Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
DANGDUT KOPLO: MEMAHAMI PERKEMBANGAN HINGGA PELARANGAN Michael H.B. Raditya
[email protected]
ABSTRACT Nowadays, Dangdut Koplo has become a mass product, which commodified by industry music of Indonesia. Was born in the northern coast of Java -Pantura-, Dangdut Koplo has develop since Dangdut Television become popular. In 2003, Inul phenomenon was replacing Dangdut star whose fame at the time, such as: Rhoma Irama. But Rhoma and colleagues didn't accept that, and try to ban Inul and Dangdut Koplo in Dangdut Industry. It is undeniable that Dangdut Koplo developed by ban process. Rhoma Irama and Many Groups who has a corelation with religion tried to ban Dangdut Koplo, and Inul. But the commodification's power worked, Inul and singers from Pantura more popular. In 2016, KPI do the ban Dangdut Koplo. Thirteen songs Dangdut Koplo blocked. Regarding from these thing, this article will discuss about existance of Dangdut Koplo, about developing and barriers. And this article isn't support group who confronted each other, this article who i wrote it, is trying to articulate about essence that contained on Dangdut Koplo. The result of this article is an alternative point of view's to face the problem in holistic way. Keywords: Dangdut Koplo, Developing, Ban, Audience
ABSTRAK Dangdut Koplo kini telah menjadi produk massal, yang terus terkomodifikasi oleh industri musik tanah air. Terlahir di pesisir pantai utara pulau Jawa –Pantura–, Dangdut Koplo telah berkembang sejak Dangdut televisi mengemuka. Hingga pada tahun 2003, fenomena Inul merebak, dan menggantikan posisi bintang Dangdut yang tenar saat itu, seperti: Rhoma Irama. Namun Rhoma Irama tidak menerimanya, pelbagai cara mencekal Inul dan Dangdut Koplo dilakukan. Bertolak dari ihwal tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwasanya Dangdut Koplo berkembang karena pelarangan. Pelbagai usaha pelarangan dari Rhoma Irama dan kolega, hingga kalangan yang mengatasnamakan agama turut mempersoalkan Inul dan musiknya, Koplo. Namun kuasa komodifikasi berkerja, Inul dan banyak penyanyi Pantura berjaya. Pada tahun 2016, pelarangan kembali terjadi. Giliran KPI ambil bagian mencekal tigabelas lagu Dangdut Koplo. Bertolak dari ihwal tersebut, maka artikel ini akan membahas perkembangan dan pelarangan yang telah terjadi. Alih-alih diposisikan untuk mendukung kubu yang saling berkonfrontasi, artikel ini lebih diarahkan sebagai artikulasi atas makna yang terkandung dari Dangdut Koplo itu sendiri. Hasil dari artikel ini adalah sebuah tawaran alternatif dalam menyikapi pelarangan di kedua belah pihak. Kata Kunci: Dangdut Koplo, Pelarangan, Penonton, Perkembangan
Volume 1 No. 1 April 2017
23
SBN
Studi Budaya Nusantara
Staf Pengajar Etnomusikologi – Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia – Yogyakarta
1. PENDAHULUAN Orang Indonesia sekarang suka sekali dengan Dangdut. Bahkan di daerah pelosok sekalipun dangdut disukai masyarakat, belum ada apa-apa, penonton sudah minta Dangdut (Wangi Indriya, 2006:190) Pernyataan Wangi Indriya di atas seakan menyetujui banyak asumsi terkait dangdut dan konstelasinya kini. Berawal dari pengalamannya di lapangan ketika melihat sebuah pertunjukan yang dihelat disebuah pedesaan, bahkan pelosok, para penonton meminta pertunjukan dangdut sebagai hiburan yang disuguhkan untuk mereka sedari awal kegiatan dimulai. Ihwal ini sebenarnya memang tidak dapat ditampik, bahwa realitas yang terjadi, baik di tengah kota, bahkan hingga pelosok, masyarakat Indonesia di mana pun, telah mempunyai pola serupa atas kesenian yang merepresentasikan mereka, yakni dangdut. Dalam ihwal ini, Dangdut menjelma menjadi hiburan khalayak secara umum, dimiliki bersama. Jika ingin ditilik lebih lanjut, merujuk konsep komunitas terbayang milik Ben Anderson (2002) dapat ditautkan pada persoalan musik di masyarakat. Dalam ihwal ini, dangdut merupakan salah satu dari elemen yang menyatukan Indonesia. Di mana, Dangdut memberikan bayangan kepada pendengarnya sebuah gambaran bahwa adanya komunitas lainnya yang sama
24
mencintai musik tersebut, dan samasama terwakili, walau terbayang. Dari analogi ini, lewat musiklah sebuah nasionalisme dapat dirasakan, disadari, dan terjalin. Kembali pada persoalan dangdut dan „tontonan‟nya, menonton pertunjukan dangdut memang menjadi agenda rutin masyarakat kini. Baik secara langsung di panggung-panggung hiburan –jika di Yogyakarta, dahulu dapat disaksikan di Purawisata, tetapi kini dapat disaksikan di XT Square–; juga secara tidak langsung di saluransaluran televisi, yang bahkan setiap malam menyiarkan laga kontestasi penyanyi Dangdut, baik The Terong Show, Dangdut Academy, Dangdut Asia, hingga Bintang Pantura. Bertolak dari dua cara menonton, secara jelas menunjukan bahwa tontonan langsung telah menjadi budaya rekreasi masyarakat sejak dulu, baik di area rural, ataupun area urban. Ihwal ini diamini oleh Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Jawa, di mana terdapat perbedaan pola tontonan: rural lebih menghelat sesuai fase kehidupan mereka, sedangkan urban dapat dinikmati setiap hari di pasar malam (1994). Sedangkan pengaruh televisi juga tidak dapat dihiraukan, mengingat televisi menyiarkan tayangan dangdut secara rutin sejak 1990an. Ihwal ini pun turut diamini oleh Lono Simatupang pada penelusuran sumber di dalam Tesis1-nya, yakni: 1
Tesis adalah laporan pertanggungjawaban akan penelitian dan
Volume 1 No. 1 April 2017
Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
Aneka Ria Safari, adalah program utama yang digunakan TVRI untuk mempromosikan musik dangdut. Program tersebut disiarkan dua kali dalam sebulan. Sebuah reportase yang menyatakan bahwa 40-60% dari lagu-lagu dalam 50-55 menit dari program musik adalah musik dangdut (Kompas, 8 November 1992, via Simatupang, 1996: 67) Dari penelusuran yang telah dilakukan Lono, bahwa presentase per sekian menit, musik dangdut menjadi lagu andalan dalam pelbagai program musik yang ada ketika itu. Ihwal ini lah yang melegitimasi secara sosial dan kultural bahwa distribusi tontonan Dangdut, dan musiknya, telah men‟tradisi‟ di kehidupan masyarakat. Pola tersebut tidak terhenti begitu saja, bahkan hingga kini, kita dapat menikmati siaran Dangdut (Koplo) di beberapa stasiun televisi di tiap malamnya. Alhasil, pernyataan Indriya di awal paragraf ini memang beralasan. Di mana praktik pergelaran musik Dangdut telah menyita atensi masyarakat secara lebih. Bahkan pada sajian musik lainnya pun, masyarakat pun memberikan alternatif pilihannya. Persis seperti praktik masyarakat pelosok yang disuguhkan sajian musik, tetapi langsung „menagih‟ Dangdut sebagai sajian yang pantas mereka saksikan, ketimbang sajian musik lainnya. Setidaknya ihwal tersebutlah yang terus berjalan bersama masyarakat.
hasil yang didapat. Lazimnya Tesis menjadi prasyarat kelulusan dalam jenjang strata dua.
