1. PENDAHULUAN Penyaluran kredit perbankan pada sektor konsumsi mengalami peningkatan drastis sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi dua belas tahun yang lalu. Hal ini terjadi karena banyaknya perusahaan besar yang bangkrut sehingga korporasi sangat sedikit menyerap kredit dari bank. Perbankan kemudian semakin menyadari bahwa peluang di pasar konsumsi semakin besar, dimana tanggungan akibat gagal bayar oleh kreditur yang dihadapi relatif lebih kecil dibanding dengan kredit pada investasi dan modal kerja. Dengan peluang bisnis yang cukup menjanjikan, maka kredit konsumsi merupakan produk favorit bagi pelaku bisnis perbankan. Jelas bahwa ketatnya tingkat persaingan antar bank ini menimbulkan 2 sudut pandang. Dalam sisi positif, kehadiran bank baru memberikan kelancaran dan kemudahan dalam transaksi perdagangan, dan pada akhirnya meningkat pula jumlah dan nilai transaksi perbankan dan keuangan baik nasional maupun internasional. Namun dari sisi negatifnya persaingan yang tidak sehat antar pemilik dan pengelola bank pun meningkat. Dampak dari hal ini sudah banyak nampak, terutama dalam pelanggaran prinsip kehati-hatian berupa overlimit plafon kredit yang melebihi Peraturan Bank Indonesia maupun kemudahan syarat-syarat kredit tanpa mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit kepada nasabahnya. Dari berbagai jenis bank di Indonesia, kelompok bank asing dan campuran dinilai paling agresif dalam memangkas suku bunga kredit konsumsi pada tahun lalu (2010). Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A. Johansyah mengatakan kelompok bank asing dan campuran merupakan kelompok bank yang paling agresif dalam menurunkan suku bunga kredit konsumsi dan suku bunga kredit modal kerja. Bank Indonesia (BI) mencatat adanya penurunan suku bunga kredit. Penurunan rata-rata suku bunga kredit tersebut didorong oleh Bank Asing yang menurunkan bunga kredit konsumsinya hingga 80bps atau 0,8% (http://finance.detik.com/read/2011/06/12/115530/1658451/5/bank-asingturunkan-bunga-kredit-konsumsi-80-bps?nd9911043). Dengan keberanian bank asing dalam menurunkan suku bunga kreditnya, BI mencatat bahwa selama tahun 2010-2011, NPL (Non Performing Loan) bank asing juga memiliki prosentase paling besar dibanding dengan penggolongan bank lain di Indonesia (lampiran 1). 1
PT. BII, Tbk merupakan salah satu bank asing milik Malaysia yang beroperasi di Indonesia. Menurut situs BII, bank ini fokus dibidang konsumer. Hal tersebut didorong oleh kontribusi terbesar dari total kredit konsumsi. Yaitu sebesar 40 %, sedangkan kontribusi kredit UKM dan kredit Korporasi masing-masing sebesar 36% dan 24 %. Namun meski secara rata-rata Non Performing Loan (kredit bermasalah gross) bank asing meningkat, BII justru dapat menurunkan NPL nya. Per September 2011 turun dari 3,52% menjadi 2,54%. Penurunan NPL tersebut juga didorong oleh peran manajemen risiko kredit yang efektif (http://www.bii.co.id/News/Pages/BII-Records-34-Increase-in-Net-Profit-). Ketersediaan suatu sistem dan prosedur dalam hal mengendalikan dan mengelola risiko adalah merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap bank. Agar bank terhindar dari kerugian, baik kerugian materi berupa penurunan pendapatan bank ,maupun non materi seperti memburuknya citra atau reputasi dari suatu bank di mata masyarakat. Pada tingkatan yang lebih tinggi, risiko dapat dikelola sedemikian rupa untuk memberikan penghasilan yang lebih besar bagi bank. Bank diharapkan mampu mengidentifikasi risiko, mengelola dan memantau agar dampak dari risiko yang mungkin saja terjadi tidak melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank tersebut. Menurut info bank, kredit konsumsi perbankan nasional pada 2012 diprediksi akan tetap tumbuh. KPR masih menjadi penyangga utama pertumbuhan (http://www.infobanknews.com/2011/11/prospek-kpr-dibawah-bayang-bayang-krisis). Bank Indonesia (BI) menilai keberanian sejumlah bank asing di Tanah Air menyalurkan kredit sangat tinggi pada tahun 2011. Saat perbankan nasional mengerem penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR), bank milik asing justru mengincar bisnis ini. Apalagi, angka penyaluran KPR masih minim, yakni baru dua persen dari total PDB (Produk Domestik Bruto). Sedangkan jumlah penduduk terus meningkat. Hal itu menjadi alasan perbankan asing mulai mengincar pasar properti di tanah air. Menurut Haryanto (EVP Coordinator CMO, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk), penyaluran kredit rumah di Malaysia dan Singapura sudah mulai jenuh. Karena, sudah hampir semua orang memiliki rumah sendiri, makanya bank asing masuk ke Indonesia (http://www.ujungpandangekspres.com/view.php). Berdasarkan uraian di atas, maka mendorong penulis untuk mempelajari “Bagaimana Penerapan Manajemen Risiko di PT. BII, Tbk di bidang Kredit Pemilikan Rumah?”
2
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan manajemen risiko KPR di BII. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi penulis agar dapat meningkatkan wawasan berpikir ilmiah khususnya yang berkaitan dengan konsep manajemen risiko secara nyata di perbankan Indonesia. Dan bagi pendidikan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu khususnya dalam praktisi didunia perbankan terutama dalam penerapan manajemen risiko penyaluran kredit konsumsi di bidang KPR.
