BAB V KONSTRUKSI IDENTITAS DAN BENTUK PERJUANGAN KOMUNITAS SEDULUR SIKEP DI KABUPATEN PATI
Bab ini menguraikan konstruksi identitas dan bentuk perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Guna mengetahui terbentuknya identitas komunitas Sedulur Sikep, maka diawali dengan memaparkan ciri umum komunitas Sedulur Sikep berdasarkan hasil rangkuman dari literatur yang telah dipublikasikan. Dari ciri-ciri umum tersebut, selanjutnya dikonfirmasikan dengan informan, baik informan dari komunitas Sedulur Sikep maupun
non-Sedulur
Sikep
untuk
memberikan
tanggapannya
dan
menginterpretasikan tanggapan dari para informan tersebut sehingga diperoleh gambaran yang utuh bagaimana konstruksi identitas komunitas Sedulur Sikep saat ini terbentuk. Apakah identitas komunitas Sedulur Sikep yang ada sekarang merupakan hasil konstruksi dari dalam komunitas Sedulur Sikep ataukah hasil dari konstruksi yang dilakukan oleh komunitas non-Sedulur Sikep. Setelah konstruksi identitas komunitas Sedulur Sikep terbentuk, selanjutnya dibahas bagaimana praktik keseharian komunitas Sedulur Sikep sebagai subaltern di dalam memperjuangkan identitasnya.
5.1 Konstruksi Identitas Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Komunitas Sedulur Sikep dalam konteks etnisitas termasuk subetnis Jawa sehingga secara makro kebudayaan mereka paralel dengan kebudayaan Jawa, yang bersifat agraris tradisional. Secara fisik, Sedulur Sikep tidak berbeda 114
115
dari orang Jawa pada umumnya, baik warna kulit, wajah, rambut, tinggi badan, maupun ciri-ciri fisik lainnya. Mereka memegang teguh adat istiadat yang dimilikinya. Pada umumnya, penyampaian nilai-nilai kehidupan dilakukan dengan cara lisan. Hal ini terjadi karena komunitas Sedulur Sikep, umumnya tidak bisa membaca dan menulis. Dengan demikian, berbagai bentuk adat istiadat dilestarikan secara turun-temurun melalui tradisi lisan. Umumnya, sumber tertulis memublikasikan kondisi komunitas Sedulur Sikep bahwa mereka memiliki pola hidup yang terbelakang (sederhana), lugu atau polos, dan jujur, serta mengikuti prinsip tatanan Sikep. Hal tersebut telah membentuk pencitraan terhadap komunitas Sedulur Sikep dilekatkan sangat kuat karena telah diformulasikan sedemikian rupa selama bertahun-tahun sehingga muncul ciri-ciri umum yang disepakati dan menjadi khas identitas komunitas Sedulur Sikep sebagai berikut. Pertama, mempertahankan prinsip ajaran Sikep. Kebiasaan komunitas Sedulur Sikep memegang teguh tatanan Sikep sudah diketahui masyarakat di Kabupaten Pati, bahkan masyarakat dari luar Kabupaten Pati akan mendengar bahwa komunitas Sedulur Sikep mempunyai tata cara yang berbeda dari masyarakat pada umumnya dan sangat teguh pada aturan komunitasnya. Salah satu ajaran yang dikenal masyarakat umum adalah kejujuran dan keluguannya. Komunitas Sedulur Sikep sangat jujur dalam perilakunya sehingga di kawasan komunitas Sedulur Sikep tidak pernah terjadi kasus pencurian ataupun penipuan. Kedua, berpakaian warna hitam (atasan dan bawahan yang berwarna hitam). Warna pakaian yang sering dikenakan oleh komunitas Sedulur Sikep pada umumnya berwarna hitam. Kebiasaan pemilihan warna hitam dalam berpakaian
116
pada komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah telah diketahui secara umum oleh komunitas non-Sedulur Sikep, baik di Kabupaten Pati maupun di luar Kabupaten Pati, sebagaimana gambar 5.1 berikut ini.
Gambar 5.1 Komunitas Sedulur Sikep dengan Pakaian Berwarna Hitam Tahun 2006 (Foto Repro: Eko, 2012) Pada gambar 5.1 tampak salah satu identitas komunitas Sedulur Sikep, yaitu berpakaian warna hitam. Model pakaian dan pemilihan warna hitam merupakan salah satu identitas komunitas Sedulur Sikep dan telah diketahui oleh masyarakat luas (komunitas non-Sedulur Sikep). Hal ini sejalan dengan pendapat Tajfel (http//:idhamputra.wordpress. com, 2 Maret 2012) bahwa kategorisasi diri terjadi ketika seseorang berpikir tentang dirinya dan komunitasnya. Kategorisasi diri tersebut, melibatkan di dalamnya perbandingan antara komunitas Sedulur
117
Sikep (in-group) dan komunitas non-Sedulur Sikep (out-group). Ketika identitas komunitas Sedulur Sikep ditampilkan berupa pakaian khas berwarna hitam, maka menjadi pembeda dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Ketiga, keberagamaan komunitas Sedulur Sikep. Terkait dengan sumber tertulis yang telah dipublikasikan tentang agama yang dianut komunitas Sedulur Sikep, saat ini terdapat dua pendapat. Pendapat yang pertama menyebutkan bahwa komunitas Sedulur Sikep beragama Adam, sedangkan pendapat yang kedua menyebutkan bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak beragama. Pendapat bahwa komunitas Sedulur Sikep beragama Adam, antara lain termuat di dalam tulisan Hari J. Benda (Sastroadmodjo, 2003: 48 - 49) yang menyatakan bahwa komunitas Sedulur Sikep sering menyebut dirinya ”umating agama Adam kamiwitan” (umatnya agama Adam pertama), yang meyakini tujuan hidup, yakni kesempurnaan umat manusia, sedangkan manusia hidup di tengahtengah ”urip” (kehidupan), sementara kehidupan ini abadi dan manusia diikat oleh cakra panggilingan atau jalan karmanya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, untuk menebus dosanya selama di dunia, manusia harus mengalami reinkarnasi atau penitisan beberapa kali. Pada sudut pandang yang sama, Hutomo (1985: 15) menilai bahwa komunitas Sedulur Sikep pada dasarnya merupakan perintis ajaran yang theis (mengakui Tuhan). Hal itu terlihat dari istilah-istilah Allah, Gusti, Pangeran pada sejumlah kitab atau buku Serat Uri-Uri Pambudi yang ditinggalkan leluhur Sedulur Sikep. Pendapat Benda dan Hutomo tersebut semakin menguatkan istilah agama Adam di kalangan peneliti, yaitu agama yang dianut
118
oleh komunitas Sedulur Sikep, seperti di beberapa tulisan, antara lain Rosyid (2008: 190 - 200), Winarno (Purwasito, 2003: 55), dan Sudikan (2008: 102). Adapun pendapat kedua, menyebutkan bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak beragama, antara lain Soepanto Djaffar (1962: 39) yang menilai bahwa istilah agama Adam bagi komunitas Sedulur Sikep tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Saminisme (ajaran Sedulur Sikep) bukan suatu agama. Akan tetapi, Sedulur Sikep tidak mengingkari agama karena semua agama itu bertujuan baik. Adapun menurut Oman Sukmana (2003: 79 - 80), kata agama bagi komunitas Sedulur Sikep tidak diartikan sebagai suatu keyakinan atau kepercayaan yang diyakini dan dipedomani untuk mendapatkan kebahagiaan hidup secara lahir batin, dunia dan akhirat, tetapi diartikan dan ditinjau dari segi arti bahasa menurut pengertian mereka sendiri. Kata agama menurutnya berasal dari kata agem (agem-ageman) yang artinya alat kelamin laki-laki. Banyak istilah keagamaan (khususnya agama Islam) diartikan dengan arti yang menjurus pada hal-hal atau perbuatan seksual. Misalnya, kata mesjid, diartikan sebagai alat kelamin perempuan, sedangkan menurut pengertian agama Islam mesjid adalah tempat untuk bersembahyang atau melakukan ibadah/sholat. Kata sembahyang oleh komunitas Sedulur Sikep diartikan sebagai tindakan mengumpuli istri, sedangkan pengertian agama Islam, kata sembahyang merupakan salah satu bentuk ibadah/pengabdian kepada Tuhan Yang Mahaesa yang terdiri atas beberapa perkataan dan perbuatan dengan niat tertentu. Kata kiyamat di dalam ajaran Islam yang berarti berakhirnya kehidupan di dunia dan berganti dengan kehidupan lain, oleh komunitas Sedulur Sikep diartikan sebagai ”nikmat”, yaitu
119
puncak kenikmatan yang didapatkan sewaktu mengadakan hubungan suami istri (coitus). Peneliti lain yang sependapat dengan Djaffar dan Sukmana adalah King (1973) mengatakan bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak percaya pada Allah dan bentuk-bentuk ketuhanan lainnya. Penilaian ini tampaknya didasarkan juga pada adanya beragam istilah yang terkesan anti agama di dalam buku-buku yang menjadi rujukan utama anggota komunitas Sedulur Sikep. Misalnya, Serat Jamus Kalimasada, Serat Dharma Gandul, dan We Joga Dhi yang memuat banyak pandangan komunitas Sedulur Sikep yang kritis terhadap Islam. Keempat, komunitas Sedulur Sikep tidak mau menerima modernisasi. Kebiasaan ini menyebabkan komunitas Sedulur Sikep menggunakan peralatan tradisional. Peralatan modern yang identik dengan modernisasi selalu dihindari karena prinsip kesederhanaan mereka. Kelima, komunitas Sedulur Sikep menggunakan bahasa Sangkak. Bahasa Sangkak adalah bahasa Jawa Ngoko, tetapi ada unsur menyangkal yang kadang sulit diterima oleh komunitas non-Sedulur Sikep (suku Jawa). Keenam, komunitas Sedulur Sikep bermata pencaharian sebagai petani dan selaras dengan alam karena pekerjaan petani dianggap sebagai pekerjaan yang jujur. Oleh karena itu, mereka melarang komunitas Sedulur Sikep berdagang. Pekerjaan yang bertumpu pada pertanian tradisional tersebut mengakibatkan komunitas Sedulur Sikep di dalam kehidupannya sangat bergantung pada potensi sumber daya alam yang dimiliki. Oleh karena itu, mereka sangat serius menjaga kelestarian lingkungan alam.