Namun terdapat kabar tak sedap berhembus dijagad industri musik Dangdut Koplo Indonesia, terjadi pelarangan akan pemutaran lagu dangdut Koplo di beberapa daerah. Sejauh berita yang telah saya dapatkan, daerah yang paling tegas melakukan pelarangan adalah Jawa Barat. Dalam laman http://x.detik.com/detail/intermeso/2016 0530/Digemari-Dulu-DicekalKemudian-/index.php, tertulis, bahwa: Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat mempersoalkan lirik, sekitar 13 lagu, seperti: Paling Suka 69 dinyanyikan Julia Perez, Wanita Lubang Buaya (Mirnawati), Simpanan (Zilvana), Hamil Sama Setan (Ade Farlan), Mobil Bergoyang (Asep Rumpi dan Lia M.J.), Apa Aja Boleh (Della Puspita), Hamil Duluan (Tuty Wibowo), Mucikari Cinta (Rimba Mustika), Satu Jam Saja (Zaskia Gotik), Melanggar Hukum (Moza Kirana), Cowok Oplosan (Geby Go), Meremmerem Melek (Ellicya), dan Gak Zaman Punya Pacar Satu (Lolita). Komisi penyiaran melarang lagu-lagu itu disiarkan di radio dan televisi lokal, karena lirik ataupun judulnya dinilai berkonotasi cabul, menyarankan seks bebas, perselingkuhan, persenggamaan, mesum, pelecehan terhadap perempuan, serta banyak umpatan kasar, atau makian (diakses pada 01 Juni 2016). Dari data pelarangan di atas, terdapat 13 lagu yang ditolak untuk disiarkan kepada khalayak. Ihwal tersebut pun
Volume 1 No. 1 April 2017
25
SBN
Studi Budaya Nusantara
bukan tanpa sebab, tuduhan diarahkan pada lirik dan judul lagu yang berkonotasi cabul, sebenarnya banyak lagi lagu lainnya yang senada, atau bahkan lebih sarat akan ihwal cabul. Konotasi dari judul dan lirik merepresentasikan ihwal yang melanggar susila, dan merusak moral para pendengarnya. Jika ditilik secara harfiah, memang judul tersebut mengundang pertanyaan, seperti: Hamil Sama Setan atau Hamil Duluan. Pembelaan macam apa yang dapat dilakukan untuk menjelaskan bahwa lagu tersebut mempunyai pengaruh positif untuk masyarakat. Secara eksplisit pun, kedua judul tersebut tidak dapat ditampik bahwa memiliki konotasi wacana yang tidak main-main secara konotasi seksual dan intepretasinya di masyarakat. Alhasil, persoalan ini pun yang berbuntut pelarangan akan penyiaran musik Dangdut Koplo. Ihwal ini pun turut diamini oleh Dedeh Fardiah – Ketua KPID Jawa Barat–, yang menyatakan bahwa: “Kami khawatir banyaknya kekerasan seksual akhir-akhir ini karena lirik lagu... Simak saja judulnya, ada Hamil Duluan, Hamil Sama Setan, Merem Melek”. (http://x.detik.com/detail/interme so /20160530/Digemari-DuluDicekal-Kemudian-/index.php diakses 7 Juni 2016) Menurut Dedeh, kekerasan seksual yang terjadi di tahun 2016 di Indonesia, khususnya kejahatan seksual di bawah umur, turut disebabkan karena pengaruh musik yang mereka dengarkan, yaitu
26
Dangdut Koplo. Bahkan secara lebih lanjut, tuntutan Dedeh Fardiah adalah: “Seniman seharusnya sadar lirik itu pas atau tidak untuk pendidikan publik”. (http://x.detik.com/detail/interme so /20160530/Digemari-DuluDicekal-Kemudian-/index.php diakses 7 Juni 2016) Dedeh menyalahkan seniman sebagai pencipta lagu, dan kaitannya pada pendidikan publik. Terkait pelarangan, sebenarnya Indonesia tidaklah asing dengan ihwal tersebut, sebut saja Sukarno, Sukarno pernah tercatat melarang rakyat Indonesia mendengarkan lagu-lagu dari The Beatles, yang disebutnya musik ngak-ngik-ngok. Ihwal ini pun berdapak pada pemberedelan grup musik Koes Plus yang diidentifikasi mendapat pengaruh besar dari grup musik tersebut (Darajat, 2014:20). Pelarangan musik lainnya berasal dari Harmoko –yang di kala itu adalah menteri penerangan–, ia sempat mengejek perkembangan musik „cengeng‟ Indonesia, yang berakhir dengan pecekalan lagu „cengeng‟ pada radio dan stasiun televisi ketika itu. Iklim pelarangan untuk salah satu jenis musik yang sedang mengalami „panen raya‟ memang kerap terjadi, dan kini ihwal tersebut turut terjadi pada genre Dangdut Koplo. Bertolak dari ihwal di atas, alihalih artikel diarahkan sebagai pembelaan salah satu kubu, yakni kubu Komisi Penyiaran, ataupun kubu Dangdut Koplo mania, artikel lebih diarahkan untuk mengartikulasikan Dangdut Koplo, baik secara tekstual, ataupun kontekstual. Tidak hanya itu,
Volume 1 No. 1 April 2017
Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
dalam artikel ini akan melihat secara lebih lanjut terkait wacana yang ditawarkan dalam lagu, dan sikap yang tepat dalam menikmati lagu tersebut. Dalam membahas persoalan ini, saya akan menggunakan pendekatan antropologi kesenian. Dalam mencermati persoalan, dalam ilmu humaniora mencari parameter keberhasilan bukanlah ihwal yang bijak, oleh karena itu saya lebih mencermati bagaimana interaksi dari penonton akan musik Dangdut. Alhasil dalam penjelasan pada pembahasan, saya akan meminjam beberapa telaah untuk membaca praktik pergelaran Dangdut Koplo. Harapannya artikel ini dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dalam melihat pelarangan musik dangdut secara holistik. 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelbagai rujukan atas telaah scholar sebelumnya, seperti: Lockard, Yampolsky, atau Weintraub, percaya bahwa semangat musik Dangdut tidak hanya berasal dari unsur musikal, namun kekuatan lirik dari tiap repertoar, merupakan representasi masyarakat kelas menengah dan bawah. Alasan logis yang menjelaskan mengapa genre ini dianut banyak masyarakat karena Dangdut kerapkali „dianggap‟ mewakili kepedihan masyarakat. Namun yang terelakan adalah kepedihan kehidupan masyarakat turut menjadi sumber kekayaan lirik bagi pencipta lagu Dangdut secara kontinyu. Sebuah resiprositas antara masyarakat yang terwakili oleh genre Dangdut, dan genre Dangdut yang terinspirasi dari pelbagai cermin kehidupan masyarakat.