3
2. Kajian Teoritis dan Empiris 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pengertian Bank Menurut UU Perbankan No.10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pengertian Bank adalah sebagai berikut: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” 2.1.2 Pengertian Kredit Menurut UU Perbankan No.10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kredit dan pembiayaan adalah sebagai berikut: “Kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Sedangkan pengertian pembiayaan dalam Pasal 1(12) adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.” 2.1.3 Unsur-unsur Kredit: Menurut Khasmir (2004: 103), unsur-unsur kredit yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut: a. Kepercayaan Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bahwa kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu dimasa yang akan datang oleh pihak pemberian kredit. b. Kesepakatan Kesepakatan merupakan suatu kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak akan menandatangani hak dan kewajiban masing-masing. c. Jangka waktu Jangka waktu merupakan masa pengembalian kredit yang telah disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit. d. Risiko 4
Risiko merupakan suatu kemungkinan tidak tertagihnya pinjaman atau macetnya pengembalian kredit dari yang telah disepakati bersama. e. Balas jasa Balas jasa merupakan suatu keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa, yang di kenal dengan nama bunga. 2.1.4 Analisis Kredit Dalam pemberian kredit dibutuhkan suatu analisis terhadap usaha yang dilakukan debitur untuk menentukan suatu keputusan dalam pemberian kredit. Salah satu cara menilai kegiatan usaha debitur adalah dengan menggunakan prinsip-prinsip kredit pada aspek-aspek usaha debitur. Adapun prinsip-prinsip yang digunakan adalah berupa analisis 6C dan 7P. 1. Adapun 6C menurut Gup and Kolari (2005; 263) tersebut adalah: a. Character, sifat dan watak dari nasabah (kejujuran, tanggungjawab, integritas dan konsisten). Sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, tercermi dari latar belakang debitur baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi. b. Capacity, kemampuan seseorang untuk menjalankan bisnis. Debitur perlu dianalisis apakah dia mampu memimpin dengan baik dan benar usahanya. Jika dia mampu memimpin usahanya, maka dia juga akan mampu untuk mengembalikan pinjamam sesuai dengan perjanjian dan perusahaannya tetap berjalan. c. Capital, kondisi keuangan dari nasabah (pendapatan bersihnya). Modal yang besar maka menunjukkan besarnya kemampuan debitur untuk melunasi kewajiban-kewajibannya. d. Colleteral, kekayaan yang dijanjikan untuk keamanan dalam transaksi kredit/anggunan. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jika terjadi kredit macet, maka agunan inilah yang digunakan untuk membayar kredit tersebut. e. Condition, faktor luar (kondisi ekonomi) yang mengontrol perusahaan. Menilai kredit hendakya juga dinilai kondisi ekonomi sekarang dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta prospek usaha dari sektor yang ia (peminjam) jalankan. f. Compliance, kepatuhan terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku itu sangatlah penting. Hal ini menyangkut atas kepatuhan kreditur dan debitur dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. 2.1.5 Kredit Bermasalah (Non Performing Loan) Kredit bermasalah akan muncul apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya. Didalam pemberian kredit akan ada kemungkinan tidak tercapainya kesepakatan yang telah disepakati oleh debitur dan bank. Inilah yang sering kita sebut sebagai risiko kredit. Dan risiko kredit ini berbentuk kredit bermasalah. Yang tergolong sebagai kredit bermasalah didalam keseluruhan kriteria kredit adalah kredit dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.
5
Menurut Veithzal Rivai (2006: 467) terdapat berbagai definisi kredit bermasalah, yaitu kredit yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko di kemudian hari: 1. Mengalami kesulitan didalam penyelesaian kewajiban- kewajibannya, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya dan atau pembayaran bunga, denda keterlambatan, serta ongkos-ongkos bank yang menjadi beban nasabah yang bersangkutan. 2. Kredit dimana pembayaran kembalinya dalam bahaya, terutama apabila sumber-sumber pembayaran kembali membayar kredit, sehingga belum mencapai atau memenuhi target yang diinginkan bank.
2.1.6 Manajemen Risiko kredit Penerapan manajemen risiko kredit ini dimaksudkan untuk menilai risiko kredit yang melekat pada pelaksanaan pemberian kredit. Hal yang penting didalam penerapan manajemen risiko kredit adalah adanya prosedur dan metodologi pengelolaan risiko kredit sehingga kegiatan usaha bank, dalam hal ini kredit dapat terkendali pada batas yang dapat diterima. Manajemen resiko kredit diterapkan sebagai upaya meningkatkan efektivitas prudential Banking. Situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat yang diikuti dengan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha perbankan sehingga meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola Bank yang sehat (good corporate governance) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi pengawasan aktif pengurus bank, kebijakan, prosedur dan penentapan limit risiko, proses identifikasi, pengukuran ,pemantauan, sistem informasi, dan pengendalian risiko , serta sistem pengendalian intern (SE No.5/21/DPNP 2003:2). a)
Pengawasan aktif pengurus bank (Dewan Komisaris dan Direksi) , yang meliputi:
1. Dewan Komisaris bertanggung jawab dalam melakukan persetujuan dan peninjauan berkala atau sekurang-kurangnya secara tahunan mengenai srategi dan kebijakan risiko kredit pada bank. 2. Direksi bertanggung jawab untuk mengimplementasikan strategi dan kebijakan risiko kredit serta mengembangkan prosedur identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko kredit. b) Kebijakan Manajemen Risiko Kredit Menurut Surat Edaran BI 5/21/2003, kebijakan manajemen resiko kredit merupakan arahan tertulis dalam menerapkan manajemen resiko dan harus sejalan dengan visi,misi, dan rencana strategik bank serta lebih terfokus pada 6
risiko yang relevan pada aktivitas fungsional Bank(SE No.5/21/DPNP 2003 :6). Terkhusus bank harus memiliki informasi yang cukup guna membantu bank dalam melakukan penilaian secara komprehensif terhadap profil risiko debitur(SE No.5/21/DPNP 2003:21). Meskipun BI telah membuat suatu prosedur tertulis mengenai manajemen risiko kredit, namun bank umum juga wajib membangun sistem manajemen risiko kredit sesuai dengan fungsi dan visi misi yang disesuaikan dengan organisasi manajemen risiko kredit pada bank tersebut. c) Penetapan Limit Penetapan limit merupakan batas /limit dari potensi kerugian yang mampu diminimalisir oleh bank. Batas maksimum pemberian kredit adalah salah satu cara untuk mengurangi potensi risiko kredit. Didalam penetapan limit ada 5 hal yang penting (SE No.5/21/DPNP 2003: 23), yaitu: 1. Dalam prosedur penetapan limit risiko kredit, bank antara lain harus menggambarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penetapan limit risiko kredit dan proses pengambilan keputusan/penetapan limit risiko kredit. 2. Bank harus menetapkan limit untuk seluruh nasabah atau counterparty sebelum melakukan transaksi dengan nasabah tersebut, dimana limit tersebut dapat berbeda satu sama lain. 3. Limit untuk risiko kredit ditujukan untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan karena adanya konsentrasi penyaluran kredit. 4. Limit untuk satu nasabah atau counterparty dapat didasarkan atas hasil analisis data kuantitatif yang diperoleh dari informasi laporan keuangan maupun hasil analisis informasi kualitatif yang dapat bersumber dari hasil interview dengan nasabah. 5. Penetapan limit risiko kredit harus didokumentasikan secara tertulis dan lengkap yang memudahkan penetapan jejak audit untuk kepentingan auditor intern maupun ekstern.
