Evaluasi Kebijakan Link dan Match Pada Sekolah Menengah Kejuruan dan Industri Oleh: Ridwan Daud Mahande #13702261009# Mahasiswa S3 PTK PPs UNY
A. Pendahuluan Dunia pendidikan di era global dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri. Persaingan global di bidang usaha dan industri saat ini menuntut peningkatan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan formal siswa akan memperoleh ilmu pengetahuan,
keterampilan dan
pengalaman yang dapat digunakan untuk bekal dalam bekerja. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah pendidikan formal yang diberi amanah oleh undang-undang untuk menyiapkan sumber daya manusia yang siap memasuki dunia kerja dan menjadi tenaga kerja yang produktif. Lulusan SMK idealnya merupakan tenaga kerja yang siap pakai, dalam arti langsung bisa bekerja di dunia usaha dan industri. Namun, permasalahan SMK saat ini pada umumnya terkait dengan keterbatasan peralatan, masih rendahnya biaya praktik, dan lingkungan belajar yang tidak serupa dengan dunia kerja. Kondisi ini bisa menyebabkan ketidaksiapan lulusan untuk bekerja, bahkan kritik tajam selalu dilontarkan oleh para pengguna lulusan karena, kompetensi lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan masih jauh dari standar kompetensi yang ditetapkan oleh industri. Tenaga kerja yang qualified dan certified sulit diperoleh oleh sebagian besar industri. Sehingga seringkali kalangan industri masih membutuhkan biaya besar dan mengalokasikan waktu yang cukup lama untuk program training guna menyetarakan kompetensi tenaga kerja baru dengan sistem kerja yang ada di industri. Walaupun demikian, menurut Pardjono (2011:1) bahwa, sebenarnya pihak industri dan pihak sekolah memiliki keterbatasan masing-masing dalam membentuk dan mendapatkan
1
tenaga kerja siap pakai. Pihak sekolah memiliki keterbatasan dalam pembiayaan dan penyediaan lingkungan belajar, sementara pihak industri memiliki keterbatasan sumber daya pendidikan untuk membentuk tenaga kerja yang dibutuhkan. Atas dasar saling membutuhkan, maka sewajarnyalah pemerintah, masyarakat khususnya lembaga pendidikan dengan industri melakukan kerjasama untuk membentuk dan mendapatkan tenaga kerja siap pakai. B. Kebijakan Link dan Match Salah satu kebijakan pendidikan melalui sekolah menengah kejuruan (SMK) yaitu, link and match. Inti dari konsep link and match yaitu: (1) adanya keterkaitan antara program pendidikan yang diberikan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat secara luas, dan (2) adanya kesesuaian atau kecocokan antara program dan produk pendidikan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat (Djojonegoro, 1998). Tujuan penerapan link and match dalam pendidikan kejuruan yang dioperasionalisasikan melalui pendidikan sistem ganda (PSG) adalah untuk mendekatkan antara supply dan demand mutu sumber daya manusia (SDM), terutama yang berhubungan dengan kualitas ketenagakerjaan. Di mana dunia pendidikan sebagai penyedia SDM dan dunia kerja serta masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan. Melalui kerjasama tersebut, dapat diperolah output dan outcome yang optimal yaitu SDM mampu berpikir kritis, kreatif dan inovatif sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pasar kerja. Kerjasama ini semakin sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dunia kerja (link and match), jika program-program keahlian yang diselenggarakan di SMK melibatkan industri dalam menetapkan standar keahlian, pengembangan kurikulum, dan kebijaksanaan pengelolaan sistem pendidikan, (Depdikbud, 1995:9), serta penyesuaian karakteristik daerah yang memerlukan pendidikan kejuruan. Selain itu, guru pendidikan kejuruan hendaknya telah mempunyai pengalaman dalam penerapan keterampilan, pengetahuan pada operasi/proses kerja, mampu mengidentifikasi penyesuaian bidang kerja dengan bakat dan minat siswa didukung oleh instruktur 2
