HUBUNGAN SIKAP KERJA DAN KINERJA DENGAN PROFESIONALISME Oleh : Muhamad Arman Dosen Universitas Surapati, Jakarta
Abstract There are some variable which deal with work professionalism work like variable of attitude work and the performance. variable of Attitude work consisted of six factor and variable of performance also consisted of six factor. The objective of this research are know factor of determinant from each variable which deal with professionalism work. Method used in research is cunducted with approach survey. Survey done by distributing questioner to responder. Respondent taken are employees of construction company. Total respondent is 30. After statistical test are obtained the determinant factor are requirement feel safe and peaceful variable of attitude work and the factor result quantity of reached job according to time for the performance. Both having coefficient of determinant equal to 88.3%.. thereby there are 11.7% the other factors which not yet been identified Keyword: professionalism, attitude work, performance, construction company.
Pendahuluan Dalam mengembangkan suatu organisasi, diperlukan tenaga kerja yang terampil dalam menjalankan tugas profesinya. Untuk itu diperlukan tenaga kerja yang memiliki dedikasi, loyalitas, bermental baik, berdaya guna, bersih, bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawab sehingga para karyawan tersebut dalam menjalankan profesinya dengan baik. Selanjutnya bahwa suatu organisasi yang mampu bekerja efektif dan efisien tidak hanya tergantung pada modal finansial yang besar, peralatan yang berteknologi tinggi, fasilitas yang lengkap maupun tersedianya bahan baku yang baik, tetapi perlu mendapatkan dukungan sumber daya manusia yang bermutu dan cukup jumlahnya. Sementara itu, perkembangan kehidupan menuntut juga perubahan yang cepat. Dalam upaya peningkatan Sumber Daya Manusia sekarang ini semakin terasa dibutuhkan di setiap bidang pembangunan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, yang merata material dan spiritual, berdasarkan Pancasila. Adanya sumber daya manusia yang kurang bermutu dalam melaksanakan tugas pekerjaannya, biasanya dapat mengakibatkan tujuan organisasi tidak tercapai secara optimal. Untuk mengatasi kendala tersebut, maka kepada mereka yang masih dipertahankan untuk bekerja perlu ditingkatkan profesionalisme kerja dan sikap
atau perilaku yang baik sehingga kinerja dapat dipertanggungjawabkan atau dapat dikatakan professional. Untuk menentukan tingkat kinerja dilakukan dengan evaluasi kinerja dan dimaksudkan untuk dapat mengukur sejauhmana baik atau buruk suatu sistem kerja yang sedang berjalan atau beroperasi. Evaluasi kinerja yang dilakukan bertujuan semata–mata untuk pembangunan kinerja yang diarahkan agar menciptakan karyawan yang lebih kreatif, efektif, bersih dan berwibawa serta mampu melaksanakan semua tugas umum dan pembangunan dengan baik. Dalam hubungan ini kemampuan kerja karyawan harus melalui kegiatan yang direncanakan, dilaksanakan, diawasi dan dikendalikan dalam peningkatan kualitas karyawan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur pengaruh sikap kerja dan kinerja terhadap profesionalisme kerja di Perusahaan konstruksi. Sikap Pada Pekerjaan Sikap (attitude) adalah suatu konsep paling penting dalam psikologi sosial. Pembahasan yang berkaitan dengan psikologi sosial hampir selalu menyertakan unsur sikap baik sikap individual maupun sikap kelompok sebagai salah satu bagian pembahasannya. Banyak kajian dilakukan untuk pengertian sikap, proses terbentuknya sikap, maupun proses perubahannya. Banyak pula penelitian telah dilakukan terhadap sikap untuk mengetahui efek dan perannya sebagai variabel bebas maupun sikap sebagai variabel terikat.
Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi IV, Januari-Juni 2008
21
Theory of reasoned action menekankan pada proses kognitif serta menganggap bahwa manusia adalah mahluk dengan daya nalar dalam memutuskan prilaku apa yang akan diambilnya, yang secara sistematis memenfaatkan informasi yang tersedia di sekitarnya. Sikap terhadap pekerjaan ditentukan oleh adanya kebutuhan Salah satu teori motivasi yang banyak mendapat sambutan yang amat positif di bidang manajemen organisasi adalah teori Hirarki Kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow setiap individu memiliki kebutuhankebutuhan yang tersusun secara hirarki dari tingkat yang paling mendasar sampai pada tingkatan yang paling tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan paling rendah telah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi. Pada tingkat yang paling bawah, dicantumkan berbagai kebutuhan dasar yang bersifat biologis, kemudian pada tingkatan lebih tinggi dicantumkan berbagai kebutuhan yang bersifat sosial. Pada tingkatan yang paling tinggi dicantumkan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Dalam perusahaan kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas diterjemahkan sebagai berikut: Kebutuhan fisiologis dasar, Kebutuhan akan rasa aman, Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, Kebutuhan untuk dihargai, Kebutuhan aktualisasi diri. Mengingat bahwa setiap individu dalam perusahaan berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda, maka akan sangat penting bagi perusahaan untuk melihat apa kebutuhan dan harapan karyawannya, apa bakat dan ketrampilan yang dimilikinya serta bagaimana rencana karyawan tersebut pada masa mendatang. Jika perusahaan dapat mengetahui hal-hal tersebut, maka akan lebih mudah untuk menempatkan karyawan pada posisi yang paling tepat, sehingga ia akan semakin termotivasi. Tentu saja usaha-usaha memahami kebutuhan karyawan tersebut harus disertai dengan penyusunan kebijakan perusahaan dan prosedur kerja yang efektif. Untuk melakukan hal ini tentu bukan perkara yang gampang, tetapi memerlukan kerja keras dan komitmen yang sungguh-sungguh dari manajemen. Lingkungan Kerja Kondusif Semua karyawan memliki kebutuhan untuk mengungkapkan diri, ingin diterima sebagai bagian dari "anggota
keluarga/perusahaan", ingin dipercaya dan didengar kata-katanya, dihargai oleh manajemen dan bangga terhadap apa yang dikerjakannya. Melalui komunikasi dua arah pihak manajemen dapat mengidentifikasi halhal tersebut sekaligus menginformasikan tentang tujuan-tujuan perusahaan, target market dan rencana masa depan lalu mendorong karyawannya untuk memberikan umpan balik (feedback). Pihak manajemen juga harus belajar bagaimana membentuk "budaya perusahaan" dan lingkungan kerja yang kondusif. Hal ini hanya dapat dicapai melalui praktek kepemimpinan dan manajemen perusahaan yang baik, pendekatan kemanusiaan, keadilan bagi semua, struktur karir yang jelas, program pelatihan dan pengembangan yang terpadu, dukungan peralatan kerja yang memadai, penilaian kinerja yang obyektif, program "reward" yang tepat, gaji dan tunjangan yang memadai serta kegiatan-kegiatan lain yang diadakan oleh perusahaan Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah karyawan perlu mengetahui bahwa pihak manajemen mengakui kehadiran mereka, sadar akan arti penting karyawan bagi perusahaan, para manager mampu mengingat nama-nama bawahannya dan tidak segan menyapa mereka. Manager yang gagal mengingat nama bawahannya atau tidak merespon ketika disapa oleh bawahan akan membuat karyawan kehilangan motivasi kerja, kurang loyal dan kurang kepercayaan pada manager tersebut. Para manager dapat memperoleh loyalitas dan kepercayaan dari bawahannya jika ia memperlakukan bawahannya sebagai "mitra kerja", menunjukkan kepedulian yang tinggi, mau mendengarkan saran dan keluhan dan mau saling berbagi pengalaman Hakikat Kinerja Karyawan Kemampuan yang berkaitan dengan kinerja yaitu karyawan yang bekerja kompeten. Karena itu kompetensi kerja karyawan dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan karyawan dalam menjalankan tugas profesi. Dengan kata lain kompetensi adalah pemilikan penguasaan, ketrampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang. Bila seorang karyawan memiliki minat terhadap tugas profesi, berarti akan cenderung melaksanakan aktivitas profesinya dengan baik. Dan sebaliknya bila minatnya
Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi IV, Januari-Juni 2008
22