120
Ketujuh, komunitas Sedulur Sikep tidak mau menyekolahkan anaknya sehingga sulit untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Ketidakinginan komunitas Sedulur Sikep menyekolahkan anaknya karena dengan bersekolah akan menciptakan keinginan anak-anak untuk bekerja di bidang formal dan ada peluang untuk meninggalkan lingkungannya untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Padahal, selama ini pekerjaan mereka adalah petani yang bisa dipelajari tanpa harus bersekolah. Kedelapan, komunitas Sedulur Sikep menikah sesama anggota komunitasnya. Oleh karena itu, pernikahan komunitas Sedulur Sikep tidak dicatatkan di dalam lembaga perkawinan (Kantor Urusan Agama ataupun Catatan Sipil). Hal ini kemudian menimbulkan kesan bahwa komunitas Sedulur Sikep melakukan praktik “kumpul kebo”. Dari ciri-ciri umum yang dipublikasikan oleh sumber tertulis, tampaknya telah terbentuk pencitraan terhadap komunitas Sedulur Sikep yang dilekatkan sangat kuat karena telah diformulasikan sedemikian rupa selama bertahun-tahun. Stereotipe negatif selalu mengikuti pendapat umum tentang komunitas Sedulur Sikep. Pada umumnya komunitas Sedulur Sikep dinilai sebagai masyarakat yang terbelakang, bodoh, sulit menerima modernisasi, serta tidak memiliki agama dan penyuka kehidupan ”kumpul kebo”. Ada sisi positif yang dimiliki oleh komunitas Sedulur Sikep dan diketahui masyarakat umum, yaitu kejujuran dan perilaku yang selalu selaras dengan alam lingkungannya.
121
5.1.1 Konstruksi Identitas Menurut Komunitas Sedulur Sikep Berdasarkan
ciri-ciri
umum
komunitas
Sedulur
Sikep,
maka
selanjutnya dikonfirmasikan ciri-ciri umum tersebut kepada sejumlah informan Sedulur Sikep. Para informan, umumnya mengakui adanya stereotipe negatif yang diberikan oleh masyarakat di luar komunitas Sedulur Sikep. Mereka juga telah mengetahui kalau dianggap berbeda dengan masyarakat sekitarnya karena tata cara yang tidak sama dengan lingkungan sekitarnya. Berkaitan dengan masalah ini, beberapa informan mengakui bahwa pandangan komunitas non-Sedulur Sikep ada benarnya, seperti mempertahankan prinsip tatanan Sikep, berpakaian warna hitam, bermata pencaharian sebagai petani sehingga selaras dengan alam. Akan tetapi, umumnya para informan komunitas Sedulur Sikep tidak sepakat dengan pandangan dari komunitas non-Sedulur Sikep yang mengatakan mereka menolak modernisasi, tidak mau bersekolah, tidak beragama, dan tidak menikah. Mereka berasumsi bahwa pandangan negatif yang dilekatkan pada komunitas Sedulur Sikep karena ketidakpahaman komunitas non-Sedulur Sikep memahami tatanan Sikep dan belum mengenal secara utuh komunitas Sedulur Sikep. Pada sisi lain, para informan Sedulur Sikep juga mengakui bahwa saat ini ada beberapa hal yang berkaitan dengan pendapat umum itu sudah menghilang akibat perubahan zaman, misalnya mereka menolak modernisasi. Hal ini menjadi menarik karena di satu sisi ada sejumlah pola pencirian dan melekat sejak dahulu terhadap komunitas Sedulur Sikep yang menjadi label identitas Sedulur Sikep. Sebaliknya, di sisi lain komunitas Sedulur Sikep mengakui ada ciri yang mulai hilang akibat perkembangan zaman. Berdasarkan hasil rekonstruksi identitas
122
komunitas Sedulur Sikep melalui sebuah pertanyaan, siapa Sedulur Sikep itu? Dari jawaban para informan Sedulur Sikep, dapat disimpulkan ciri umum identitas menurut komunitas Sedulur Sikep, sebagai berikut.
5.1.1.1 Mempertahankan Prinsip Dasar Ajaran Sikep Informan kunci memberikan gambaran bahwa sebagai bagian dari komunitas Sedulur Sikep, maka setiap orang harus menjalankan ajaran Sikep. Ajaran ini sudah diterima secara lisan dan turun temurun, sejak zaman Ki Samin Surosentiko. Prinsip ajaran Sikep berupa 20 Angger-Angger Pratikel (20 pantangan berprilaku), yaitu (1) drengki (dengki), (2) srei/kemiren (iri hati), (3) panasten (gampang marah, mudah tersinggung atau membenci sesama), (4) colong (mencuri), (5) pethil (kikir), (6) jumput (ambil sedikit), (7) nemu (menemukan), (8) dagang (berdagang), (9) kulak (kulakan), (10) blantik (calo), (11) mbakul (berjualan), (12) nganakno duit (rentenir), (13) mbujuk (berbohong), (14) apus (bersiasat), (15) akal (trik), (16) krenah (nasihat buruk), (17) ngampungi pernah (tidak membalas budi), (18) dawen (mendakwa tanpa bukti), (19) nyiyo-nyiyo marang sepodo (berbuat nista sesama penghuni alam), (20) bedog (menuduh) (wawancara dengan Gunretno, 18 Juli 2012). Ajaran Sikep tersebut telah menjadi keyakinan hidup berupa dasar ajaran (perintah) di dalam berbagai bentuk, antara lain sebagai berikut. (1) Prinsip dasar beretika. Prinsip dasar beretika berupa pantangan untuk tidak drengki (dengki), srei/kemiren (iri hati), panasten (gampang marah, mudah tersinggung, atau membenci sesama), dawen (mendakwa tanpa bukti), nyiyo-nyiyo marang sapodo (berbuat nista sesama penghuni alam), dan bejok reyot iku dulure, waton
123
menungso tur gelem di ndaku sedulur (menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, cacat seperti apa pun, asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara), dan berujar norak (saru, tidak sopan, dan sebagainya). Ajaran tersebut pada dasarnya merupakan ajaran agama universal, dan melaksanakan ajaran tersebut sangat ditentukan oleh diri, bukan karena simbol menjadi pengikut agama atau kelompok tertentu. (2) Prinsip dasar dalam berinteraksi. Prinsip dasar di dalam berinteraksi pada komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati berupa pantangan, meliputi bedok (menuduh), colong (mencuri) , pethil (mengambil barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat dengan sumber kehidupannya, misalnya buah-buahan dan sayuran di ladang), jumput (mengambil barang yang telah menjadi komoditas di pasar, misalnya beras, hewan piaraan, dan kebutuhan hidup lainnya), nemu wae ora keno (menemukan barang saja tidak diperbolehkan untuk diambil). (3) Prinsip dasar berkarakter. Ajaran dasar di dalam berkarakter pada komunitas Sedulur Sikep,
meliputi kudu weruh teke dewe (harus tahu
miliknya sendiri); lugu (bila mengadakan perjanjian, transaksi, ataupun kesediaan dengan pihak lain jika sanggup mengatakan ”ya”, jika tidak sanggup mengatakan ”tidak”. Apabila ragu mengatakan ya atau tidak, mereka berujar cubi mangkeh kinten-kinten pripun, kulo dereng saget janji (coba nantinya kira-kira bagaimana, saya belum bisa berjanji), kecuali jika saat menepati janji menghadapi kendala yang tidak diduga, seperti sakit; mligi (taat aturan prinsip Sedulur Sikep, dipegang erat sebagai bukti keseriusan dan ketaatan melaksanakan ajaran Sikep); Rukun (rukun, baik dengan anak, istri, orang tua, tetangga, maupun dengan siapa saja); larangan beristri lebih dari satu (Rosyid, 2009: 75-76).