industri yang mampu mengembangkan tenaga kerja melalui keterampilanketerampilan memberikan manfaat yang efektif. Akan tetapi, dalam penerapannya, link dan match menjadi sebuah dilema karena kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas SDM yang mampu bersaing dalam dunia kerja, namun kenyataan tak selamanya akur dengan harapan kebanyakan orang karena, secara kualitas lulusan pendidikan kejuruan tidak selamanya match dengan kebutuhan dunia usaha yang semakin kompleks dan kompetitif. Alhasil, kesempatan kerja lulusan pendidikan kejuruan menjadi sangat terbatas, atau bahkan nihil sama sekali. Kritik mendasar pada konsep ini terkesan hanya berorientasi ekonomis, serta menghilangkan substansi pendidikan sebagai wahana pencerdasan, aktualisasi diri, dan proses pemilihan sesuai minat dan bakat. Kritik pada konsep ini sangat beralasan, karena dituntut untuk mengerjakan segala sesuatu yang berdaya jangka pendek dan berorientasi target. Selain itu, kesulitan membawa pihak industri dan bisnis terlibat dengan sepenuh hati ke dunia pendidikan dapat dimaklumi karena belum ada kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak dan belum adanya aturan/undang-undang yang dapat mengikat kedua pihak sehingga konsep link & match yang digagas tidak dapat dilaksanakan teratur dan sistemik. Di sisi lain, lulusan membeludak tapi kompetensi yang diperlukan untuk bekerja belum memadai ditambah keterbatasan lapangan kerja membuat para lulusan SMK bersaing mengincar posisi nyaris sama dari level staf hingga level penyelia di industri. Situasi ini disebabkan belum terstandarisasinya kompetensi lulusan pendidikan bagi dunia kerja. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu suatu evaluasi dalam pengembangan kebijakan link dan match yang selama ini telah berjalan akan tetapi menuai banyak kritik karena belum menghasilkan tenaga kerja sesuai kebutuhan. Untuk itu, perlu evaluasi lebih lanjut terkait keragaman kesiapan dan potensi SMK serta keberadaan industri, guru pembimbing dari sekolah dan instruktur di industri, kerjasama dengan industri, pelatihan di industri dan hambatan-hambatan yang dialami siswa SMK dalam mengikuti program link dan match melalui PSG. Melalui evaluasi ini nantinya 3
akan diperoleh informasi yang menjadi rekomendasi pada stakeholders untuk perbaikan dan pengembangan kebijakan link dan match ditinjau dari profesionalisme pendidikan, proses dan manajemennya. Dengan demikian, operasionalisasi link dan match dapat menghasilkan lulusan yang kritis, kreatif, inovatif dan siap kerja serta mampu mendukung pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional dalam mengembangkan dunia usaha dan industri di era globalisasi. C. Metode Penelitian Kebijakan link dan match ini akan dievaluasi dalam upaya pengembangan profesionalisme sekolah dan industri. Pada studi evaluasi ini menggunakan pendekatan evaluasi berorientasi keputusan model CIPP (context, input, proces, product) dengan jenis penelitian evaluasi formatif sesuai tujuannya memperbaiki dan meyempurnakan program, (Sukmadinata, 2012:122). Penelitian akan dilakukan pada SMK dan Industri dengan mengidentifikasi lebih awal pihak terkait yang akan dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, partner, nara sumber, sumber data, partisipan yang dapat mendukung dan bekerjasama dalam pelaksanaan berdasarkan komponen yang akan dievaluasi pada penyelenggaraan link dan match di SMK dan Industri. Teknik pengambilan sampel didasarkan pertimbangan untuk tujuan tertentu (purposive sampling). Instrumen pengumpulan data melalui kuesioner, observasi, wawancara, dan dokumentasi yang telah di validasi sebelumnya. Teknik analisis data menggunakan statistik deskriptif, statistik inferensial dan analisis naratif-kualitatif.
4
Daftar Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1995). Keterampilan Menjelang 2020 untuk Era Global. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djojonegoro, W. (1998). Pengembangan Sumberdaya Manusia melalui SMK. Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset. Pardjono. (2011, Pebruari). Peran Industri dalam Pengembangan SMK. Makalah disajikan dalam Workshop peran Industri dalam Pengembangan SMK, di SMKN 2 Kasihan Bantul. Sukmadinata, N. S. (2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
5