II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Potensi dan Karakteristik Rumput Laut di Indonesia Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara dan sumber
pendapatan bagi masyarakat pesisir. Selain dapat digunakan langsung sebagai bahan makanan, beberapa hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, karaginan, dan alginat merupakan senyawa yang cukup penting dalam industri. Indonesia di samping mengekspor rumput laut juga mengimpor hasil-hasil olahannya yang dari tahun ke tahun makin meningkat jumlahnya. Sampai saat ini industri pengolahan di Indonesia yaitu agar-agar masih secara tradisional dan semi industri, sedangkan untuk karaginan dan alginat belum diolah di dalam negeri (Istini dkk., 1985). Rumput laut merupakan alga makrobentik. Bentuknya sangat menarik dan merupakan produsen primer di laut. Rumput laut memiliki pigmen-pigmen dengan tipe berbeda, seperti klorofil, karotenoid, phycobilin, dan pigmen lain yang dapat mensintesis bahan organik dari bentuk yang sederhana yaitu air, karbondioksida, dan menggunakan cahaya matahari sebagai energi (Trono, 2004). Akhir-akhir ini banyak industri memproduksi berbagai bahan yang bahan mentahnya berasal dari rumput laut. Produk industri terpenting dari rumput laut adalah phycocolloid dari rumput laut merah dan rumput laut coklat. Phycocolloid dari kedua kelompok rumput laut tersebut sangat dibutuhkan industri sebagai larutan emulsi, gelling, stabilisator, suspensi dan bahan pembeku/perekat. Istilah "phycocolloid" telah didefinisikan sebagai polisakarida yang kompleks dari rumput laut merah dan rumput laut coklat, yang membentuk sistem koloidal
ketika dilarutkan dalam air (Susanto, 2008). Bentuk water-soluble-polysaccharide merupakan bagian utama dari polisakarida pada rumput laut. Kemudian istilah polisakarida berkembang menjadi lebih spesifik dalam berbagai bidang ilmu. Polisakarida yang utama dan penting dari golongan rumput laut merah adalah agar dan karaginan. Kedua polisakarida ini banyak dimanfaatkan di berbagai bidang industri (Susanto, 2008). Rumput laut merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni apabila ditinjau secara biologi. Rumput laut mengandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral, dan juga senyawa bioaktif (Putra, 2006). Rumput laut juga mengandung berbagai vitamin seperti vitamin D, K, Karotenoid (prekursor vitamin A), vitamin B kompleks, dan tokoferol. Kandungan polisakarida yang tinggi dan sebanding dengan glukan (polimer glukosa) serta polisakarida tersulfatasi (Soraya, 2005). Menurut Aslan (1991) rumput laut juga mengandung berbagai macam zat dan bahan yang berguna dalam berbagai industri. Zat-zat dan bahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Algin Algin adalah bahan yang dikandung oleh Phaepophyceae yang sangat dikenal dalam dunia industri dan perdagangan, karena banyak manfaatnya. Dalam dunia industri, algin berbentuk asam alginik (Alginic acid) atau alginat (Aslan, 1991).
2. Agar-agar Agar-agar merupakan senyawa ester asam sulfat dari senyawa galaktan, tidak larut dalam air dingin, tetapi larut dalam air panas dengan membentuk gel (Istini dkk., 1985). Rumput laut penghasil agar-agar antara lain Gracilaria, Gelidium, dan Ahnfeltia (Aslan, 1991). 3. Karaginan Karaginan merupakan polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut merah dari jenis Chondrus, Eucheuma, Gigartina, Hypnea, Iradea, dan Phyllophora. Karaginan dibedakan dengan agar berdasarkan kandungan sulfatnya, karaginan mengandung minimal 18 % sulfat, sedangkan agar-agar hanya mengandung sulfat 3,4 % (Istini dkk., 1985).