berkurang berarti kecenderungan untuk menurun setiap aktivitas yang berkaitan dengan tugas profesi. Identifikasi yang akurat tentang penyebab-penyebab kinerja seorang karyawan adalah sesuatu yang mendasar bagi manajemen yang baik serta melakukan kontrol yang lebih efektif dalam strategi perbaikan kerja karyawan. Hal ini dilakukan oleh manajemen karyawan di perusahaan konstruksi. Setiap karyawan melakukan kinerja sesuai dengan standar operasional prosedur kerja. Dengan standar ini akan menentukan target-target kerja yang diharapkan untuk diselesaikan oleh karyawan. Selanjutnya yang dimaksud dengan kinerja adalah tampilan kerja yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya. Pada umumnya kerja seorang karyawan antara lain dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan, pengalaman, dan kesungguhan tenaga kerja yang bersangkutan. Kinerja (performance) merupakan fungsi dari upaya kerja (effort) yang didukung oleh kemampuan untuk melaksanakan suatu pekerjaan (ability). P(f) = E + A + O pada bagian ini motivasi dan faktor lain yaitu kemampuan berkombinasi menentukan kinerja (performance). Dan kinerja seseorang akan tinggi bila mana : Mengupayakan usahanya dengan sungguh-sungguh. Memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakan tugas profesinya, Memusatkan usahanya secara sempurna yang diperoleh atau dicapai melalui kejelasan peran sesuai dengan yang diisyaratkan dalam pelaksanaan tugas profesinya tersebut. Menurut Gary Dessler, ada beberapa alasan untuk menilai kinerja karyawan yaitu: Dengan penilaian kinerja dapat memberikan informasi tentang perlu tidaknya dilakukan promosi dan penetapan gaji, penilaian kinerja memberi suatu peluang bagi pimpinan dan bawahan untuk meninjau perilaku yang berhubungan dengan kerja bawahan. penilaian kerja hendaknya berpusat pada proses perencanaan karir bagi bawahan. Selanjutnya dalam melakukan penilaian kinerja terdiri dari tiga langkah: Mendefinisikan pekerjaan, menilai kinerja, dan .memberikan umpan balik. Masalah Penilaian Kinerja bisa terjadi penilaian kinerja gagal. Hal ini semua bisa terjadi karena alasan yang paralel dengan tiga langkah ini, yaitu: pendefinisian jabatan, penilaian kinerja, dan pemberian umpan balik. Beberapa penilaian kinerja bisa gagal karena
bawahan tidak diberitahu sebelumnya tentang apa persisnya yang diharapkan dari mereka dilihat dari segi kinerja yang diharapkan. Penilaian kinerja gagal karena masalah dengan ukuran penilaian atau prosedur yang digunakan untuk mengukur kinerja karyawan tersebut. Sistem penilaian kinerja mengharuskan ukuran penilaian mengandung bukan saja ketrampilan-ketrampilan dan sikap kerja tetapi juga sejumlah komponen di dalam lingkungan kerja tempat karyawan ini bekerja. Pengaruhpengaruh lingkungan ini meliputi kinerja yang diharapkan, sumberdaya yang tersedia, suasana fisik pekerjaan, aliran kerja, penghargaan dan hukuman, serta informasi yang diberikan kepada karyawan. Untuk melakukan tindakan keputusan manajemen yang dapat dibuat untuk pekerja yang bekerja kurang baik, dilakukan antara lain adalah: Pemindahan ke pekerjaan lain, Penurunan pangkat atau golongan karyawan, Penurunan skala gaji, Pemecatan, Rehabilitasi pekerjaan sekarang, Menurunkan atau merancang kembali pekerjaan, Pensiun, Cuti, Program tidak mampu (mental atau fisik), Penciptaan pekerjaan sementara, Pelatihan kembali dalam ketrampilan ketrampilan kerja dalam bentuk in house training, atau pelatihan atas inisiatif sendiri pekerja. Prioritas-prioritas keputusan perbaikan kerja dipertimbangkan dengan baik dan harus tertib dengan pertimbangan tradisi kemanusian dari organisasi yang sering dilakukan agar tindakan mana yang akhirnya dipilih pimpinan merupakan pilihan keputusan yang tepat. Untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data perilaku tentang kinerja bawahan yang bermasalah, proses pencarian fakta harus dilakukan dengan seksama dan dengan pikiran terbuka. Ada kemudahan untuk mencapai keputusan seketika tanpa memperhatikan sepenuhnya apa yang dapat dilakukan. Akan tetapi jauh lebih menantang untuk mangamati semua hal yang berkaitan dengan praktek kerja karyawan agar dapat mengubah pilihan keputusan yang dikehendaki memenuhi harapan dan ketepatan dari semua pihak yang terkait. misalnya pemecatan, menjadi pemindahan atau pelatihan kembali merupakan pilihan dengan penuh bijaksana dan masih diharapkan karyawan yang bermasalah tersebut. Pertimbangan kriteria keputusan penilaian perilaku kerja karyawan dapat menghasilkan alternatif keputusan yang dicapai dengan
Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi IV, Januari-Juni 2008
23
penekanan hanya keputusan tersebut.
