PENGARUH PSAK NO. 55 (REVISI 2006): PENGAKUAN DAN PENGUKURAN INSTRUMEN KEUANGAN, TERHADAP EARNINGS INFORMATIVENESS DAN KEMAMPUAN PASAR DALAM MEMPREDIKSI LABA MENDATANG Dianwicaksih Arieftiara Universitas Negeri Surabaya ABSTRACT This study examined whether the implementation of the accounting standard changes, specifically PSAK. 55 (revised 2006) affects the earnings information in the financial statements so that they can have an impact on earnings informativeness and the ability of markets to predict future earnings. The focus of this study was to compare whether the recognition and measurement of impairment provision for accounts receivable and allowance for losses caused differences in the Earnings Response Coefficient (ERC) and Forward Earnings Response Coefficient (FERC). Two results of this study, first, in post-PSAK No. 55 (revised 2006) the coefficient of current earnings increased compared with pre-PSAK No. 55 (revised 2006), however, the results were not significant. Second, the implementation of PSAK No. 55 (revised 2006) increasing the ability of the market to predict future earnings (FERC increases). Shown by coefficient of future earnings after the implementation of PSAK No. 55 (revised 2006) significantly greater than the pre-implementation. Kata Kunci: PSAK No. 55 (revisi 2006); earning response coefficient, forward earnings response coefficient
I. PENDAHULUAN Paper ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan perubahan standar akuntansi yaitu PSAK No. 55 (revisi 2006) mempengaruhi informasi laba dalam laporan keuangan sehingga dapat berdampak pada earning informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang. Berbagai literatur telah menyediakan perbedaan bukti mengenai dampak perubahan praktik/standar akuntansi pada earnings informativeness dan prediksi laba mendatang (forward earning response coefficient-FERC). Hanlon et al. (2008) menemukan bahwa perubahan standar akuntansi pada negara yang menyesuaikan dengan aturan pajaknya membuat earnings informativeness berkurang. Sebaliknya Ettredge et al. (2005) menemukan bahwa setelah perusahaan menerapkan SFAS No. 131 mengenai Business Segment Data, berakibat pada peningkatan kemampuan stock price informativeness pada perusahaan yang telah melaporkan multi segmen sebelumnya, Sejak 2006, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) telah melakukan berbagai revisi PSAK di Indonesia dengan mengkonvergen pada IFRS. Ikatan Akuntan Indonesia telah menetapkan bahwa untuk seluruh entitas yang berakuntabilitas publik, wajib menerapkan PSAK Besar (yaitu PSAK yang mengadopsi penuh IFRS) per 1 Januari 2011. Untuk PSAK No. 55 (revisi 2006) berdasarkan ketentuan oleh DSAK mulai diterapkan per 1 Januari 2009, namun pada praktiknya penerapan secara umum mundur satu tahun yaitu pada 1 Januari 2010. Fokus dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi apakah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) berpengaruh pada earning informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings. Mengapa perlu dilakukan penelitian ini? Selain adanya perbedaan hasil riset seperti telah disebutkan pada paragraf awal, yaitu hasil penelitian Hanlon et al. (2008) dan Ettredge et al. (2005), Laporan Keuangan harus memenuhi karakteristik kualitatif yaitu relevan dan reliabel. Salah satu contoh perubahan PSAK No. 55 (revisi 2006) adalah jika sebelum revisi PSAK, pengakuan piutang ialah sebesar nilai bersih yang dapat terealisasi, cadangan kerugian piutang dinilai berdasarkan umur
historis piutang. Namun setelah revisi 2006, perusahaan harus mengestimasi penurunan nilai piutang, yaitu harus ada bukti objektif bahwa terdapat peristiwa yang menyebabkan penurunan nilai, yakni piutang tidak dapat tertagih sebesar nilai saat ini. Untuk menentukannya maka perusahaan menggunakan nilai wajar dimana harus memperhatikan time value of money, tingkat diskonto sesuai dengan kapan terjadinya piutang tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan dasar pengukuran aset dan kewajiban keuangan adalah biaya historis. Sehubungan dengan karakteristik kualitatif, konsep biaya historis dapat memenuhi kualitas reliabel karena mudah memastikan kebenaran nilainya berdasarkan dokumen transaksi. Akan tetapi konsep historis tidak lagi relevan apabila memperhitungkan time value of money. Sebaliknya konsep nilai wajar berdasarkan PSAK No. 55 (revisi 2006) sangat relevan dalam menilai cadangan kerugian penurunan piutang karena mempertimbangkan time value of money, namun estimasi nilai wajar tersebut tidak bisa diyakini keandalannya karena penuh dengan subjektivitas penilai (appraisal), mengorbankan reliability-nya. Hal ini sesuai dengan Richardson et al. (2005), yang mengungkapkan bahwa selalu terjadi trade-off antara reliability dengan relevance. Pada papernya Richardson et al. (2005) berargumen bahwa pengakuan terhadap estimasi akrual yang kurang reliabel akan membawa pada kesalahan pengukuran (measurement error) yang dapat mengurangi persistensi earnings dan membawa pada mispricing saham. Penilaian piutang berdasarkan nilai wajar ini diadopsi dari standar akuntansi internasional/IFRS. Banyak anggapan bahwa akuntansi nilai wajar memiliki relevansi nilai yang lebih dibandingkan dengan biaya historis. Salah satunya adalah penelitian oleh Hassan et al. (2006) menginvestigasi apakah informasi nilai wajar memiliki relevansi nilai untuk perusahaan di Australia khususnya pada industri ekstraktif. Dimana standar akuntansi di Australia telah mengalami perubahan mengenai pengukuran instrumen keuangan, yaitu AASB 139 mensyaratkan instrumen keuangan harus diukur berdasarkan nilai wajar. Hasilnya bahwa nilai wajar bersih atas aset keuangan memiliki relevansi nilai yang lebih dibanding biaya historis. Hasil yang sama diperoleh di Jordania, Nimer et al. (2011) telah dilakukan penelitian mengenai efek implementasi IAS 39 mengenai financial instrument pada investor Jordania (Nimer, et al., 2011). Hasilnya, dengan penerapan IAS 39, berpengaruh pada profit perusahaan intermediaris dan perusahaan investasi. Terjadi volatilitas profit perusahaan intermediaris dan investasi sejalan dengan konsentrasi aset mereka pada instrumen keuangan, konsekuensinya baik itu investor individu maupun institusional mengurangi investasi mereka tiga tahun terakhir pada perusahaan. Dapat disimpulkan dari hasil penelitian Nimer et al. (2011) bahwa pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan dengan nilai wajar berdasarkan IAS 39 memiliki relevansi nilai dan berhubungan negatif dengan return perusahaan ditandai dengan berkurangnya investasi para investor pada perusahaan. Namun, hasil