Abstrak Permasalahan yang dihadapi kota-kota besar termasuk Kota Yogyakarta salah satunya adalah terbatasnya lahan untuk ruang terbuka hijau. Karena tekanan penduduk cukup nggi dak seimbang dengan lahan untuk hunian di kota. Sesuai ketentuan nasional yang diatur dalam Permendagri bahwa lahan untuk ruang terbuka hijau adalah 30 persen, baik lahan privat maupun lahan milik publik pemerintah. Untuk kepen ngan itulah lahir Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Permohonan, Pengadaan dan Pemanfaatan Tanah Untuk Ruang Terbuka Hijau Publik Sebagai Fasilitas Penunjang Kegiatan Masyarakat, merupakan suatu kebijakan teknis untuk mempercepat dan mendorong terwujudnya ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta. Permasalahannya apakah cukup efek f peraturan walikota ini meningkatkan par sipasi, karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat menyikapi perwal ini secara apa s, misalnya menuntut harga tanah nggi di atas kewajaran kepada pemkot, par sipasi untuk merawat dan mengelola ruang terbuka hijau publik juga rendah, di sisi lain mau memanfaatkan RTH tersebut, namun rasa memilikinya (sense of belonging ) rendah, sehingga RTH dak terawat. Peneli an ini memfokuskan pada sejauhmana efek vitas Perwal dalam meningkatkan par sipasi warga dalam mewujudkan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta, serta sejauhmana par sipasi masyarakat dalam mendukung ruang terbuka hijau publik. 130 | Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016
Efektivitas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 64 Tahun 2013 Dalam Mewujudkan Ruang Terbuka Hijau Publik Kota Yogyakarta
Peneli an dengan pendekatan deskrip f kualita f yakni ingin membahas dan menganalisis fenomena pelaksanaan Perwal Nomor 64 Tahun 2013 dan par sipasi warga dalam mewujudkan ruang terbuka hijau di kota Yogyakarta. Unit analisisnya RTH di seluruh Kota Yogyakarta, namun diambil informannya di 23 Kelurahan. Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara mendalam, FGD terbatas dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan triangulasi data, dengan tahap pengumpulan dan iden fikasi data, reduksi data, interpretasi data dan kesimpulan. Dari hasil peneli an menunjukkan bahwa dari segi pemahaman atas adanya Perwal Nomor 64 Tahun 2013 terkait pengadaan lahan guna mendukung ruang terbuka hijau sebagian besar warga dak mengetahui. Kalaupun ada yang tahu mereka menganggap bahwa mereka mengetahui sebatas pemkot lelang tanah warga untuk kepen ngan umum saja. Fakta lain bahwa adanya keterbatasan lahan di wilayah perkotaan, sehingga harga tanah sudah sangat nggi. Dalam hal pengadaan dan pembangunan ruang terbuka hijau, warga masyarakat kurang dilibatkan, karena pembangunan dilakukan oleh BLH, sementara warga hanya menikma hasil saja. Seharusnya warga berpar sipasi ak f dalam perencanaan, pelaksanaan sampai pemanfaatan, dan perawatan. Sementara untuk pengadaan RTH privat sudah cukup baik, sehingga pemkot bisa memenuhi criteria 30 persen ruang terbuka hijau di kota Yogyakarta. Kata Kunci : Ruang terbuka hijau, par sipasi, perwal, kota hijau. Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016 | 131
PENDAHULUAN Lahirnya Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Permohonan, Pengadaan dan Pemanfaatan Tanah Untuk Ruang Terbuka Hijau Publik Sebagai Fasilitas Penunjang Kegiatan Masyarakat, merupakan suatu kebijakan teknis untuk mempercepat dan mendorong terwujudnya ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta. Namun implementasi kebijakan tersebut harus mendapat dukungan par sipasi warga kota Yogyakarta. Sejak dilaksanakan kebijakan tersebut belum ada suatu evaluasi terkait dengan efek vitasnya, untuk itu peneli an berusaha untuk melihat sejauhmana kebijakan tersebut mendapat dukungan dari warga. Konsep ini merupakan upaya untuk mengurangi kerusakan lingkungan, sekaligus berupaya membangun ruang terbuka hijau (RTH) dengan didukung peran serta masyarakat. Dengan demikian warga masyarakat mempunyai tanggungjawab untuk terlibat dalam mewujudkan ruang terbuka hijau di lingkungan masingmasing, sehingga peran pemerintah lebih bersifat memfasilitasi, bukan