satu
rangkaian
kriteria
Profesionalisme Kerja Seseorang dituntut untuk bekerja profesional. Sebagai tenaga yang profesional diharapkan mampu menjalankan tugas dan tanggungjawab profesi tersebut. Suatu jabatan, sudah tentu memerlukan ilmu pengetahuan khusus atau memerlukan pendidikan akademis yang intensif baik bersifat teoritis maupun praktek, diuji dengan sejenis bentuk ujian. Sebagai sebuah profesi, menurut Imran Manan, karyawan memiliki beberapa karakteristik: pekerjaan unik, jelas dan penting, menekankan suatu teknik intelektual dalam melakukan pekerjaanya, memerlukan pendidikan spesialisasi yang membutuhkan waktu panjang, membutuhkan otonomi luas dari individu yang memiliki profesi. Pekerjaan karyawan merupakan pekerjaan yang menuntut kemampuan profesional. Kemampuan profesional dimaksud adalah suatu kemampuan yang hanya dapat dikuasai melalui serangkaian proses mempelajari berbagai pengetahuan dasar, pengetahuan teoritik, teknik profesional, dan keterampilan profesional yang secara terpadu terjalin dalam suatu kemampuan yang utuh dan penerapannya memerlukan kemampuan mensintesakan segala pengetahuan dan teknik secara imajinatif, kreatif, dan innovatif untuk pemecahan masalah profesional yang dihadapi dalam tugasnya sebagai karyawan. Untuk itu, diperlukan latihan profesional yang utuh dalam situasi nyata yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Berdasarkan pandangan di atas, dapat diketahui bahwa pekerjaan karyawan merupakan pekerjaan profesional. Untuk membentuk profesionalisme karyawan perlu penetapan standard kriteria tertentu. Selama ini dikenal bahwa pekerjaan profesional, termasuk karyawan, selalu menggunakan teknik dan prosedur yang berpijak pada landasan intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, terencana dan kemudian secara langsung dipergunakan demi kemaslahatan orang lain. Kriteria umum seorang profesional menurut memiliki tiga dimensi yakni dimensi karir, dimensi pekerjaan, dan dimensi menguasaan pengetahuan. Dimensi karir dimaksud merupakan karier yang dibina secara organisatoris meliputi: keterikatan dalam suatu organisasi profesional, memiliki otonomi
jabatan, memiliki kode etik jabatan, merupakan karya bakti seumur hidup. Sedangkan dimensi pekerjaan dimaksud adalah bahwa pekerjaan polisi diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional meliputi: memperoleh dukungan masyarakat, mendapat pengesahan dan perlindungan hukum, mempunyai persyaratan kerja yang sehat, dan mempunyai jaminan hidup yang layak. Dimensi penguasaan pengetahuan adalah memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas, yakni pengetahun umum yang luas, keahlian khusus yang mendalam. Berpijak pada beberapa pemikiran di atas tentang karyawan diperoleh bahwa: untuk menjadi karyawan, seseorang harus lulus dalam menempuh pendidikan misalnya lulusan sekolah pendidikan formal tertentu. Dengan demikian karyawan yang profesional harus mampu memberikan layanan profesional kepada perusahaan dengan sebaikbaiknya, artinya segala upaya harus dilakukan dengan melaksanakan tugasnya sebagai tenaga yang profesional. Atas dasar itulah dapat dibangun suatu argumentasi bahwa profesionalisme karyawan identik dengan kualifikasi tenaga yang memiliki keluasan ilmu dan pengetahuan, keintelektualan, dan karakter kepribadian terhormat. Kriteria lain tentang karyawan profesional adalah memiliki kompotensi. Kompetensi mengacu kepada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan. Kompetensi menunjuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas di kantor. Dikatakan rasional karena mempunyai arah dan tujuan. Performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak hanya diamati, tetapi juga meliputi perihal yang tidak tampak. Kompetensi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pekerjaan, namun kompetensi tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh faktor latar belakang pendidikan, pengalaman dalam bekerja Status profesional tidak diberikan oleh siapapun, tetapi harus dicapai dalam kelompok profesi bersangkutan. Awalnya, tentu harus dibina melalui penguatan landasan profesi, misalnya pembinaan tenaga kependidikan yang sesuai, pengembangan infrastuktur, pelatihan jabatan (in servise training) yang memadai, efisiensi dalam sistem
Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi IV, Januari-Juni 2008
24
