BAB V PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan 9 pasien dengan derajat ringan dengan eosinofil terdapat di 3 subyek (33,3%), neutrofil terdapat di 6 subyek (66,6%), limfosit terdapat di 4 subyek (44,4%) dan monosit terdapat di 3 subyek (33,3%). Dari 9 pasien, sebanyak 7 pasien berusia di atas 18 tahun dan hanya 2 pasien yang berusia di bawah 18 tahun. Konjungtivitis alergi tampak lebih banyak dialami usia dewasa. Hal ini terjadi kemungkinan karena perubahan populasi limfosit intraepitelial (IELs) akibat bertambahnya usia sehingga sel limfosit CD4+ meningkat dan berkontribusi dalam ketidakstabilan struktur permukaan mata yang menua (Williams et al., 2012). Seluruh subyek yang dinilai derajat konjungtivitis alergi menggunakan 5-5-5 Exacerbation Grading Scale menunjukkan semuanya derajat ringan dengan ciriciri di kategori 1 poin. Dari penelitian tersebut, rentang skor yang didapat adalah skor 3 hingga skor 5 saja. Tidak ada subyek yang menunjukkan ciri-ciri kategori 10 poin dan 100 poin. Umumnya kategori 10 poin dan 100 poin digunakan untuk pasien yang mengalami VKC dan AKC (Shoji et al., 2009). Dari 9 subyek tersebut, yang sesuai dengan teori Bielory (2006) bahwa keberadaan minimal satu eosinofil dalam hasil scraping konjungtiva sebagai bukti konjungtivitis alergi adalah subyek nomor 1, 2 dan 3. Tidak adanya eosinofil pada subyek nomor 4 hingga 9 bukan berarti subyek tersebut tidak mengalami konjungtivitis alergi. Abelson et al. (1983) mengungkapkan bahwa pada 41
42
konjungtivitis alergi ringan menurut sistem penderajatan lain memang jarang ditemukan eosinofil pada hasil scraping konjungtiva dan tidak adanya eosinofil bukan berarti diagnosis konjungtivitis alergi dapat dikesampingkan. Pada subyek nomor 4 yang memiliki skor 3, hanya ditemukan 1 neutrofil dan 3 limfosit pada mata kiri. Gejala subyek nomor 4 memang paling sedikit sehingga kemungkinan tidak ada eosinofil karena konjungtivitis alergi sedang dalam fase nonaktif atau terjadi misdiagnosis (Bonini et al., 1988). Neutrofil dan limfosit yang didapat juga sedikit. Satu neutrofil yang muncul di sini kemungkinan karena ada reaksi nonspesifik yang terjadi karena sisa peradangan terdahulu (Takano et al., 2004). Limfosit yang didapatkan di preparat subyek kemungkinan hanya berasal dari limfosit intraepitelial (IELs) yang secara normal memang ada di konjungtiva (Reinoso et al., 2012). Ada 6 subyek yang memiliki skor 4. Dua di antaranya terdapat eosinofil di preparat. Subyek nomor 2 memiliki 1 eosinofil pada preparat mata kanan dan subyek nomor 3 memiliki 10 eosinofil pada preparat mata kiri. Keduanya masih tergolong 1+ bila menggunakan klasifikasi Kari dan Haahtela (Kari et al., 2010). Adanya eosinofil mengindikasikan bahwa benar dua subyek tersebut mengalami konjungtivitis alergi. Selain eosinofil, terdapat pula neutrofil dan limfosit yang bila muncul bersama menunjukkan kemungkinan telah terjadi respon alergi yang persisten (Mantelli et al., 2013). Empat subyek lain, yakni subyek nomor 5, 6, 7 dan 9, tidak ditemukan eosinofil dalam preparatnya. Hanya ditemukan neutrofil saja (subyek nomor 7 dan 9) atau neutrofil, limfosit dan monosit (subyek nomor 5 dan 6). Tidak adanya eosinofil dalam preparat, bukan berarti diagnosis konjungtivitis
43
dapat disingkirkan (Abelson et al., 1983), apalagi jika dalam preparat tersebut ditemukan sel inflamatorik lain. Kemungkinan eosinofil tersebut tidak terambil dalam scraping karena untuk mencapai lapisan permukaan konjungtiva, sel mast harus terprovokasi berulang-ulang sehingga eosinofil bermigrasi ke permukaan. Hal ini disebabkan karena aktivasi eosinofil didahului oleh aktivasi sel mast (Jedrzejczak-Czechowicz et al., 2011) dan dua sumber faktor kemotaktik eosinofil, yakni IL-4 dan IL-13 disekresi oleh sel mast (Hogan et al., 2008; Stone et al., 2010; Robles-Contreras et al., 2011). Kemungkinan lain tidak adanya eosinofil adalah subyek memiliki riwayat konjungtivitis alergi sebelumnya sehingga subyek pernah mendapat medikamentosa terkait konjungtivitis alergi. Walaupun pada