sebagai aktor utama dalam mewujudkan lingkungan hijau. Hal ini relevan dikaitkan keterbatasan anggaran pemerintah, sehingga dak mungkin mengandalkan peran pemerintah, sekaligus mengembangkan par sipasi masyarakat. Salah satu permasalahan kota besar adalah terbatasnya lahan untuk pengembangan taman terbuka hijau, karena ruang terbuka hijau sangat pen ng untuk keseimbangan alam. Seharusnya se ap terjadi pengambilalihan lahan harus memper mbangkan keberadaan ruang terbuka hijau (RTH). Dalam realitanya banyak pendirian bangunan yang dak memperha kan keberadaan ruang terbuka hijau (RTH), seper pembangungan hotel-hotel di Kota Yogyakarta yang dak dibarengi dengan keberadaan ruang terbuka hijau, bahkan ada kesan tanah dihabiskan untuk memaksimalkan ruang bangunan. Jumlah RTH di Kota Yogyakarta sebesar 31,65%. Kota Yogyakarta memiliki komitmen nggi untuk mewujudkan ruang terbuka hijau, hal ini ditandai dengan adanya 3 Perwal dan Kepwal terkait RTH. Kota Yogyakarta juga sudah memiliki 4 Perda dan Perwal terkait perizinan. Terdapat pula Unit Pelayanan Informasi dan Pengaduan (UPIK) yang merupakan media pengelolaan pesan dari masyarakat berupa informasi (saran, usul, pertanyaan, keluhan, kri k dan informasi).
132 | Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016
Berkaitan dengan pengembangan taman terbuka hijau Pemerintah Kota Yogyakarta, Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan, di perkotaan luas RTH publik minimal 20 persen dari luasan wilayah. Sedangkan RTH privat harus ada minimal 10 persen dari total luasan wilayah. Di Yogyakarta, ketersediaan RTH publik baru 17,7 persen, sementara RTH privat sudah melebihi ketentuan yakni 14,4 persen dari wilayah. Secara umum RTH harus dilakukan dengan ga konsep zonasi: zona green spot, green belt, dan green area. Green spot adalah penghijauan pada kawasan seper perkantoran maupun fasilitas umum. Green area merupakan RTH di lahan publik, sementara green belt merupakan penghijauan pada kawasan jalan protokol. Untuk area publik inilah yang menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk area privat sebaiknya biar menjadi tanggungjawab warga masyarakat saja. Penghijauan dilakukan agar RTH privat, yang dimiliki badan usaha/orang, seper rumah, perkantoran, dak dialihfungsikan menjadi ruang publik. Hal ini ditangkap warga masyarakat sebagai mengak
an keterlibatan masyarakat dalam
mewujudkan lahan terbuka hijau. Namun permasalahan yang dihadapi justru keterbatasan lahan yang mau dihijaukan tersebut. Di sisi lain Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Permohonan, Pengadaan dan Pemanfaatan Tanah Untuk Ruang Terbuka Hijau Publik Sebagai Fasilitas Penunjang Kegiatan Masyarakat, bermaksud akan melakukan pengadaan tanah bila warga masyarakat mengajukan permohonan ruang terbuka hijau publik. Untuk itu perlu dilakukan peneli an terkait dengan efek vitas kebijakan tersebut dalam membangkitkan par sipasi warga untuk mewujudkan ruang terbuka hijau. Untuk itu peneli an ini akan memfokuskan pada kajian efek vitas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Permohonan, Pengadaan dan Pemanfaatan Tanah Untuk Ruang Terbuka Hijau Publik Sebagai Fasilitas Penunjang Kegiatan Masyarakat. Dalam hal ini akan dilakukan eksplorasi par sipasi warga masyarakat dalam mendukung terwujudnya lahan terbuka hijau. Dengan demikian akan diketahui sejauh mana efek vitas kebijakan tersebut dalam membangkitkan par sipasi warga untuk mewujudkan ruang terbuka hijau Kota Yogyakarta. Untuk itu bisa dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana efek vitas Peraturan Walikota No 64 Tahun 2013 Tentang Permohonan, Pengadaan dan Pemanfaatan Tanah Untuk Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016 | 133