124
5.1.1.2 Berpakaian Berwarna Hitam atau Gelap Pakaian yang dikenakan oleh komunitas Sedulur Sikep adalah pakaian orang Jawa di pedesaan pada umumnya. Pakaian yang menjadi kesukaan laki-laki berupa celana kolor congkrang (sebatas bawah lutut) berwarna hitam, memakai udheng atau iket, yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala (udheng dikirotobahasakan menjadi mudeng atau tahu prinsip yang dilakukan), memakai baju hitam lengan panjang tanpa krah, sedangkan untuk perempuan berupa kebaya dan jarit berwarna hitam. Ketika memakai jarit, perempuan Sedulur Sikep memakainya agak kedodoran dan lebih congkrang (sebatas bawah lutut), sebagaimana celana yang dikenakan oleh laki-laki Sedulur Sikep. Pilihan model pakaian ini karena pekerjaan mereka adalah petani sehingga model pakaiannya juga disesuaikan dengan kondisi ketika mereka harus bekerja di sawah, sebagaimana tampak pada gambar 5.2 di bawah ini.
Gambar 5.2 Perempuan Sedulur Sikep Berpakaian Warna Hitam (Gelap) (Dokumen: Eko, 2012)
125
Pada gambar 5.2 adalah pakaian khas perempuan Sedulur Sikep. Pakaian tersebut, pada masa lalu digunakan pada semua situasi dan tempat. Namun, saat ini pakaian khas yang dikenakan komunitas Sedulur Sikep sebagai identitas dirinya tersebut hanya digunakan ketika komunitas Sedulur Sikep sedang melakukan hajatan, seperti upacara adat. Adapun untuk kegiatan di luar acara resmi, mereka umumnya menggunakan semua model pakaian asalkan berwarna hitam atau gelap. Pakaian tersebut menjadi bagian penting dan ciri ketika sedang berinteraksi sosial dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Di dalam kaitan ini, Tajfel (http//:idhamputra.wordpress. com, 2 Maret 2012) menyatakan bahwa fungsi identitas adalah (1) untuk menyederhanakan hubungan eksternal; (2) adanya kebutuhan manusia untuk memiliki rasa harga diri yang ditransfer ke dalam kelompok sendiri; dan (3) menata lingkungan dengan perbandingan sosial antarkelompok. Warna pakaian yang disukai oleh komunitas Sedulur Sikep adalah warna hitam yang mengandung arti kejujuran, abadi, tidak mudah luntur, serta simbol kesederhanaan. Komunitas Sedulur Sikep menyadari bahwa hidup ini ibarat mampir ngombe (menumpang minum), yang dimaknai hanya sesaat. Oleh karena itu, menjadi kewajiban setiap orang untuk berbuat baik agar ketika salin sandang (berganti pakaian dan kemudian masuknya roh ke jasad hidup yang lain) dapat lebih baik.
126
5.1.1.3 Beragama Adam Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah membangun identitas keagamaan dengan memublikasikan istilah agama Adam. Komunitas Sedulur Sikep tidak menyebutnya sebagai suatu aliran kepercayaan, tetapi sebuah agama. Hal itu tampak ketika mereka ditanya tentang keberagamaan Sedulur Sikep di Kabupaten Pati, apakah benar mereka menyebut dirinya umating agama Adam Kawitan? Mereka semua membenarkan pernyataan tersebut. Begitu pula, ketika ditanya apakah itu berarti agama mereka adalah agama Adam sebagaimana pendapat yang ada di literatur atau sebagian pandangan masyarakat umum? Mereka semua mengakui bahwa agamanya adalah agama Adam. Istilah agama Adam, tidak dapat dimaknai secara harfiah bahwa komunitas Sedulur Sikep menganut agama yang mengakui ”Adam” (manusia atau utusan Tuhan pertama dalam tradisi agama monoteistik) sebagai manusia pertama di bumi. Hal ini terjadi karena apa yang dipahami komunitas Sedulur Sikep tentang istilah agama Adam, tampak berbeda. Penjelasan yang sama sekali berbeda tampak dari pemaknaan komunitas Sedulur Sikep tentang istilah agama Adam. Di sini, sangat jelas terlihat tentang berlakunya pemaknaan bahasa secara majemuk pada istilah-istilah keagamaan sehingga membedakan secara telak cara berpikir komunitas ini dengan konstruk pengetahuan masyarakat pada umumnya. Pemaknaan komunitas Sedulur Sikep pada istilah agama Adam dilakukan dengan menjelaskan arti kata per kata. Penjelasan tentang makna Adam ini cukup menunjukkan kekayaan makna dalam dunia bahasa komunitas Sedulur Sikep.
127
Agama bagi komunitas Sedulur Sikep diibaratkan sebuah baju (ageman). Tidak ada hubungannya dengan Nabi Adam di dalam agama Islam. Agama sebagai baju akan berfungsi menutup tubuh agar baik dalam menjalani kehidupan di dunia. Adam yang dimaksud adalah suara sehingga untuk bersuara membutuhkan hawa (udara). Sebagaimana penuturan Gunretno (botoh Sedulur Sikep), berikut ini. ”Agama niku gaman, Adam pangucape, man gaman lanang. Adam, damelane rabi. Yen bengi tatanane wong, yen rino toto nggauto” (Agama adalah gaman, yang berarti pola pikir. Adam berarti suara. Gaman tidak boleh dikaji oleh orang lain karena akan semakin tumpul)” (wawancara, 12 Agustus 2012). Pendapat informan tersebut menunjukkan bahwa maksud dari agama niku gaman adalah agama itu senjata, yaitu merujuk pada senjata politik untuk melawan atau menghindari intervensi kekuatan di luar komunitas Sedulur Sikep, terutama sekali di dalam pengalaman sejarah komunitas ini adalah campur tangan pemerintah. Adapun Adam pangucape, mengandung arti bahwa adam adalah sebutan untuk mengucapkannya. Maksudnya, Adam adalah istilah yang biasa untuk menyatakan agama (senjata/kelamin) itu karena adam sendiri adalah ucapannya. Di dalam kaitannya dengan wilayah seksualitas, sebelum melakukan hubungan seksual, seseorang wajib menyampaikan maksudnya (jawab), yaitu pada upacara perkawinan (seksenan). Di dalam kaitannya dengan wilayah sosial, komunitas Sedulur Sikep memahami bahwa semua hal yang berkaitan dengan manusia dan sandang pangan selalu membutuhkan ”Adam” atau bahasa. Jadi, simpulannya pengertian Adam ialah pengucap atau bahasa kalangan Sedulur
128
Sikep. Jika digabungkan, agama Adam bermakna bahwa senjata komunitas Sedulur Sikep adalah bahasa. Selanjutnya, istilah man gaman lanang, berarti senjata (kelamin) lakilaki. Maksudnya, istilah agama juga merujuk pada makna seksual, sehingga agama diartikan pula sebagai senjata (alat kelamin) laki-laki (penis). Adapun istilah Adam, damelane rabi, artinya Adam (kelamin laki-laki dan bahasa) pekerjaannya menikah. Adam itu berguna untuk wong (manusia) dalam menjalani tata kehidupan, terutama dalam hubungan suami istri dan aktivitas produksi (pertanian). Jadi, maksudnya pekerjaan komunitas Sedulur Sikep adalah menikah dan beranak. Selanjutnya, penjelasan kalimat yen bengi tatanane wong, yen rino toto nggauto, artinya kalau malam melaksanakan tata cara mencari nafkah dengan cara bertani. Jadi, agama Adam bisa dimaknai pula bahwa di dalam hidup ini aktivitas pokok komunitas Sedulur Sikep adalah berhubungan suami istri (menikah) dan bekerja (bertani) ( Idhom, 2009: 94 -- 96). Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa agama Adam tidak setenar nama-nama agama yang tersebar di dunia dan sering kita dengar, antara lain Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Konghuchu, Shinto, Zoroaster, Konfusius, dan sebagainya. Jika dimasukkan ke kategorisasi agama, maka agama Adam dikategorikan sebagai agama kebudayaan, sebagaimana pendapat Ali (2007: 34) bahwa agama kebudayaan (cultural religion, agama tabi’i, agama ardli) hadirnya bukan berasal dari Tuhan, tetapi hasil dari proses antropologis dan terbentuk dari adat istiadat yang melembaga membentuk agama formal. Agama sebagai sistem budaya yang bersifat kognitif meliputi unsur pokok yang di dalamnya terdapat
129
pengetahuan (knowledge), kepercayaan (belief), nilai (values), norma, pengawasan (control) terhadap sistem nilai yang bersifat kondusif. Melalui ajarannya, agama memberikan sumbangan pengetahuan yang berharga bagi manusia yang tidak ditemukan oleh akal. Terkait dengan tata cara beribadah yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep, Rosyid (2008: 200) menjelaskan bahwa ibadah yang dilakukan dengan berdoa kepada Tuhan, penguasa tunggal (Yai) dengan mengucap ”becik apik sak rinane, sak wengine (sukses pada waktu siang dan pada malam hari), ”bumi aji aku zaman” (menempati bumi dan berteduh zaman), yang dilaksanakan di rumah dan setiap saat membutuhkan, dengan praktik mengheningkan hati dan menundukkan kepala tanpa menengadahkan kedua tangan. Adapun ketika Sedulur Sikep mengeluh dan mengadu kepada kekuatan lain dengan cara mengingat pada kondisi keluarganya tentang kesehatan dan ketenteramannya,
mereka akan
mengatakan ”sedulurku mugo-mugo tansah seger kewarasan” (semoga saudaraku dalam kondisi sehat sentosa selalu). Ketika ditanya bagaimana komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati menjalankan ritual ibadahnya? Informan Sedulur Sikep menjawab sebagai berikut. ”Agama itu tidak ada tata cara khusus seperti agama Islam. Jadi kembali kepada keyakinan kita. Sedulur Sikep cukup membuktikan dengan tingkah laku yang benar, aja srei, drengki, jawen, panasten, kemiren, bedhok, colong jumput aja dilakoni. Di dalam hubungan suami istri pun, sebenarnya sudah menjalankan ritual ibadah (sembahyang) karena sembahyang itu kan dimulai dengan sem (mesem, artinya senyum), dan dilanjutkan dengan bahyang (dari kiratabasa nggrayang, yang artinya meraba-raba bagian tubuh istri, hingga terjadi hubungan suami istri) (wawancara dengan Gunarti, 10 September 2012).”