d) Identifikasi Risiko Kredit Bank harus mengidentifikasi risiko kredit yang melekat pada seluruh produk dan aktivitasnya. Identifikasi risiko kredit tersebut merupakan hasil kajian terhadap karakteristik risiko kredit yang melekat pada aktivitas fungsional tertentu, seperti perkreditan (penyedian dana), tresuri dan investasi , dan pembiayaan perdagangan (SE No.5/21/DPNP 2003: 22). Setelah dilakukan identifikasi risiko kredit secara akurat, selanjutnya secara berturut-turut bank perlu melakukan pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko kredit. Penilaian risiko merupakan serangkaian tindakan yang dilaksanakan oleh Direksi dalam rangka identifikasi, analisis dan menilai risiko yang dihadapi bank untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. e)
Pengukuran Risiko Kredit
Pengukuran risiko kredit dimaksudkan agar bank mampu mengkalkulasi eksposur risiko kredit yang melekat pada kegiatan usahanya sehingga bank 7
dapat memperkirakan dampaknya terhadap permodalan yang seharusnya dipelihara dalam rangka mendukung kegiatan usaha yang dimaksud. Selain itu pelaporan data atas kalkulasi eksposur kredit digunakan sebagai pengambilan keputusan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kehatihatian bank. Dalam sistem pengukuran risiko kredit, sekurang-kurangnya mempertimbangkan (SE No.5/21/DPNP 2003: 24): 1. Karakteristik setiap jenis transaksi risiko kredit, kondisi keuangan debitur/ counterparty serta persyaratan dalam perjanjian kredit seperti dalam jangka waktu dan tingkat bunga; 2. Jangka waktu kredit ( maturity profile) dikaitkan dengan perubahan potensial yang terjadi di pasar; 3. Aspek jaminan, agunan dan atau garansi; 4. Potensi terjadinya kegagalan membayar (default),baik yang berdasarkan hasil penilaian pendekatan konvensional maupun hasil penilaian pendekatan yang menggunakan proses pemeringkatan yang dilakukan secara intern; 5. Kemampuan bank untuk menyerap potensi kegagalan (default). f) Pemantauan Risiko Kredit Dalam rangka melaksanakan pemantauan risiko, Bank harus melakukan evaluasi terhadap eksposur risiko, terutama yang bersifat material dan atau yang berdampak pada permodalan bank. Dalam pemantauan risiko kredit sekurang-kurangnya memuat ukuran-ukuran dalam rangka (SE No.5/21/DPNP 2003: 26): 1. Memastikan bahwa bank mengetahui kondisi keuangan terakhir dari debitur atau counterparty ; 2. Memantau kepatuhan terhadap persyaratan dalam perjanjian kredit atau kontrak transaksi risiko kredit; 3. Menilai kecukupan agunan dibandingkan dengan kewajiban debitur atau counterparty; 4. Mengidentifikasi ketidaktepatan pembayaran dan mengklasifikasikan kredit bermasalah secara tepat waktu; 5. Menangani dengan cepat kredit bermasalah Hasil pemantauan yang mencangkup evaluasi terhadap eksposur risiko kredit dibandingkan dengan limit risiko kredit yang telah ditetapkan. Lalu, hasilnya dilaporkan secara tepat waktu, akurat dan informatif , dalam rangka meningkatkan efektivitas proses pengukuran risiko kredit. Yang akan digunakan oleh Direksi dan pejabat lainnya dalam pengambilan keputusan dalam suatu bank (SE No.5/21/DPNP 2003: 25). Selanjutnya berdasarkan hasil pemantauan tersebut, bank melakukan pengendalian risiko antara lain dengan teknik mitigasi risiko kredit. g)
Pengendalian Risiko Kredit dan Sistem Pengendalian intern
Didalam rangkaian manajemen risiko kredit, kegiatan pengendalian akan berjalan efektif bila direncanakan dan diterapkan yang berguna dalam mengendalikan risiko yang telah diidentifikasi. Sedangkan sistem 8
pengendalian intern yang efektif merupakan hal yang penting didalam manajemen risiko kredit bank yang sehat. Sistem pengendalian intern bank yang efektif akan membantu pengurus bank menjaga aset, menjamin ketersediaan pelaporan keuangan dan manajerial yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan bank terhadap ketentuan dan perundang- undangan yang berlaku, serta mengurangi risiko terjadinya kerugian, penyimpangan dan pelanggaran aspek kehati-hatian (SE No.5/22/DPNP 2003: 3). 2.2 Kajian Empiris (Tinjauan Peneliti Terdahulu) Penelitian terdahulu dilakukan oleh Seno Santoso pada tahun 2008 yang berjudul Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Pada Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Bekasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan KPR untuk rumah sederhana pada Bank BTN cabang Bekasi, serta untuk mengetahui cara penyelesaian apabila debitur wanprestasi. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris, dimana digunakan untuk memberikan gambaran secara kualitatif tentang kewajiban debitur dan penyelesaian kredit bermasalah dalam pelaksanaan perjanjian kredit. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan ada tiga tahap dalam proses terjadinya prosedur KPR di BTN. Yang pertama merupakan tahap wawancara antara pihak debitur dengan pihak Bank Tabungan negara, dari hasil wawancara ini BTN dapat melakukan seleksi awal terhadap calon debitur mengenai karakter dari pemohon atau debitur setelah mengajukan permohonan melalui BTN dan mempelajari syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang berlaku, memeriksa identitas, kemampuan kesanggupan memenuhi syarat kredit (melampirkan daftar gaji dari instansi calon debitur bekerja atau penghasilan dari calon debitur). Selain itu juga adanya jaminan dari BTN kepada calon debitur tersebut yang berupa rumah dan tanah yang akan dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah tersebut. Berdasarkan hasil wawancara tersebut kemudian pihak PT BTN (Persero) Cabang Bekasi mengadakan rapat komite kredit (K/Rakomdit) untuk menentukan apakah calon debitur tersebut dapat diterima untuk mengajukan permohonan kredit, apabila calon debitur ditolak maka calon debitur untuk sementara waktu tidak memenuhi syarat-syarat dan apabila diterima maka calon debitur tinggal menunggu realisasi kredit. Tahap kedua yaitu tahap pembinaan kredit dalam tahap ini akan diadakan rekonsiliasi atau konfirmasi, tujuannya yaitu untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam hal kekeliruannya dalam pembukuan angsuran. Tahap yang ketiga yaitu tahap penyelamatan kredit, di dalam tahap ini pihak BTN (Persero) Cabang Bekasi membuat surat pernyataan kesanggupan membayar, dengan tujuan bilamana debitur mengakui adanya tunggakan, dalam hal ini debitur diminta untuk membayar tunggakan dalam masa tertentu. Selain itu surat peringatan ini juga sebagai kelengkapan apabila masalah tersebut sampai ke pengadilan. Sedangkan untuk mengatasi wanprestasi dari debitur, pihak PT BTN melakukan cara-cara yaitu dengan musyawarah dengan melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Dan bila cara ini tidak menemukan titik terang yang terakhir melalui pengadilan dengan konsekuensi proses waktu yang panjang serta memakan biaya yang banyak. 9
Persamaan peneliti yang dilakukan oleh Seno dengan peneliti sekarang adalah sama-sama meneliti tentang prosedur pemberian KPR serta cara penyelesaian apabila debitur wanprestasi. Perbedaan penelitian terdahulu dan peneliti sekarang adalah peneliti sekarang menambahkan adanya gambaran mengenai manajemen risiko kredit yang dilakukan oleh BII, karena hal ini akan dinilai bisa cukup mewakili apakah dalam pemberian kredit yang merupakan kegiatan utama bank, mengandung risiko kredit yang dapat memicu terjadinya kredit bermasalah. Oleh karena itu gambaran mengenai manajemen risiko kredit ini diperlukan sebagai upaya pencegahan bahkan evaluasi dalam pelaksanaan kredit. Dimana bank harus berpegang pada aturan serta kebijakan kredit yang sehat sebagaimana diatur oleh Bank Indonesia guna melindungi dan memelihara kepentingan serta kepercayaan masyarakat.