berbeda ditunjukkan di Finlandia, melalui bukti penelitian Jarva dan Lantto (2010) menunjukkan bahwa laba yang dilaporkan dengan standar akuntansi IFRS tidak memiliki relevansi nilai yang lebih tinggi daripada laba yang dilaporkan dengan standar akuntansi lokal yaitu Finland Accounting Standard. Dimana standar akuntansi Finlandia mengacu pada biaya historis. Sejalan dengan Jarva dan Lantto (2010), Al-Yaseen, et al. (2011) menemukan bahwa menurut persepsi investor, volatilitas laba bersih historical cost merupakan ukuran risiko ekonomis yang lebih baik dibanding dengan volatilitas laba bersih nilai wajar, dengan pengukuran nilai wajar akan berdampak pada kemampuan pengukuran risiko yang relevan sehingga dapat mengurangi ketepatan keputusan investor. Beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan adanya perbedaan mengenai relevansi nilai laporan keuangan yang disusun menggunakan standar akuntansi yang mensyaratkan nilai wajar dengan standar yang mensyaratkan biaya historis. Perbedaan hasil riset inilah yang mendorong peneliti melakukan penelitian untuk mencari bukti lebih lanjut mengenai relevansi nilai dan fokus pada mengukur dampak earnings informativeness atas perubahan standar akuntansi mengenai pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan. Kemudian, hal lain yang memotivasi peneliti adalah, pada penelitian terdahulu belum mengkaitkan standar akuntansi mengenai pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan dengan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (forward earnings responce coefficient/FERC).
Pada penelitian ini, proksi yang digunakan untuk mengukur penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) adalah penyisihan kerugian/penurunan nilai piutang (mengingat pengukuran dan pengakuan penurunan nilai aset keuangan merupakan salah satu hal terpenting dalam PSAK No. 55-revisi 2006). Ini juga sesuai dengan Krishnakumar dan Kulkarni (2007) bahwa satu perubahan penting yang diperkenalkan oleh IAS 39 mengenai Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran. Perubahan tersebut terkait pengakuan dan pengukuran ‘impairment and uncollectability of financial assets’. Proksi untuk mengukur earning informativeness adalah menggunakan Earnings Response Coefficient (ERC) sesuai dengan penelitian Hanlon et al. (2008), sedangkan proksi untuk mengukur kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings adalah menggunakan Forward Earnings Response Coefficient (FERC) sesuai penelitian Ettredge et al. (2005). Penelitian sebelumnya mengenai perubahan standar akuntansi terhadap earning informativeness dan prediksi laba mendatang memang telah ada (misal Hanlon et al., 2008 dan Ettredge et al., 2005). Namun, penelitian tersebut bukan fokus pada perubahan standar mengenai pengukuran dan pengakuan instrumen keuangan. Sedangkan pada penelitian ini fokus terhadap perubahan standar akuntansi mengenai pengukuran dan pengakuan instrumen keuangan. Penelitian mengenai penerapan perubahan PSAK di Indonesia umumnya menginvestigasi implikasi penerapan PSAK dan mengkaitkan dengan kinerja keuangan. Namun, belum ada yang mengkaitkan dengan kualitas laporan keuangan dan earnings informativeness serta kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings. Selain dimotivasi oleh adanya perbedaan hasil penelitian di luar negeri, penelitian ini juga dilakukan karena peneliti belum menemukan adanya penelitian sebelumnya di Indonesia yang meneliti relevansi nilai atau implikasi penerapan PSAK 55 revisi 2006 terhadap investor atau harga saham. Beberapa penelitian sebelumnya di Indonesia mengenai penerapan PSAK 55 revisi 2006 kebanyakan adalah penelitian deskriptif, yaitu mendeskripsikan implikasi penerapan pada kinerja keuangan perusahaan/entitas. Permasalahan penelitian yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah apakah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) berpengaruh terhadap earning informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (future earnings)? Penelitian ini fokus membahas salah satu perubahan penting di dalam PSAK No. 55 (revisi 2006), yaitu perubahan mengenai pengakuan dan pengukuran atas penurunan nilai dan tidak tertagihnya aset keuangan (dalam hal ini adalah piutang). Kontribusi yang akan diberikan dari hasil penelitian ini adalah: a. Menyediakan bukti empiris dampak perubahan standar akuntansi mengenai pengukuran dan pengakuan instrumen keuangan (PSAK No. 55 revisi 2006) terhadap earnings informativeness (ERC) dan kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings (FERC). Belum ada penelitian mengenai dampak penerapan standar pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan yaitu PSAK No. 55 (revisi 2006) di Indonesia terhadap ERC dan FERC. b. Adanya perbedaan hasil riset mengenai relevansi nilai informasi dari laporan keuangan yang disusun dengan standar akuntansi nilai wajar dibandingkan dengan standar akuntansi biaya historis, yaitu bukti di Finlandia, Australia dan Jornania. Maka penelitian ini ingin mencari bukti lebih lanjut. c. Adanya perbedaan hasil riset mengenai dampak perubahan standar akuntansi (mengenai business segment dan standar akuntansi yang conformity dengan aturan pajak) terhadap earnings informativeness di luar negeri, maka penelitian ini diharapkan dapat memperoleh bukti empiris dampak penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mengenai pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan di Indonesia terhadap kualitas informasi laporan keuangan (yakni earnings informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings). Sampel penelitian ini terdiri dari perusahaan publik sektor keuangan non bank pada 2009-2010. Total observasi adalah 70 perusahaan-tahun. Metode pengolahan data menggunakan regresi OLS. Hasilnya, pertama koefisien laba tahun ini meningkat setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dibandingkan dengan sebelum penerapan. Meskipun sesuai prediksi bahwa koefisiennya lebih besar, namun hasilnya tidak signifikan, sedangkan untuk periode sebelum penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) signifikan. Hasil ini mengindikasikan akuntansi nilai wajar atas pengakuan penurunan nilai
piutang/kerugian piutang tidak terbukti secara signifikan memiliki relevansi nilai yang lebih baik dibanding dengan berdasarkan biaya historis. Kedua, penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mampu meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (FERC meningkat). Ditunjukkan dari koefisien laba tahun depan (Et+1) setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) lebih besar dan signifikan daripada sebelum penerapan.