perencanaan, serta pembinaan administrasi karyawan. Seorang profesional dituntut mampu menganalisis, mendiagnosis, dan memprognosis situasi pekerjaan. Seorang profesional perlu menguasai antara lain: kedisiplinan dalam bekerja, bahan atau alat yang digunakan untuk menunjang pekerjaan, pengetahuan tentang karakteristik pekerjaannya, pengetahuan tentang filsafat dan tujuan organisasi atau lembaga tempat kerja, pengetahuan dan penguasaan metode kerja, penguasaan terhadap prinsipprinsip teknologi yang diterapkan dalam lingkungan kerja pada lembaga tersebut, pengetahuan tentang keberhasilan pekerjaan dalam lembaga atau organisasi tempat ia bekerja, dan mampu merencanakan, memimpin, guna kelancaran proses pelaksanaan tugas.. Dengan demikian, diduga terdapat pengaruh sikap kerja dan kinerja terhadap profesionalisme kerja Karyawan di perusahaan Konstruksi. Adapun Indikator dari setiap sikap kerj, kinerja dan professional dapat dillihat pada iabel 1. Tabel 1. Faktor variabel sikap kerja dan kinerja NO
Keterangan
I X1
Sikap kerja Kebutuhan untuk aktualisasi diri Kebutuhan untuk dihargai Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi Kebutuhan aakan rasa aman dan tentram Kebutuhan fisiologis dasar Kepemimpian yang ada Kinerja Prestasi kerja yang diperlihatkan Jumlah hasil yang dicapai sesuai waktu Rasio keluaran dengan masukan Kualitas kerja yang dicapai sesuai tanggungjawab Kuantitas kerja yang dicapai sesuai tanggung jawab Kualitas kerja sesuai spesifikasi kerja Profesionalisme Kerja
X2 X3 X4 X5 X6 II X7 X8 X9 X10 X11 X12 Y
Skala 1 2
3
4
5
Hasil dan Pembahasan Pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran angket kuesioner dimana pengisian kuesioner tersebut dilakukan dengan meninggalkan kuesioner tersebut maupun diisi langsung di tempat. Pengisian kuesioner dilakukan oleh Karyawan Perusahaan Konstruksi. Dari penyebaran angket kuesioner yang ditujukan kepada 30 responden. Selanjutnya 30 sampel tersebut dianalisa dengan menggunakan SPSS.
Sumber sikap kerja dan kinerja yang berhubungan dengan profesionalisme kerja Untuk mengetahui motivasi berprestasi dan kinerja yang berhubungan dengan kualitas pelayanan dilakukan analisa korelasi. Analisa korelasi pada penelitian ini dilakukan untuk mengukur kekuatan hubungan antara variabel terikat pada profesionalisme kerja dengan variabel bebas sikap kerja dan kinerja. Analisa korelasi dilakukan dengan metode korelasi Pearson. Dengan menggunakan program SPSS, perhitungan metode korelasi Pearson menghasilkan jenis koefisien korelasi bivariate. Dari hasil korelasi tersebut, dipilih variabelvariabel bebas yang berhubungan dengan variabel terikat dengan tingkat signifikan 0,05. Tabel 2 Nilai korelasi Pearson “r” terhadap variabel terikat Sumber : Hasil olahan data primer No. 1 2
Kode X2 X4
3 4 5
X6 X7 X8
Variabel Bebas Kbutuhan untuk dihargai Kebutuhan akan rasa aman dan tentram Kepemimpinan yan ada Prestasi kerja yang diperlihatkan Jumlah hasil yang dicapai sesuai waktu
r 0.831 0.805 0.822 0.675 0.892
Sumber sikap kerja dan kinerja yang berhubungan profesionalisme kerja Untuk mengetahui sumber sikap kerjadan kinerja yang paling berpengaruh terhadap profesionalisme kerja dilakukan analisa regresi berganda dengan menyederhanakan jumlah variabel bebas yang mempunyai nilai r significant dengan 0,05 maka dilakukan analisa faktor dengan menggunakan metode Principal Component Analysis dan metode rotasi Varimax dengan kriteria dari Kaiser yaitu mengambil komponen yang mempunyai eigenvalues > 1. Dari analisis faktor variabel bebas terhadap profesionalisme kerja, untuk eigenvalues >1 telah menghasilkan 2 komponen atau faktor seperti terlihat pada Total Variance Explained maupun Rotated Component Matrix. Setiap faktor mempunyai sekelompok variabel bebas seperti terlihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Faktor Analisis terhadap variabel terikat Sumber : Hasil olahan data primer
Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi IV, Januari-Juni 2008
25
Fakt or I II
Variabel
Variabel Bebas
X2 X4 X6 X7 X8
Kebutuhan untuk dihargai Kebutuhan akan rasa aman dan tentram Kepemimpinan yang ada Prestasi kerja yang diperlihatkan Jumlah hasil yang dicapai sesuai waktu
Dalam menentukan variabel-variabel penentu yang akan di pilih, dilakukan analisis variabel penentu dengan cara menganalisis berbagai kombinasi antara setiap variabel bebas yang potensial dari setiap faktor (F1, dan F2).