10
3. METODE PENELITIAN Menurut Soerjono (1986: 6) metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedang penelitian adalah pemeriksaan secara berhati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam penelitian. Menurut Sutrisno Hadi (2000 : 4), penelitian atau research, adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan mengkaji kebenaran suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan tidak lain untuk memperoleh data yang telah teruji kebenaran ilmiahnya. Namun untuk mencapai kebenaran tersebut ada dua buah pola berpikir secara empiris atau melalui pengalaman. Oleh karena itu, untuk menemukan metode ilmiah, maka digabungkanlah metode pendekatan rasional dan metode pendekatan empiris, di sini rasionalisme memberikan kerangka pemikiran logis, sedang empirisme memberikan kerangka pembuktian atau pengujian untuk memastikan suatu kebenaran (Ronny, 1990: 36). 3.1. Jenis Penelitian dan Sumber Data Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Yaitu setelah data terkumpul, kemudian ditulis dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif. Yaitu dari data yang bersifat umum menuju ke hal yag bersifat khusus. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa wawacara langsung secara informal dengan Account Officer bagian KPR. Sedangkan data sekunder berupa standar operasional pelaksanaan program KPR BII, dan dokumen pendukung lainnya. Adapun pengumpulan datanya adalah sebagai berikut:
11
Cara Wawancara
Penjelasan Pengumpulan data yang diperoleh dari Account Officer BII bagian KPR.
Dokumenter
Pengumpulan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen pelaksanaan penerapan manajemen risiko kredit program KPR BII.
Jenis Data 1. Gambaran umum mengenai program KPR BII. 2. Prosedur penyaluran kredit pemilikan rumah di BII. 3. Risiko-risiko yag sering muncul dalam program KPR BII. 4. upaya manajemen risiko yang dilakukan BII untuk meminimalisasi risiko yang muncul. annual report, standar operasional pelaksanaan program KPR BII.
3.2 Populasi dan Sampel Dalam penelitian ini, ditujukan kepada lembaga, oleh karena itu tidak dipersoalkan populasi dan sampel. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisisnya adalah manajemen risiko kredit dalam pemberian kredit pemilikan rumah di PT. Bank Internasional, Tbk. 3.3 Teknik dan langkah-langkah analisis data Teknik yang digunakan dalam penelitian tentang penerapan manajemen risiko kredit dalam pemberian kredit pemilikan rumah di BII ini bukan penelitian yang merupakan suatu penelitian terhadap hipotesis yang hendak diuji kebenarannya. Namun lebih kepada mendapatkan gambaran dan informasi mengenai manajemen pengendalian risiko kredit yang dilakukan oleh BII. Adapun langkah-langkah analisis yang dilakukan adalah: 1. Mengamati prosedur manajemen risiko kredit pemilikan rumah BII dengan wawancara. 2. Mengumpulkan dokumen-dokumen yang digunakan dalam analisis manajemen risiko kredit pemilikan rumah di BII. 3. Melakukan wawancara atas risiko kredit yang masih muncul dalam pelaksanaan pemberian kredit pemilikan rumah di BII.
12
4. Menganalisis
langkah-langkah
meminimalisasi risiko kredit. 5. Membuat kesimpulan dan saran.
13
yang
ditempuh
BII
dalam
4.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil penelitian PT BII,Tbk merupakan bank yang didirikan pada tahun 1980 dan mencatatkan ke BEI pada tahun 1998 dan menjadi bank swasta di Indonesia. Sedangkan ia menjadi bank asing setelah diambil alih oleh konsorsium Sorak kepemilikan bank sebesar 51 % pada tahun 2003. i. Gambaran umum program KPR PT. BII, TBK Jakarta Produk utama : a. Home Financing /KPR: pinjaman yang diberikan untuk pembelian properti (untuk tempat tinggal atau hunian , kecuali untuk ruko / rukan), biasanya dengan periode pembayaran dan bunga yang telah ditetapkan. b. Home equity /maxima: pinjaman yang diberikan dengan jaminan properti yang telah dimiliki untuk mendapatkan uang tunai. ii.
