ISLAM DAN KESETARAAN GENDER (Perspektif Al-Qu’an) Oleh: Abdul Gani Isa Abstrak The study of gender, Islam has actually been declared since the start of presence, even long before the West voiced the emancipation of women.Islam basically not deter women to achieve various achievements in the field of education and careers in public. even Islam urge every Muslim in order to gain knowledge, without gender discrimination. Islam does not prohibit women's emancipation, provided that emancipation is intended as a welfare improvement efforts life in all aspects of life and the divine rules and frames His Shari'a.Islam essentially prohibit the emancipation of women, if gender equality articulated as the freedom of a woman to equal with men in all respects, such as appearance, employment, rights and obligations and so forth. The question that arises is, whether it can likened to something that the character and nature of the different nature? This paper, aims to explain how the real Islam mem - Muslim women substantively enacted its position with laki-men. Various reconstruction and interpretation of religious texts displayed to prove the equality of men and women.Studi tentang gender, sebenarnya sudah dideklarasikan Islam sejak awal kehadirannya, bahkan jauh sebelum Barat menyuarakan emansipasi wanita. Islam pada dasarnya tidaklah menghalangi wanita untuk meraih berbagai prestasi baik di bidang pendidikan maupun karir di bidang publik. Bahkan Islam menganjurkan setiap muslim agar menimba ilmu pengetahuan, tanpa membedakan jenis kelamin. Islam tidak melarang emansipasi wanita, asalkan emansipasi ini dimaksudkan sebagai usaha-usaha perbaikan kesejahteraan hidup dalam seluruh aspek kehidupan dan dalam bingkai aturan Ilahiyah dan syariat-Nya.Islam pada dasarnya melarang emansipasi wanita, jika kesetaraan gender diartikulasikan sebagai kebebasan penuh seorang wanita untuk disamakan dengan laki-laki dalam semua hal, seperti penampilan, pekerjaan, hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah bisa disamakan sesuatu yang watak dan kodrat alamiah yang berbeda ? Tulisan ini, bertujuan memaparkan bagaimana sesungguhnya Islam memberlakukan wanita muslimah secara substantif kedudukannya dengan laki-laki. Berbagai rekonstruksi penafsiran dan teks-teks keagamaan ditampilkan untuk membuktikan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kata kunci: Islam, Gender, dan al-Qur‟an
67
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
68
Pendahuluan Dalam era kehidupan sekarang ini, kesetaraan gender telah menjadi issu sentral, tidak hanya pada tingkat nasional, tetapi sudah menjadi isu global dan mendunia. Dalam pengkajian gender dewasa ini agama mendapat tantangan baru, karena agama sering dianggap sebagai sumber masalah pelanggaran ketidak adilan gender. Pernyataan ini diperkuat dengan beberapa teks ayat alQur’an maupun al- hadits yang bisa jadi dipahami atau ditafsirkan tidak sejalan dengan spirit Islam dan semangat feminisme. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai nilai implementatif di dalam kehidupan budaya. Persepsi sebagian masyarakat menunjukkan bahwa jenis kelamin akan menentukan peran seseorang yang akan diemban dalam masyarakat. Jenis kelamin telah dijadikan sebagai atribut gender yang senantiasa digunakan untuk menentukan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status dalam masyarakat. Penentuan seperti ini telah melahirkan bias gender yang merugikan perempuan. John Naisbit dan Tovler menilai, gerakan perubahan yang terjadi masa sekarang dan masa-masa mendatang lebih mengutamakan persamaan antara kedua jenis laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai baru telah tumbuh bersamaan dengan desakan tehnologi moderen, sehingga muncul sebuah peradaban yang mendorong pembebasan beban historis yang dipikul kaum perempuan.1 Estimasi Naisbit dan Tovler di atas tidaklah berlebihan karena dalam kontek kekinian banyak sektor strategis yang menuntut ketelibatan perempuan, mengingat mereka memiliki kemampuan dalam bidang dan jasa tertentu yang bagi laki-laki mungkin sulit untuk melakukannya. Harus pula dipahami, fakta ini akan sangat menarik bila dihubungkan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam. Misi utama al-Qur’an adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk anarki, ketimpangan dan ketidak adilan. Al-Qur’an pada dasarnya sangat bijak berbicara tentang masalah gender dengan mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan dan kemitraan. Al-Qur’an tidak pula menafikan adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimation) yang menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain. Dalam al-Qur’an ditemui ada beberapa kontroversi berkaitan dengan relasi gender, antara lain asal usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak perempuan serta peran publik perempuan 2 . Jika kita membaca sepintas teks ayat-ayat yang 1 2