Setidaknya ihwal ini turut berlaku sama untuk Dangdut Koplo, di mana lagu yang tercipta mempunyai semangat yang sama. Semangat dalam menghadirkan konstelasi yang terbentuk oleh masyarakat belakangan. Namun yang disayangkan, pelbagai cermin tersebut malah dianggap sebagai faktor dari dekadensi moral yang terjadi di masyarakat kini. Alhasil dalam menanggapi pelarangan yang terjadi, perlu ditanggapi secara mendalam, namun holistik. 2.1 Dangdut Koplo: Lahir lalu Berkembang dari Pelarangan Pengetahuan masyarakat akan Dangdut Koplo selalu terkait dengan penyanyi Inul Daratista. Realitas yang terjadi adalah Inul dianggap sebagai pionir akan Dangdut Koplo dalam industri musik tanah air. Namun sebenarnya Inul hanyalah salah satu yang beruntung dari sekian banyak penyanyi Dangdut Koplo di daerah pesisir pantai Utara, Pantura. Berkat teknologi video rekam mandiri, Inul yang terekam di pelbagai panggung hajatan, dengan goyangan sensual, menuai kontroversi, juga dukungan. Ihwal yang cukup disayangkan dari populernya Inul adalah fenomena goyang „Ngebor‟, bukan unsur musikal dari Dangdut Koplo itu sendiri –yang sebenarnya adalah tawaran baru dalam musikalitas Dangdut–. Padahal, secara musikalitas, Inul disokong oleh sajian musikal yang sama „liar‟nya. Inul ditopang hentakan latar rock yang kencang dan bagian-bagian permainan gitar yang menjeritjerit. Musiknya diubah agar cocok
Volume 1 No. 1 April 2017
27
SBN
Studi Budaya Nusantara
dengan gaya menari dan aksi pentas Inul: tempo cepat, seksiseksi lagu yang berubah-ubah dengan cepat, aksen-aksen perkusi yang marak, dan seksiseksi instrumental tarian. Endang Kurnia menciptakan dua lagu Inul yang paling terkenal “Goyang Inul” dan “Kocok-kocok”. Seorang pengagum Rhoma Irama, Kurnia mengubah gaya musik yang mengaduk dangdut, rock, dan musik Sunda. Dalam lagulagu ini, unsur dangdut meliputi instrumen (suling dan gendang), intro panjang, interlude (mengetengahkan suling dan gitar), dan penekanan kuat pada beat 4 dan 1 pada syairnya. Unsur rock mencakup permainan gitar listrik yang mengandalkan efek-efek, bass listrik yang dimainkan dengan tamparan, dan hentakan ritmik rock yang dimainkan dengan perangkat drum. Lagu-lagu ini menampilkan tempo cepat, seksi-seksi irama rock dan dangdut yang berselangseling, aktor-aktor kuat, solo gitar rock yang membahana ala Van Halen, dan transisi-transisi ritmik yang menyela. Unsur Sunda meliputi seksi-seksi lagu yang mengacu pada gendangan Jaipongan, dan suling Sunda (Weintraub, 2012:208-209). Ada sebuah proses negosiasi kultural, nasional, bahkan global dalam aransemen lagu Inul. Musik yang menaungi perjalanan Inul merupakan buah percampuran yang mendukungnya melejit secara karir, dan perkembangan dari genre tersebut. Ihwal tersebut adalah ejawantah paling wantah dari yang terdengar, maupun terlihat, atas musik Dangdut Koplo itu sendiri.
28
Dalam fase ini, intepretasi khalayak akan Dangdut Koplo seakan semakin beragam. Ada yang menyebutnya sebagai Dangdut „baru‟, ada yang menyebutnya sebagai Dangdut „perlawanan‟, ada yang menyebutnya Dangdut „campuran‟. Beragamnya intepretasi didasarkan atas posisi dan perkembangan Dangdut Koplo. Bertolak dari realitas tersebut, perlu adanya konsepsi yang seragam dalam memahami Dangdut Koplo sebelum menelaah persoalan pelarangan akan beberapa lagu yang terjadi belakangan. Merujuk seorang scholar Barat yang menelaah Dangdut dalam satu dekade belakangan, Andrew Weintraub, menyatakan: “Dangdut etnik”, dibedakannya dari “dangdut murni” (dangdut piur), dan “dangdut biasa”, yang, ironisnya, berbasis musik film India dan berwarna India. Menurut Ukat (pencipta lagu dangdut), penekanan pada ciriciri musikal kedaerahan Indonesia, dan bukan India, mengokohkan status dangdut sebagai “musik nusantara”. (2012:234) Dari pernyataan di atas, maka dapat diklasifikasikan dangdut atas, pertama, Dangdut etnik; kedua, Dangdut murni; dan ketiga, Dangdut biasa. Pembedaan musikal atas ketiga jenis Dangdut yang berkembang bersama ini adalah ihwal yang menarik. Terlebih para penikmat musik biasanya menikmati jenis Dangdut yang diproduksi di televisi, lazimnya adalah Dangdut Murni dan Dangdut Biasa. Sedangkan Dangdut Etnis adalah musik Dangdut yang dinikmati oleh masyarakat setempat di
Volume 1 No. 1 April 2017
Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
pelbagai daerah. Terkait Dangdut Etnis, secara lebih lanjut Weintraub pun menjabarkan secara rinci terkait: Dinyanyikan dalam bahasa daerah dan dipasarkan kepada komunitas etnik tertentu, aliranaliran dangdut ini berkembang di, antara lain: Sumatera Barat (Saluang Dangdut Minang), Jawa Barat (pong-dut Sunda), Cirebon (tarling Cirebon), Jawa Timur (Koplo Jawa), dan Banjarmasin (dangdut Banjar)... Dangdut, yang semula diasosiasikan dengan Melayu dan India pada tahun 1970-an, dan kemudian dimaknai ulang sebagai musik “nasional” pada 1980-an dan 1990-an, berkembang menjadi sesuatu yang “etnik” dan “regional” pada era 2000-an (2012:235). Terbentuknya Dangdut Etnis adalah ihwal yang menarik, terlebih dugaan Weintraub mengarah pada reproduksi dari musik Dangdut Biasa yang keIndia-india-an, ataupun Dangdut Pure yang ke-Melayu-melayu-an. Salah satu agen dari Dangdut biasa yang dimaknai nasional adalah Ellya Kadam dengan Boneka Cantik dari India. Setelah gelombang Dangdut tersiar besarbesaran di televisi, alih-alih masyarakat mengkonsumsinya dengan sempurna, masyarakat dalam lingkup etnis malah mereproduksinya menjadi Dangdut Etnis. Masifnya perkembangan Dangdut Etnis di pelbagai daerah pun dilandaskan atas pelbagai ihwal, seperti: biaya pentas musisi Dangdut televisi yang besar, sehingga cukup sulit mendatangkan mereka di setiap kegiatan masyarakat; tubuh dan indera
masyarakat yang lebih dekat dengan ciptaan Dangdut gaya „etnis‟; serta estetika yang dibentuk secara kultural akan musik di masyarakat. Namun ihwal yang lebih menarik adalah, masyarakat etnis yang mencipta Dangdut Etnis turut menonton Dangdut televisi. Mereka seakan mempunyai pembanding, dan tolak ukur dalam mencipta setiap repertoar pada Dangdut Etnis. Seraya diamini oleh Weintraub, analisisnya menyatakan bahwa: Koplo membuat kita berpikir tentang sirkulasi dengan cara yang berbeda dari model pusatpinggiran (nasional-regional) satu-arah ala Orde Baru. Etos pementasan Koplo berakar pada tarian ronggeng di pedesaan Jawa. Musinya sangat kental dengan pengaruh berbagai gaya musikal, termasuk metal, house, dangdut, dan jaipongan. Hubungan interkultural antarkelompok etnis mendorong perkembangan gaya-gaya baru. Koplo melejit popularitasnya sesudah fenomena Inul (yang semula penyanyi rock dari Jawa Timur), yang menggabungkan goyang ngebor khasnya dengan dangdut (2012:253). Analisis akan sirkulasi persebaran Dangdut Koplo, dirasa Weintraub sebagai perubahan yang satu arah. Perubahan satu arah tersebutlah yang ia rasa sebagai ruang hibrid bagi genre Dangdut Koplo pada khususnya, dan Dangdut Etnis pada umumnya. Terma interkultural menjadi penegas akan nyawa dan semangat Dangdut Koplo di bingkai penciptaan musik „baru‟. Setelahnya, sebuah peran yang tidak pernah dilepaskan adalah agen
Volume 1 No. 1 April 2017
29
SBN
Studi Budaya Nusantara
persebaran dari genre tersebut. Agen yang –baik diposisikan sebagai korban, ataupun „aktor intelektual‟ (penggerak)– menjadi pusat perhatian dari genre tersebut, yakni, Inul Daratista. Namun ada sebuah pernyataan Weintraub yang perlu ditelaah kembali atas Inul dan Koplo, dugaannya akan Dangdut Etnis berkembang di tahun 2000-an perlu dikoreksi. Kenyataannya adalah perkembangan Dangdut setempat telah berkembang jauh sebelum Inul Daratista „mewabah‟. Khususnya adalah Dangdut Koplo, Dangdut yang diasosiasikan sebagai musik Dangdut Etnis Jawa Timur. Namun jika pernyataannya diarahkan sebagai salah satu pionir yang membuat Dangdut Koplo men-nasional, ihwal tersebut adalah benar. Melihat dukungan pemerintah untuk dangdut lewat lembaga komersial dan lembaga kritik, serta publikasi-publikasi tentang meningkatnya kehadiran dangdut di televisi dan tempattempat hiburan elite, kita bisa tergoda untuk menyimpulkan bahwa dangdut akhirnya diterima seluruh warga Indonesia sebagai “musik nasional" (Weintraub, 2012:176). Popularitas acara dangdut di televisi yang diproduksi stasiunstasiun televisi swasta komersial yang mulai marak pada awal 1990-an adalah salah satu faktor yang menyebabkan dangdut ditarik dalam wacana nasional tentang kebudayaan (Kitley, via Weintraub, 2012:172).