Proses Persetujuan Kredit Pemilikan Rumah BII (lampiran 2)
iii. Sistem Manajemen Risiko Kredit Manajemen risiko kredit yang bersifat preventif Merupakan manajemen risiko pada tahap preventif (pencegahan). Dimana pada tahap ini akan dijelaskan prosedur pemberian kredit sampai kepada penagihan dan pemantauan atas kredit yang disetujui. Jika dihubungkan dengan penerapan manajemen risiko yang diatur oleh Bank Indonesia bagi perbankan di Indonesia, tahap pengawasan aktif pengurus bank dan kebijakan manajemen risiko kredit pada tahap preventif berperan sebagai kerangka yang memberikan gambaran setiap tanggungjawab dan otorisasi dari manajemen risiko kredit secara komprehensif. Tahap penetapan limit dimaksudkan untuk meminimalisir potensi kerugian dikemudian hari dengan prosedur yang ada. Dan tahap identifikasi risiko kredit serta pengukuran risiko kredit masih masuk dalam tahap preventif, karena tahap ini dimaksudkan sebagai upaya bank dalam mendeteksi adanya potensi risiko kredit dimasa mendatang yang berpengaruh terhadapa usaha perbankan dan permodalan bank tersebut. Adapun prosedur manajemen risiko pada tahap preventif yang dimaksud: a) Kejelasan dan kelengkapan Informasi tentang calon debitur Petugas administrasi wajib menjelaskan mengenai persyaratan pengajuan kredit pemilikan rumah yang meliputi dan mengecek ke Sistem Informasi
14
Debitur Bank Indonesia sedang tidak menerima kredit atau pembiayaan modal kerja dan investasi dari bank lain maupun pemerintah, pada saat permohonan kredit diajukan. Jika calon nasabah masih memiliki debet di dalam sistem Informasi Debitur Bank Indonesia maka diperlukan Surat Roya dari bank asal wajib dimintakan. Harus lancar selama 3 bulan terakhir pada tanggal verifikasi. Tidak terdaftar dalam negatif AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia) 1. Legalitas dokumen calon debitur berupa KTP. Selain itu sekurangkurangnya salah satu dari dokumen berikut harus tersedia; Kartu Keluarga, Surat Nikah / Akta Cerai / akta kematian. 2. Perijinan calon debitur dengan ketentuan plafond kredit sesuai dengan bidang usaha . 3. Jenis kredit dan Jangka waktu akan dijelaskan dengan tabel yang menggambarkan jenis kredit pemilikan rumah (KPR dan Maxima) besrta jangka waktu yang disesuaikan dengan usia debitur saat kredit berakhir. b) Kriteria kelayakan Bagian administrasi melakukan pengujian kelayakan atas berkas yang masuk dengan dasar beberapa parameter yang telah dibakukan seperti: Kewarganegaraan : untuk menjamin bahwa nasabahnya memiliki ikatan hukum yang jelas yang didasarkan pada Undang-undang). Usaha debitur : untuk mengetahui usaha yang dijalankan nasabah. Untuk memastikan sumber pendapatan debitur serta memastikan usaha debitur tidak masuk dalam daftar hitam perusahaan, pengalaman kerja dan usaha debitur (individu) . Dengan asumsi jika ia bisa menjalankan bisnisnya dengan baik, ia akan mampu melunasi kewajibannya kelak. Cakupan lokasi tempat usaha serta lokasi jaminan, dimana hal itu mempengaruhi kesiapan operasional BII dalam upaya memperoleh kepastian mengenai perlindungan jaminan debitur). c) Verifikasi Jika berkas pengajuan kredit yang lolos kriteria kelayakan, maka akan dilanjutkan oleh bagian Account Officer dimana bagian ini mengecek tentang keberadaan syarat informasi di lapangan yang meliputi pengecekan dokumen dengan pengecekan jaminan. Pengecekan dokumen meliputi; tempat tinggal, verifikasi tempat bekerja via telepon bagi karyawan , bagi pengusaha dan profesional pengeceka keberadaan kepemilikan perusahaan.
15
Dan pengecekan ke bank asal jika masih terdapat debit kredit di bank tersebut. Sedangkan pengecekan jaminan meliputi:
Melakukan pengecekan sertifikat tanah ke BPN oleh bagian legal.
Tim appraisal melakukan pengecekan ke Dinas Tata Kota jika lokasi berada diluar hunian real estate.
Penilaian dilakukan oleh penilai internal atau perusahaan penilai independen yang disetujui BII.
Berdasarkan pada nilai pasar dan nilai likuidasi (maksimal nilai likuidasi diatas 80% dari nilai pasar).
Wajib menggunakan penilaian eksternal, jika jumlah pinjaman ≥ Rp 1 miliar.
Dalam hal di cabang BII, apabila tidak ada penilai oleh eksternal tidak dapat dilakukan, maka dapat menggunakan penilaian internal yang berasal dari cabang BII.
d) Proses pengecekan duplikasi Jika proses verifikasi telah usai, maka sebelum persetujuan pelaksanaan kredit, semua pemohon kredit (termasuk pasangan kawin dan penjamin) harus dilakukan pengecekan melalui 3 tahap. Tahap pertama yaitu pemeriksaan oleh BI yang berkaitan dengan sistem informasi debitur, daftar kredit macet, dan daftar hitam. Tahap yang kedua berkaitan dengan pemeriksaan internal bank, seperti nasabah eksisting dan maksimum eksposur. Dan tahap yang ketiga adalah daftar hitam internal yang terdiri dari daftar hitam kartu kredit, daftar hitam kredit kendaraan dan kredit rumah, data debitur yang ditolak, debitur yang masuk remedial. e) Pencairan pinjaman, pembiayaan kembali, & pelunasan kredit a. Pencairan pinjaman : akan dicairkan ke rekening debitur( Maxima) sedangkan KPR akan langsung ditranfer ke rekening developer sesuai dengan perjanjian kerja sama dengan developer. b. Ketentuan pembayaran kembali : baik KPR maupun Maxima memiliki ketentuan yang sama yaitu, debitur harus membuka rekening di BII, dan angsuran disetor setiap bulan pada tanggal yang telah ditetapkan dan langsung didebet oleh sistem.
16
c. Pelunasan pembayaran : baik pelunasan penuh maupun sebagian wajib menyertakan dokumen konfirmasi dari debitur, serta diperkenankan denga biaya denda jika nasabah tidak menyertakannya. f) Penagihan Proses penagihan yang dilakukan oleh BII kepada debiturnya mula-mula adalah mengklasifikasikan umur tunggakan dari suatu produk, dalam hal ini produk KPR. Hal ini didasarkan pada jumlah hari yang melampaui tanggal jatuh tempo pembayaran atau disebut DPD (Days Past due). DPD (Days Past due) Kolektibilitas 0 Lancar 1-90 Dalam perhatian khusus 91-120 Kurang lancar 121-180 Diragukan >180 Macet Strategi penagihan secara keseluruhan adalah untuk memelihara hubungan dengan nasabah untuk memperkecil kerugian, yaitu bentuk pendekatan pelayanan untuk penunggakan awal dan pendekatan yang agresif untuk tunggakan selanjutnya. g) Monitoring Proses monitoring (pemantauan kredit dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya kredit bermasalah. Pemantauan ini hanya berusaha mengukur dan mengawasi saja. Untuk proses penanganan kredit yang terdeteksi sebagai kredit bermasalah akan ditangani pada proses pengendalian risiko kredit yang bersifat kuratif.