Jhon Naisbit, Megatrend 2000, (Jakarta: Binampa, 1992), h. 112 Lihat al-Qur’an surat an-Nur: 1 (tentang asal usul perempuan), surat an-Nisak: 11
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag
Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
69
berhubungan dengan masalah tersebut, terkesan adanya ketimpangan . Akan tetapi, bila kita menyimak secara mendalam dengan menggunakan metode analisis semantik, semiotik, hermeneutik, serta dengan memperhatikan teori asbab al-nuzul, maka dapat dipahami ayat-ayat tersebut merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan secara konstruktif di dalam masyarakat.. Prinsip-prinsip mengenai gender tersebut telah pula diberikan pemahaman yang beragam oleh para mufassirin. Akibatnya relasi ideal antara laki-laki dan perempuan sebagai makhluk Allah swt pada taraf tertentu telah terjadi distorsif, di mana pihak yang satu menjadi superior terhadap pihak yang lain. Penafsiran terhadap teks agama yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam akal telah menjadikan ia bagian inferior dari lakilaki. Akibatnya perempuan telah kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuai perannya dalam masyarakat. Bila dilihat dari segi histories, al-Qur’an merupakan sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan jender . Di antara kebudayaan dan peradaban dunia yang hidup pada masa turunya Qur’an, seperti Yunani , Romawi, Yahudi, Persia, Cina, India, Kristen, dan Arab (pra –Islam), tidak ada satupun yang menempatkan perempuan lebih terhormat dan lebih bermartabat daripada nilai-nilai yang diperkenalkan oleh Qur’an.3 Berangkat dari hal tersebut setidaknya ada dua pertanyaan yang muncul ketika mencermati topik di atas yaitu ; Pertama, apakah yang dimaksud dengan kesetaraan jender ? Kedua, bagaimana persoalan ini dilihat dari teks dan konteks dihubungkan dengan nash al-Quran dan Sunnah. Batasan Pengertian Secara etimologis, istilah” kesetaraan” berasal dari kata “tara” yang berarti “sama dalam hal tingkat dan kedudukan, banding dan imbang”4. Dan kata gender berasal dari bahasa Inggeris “gender” yang berarti “jenis kelamin laki-laki dan perempuan” 5.Menurut pengertian terminology gender berarti “ perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial”. Jelasnya ,perbedaan yang bukan kodrat atau ditentukan Tuhan,
(tentang kewarisan perempuan), surat al-Baqarah: 282 (tentang persaksian perempuan), surat an-Nisak:3 (tentang poligami), surat al-Baqarah:223 ( hak-hak reproduksi perempuan), surat alBaqarah:231 (tentang hak talak perempuan), surat al-Ahzab: 33 (tentang peran public perempuan), surat an-Nisak:34 (tentang hak politik perempuan) 3 Lihat Yvonne Yazbeck Haddad, Contemporary Islam and the Challenge of History, (New York State :University of New York, 1980) h. 56 4 HS.Sastracarito, Kamus Pembina Bahasa Indonesia, (Surabaya : Teladan, 1985) h.405 5 John Sincilar et,al, Collins Cobuild English Langguage Dictionary (London: Harper Collins Publisher, 1993) h.602
70
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang 6. Dari batasan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan kesetaraan gender di sini adalah suatu upaya untuk meletakkan kesetaraan gender secara proporsional menyangkut proses interaksi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan atas dasar nilai-nilai moral dan kodrati manusia. Teks Qur’an dan Relasi Jender Dalam antologi Ushul Fiqh, sebuah teks (baca,nash), tidak terlepas dari tiga unsur pokok: Pertama, sang pencipta bahasa (wadhi‟) yang digunakan dalam teks; Kedua, sang pengguna atau peminjam bahasa (musta‟mil); dan Ketiga, sang pemaham/penafsir teks (hamil). Sesuatu yang tidak bisa menafikan bahwa yang paling tahu arti sebuah teks Qur’an tentu hanyalah Allah swt, terutama bila Dia berposisi sebagai wadhi‟. Kita sebagai makhlukNya hanya berposisi sebagai pemaham/penafsir. Disadari pula makna sebuah kosa kata yang diciptakan oleh penciptanya seringkali tidak persis sama dengan maksud sang pengguna. Dalam perihal Qur’an, di mana Allah swt sebagai pengguna bahasa seringkali timbul masalah dalam memahami makna sebuah kosa kata, apakah ia merujuk kepada makna denotative (hakiki) atau makna konotatif (majazi). Sebagai contoh: … Artinya: “… tangan Allah di atas tangan mereka …” (QS. Al-Fath:10) Bila kata “yad” merujuk kepada makna faktual, berarti “tangan”, dan bila merujuk kepada makna simbol berarti “kekuasaan”. Dalam hal ini yang paling tahu makna teks suatu ayat hanya Allah swt, sebagai pengguna (musta‟mil). Dalam pandangan Islam segala sesuatu yang diciptakan Allah swt berdasarkan kodrat: Artinya: ” Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS, al-Qamar:49).