Dari kombinasi 2 faktor tersebut dicari kombinasi yang memiliki nilai R2 paling tinggi dengan cara melakukan regresi terhadap kombinasi 2 faktor tadi. Adapun kombinasi 2 faktor dan nilai R2 tersebut dapat dirangkum seperti Tabel 4 sebagai berikut : Tabel 4 Kombinasi 2 faktor terhadap variabel terikat NO
F1
F2
X2 I
X4
0.691 X7
X6
X4
0.721 0.744
X2 II
R2
0.865 X8
X6
0.883 0.858
Sumber: olahan hasil SPSS Keterangan : X2 : Kebutuhan untuk dihargai X4 : Kebutuhan akan rasa aman dan tentram X6 : Kepemimpinan yang ada X7 : Prestasi kerja yang diperlihatkan X8 : Jumlah hasil yang dicapai sesuai waktu Jadi kombinasi dari variabel penentu yang mewakili masing-masing faktor dan merupakan variabel kombinasi terbaik tersebut dapat dirinci seperti terlihat pada Tabel 5 di bawah ini : Tabel 5 Variabel Penentu Faktor I II
Variabel Penentu X4 X8
Uraian Kebutuhan akan rasa aman dan tentram Jumlah hasil yang dicapai sesuai waktu
Karakteristik Variabel Sikap kerja Kinerja
Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda ini dilakukan terhadap kombinasi variabel penentu yang telah ditetapkan dan dihasilkan model regresi berganda secara linier sebagai berikut : Y=-0.004+0.612X8+0.384 X4 ……...(.1) Dimana :
Y = Profesionalisme kerja X4 = Kebutuhan akan rasa aman dan tentram X8 = Jumlah hasil yang dicapai sesuai waktu Coefficient of Determination test atau R2 Test Dengan menggunakan metode Stepwise pada SPSS dihasilkan urutan kombinasi variabel bebas penentu dalam memberikan kontribusi terhadap nilai Adjusted R2 untuk model regresi linier untuk Kualitas pelayanan. Urutan kombinasi variabel bebas penentu dari model regresi Kualitas pelayanan menghasilkan nilai R2 seperti terlihat pada Tabel 6 dibawah ini : Tabel 6 Adjusted R2 dari model regresi(Stepwise Method) Linier Model Adjusted R2 X8 0.796 X4 0.883 Sumber : Hasil olahan data primer Uji F (F – Test) Langkah selanjutnya melakukan uji F dengan tujuan untuk menguji bahwa seluruh koefisien variabel bebas Xi sama dengan nol atau seluruh variabel bebas Xi dari model regresi tidak mempengaruhi variabel Y atau sering disebut uji hipotesis nol. Uji hipotesis nol dilakukan terhadap sekelompok variabel bebas X yang berarti : H0 : 1 = 2 = 0 dan Ha : 1 2 0 Dimana 1, 2, 3, 4 adalah koefisien X1,X2,X3. Nilai F dalam program SPSS versi 10.00 dapat dilihat dalam Tabel 7 untuk model regresi linier sebagai berikut: Tabel 7. Nilai F ANOVA(c) Model 1
2
Sum of Squares
df
Mean Square
9.445
1
9.445
Residual
2.422
28
.086
Total
11.867
29
10.481
2
5.240
Residual
1.386
27
.051
Total
11.867
29
Regression
Regression
F 109.21 0
102.07 1
a Predictors: (Constant), x8 b Predictors: (Constant), x8, x4 c Dependent Variable: y Pada Tabel 7 model regresi linier nilai F akhir dapat dilihat pada model ketiga dimana
Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi IV, Januari-Juni 2008
26
Sig. .000(a)
.000(b)
variabel yang terseleksi adalah variabel X4, X11 dengan nilai F = 102.071 dan 0.05 (pada tabel dapat dilihat nilai Sig. = 0) yang berarti nilai F untuk model regresi linier telah memenuhi persyaratan sehingga berdasarkan kriteria pengujian hipotesis, dikatakan menolak hipotesis nol yang berarti menunjukkan bahwa koefisien dari variabel yaitu 1, 2 tidak sama dengan nol untuk 0.05. Dengan demikian, semakin meyakinkan bahwa model regresi berganda yang dihasilkan adalah sangat penting/berpengaruh (highly significant). Uji t ( t – test) Langkah selanjutnya melakukan t – test atau Student – t Distribution, dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kepercayaan tiap variabel bebas dalam persamaan atau model regresi yang digunakan dalam memprediksikan nilai Y. Uji t dilakukan dengan cara uji hipotesis nol yaitu bahwa konstanta dan koefisien variabel Xi sama dengan nol yang berarti : H0 : 1 = 2 = 0 Ha : 1 2 0 Dimana 1, 2, 3, 4 adalah koefisien X1, X2. Nilai t dalam program SPSS versi 10.00 dapat dilihat dalam Tabel 8 untuk model regresi linier. sebagai berikut Tabel 8 Nilai t (model regresi linier) Coefficients(a) Model
1
2
t
Sig.