30
Kedatangan Inul pada ekosistem Dangdut Koplo juga seakan tepat untuk industri perkembangan musik yang ituitu saja, namun berlaku sebaliknya untuk kerajaan Dangdut yang dibuat Rhoma. Inul dianggap pendatang gelap di kalangan komunitas dangdut yang tertutup dan picik di Jakarta, tidak seperti sosok kalem, santun, dan glamor yang ditampilkan oleh biduan-biduan era 1990-an (misalnya Cici Paramida, Ikke Nurjanah, Itje Tresnawati), Inul menampilkan citra perempuan kuat, tegas, dan seksual (Weintraub, 2012:205). Ihwal ini menandakan bahwa terdapat „paceklik‟ kreativitas yang dikonstruksi oleh kerajaan Rhoma Irama. Ia menciptakan iklim yang homogen, seperti membuat pakem akan Dangdut, di mana musik, lirik, dan tema, bernuansa senada. Alhasil kedatangan Inul di dunia Dangdut nasional seakan menjadi „penyakit‟ bagi raja Dangdut dan selir-selirnya. Seperti yang dipahami bersama, dan terjadi pada kerajaan Dangdut Rhoma Irama, bahwa popularitas “dangdut” sedikit banyak ditolong pula oleh berkembangnya industri kaset, peranan radio-radio swasta, surat kabar, dan majalah hiburan populer, iklan, dan akhirnya menjangkau dunia film (Lohanda, 1991:140), turut berlaku sama kepada sang biduan baru, Inul. Ihwal yang menandakan bahwa Dangdut dalam kacamata industri tetaplah komoditi, yang secara lebih lanjut akan „menjual‟ secara masif produk yang lebih „baru‟. Inul dengan goyangan yang lebih „menggebrak‟ ketimbang Cici Paramida dan kolega yang santun serta malu-malu, menjadi
Volume 1 No. 1 April 2017
Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
komoditas yang termasyur di tahun 2003-an. Namun seperti yang telah saya kemukakan di awal bab, dan diamini oleh Weintraub, bahwa: Inul adalah satu dari sekian banyak penyanyi dengan goyangan yang lebih sensual. Banyak penyanyi lain yang sama provokatifnya dalam goyangan, tidak pernah direkam, dan “produk” mereka tidak pernah beredar, khususnya di televisi nasional. Awalnya, Inul hanya tampil di acara-acara yang haya disiarkan di lingkup lokal Jawa Timur. Produser di Jakarta segera menyadari potensi Inul sebagai komoditas untuk meningkatkan rating dan menjual produk. Dalam kasus ini, industri VCD tidak resmi digunakan oleh industri populer untuk membina bakat, semacam “liga kecil”, yang mengaudisi dan merekrut pemain daerah untuk produksi nasioal. Sistem baru perekaman, pendistribusian, dan pemasaran ini memboyong pementasan jenis baru menjadi tren (2012:205). Saya pun turut mengalami ihwal tersebut, terlebih ihwal tersebut beririsan dengan empiris. Di mana jalur dangdut daerah Jawa Timur-an memang sudah terbentuk akan goyangan yang sensual, terlihat dari penjualan VCD yang diperdagangkan secara lokal. Ihwal ini saya rasakan ketika itu membeli VCD „bajakan‟ Inul pada awal tahun 2003 di Glodok, Jakarta Barat, namun ketika saya memainkannya di pemutar VCD, yang dipertontonkan bukanlah Inul, tetapi penyanyi lain yang mempunyai goyangan serupa, bahkan
lebih „nakal‟ dan tidak terkenal. Oleh karena umur saya yang masih tanggung ketika itu, maka saya kecewa tidak dapat menonton Inul, dan memilih untuk tidak mempertahankan VCD „bajakan‟ tersebut. Kembali pada kontestasi Dangdut Koplo sebagai genre musik dan Inul Daratista sebagai primadona, dengan genre Dangdut Rhoma dan kerajaannya, Rhoma dan kerajaannya tidak dapat menerima kedatangan Inul dengan berlapang dada. Ketika itu, Inul telah melanggar faedah dan aturan yang ada dari musik Dangdut lazimnya. Terlebih Inul tidak mengikuti fase perkembangan Dangdut yang dipantau langsung oleh Rhoma dan kerajaannya. Secara lebih lanjut, Inul tidak dibaptis dan dididik dalam kultur Dangdut Rhoma yang konstruktif nan hegemonik. Alhasil pelarangan menonton Inul ketika itu semakin dipolitisir, menjadi polemik yang semakin kompleks karena keterlibatan akan banyak kalangan. Ihwal ini pun turut berlanjut, konflik meruncing ketika frekuensi siaran televisi lebih mempertontonkan Inul ketimbang para antek hingga penggede dari kerajaan Dangdut milik Rhoma. Inul cukup mujur ketika itu, ia dapat melenggang walau tertatih ketika berkontestasi dengan pelbagai pencekal, baik dari Rhoma dan kolega, juga kelompok penganut religi garis keras. Hingga pada satu fase, Inul dicekal oleh banyak kalangan pada satu momen waktu bersamaan. Inul pun mengalah, di depan awak media ia menangis dan berjanji akan datang ke hadapan Rhoma Irama. Inul pun menemuinya, lalu Sang
Volume 1 No. 1 April 2017
31
SBN
Studi Budaya Nusantara
Raja bersabda, bahwa joged Inul terlalu „seronok‟ –tidak ada di dalam kamus kerajaannya–, dan penggunaan pakaian yang memperlihatkan tiap lekuk tubuhnya dianggap masalah –padahal banyak LSM menganggap kesalahan ada pada videografer. Namun apa bisa dikata, Inul merubah diri, dengan pakaian dan joged yang lebih santun, bukti Inul dapat/telah bernegosiasi. Bertolak dari ihwal tersebut, sebenarnya pelarangan bukanlah ihwal baru bagi genre Dangdut Koplo. Terlebih genre Dangdut „baru‟ ini juga terus dicekal oleh sang raja Dangdut sebelum adanya pertemuan antar keduanya. Bahkan konsepsi pertemuan tersebut tidak berubah banyak bagi pengikut di komunitasnya, PAMMI. Pada sebuah sesi diskusi di akhir tahun 2013, seorang dari komunitasnya tersebut masih menyatakan bahwa “menurut bang haji Rhoma Irama, Koplo itu bukan Dangdut!” (Raditya, 2013:7). Dengan pelbagai alasan, baik musik yang tidak „pure‟, hingga joged yang seronok, serupa dengan tuntutan Rhoma. Dangdut Koplo memang lahir dari pelarangan, dengan mencekal Inul, maka musik yang melahirkan Inul turut dicekal. Musik dengan nuansa etnis namun telah bercampur banyak warna musik lainnya terasa meninggalkan kemelayuan dari cikal bakal Dangdut itu sendiri. Namun, alihalih pelarangan berbuah manis, Dangdut Koplo malah semakin kuat, banyak penyanyi-penyanyi lainnya yang turut dilahirkan dengan pelbagai joged sensual, serta penamaan akan jogednya, seperti: goyang „ngecor‟, goyang „gergaji‟, goyang „patah-patah‟, hingga
32