6 Lihat Mansour Fakih, Analisis gender dan Tranformatif Sosial (Yokyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) h.13-17
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag
Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
71
Para pakar mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah swt bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kodrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Ayat al-Qur’an yang popular dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat an-Nisak ayat 1: Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” Menurut sementara mufassirin, yang dimaksudkan dengan nafsun wahidah di sini adalah Adam dan dimaksudkan wakhalaqa minha zawjaha, adalah isteri Adam yaitu Hawa 7 . Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada perempuan yang menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada dan bahkan tidak sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian. a. Laki-laki dan Perempuan Setara di hadapan Allah Memahami fenomena perempuan dalam al-Qur’an jelas telah digambarkan dalam sejumlah ayat, yang secara tekstual mendukung konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh dapat kita lihat isyarat dalam surat al-Taubah;71: 7
Lihat Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawa‟iyul Bayan, Tafsir min Ayat al-Qor‟an, Juz, I, Makkah: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001), h. 331
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
72
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Kata “awliya” dalam ayat ini mengandung pengertian yang meliputi kerjasama bantuan dan penguasaan. Sementara isyarat menyuruh mengerjakan yang makruf meliputi segala kebajikan dan perbaikan kehidupan, termasuk menasehati dan mengritik pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk persoalan politik 8 . .Oleh sebab itu, hendaknya setiap laki-laki dan perempuan muslim senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat agar masing- masing mereka dapat memberikan berbagai kritikan dan saran diberbagai aspek kehidupan 9 .. Di sisi lain, Qur’an juga menyeru umatnya ~ laki laki dan perempuan ~ untuk bermusyawarah wa amruhum syura bainahum (QS, al-Syura: 38). Bahkan sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai pijakan untuk berpolitik bagi laki-laki dan perempuan. 10 .
b. Laki-laki dan Perempuan Sebagai Hamba Allah Di samping al-Qur’an menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki asal usul yang sama (QS, al-Nisak:1), al-Qur’an juga mengisyaratkan salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan (QS, al-Zariyat: 56).Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal menurut Qur’an bisanya diistilahkan dengan muttaqin (orang-orang yang bertakwa).dan untuk meraih derajat muttaqin ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Qur’an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal ialah para muttaqin, Allah berfirman: Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal8
M. Qurais Shihab, Perempuan Sebagai Pemimpin, Republika, Edisi 28 Nopember
9
M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2006), h. 315 M. Qurais Shihab, Wawasan …h. 316
1998 10
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag
Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
73
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (QS, alHujurat: 13). Islam hadir di dunia, salah satunya untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidak adilan, dan kezaliman termasuk berbagai bentuk ketidak adilan terhadap perempuan. Sebab kalau ditelaah lebih mendalam, tidak ada satupun teks baik al-Qur’an maupun Hadits yang memberi peluang untuk memberlakukan perempuan secara semena-mena, diskriminatif dan berbagai bentuk kekerasan. Hubungan antar manusia di dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, persaudaraan, kasih sayang dan kemaslahatan. Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara lakilaki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga. Perbedaan pendapat dalam memahami al-Qur’an tidak terlepas dari adanya perbedaan penilaian tentang apakah pernyataan al-Qur’an itu bersifat normatif atau kontekstual. Sebagai contoh dalam kaitan dengan ayat 34 surat an-Nisak: … Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)…” Jika kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga dipahami secara normatif, maka hal itu dapat menjadi aturan yang permanent sehingga tidak dapat diubah lagi. Tetapi apabila dipahami secara kontekstual, di mana kepemimpinan rumah tangga disesuaikan dengan konteks sosial tertentu, maka terjadinya perubahan merupakan sebuah keniscayaan sehingga dalam kondisi tertentu ada saatnya perempuan yang memimpin.11 Dengan demikian Islam menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki. Kesamaan tersebut antara lain dapat dilihat dari tiga segi: Pertama, dari hakikat kemanusiaannya, Islam memberikan hak kepada 11