Manajemen risiko kredit yang bersifat kuratif Merupakan manajemen risiko pada tahap kuratif (perbaikan). Dimana pada tahap ini akan dijelaskan penyebab kredit bermasalah dan prosedur atas penanganan kredit yang masuk dalam golongan kredit bermasalah. Dari kerangka manajemen risiko yang dibuat oleh Bank Indonesia, tahap pemantauan risiko kredit dan pengendalian risiko kredit serta sistem pengendalian intern masuk dalam tahap kuratif. Karena pada tahap ini merupakan upaya dalam evaluasi atas eksposur kredit serta bagaimana cara menangani eksposur kredit tersebut secara tepat agar dapat meminimalisir kerugian serta upaya dalam menjaga aset, kepatuhan terhadap perundangan yag berlaku serta tidak melakukan penyimpangan dalam hal prinsip kehatihatian. Adapun prosedur manajemen risiko kredit pada tahap kurati yang dimaksud:
17
a. Identifikasi Potensi terjadinya Risiko Kredit Risiko kredit yang berupa kredit bermasalah bisa terjadi karena 2 pihak. Yaitu pihak intern dan ekstern bank. Pihak intern bank berupa : Kebijakan pemberian kredit yang terlalu ekspansif. Dengan menyetujui pemberia kredit yang mengandung risiko kredit tinggi. Alasannya adalah karena adanya hubunga dengan penguasa atau ketatnya persaingan antar bank membuat bank menurunkan standar seleksi, sehingga NPL akan semakin tinggi.
Itikad kurang baik dari oknum bank, dengan adanya debitur fiktif. Oknum tersebut lebih mengutamakan kepentingannya dari pada kepentingan bank.
Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit akan memicu penyimpangan-penyimpangan yang akan mengakibatkan kegagalan dalam pelunasa kreditnya kelak.
Pihak ekstern berupa: Kegagalan usaha debitur. Ini bisa terjadi secara murni gagal usaha debitur, namun juga terkadang ada debitur yang nakal dengan memanipulasi laporan keuangan sehingga seakan-akan debitur mengalami kebangkrutan.
Adanya kebijakan pemerintah yang menaikkan suku bunga kredit maupun kebijakan makro lainnya.
Musibah yang terjadi kepada debitur yang tidak melakukan pengamanan penutupan asuransi.
b. Penggolongan kredit bermasalah Penggolongan atas risiko tersebut semakin memudahkan bank dalam memberikan perlakuan dan kebijakan sesuai dengan klasifikasi kredit. Pemberian surat peringatan adalah cara yang digunakan BII untuk mengingatkan debitur akan tunggakannya. Adapun klasifikasi surat peringatan diatur sebagai berikut:
18
Keterlambatan (hari) 1-8 9-15 16-30 31-60 61-75
Jenis Surat Peringatan Surat Pemberitahuan Surat Peringatan 1 Surat Peringatan 2 Surat Peringatan 3 Surat Peringatan dari Lawyer (penyitaan jaminan, gugatan perdata, gugatan pailit)
c. Meminimalkan risiko Dalam menangani kredit bermasalah bank membuat suatu kebijakan dalam meminimalkan risiko kredit yang harus ditanggungnya. Dalam meminimalkan risiko, proses penanganan debitur ini berlaku bagi debitur yang terbukti mendapatkan kesulitan pembayaran baik pokok dan atau bunga dan atau denda namun masih mempunyai prospek kemampuan membayar dimasa mendatang. Ada 3 tahap yang diambil oleh BII untuk menangani kredit bermasalah. Yaitu restrukturisasi kredit, reklasifikasi kredit, pelunasan secara tunai, dan agunan yang diambil alih. Dan jiak semua upaya penyelamatan kredit sudah tidak efektif lagi dan tidak punya prospek, maka langkah terakhir yang dilakukan oleh BII adalah melakukan kebijakan hapus buku dan hapus tagih. 1. Restrukturisasi Kredit Hanya berlaku untuk produk ini sekali saja, yang bisa masuk dalam proses penanganan kredit ini adalah debitur yang terkena kejadian tak terduga /bencana, seperti gempa bumi, banjir, ledakan gunung berapi, dll. Wajib mengikuti peraturan BI dalam hal penetapan kualitas kredit yang direstrukturisasi sesuai dengan PBI 7/2/PBI/2005 tanggal 20/01/2005 dan SE BI No. 7/3/DPNP tanggal 31/01/2005. Selain itu harus dibuktikan dengan dokumen sebagai dasar analisa restrukturisasi kredit yang digolongkan sebagai berikut: a. Diskon jumlah tunggakan bunga atau jumlah denda tunggakan atau jumlah pokok.
Kolektibilitas
Diskon (%)
Lancar
0
Dalam perhatian khusus
25
Kurang lancar Diragukan
50 75
Macet
100
19
Petugas remedial wajib berupaya untuk mendapatkan persetujuan dari debitur untuk setuju dengan discount yang lebih kecil untuk mengurangi kerugian bank. b. Penjadwalan pembayaran. Proses ini merupakan upaya penagihan yang diberikan kepada debitur dimana jumlah angsuran yang jatuh tempo terdiri dari pinjaman pokok, bunga dan biaya-biaya diangsur dan diselesaikan maksimum dalam waktu 12 bulan dengan tidak melebihi tanggal jatuh tempo kredit. Struktur kredit tidak merubah jumlah tunggakan (pokok, bunga, denda). Namun hanya dijadwalkan kembali tanpa tidak ada pembebanan bunga. Penjadwalan kembali ini berupa perpanjangan jangka waktu. Perpanjangan jangka waktu berlaku mana yang lebih dulu, antara maksimum jangka waktu 15 tahun atau maksimum perpanjangan jangka waktu tidak melebihi umur debitur (karyawan 55 tahun, pengusaha /profesional 65 tahun). c. Kombinasi dari kedua program tersebut. 2. Reklasifikasi kredit a. Untuk kredit dengan status lancar, dalam perhatian khusus, dan kurang lancar, kualitas kredit tidak berubah. Perjanjian restrukturisasi wajib ditandatangani oleh debitur. Setelah perjanjian ditandatangani, kredit dengan klasifikasi diragukan dan macet dapat diklasifikasi maksimal ke kerang lancar. b. Kredit yang direstruktur hanya dapat diklasifikasikan lancar setelah 3 bulan dari tanggal restruktur dan 3 bulan pembayaran angsuran dibayarkan. c. Dalam hal terjadi tunggakan pembayaran dan/ atau debitur gagal dalam memenuhi kriteria dalam perjanjian restrukturisasi kredit dalam 3 bulan, klasifikasi
kredit
kembali
restrukturisasi.