II. STUDI LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Mekanisme Identifikasi Penurunan Nilai dan Tidak Tertagihnya Aset Keuangan sesuai PSAK No. 55 (revisi 2006) Salah satu perubahan dalam PSAK No. 55 (revisi 2006) dibandingkan sebelum revisi PSAK, yaitu pengakuan piutang adalah sebesar nilai bersih yang dapat terealisasi. Cadangan kerugian piutang dinilai berdasarkan umur historis piutang. Namun setelah revisi 2006, perusahaan harus mengestimasi penurunan nilai piutang, yaitu harus ada bukti objektif bahwa terdapat peristiwa yang menyebabkan penurunan nilai, yakni piutang tidak dapat tertagih sebesar nilai saat ini. Untuk menentukannya maka perusahaan harus memperhatikan time value of money, tingkat diskonto sesuai dengan kapan terjadinya piutang tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan dasar pengukuran aset dan kewajiban keuangan adalah biaya historis. Sehubungan dengan karakteristik kualitatif, konsep biaya historis dapat memenuhi kualitas reliabel karena mudah memastikan kebenaran nilainya berdasarkan dokumen transaksi. Akan tetapi jika memperhitungkan time value of money maka cadangan kerugian piutang berdasarkan nilai historis tidak relevan (makin lama nilai uang akan semakin berkurang). Konsep nilai wajar berdasarkan PSAK No. 55 (revisi 2006) sangat relevan dalam menilai cadangan kerugian penurunan piutang karena mempertimbangkan time value of money, namun estimasi nilai wajar tersebut tidak bisa diyakini keandalannya karena penuh dengan subjektivitas penilai (appraisal), mengorbankan reliability-nya. Hal ini sesuai dengan Richardson et al. (2005), yang mengungkapkan bahwa selalu terjadi trade-off antara reliability dengan relevance. Hubungan perubahan standar akuntansi dengan earning informativeness (Earnings Response Coefficient/ERC). Dibanding dengan pengakuan dan pengukuran piutang dengan standar sebelumnya yang menggunakan biaya historis dan dasar pengakuan kerugian penurunan piutang tidak mensyaratkan adanya bukti obyektif. Konsep nilai wajar berdasarkan PSAK No. 55 (revisi 2006) sangat relevan dalam menilai cadangan kerugian penurunan piutang karena mempertimbangkan time value of money. Pengakuan awal piutang menggunakan nilai wajarnya, pengukuran piutang setelah pengakuan awal adalah diukur pada biaya perolehan diamortisasi dengan menggunakan suku bunga efektif. Amortisasi biaya perolehan dari piutang tersebut sebagai pendapatan bunga atau beban bunga selama periode yang relevan. Pada setiap tanggal neraca entitas mengevaluasi apakah terdapat bukti obyektif bahwa aset keuangan atau kelompok aset keuangan mengalami penurunan nilai. Jika terdapat bukti tersebut, maka jumlah kerugian tersebut diukur sebagai selisih antara nilai tercatat aset dengan nilai kini estimasi arus kas masa datang (tidak termasuk kerugian kredit di masa datang yang belum terjadi) yang didiskonto menggunakan suku bunga efektif awal dari aset tersebut (yaitu suku bunga efektif yang dihitung pada saat pengakuan awal). Nilai tercatat aset tersebut dikurangi, baik secara langsung maupun menggunakan pos cadangan. Jumlah kerugian yang terjadi diakui pada laporan laba rugi. Pengakuan dan pengukuran piutang berdasarkan nilai wajar dapat lebih informatif kepada pemegang saham atau investor mengenai arus kas yang dapat diterima dikemudian hari atas pelunasan piutang. Pemegang saham dan investor dapat memprediksi dengan lebih baik potensi arus kas masuk dari pelunasan piutang, laba periode tersebut telah mengandung beberapa potensi kerugian yang akan timbul dengan nilai yang wajar. Hal ini dikarenakan perubahan/penurunan nilai piutang diukur sesuai bukti obyektif memperhitungkan adanya time value of money. Pengukuran seperti ini tidak terdapat pada metode biaya historis.