goyang „dribel‟ yang sedang beken kini. Ihwal ini adalah pengejawantahan bahwa kekuasaan Rhoma adalah kuasa yang dibentuk oleh komodifikasi pasar. Kini, komodifikasi mencari kerajaan baru, dan Dangdut Koplo dianggap tepat untuk diperdagangkan secara masif, dan secara otomatis kekuasaan berpindah, walau secara paksa. Kembali pada pelarangan yang dilakukan Rhoma dan beberapa kalangan, pelarangan yang dilakukan tertuju pada figur penyanyi, padahal jika ditelusuri, pilihan terma pada judul lagu dan lirik sama-sama berkonotasi ambigu, seperti: Kocok-kocok, lagu yang dinyanyikan oleh Inul ketika itu. Sedangkan untuk Dangdut Koplo sendiri, secara perkembangan turut mempunyai pola lirik yang serupa. Namun sosok Inul lebih tervisualkan ketimbang lirik yang mempunyai pelbagai intepretasi, sehingga meyalahkan Inul akan lebih jelas ketimbang menyalahkan lirik. Bertolak dari realitas tersebut, dapat dilihat bahwa Dangdut Koplo, baik lirik, figur penyanyi, ataupun musikal memang berbeda secara signifikan ketimbang Dangdut „Pure‟ atau Biasa yang santun dan terpuji. Alhasil ketika dipadupadankan antara jenis-jenis Dangdut tersebut akan terlihat sangat kontras. Kekontrasan itu namun kini tidak terlalu terlihat, sejak Dangdut Koplo menjadi kiblat Dangdut nasional, bahkan siaran televisi nasional membuat ajang pencari bakat bertajuk “Dangdut Academy”, atau “Bintang Pantura”. Sebuah legitimasi untuk Dangdut Koplo telah menduduki posisi tertinggi dalam
Volume 1 No. 1 April 2017
Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
genre Dangdut itu sendiri. Pelarangan yang dahulu didasarkan atas kekontrasan dengan jenis Dangdut yang lebih santun, kini dicekal karena Dangdut Koplo menjadi satu-satunya perhatian utama dari genre tersebut. Ihwal ini terbukti, di beberapa daerah, seperti: Nusa Tenggara Barat, Riau, dan Jawa Tengah, bahkan Jawa Barat – tempat di mana Dangdut Koplo turut berkembang– melakukan pelarangan, dan kini tertuju bukan lagi pada figur dan goyang penyanyi, tetapi lirik dari lagu tersebut. Sekitar 13 lagu dicekal, tidak boleh disiarkan, baik di radio, ataupun televisi lokal.
2.2 Menalar Terma pada Judul dan Lirik dari Dangdut Koplo Di bawah ini adalah daftar lagu yang dipersoalkan oleh pihak Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, dan diikuti oleh Nusa Tenggara, Riau, serta Jawa Tengah, karena persoalan terma judul dan lirik yang tidak mendidik. Ketigabelas lagu tersebut adalah:
13 Lagu yang Dicekal KPID Jawa Barat2 No Judul Lagu Penyanyi Julia Perez 1 Paling Suka 69 Mirnawati Dewi 2 Wanita Lubang Buaya Zilvana 3 Simpanan Ade Farlan dan Litha Zima 4 Hamil Sama Setan Asep Rumpi dan Lia M.J. 5 Mobil Bergoyang Della Puspita 6 Apa Aja Boleh Tuty Wibowo 7 Hamil Duluan Rimba Mustika 8 Mucikari Cinta Zaskia Gotik 9 Satu Jam Saja Moza Kirana 10 Melanggar Hukum Geby Go 11 Cowok Oplosan Ellicya 12 Merem-Merem Melek 13 Gak Zaman Punya Pacar Satu Lolita
Tahun Edar 2012 2015 2014 2014 2011 2013 2011 2013 2014 2012 2014 2013 2009
2 http://x.detik.com/detail/intermeso/20160530/Di gemari-Dulu-Dicekal-Kemudian-/index.php diakses 9 Juni 2016.
Volume 1 No. 1 April 2017
33
SBN
Studi Budaya Nusantara
Ketigabelas lagu di atas merupakan ketigabelas lagu yang dicekal untuk disiarkan, baik melalui televisi lokal, ataupun radio setempat. Jika melihat trajektori dari ketigabelas lagu di atas, tidak semua dari ketigabelas lagu tersebut adalah produk lagu baru. Beberapa lagu yang dicekal adalah lagu-lagu yang sudah beberapa saat tersebar, beberapa saat beredar, baik dalam hitungan bulan, ataupun tahun, seperti: Wanita Lubang Buaya yang baru beberapa bulan lalu, ataupun Gak Zaman Punya Pacar Satu yang sudah tujuh tahun berselang dari masa edar. Alasan pelarangan ketigabelas lagu mungkin mengarah pada kuantitas penyiaran, visual di layar kaca
Paling Suka 69 Kau elus-elus tubuhku Kau belai-belai rambutku Terpejam-pejam mataku Aduh aduh aduh nikmatnya Duh aduh aduh asiknya Desah indahmu menusuk kalbu Kau elus-elus tubuhku Kau belai-belai rambutku Oh yes sungguh nikmatnya Oh yes sungguh bahagia Suka suka jupe paling suka Kasih sayangmu luar biasa Gairah cinta 69
(khususnya televisi lokal), ataupun lirik yang berkonotasi seksual. Namun jika ditelusuri secara detil, sebenarnya masih banyak lagu-lagu serupa, atau yang lebih berkonotasi cabul ketimbang ketigabelas lagu tersebut. Alhasil pemilihan lagu yang dicekal perlu ditelusuri secara lebih detil untuk melihat arah tujuan dari pelarangan. Untuk mencermati secara lebih mendalam, di bawah adalah tiga lirik dari ketigabelas lagu yang dicekal. Pertimbangan pemilihan akan tiga lirik tersebut adalah tingkat ambiguitas yang terepresentasikan dari terma judul dan lirik di tiap lagu. Ketiga lirik, sebagai berikut:
Tiga Lagu yang Dilarang KPI Hamil Duluan Awalnya aku cium-ciuman Akhirnya aku peluk-pelukan Tak sadar aku dirayu setan Tak sadar aku ku kebablasan Ku hamil duluan sudah tiga bulan Gara-gara pacaran tidurnya berduaan Ku hamil duluan sudah tiga bulan Gara-gara pacaran suka gelapgelapan O ow aku hamil duluan O ow sudah tiga bulan
Aku hamil sama abang, masa hamil sama setan Aku hamil sama abang, masa hamil sama siluman Aku cuma mau tanya, bukan cari gara-gara Aku cuma ingin tahu tapi kamu kok begitu Mari kita sama-sama janganlah saling curiga Hilangkanlah buruk sangka agar rukun dan bahagia Mari kita sama-sama janganlah saling curiga
Suka suka jupe paling suka Kau buat aku tak berdaya Gairah cinta pun membara Halus halus halusnya selembut sutra Irama gaya kamasutra ala India
34
Hamil Sama Setan Abang aku sudah hamil sayang Abang ku sudah terlambat datang bulan Sayang kau hamil sama siapa Sayang itu anak siapa
Volume 1 No. 1 April 2017
Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
Membaca ketiga lirik di atas, terdapat perbedaan pola yang dapat dilihat dari ketiga lirik tersebut. Pertama, Paling Suka 69, dengan penyanyi dan pencipta lirik, Julia Perez, merupakan lirik yang paling eksplisit dan mengeksploitasi dirinya sendiri. Terlebih subjek lagu diarahkan pada dirinya, tidak ada penyebutan aku atau saya, tetapi merujuk namanya sendiri, Jupe. Dengan menghilangkan „aku‟ di dalam lagu dan mengganti dengan namanya sendiri, maka pendengar secara eksplisit tertaut dengan Jupe secara langsung, baik sebagai penyanyi, ataupun Jupe sebagai isi dari lagu. Kedua, Hamil Duluan yang dinyanyikan oleh Tuty Wibowo, masih dengan lirik yang eksplisit, namun terkesan sangat implisit jika dirujuk ke pesan „positif‟. Sedangkan, ketiga, Hamil Sama Setan yang dinyanyikan oleh Ade Farlan dan Litha Zima, masih dengan kesan lirik yang eksplisit akan tubuh dan percintaan –serupa dengan kedua lirik lainnya–, terlebih pemilihan terma dari judul yang provokatif dengan menggunakan terma „setan‟ di dalam percintaan. Namun jika ditilik di akhir bait, terdapat pesan yang disampaikan secara eksplisit. Bertolak dari tiga pola lirik atas lagu-lagu di atas, pelbagai lagu dapat diklasifikasikan sesuai dengan esensi dan nilai apa yang ingin disampaikan. Kendati demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya organ tubuh dan interaksi percintaan, yang multi intepretatif cukup menjebak pendengarnya. Ihwal ini pun turut beralasan, analisis Lono Simatupang, terhadap perkembangan Dangdut,