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an, klasik dan Kontempurer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 121-123
74
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
perempuan dalam rangka peningkatan kualitas kemanusiaannya. Hak tersebut antara lain adalah waris, persaksian, aqiqah dan lain sebagainya; Kedua, Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan mendapat pahala yang sama atas amal saleh yang dikerjakan. Sebaliknya laki-laki dan perempuan mendapat azab yang sama atas pelanggaran yang diperbuat; Ketiga, Islam tidak mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antar umat manusia. Dalam hal kesetaraan tersebut, jelas bahwa perempuan sama-sama memiliki hak sebagaimana laki-laki, namun dalam hal tertentu di antara mereka memiliki hak yang lebih. Sebagaimana digambarkan tentang Aisyah, isteri Nabi. Nabi menyatakan bahwa sekitar separoh dari pengetahuan wahyu dapat diperoleh dari semua sahabat-sahabatku sedangkan separoh lainnya dari Aisyah. Aisyah adalah seorang perempuan yang diberikan status yang luar biasa oleh Allah dan disejajarkan dengan sejumlah para sahabat Nabi dalam hal pengetahuan tentang wahyu. Namun dalam hal tertentu, harus diakui, ada sementara ulama yang menolak konsep kesetaraan jender, dengan berpijak pada isyarat surat alNisak:34; “kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan”. Pendapat ini didukung oleh sejumlah mufassir seperti Ibn Katsir, al-Maraghi dan lainnya. Ibn Katsir (w,774) mengatakan, bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan, bahkan lebih baik. Karena itu mereka ditunjuk menjadi Nabi dan raja atas dasar hadits: “lan yufliha qawm wallau amrahum imraatun (HR.Bukhari)12. Pendapat yang sama juga di utarakan oleh al-Maraghi (w, 1945), bahwa laki-laki menjadi pemimpin perempuan atas dasar bahwa laki-laki dianugerahkan pisik yang kuat, dan kemampuan memberi nafkah kepada peempuan 13 , dengan beralasan surat al-Baqarah : 228, “wali al-rijal alaihinna darajah”, yaitu berupa keunggulan setingkat dalam memimpin dan lebih berpeluang dalam menciptakan kesejahteraan manusia. Di sisi lain juga kita tidak mengabaikan peran perempuan dalam keikut sertaan mereka dalam menegakkan dakwah Islam. Di masa Nabi sumbangsih perempuan untuk menyebar syi’ar Islam dipelopori oleh para isteri Nabi sendiri, seperti Khadijah telah menempatkan dirinya sebagai pendukung utama dalam penegakan risalh Ilahi ~ berperan sebagai pencari nafkah ~ Ini membuktikan bahwa di masa Nabi perempuan dapat bekerja dan mengembangkan inisiatifnya. Rasulullah saw bersabdaL man isthata‟a minkum an yanfa‟a akhahu fal yanfa‟hu (HR. Muslim)14, (siapa saja yang bisa menebar manfaat kepada saudaranya hendaklah ia melakukannya). Kata “man” 12
Abul Fida`Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adhim, Juz, 1,(Beirut: Libanon Muassasah al-Kutub as-Tsaqafiyah, 1993), h. 165 13 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 27 14 Lihat Jalal al-Din al-Sayuti, al-Jami‟ al-Shaghir , Jil. 2, (Surabaya: al-Higayah, tt), h. 163; Adapula riwayat yang menyebutkan, “ sebaik-baik perempuan di ala mini ada empat
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag
Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
75
di sini bersifat umum, di mana dapat merujuk kepada laki-laki ataupun perempuan. Dalam hadits lain juga disebutkan man lam yahtamma bi amr almuslimin falaitsa minhum (siapapun ~laki-laki atau perempuan~ yang tidak peduli dengan kepentingan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka). Hadits ini meliputi kepentingan umat Islam dan bersifat fleksibel sesuai latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang15. Kata “man” dalam hadits ini mencakup laki-laki dan perempuan, demikian juga kepentingan umat Islam mulai dari yang sederhana seperti mengatur rumah tangga sampai kepada mengelola sebuah Negara yang besar. Di sisi lain sejarah telah mencatat tentang keterlibatan perempuan dalam kancah peperangan, termasuk para isteri Rasul sendiri, seperti hadits dari Rubaiyi Muawwiz ra, katanya: Kami ikut berperang bersama Nabi saw, kami memberikan minuman pasukan dan melayani mereka, kami membawa orangorang yang terluka dan terbunuh ke Madinah. Dari sekian kisah tersebut di atas memberikan penjelasan