Akuntansi nilai wajar menjadi opsi yang lebih disukai untuk akuntansi instrumen keuangan dibandingkan dengan biaya historis. Utamanya adalah kerena: (a) biaya tidak relevan atau tidak dapat dipahami, (b) mengukur instrumen keuangan pada nilai wajar adalah praktis, (c) nilai wajar menghilangkan isu yang dapat muncul apabila menggunakan metode biaya, (d) nilai wajar ridak terlalu berbeda dengan praktik saat ini, dan (e) manfaat nilai wajar tidak diperoleh pada biaya yang masuk akal/reasonable cost (Hancock, 1996 dalam Hassan et al. 2006). Dengan beralih ke nilai wajar diyakini bahwa informasi berbasis pasar merupakan data keuangan yang paling relevan untuk pengguna laporan keuangan. Hanlon et al. (2008) menemukan bahwa perusahaan pada negara yang standar akuntansinya beralih dari cash accounting ke accrual accounting (standar akuntansi makin sesuai dengan aturan pajak) membuat earnings informativeness turun. Hasil ini mengindikasikan bahwa perubahan standar akuntansi menyebabkan berkurangnya ERC. Di Indonesia standar akuntansi jauh berbeda dengan aturan pajak, khususnya mengenai pengakuan kerugian piutang. Oleh karena pengukuran kerugian piutang menurut PSAK dan menurut aturan pajak sangat berbeda, maka indikasinya akan membuat earning informativeness meningkat. Dari beberapa penjelasan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis 1 sebagai berikut: H1: Penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) meningkatkan earning informativeness perusahaan. Hubungan perubahan standar akuntansi dengan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (Forward earnings response coefficient/FERC). Pengakuan dan pengukuran aset keuangan di Indonesia telah mengadopsi kepada IFRS (IAS 39) yaitu lebih pada pengukuran nilai wajar atas kemungkinan penurunan nilai aset keuangan tersebut. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menguji apakah dengan menggunakan penilaian nilai wajar memberikan dampak bahwa laporan keuangan dapat menjadi lebih informatif dibanding berdasarkan konsep biaya historis (Khurana dan Kim, 2003 dalam Hassan et al., 2006). Penelitian oleh Hassan et al. (2006) menginvestigasi apakan informasi nilai wajar memiliki relevansi nilai untuk perusahaan di Australia khususnya pada industri ekstraktif. Dimana standar akuntansi di Australia telah mengalami perubahan mengenai pengukuran instrumen keuangan, yaitu AASB 139 mensyaratkan instrumen keuangan harus diukur berdasarkan nilai wajar. Hasilnya bahwa nilai wajar bersih atas aset keuangan memiliki relevansi nilai yang lebih dibanding biaya historis. Ettredge et al. (2005) menguji dampak perubahan standar akuntansi terhadap kemampuan kandungan informasi dari laporan keuangan dalam memprediksi laba mendatang. Ettredge et al. (2005) menguji dampak SFAS No. 131 mengenai business segment data pada kemampuan pasar dalam mengantisipasi future earnings. Hasilnya adalah terbukti bahwa kemampuan perusahaan dalam memprediksi future earnings meningkat atau FERC bertambah setelah periode penerapan SFAS No. 131. Dari beberapa penjelasan diatas, maka hipotesis 2 yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H2: Penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings perusahaan Kerangka Berfikir Alur berfikir penelitian ini dapat secara ringkas dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Berpikir PSAK NO. 55 (revisi 1999)
Sampai dengan tahun 31 Desember 2009
PSAK NO. 55 (revisi 2006) Pengakuan dan Pengukuran Penurunan nilai dan tidak tertagihnya Aset Keuangan (Piutang)
Mulai 1 Januari 2010
Laporan Keuangan Earning informativeness
Harga saham/return saham
Prediksi pasar atas Future earnings Sumber: olahan penulis dari berbagai sumber.
III. METODA PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi apakah penerapan perubahan standar akuntansi yaitu PSAK No. 55 (revisi 2006) mempengaruhi informasi laba dalam laporan keuangan sehingga dapat berdampak pada earning informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang. Dilihat dari tujuan penelitian, maka jenis penelitian ini dapat dikategorikan jenis penelitian kausal. Penelitian kausal menggambarkan suatu variabel disebabkan oleh satu atau dua variabel lain, suatu variabel dipengaruhi satu atau beberapa variabel yang lain (Cooper et al., 2006:152). Analisis data di penelitian ini menggunakan teknik multivariate regression analysis. Sampel dan Data Penelitian Sampel penelitian ini adalah Lembaga Keuangan non bank yang datanya tersedia di BEI tahun 2009 dan 2010. Pertimbangan tidak dimasukkannya bank dalam sampel penelitian adalah karena menurut penjelasan Deputi Direktur Pengawasan Bank II BI Duddy Iskandar, dalam acara diskusi BI dan wartawan di Jakarta (Antara News, 2010) bahwa sektor perbankan yang telah secara penuh menerapkan PSAK 50 dan 55 adalah beberapa bank asing. Bank lokal hanya beberapa yang sudah menerapkan, namun penerapannya tersebut belum secara penuh. Bank lokal belum memiliki data historis dan untuk itu bank harus melakukan penilaian debitur berdasarkan data historis tiga tahun ke belakang dan kewajiban membuat pencadangan kredit bermasalah pada hari dimana dia melaporkan laporan keuangannya. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data pool, meliputi laporan keuangan perusahaan sampel sejak 2009 sampai 2010. Pertimbangan dipilihnya tahun-tahun tersebut adalah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) ini mulai berlaku efektif per tanggal 1 Januari 2010, sehingga untuk menangkap dampak perubahan diambil laporan keuangan 1 tahun (2009) yang disusun tanpa
PSAK No. 55 (revisi 2006) dan laporan keuangan 1 tahun (2010) yang disusun dengan memperhatikan PSAK No. 55 (revisi 2006). Total observasi akhir adalah 70 perusahaan tahun. Definisi operasional dan pengukuran variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Variabel dependen: Return saham merupakan ratio harga saham pada saat penutupan minggu ini dengan harga saham pada saat penutupan minggu sebelumnya. Return saham mingguan tersebut kemudian dijumlah selama periode 12 bulan yang berakhir tiga bulan setelah akhir tahun pajak dengan cara:
(1) Dimana: Rit = return saham perusahaan i pada minggu t Pit = Harga saham perusahaan i saat penutupan minggu ke-t Pi(t-1) = Harga saham perusahaan i saat penutupan minggu ke t-1 b.