Ruang Terbuka Hijau Publik Sebagai Fasilitas Penunjang Kegiatan Masyarakat mendorong par sipasi warga mewujudkan ruang terbuka hijau Kota Yogyakarta. TINJAUAN PUSTAKA Berbicara tentang efek vitas, maka dak bisa dilepaskan dengan keberhasilan atas suatu tugas atau kebijakan. Efek vitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam se ap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efek f apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seper yang telah ditentukan sebelumnya. Demikian juga dalam pelaksanaan kebijakan itu dikatakan efek f jika kebijakan itu bisa berjalan sesuai dengan harapan pembuat kebijakan. Selanjutnya Steers (1985:87) mengemukakan bahwa: “Efek vitas adalah jangkauan usaha suatu program sebagai suatu sistem dengan sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa memberi tekanan yang dak wajar terhadap pelaksanaannya”. Sedangkan menurut Kurniawan, “Efek vitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang dak adanya tekanan atau ketegangan di antara pelaksanaannya” (Kurniawan, 2005:109). Dengan demikian dapat disimpulkan efek vitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuan tas kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Untuk mengukur efek vitas organisasi, bukanlah suatu hal yang sangat sederhana, karena efek vitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang dari sudut produk vitas, maka seorang manajer produksi memberikan pemahaman bahwa efek vitas berar kualitas dan kuan tas (output) barang dan jasa. Tingkat efek vitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan ndakan yang dilakukan dak tepat sehingga menyebabkan tujuan dak tercapai atau sasaran yang diharapkan. Strees dalam Tangkilisan (2005:141) mengemukakan 5 (lima) kriteria dalam pengukuran efek vitas, yaitu: 1. Produk vitas, 2. Kemampuan adaptasi kerja, 3.
134 | Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016
Kepuasan kerja, 4. Kemampuan berlaba, 5. Pencarian sumber daya. Sedangkan Duncan yang diku p Richard M. Steers (1985:53) dalam bukunya “Efek vitas Organisasi” mengatakan mengenai ukuran efek vitas, sebagai berikut: a. Pencapaian Tujuan, Pencapaian adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan harus dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan pentahapan, baik dalam ar pencapaian bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam ar
pentahapan
periodisasinya.
Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor, yaitu: a. Kurun waktu dan sasaran yang merupakan target kongkrit. b. Integrasi, Integrasi yaitu pengukuran terhadap ngkat kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi. c. Adaptasi, Adaptasi adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk itu digunakan tolak ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja. Dalam peneli an ini akan berfokus pada efek vitas kebijakan, sehingga indikator yang dipergunakan terkait dengan efek vitas implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta. Kebijakan sebagai respon atas permasalahan yang dialami kelompok masyarakat
dak serta merta menyelesaikan permasalahan secara
instant. Sebuah kebijakan membutuhkan banyak instrumen untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan dalam kebijakan tersebut. Beberapa hal yang perlu diperha kan adalah implementasi kebijakan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya termasuk pandangan masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang. Kebijakan sebagai sebuah instrumen yang digunakan untuk mengop malkan potensi dan mengatasi hambatanhambatannya. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika efek fitas sebelum dan sesudah kebijakan menjadi pertanyaan utama dalam proses dan dinamikanya. Efek fitas kebijakan ini kemudian di pengaruhi oleh bagaimana implementasi kebiijakan tersebut. Karena dengan implementasi ini tujuan dari pembuatan kebijakan akan dicapai. Tahap implementasi ini merupakan keharusan dalam proses kebijakan. Logikanya adalah efek fitas kebijakan bagi kelompok sasaran tergantung pada bagaimana implementasi dari kebijakan itu sendiri. Van Meter dan Van Horn memberikan batasan akan implementasi kebijakan publik guna meningkatkan efek vitas bagi kelompok sasaran. Implementasi kebijakan merupakan Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016 | 135
serangkaian
ndakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok baik