B. Rumput Laut Merah Rumput laut merah atau Rhodophyta adalah salah satu kelas dari rumput laut berdasarkan zat warna atau pigmentasinya. Warna merah pada rumput laut ini disebabkan oleh pigmen fikoeritrin dalam jumlah banyak dibandingkan pigmen klorofil, karoten, dan xantofil (Anonim, 2008b). Sebagian besar rumput laut merah hidup di laut, banyak terdapat di laut tropika. Sebagian kecil hidup di air tawar yang dingin dengan aliran deras dan banyak oksigen. Selain itu ada pula yang hidup di air payau. Rumput laut merah yang banyak ditemukan di laut dalam adalah Gelidium dan Gracilaria, sedang Euchema spinosum ditemukan di laut dangkal (Anonim, 2008b).
Menurut Wanda (2007), pengelompokan rumput laut menurut perbedaan warna didasarkan atas perbedaan kandungan pigmennya. Rumput laut dari kelompok merah memiliki pigmen dominan yaitu fikoeritrin (phycoerethrin) dan fikosianin (phycocyanin) yang dapat menimbulkan efek warna merah. Sebagai indikasi untuk rumput laut merah, yaitu apabila terjemur sinar matahari akan tampak berubah, warna asalnya menjadi merah-ungu, kemudian menjadi putih karena kehilangan pigmennya. Kandungan senyawa bioaktif dari rumput laut merah sebagian telah banyak diketahui, namun pemanfaatan sumber bahan bioaktif dari alga merah belum banyak dilakukan. Berdasarkan proses biosintesisnya, rumput laut merah kaya akan senyawa turunan dari oksidasi asam lemak yang disebut ocylipin (Putra, 2006). Menurut Bansemir dkk. (2004), kandungan senyawa kimia secara umum yang ditemukan pada rumput laut merah yaitu turunan dari sesquiterpene, terutama dari golongan Laurencia chondrioides. Eucheuma sp banyak mengandung senyawa karbohidrat yaitu polisakarida dengan berat molekul terdiri dari unit D-galaktosa-4-sulfat dan 3,6-anhydro-D-galaktosa (Winarno, 1990). Menurut Dahuri (2003), jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis antara lain Gelidium, Gracilaria, Hypnea, Eucheuma, Gigartina, dan Gelidiopsis. Rumput laut merah, sejak berabad-abad silam telah dimanfaatkan sebagai bagian komposisi
dari
makanan,
minuman,
dan
pengobatan.
Seiring
dengan
perkembangannya, penggunaannya semakin luas di antaranya sebagai pembuat gel, stabilizer, pengental sup, sebagai obat-obatan dalam industri farmasi, dan medium kultur bakteri (Soraya, 2005).
C. Morfologi, Sistematika, dan Kandungan Senyawa Gelidium sp Gelidium memiliki panjang kurang lebih 20 cm dan lebar 1,5 mm. Batang utamanya tegak dengan percabangan yang biasanya menyirip. Thallusnya berwarna merah, coklat, hijau-coklat atau pirang. Organ reproduksinya berukuran mikroskopis. Sistokarp mempunyai lubang kecil (osteolo) pada dua belah sisi thallus, tetraspora membelah krusiat atau tetrahedral (Aslan, 1991). Gambar Gelidium sp dapat dilihat pada Gambar 1.