20
ke
klasifikasi
sebelum
dilakukan
3. Pelunasan secara tunai Diperbolehkan kepada debitur yang mengalami kesulitan keuangan untuk melunasi sekaligus pinjaman dengan jumlah diskon tertentu dari pokok dan denda maupun bunga. Dikon berdasarkan kesepakatan antara debitur dan kolektor. 4. Agunan yang diambil alih/ disita Dilakukan secara sukarela dan paksaan. Jika secara sukarela, aset akan diambil alih oleh bank dan debitur dengan sukarela menyerahkan jaminan kepada bank. Sedangkan jika secara paksaan bank melakukan penjualan jaminan kepada pihak ketiga sebagai hasil lelang. Secara hukum eksekus hak tanggungan dilakukan olah Kantor Lelang Negara melalui proses pengadilan. 5. Menanggung risiko Jika semua upaya penyelamatan dipertimbangkan dan diperkirakan tidak efektif dan tidak punya prospek lagi , kebijakan hapus buku (Write-off) dan Hapus tagih (Charge-off) dapat dilakukan terhadap debitur-debitur bermasalah tersebut. a. Hapus buku (write off) Definisi hapus buku adalah suatu tindakan administrasi bank dengan memindahkan pencatatan kredit bermasalah (macet) yang sudah tidak memiliki prospek usaha lagi dari on balance sheet kepada off balance sheet tanpa menghilangkan hak tagih bank kepada debitur. Pelaksanaan hapus buku hanya dapat dilakukan terhadap seluruh penyediaan dana (pinjaman) yang diberikan. Dan bank wajib memastikan bahwa telah memiliki cadangan 100% dari outstanding apabila melakukan write off terhadap akun hapus buku ini. hapus buku dilakukan terhadap seluruh pinjaman pokok, bunga, dan denda. b. Hapus tagih (charge off) Definisi hapus tagih adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan pengampunan atau pembebasan debitur dari kewajiban pembayaran pinjaman yang tidak dapat dikembalikan setelah akun tersebut dihapus bukukan. Hapus tagih diberlakukan sebagai upaya terakhir yang diambil oleh bank apabila usaha-usaha bank dalam melakukan penagihan sudah benar-benar maksimal namun tetap menemui jalan buntu. Hapus tagih dapat dilakukan secara parsial atau keseluruhan dari pinjaman, oleh karena itu hapus tagih dapat diberlakukan untuk pinjaman pokok, bunga, denda.
21
4.2.
Pembahasan
Pengendalian Risiko Preventif Berdasarkan sistem pengendalian risiko kredit yang bersifat preventif langkah yang ditempuh oleh BII adalah: 1. Kejelasan dan kelengkapan Informasi tentang calon debitur 2. Kriteria kelayakan 3. Verifikasi 4. Proses pengecekan duplikasi 5. Pencairan pinjaman, pembiayaan kembali dan pelunasan kredit 6. Penagihan 7. Monitoring Dari hasil wawancara dengan Account officer, prosedur yang dilakukan sudah dilakukan secara terintegrasi dengan prosedur kredit yang ada serta disesuaikan dengan analisa kelayakan kredit yang handal. Namun masih terdapat risiko kredit yang terjadi dari prosedur yang telah dibuat dengan sangat teliti ini. Adapun risiko yang masih muncul dan upaya bank untuk meminimalisasi hal tersebut, sebagai bagian dari manajemen risiko kredit di bidang KPR adalah sebagai berikut:
22
Risiko Tenggang waktu antara waktu persetujuan agunan dengan pencairan melebihi batas toleransi akibat kurang jelasnya suku bunga yang berlaku apa seperti iklan atau ada syarat lain yang dipakai.
Manajemen risiko Tepat 1 bulan sebelum cicilan terakhir, bank wajib menginformasikan kepada debitur bahwa pencairan di BII akan segera dilaksanakan setelah tanda lunas cicilan diserahkan kepada BII. Selain itu bank menjelaskan dengan jelas suku bunga mana yang dipakai sampai akhir perjanjian kredit sesuai dengan iklan dan syarat yang berlaku. Pencairan dilakukan secara bertahap/ tidak sekaligus dan maksimum tenor cicilan adalah 12 bulan.
Debitur tidak memiliki rasa memiliki ditunjukkan dengan kelengkapan dokumen perlindungan atas jaminan yang dijaminkan kepada bank. Adanya debitur yang suka melakukan spekulatif akan suku bunga yang dimungkinkan akan turun setiap tahunnya karena ketatnya persaingan antar bank Keterlambatan pelunasan cicilan
Dibatasi hanya boleh melakukan kredit atas 1 unit program KPR saja.
Cicilan belum sepenuhnya dilunasi
Adanya periode tambahan yang diberikan kepada debitur untuk melunasi cicilannya Debitur tiba-tiba membatalkan agunan yang telah ditandatangani karena kasus atau ternyata agunan tersebut dijaminkan juga kepada pihak lain dan telah disita pihak lain.
Bank wajib mengingatkan debitur sebelum cicilan pertama jatuh tempo ( maksimal 1 hari sebelumnya). Sisa cicilan diambil alih bank dan debitur wajib memberikan surat pernyataan bahwa cicilan sebelumnya telah lunas dan akan segera melunasi dengan perjanjian tertulis. Pembayaran cicilan dimonitori lebih ketat dari program biasa. Dan hanya untuk apartemen dan rumah (maksimal 1 unit). Jumlah besar denda yang diatur terpisah dari kesepakatan awal.