representasi pemerintah maupun swasta yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Penger an menunjuk pada peran aktor-aktor yang berkaitan dengan kebijakan tersebut, baik langsung maupun dak langsung. Tindakan tersebut merupakan operasionalisasi dari apa yang telah ditetapkan dalam kebijakan yang dimaksud (Winarno, 2008: 146). Dalam peneli an ini akan memfokuskan peran kebijakan publik dalam mendorong par sipasi warga Kota Yogyakarta untuk mewujudkan lahan terbuka hijau. 1. Analisis Kebijakan Sosial Analisis kebijakan sosial adalah ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode peneli an untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis masalah-masalah sosial mungkin mbul akibat diterapkannya suatu kebijakan. Kegiatan analisis dapat bersifat ha -ha dan mendalam terhadap isuisu/ masalah-masalah yang terkait dengan evaluasi suatu program yang akan/ telah dilaksanakan. Namun analisis dapat pula bersifat informal dan dak lebih dari sekedar kegiatan berfikir secara cermat ha -ha
mengenai dampak-dampak
kebijakan terhadap kehidupan masyarakat. Menurut Dunn (1991 : 51-54), ada ga model analisis kebijakan sebagai berikut: a) Model prospek f: analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan “sebelum” suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut model “predik f” karena sering menggunakan teknik forecas ng, untuk meramalkan kemungkinankemungkinan yang mbul dari suatu kebijakan yang akan diusulkan. b) Model retropek f: analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibatakibat “setelah” suatu kebijakan diimplementasikan. Biasanya model ini disebut sebagai model evalua f karena lebih banyak menggunakan pendekatan evaluasi terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang/ telah dilaksanakan. c) Model integra f: adalah perpaduan antara dua model tersebut. 2. Strategi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berbasis Masyarakat. Pengembangan ruang terbuka hijau mempunyai peran strategis bagi
136 | Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016
keberlanjutan pembangunan, sekaligus bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, dak mungkin semua tertumpu pada pemerintah, mengingat tugas pemerintah sangatlah komplek. Keterlibatan masyarakat dalam mewujudkan ruang terbuka hijau seharusnya mendapat dorongan semua pihak, termasuk pemerintah. Menurut Nurlita Per wi bahwa perbaikan kualitas lingkungan melalui pelibatan masyarakat salah satunya dalam pengembangan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi ekologis, psikologis dan sosial budaya dapat diop malkan dengan adanya peran masyarakat dalam pengelolaannya. Op malisasi ruang terbuka hijau dengan melibatkan masyarakat diawali dengan Green Educa on. (Nurlita Per wi, : 1). Dengan demikian pelibatan masyarakat dalam mewujudkan ruang terbuka hijau menjadi suatu kebutuhan tak terelakkan. Berkaitan dengan konsep ruang terbuka hijau berbasis masyarakat, maka Green Educa on merupakan suatu konsep pendidikan alterna f yang berbasis pada masyarakat dan bertujuan untuk memberikan pengetahuan lingkungan dan pada akhirnya akan melahirkan perilaku posi f terhadap lingkungan. Dengan pendidikan terkait dengan kesadaran terhadap lingkungan merupakan modal dasar, yang dalam jangka panjang akan mampu menjaga lingkungan hidup yang aktor utamanya masyarakat. Perencanaan RTH yang matang, dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara ruang terbangun dan ruang terbuka. (Hastu , 2011). Terkait dengan hal itu, dalam teori pendidikan, kesediaan tersebut diwujudkan sebagai perilaku masyarakat. Dalam teori perubahan perilaku yang dikemukakan oleh Ajzen dalam Darnton (2008) bahwa terdapat lima hal yang berpengaruh pen ng pada perubahan perilaku yaitu sikap (a tudes), pengetahuan (knowledge), kemampuan menyesuaikan diri (self efficacy), pengendalian diri (locus of control) dan maksud atau tujuan (intent). Dengan demikian pengetahuan akan lingkungan hidup, sangat pen ng untuk membangkitkan par sipasi dalam mengembangkan ruang terbuka hijau. Model Prospek f Model Integra f Model Retrospek f menurut Sunaryo, itu karakter ruang publik ditandai dengan: 1) Ruang tempat masyarakat berinteraksi, melakukan beragam kegiatan secara berbagi dan bersama, melipu
interaksi