(Constant)
1.497
.146
x8
10.450
.000
-.013
.989
x8
7.385
.000
x4
4.491
.000
(Constant)
a Dependent Variable: y Sumber : Tabel Coefficient model regresi linier program SPSS versi 10.00 Keterangan : X4 = Kebutuhan akan rasa aman dan tentram X8= Jumlah hasil yang dicapai sesuai waktu Pada Tabel 4.7 model regresi linier nilai t akhir dapat dilihat pada model kedua dimana variabel yang terseleksi adalah variabel X1 dan X13 dengan nilai t = 4.491 masing-masing mempunyai nilai 0.05 (pada tabel dapat dilihat nilai Sig.nya) dengan nilai t masing-
masing mempunyai nilai 0.05 (pada tabel dapat dilihat nilai Sig. nya) berarti nilai t untuk model regresi linier telah memenuhi persyaratan sehingga berdasarkan kriteria pengujian hipotesis, dikatakan menolak hipotesis nol yang berarti menunjukkan bahwa koefisien dari variabel yaitu 1, 2 tidak sama dengan nol untuk 0.05. Dengan demikian, semakin meyakinkan bahwa model regresi berganda yang dihasilkan adalah sangat penting/berpengaruh (highly significant). Uji Autokorelasi (Durbin – Watson Test) Uji autokorelasi dilakukan untuk mengukur ada tidaknya autokorelasi antara variabel pada sampel yang berbeda. Adapun untuk mengukur ada tidaknya autokorelasi pada variabel dalam model yang diuji digunakan batasan secara umum (Santoso, 2000), yaitu : Angka Durbin Watson di antara –2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi Angka Durbin Watson di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif Adapun nilai Durbin Watson berdasarkan program SPSS versi 10.00 baik untuk model regresi linier dapat dilihat pada Tabel 9 sebagai berikut : Tabel 9 Nilai Durbin Watson model regresi linier Model 1
R
R Square
Adjusted Square
R
.892(a)
.796
.789
.294
2
.940(b)
.883
.875
.227
SSE
D-W
2.472
Model Summary(c) a Predictors: (Constant), x8 b Predictors: (Constant), x8, x4 c Dependent Variable: y Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai Durbin Watson untuk model regresi linier adalah 2.472, sesuai dengan batasan secara umum menurut Singgih Santoso dalam Buku Statistik Parametrik maka dapat disimpulkan bahwa dalam kedua model tersebut tidak terdapat autokorelasi. Berdasarkan uji R2, uji F, uji t dan uji d maka model yang dipilih adalah model regresi linier, karena dalam berbagai uji model tersebut model linier mempunyai nilai adjusted R2 lebih besar, serta memenuhi persyaratan uji model yang digunakan seperti tersebut diatas. Model regresi yang telah diperoleh yaitu model yang memperlihatkan hubungan kuantitatif antara variabel sumber sikap kerja dan kinerja yang teridentifikasi dengan variabel
Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi IV, Januari-Juni 2008
27
terikat profesionalisme kerja telah dinyatakan valid, berdasarkan uji model (R2, uji t, F, Durbin Watson) yang telah dilakukan. Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa Semakin baik pengidentifikasian sikap kerjai dan kinerja akan meningkatkan profesionalisme kerja.. Model yang telah diperoleh akan digunakan untuk menguji hipotesis tersebut yaitu model hubungan sikap kerja dan kinerja yang teridentifikasi terhadap profesionalisme kerja merupakan model regresi berganda linier yang mempunyai satu variabel terikat dan 2 variabel bebas, sehingga dari model tersebut dinyatakan bahwa : Semakin tinggi kebutuhan akan rasa aman dan tentram yang ada di Perusahaan konstruksi menyebabkan peningkatan profesionalisme kerja Semakin tinggi Jumlah hasil yang dicapai sesuai waktu yang ada di Karyawan Perusahaan konstruksi menyebabkan peningkatan profesionalisme kerja Jadi dengan mengidentifikasi sikap kerja dan kinerja di atas dengan baik akan meningkatkan profesionalisme kerja. Model regresi yang telah diperoleh dan ditetapkan melalui proses analisis, didapatkan nilai Adjusted R2 kurang dari 1 yaitu 0.883. Berarti bahwa masih ada 0.117 kemungkinan variabel lain yang berpengaruh