b
a Gambar 1. Gelidium sp (Sumber : Anonim, 2008a) Keterangan : a. “Batang” utama, b. Thallus Menurut Hatta & Dardjat (2001), Gelidium sp memiliki sistematika sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Spesies
: Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Gelidiales : Gelidiaceae : Gelidium : Gelidium sp
Menurut Aslan (1991), berbagai jenis Gelidium di Indonesia dan negara lain dimanfaatkan sebagai bahan baku pabrik agar-agar dalam negeri dan sebagai komoditas ekspor. Kandungan agar-agarnya berkisar antara 12 - 48 %, tergantung
jenisnya. Secara umum, Gelidium sp mengandung 14 – 20 gram air, 0,4 gram lemak, 16,1-22,5 gram protein, 10,5-13,5 gram serat, dan 3,5-8,5 gram mineral (Reine & Trono, 2002). Gelidium yang memiliki arti “gelatin”, banyak digunakan secara komersial dalam pembuatan agar, bahan makanan, dan industri farmasi, khususnya sebagai medium kultur dalam penelitian (Littler dkk., 1989)
D. Kandungan Senyawa Bioaktif Gelidium sp yang Berfungsi sebagai Antimikrobia Menurut penelitian Ku dkk. (2008), Gelidium sp mengandung senyawa katekin. Katekin adalah antioksidan yang kuat, lebih kuat daripada vitamin E, C, dan betakaroten. Ada beberapa jenis katekin, yaitu epigallocatechin-gallate (EGCG), epigallocatechin (EGC), epicatechin-gallate (ECG), gallocatechin, dan catechin (Khomsan, 2003). Katekin merupakan suatu senyawa polifenol yang berpotensi sebagai antioksidan dan antibakteri (Miller, 1996). Katekin bersifat asam lemah, sukar larut dalam air, dan sangat tidak stabil di udara terbuka. Bersifat mudah teroksidasi pada pH mendekati netral (pH 6,9) dan lebih stabil pada pH lebih rendah (2,8 dan 6,9). Katekin juga mudah terurai oleh cahaya dengan laju reaksi lebih besar pada pH rendah (3,45) dibandingkan pH 4,9 (Lucida, 2006). Struktur kimia dari katekin dapat dilihat pada Gambar 2. Dalam penelitian Kuwabara dkk. (2002), senyawa katekin dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus FDA209P, Salmonella enteritidis IID604, dan Escherichia coli 01. Pada penelitian Kuwabara dkk. (2002) juga disebutkan bahwa jenis katekin yang memiliki aktivitas antibakteri yang paling kuat adalah epigallocatechin (EGC).
Berdasarkan penelitian Shimamura dkk. (2007), diketahui bahwa katekin berikatan dengan lapisan peptidoglikan pada dinding sel sehingga lapisan peptidoglikan tersebut meluruh dan menyebabkan kerusakan pada dinding sel, hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri dari katekin adalah bakteriolitik karena dapat merusak dinding sel dan menyebabkan sel menjadi lisis. Aktivitas antibakteri katekin terhadap sesama bakteri Gram negatif pun bervariasi, hal ini tergantung pada lapisan peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Menurut Susanto (2008), air rebusan dari Gelidium (decoction) dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit hemorrhoids dan gangguan pencernaan (terutama lambung). Hal ini berhubungan dengan kemampuan senyawa katekin yang terkandung dalam Gelidium sp untuk menghambat pertumbuhan Escherichia coli dan Salmonella typhi (Wahyu, 2008).
Gambar 2. Struktur Kimia Katekin (Sumber: Anonim, 2009b).