khususnya setelah Inul Daratista mengemuka, adalah: Perkembangan dangdut yang terjadi belakangan ini menyiratkan perubahan estetika yang signifikan. Kini, karakter performative dangdut tampil lebih mencolok. Penyanyi dangdut bukan lagi mengundang atau mengiringi joget penggemarnya, kini dangdut cenderung menempatkan penonton sebagai spectator (pemirsa) atas daya sihir teknologi tubuh penyanyi. Untuk itu, para penyanyi dangdut sekarang mengeksplorasi teknikteknik akrobatik untuk mengundang decak kagum penonton (2013:146). Analisis Lono di atas memang cukup jelas, di mana fungsi penyanyi tidak hanya menjadi pengiring semata, namun menjadi yang utama. Jika Lono melihatnya pada teknik joged dan gerak tubuh menjadi perhatian utama para penyanyi kini, bahkan menjadi parameter dari Dangdut Koplo Televisi kini. Perkembangan terus belanjut hingga kini –bertolak dari lirik yang dibuat oleh para pencipta lagu Koplo–, tubuh penyanyi direpresentasikan secara langsung melalui lirik. Para penyanyi menjadi peraga, atau mempresentasikan atas lirik yang mengarah pada tubuh secara langsung. Tidak hanya menampilkan gerak dan joged tubuh yang sensual, bahkan lirik turut mengarah pada „tubuh-tubuh‟ tersebut. Kembali pada tuntutan yang dijadikan alasan untuk pelarangan, terkait „tidak mengedukasi‟, sebenarnya ihwal tersebut dapat dinilai ambigu.
Volume 1 No. 1 April 2017
35
SBN
Studi Budaya Nusantara
Mengharapkan Dangdut Koplo untuk mengedukasi –seperti yang diinginkan KPI atau layaknya Dangdut Rhoma Irama setelah pulang dari naik Haji– nampaknya tidak sejalan dengan trajektori Dangdut „baru‟ tersebut, yang memang lebih terbuka dan dekat dengan empiris masyarakat. Jika mengharapkan Dangdut Koplo bersikap layaknya Dangdut kerajaan Rhoma, maka agaknya sulit terwujud, karena semangat lahir yang memang berbeda. Beberapa lagu Dangdut Koplo seperti: Wedi Karo Bojomu atau Oplosan, lebih menawarkan keterbukaan akan konstelasi-konstelasi yang jelas dialami masyarakat, yang terkadang tidak dirasakan kaum borjuis Ibukota. Namun, lagu-lagu tersebut bukan tanpa pesan. Seperti pada pengklasifikasian yang telah dilakukan pada ketigabelas lagu tersebut, lagu Dangdut Koplo yang telah beredar sebelum tenar di televisi nasional turut mempunyai pesan, baik secara eksplisit, ataupun implisit. Menyetujui pelbagai pola dan pesan di atas, Jakob Sumardjo turut menjelaskan bahwa seni memang mempunyai dua kecenderungan, yakni seni sebagai produk masyarakat dan masyarakat sebagai produk seni (2000). Secara lebih lanjut, seni sebagai produk masyarakat dapat diartikulasikan, sebagai: seni bersifat representatif dari konstelasi yang terjadi. Seni merupakan hasil dari manifestasi, baik secara kultural, ataupun sosial, atas realitas yang ada. Sedangkan, masyarakat sebagai produk seni dapat diartikulasikan, sebagai: seni bersifat prediktif, menuntun masyarakat, dengan harapan membentuk konstelasi ke
36
depan. Seni sebagai arah dan cermin untuk melangkah ke depan. Singkat kata, gambaran akan masa depan. Ihwal ini seraya serupa dengan persoalan yang diangkat oleh Dangdut Koplo. Lirik-lirik dengan terma dari lagu Dangdut Koplo adalah representasi dari masyarakat kini, dengan pelbagai pola dan interaksi yang dibentuk secara kolektif. Beberapa pelaku dalam jagad Dangdut Koplo turut menyetujui, seperti pernyataan Ishak –pencipta lagu Perawan atau Janda. Ia menyatakan bahwa: “Sebetulnya yang saya buat itu kan riil terjadi di masyarakat dan saya ungkapkan sebagai hiburan. Tapi, kalau dianggap tidak mendidik, ya memang (lagu itu) tidak baik juga.” (http://x.detik.com/detail/interm eso/ 20160530/Digemari-DuluDicekal-Kemudian-/index.php diakses 9 Juni 2016) Ishak secara terang-terangan dicekal oleh KPI secara langsung, dan akhirnya ia mau mengalah untuk menyetujui cekalan KPI tersebut. Sebenarnya terma atau tema dari lagu Dangdut Koplo adalah fenomena yang terjadi belakangan di masyarakat kota kini. Di mana fenomena hamil di luar kandungan, dan memilih perempuan untuk dinikahi –tanpa peduli status si wanita–, merupakan persoalan yang lazim terjadi di masyarakat. Dalam ihwal ini, para pencipta lagu mentrasformasikan fenomena tersebut menjadi lagu, dengan harapan sebagai media pengingat dan sarana edukasi untuk masyarakat. Namun, yang sangat disayangkan, lagu-lagu tersebut, dirasa
Volume 1 No. 1 April 2017
Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, sebaliknya. Bahkan ia menuntut: “Seniman seharusnya sadar lirik itu pas atau tidak untuk pendidikan publik.” Pelarangan lirik Dangdut Koplo memang cukup menarik, di satu sisi pihak yang dilegalisasi sebagai representasi negara menuduh lirik tersebut tidak edukatif, sedangkan bagi pencipta lagu dan kalangan pendengar menganggap tema lagu sebagai representasi dari apa yang terjadi di masyarakat, dan dapat menjadi bahan edukasi. Persilangan pendapat ini agaknya tidak akan menemui solusi yang mutualis. Salah satu bukti bahwa ihwal ini berakhir merugikan adalah dengan pelarangan. Oleh sebab itu, salah satu cara pandang yang perlu ditanamkan adalah tidak memisahkan lirik Dangdut Koplo dengan alunan musiknya; tidak memisahkan musik Dangdut Koplo dengan pertunjukannya; dan tidak memisahkan pertunjukan Dangdut Koplo dengan liriknya. Ketiga elemen tersebut saling mengikat dan membentuk Dangdut Koplo yang bernilai utuh. 2.3 Pelbagai Pola Menikmati Dangdut Koplo Tidak bijak memang, jika mencermati sebuah objek tetapi melupakan kontekstual terbentuknya ihwal tersebut. Dangdut tidak dibuat oleh penguasa, sejak dahulu Dangdut memang sudah dibuat langsung dari dan untuk masyarakat. Ihwal yang membuat pelarangan semakin kompleks karena Dangdut Koplo kini mengalami