130
Pendapat informan di atas menunjukkan bahwa komunitas Sedulur Sikep meyakini bahwa semua kegiatan yang dilakukan adalah ibadah, termasuk dalam hal hubungan suami istri. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati yang masih memegang kuat identitasnya menganggap bahwa agama dalam arti kepercayaan dan keyakinan semuanya bertujuan untuk kebaikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Adam termasuk agama yang inklusif, sebagaimana pendapat Roland Robertson (Sanderson, 2003: 518) menyebut bahwa agama yang inklusif adalah agama dalam arti yang seluas mungkin, yang memandangnya sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan ”kesucian” atau yang diorientasikan kepada ”penderitaan manusia yang abadi”. Agama dilihat bukan saja sistem-sistem yang teistik, yang diorganisasi sekitar konsep tentang kekuatan supernatural, tetapi juga berbagai sistem kepercayaan, seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme. Mereka tidak mempunyai kitab agama sebagaimana agama-agama resmi di Indonesia karena bagi komunitas Sedulur Sikep, kitab itu ada dalam diri mereka dan menjadi bagian dari kehidupan yang mereka jalani sehari-hari. Keberpahaman agama Adam dipahami secara turun temurun lewat tradisi lisan. Walaupun terdapat sejumlah kitab atau buku, seperti Serat Uri-Uri Pambudi yang ditinggalkan Ki Samin Surosentiko. Pada Serat Uri-Uri Pambudi, di dalamnya tergambar kepercayaan yang sangat kuat dari Ki Samin Surosentiko beserta para pengikutnya terhadap keberadaan Tuhan yang sering disebut Gusti, Pangeran, Allah, atau Gusti Allah, yang berbunyi sebagai berikut.
131
“Menggah dudunungan bilih Gusti Allah punika wonten, wiwijangipun wonten sekawan. Watesi jagad ing sisih ler, kidul, wetan, tuwin kilen. Puniko ingkang nekseni (inggih wontenipun jagad isinipun punika sadaya ingkang minangka seksi, bilih Gusti wonten)…” (Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia di sebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada…) (http://www.arupa.or.id, 2 Desember 2012). Di dalam kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Samin Surosentiko mengakui adanya Tuhan. Secara mistik (kebatinan), batas-batasnya adalah utara, selatan, timur, dan barat. Isi alam semesta yang tercermin ke empat sudut arah tersebut (utara, selatan, timur, dan barat) adalah bukti bahwa Tuhan itu ada. Isi alam semesta adalah ciptaan Tuhan dan Tuhan itu ada di dalam diri sendiri pada setiap Sedulur Sikep. Tampaknya
ajaran
Ki
Samin
terkait
dengan
agama
Adam
menunjukkan adanya sikap religius komunitas Sedulur Sikep untuk meredam semangat politik radikal melawan kekuatan kolonial Belanda. Istilah man gaman lanang di dalam agama Adam merujuk pada senjata adalah bentuk perlawanan komunitas Sedulur Sikep terhadap kolonialisme. Sebagaimana pandangan Gary Marx (Sanderson, 2003:531) yang menyebukan bahwa agama dapat berfungsi sebagai ”obat bius”, di mana keterlibatan religius dapat meredam semangat untuk politik yang radikal. Keyakinan-keyakinan ajaran agama Adam menurut komunitas Sedulur Sikep masih dipertahankan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Adapun untuk daerah Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur, saat ini sudah mulai luntur. Hanya generasi tua yang masih mempertahankan ajaran tersebut. Adapun generasi mudanya telah memeluk
132
agama negara, seperti Islam, Hindu, dan Budha. Di Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora hanya tinggal legenda, seperti Engkrek dan Ki Samin Surosentiko (Susilo, 2003: 52 -- 53). Di daerah lain, seperti di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur, tidak lagi dijumpai komunitas Sedulur Sikep.
5.1.1.4 Menolak Modernisasi Posisi Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati terletak di tepi jalan utama Kabupaten Pati menuju ke Kabupaten Purwodadi menyebabkan terjadinya pengaruh modernisasi di wilayah tersebut. Hal ini juga berdampak pada keberadaan komunitas Sedulur Sikep. Prinsip kesederhanaan dengan tidak mau menggunakan alat-alat modern, saat ini mulai ditinggalkan. Tahap demi tahap kemajuan teknologi harus dilewati oleh komunitas Sedulur Sikep. Namun, mereka tetap berusaha untuk memanfaatkan kemajuan teknologi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Ketika ditanya mengapa kebiasaan komunitas Sedulur Sikep menggunakan peralatan tradisional sebagai prinsip kesederhanaan mulai ditinggalkan? Umumnya mereka menjawab bahwa mereka tidak ingin dianggap bodoh, lagi pula alat modern hanya digunakan yang penting-penting sesuai dengan kebutuhannya, seperti penuturan informan berikut ini.
133
”.....sekarang jadi membuka mata tetangga supaya tidak dianggap orang bodoh karena saya telah bisa menggunakan hp (handphone). Awalnya saya tidak ingin menggunakannya, karena untuk komunikasi sehari-hari dengan komunitas Sedulur Sikep, hp tidak kami perlukan. Akan tetapi, karena kami ikut pergerakan menolak rencana pembangunan pabrik Semen Gresik di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, teman-teman pergerakan non-Sedulur Sikep memaksa saya menggunakan hp untuk memudahkan berkomunikasi dan berkoordinasi dengan mereka. Karena itu, saya tahu cara memakai hp, ya...dari teman-teman non-Sedulur Sikep. Komunitas Sedulur Sikep tetap memegang prinsip kesederhanaan, karena itu kalau memakai alatalat modern, ya seperlunya saja sesuai kebutuhan. Kalau tidak perlu, buat apa memakai hp, karena komunikasi dengan warga Sedulur Sikep tiap hari bisa dilakukan dengan tatap muka” (wawancara dengan Gunretno, 12 Agustus 2012). Dari informasi tersebut tampak bahwa komunitas Sedulur Sikep tetap mempertahankan pola hidup sederhana. Penggunaan alat modern memang tidak bisa dihindari sebagai akibat pengaruh globalisasi. Masuknya alat-alat modern pada era globalisasi ini telah menyebabkan peperangan nilai antara budaya tradisional komunitas Sedulur Sikep dan budaya global. Sebagaimana pendapat Sudiarja (2006: 23) yang menyebutkan bahwa globalisasi dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya budaya yang seragam, yang secara halus menetapkan standar nilai-nilai baru. Peperangan budaya atau perebutan makna yang terjadi pada komunitas Sedulur Sikep, dewasa ini menjadi tantangan berat di dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi Sedulur Sikep. Pandangan Sudiarja tersebut didukung oleh Abdilah (2002: 117) yang menyatakan bahwa budaya global menjadi
proyek
hegemoni
baru
terhadap
identitas-identitas
yang
ada,
memarginalisasi, bahkan melibasnya sama sekali. Hal ini tampak dari penggunaan handphone yang dulunya dianggap tabu oleh komunitas Sedulur Sikep, saat ini
134
sedikit demi sedikit dapat diterima oleh komunitas Sedulur Sikep, sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar 5.3 berikut ini.
Gambar 5.3 Pemimpin Sedulur Sikep sedang Menggunakan Handphone (Dokumen Eko, 2012)
Pada gambar 5.3 tampak bahwa penggunaan alat-alat modern, seperti handphone oleh komunitas Sedulur Sikep sudah menjadi sesuatu yang wajar. Komunitas Sedulur Sikep tidak sadar adanya rongrongan yang mungkin menjadi masalah yang sangat kompleks sehingga tidak saja menjadi penjajahan budaya, tetapi kapitalis dan konsumerisme masyarakat juga telah terjadi tanpa disadari, seperti pendapat Khamenei (2005: 5 -- 6) berikut ini. ”berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik perhatian. Perang kebudayaan melucuti keyakinan dirinya dengan berbagai cara. Efek perang budaya dapat berlanjut dari generasi ke generasi, dan umumnya berlangsung tanpa sadar, bahkan menyenangkan korbannya”.