E. Metode Ekstraksi Kandungan kimia dari suatu tanaman atau simplisia nabati yang berkhasiat obat umumnya mempunyai sifat kepolaran yang berbeda-beda, sehingga perlu untuk dipisahkan secara selektif menjadi kelompok-kelompok tertentu. Serbuk
simplisia diekstraksi berturut-turut dengan pelarut yang berbeda polaritasnya (Harbone, 1987). Proses ekstraksi merupakan proses penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dengan zat yang diinginkan larut. Bahan mentah obat berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tidak perlu proses lebih lanjut kecuali dikumpulkan dan dikeringkan. Tiap bahan mentah obat berisi sejumlah unsur yang dapat larut dalam pelarut tertentu, hasil dari ekstraksi disebut ekstrak yang tidak mengandung hanya satu unsur saja tetapi berbagai macam unsur, tergantung pada kandungan tanaman obat yang digunakan dan kondisi dari ekstraksi (Voigt, 1995). Menurut Harbone (1987), prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam senyawa non-polar. Menurut Darwis (2000), ada beberapa metode ekstraksi senyawa yang umum digunakan, antara lain : 1. Maserasi Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang digunakan pada suhu ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses
maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut. 2. Perkolasi Merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga pelarut akan membawa senyawa organik bersama-sama pelarut. Efektifitas dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan. Keuntungan dari metode ini adalah tidak diperlukannya proses pemisahan ekstrak dari sampel, sedangkan kerugiannya selama proses pelarut menjadi dingin sehingga tidak melarutkan senyawa dari sampel secara efisien. 3. Sokletasi Penggunaan soklet dengan pemanasan dan pelarut akan dapat dihemat karena terjadinya sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel. Proses ini sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas. 4. Destilasi uap Proses destilasi uap lebih banyak digunakan untuk senyawa organik yang tahan pada suhu cukup tinggi, yang lebih tinggi dari titik didih pelarut yang digunakan. Pada umumnya lebih banyak digunakan untuk minyak atsiri. Keuntungan dari metode ini antara lain kualitas ekstrak yang dihasilkan cukup baik, suhu dan tekanan selama proses ekstraksi dapat diatur, dan waktu yang diperlukan singkat.
5. Pengempasan Metode ini lebih banyak digunakan dalam proses industri seperti pada isolasi senyawa dari buah kelapa sawit dan isolasi katekin dari daun gambir. Proses ini tidak menggunakan pelarut. Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang dilakukan dengan cara merendam serbuk bahan dalam larutan penyari. Metode ini digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengembang dalam pelarut, serta tidak mengandung benzoin. Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya mudah ditemukan dan pengerjaannya sederhana (Mustofa, 2008). Kerugian dari metode maserasi antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin (Sudjadi, 1986). Pembuatan ekstrak dengan metode maserasi mengikuti syarat yaitu bahan dihaluskan dengan cara dipotong-potong atau dibuat serbuk, kemudian disatukan dengan bahan pengekstraksi (Voigt, 1995). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari, menurut pengalaman 5 hari telah memadai (Voigt, 1995). Metode ini tidak menggunakan pemanasan, sehingga zat aktif yang terkandung dalam bahan tidak rusak. Selama maserasi bahan disimpan di tempat yang terlindungi dari cahaya langsung untuk mencegah reaksi perubahan warna (Voigt, 1995).
Ekstraksi sinambung dilakukan dengan menggunakan alat Soklet. Pelarut penyari yang ditempatkan di dalam labu akan menguap ketika dipanaskan, melewati pipa samping alat Soklet dan mengalami pendinginan saat melewati kondensor. Pelarut yang telah berkondensasi tersebut akan jatuh pada bagian dalam alat soklet yang berisi sampel dibungkus kertas saring dan merendamnya hingga mencapai bagian atas tabung sifon. Satu daur sokletasi dapat dikatakan telah terlewati apabila alat soklet berisi sampel telah terendam pelarut sampai bagian atas tabung sifon, kemudian seluruh bagian pelarut tersebut akan tertarik dan ditampung pada labu tempat pelarut awal. Proses ini berlangsung terus menerus sampai diperoleh hasil ekstraksi yang dikehendaki (Harbone, 1987). Alat soklet terdiri dari labu destilasi sebagai tempat menampung pelarut dan ekstrak, tabung sifon sebagai tempat sampel dan tempat terjadinya ekstraksi, pipa di samping tabung sifon sebagai jalur pelarut yang menguap kemudian didinginkan dan akan jatuh ke dalam tabung sifon (Gambar 3).
d
c b
a Gambar 3. Alat Soklet (Sumber : Koleksi pribadi) Keterangan : a = labu tempat pelarut, b = tabung sifon, c = pipa samping tabung sifon, d = pendingin Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut,
misalnya heksan : diklormetan = 1 : 1, atau pelarut yang diasamkan atau dibasakan, karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda dalam pelarut cair di dalam wadah (Sudjadi, 1986). Keuntungan ekstraksi dengan cara sokletasi adalah pelarut yang digunakan lebih sedikit dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat dibandingkan dengan maserasi atau perkolasi. Kerugian cara ini adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa-senyawa termolabil (Harbone, 1987).