perkembangan yang masif, khususnya di layar pertelevisian nasional. Alhasil Dangdut kini dapat tidak disaksikan secara langsung, seperti menonton di panggung hiburan, atau di kegiatan bertema „pesta rakyat‟, tetapi ditonton di layar televisi. Di mana joged sudah tidak menyertai penonton dalam menyaksikannya, bahkan lebih tepat diposisikan sebagai penonton pasif. Penonton pasif ini sebenarnya turut berkaitan dengan konsep viewers (lebih pasif) ketimbang audiens (lebih aktif), seperti yang diartikulasikan Antonio C. La Pastina (2005: 142), Ien Ang (1991:128), dan Purnima Mankekar (2002). Padahal penonton Dangdut adalah penonton aktif, di mana terjalin interaksi antara penyanyi dengan penonton, serta penonton dengan penonton. Ihwal ini yang menjadikan sebuah tontonan menjadi pergelaran, di mana terdapat interaksi, dan digelar secara langsung di depan masyarakat. Secara lebih lanjut pada telaah Raditya tentang Dangdut Koplo di Purawisata, Yogyakarta, dapat menjadi bahan yang menarik untuk mengejewantahkan Dangdut sebagai pergelaran. Ia turut mengklasifikasikan penonton pada tiap pertunjukannya. Datang hampir di tiap malam selama tiga bulan, ia meyakini bahwasanya terdapat pola tontonan dalam menikmati pertunjukan Dangdut Koplo. Dari analisisnya, ia menyatakan terdapat tiga pola penonton (2013:151) –namun penulis lebih membaginya pada empat, berdasarkan penjelasan Raditya– ,antara lain: Pertama, Penonton Multimedia, penonton yang cenderung
Volume 1 No. 1 April 2017
37
SBN
Studi Budaya Nusantara
mengabadikan beberapa titik dari penyanyi dengan menggunakan video rekam pribadi, atau ponsel canggih. Penonton jenis ini berdiri di bibir panggung, sehingga jangkauan tangan dalam merekam bagian tubuh penyanyi semakin luas. Kedua, Penonton Joged, penonton yang berjoged dengan memandang secara langsung para penyanyi secara dekat. Jangkauan penonton jenis ini ada di antara Penonton Multimedia dan di belakangnya. Penonton Joged ini cenderung mengkonsumsi alkohol lokal dan usia relatif muda. Mereka siap berbaku hantam dengan penonton lainnya. Ketiga, Penonton Diam, penonton jenis ini adalah penonton yang berlaku layaknya viewers, hanya menyaksikan secara diam, dan lazimnya dengan posisi tangan berpangku. Penonton jenis ini mengambil jarak beberapa meter dari panggung untuk menikmati penyanyi utuh secara postur, dan goyangan yang dipertontonkan. Penonton ini menikmati pertunjukan dengan mengkonsumsi apa yang tersajikan di panggung tanpa terlewat satu momen pun. Keempat, Penjoged, merupakan penonton di barisan paling belakang. Penonton ini merupakan penonton yang mengambil jarak cukup jauh dari panggung. Bahkan goyang penonton tidak lagi terlihat jelas, yang lebih terlihat adalah aktivitas dari anggota O.M. dan penyanyi. Penonton jenis ini bukanlah penonton yang tidak dapat kebagian tempat di area depan, namun penonton jenis ini tidak terlalu masalah ketika tidak menikmati joged penyanyi secara lengkap. Penonton
38
jenis ini merupakan penonton „yang asik sendiri‟, karena mereka terkadang lebih sibuk berjoged dan mendengar musik, ketimbang menonton ke arah panggung. Data yang didapatkan Raditya memang cukup menarik, ihwal tersebut terjadi di Purawisata, namun ketika saya mendatangi panggung-panggung lain, seperti XT Square, dan panggung di alun-alun, pada tahun 2016, ternyata jenis pola ini tetap ada, walau area mereka kini tidak tegas menempati satu titik. Selanjutnya, data jenis penonton – yang dapat dirujuk sebagai cara menikmati Dangdut– ini akan dianalisis secara lebih lanjut, dengan tujuan untuk menunjukan pelbagai pola konsumsi penonton atas Dangdut Koplo, dan esensi Dangdut bagi penonton itu sendiri. Dalam telaah Thomas Turino atas Music as Social Life: The Politics of Participation-nya, ia menggunakan telaah semiotik untuk membedakan pola musik yang terjadi di masyarakat, di mana terdapat jenis masyarakat yang menikmati musik berdasarkan satu unsur tertentu, dan sebagainya (2008). Jika ihwal ini diterapkan lebih lanjut di penonton Dangdut Koplo yang diklasifikasikan oleh Raditya, maka terlihat jelas bahwa dalam genre Dangdut sendiri dapat dinikmati dengan pelbagai cara. Seperti ihwalnya: Penonton Joged, lebih menikmati joged dan musik ketimbang lirik; Penonton Multimedia, lebih menikmati tubuh penyanyi ketimbang genre musik Dangdut; Penonton Diam, lebih menikmati interaksi penyanyi, musik, terkadang lirik. Terlebih saya pernah melihat penonton jenis ini turut
Volume 1 No. 1 April 2017
Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
bernyanyi; Penjoged, lebih menikmati musik ketimbang lirik ataupun penyanyi sekalipun; Namun terdapat pola lainnya, yakni: penonton yang menikmati lirik dan musik, terlihat dengan hafalnya penonton. Penonton jenis ini adalah penonton aktif, karena ia turut melakukan pelbagai upaya, seperti mendengarkan musik MP3, dan sebagainya. Terma menikmati yang saya sematkan pada pelbagai pola di atas merupakan terma eufimisme (baca: penghalusan) dari mengutamakan, memprioritaskan, atau mengkonsumsi. Di mana penonton yang menikmati joged memang terkonsentrasi atas jogednya saja. Dalam ihwal ini, penonton secara jelas memisahkan joged, tubuh penyanyi, lirik, musik, dan pertunjukan Dangdut Koplo itu sendiri. Keberagaman pola ini secara lebih lanjut mempunyai implikasi yang mendalam. Di mana penonton joged, akan lebih mengingat joged dan mengaburkan elemen lainnya di musik itu sendiri; di mana penonton lirik, akan lebih mengingat lirik dan mengaburkan elemen lainnya; dan seterusnya. Alhasil Dangdut Koplo dapat dinikmat dengan pelbagai cara, dan tidak terhenti akan satu cara dengar, ataupun menonton. Pengklasifikasian di atas pun tidak mengikat satu orang penonton berlaku selalu sama setiap ia menyaksikan Dangdut, tetapi berganti-ganti sesuai dengan posisi dan keinginan si penonton. Dalam ihwal ini, dapat disimpulkan bahwa setiap penonton mempunyai beberapa pola tontonan, dan dapat berganti-ganti sesuai kebutuhan. Secara lebih lanjut, kendati