135
5.1.1.5 Berbahasa Jawa Sangkak Bahasa
merupakan
simbol
yang
digunakan
manusia
untuk
berkomunikasi. Adanya bahasa menyebabkan interaksi antarmanusia berjalan lancar. Di Kabupaten Pati, masyarakat pada umumnya menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi antarwarga masyarakat. Khusus bahasa Jawa, terdapat tingkatan-tingkatan bahasa yang penggunaannya disesuaikan dengan konteks dan posisi atau derajat antara komunikator dan komunikan. Menurut Susilo (2003: 50), ada beberapa tingkatan di dalam bahasa Jawa terdiri atas (1) basa kedaton, yaitu bahasa yang digunakan untuk kalangan bangsawan di lingkungan keraton; (2) krama inggil, yaitu bahasa yang digunakan oleh orang yang derajatnya lebih rendah kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi; (3) mudha krama, yaitu bahasa yang dipakai golongan priyayi (golongan terhormat) di mana di antara mereka yang setara derajadnya, tetapi mereka belum akrab; (4) krama andhap, yaitu bahasa yang digunakan priyayi kepada orang yang derajatnya lebih rendah, tetapi orang tersebut masih memiliki martabat yang cukup tinggi; (5) ngoko andhap, yaitu bahasa yang digunakan oleh para priyayi yang mempunyai derajat yang sama; dan (6) ngoko, yaitu bahasa yang digunakan oleh mereka yang mempunyai kesamaan derajat di lingkungan pedesaan. Adapun Sudikan (2008: 103 -- 104) menyederhanakan bahasa Jawa menjadi tiga tingkatan, yaitu (1) bahasa Jawa Krama; (2) bahasa Jawa Madya; dan (3) bahasa Jawa Ngoko.
136
Komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati menggunakan bahasa Jawa Ngoko sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di antara mereka. Apabila berkomunikasi dengan orang non-Sedulur Sikep yang baru dikenal, mereka menggunakan bahasa Jawa Krama Andhap. Namun, ketika seseorang non Sedulur Sikep sudah cukup akrab dengan mereka dan menyebut seseorang sebagai sedulur (saudara), maka bahasa yang digunakan untuk komunikasi adalah bahasa Jawa Ngoko. Komunitas Sedulur Sikep tidak mau mempelajari dan menggunakan bahasa selain bahasa Jawa. Menurut pemikiran mereka, orang Jawa itu harus menggunakan bahasa Jawa. Oleh karena itu, tidak sepantasnya orang Jawa berbahasa asing. Hal tersebut, tidak dapat dilepaskan dari pola ajaran Ki Samin Surosentiko yang menyatakan bahwa semua manusia yang hidup mempunyai kedudukan dan tingkatan yang sama. Di dalam pergaulan sehari-hari dengan siapa saja, mereka adalah sedulur (saudara), walaupun terhadap para priyayi (bangsawan) sekalipun. Orang atasan (pejabat), petani, orang kaya, orang miskin, semua adalah sedulur. Komunitas Sedulur Sikep tidak mengenal huruf karena mereka hanya menyampaikan segala sesuatunya dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui tradisi lisan. Di dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa Ngoko, komunitas Sedulur Sikep mempunyai style tersendiri. Pilihan kata di dalam bahasa Jawa Ngoko berbeda dengan bahasa Jawa Ngoko pada umumnya. Gaya bahasa Jawa Ngoko yang berbeda tersebut oleh masyarakat sekitar disebut bahasa Sangkak. Penyebutan bahasa Sangkak karena bahasa Jawa Ngoko yang digunakan oleh
137
komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati bersifat menyangkal. Menurut Susilo (2003: 50 -- 52) bahasa Sangkak terbentuk dan berkembang di dalam komunitas Sedulur Sikep terkait erat dengan sikap dan pilihan hidup komunitas Sedulur Sikep pada awal terbentuknya komunitas tersebut. Hadirnya bahasa Sangkak merupakan ekspresi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dengan tidak mengingkari sifat dan sikap jujur. Hal tersebut terlihat dari semangat yang dikandung dalam ajarannya di dalam kitab Serat Punjer Kawitan yang menekankan bahwa bumi Jawa adalah tanah warisan dari Pandawa (tokoh dalam pewayangan) yang menjadi hak orang Jawa. Dengan demikian, tidak ada hak bagi penjajah (Belanda) untuk memerintah dan memungut penghasilan (pajak) dari orang Jawa. Pada prinsipnya, bagi komunitas Sedulur Sikep, ada empat hal pokok yang menjadikan penolakan terhadap kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu (1) menolak membayar pajak; (2) menolak memperbaiki jalan; (3) menolak ronda atau jaga malam; dan (4) menolak kerja paksa. Bertolak dari ajaran tersebut pada masa penjajahan Belanda, komunitas Sedulur Sikep menolak untuk membayar pajak karena merasa bahwa semua harta dan kekayaan adalah miliknya sehingga tidak perlu dipungut pajak. Hal itu seperti penjelasan informan Sedulur Sikep berikut ini. ”Sebelum mbah Tarno salin sandang, beliau pernah cerita tentang penolakan pajak yang dilakukan mbah Nggono (Suronggono – tokoh pertama yang menyebarkan ajaran Sedulur Sikep di Kabupaten Pati, pen.). Di Kecamatan Sukolilo, tradisi memotong kerbau biasanya harus disembelih oleh perangkat dan membayar plekek (pajak). Namun, saat itu Mbah Nggono menolak dengan mengatakan kepada anggota Sedulur Sikep bahwa tidak usah membayar pajak karena itukan kerbau kita sendiri. Dipotong saja sendiri, tapi jangan kelihatan. Memotongnya di belakang rumah saja”(wawancara dengan Gunretno, 18 Juli 2012).
138
Dari penuturan informan di atas, diketahui bagaimana ekspresi perlawanan komunitas Sedulur Sikep terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dengan tidak mengingkari sifat dan sikap jujur yang dimilikinya. Intinya adalah sebagai wujud perlawanan komunitas Sedulur Sikep atas penjajahan Belanda dengan bentuk nonfisik karena mereka tidak mampu menghadapi kekuatan Belanda secara frontal (bersenjata). Model perlawanan ini mirip dengan politik Ahimsa (jiwa yang lembut, tenang, tidak memakai kekerasan, serta pasif) yang dijalankan Mahatma Gandhi di India saat melawan penjajahan Inggris. Hal ini sejalan dengan pandangan Scoot (2000) bahwa model perlawanan Sedulur Sikep adalah ciri khas gaya perlawanan petani di Asia. Gaya perlawanan ini juga tampak ketika komunitas Sedulur Sikep menolak memperbaiki jalan raya karena merasa tidak pernah memakai jalan tersebut. Sebagai konsekuensinya, maka mereka tidak mau melewati jalan raya, tetapi melalui jalan setapak atau pematang di sepanjang jalan raya tersebut. Bentuk-bentuk perlawanan nonfisik yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep terhadap Pemerintah Kolonial Belanda telah melahirkan bahasa Jawa Sangkak. Menurut Fill (2001: 14) bahwa kosakata dari suatu bahasa tertentu merupakan refleksi atau gambaran lingkungan fisik dan lingkungan sosial penuturnya. Berikut ini tabel 5.1, contoh bahasa Sangkak.
139
Tabel 5. 1 Contoh Bahasa Jawa Sangkak No 1
Pertanyaan Piro
Jawaban Loro (Dua)
Keterangan Padahal jumlah anaknya lebih dari dua, tetapi
anakmu?
komunitas Sedulur Sikep merasa jujur karena
(Berapa
yang mereka maksud adalah dua jenis, yaitu
anakmu?)
laki-laki dan perempuan. Pertanyaan yang benar adalah berapa turunanmu? Turunan berasal dari kata dasar turu (tidur/melakukan hubungan suami istri dan menghasilkan keturunan). Adapun penggunaan kata anak, menurut komunitas Sedulur Sikep, hanya pantas diberikan untuk menyebut jumlah hewan ternak.
2
Piro
Siji
kanggo Komunitas
Sedulur
Sikep
tidak
pernah
umurmu?
selawase
(Satu mengingat tahun kelahiran karena baginya
(Berapa
dipakai
untuk umur hidup hanya satu kali dan digunakan
umurmu?)
selamanya)
untuk kebaikan. Adapun pemahaman umur yang ada di komunitas non-Sedulur Sikep adalah masalah hitungan yang bagi komunitas Sedulur Sikep tidak penting.
3
Sopo
-
Lanang (kalo Nama
bagi
komunitas
Sedulur
Sikep
Jenengmu?
yang ditanya menunjukkan jenis kelamin. Pertanyaan yang
Siapa
laki-laki)
Namamu?