Variabel Independen: - Penyisihan Penurunan Nilai dan Tidak Tertagihnya Aset Keuangan (ALLOW) Sebagai proksi penerapan perubahan PSAK No. 55. Allowance (ALLOW) ini merupakan besarnya nilai penyisihan piutang ragu-ragu /penurunan nilai piutang yang dilaporkan perusahaan pada laporan keuangan tahun berjalan, diskalakan dengan total aset. - POST adalah periode/tahun. Bernilai 1 untuk periode setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dan bernilai 0 untuk periode lainnya - Laba (Earnings/Et-1) merupakan laba bersih bersih pada tahun ke t-1, dibagi dengan total aset tahun ke t-1. - Laba (Earnings/Et) merupakan laba bersih bersih pada tahun ke t, dibagi dengan total aset tahun ke t. - Laba (Earnings/Et+1) merupakan laba bersih bersih pada tahun ke t+1, dibagi dengan total aset tahun ke t+1.
c.
Variabel kontrol: - SIZE merupakan ukuran perusahaan yang dihitung dengan cara mencari natural logaritma dari total aset. - GROWTH merupakan pertumbuhan perusahaan yang diukur dari pertumbuhan penjualan, yaitu persentase peningkatan penjualan pada tahun ini dibanding dengan penjualan tahun sebelumnya seperti dalam Hanlon et al. (2008).
Uji Empiris Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan regresi. Model empiris yang digunakan untuk menguji hipotesis mengadopsi dari model yang digunakan oleh Ettredge et al. (2005) yaitu:
(2) Dimana R merupakan return saham perusahaan selama periode 12 bulan yang berakhir tiga bulan setelah akhir tahun pajak; ALLOW merupakan besaran nilai penyisihan kerugian/penurunan nilai piutang; Et-1 merupakan laba tahun lalu; Et merupakan laba saat ini; koefisien Et merupakan earnings informativeness atau ERC; Et+1 merupakan laba tahun mendatang; koefisien E t+1 merupakan forward earnings response coeficient yaitu kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang atau FERC; POST adalah 1 untuk periode setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dan bernilai
0 untuk periode lainnya, SIZE adalau logaritma dari total aset; Untuk mengontrol pengaruh ERC dan FERC berasal dari kondisi makro ekonomi maka variabel kontrol yang digunakan adalah variabel GROWTH, yaitu persentase peningkatan penjualan pada tahun ini dibanding dengan penjualan tahun sebelumnya. Pengujian keakurasian model. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan Ordinary Least Square (OLS). Setelah menentukan model, selanjutnya adalah menentukan apakah model yang dipakai tersebut merupakan model terbaik untuk mengukur pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Agar memperoleh model yang Best Linear Unbiased Estimator (BLUE), maka dilakukan pengujian normalitas data dan pengujian asumsi klasik terlebih dahulu atas data penelitian sebelum diolah. Model regresi linear berganda yang baik harus memenuhi asumsi klasik, yaitu data berdistribusi normal, tidak terjadi multikolinearitas, tidak terjadi heterokedastisitas, dan tidak terjadi autokorelasi. Berikut pengujian asumsi klasik: 1.
Normalitas Model regresi yang baik harus memiliki residual yang berdistribusi normal. Untuk melihat apakah model regresi berdistribusi normal yaitu dengan melihat grafik normal probability plot atau grafik histogram (Lind et.al., 2008:533). Data residual berdistribusi normal apabila grafik plot mengikuti garis diagonal dan penyebarannya tidak terlalu jauh dari garis diagonal atau dari hasil grafik histogram menunjukkan kurva distribusi normal. 2.
Multikolinearitas. Suatu model dikatakan terjadi multikolinearitas apabila antar variabel independen terjadi korelasi (Lind et. al, 2008). Korelasi diantara variabel independen menyulitkan dalam membuat kesimpulan mengenai koefisien regresi individual dan pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Suatu model dikatakan terjadi multikolinearitas apabila setelah diuji, nilai korelasi antar variabel independen sangat besar yaitu 1 atau mendekati 1. Multikolinearitas juga dapat dilihat dari koefisien korelasi antar variabel < 0,8. 3.
Heterokedastisitas Persamaan regresi yang baik adalah apabila memenuhi homokedastisitas (tidak terjadi heterokedastisitas). Homokedastisitas adalah varian yang sama pada persamaan regresi untuk semua variabel independen (Lind et. al., 2008). Untuk mendeteksi adanya heterokedastisitas yaitu dengan melakukan uji white. Apabila p value < α maka terjadi heterokedastisitas. 4.
