiliki latar belakang kemampuan dan lingkungan belajar yang berbeda, karena itu sangat perlu ada upaya pencarian dan penerapan model pembelajaran yang tepat agar proses belajar mengajar lebih berkualitas dan humanis. Savage dan Armstrong (1996) dalam Sapriya (2009: 80) mengembangkan inkuiri sebagai salah satu bagian dari upaya guru membantu para siswa meningkatkan kemampuan berfikir, empat pendekatan lain yang dikembangkan oleh Savage dan Armstrong untuk mendorong siswa mengembangkan kemampuan berfikir adalah kemampuan berfikir kreatif (creative
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
thinking), berfikir kritis (critical thinking), kemampuan memecahkan masalah (problem solving), dan kemampuan mengambil keputusan (decision making). Meskipun model pembelajaran dengan pendekatan PAKEM ini menarik, guru tetap harus memperhatikan hak-hak anak, karena model pembelajaran ini lebih menekankan pada aktivitas siswa, maka tanpa kita sadari model pembelajaran ini dapat mengeksploitasi anak dengan berbagai tugas yang harus diselesaikan. Pendekatan ini akan lebih bermakna jika seorang pendidik atau guru tetap memperhatikan hak-hak pada anak dengan cara memadukan model pembelajaran PAKEM dengan Child Friendly Teaching Model (CFTM), yakni model pembelajaran berbasis 3 P (Provisi, Proteksi, dan Partisipasi). Provisi adalah ketersediaan kebutuhan anak, yakni seperti kasih sayang, makanan, kesehatan, pendidikan dan rekreasi. Kasih sayang merupakan kebutuhan dasar anak, maka sangat penting dikembangkan di lingkungan sekolah. Hubungan kasih sayang yang tulus dan hangat antara guru dan anak didik dapat menghilangkan rasa takut pada anak. Rasa takut yang tumbuh dalam diri anak akan menghalangi kebebasan anak dalam berekspresi, berpendapat, bertanya, menjawab dan apalagi menyela, kebebasan ini yang sebenarnya harus ditumbuhkembangkan untuk terciptanya siswa aktif dan bukan siswa yang banyak aktifitas. Kebebasan berekspresi, bertanya, dan menjawab harus ditanamkan pada anak sejak usia dini, karena pada usia ini karakter individu mulai terbentuk. Faktanya masih banyak guru atau pendidik yang belum
251
memberikan kesempatan kepada siswanya untuk berekspresi, berpendapat dan bertanya, sehingga pada diri siswa masih terdapat rasa takut, tidak percaya diri, raguragu dan rasa malu, bahkan perasaan seperti ini terbawa sampai ke perguruan tinggi. Upaya memberikan makanan tambahan pada anak, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti penyediaan makanan tambahan yang dikenal dengan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) dan Gerakan Minum Susu di sekolah-sekolah, namun karena keterbatasan kemampuan pemerintah, maka kebutuhan pemenuhan kebutuhan ini masih sangat kurang dan seringkali makanan tambahan diserahkan kepada orang tua siswa. Pemerintah juga menyediakan berbagai media pembelajaran dan fasilitas-fasilitas lain, seperti perpustakaan, laboratorium, dan lingkungan sebagai sumber belajar. Proteksi adalah perlindungan terhadap anak dari berbagai bentuk ancaman, dikriminasi, salah perlakuan dan segala bentuk pelecehan serta kebijakan yang kurang tepat sebagaimana yang dijamin oleh konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (November 1989). Proteksi merupakan persoalan yang sangat serius di Indonesia mengingat masih ditemukannya berbagai tindak kekerasan terhadap siswa, misalnya pelecehan seksual (sekalipun dalam bentuk verbal) dan hukuman fisik di berbagai sekolah, serta hukuman sistematis di sekolah-sekolah favorit yang menyebabkan anak kehilangan sekolah mereka. Partisipasi adalah hak bertindak yang digunakan siswa untuk mengungkapkan kebebasan berpendapat, bertanya, ber-
252
argumentasi dan berperan aktif di kelas dan di sekolah. Child Friendly Teaching Model (CFTM) yang berbasis pada 3 P lebih tepat diterapkan pada anak usia dini karena kebutuhan anak lebih diperhatikan, merasa nyaman dan terlindungi jauh dari bentuk ancaman dan hukuman, sehingga perkembangan mental anak dapat berkembang secara maksimal. Di samping itu, model CFTM berbasis 3P tersebut lebih melihat peran siswa aktif yang dimaksud adalah aktif dalam berpendapat, bertanya, berargumentasi, bahkan siswa diperkenankan menginterupsi guru pada saat guru sedang menjelaskan. Dengan demikian anak akan lebih berani karena diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif. PENUTUP Adanya ratifikasi hak anak, membuat anak semakin dilindungi dari berbagai macam kekerasan, termasuk kekerasan dalam proses belajar mengajar, baik yang bersifat fisik maupun non fisik (psikis). Pembelajaran dengan pendekatan PAKEM akan lebih bermakna dan humanis jika guru tetap memperhatikan hak-hak pada anak dengan cara memadukan model pembelajaran PAKEM dengan Child Friendly Teaching Model (CFTM), yakni model pembelajaran berbasis 3 P (Provisi, Proteksi, dan Partisipasi). Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
Sumbangan teori ini sangat besar dalam dunia pendidikan. Ide-ide, konsep-konsep, dan taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakikat kejiwaan manusia dan membantu guru dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran, seperti perumusan tujuan, pemilihan strategi pembelajaran, dan pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan. Proses pembelajaran di kelas untuk para siswa hendaknya dapat mengarahkan, membimbing dan mempermudah mereka dalam penguasaan sejumlah konsep dasar sehingga mereka dapat membentuk struktur ilmu pengetahuannya sendiri. Tugas ini tidak mudah mengingat kemampuan siswa sekolah memiliki latar belakang kemampuan dan lingkungan belajar yang berbeda, karena itu sangat perlu ada upaya pencarian dan penerapan model pembelajaran yang tepat agar proses belajar mengajar lebih berkualitas dan humanis.
Mardapi, Dj. 2004. Penyusunan Tes Hasil Belajar. Yogyakarta: PPS UNY. Mulyasa. 2004. Menjadi Kepala Sekolah P ro f e s i o n a l d a l a m K o n t e k s Menyukseskan MKBS dan KBK, Bandung: Remaja Rosda Karya. Sapriya. 2009. Pendidikan IPS: Konsep dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
DAFTAR RUJUKAN Asiz, Abdul. 2008. Anatomi dan Organisasi dan kepemimpinan Pendidikan Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta. Budiningsih, A. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: FIP UNY Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Te n t a n g S i s t e m P e n d i d i k a n Nasional.
Forum Ilmu Sosial, Vol. 39 No. 2 Desember 2012
253