sosial, ekonomi dan budaya, dengan penekanan utama pada ak vitas sosial.; 2) Ruang yang diadakan, dikelola dan dikontrol secara bersama - baik oleh instansi Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016 | 137
publik maupun privat ; 3) Ruang yang terbuka dan aksesibel secara visual maupun fisik bagi semua tanpa kecuali.; dan 4) Ruang dimana masyarakat mendapat kebebasan berak vitas (Sunaryo, et.al. 2010). Dengan demikian ruang publik hijau mempunyai fungsi sosial, oleh karena itu pengembangan ruang publik terbuka hijau sebaiknya dikembangkan berdasarkan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya sebagai pengembangan RTH privat, masyarakat dapat melakukan penataan pekarangan. Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan diuraikan definisi pekarangan yaitu Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai ak vitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seper tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing-masing kota. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya mampu memanfaatkan lahan pekarangan secara op mal. Keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan yang sempit, dak menutup kemungkinan untuk mewujudkan RTH melalui penanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya, sehingga menciptakan ruang terbuka hijau di lingkungan masing-masing. METODOLOGI PENELITIAN Peneli an ini merupakan peneli an terapan yang berupaya mendialogkan model peneli an kebijakan karena hasil-hasilnya untuk keperluan advokasi kebijakan pemerintah. Peneli an kebijakan semacam ini berupaya menganalisis isi kebijakan untuk selanjutnya melakukan penyempurnaan kebijakan pemerintah, khususnya dalam mengelola kebijakan dan penguatan masyarakat, khususnya gender. Pada umumnya peneli an kebijakan dapat dibagi dalam : Pertama, evaluasi kebijakan: menilai implementasi dan implikasi kebijakan yang dibandingkan dengan disain (rencana) kebijakan. Model ini biasa digunakan untuk kebutuhan prak s, yakni melakukan evaluasi proyek, atau membandingkan antara rencana dan pelaksanaan proyek dengan berpedoman pada kerangka logis perencanaan proyek. Hasilnya untuk inovasi (kreasi atas pengetahuan, teknologi dan strategi untuk memperbaiki produk) atas implementasi. Namun model ini dak mampu menangkap akar masalah besar yang bersumber dari konten dan konteks
138 | Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016
kebijakan. Kedua, review atau sintesis kebijakan: meneli
implikasi kebijakan
secara mendalam, lalu digunakan sebagai umpan balik atas konten kebijakan. Model ini lebih maju dan kompleks daripada model evaluasi. Ia Memulai dari implikasi kebijakan dan berakhir pada disain/substansi kebijakan; dak hanya melihat implementasi, tetapi fokus secara dalam pada implikasi kebijakan. Model ini menjadikan catatan kri s dan pelajaran berharga dari implikasi kebijakan sebagai dasar umpan balik atau memberi rekomendasi untuk perubahan (reformasi) atas disain kebijakan. Peneli an ini akan mengambil model peneli an kebijakan kedua, yakni ingin mengkaji isi dan implikasi kebijakan, selanjutnya menawarkan alterna f strategi tertentu untuk dijadikan rekomendasi kebijakan atau perubahan kebijakan. Dalam peneli an ini yang menjadi objek peneli an adalah penerapan Peraturan Walikota Yogyakarta Tentang Permohonan Pengadaan dan Pemanfaatan Tanah Untuk Ruang Terbuka Hijua Publik Sebagai Fasilitas Penunjang Kegiatan Masyarakat dalam mewujudkan ruang terbuka hijau, serta par sipasi warga dalam mendukung kebijakan tersebut. Subjek peneli an tokoh masyarakat yang mengetahui pelaksanaan peraturan walikota tersebut, serta segenap warga yang berpar sipasi untuk mewujudkan ruang terbuka hijau. Lokasi peneli an 20 kelurahan yang memperoleh bantuan pengadaan ruang terbuka hijau. HASIL PENELITIAN Dari hasil peneli an dapat disarikan sebagai berikut: 1. Secara umum keberadaan Perwal terkait dengan pengadaan lahan bagi ruang terbuka hijau publik belum tersosialisasikan dengan baik, sehingga sebagian besar masyarakat dak mengetahui, seharusnya pemerintah kota melalui instansi atau SKPD terkait lebih banyak melakukan sosialisasi keberadaan Perwal tersebut. Ke dak-sampaian informasi terkait dengan Perwal ini berdampak pada
dak