23
Pengendalian risiko kuratif Berdasarkan sistem pengendalian risiko kredit yang bersifat kuratif yang ditempuh oleh BII adalah: 1. Identifikasi potensi terjadinya risiko kredit. 2. Penggolongan kredit bermasalah. 3. Meminimalkan risiko 4. Menanggung risiko. Manajemen risiko kredit yang dilakukan pada tahap kuratif dilakukan sebagai upaya menyelamatken kredit yang masuk dalam klasifikasi kredit bermasalah yang telah terjadi. Kredit bermasalah bisa muncul dipengaruhi oleh pihak internal dan eksternal. Dan upaya bank dalam melakukan kebijakan kredit bermasalah menjadi penentu seberapa besar bank akan dari akibat debitur yang masuk dalam ketegori kredit bermasalah. Atau dengan kata lain tahap ini bank mengupayakan supaya NPL tidak semakin besar. 4 tahap diatas telah dilakukan dengan baik oleh BII, dengan menerapkan four eyes principle. Prinsip ini berisi mengenai pemutusan pemberian kredit yang dilakukan unit bisnis terkait akan senantiasa mempertimbangkan rekomendasi independen dari unit manajemen risiko, sehingga diperoleh keputusan yang obyektif dan mengacu pada prinsip kehati-hatian. Cara-cara yang ditempuh telah dilakukan dengan baik oleh BII. Meski masih terjadi kredit bermasalah, pihak BII juga sedang dalam proses mengubah format surat perjanjian kredit agar sesuai dengan ketentuan baru terkait dengan program yang dijalankan dan mewajibkan untuk melampirkan dalam SOP dan ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
24
5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap penerapan manajemen risiko kredit di bidang kredit pemilikan rumah di PT.BII,Tbk, secara keseluruhan bank ini telah menerapkan manajemen risiko kredit yang dikelola dengan baik untuk menjaga independensi dan integritas proses penilaian risiko kredit, diantaranya melakukan penyeimbangan antara ekspansi kredit yang sehat dengan pengelolaan kredit secara cermat untuk menekan potensi kredit bermasalah. Serta menerapkan four eyes principle, dimana setiap pemutusan pemberian kredit dilakukan unit bisnis terkait akan selalu mempertimbagkan rekomendasi independen dari unit manajemen risiko, sehingga keputusan yang obyektif dan mengacu pada prinsip kehati-hatian. Jadi setiap unit bisnis ( misalnya produk KPR) sebelum ia melakukan pada tahap awal sebelum persetujuan maupun setelah pencairan meninta bagian manajemen risiko kredit untuk menganalisis risiko apa yang melekat pada bisnisnya dan meminta pertimbangan manajemen risiko upaya mitigasi yang perlu diambil. Meskipun begitu, kredit bermasalah masih terjadi. Dalam tahap preventif risiko kredit yang masih muncul yang berakibat pada keterlambatan pembayaran cicilan kredit dan yang paling krusial diakibatkan dalam tahap penilaian kriteria kelayakan kredit dan verifikasi. Karena pada tahap ini ada saja debitur yang memiliki dokumen palsu atas informasi yang diperlukan oleh bank sebagai dasar persetujuan kredit. Sedangkan pada tahap kuratif, ketidaktepatan pengklasifikasian kredit bermasalah oleh bank dengan kenyataan yang terjadi kemudian, yang paling berpengaruh adalah pada tahap identifikasi potensi terjadinya risiko kredit. Sehingga sering terjadi dianggap dalam kategori layak mendapat kredit ternyata pada jangka waktu tertentu masuk ke dalam kredit bermasalah. 5.2 Implikasi kebijakan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka implikasi kebijakan yang dapat diambil adalah dengan optimis dari para pelaku properti Indonesia pada awal 2012, dalam tahap preventif dapat diperbaiki dengan seleksi kredit yang lebih ketat. Selain itu ditahap preventif juga saat taksasi jaminan hendaknya disertai dengan surat dari notaris bahwa agunan bebas dari sengketa dan menyatakan bahwa seluruh berkas agunan asli yang tidak dijaminkan 5.3 Keterbatasan penelitian Metode yang dilakukan menyajikan informasi yang kualitatif dan kurang mencerminkan seberapa besar keterukuran yang menggambarkan kualitas penerapan manajemen risiko kredit secara nyata berpengaruh terhadap penurunan NPL.
25
Kesulitan lainnya karena ada beberapa kebijakan dan data yang merupakan data confidential bank dan hal tersebut tidak dapat dipaparkan karena merupakan strategi usaha bank dalam persaingan antar bank di Indonesia yang semakin ketat.
26
DAFTAR PUSTAKA Berita
BTN, 25 November 2008, Sektor KPR Diincar Bank Asing, http://www.btn.co.id/ContentPage/Berita/Sektor-KPR-Diincar-Bank-Asing-28-10-09-11-51-51.aspx , 22 Desember 2011.
Biro Pusat Statistik, 2010, Statistik Perbankan Indonesia, http//www.bps.go.id. , 20 April 2011. Biro Pusat Statistik, 2010, Statistik Perbankan Indonesia Vol. 9, No. 10 September 2011, http//www.bps.go.id. , 20 April 2011. Gup, Benton E and Kolari, James W, 2005, “Commercial Banking”, John Wiley and Sons, USA. Hadi, Sutrisno, 2000, Metode Research Jilid I, ANDI: Yogyakarta. Hanitijo, Ronny, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia: Jakarta. Kasmir, 2004, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Nugraheni, Esti, 31 Oktober 2011, BII Records 34% Increase in Net Profit on The Back of Strong Business Growth, http://www.bii.co.id/sites/en/news/Pages/BII-Records-34-Increase-in-NetProfit-.aspx, 15 November 2011. Purnomo, Herdaru, 12 Juni 2011, Bank Asing Turunkan Bunga Kredit konsumsi 80 bps, http://finance.detik.com/read/2011/06/12/115530/1658451/5/bankasing-turunkan-bunga-kredit-konsumsi-80-bps?nd9911043), 15 November 2011. Peraturan Bank Indonesia, 1998, No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Peraturan Bank Indonesia, 2003, No: 5/8 Tentang Penerapan Manajmen Risiko Bagi Bank Umum. Rivai,Veithzal., 2006, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan, Raja Grafindo Persada: Jakarta.
27
Seno Santoso, 2008, Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Pada Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Bekasi, Tesis S2 Program Studi Magister Kenotarian Universitas Diponegoro Semarang. Soekanto ,Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press: Jakarta. Surat Edaran Bank Indonesia, 2003, SE No.5/21/DPNP, Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Wiryosukarto, Darto, 9 November 2011, Prospek KPR di Bawah Bayang-bayang Krisis, (http://www.infobanknews.com/2011/11/prospek-kpr-di-bawahbayang-bayang-krisis), 12 Desember 2011.
28