bahwa Nabi meletakkan sekaligus melaksanakan hubungan setara antara laki-laki dan perempuan, seperti penjelasan tersebut di atas. Ilustrasi tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, sama sekali tidaklah berarti bahwa kaum perempuan menghilangkan fitrahnya, sebab secara kodrat perempuan memiliki beberapa peran, baik sebagai isteri bagi suaminya maupun sebagai ibu dan sekaligus sebagai pendidik bagi anakanaknya. Oleh sebab itu tidaklah logis (ghair ma‟qul) bila kaum perempuan larut dan tenggelam tanpa batas di luar kefitrahan dan kodratinya. Nampaknya begitu luas bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan segala potensi dan daya yang dimiliki untuk ikut berpartsipasi demi kemajuan bangsa dan negara saat ini, namun tidak pula dipungkiri kompleksitas persoalan yang setiap saat harus dihadapi perempuan. Mudah-mudahan setiap problema yang muncul bila disikapi dengan arif dan saling pengertian, menghasilkan suasana marhamah, nyaman, damai dan penuh kebahagiaan dalam hidup ini. Penutup Konsep relasi gender di dalam al-Qur’an sebagaimana halnya konsepkonsep sosial kemasyarakatan lainnya tidaklah banyak diatur di dalamnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan selama ini terhadap ayat gender, dapat
yaitu: Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiah isteri Fir‟un, Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik memberlakukan keluarganya…”Lihat juga, Jalal al-Din al-Sayuti, Jami‟…h. 1 15 M. Qurais Shihab, Wawasan …h. 371
76
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
disimpulkan bahwa Qur’an cenderung memberikan kesempatan kepada para ahlinya untuk menata pembagian peran antara laki-laki dan perempuan sebaik mungkin dan saling menguntungkan di antara keduanya dalam menjalankan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga terwujudnya suasana serasi dan harmonis di tengah galaunya kehidupan ini. Konsepsi tentang relasi gender dalam Islam seperti sudah dijelaskan, mengacu kepada ayat-ayat esensial yang sekaligus menjadi tujuan umum syariat (maqasid al-syariah), mewujudkan keadilan dan kebajikan (QS, alNahl: 90), keamanan dan ketenteraman, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada keburukan (QS, Ali Imran: 104), semua nilai-nilai tersebut sifatnya adalah universal. Citra perempuan ideal dalam al-Qur’an tidak sama dengan citra perempuan yang berkembang dalam sejarah dunia Islam. Citra perempuan yang diidealkan al-Qur’an ialah perempuan yang memiliki kemandirian politik (QS, al-Mumtahanah:12), sebagaimana sosok ratu Bulqis, perempuan penguasa yang mempunyai kerajaan (QS,al-Naml: 97), juga seperti yang dialami Nabi Musa di Madyan, yaitu perempuan pengelola peternakan (QS, al-Qashas: 23), dan perempuan yang memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi, (QS, at-Tahrim:11). Perempuan juga dibenarkan untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan dan kemungkaran (QS, at-Taubah : 71), karena laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi sebagai khalifah fil ardh dan hamba Allah swt.
Dr. H. Abdul Gani Isa,S.H.,M.Ag
Islam dan Kesetaraan Gender (Perspemtif Al-Quran)
77
DAFTAR PUSTAKA Abu al-Fida’ bin Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adzim, Beirut ; Libanon, Muassasah al-Kutub ats-Tsaqafiyah, 1993, h. 165 Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy,Juz, 2, Beirut: Dar al-Fikr, t,t, h. 27 HS, Sastracarito, Kamus Pembina Bahasa Indonesia, Surabaya: Teladan, h. 405 H.U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009,. 40 Jalal al-Sayuti, al-Jami‟ al-Shagir, Surabaya: al-Hidayah, tt, h. 163 Jhon Naisbit, Megatren 2000, Jakarta: Binampa, h. 112 John Sincilar et,al, Collins Cobuild English Langguage Dictionary, London: Harper Collins Publisher, 1993, h. 602 Mansour Fakih, Analisis Jender dan Trasformasi Sosial, Yokyakarta: pustaka Pelajar, 1996, h. 13-14 M.Quraish Shihab, Perempuan Sebagai Pemimpin, Republika, edisi 28 Nopember 1998 -------, Wawasan al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 2006, h. 315 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawa‟iyul Bayan, Tafsir min Ayat al-Qur‟an, Juz, I, Makkah: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001), h. 331 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz, 6, Libanon: Dar al-Fath Li al-I’lam alArabi, tt, h. 68 Yvonne Yazbeck Haddad, Contemporary Islam and the Challenge of History, New York State, University of New York, 1980 h, 56 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam kajian Tafsir al-Qur‟an, klasik dan kontemporer, Yolyakarta: Pustaka Pelajar ,1997, h. 121-122