diketahuinya program pembuatan ruang terbuka hijau untuk publik, dengan cara warga masyarakat mengajukan proposal untuk pembelian tanah warga. 2. Pelaksanaan Perwal ini belum cukup efek f karena ada kesulitan untuk membebaskan tanah di wilayah perkotaan, kalaupun ada harganya sudah mahal sehingga akan berhadapan anggaran pemerintah yang terbatas. Bahkan dalam proses transaksi jual beli tanah antara pemkot dengan warga ini, sikap warga yang
Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016 | 139
dak kompromi karena warga mau menjual tanah dengan harga yang
nggi
terkadang di atas harga NJOB. Sikap masyarakat ini terjadi karena warga kurang diajak dialog dengan Pemkot dalam perencanaan program ruang terbuka hijau. 3. Terkait dengan kelembagaan yang mengeksekusi perwal ini melibatkan beberapa SKPD antara lain: Bagian Tata Pemerintahan yang mengadakan pembayaran pembelian lahan, Dinas Pembangunan Gedung dan Asset Daerah yang membangun gedungnya, Badan Lingkungan Hidup yang membangun ruang terbuka hijaunya, Bappeda yang merencanakan dan melaksanakan pembeliannya. Hal ini akan berhasil dengan baik jika terjadi koordinasi yang baik, namun antar SKPD mempunyai ego sektoral yang
nggi, sehingga akan menimbulkan
kelambanan dalam proses pengadaan dan pembangunannya. 4. Perwal ini juga belum mampu membangkitkan par sipasi warga perkotaan secara op mal, karena dalam hal ini warga hanya membuat proposal pengajuan permohonan ruang terbuka hijau publik. Setelah itu proses pengadaan tanah sampai proses pembangunan dak melibatkan par sipasi warga, bahkan dalam pengawasan dan menjaga keberlanjutannya proyek warga kurang mempunyai antusias, tetapi malah menuntut ada insen f, padahal warga inilah yang menikma ruang terbuka hijau. 5. Dalam program ini Pemkot belum mengembangkan dialog warga, terutama dalam proses pengadaan lahan publik dan pembangunan ruang terbuka hijau. Padahal dengan proses dialog ini akan bisa meringankan beban pemerintah dalam pengadaan lahan maupun dalam pembanguan ruang terbuka hijau. Akibatnya warga masyarakat belum mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) atas proyek tersebut, sehingga warga bersedia untuk merawat dan menjaga keberlanjutan proyek tersebut. KESIMPULAN Kesimpulan Secara teknis keberadaan Perwal ini belum diketahui oleh sebagaian besar warga kota sehingga ke ka ditanyakan terkait hal ini warga dak mengetahui. Untuk itu pemerintah melalui SKPD terkait dituntut untuk melakukan sosialisasi, dibantu kecamatan dan kelurahan untuk intensif melakukan sosialisasi atas Perwal tersebut. Secara substan f pelaksanaan Perwal ini belum bisa berjalan secara op mal karena menghadapi kesulitan untuk membebaskan lahan guna
140 | Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016
melaksanakan kebijakan ruang terbuka hijau publik bagi warga perkotaan dalam suatu wilayah. Bahkan ada 2 kecamatan dimana kita susah untuk memperoleh lahan guna membentuk ruang terbuka hijau publik yakni di Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Paku Alaman. Untuk itulah perlunya mengajak dialog warga yang intens untuk memperoleh aspirasi dan masukan warga kota Yogyakarta.
SARAN DAN REKOMENDASI Perwal ini perlu direvisi mengingat perkembangan ke depan mungkin dak efek f, karena terbatasnya lahan yang akan dibebaskan oleh pemerintah kota, kalaupun ada hanya terjadi dibeberapa kecamatan saja, sehingga bisa menimbulkan ke dakadilan antar wilayah. Untuk itulah perlunya memperkuat ruang terbuka hijau privat yang mana pemerintah dak harus membebaskan tanah yang harganya semakin mahal. Dalam hal ini pemerintah cukup memberi s mulan kepada kelompok warga untuk mengembangkan lahan terbuka hijau di tengah-tengah keterbatasan lahan perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA Boeke, Yang Terhempaskan, Yang Bertahan : Sektor Informal dan Subversi Realitas, Balairung UGM, Yogyakarta; Budiharjo, Eko, (1997), Tata Ruang Perkotaan, Alumni, Bandung. Conyers, (1992), Perencanaan Sosial Di Dunia Ke ga (terjemahan), Gadjamada University Press, Yogyakarta Darnton, A. 2008. Behaviour Change Knowledge Review. Social Scences in Government Dunn, William N., (1994)
Jurnal Peneli an BAPPEDA Kota Yogyakarta 2016 | 141