belum teridentifikasi dalam analisis tersebut. Pembahasan Pada penelitian mengenai variabel sikap kerja dan kinerja ada banyak faktor yang menentukan diantaranya variabel sikap kerja terdiri dari enam factor dan variabel kinerja terdiri dari enam faktor. Variabel sikap kerja dan kinerja mempunyai hubungan dengan profesionalisme kerja. Dari hasil korelasi kedua variabel ini diperoleh lima factor yang mempunyai nilai korelasi di atas 50% yaitu fator kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan akan rasa aman dan tentram, kepemimpinan yan ada dari variabel sikap kerja dan faktor prestasi kerja yang diperlihatkan, jumlah hasil kerja yang sesuai dengan waktu untuk variabel kinerja. Dan setelah melalui uji regresi linier berganda diperoleh dua faktor penentu yaitu fator kebutuhan akan rasa aman dan tentram untuk variabel sikap kerja dan jumlah hasil kerja yang dicapai sesuai waktu untuk variabel kinerja yang mempunyai hubungan dengan
profesionalisme kerja. Kedua faktor ini mempunyai nilai koefisien penentu sebesar 88.3%. ini berarti masih ada 11.7% lagi faktor lain yang belum teridentifikasi. Faktor kebutuhan akan rasa aman dan tentram merupakan faktor penentu yang mempunyai hubungan dengan profesionalsme kerja. Dengan adanya jaminan rasa aman dan tentram maka setiap karyawan mempunyai keinginan untuk mendapatkannya. Hal ini merupakan teori harapan yang menyatakan kepuasan ada juga dalam bentuk keinginan mendapatkan rsa aman dan tentram. Untuk mendapatkan factor ini maka karyawan akan meningkatkan profesionalismenya dalam bekerja., Faktor jumlah hasil kerja yang dicapai sesuai dengan waktu merupakan factor penentu profesionalisme kerja Profesionalisme kerja sangat ditentukan banyaknya hasil kerja yang diselesaikan tepat waktu. Ketepatan dalam menyelesaikan kerja akan membuat pekerjaan menjadi lancar. Kesimpulan Dari uji korelasi terhadap ke dua belas faktor ada ada tiga faktor dari variabel sikap kerja dan dua faktor kinerja yang berhubungan dengan profesionalisme kerja. Setelah dilakukan uji regressi linier berganda diperoleh dua faktor penentu yang berhubungan dengan profesionalisme kerja yaitu faktor pencapaian kebutuhan akan rasa aman dan tentram untuk variabel sikap kerja dan faktor jumlah hasil kerja yang dicapai sesuai waktu untuk variabel kinerja dengan koefisien penentu sebesara 88.3%. Persamaan regresi bergandanya adalah: Y = -0.004+ 0.612X8 + 0.384 X4 Dimana : Y= Profesionalisme kerja X4 = Kebutuhan akan rasa aman dan tentram X8 = Jumlah hasil yang dicapai sesuai waktu Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa makin tinggi pencapaian karir dan jumlah hasil kerja yang dicapai sesuai dengan waktu maka kualitas pelayanan akan semakin meningkat. Setelah dilakukan uji statistik yaitu uji t, uji F dan uju DW maka penelitian ini valid
Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi IV, Januari-Juni 2008
28
Saran Untuk memperdalam penelitian ini sebaiknya sampel juga diambil dari karyawan erusahaan lain untuk mengetahui apakah faktor penentu ini juga menjadi faktor penentu profesionalisme kerja.
Daftar Pustaka deCharms, R. (1968). Personal causation: The internal affective determinants of behavior. New York: Academic Press. McClelland, D.C. (1961). The achieving society. Princeton, NJ: Van Nostrand Reinhold. Roberts, B.W. & Donahue, E.M. (1994). One personality, multiple selves: Integrating personality and social roles. Journal of Personality, 62:2, 199-218. Dessler, G. 2000. Human Resource Management. Prentice-Hall: New Jersey. O’Neill, G.L. 1996. Linking pay to performance: conflicting views and conflicting evidence. Asia Pacific Journal of human Resource, 33 (2): 2035. Claman, P.H. 1998. Work has changed, but or compensation programs have not. Compensation & Benefits Management, 1-6.
Majalah Ilmiah Panorama Nusantara, edisi IV, Januari-Juni 2008
29