F. Jenis dan Sifat Pengekstrak Pelarut organik berdasarkan konstanta dielektrikum dapat dibedakan menjadi dua yaitu pelarut polar dan non-polar. Konstanta dielektrikum dinyatakan sebagai gaya tolak menolak antara dua pertikel yang bermuatan listrik dalam suatu molekul. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya maka pelarut bersifat semakin polar. Pelarut polar merupakan pelarut yang dimiliki gugus hidrokarbon. Konstanta dielektrikum dari beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 1 (Sudarmadji, 1996). Tabel 1. Konstanta dielektrikum pelarut organik Pelarut Besarnya konstanta n-heksan 1,89 Eter 1,90 Khloroform 4,81 Etil asetat 6,02 Etanol 24,30 Metanol 33,60 Air 80,40 Sumber : Sudarmadji (1996) Menurut Andarwulan dkk (1996), kandungan kimia yang bersifat polar akan lebih mudah larut dalam pelarut yang bersifat polar, sedangkan komponen
yang bersifat non-polar akan lebih mudah larut dalam pelarut non-polar juga. Senyawa organik memiliki afinitas yang berbeda terhadap sifat polaritas dari suatu cairan pengekstrak sehingga diperlukan macam pelarut yang berbeda tingkat polaritasnya. Ekstraksi akan menyebabkan pemisahan antara senyawa yang mempunyai kelarutan yang besar (mudah larut) dengan senyawa yang memiliki kelarutan yang lebih kecil dalam pelarut tersebut. Etanol merupakan pelarut serbaguna, dapat menyatu dengan air dan dengan sebagian besar bahan organik yang bersifat cair, termasuk zat cair nonpolar seperti hidrokarbon alifatik. Selain itu, etanol juga digunakan sebagai pelarut dalam melarutkan bahan obat-obatan etanol juga dikenal sebagai etil alkohol, mudah terbakar, dan mempunyai rumus kimia C2H5OH. Etanol memiliki titik cair -114,3 °C dan titik didih 78,4 °C (Anonim, 2000). Menurut Voigt (1995), etanol dapat memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Etanol dapat mengendapkan bahan obat dan juga dapat menghambat kerja enzim. Keuntungan dari etanol sebagai cairan pengekstrak adalah etanol bersifat lebih selektif, kapang dan bakteri sulit tumbuh dalam etanol 20 %, etanol bersifat tidak beracun, dapat bercampur dengan air pada berbagai perbandingan, dengan kadar etanol 70 % dapat dihasilkan suatu bahan aktif yang optimal karena bahan pengotor yang ikut dalam cairan pengekstraksiannya hanya dalam skala kecil (Anonim, 1986). Menurut penelitian Sidharta dkk. (2007), beberapa rumput laut dari Pantai Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta yang diekstrak dengan menggunakan pelarut etanol, metanol, aquades, benzen, dan heksan menunjukkan bahwa ekstrak rumput
laut yang memiliki aktivitas antibakteri paling tinggi adalah ekstrak rumput laut yang diekstrak dengan menggunakan etanol.