saat kedatangan subyek sudah tidak menggunakan medikamentosa tersebut dalam jangka waktu lama, kemungkinan respon alergi subyek sudah berubah menjadi kurang reaktif ketika tercetus alergen. Selain itu, kemungkinan terakhir adalah saat scraping kurang dalam atau mungkin dalam pengerjaan pembuatan preparat, material scraping terlepas dari preparat karena fiksasi yang kurang baik atau terbilas ketika mengecat preparat. Subyek yang memiliki skor 5 ada dua, yakni subyek nomor 1 dan 8. Subyek nomor 1 memiliki satu eosinofil di preparat mata kiri, sedangkan subyek nomor 8 tidak ditemukan sel apapun di kedua preparatnya. Subyek nomor 1 sudah sesuai dengan teori bahwa adanya eosinofil membuktikan bahwa telah terjadi konjungtivitis alergi. Subyek nomor 1 mengeluhkan mata kanannya, namun preparat mata kanannya tidak menunjukkan sel apapun dan justru preparat kirinya yang menunjukkan adanya eosinofil. Belum diketahui penyebab eosinofil muncul
44
di mata kontralateral yang dikeluhkan. Kemungkinan besar adalah scraping kurang dalam di konjungtiva mata kanan atau eosinofil lepas ketika pengerjaan preparat. Penelitian ini menemukan 2 kasus yang menarik, yaitu subyek nomor 3 yang memiliki skor 4 dengan jumlah eosinofil 10 dan subyek nomor 8 yang memiliki skor 5, tetapi tidak ada eosinofil dalam preparatnya. Pembahasan masing-masing kasus adalah sebagai berikut: 1.
Kasus subyek nomor 3 Seorang perempuan, usia 51 tahun, datang dengan keluhan kedua mata epifora dan kadang gatal. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sering merasa mata mudah lelah dan berair apabila terpapar udara dingin. Pemeriksaan fisik yang didapatkan antara lain hiperemia konjungtiva palpebra, hiperemia konjungtiva bulbar, epifora dan lesi folikuler konjungtiva palpebra inferior. Keadaan kornea dan limbus normal. Bila diklasifikan menurut 5-5-5 Exacerbation Grading Scale, maka subyek memiliki skor 4. Pada preparat subyek, ditemukan 10 eosinofil, 3 neutrofil dari preparat mata kanan, 245 neutrofil dari mata kiri, 26 limfosit dan 12 monosit. Sepuluh eosinofil yang ditemukan masih tergolong 1+ menurut klasifikasi Kaari dan Haahtela. Eosinofil yang ditemukan membuktikan bahwa subyek benar mengalami alergi. Bila dibandingkan dengan 2 subyek yang sama-sama ringan dan memiliki eosinofil, jumlah eosinofil subyek nomor 3 lebih banyak, namun masih dalam satu kelompok, yakni 1+. Neutrofil yang melimpah di preparat menguatkan bukti bahwa subyek sedang mengalami eksaserbasi akut (Takano et al., 2004). Neutrofil ini diduga juga berasal dari darah tepi dan bermigrasi
45
karena adanya sinyal dari IL-8 (Ghasemi et al., 2011). Jumlah eosinofil dan neutrofil lebih banyak daripada subyek lainnya. Kemungkinan telah terjadi keterlibatan infeksi dalam konjungtivitis alergi dilihat dari jumlah neutrofil yang dominan pada preparat conjunctival scraping (Riordan-Eva dan Whitcher, 2007). Infeksi yang mungkin terjadi disebabkan oleh Candida albicans
(55.2%),
Staphylococcus
epidermidis
(50.9%),
Chlamydia
trachomatis (30.7%) dan Staphylococcus aureus (23%). Keempat penyebab infeksi sekunder ini juga berkorelasi positif dengan jumlah eosinofil yang ditemukan pada pasien konjungtivitis alergi karena patogen tersebut bisa menstimulasi aktivasi eosinofil sehingga dapat memperparah gejala konjungtivitis alergi (Forte et al., 2009). Limfosit yang ditemukan pada preparat diduga berasal dari Conjunctiva-Associated Lymphoid Tissue (CALT) atau Intraepithelial Lymphocytes (IELs) (Williams et al., 2012). Bila neutrofil dan limfosit ditemukan bersamaan, diduga subyek mengalami respon alergi yang persisten (Mantelli et al., 2013). Monosit juga ditemukan dan diduga mensekresi IL-8 untuk menarik neutrofil (Ghasemi et al., 2011). Monosit ini bermigrasi karena adanya aktivitas Monocyte Chemoattractan Protein (MCP) (Leonardi et al., 2008). Neutrofil, limfosit dan monosit yang ditemukan kemungkinan berperan dalam produksi sitokin yang bisa menginduksi reaksi inflamasi pada konjungtivitis alergi (Ghasemi et al., 2011; Choi dan Bielory, 2008; Abu El Asrar, 2006).