-
benar adalah siapa pangaranmu? Maka ia
Wadon (kalo akan menjawab Pangaranku x (namaku x), yang ditanya turune y (anak y), sikep rabi kaliyan turune z perempuan)
4.
(menikah dengan anaknya z)
Seger waras?
Waras
Umumnya,
bahasa
Jawa
Ngoko,
(Apa kabar)?
(sehat/baik)
digunakan untuk menanyakan kabar adalah piye kabare? (bagaimana kabarnya?).
yang
140
5.1.1.6 Bekerja sebagai Petani dan Selaras dengan Alam Lingkungannya. Bagi komunitas Sedulur Sikep, pekerjaan utama mereka adalah bertani. Menurut informan kunci dari komunitas Sedulur Sikep, bukanlah orang Sikep jika pekerjaannya tidak bertani. Berikut penuturannya. ”....bukan disebut orang Sedulur Sikep bila dagang kulak (berdagang), pakaian tidak berwarna hitam, Sedulur Sikep pasti petani dan berpakaian warna hitam, itu adalah ciri terpenting dari identitas Sedulur Sikep. Sebagai petani, Sedulur Sikep sangat tergantung pada alam sehingga wajar jika komunitas Sedulur Sikep mempertahankan kelestarian Pegunungan Kendeng” (wawancara dengan Gunretno, 6 Agustus 2012). Dari penjelasan informan di atas, sangat jelas tampak bahwa salah satu identitas komunitas Sedulur Sikep adalah petani. Komunitas Sedulur Sikep adalah petani tradisional, dengan mayoritas menanam padi. Tanaman lainnya yang ditanam oleh petani Sedulur Sikep adalah buah-buahan, jagung, kacang, dan umbiumbian. Areal pertanian terutama di sekitar permukiman mereka yang terletak di kawasan Pegunungan Kendeng, di mana terdapat aliran sungai yang jernih. Oleh karena itu, petani Sedulur Sikep, termasuk petani paling sukses di Kabupaten Pati. Kondisi pertanian yang baik tersebut sangat menjamin persediaan pangan bagi komunitas Sedulur Sikep dan kelangsungan hidup komunitas Sedulur Sikep. Ketergantungan komunitas Sedulur Sikep terhadap lingkungannya sangat tinggi sehingga mereka selalu menjaga alam lingkungannya. Pandangan komunitas Sedulur Sikep terhadap ekologi dan ekosistem tersebut dapat dijumpai dalam ucapannya, seperti banyu podo ngombe, lemah podo duwe, godong podo gawe
(Air sama-sama diminum, tanah sama-sama punya, daun sama-sama
dimanfaatkan). Ucapan itu oleh komunitas Sedulur Sikep ditafsirkan secara bijak,
141
maksudnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya perlu dijaga. Tidak berarti sama rasa, sama rata, seperti tuduhan orang lain di luar komunitas Sedulur Sikep. Di dalam praktiknya, komunitas Sedulur Sikep justru ikut menjaga pelestarian kayu jati di sekitar Pegunungan Kendeng. Komunitas Sedulur Sikep hanya memanfaatkan daunnya untuk keperluan sehari-hari dan rantingnya untuk keperluan memasak. Komunitas Sedulur Sikep tidak mau merusak hutan dan hal itu sudah berjalan sejak zaman leluhurnya. Hal yang demikian, sejalan dengan pendapat Wallace (1997: viii) bahwa segala upaya dan usaha manusia, mengambil, menggali, serta menggunakan berbagai sumber daya alam untuk berbagai tujuan harus senantiasa dijaga agar tidak menghancurkan sumber daya alam yang menopang kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
5.1.1.7 Menolak Bersekolah Formal Ketidakikutsertaan komunitas Sedulur Sikep untuk menyekolahkan anaknya di pendidikan formal berlandaskan ajaran leluhur, yaitu sekolah, berasal dari kiratabasa “sesek podo polah”, yang berarti bahwa lulusan terdidik/formal tidak menjadi jaminan bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Komunitas Sedulur Sikep berpandangan bahwa orang yang bersekolah pada umumnya didasari oleh cita-cita tertentu, misalnya ingin menjadi pegawai, seperti guru atau profesi lain. Padahal, profesi mereka selama ini adalah petani, di mana keterampilan pertanian bisa dipelajari secara alami. Komunitas Sedulur Sikep khawatir jika anak-anaknya bersekolah di sekolah formal, maka akan mendapat pengaruh luar sehingga merusak tatanan Sikep, termasuk tidak mau lagi bekerja
142
menjadi petani dan akan meninggalkan komunitasnya untuk bekerja formal di tempat lain. Bagi komunitas Sedulur Sikep, tujuan bersekolah adalah untuk mempelajari pelajaran agar bisa dilakukan/dikerjakan oleh seseorang. Oleh karena itu, memberikan pelajaran tidak harus dengan sekolah formal karena tujuan sekolah bagi komunitas Sedulur Sikep adalah agar anak-anak Sedulur Sikep paham tatanan Sikep. Pelajaran terhadap tatanan Sikep cukup diberikan di rumah oleh para orang tua. Kata guru berasal dari kiratabasa digugu lan ditiru (yang patut dituruti dan dicontoh). Orang tua adalah guru bagi anak-anak Sedulur Sikep, yang perlu dijadikan contoh dan nasihatnya harus dituruti. Materi pendidikan berupa ajaran dasar Sikep, antara lain tidak bersekolah formal, bekerja sebagai petani, rukun dengan saudara, jangan iri dan dengki, dan sebagainya. Ketidakinginan para orang tua komunitas Sedulur Sikep untuk menyekolahkan anak-anaknya pada pendidikan formal karena mereka dianggap telah mampu “membaca” , yaitu membaca tingkah laku diri masing-masing yang diwujudkan dengan melaksanakan prinsip hidup, prinsip dasar yang baik. Paparan di atas menunjukkan bahwa pendidikan adalah suatu kebudayaan universal, tetapi sifat spesifiknya sangat berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Apabila dikaitkan dengan tipe dasar pendidikan, maka model pendidikan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep adalah pendidikan keterampilan praktis. Hal ini sejalan dengan pendapat Randal Collins (Sanderson, 2003: 487) yang menyebutkan bahwa tipe pendidikan praktis adalah pendidikan yang dirancang untuk memberikan keterampilan dan
143
kemampuan teknis tertentu yang dipandang penting dalam melakukan kegiatankegiatan pekerjaan dan lain-lain. Pendidikan keterampilan praktis tidak diperlukan pengawas, ujian kenaikan tingkat karena ujian satu-satunya yang layak terhadap keefektifan tipe pendidikan ini adalah keberhasilan di dalam praktik.
5.1.1.8 Menikah dengan Sesama Anggota Komunitasnya (Endogami) Menurut Koentjaraningrat (1967: 85) di dalam lingkaran hidup manusia di dunia, ada masa peralihan yang terpenting, yaitu perkawinan. Demikian pula dengan lingkaran hidup komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, perkawinan merupakan suatu hal yang amat penting bagi individu yang bersangkutan. Komunitas Sedulur Sikep menganggap bahwa melalui ritus perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial, dan kekeluargaan, serta tanggung jawab sosial. Tradisi perkawinan komunitas Sedulur Sikep, secara garis besar tercantum di dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu buku tentang pengukuhan kehidupan yang sejati yang ditulis dalam bentuk puisi tembang macapat, berikut ini. ”Saha malih dadya garan, Anggegulang gelunganing pambudi, palakrami nguwoh mangun, Mamangun treping widya, Kasampang kasandhung dugi prayongantuk, Ambudya atmaja tama, Mugi-mugi dadi kanthi”. (ada lagi yang menjadi pegangan, yaitu melatih ketajaman budi, dapat melalui perkawinan yang membuahkan kesanggupan, yakni menerapkan ilmu pengetahuan yang benar walaupun jatuh bangun ke sana kemari, memperoleh anak keturunan yang diinginkan, semoga menjadi kenyataan) (Hutomo, 1996: 29).