G. Mikrobia Uji Mikrobia uji yang digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri ekstrak Gelidium sp adalah Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Kedua mikrobia tersebut merupakan mikrobia patogen yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada manusia (Adnyana dkk., 2004). Escherichia coli (Gambar 4) merupakan bakteri berbentuk batang pendek, Gram negatif yang bergerak menggunakan flagela panjang (Junior & Chan, 1988). Menurut Johnson (1994), Escherichia coli memiliki sistematika sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Spesies
: Bacteria : Protobacteria : Gamma proteobacteria : Enterobacteriales : Enterobacteriaceae : Escherichia : Escherichia coli
Walaupun E. coli adalah bagian flora normal usus, E. coli bertahun-tahun dicurigai sebagai penyebab diare sedang sampai gawat yang kadang-kadang timbul pada manusia dan hewan. Walaupun hal ini sukar dibuktikan, kini telah ditetapkan bahwa berbagai galur E. coli mungkin menyebabkan diare dengan salah satu dari dua mekanisme: (1) dengan produksi enterotoksin yang secara tidak langsung menyebabkan kehilangan cairan, dan (2) dengan invasi yang sebenarnya lapisan epitelium dinding usus, yang menyebabkan peradangan dan kehilangan cairan (Volk & Wheeler, 1989). Escherichia coli yang menyebabkan
diare akut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu enteropatogenik (tidak berbahaya bagi orang dewasa, tetapi sering menyebabkan diare pada bayi), enteroinvasif (cukup membahayakan, karena dapat menyebabkan disentri), dan enterotoksigenik (menyebabkan travelers diarrhea atau diare pada para pelancong) (Junior & Chan, 1988).
X
Gambar 4. Escherichia coli dengan menggunakan mikroskop elektron (Sumber : Anonim, 2009c). Keterangan X : Sel Escherichia coli Menurut Johnson (1994), Salmonella typhimurium memiliki sistematika sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Spesies
: Bacteria : Protobacteria : Gamma proteobacteria : Enterobacteriales : Enterobacteriaceae : Salmonella : Salmonella typhimurium
Salmonella (Gambar 5) merupakan bakteri Gram negatif, tidak berspora dan panjangnya bervariasi. Kebanyakan Salmonella bergerak dengan flagelum peritrik. Salmonella tumbuh cepat pada kultur biasa tetapi tidak meragikan sukrosa dan laktosa (Johnson, 1994). Bakteri ini menghasilkan asam dan beberapa gas dari glukosa dan manosa. Salmonella bisa hidup dalam air yang dibekukan.
Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu misalnya hijau brilian, natrium tetrationat, dan natrium dioksikholat (Johnson, 1994).
X
Gambar 5. Salmonella typhimurium dengan menggunakan mikroskop elektron (Sumber : Anonim, 2009d). Keterangan X : Sel Salmonella typhimurium H. Aktivitas Antibakteri dan Efeknya Antibakteri
merupakan
suatu
senyawa
yang
digunakan
untuk
mengendalikan pertumbuhan mikrobia yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyakit dan adanya infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan bahan oleh mikroorganisme (Sulistyo, 1971). Menurut Madigan dkk. (2000), antimikrobia dapat memberikan efek pertumbuhan yang bervariasi. Antimikrobia mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikrobia berdasarkan sifat toksisitas selektif, yaitu: a. Bakteriostatik Antimikrobia yang memberikan efek menghambat pertumbuhan mikrobia tetapi tidak membunuh. Pemberian anti mikrobia pada fase logaritmik menyebabkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap selama waktu inkubasi (Gambar 6).
Jumlah Sel Penambahan antimikrobia
Ket : ---- Jumlah Sel Total ___ Jumlah Sel Hidup
Waktu
Gambar 6. Efek antimikrobia yang bersifat bakteriostatik setelah penambahan antimikrobia pada kultur yang berada pada fase logaritmik (Sumber : Madigan dkk., 2000) b. Bakteriosidal Efek antimikrobia dapat membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel. Pemberian anti mikrobia pada fase logaritmik menyebabkan jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup berkurang (Gambar 7).