pola tonton yang beragam, namun ketika semua pola dimiliki oleh penonton, maka sebenarnya penonton tersebut adalah penonton Dangdut yang seutuhnya. Dari penjelasan tersebut, maka Dangdut Koplo merupakan satu keutuhan yang dibentuk oleh pelbagai elemen yang saling melengkapi satu sama lainnya. Kendati demikian, setiap pesan yang tersemat pada Dangdut Koplo, baik secara lirik, visual, ataupun musikal, tidak dapat dipaksakan serupa. Ihwal ini senada dengan pernyataan James G. Webster bahwa dalam memaknai pesan, media dan penonton tidak selalu simetris dan serupa. Oleh karena itu, Webster turut membagi penonton dalam tiga jenis, yakni: pertama, penonton sebagai massa, walau penonton yang digambarkan media cenderung seragam, tetapi terdapat perbedaan antara penonton; Kedua, penonton sebagai hasil, yakni penonton dipengaruhi media tanpa menciptakan makna berbeda; Ketiga, penonton sebagai agen, yaitu penonton aktif dapat menentukan makna (1998). Merujuk bagaimana makna diciptakan, pada praktik Dangdut Koplo, penonton yang dicitrakan seragam memang tidak otentik, terdapat perbedaan pola tontonan, layaknya analisis yang telah dilakukan. Setelahnya, pernyataan Webster akan pola produksi makna merupakan poin yang menarik. Dengan keberagaman pola, maka penonton Dangdut Koplo sejatinya dapat menentukan makna itu sendiri, tidak serta merta tunduk pada konstrusi yang hegemonik. Tidak terlalu ansih mengartikan lirik layaknya
Volume 1 No. 1 April 2017
39
SBN
Studi Budaya Nusantara
para pencekal. Ihwal ini menandakan bahwa outsider (seperti: pencekal ataupun penonton umum) mencipta stigma negatif karena tidak memahami secara betul Dangdut Koplo itu sendiri. Di mana Dangdut Koplo merupakan hasil hibriditas pelbagai musik, baik musik lokal, nasional, ataupun global, yang saling mengisi antar element penciptaan musik, yang selanjutnya turut dikonsumsi dengan pelbagai pola dari penonton, dan dimaknai beragam. Bukan sebaliknya, layaknya sikap dan tuntutan para pencekal. 3. PENUTUP Kabar pelarangan Dangdut Koplo memang seakan menjadi berita yang menarik untuk disimak. Pelbagai pertanyaan muncul, seperti: mengapa tidak dicekal ketika lagu tersebut terbit dan beredar?, mengapa tidak dicekal di seluruh daerah?, dan sebagainya. Sebagaimana Dangdut Koplo memang berkembang karena kontroversi, bahkan pelarangan. Seharusnya ihwal tersebut tidak menjadi masalah besar untuk eksistensi Dangdut itu sendiri. Dalam ihwal ini, pelarangan dapat dianggap sebagai kritik bagi perkembangan akan Dangdut Koplo, baik yang berkembang di daerah, ataupun Dangdut dalam ranah industri. Terlebih, segala sesuatu yang mengarah pada industri memang tidak pernah dikontrol dengan baik. Kontrol industri adalah pola kebosanan masyarakat, dengan metode Trial and Error. Metode coba-coba dalam mengangkat tema lagu, memang sejatinya sudah menjadi pola pencipta lagu dari banyak genre. Tidak dilakukan
40
riset secara mendalam akan pengaruh terhadap masyarakat nantinya. Terlebih konsepsi para pencipta lagu Dangdut Koplo, hanya bertugas membuat lagu, baik yang tercermin atas konstelasi masyarakat, ataupun membuat tema baru, baik yang umum, maupun yang kontroversial. Setelah pelarangan, para pencipta lagu lantas tidak berhenti, dalam ranah industri, mereka paham bahwa lagu-lagu baru perlu muncul. Kini lagu-lagu yang tercipta belakangan, sudah lebih „terkontrol‟ tanpa pengaruh akan pelarangan KPI. Dalam ihwal ini, KPI memang dapat dijadikan filter dalam perkembangan musik, namun peran KPI yang terlalu dominan perlu dihindari karena kreativitas tidak dapat dibatasi. Secara lebih lanjut, pola lagu yang terus berubah, menandakan bahwa para pencipta lagu memang dituntut mencari musikalitas dan lirik yang menarik hati masyarakat secara cepat. Jika berhasil, maka pencipta lagu lainnya akan memperbanyak dengan pola atau lirik yang tidak jauh berbeda. Namun lain ladang lain belalang, jika ihwal tersebut terjadi di Ibukota dan layar televisi. Pelarangan maka tidak dapat dilakukan di panggung-panggung hiburan daerah. Pencekal atau pelbagai kalangan perlu memahami dengan betul, bahwa Dangdut Koplo tidak hanya persoalan lirik, atau fisik sang biduan, tetapi juga musikalitas, dan performativitas ketika digelar. Atas dasar pemahaman tersebut, diharapkan agar semua pihak dapat memaknai Dangdut Koplo sebagaimana mestinya, dan tidak sekehendak hati
Volume 1 No. 1 April 2017
Michael H.B. Raditya
Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan
melakukan tindakan yang merugikan untuk banyak pihak.[] REFERENSI: Anderson, Benedict. 2002. Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press. Ang, Ien. 1991. Desperately Seeking The Audience. London: Routledge. Darajat, Irfan R. 2014. Nyanyian Bangsa: Telaah Musik Sujiwa Tejo dalam Menghadirkan Wacana Identitas dan Karakter Bangsa. Yogyakarta: Penerbit PolGov. Indriya, W. 2006, Belum Ada Apa-Apa, Penonton Sudah Minta Dangdut, dalam Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan dalam Pelaksanaan, Isi dan Profesi, Disunting oleh Yampolksy, P, Jakarta: Equinox Publishing. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Lohanda, Mona. 1991. “Dangdut: Sebuah Pencarian Identitas – Tinjauan Kecil dari Segi Perkembangan Historis”, dalam Seni dalam Masyarakat Indonesia, Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono (ed). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Pastina, Antonio C. La. 2005. “Audience Ethnographies A media Engagement Approach”, dalam Media Anthropology, Eric W Rothenbuhler and Mihai Coman (ed). Thousand Oaks, London: Sage Publication, inc. Purnima Mankekar. 2002. “National texts and gendered lives: an ethnography of television viewers in a north Indian City” dalam The Anthropology of Media a reader, Kelly Askew dan Richard R.
Wilk. Victoria: Blackwell Publishing. Raditya, Michael Haryo Bagus. 2013. Esensi Senggakan Pada Dangdut Koplo sebagai Identitas Musikal. Tesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Simatupang, Gabriel Roosmargo Lono Lastoro. 1996. The Developoment of Dangdut and Its Meanings: Study of Popular Music in Indonesia. Tesis Departemen Antropologi dan Sosiologi, Monash University. Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian SeniBudaya. Yogyakarta: Jalasutra. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB. Turino, Thomas. 2008. Music as Social Life: The Politics of Participation. Chicago: The University of Chicago Press. Webster, J.G. 1998. The Audience, J. Broad & Elec. Media, Jurnal. Weintraub, Andrew N. 2012. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Webtografi http://x.detik.com/detail/intermeso/2016 0530/Digemari-Dulu-DicekalKemudian-/index.php
Volume 1 No. 1 April 2017
41