144
Uraian tembang di atas menunjukkan bahwa perkawinan tidak sekadar bertemunya laki-laki dan perempuan untuk melakukan hubungan suami istri (sanggama), tetapi lebih dari peristiwa itu, yaitu alat untuk meraih keluhuran budi yang kemudian dapat menghasilkan atmaja tama (anak-anak yang mulia). Perkawinan bagi komunitas Sedulur Sikep adalah salah satu tujuan hidup di samping tujuan hidup lainnya, yaitu cukup sandang, pangan, dan papan. Di dalam ajaran Sedulur Sikep, perkawinan merupakan sarana utama bagi manusia untuk belajar karena melalui lembaga ini dapat ditekuni ilmu kasunyatan. Bukan saja karena perkawinan nantinya dapat menghasilkan keturunan yang akan meneruskan sejarah hidupnya, melainkan juga karena sarana perkawinan menegaskan hakikat ketuhanan, hubungan antara pria dan wanita, rasa sosial dan kekeluargaan, serta tanggung jawab. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep memandang sakral terhadap lembaga perkawinan (Sastroatmodjo, 2003: 38 -- 39; Sudikan, 2008: 93). Komunitas Sedulur Sikep menolak stereotipe negatif yang diberikan oleh masyarakat di luar komunitasnya yang menyebut bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak menikah atau ambyuk (kumpul kebo). Hal ini terjadi karena tata cara perkawinan yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep juga dilakukan oleh komunitas lainnya. Menurut Gunarti (wawancara, 10 September 2012), perkawinan dalam istilah Sedulur Sikep disebut kawinan, yang berarti kawitan (yang awal/pertama mulai). Kawitane orang mau menikah adalah jawaban sehingga diantar oleh keluarga (pasuwitan). Ketika nanti jawaban mempelai lakilaki diterima oleh mempelai perempuan dan keluarganya, maka perkawinan sudah
145
dilakukan. Tentu saja dengan melalui beberapa tahapan sebelum menjadi rukunan anyar (keluarga baru). Di dalam proses perkawinan komunitas Sedulur Sikep juga mengucapkan janji nikah sebagaimana tradisi agama Islam ataupun agama-agama resmi lainnya. Adapun bunyi janji nikah komunitas Sedulur Sikep, sebagai berikut. ”Permisi bapak ibu dan semua saudara, kedatangan saya ke sini, pertama untuk tahu kesehatan bapak ibu sekeluarga. Kedua saya mau mengatakan syadat (janji) bahwa saya bernama........berjanji menikah sekali untuk selamanya. Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua” (wawancara dengan Gunarti, 10 September 2012). Penuturan Gunarti di atas menunjukkan bahwa perkawinan dianggap sah setelah mempelai laki-laki melaksanakan janji nikah kepada pihak perempuan walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin. Kesepakatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi landasan berlangsungnya perkawinan. Kesepakatan ini merupakan ikatan mutlak di dalam lembaga perkawinan komunitas Sedulur Sikep. Mumfingati (2004: 29) menjelaskan bahwa adat perkawinan yang berlaku di dalam komunitas Sedulur Sikep adalah endogami. Mereka mengambil jodohnya dari dalam kelompoknya sendiri. Adapun prinsip perkawinan mereka adalah monogami sehingga di dalam pola perkawinan komunitas Sedulur Sikep yang dipandang ideal adalah istri hanya satu untuk selamanya. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati tidak ditemukan perceraian dan beristri lebih dari satu orang. Hal itu sejalan dengan pendapat Pritchard (Koentjaraningrat, 1980: 154) bahwa tiaptiap masyarakat walaupun dalam bentuk sederhana akan ditemukan bentuk
146
keluarga, pengakuan ikatan keluarga, sistem ekonomi, politik, status sosial, kepercayaan, cara penyelesaian konflik dalam komunitasnya, dan memertahankan nilai-nilai serta jati dirinya. Di dalam komunitas Sedulur Sikep, mereka tidak mengenal istilah pacaran. Kebiasaan yang ada di dalam komunitas Sedulur Sikep adalah melalui perjodohan yang dilakukan oleh orang tua kedua belah pihak calon mempelai. Adapun tahapan yang harus dilakukan oleh kedua calon mempelai, baik laki-laki maupun perempuan, agar dapat menjadi sebuah rukunan (keluarga) sebagai berikut. (1) Nyumuk atau rerasan, yaitu menyelidiki keadaan calon mempelai perempuan oleh pihak keluarga laki-laki. Apakah mempelai perempuan masih lajang dan tidak diikat oleh tali perjodohan dengan keluarga lain. Biasanya, lelaki dewasa yang sudah dianggap siap untuk dinikahkan adalah mereka yang sudah bisa mengerjakan sawah dan ladang. (2) Ngendeg (melamar). Perjodohan biasanya dilakukan sesama komunitas Sedulur Sikep. Apabila terjadi perjodohan dengan komunitas di non-Sedulur Sikep, maka dia tidak dianggap lagi sebagai bagian dari keluarga Sedulur Sikep. Proses perjodohan diawali dengan acara lamaran. Pembicaraan lamaran hanya dilakukan antarkedua orang tua calon pengantin. Adapun inti dialog antara pelamar (orang tua mempelai laki-laki) dan pihak yang dilamar (orang tua mempelai perempuan), sebagaimana yang dituturkan Gunarti, berikut ini.
147
”Pelamar: ”nopo bener ndiko gadah anak wedhok pangaran si....? wis ditakokno opo durung? La nek anakku seneng piye? Nek arep dirabi turun kula pangaran...entuk opo ora?. Pihak dilamar: ”Iyo, anakku isih legan, yo kono setuju, kene setuju, lan tenanan ora denggo dolanan. Saiki karek bocahe, gelem opo ora? (setelah itu menanyakan pada anak perempuannya, jika menerima maka orang tua mempelai perempuan mengatakan menerima lamaran tersebut). Pelamar: Nek ngono tekoku iki minangka ngendeg, sesuk-sesuk yen ono pitakon sedulur liyane ngarepke anakmu, ndiko kudu ngomong nek wis tak endeg.” (Pelamar: apa bener kamu punya anak perempuan bernama si...? apa sudah dilamar orang? Kalau anakku senang bagaimana? Kalau akan dikawin sama anak saya bernama.....boleh atau tidak? Pihak dilamar: ”iya, anakku masih bujang, ya situ setuju, aku setuju, dan serius tidak untuk mainan. Sekarang tinggal anakku apa menerima lamaran ini?. Pihak Pelamar: Kalau begitu, kedatangan saya ini dalam rangka melamar, besok-besok jika ada yang melamar anakmu, kamu bilang kalau sudah saya lamar (wawancara, 10 September 2012). Dari dialog di atas, tampak bahwa meskipun perkawinan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep melalui perjodohan antarorang tua, tetapi pihak perempuan masih diberikan kesempatan untuk menyatakan sikapnya atas lamaran tersebut. Jika perempuan menerima lamaran, maka akan dilanjutkan dengan proses berikutnya (pasuwitan). Jarak waktu ngandeg ke pasuwitan, paling cepat berlangsung sekitar lima bulan, tetapi ada pula yang bertahun-tahun. (3) Pasuwitan (mengabdi). Setelah lamaran diterima, maka pihak calon mempelai laki-laki tinggal di rumah calon mempelai perempuan untuk nyuwita (mengabdi). Biasanya pihak orang tua calon mempelai perempuan mengatakan kepada calon mempelai laki-laki sebagai berikut: ”le...aku wis setuju, ning kudu ana buktine. Mbesuk nek wis nglakoni sikep rabi, kowe kondhaha aku yo...” (nak...saya sudah menyetujui, tetapi harus dibuktikan. Besok kalau sudah melakukan hubungan suami istri, kamu bilang saya ya....”) (wawancara dengan Gunarti, 10 September 2012). Tahap pasuwitan inilah yang kemudian menimbulkan stereotipe negatif
148
dari komunitas non-Sedulur Sikep bahwa komunitas Sedulur Sikep melakukan tradisi ”kumpul kebo”. Waktu magang bisa berlangsung singkat atau lama, tergantung apakah kedua calon pengantin sudah melakukan rukunan (hubungan suami istri). Proses magang inilah yang oleh masyarakat non-Sedulur Sikep dianggap kumpul kebo. (4) Kerukunan (hubungan suami istri). Tahapan rukunan terjadi bila kedua mempelai sudah melakukan hubungan suami istri. Calon mempelai perempuan harus segera memberitahukan kepada orang tuanya pada hari pertama sesudah mereka melakukan hubungan suami istri. Tidak boleh terlambat dan tidak boleh esok harinya untuk mengatakan hal itu. Apabila keduanya sudah cocok, maka dilanjutkan pada tahap berikutnya (adang akeh), tetapi perjodohan bisa dibatalkan meskipun telah terjadi kerukunan kalo keduanya tidak ada kecocokan. (5) Seksenan
(kesaksian). Tahap terakhir dalam tradisi perkawinan komunitas
Sedulur Sikep adalah upacara seksenan (kesaksian). Pada prosesi ini, seluruh komunitas Sedulur Sikep diundang untuk menjadi saksi perkawinan kedua mempelai. Acara ini dilaksanakan sekitar pukul 09.00 – 10.00 pagi. Di depan komunitas Sedulur Sikep yang hadir pada prosesi seksenan, pihak calon mempelai laki-laki mengucapkan syadat (janji) untuk menikah sekali untuk selamanya. Berdasarkan konstruksi identitas menurut komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati yang telah dipaparkan di atas, maka hasil analisis tentang identitas komunitas Sedulur Sikep tampak adanya kesulitan bagi komunitas Sedulur Sikep untuk melepaskan diri dari pelabelan di luar komunitasnya. Salah satu di antaranya adalah ciri tentang keyakinan komunitas Sedulur Sikep, yaitu agama
149
Adam.