Auto korelasi Suatu model dikatakan terjadi autokorelasi apabila terjadi korelasi diantara eror term. Autokorelasi ini umumnya terjadi apabila data dikumpulkan melebihi satu periode waktu (Gujarati dan Potter, 2009:412). Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dengan melihat nilai Durbin-Watson saat pengujian regresi. Hasil yang diharapkan dari pengujian Durbin-Watson ini adalah du < DW < 4 - du, yang berarti tidak ada korelasi positif maupun negatif (Nachrowi & Usman, 2006). Pengujian hipotesis Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu perubahan penting dalam standar akuntansi pengakuan instrumen keuangan adalah perubahan terkait pengakuan dan pengukuran penurunan nilai dan tidaktertagihnya aset keuangan. Metode pengakuan penyisihan kerugian/penurunan piutang berbeda setelah PSAK No. 55 (revisi 2006) berlaku dengan sebelumnya. Dengan demikian diprediksi bahwa koefisien POST*ALLOW akan berbeda dengan koefisien ALLOW (b3 akan berbeda nilainya dengan a2). Selanjutnya, sesuai dengan hipotesis yang diajukan, peneliti menduga bahwa PSAK No. 55 (revisi 2006) membuat ERC dan FERC meningkat. Dengan demikian peneliti mengestimasi bahwa c 1 > b1 (hipotesis 1) dan c2 > b2 (hipotesis 2).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Statistik deskriptif Tabel 1 merupakan hasil statistik deskriptif variabel independen (POST, ALLOW, Et-1, Et, Et+1), variabel kontrol (SIZE dan GROWTH), dan variabel dependen R (return saham). Tabel 1 Sumber: data diolah. R
POST
ALLOW
SIZE
GROWTH
Et-1
Et
Et+1
Mean
0.676322
0.50000
0.049129
20.49191
0.309497
-0.01845
0.010327
0.035528
Median Maximum
0.592178 2.823188
0.50000 1.00000
0.007052 0.447133
20.29916 26.45376
0.190266 1.381484
0.031003 0.284027
0.044145 0.280029
0.032051 0.284027
Minimum
-0.354505
0.00000
0.000000
17.49916
0.000000
-2.77109
-2.77109
-0.22248
Std. Dev. 0.594896 0.50361 0.100849 1.796592 0.322428 0.363773 0.341203 0.06387 Keterangan: R = return saham perusahaan selama periode 12 bulan yang berakhir tiga bulan setelah akhir tahun pajak; ALLOW = besaran nilai penyisihan kerugian/penurunan nilai piutang, diskalakan dengan total aset; Et-1 = laba tahun lalu; Et = laba saat ini; koefisien Et merupakan earnings informativeness atau ERC; Et+1 = laba tahun mendatang; koefisien Et+1 merupakan foward earnings response coeficient yaitu kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang atau FERC; POST = periode penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006). Bernilai 1 untuk periode setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dan bernilai 0 untuk periode lainnya; SIZE = natural logaritma dari total aset; GROWTH = persentase peningkatan penjualan pada tahun ini dibanding dengan penjualan tahun sebelumnya. Untuk mengontrol pengaruh ERC dan FERC yang berasal dari kondisi makro.
Uji Asumsi Klasik Normalitas Data Dari hasil pengujian normalitas data menunjukkan hasil bahwa data yang digunakan dalam penelitian berdistribusi normal (lihat lampiran 3). Dari histogram pada lampiran 3 diagram batang membentuk kurva distribusi normal. Dari hasil uji Jarque Bera diketahui bahwa probability JB 0,8356 (p value > dari α, dimana nilai α adalah 0,05) atau nilainya sangat berbeda dari 0 sehingga dikatakan bahwa data penelitian berdistribusi normal. Multikolinearitas Uji multikolinearitas dilakukan untuk mendeteksi apakah antar variabel penelitian terdapat hubungan linear sehingga dapat mengganggu dalam memprediksi hasil penelitian. Tabel 2 berikut merupakan hasil pengujian multikolinearitas: Tabel 2 Hasil Uji Multikolinearitas R
POST
ALLOW
SIZE
1
-0.04095
-0.11814
0.326215
POST
-0.04095
1
0.030559
ALLOW
-0.11814
0.030559
SIZE
0.326215 0.11597
R
GROWTH
GROWTH
Et-1
Et
Et+1
0.11597
-0.32029
0.103243
-0.16217
0.05325
-0.03646
-0.03355
0.120723
-0.2475
1
-0.14813
-0.18995
-0.25413
0.032268
-0.09385
0.05325
-0.14813
1
-0.09898
0.161452
0.085411
0.060261
-0.03646
-0.18995
-0.09898
1
0.20887
0.174955
0.181629
Et-1
-0.32029
-0.03355
-0.25413
0.161452
0.20887
1
0.361761
0.106574
Et
0.103243
0.120723
0.032268
0.085411
0.174955
0.361761
1
0.083246
Et+1
-0.16217
-0.2475
-0.09385
0.060261
0.181629
0.106574
0.083246
1
Keterangan: R = ALLOW = Et-1 = Et = Et+1 =
return saham perusahaan selama periode 12 bulan yang berakhir tiga bulan setelah akhir tahun pajak; besaran nilai penyisihan kerugian/penurunan nilai piutang, diskalakan dengan total aset; laba tahun lalu; laba saat ini; koefisien Et merupakan earnings informativeness atau ERC; laba tahun mendatang; koefisien Et+1 merupakan foward earnings response coeficient yaitu kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang atau FERC; POST = periode penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006). Bernilai 1 untuk periode setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dan bernilai 0 untuk periode lainnya; SIZE = natural logaritma dari total aset; GROWTH = persentase peningkatan penjualan pada tahun ini dibanding dengan penjualan tahun sebelumnya. Untuk mengontrol pengaruh ERC dan FERC yang berasal dari kondisi makro. Sumber: data diolah.
Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel penelitian, dilihat dari hasil koefisien korelasi antar variabel sangat kecil (dibawah 0,8). Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian ini adalah homogen. Dikatakan homokedastisitas apabila data memiliki varian yang sama pada persamaan regresi untuk semua variabel independen. Uji White dengan bantuan Eviews telah dilakukan dan menghasilkan nilai probability chi square dengan 0,2256 (p value > 0,05) (lampiran 4). Hasil ini berarti tidak terjadi heteroskedastisitas dalam persamaan regresi (Nachrowi & Usman, 2006). Autokorelasi Pengujian autokorelasi ini dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi diantara eror term. Persamaan regresi dikatakan bebas dari autokorelasi jika memenuhi kriteria du < DW < 4 - du. Dari output regresi diperoleh koefisien Durbin-Watson menunjukkan nilai 1,9354. Untuk k’= 5 dan n = 70, maka diperoleh nilai du = 1,768 dan 4 – du = 2,252. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persamaan regresi pada penelitian ini bebas dari autokorelasi karena 1,768 < 1,9354 < 2,252. Hasil Uji Regresi Dari hasil pengujian regresi menggunakan teknik cross section OLS dengan total observasi 70 menghasilkan nilai probability F statistik sebesar 0,000008; nilai R2 0,505595 dan nilai adjusted R2 sebesar 0,411828. Hal ini menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini sudah baik/memadai dalam memprediksi earnings informativenes dan kemampuan memprediksi laba mendatang. Dari nilai R2 menunjukkan bahwa kombinasi variabel POST, ALLOW, Et-1, Et, Et+1 mampu menjelaskan return saham sebesar 50,56%, dengan variabel kontrol SIZE dan GROWTH. Untuk pengujian hipotesis, tabel berikut merupakan ringkasan hasil regresi masing-masing variabel: Tabel 3 Hasil Uji Regresi
Variabel Intercept POST ALLOW SIZE GROWTH
Prediksi Tanda -/+ + + +
Koefisien -2,383015 -0,190777 -1,756980 0,149653 0,511508
t-statistik -3,434529 -1,470677 -2,200550 4,549313 2,702667
Probabilistik t-statistik 0,0011* 0.1468 0,0318* 0,0000* 0,0090*
Et-1 Et Et+1 POST*ALLOW POST*ALLOW* Et-1 POST*ALLOW* Et POST*ALLOW* Et+1
+ + + + + -
-3,127640 1,292477 -0,635916 1,931114 8,756844 15,61056 -71,38153
-2,558911 2,669640 -0,571040 1,309819 1,869526 0,458244 -2,234474
0,0131* 0,0098* 0,5702 0,1954 0,0666** 0,6485 0,0293*
Keterangan: R = ALLOW = Et-1 = Et = Et+1 =
return saham perusahaan selama periode 12 bulan yang berakhir tiga bulan setelah akhir tahun pajak; besaran nilai penyisihan kerugian/penurunan nilai piutang, diskalakan dengan total aset; laba tahun lalu; laba saat ini; koefisien Et merupakan earnings informativeness atau ERC; laba tahun mendatang; koefisien Et+1 merupakan foward earnings response coeficient yaitu kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang atau FERC; POST = periode penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006). Bernilai 1 untuk periode setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dan bernilai 0 untuk periode lainnya; SIZE = natural logaritma dari total aset; GROWTH = persentase peningkatan penjualan pada tahun ini dibanding dengan penjualan tahun sebelumnya. Untuk mengontrol pengaruh ERC dan FERC yang berasal dari kondisi makro. * Signifikan di level 5% ** Signifikan di level 10% Sumber: data diolah.
Dari tabel diatas, diketahui bahwa koefisien ALLOW, SIZE, GROWTH, Et-1, Et, POST*ALLOW, POST*ALLOW* Et-1, POST*ALLOW* Et, dan POST*ALLOW* Et+1 bertanda sesuai prediksi. Sesuai prediksi bahwa pengakuan penyisihan kerugian/penurunan piutang berbeda setelah PSAK No. 55 (revisi 2006) berlaku dengan sebelumnya. Diporelah nilai b3 lebih besar dari nilai a2 (1,931114 > -1,756980), namun tidak signifikan dibanding a2. Ini berarti bahwa sebelum PSAK No. 55 (revisi 2006) berlaku, ALLOW secara signifikan berhubungan negatif dengan return saham. Namun setelah PSAK No. 55 (revisi 2006) berlaku, ALLOW tidak signifikan berhubungan dengan return saham. Hasil untuk c1 bernilai 15,61056 lebih besar dari nilai b1 yaitu 1,292477, ini berarti c1 > b1 sesuai prediksi, namun, c1 tidak signifikan. Hasil ini mengindikasikan bahwa hipotesis 1 tidak dapat didukung. Penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) tidak terbukti secara signifikan meningkatkan earning informativeness (Earnings Responce Coefficient/ERC). Untuk hasil c2 sesuai prediksi yaitu lebih besar dari b2 (-71,38153 lebih besar dari -0,635916). Hasil c2 terbukti signifikan sehingga menunjukkan bahwa hasil uji empiris mendukung hipotesis 2. Penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) terbukti secara signifikan meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (forward earnings response coefficient/FERC). Analisis Pembahasan a. Hubungan perubahan standar akuntansi dengan earning informativeness (Earnings Response Coefficient/ERC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) terbukti koefisien laba tahun ini (Et) meningkat dibanding dengan sebelumnya. Sebelum berlakunya PSAK No. 55 (revisi 2006) terbukti bahwa laba tahun ini yang dilaporkan perusahaan secara signifikan dapat mempengaruhi keputusan investor/pemegang saham sehingga mempengaruhi return saham. Namun, setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) laba tahun ini (Et) tidak signifikan. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penyisihan penurunan cadangan piutang berdasarkan nilai wajar tidak memiliki relevansi nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyisihan berdasarkan nilai/biaya historis. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Jarva dan Lantto (2010) menunjukkan bahwa laba yang dilaporkan dengan standar akuntansi IFRS tidak memiliki relevansi nilai yang lebih tinggi daripada
laba yang dilaporkan dengan standar akuntansi lokal yaitu Finland Accounting Standard yang mengacu pada biaya historis. Penelitian ini sejalan dengan Al-Yaseen, et al. (2011) menemukan bahwa penggunaan volatilitas laba bersih berdasarkan biaya historis merupakan ukuran risiko ekonomis yang lebih baik dibanding dengan volatilitas laba bersih nilai wajar. Tidak signifikannya koefisien laba saat ini (ERC) pada periode setelah penerapan standar akuntansi yang baru diduga disebabkan karena penelitian ini mengamati untuk rentang waktu pengamatan yang pendek. Yaitu hanya mengamati laporan keuangan setahun sebelum dan pada tahun yang sama saat standar baru mulai efektif diberlakukan. b. Hubungan perubahan standar akuntansi dengan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (Forward earnings response coefficient/FERC) Dari hasil penelitian diperoleh bukti bahwa penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mampu meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (FERC meningkat). Ditunjukkan dari koefisien laba tahun depan (Et+1) setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) lebih besar dari pada sebelumnya. Selain koefisien yang lebih besar, hasil penelitian menunjukkan bahwa laba tahun depan signifikan berhubungan dengan return saham. Hal ini mengandung pengertian bahwa pasar (ditunjukkan dari return saham) mampu memprediksi dengan baik laba tahun mendatang. Hasil ini juga mengindikasikan bahwa komponen penyisihan penurunan nilai/kerugian piutang berdasarkan akuntansi nilai wajar memiliki relevansi nilai yang lebih dibanding dengan penyisihan berdasarkan akuntansi nilai historis dalam memprediksi laba mendatang yang tercermin pada return saham. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Ettredge et al. (2005) bahwa penerapan perubahan standar akuntansi meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang.
V. SIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN Paper ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan perubahan standar akuntansi yaitu PSAK No. 55 (revisi 2006) mempengaruhi informasi laba dalam laporan keuangan sehingga dapat berdampak pada earning informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, koefisien laba tahun ini meningkat setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dibandingkan dengan sebelum penerapan. Meskipun sesuai prediksi bahwa koefisiennya lebih besar, namun hasilnya tidak signifikan, sedangkan untuk periode sebelum penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) signifikan. Hasil ini mengindikasikan akuntansi nilai wajar atas pengakuan penurunan nilai piutang/kerugian piutang tidak terbukti secara signifikan memiliki relevansi nilai yang lebih baik dibanding dengan berdasarkan biaya historis. Kedua, penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mampu meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (FERC meningkat). Ditunjukkan dari koefisien laba tahun depan (Et+1) setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) lebih besar dan signifikan daripada sebelum penerapan. Penelitian ini memiliki keterbatasan oleh karena ketersediaan data yaitu hanya mengamati laporan keuangan periode penelitian setahun sebelum dan tahun yang sama saat standar baru efektif diterapkan. Hal ini diprediksi merupakan penyebab koefisien laba saat ini (ERC) tidak signifikan. Untuk penelitian selanjutnya dapat memperpanjang periode pengamatan dan mengeluarkan periode pengamatan tahun yang sama saat standar yang baru efektif diterapkan. Acknowledgement Terima kasih atas review dan masukan dari Prof. Sidharta Utama, CFA selaku dosen penulis pada Program Doktoral Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Al-Yaseen, Bashar S., & Husam Aldeen Al-Khadash. (2011). Risk relevance of fair value income measures under IAS 39 and IAS 40. Journal of Accounting in Emerging Economies, 1(1), 9-32. Retrieved October 14, 2011, from Accounting & Tax Periodicals. (Document ID: 2338927871). Antara News (2010). BI: Bank Asing Paling Siap Terapkan PSAK. http://www.antaranews.com/print/ 1273574464/bi-bank-asing-paling-siap-terapkan. Selasa 11 Mei 2010. Cooper, Donald. Dan Pamela S. Schindler. (2006). Business Research Methods. Ninth Edition. Mc. Graw Hill. Ettredge, M.L., S.Y. Kwon, and D.B. Smith. (2005). The Impact of SFAS No. 131. Business Segment Data on The Market’s Ability to Anticipate Future Earnings, Accounting Riview 80 (3), 773804. Gujarati, Damodar N., dan Dawn C. Porter. 2009. Basic Econometrics. Fifth Edition. Mc. Graw Hill. Hanlon, Michelle., Edward L. Maydew, Terry Shevlin. (2008). An Uninteded Consequence Of BookTax Conformity: A Loss Of Earnings Informativeness, Journal of Accounting and Economics 46 (2008), 294-311. Hassan, Mohamat Sabri., Majella Percy and Jenny Stewart (2006). The Value Relevance Of Fair Value Disclosures In Australian Firms In The Extractive Industries. Asian Academy of Management Journal of Accounting and Finance. AAMJAF, Vol. 2, No. 1, 41–61. http:// web.usm.my/journal/aamjaf/vol%202-1/2-1-3.pdf Jarva, Henry dan Anna-Maija Lantto (2010). The Value-Relevance of IFRS versus Domestic Accounting Standards: Evidence from Finland. http://nasdaqomx.com/digitalAssets/ 68/68362_the_valuerelevance_of_ifrs_versus_domestic_accounting_standards.pdf Krishnakumar, T. N., and CA. Vidyadhar Kulkarni. (2007). New International Accounting Concepts– Impairment Losses of Financial Assets Under IAS 39-Financial Instruments: Recognition and Measurement. The Chartered Accountant. April 2007. http://220.227.161.86/964915811587.pdf Lind, Douglas A., William G. Marchal, & Samuel A. Wathen. (2008). Statistic Techniques in Business and Economics With Global Data Sets. Thirteenth Edition. Mc. Graw Hill Nachrowi, Nachrowi D., & Hardius Usman (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nimer, Khalil., Mohammed Idris, Saleh Al-Okdeh, & Mahmoud Nassar. (2011). The Effect of The Implementation of the IAS 39 on the Jordanian Investors. International Business Research. Vo. 4. No. 4. Oktober 2011. Pp. 276-285. www.ccsenet.org/ibr. Richardson, S. A., R.G. Sloan, M.T. Soliman, and I. Tuna. (2005). Acrual Reliability, Earnings Persistence, and Stock Prices, Journal of Accounting & Economics 39, 437-385. RSM AAJ Associates.(2011). IFRS Workshop: Pemahaman dan Interpretasi PSAK 50 & 55. Makalah disajikan dalam RSM AAJ Associate IFRS Workshop. Jakarta 8 – 9 Februari 2011.