46
2.
Kasus subyek nomor 8 Seorang perempuan, usia 41 tahun, datang dengan keluhan mata kanan terasa tidak nyaman seperti perih. Sering merasa seperti ada pasir di mata dan kadang ada rasa terbakar. Gejala muncul apabila sedang bepergian dan terpapar angin kencang. Sebelumnya pernah memeriksakan diri dengan keluhan serupa. Pemeriksaan fisik yang didapat antara lain terdapat papila konjungtiva palpebra superior, lesi folikuler konjungtiva palpebra inferior, hiperemia konjungtiva palpebra, hiperemia konjungtiva bulbar dan epifora. Kornea dan limbus dalam batas normal. Bila diklasifikasikan menurut 5-5-5 Exacerbation Grading Scale, maka subyek memiliki skor 5. Pada preparat subyek nomor 8 tidak ditemukan sel apapun, padahal skor subyek nomor 8 lebih tinggi daripada beberapa subyek lain. Sangat mungkin bahwa kedatangan kali ini merupakan eksaserbasi akut konjungtivitis alergi. Dilihat dari riwayat konjungtivitis alergi sebelumya, kemungkinan subyek nomor 8 pernah mendapatkan medikamentosa terkait konjungtivitis alergi sehingga kemungkinan penyebab tidak ditemukannya sel apapun di preparat adalah respon alergi subyek nomor 8 sudah kurang reaktif. Tanda pemeriksaan fisik seperti papila dan lesi folikuler tersebut kemungkinan sudah menetap dan akan tetap ada walaupun subyek nomor 8 sedang tidak mengalami serangan. Kemungkinan lain adalah pada kedatangan kali ini, sel mast kurang terprovokasi sehingga eosinofil tidak muncul ke permukaan (JedrzejczakCzechowicz et al., 2011; Robles-Contreras et al., 2011; Stone et al., 2010; Hogan et al., 2008) atau subyek sedang dalam fase non-aktif atau terjadi mis-
47
diagnosis (Bonini et al., 1988). Kemungkinan terakhir adalah pada saat scraping, teknik pengambilan kurang baik sehingga sel tidak ada yang terambil. Conjunctival scraping adalah teknik yang paling mudah dilakukan, namun tidak semua derajat ringan bisa ditemukan eosinofil (Abelson et al., 1983). Studi lain menggunakan biopsi konjungtiva akan terlihat jelas susunan selnya, terutama eosinofil (Giavina-Bianchi et al., 2008). Biopsi konjungtiva ini termasuk tindakan invasif sehingga alternatif lain yang bisa digunakan adalah Ocular Surface Impression Cytology (OSIC) menggunakan kertas filter asetat (Williams et al., 2012; Singh et al., 2005). Bila pengambilan sampel menggunakan metode yang lebih baik seperti biopsi konjungtiva atau OSIC, diharapkan dapat memberi hasil yang lebih jelas dan valid mengenai susunan dan jumlah sel di konjungtiva. Secara garis besar, kelemahan penelitian ini antara lain: a.
Seleksi subyek yang kurang ketat terkait serangan pertama dan eksaserbasi serta anamnesis.
b.
Peneliti tidak memberikan daftar pertanyaan anamnesis kepada dokter spesialis mata untuk ditanyakan pada subyek.
c.
Teknik scraping dan pengecatan yang kurang baik.
d.
Tidak dilakukan uji Kappa terlebih dahulu dikarenakan keterbatasan waktu penelitian.
e.
Peneliti tidak bisa mengendalikan kriteria eksklusi berupa peningkatan IgE sistemik seperti infeksi cacing, demam dengan peningkatan eosinofil yang mengarah
ke
insufisiensi
renal,
Omenn’s
syndrome,
sindrom
48
hipereosinofilia dan sindrom hiper-IgE karena keterbatasan alat dan waktu. f.
Misdiagnosis mungkin terjadi.