Jumlah Sel
Penambahan antimikrobia
Ket : ---- Jumlah Sel Total ___ Jumlah Sel Hidup
Waktu
Gambar 7. Efek antimikrobia yang bersifat bakteriosidal setelah penambahan antimikrobia pada kultur yang berada pada fase logaritmik (Sumber : Madigan dkk., 2000) c. Bakteriolitik Efek antimikrobia dapat menyebabkan sel menjadi lisis sehingga jumlah sel total berkurang, yang ditandai terjadinya kekeruhan setelah penambahan agen. Pemberian anti mikrobia pada fase logaritmik menyebabkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup berkurang (Gambar 8).
Jumlah Sel
Penambahan antimikrobia
Ket : ---- Jumlah Sel Total ___ Jumlah Sel Hidup
Waktu
Gambar 8. Efek antimikrobia yang bersifat bakteriolitik setelah penambahan antimikrobia pada kultur yang berada pada fase logaritmik (Sumber : Madigan dkk., 2000) I. Antibiotik Streptomisin dihasilkan oleh Streptomyces griseus, suatu bakteri tanah yang diisolasi oleh Waksman dan rekan-rekannya, yang melaporkan mengenai aktivitas antibiotik pada tahun 1944. Streptomisin menjadi antibiotik utama untuk kemoterapi tuberkolosis, namun resistensi berkembang sangat cepat terhadap antibiotik ini (Pelczar & Chan, 1988). Streptomisin termasuk ke dalam antibiotik golongan aminoglikosida, yaitu antibiotik yang terdiri dari gula amino yang diikat oleh ikatan glikosida (Madigan dkk., 2000). Struktur kimia dari streptomisin dapat dilihat pada Gambar 9. Streptomisin memiliki efek bakterisida dengan cara berikatan pada salah satu protein dalam subunit ribosom 30S. Pengikatan protein tersebut menyebabkan pembacaan yang salah pada mRNA dan mencegah gerakan ribosom setelah terikat pada asam amino pertama untuk membentuk protein. Hasilnya mRNA terikat hanya pada ribosom tunggal pada tempat permulaannya dan ribosom tersebut tidak dapat bergerak (Volk & Wheeler, 1993).
Gambar 9. Struktur Kimia Streptomisin (Sumber : Anonim, 2009e) Ampisilin adalah antibiotik golongan penisilin semisintetik, dipakai secara peroral dan parenteral. Ampisilin memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif ( Ringoringo dkk., 2008). Struktur ampisilin dapat dilihat pada Gambar 10. Ampisilin tergolong ke dalam antibiotik β-laktam. Perbedaan antara ampisilin dan penisilin terletak pada gugus aminonya. Pada ampisilin, gugus amino membantu ampisilin menembus membran terluar dari bakteri. Aktivitas antibakteri ampisilin dapat dilihat dari kemampuannya menghambat enzim transpeptidase. Enzim ini sangat dibutuhkan dalam biosintesis dinding sel, sehingga apabila enzim ini terhambat maka dinding sel tidak terbentuk sempurna dan sel akan menjadi lisis, oleh karena itu ampisilin memiliki aktivitas antibakteri bakteriolitik (Anonim, 2009a). X
Gambar 10. Struktur Kimia Ampisilin (Sumber : Anonim, 2009a) Keterangan : X = cincin β-laktam
J. Hipotesis 1. Maserasi selama 6 hari dan daur sokletasi sebanyak 2 kali menghasilkan ekstrak Gelidium sp dengan aktivitas antibakteri maksimal terhadap Escherichia coli maupun Salmonella typhimurium. 2. Sokletasi menghasilkan ekstrak Gelidium sp dengan aktivitas antibakteri yang lebih efektif terhadap Escherichia coli maupun Salmonella typhimurium dibandingkan dengan maserasi. 3. Ekstrak Gelidium sp memiliki aktivitas antimikrobia yang setara dengan ampisilin dan streptomisin dalam menghambat Escherichia coli maupun Salmonella typhimurium. 4. Sifat penghambatan ekstrak Gelidium sp terhadap Escherichia coli maupun Salmonella typhimurium adalah bakteriolitik.