Penyebutan Gusti Allah di dalam Serat Uri-Uri Pambudi yang
ditinggalkan Ki Samin Surosentiko menunjukkan pengakuan adanya Tuhan sebagaimana konsep Kanjeng Gusti Allah yang ada pada komunitas non-Sedulur Sikep (suku Jawa yang beragama Islam). Sulit bagi komunitas Sedulur Sikep untuk mengingkari pengakuan adanya Tuhan karena tekanan besar akan diperoleh terhadap komunitas Sedulur Sikep ketika mereka tidak memercayai adanya Tuhan. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep perlu membuktikan bahwa agama Adam adalah bukti bahwa mereka bukan penganut ateis sebagaimana pendapat komunitas non-Sedulur Sikep. Ciri ini penting artinya bagi komunitas Sedulur Sikep ketika berhadapan dengan stereotipe negatif dan legalisasi agama oleh pemerintah.
5.1.2 Konstruksi Identitas Menurut Komunitas Non-Sedulur Sikep (Suku Jawa) Komunitas non-Sedulur Sikep (Suku Jawa) menempatkan tanda-tanda sebagai ciri identitas komunitas Sedulur Sikep, sebagai berikut.
5.1.2.1 Mempertahankan Prinsip Dasar Ajaran Sikep Hasil wawancara dengan para informan di luar komunitas Sedulur Sikep ternyata telah menempatkan tanda-tanda sebagai ciri khas komunitas Sedulur Sikep. Di dalam kenyataannya, ada pula informan yang belum pernah melihat apalagi datang ke tempat komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Bahkan, para informan tidak mengetahui
150
bahwa istilah Sedulur Sikep sama dengan istilah Samin yang selama ini dikenal, sebagaimana penuturan informan dari komunitas non-Sedulur Sikep, berikut ini. ”Saya tidak pernah tahu kalau Samin itu sama dengan Sedulur Sikep. Saya mengetahui istilah Sedulur Sikep, ya dari anda (pen.). Menurut saya, orang Sedulur Sikep itu memegang kuat adat istiadatnya. Ciri yang paling mudah dilihat adalah pakaian hitam-hitam, lugu, maksudnya tidak menerima modernisasi, tidak mau sekolah, pekerjaannya pasti petani, bahasa yang dipakai bahasa Jawa Ngoko. Kalau masalah agamanya, mereka tidak beragama karena saya tidak pernah melihat Sedulur Sikep beribadah” (wawancara dengan Asminah, 5 Agustus 2012). Dari penuturan Asminah tersebut, diketahui bahwa kebiasaan komunitas Sedulur Sikep memegang teguh perilaku ajaran Sikep sudah diketahui masyarakat di Kabupaten Pati, bahkan masyarakat dari luar Kabupaten Pati akan mendengar bahwa komunitas Sedulur Sikep mempunyai tata cara yang berbeda dari masyarakat pada umumnya dan sangat teguh pada aturan komunitasnya. Salah satu bentuk ketaatan komunitas Sedulur Sikep menjalankan ajaran Sikep ditunjukkan pada sifatnya yang sangat lugu dan jujur. Nilai-nilai kejujuran yang diatur di dalam ajaran Sikep (angger-angger pratikel) sampai saat ini masih dipertahankan dan dilaksanakan oleh komunitas Sedulur Sikep merupakan citra positif yang menempatkan komunitas Sedulur Sikep berbeda dengan komunitas non-Sedulur Sikep.
5.1.2.2 Berpakaian Berwarna Hitam Warna pakaian yang sering dikenakan oleh komunitas Sedulur Sikep pada umumnya berwarna hitam, baik pakaian adat maupun pakaian sehari-hari. Sebagaimana penuturan informan non-Sedulur Sikep (Suku Jawa) berikut ini.
151
”Kalau dilihat secara umum, sulit membedakan antara orang Sedulur Sikep dengan orang Jawa karena secara fisik mereka sama. Yang membedakan adalah pakaian yang mereka (Sedulur Sikep, pen.) kenakan pasti berwarna hitam dan bercelana congkrang” (wawancara dengan Sahari, 5 Agustus 2012). Komunitas non-Sedulur Sikep beranggapan bahwa semua orang di dalam komunitas Sedulur Sikep selalu memakai pakaian hitam. Namun, umumnya secara spontan menyebutkan bahwa wajib berpakaian hitam sebagai ciri paling utama Sedulur Sikep. Komunitas non-Sedulur Sikep tidak mengetahui bahwa sebenarnya, pakaian yang dikenakan tidak selalu hitam, tetapi bisa juga warna lain asalkan warna gelap. Pilihan warna hitam atau gelap yang digunakan saat berpakaian oleh komunitas Sedulur Sikep telah menjadi salah satu identitas yang membedakan komunitas tersebut dengan Suku Jawa. Hal ini sejalan dengan pendapat Tajfel (http//:idhamputra.wordpress.com, 2 Maret 2012) bahwa kategorisasi diri terjadi ketika seseorang berpikir tentang dirinya dan komunitasnya. Pakaian hitam yang dikenakan komunitas Sedulur Sikep menjadi pembeda dengan komunitas lainnya (Suku Jawa).
5.1.2.3 Komunitas Sedulur Sikep Tidak Beragama Komunitas non Sedulur Sikep, pada umumnya tidak tahu agama yang dianut oleh komunitas Sedulur Sikep, seperti penuturan informan berikut. ”Setahu saya, Sedulur Sikep itu tidak mempunyai agama. Mereka tidak pernah beribadah ke masjid menurut Islam, ataupun ke gereja menurut Kristen. Mereka juga tidak pernah menyebut Tuhan. Saya tahunya dari internet tentang Samin atau Sedulur Sikep yang katanya beragama Adam. Akan tetapi, saya tidak tahu apa itu agama Adam, yang saya tahu mereka tidak punya agama (wawancara dengan Ubaidilah, 5 Agustus 2012).
152
Dari penuturan di atas, diketahui bahwa pada umumnya terdapat dalam pemikiran komunitas non-Sedulur Sikep bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak beragama karena masyarakat awam selama ini tidak pernah melihat mereka menjalankan ibadah. Di dalam konteks istilah agama Adam sebagaimana telah diuraikan sebelumnya pada ciri identitas menurut komunitas Sedulur Sikep, ditemukan suatu pengertian agama yang jauh berbeda dengan konsepsi umum. Kosongnya nuansa keagamaan dalam pengertian istilah agama Adam mendorong masyarakat awam (komunitas non-Sedulur Sikep) menilai bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak mengakui bentuk-bentuk ketuhanan (ateis).
Pandangan
komunitas non Sedulur Sikep ini, sejalan dengan King (1973) yang mengatakan bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak percaya pada Allah dan bentuk-bentuk ketuhanan lainnya. Penilaian ini didasarkan pada beragam istilah yang terkesan anti agama di dalam buku-buku yang menjadi rujukan utama anggota komunitas Sedulur Sikep.
5.1.2.4 Menolak Modernisasi Di dalam pola pikir masyarakat umum, komunitas Sedulur Sikep sulit diajak maju. Mereka selalu menolak modernisasi sehingga dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Sebuah deskripsi yang pada masa lalu mungkin benar adanya, tetapi dewasa ini komunitas Sedulur Sikep telah menerima modernisasi walaupun diperlakukan secara ketat sebagai upaya terakhir untuk membentengi diri dari masuknya gaya hidup yang modern.
153
5.1.2.5 Berbahasa Jawa Sangkak Bahasa Sangkak adalah bahasa Jawa Ngoko, tetapi ada unsur menyangkal. Masyarakat umum, tidak tahu istilah bahasa Sangkak. Selama ini yang diketahui oleh masyarakat bahwa bahasa yang digunakan oleh komunitas Sedulur Sikep adalah bahasa Jawa Ngoko. Namun, bagi mereka yang sudah paham dan pernah berinteraksi secara lebih dekat dengan komunitas Sedulur Sikep mengakui ada penggunaan bahasa Jawa Ngoko, yang agak berbeda terutama pada beberapa pertanyaan yang sifatnya pribadi, bahasa ini disebut bahasa Jawa Sangkak.
5.1.2.6 Bekerja sebagai Petani dan Selaras dengan Alam Lingkungannya Semua masyarakat umum sepakat bahwa pekerjaan utama komunitas Sedulur Sikep adalah petani. Tidak ada pekerjaan lain yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep selain pekerjaan tersebut. Mereka bertani secara tradisional sehingga sangat terikat oleh areal pertanian dalam upaya pemenuhan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, mereka sangat menjaga kelestarian lingkungan alam, terutama di sekitar Pegunungan Kendeng karena sangat tergantung pada sistem irigasi tradisional (sungai-sungai) yang berhulu pada pegunungan tersebut. Kearifan lokal inilah yang diakui oleh semua pihak.
5.1.2.7 Menolak Sekolah Formal Di dalam alam pikir masyakat umum bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak ada yang bersekolah walaupun Pemerintah Kabupaten Pati telah memberikan sekolah gratis kepada anak-anak di Kabupaten Pati dari tingkat
154
sekolah dasar (SD) sampai dengan sekolah menengah pertama (SMP), termasuk bagi kalangan anak-anak komunitas Sedulur Sikep, tetapi tidak satu pun orang tua komunitas Sedulur Sikep menyekolahkan anaknya.
5.1.2.8 Komunitas Sedulur Sikep Tidak Menikah Pandangan masyarakat umum bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak menikah. Hal ini karena komunitas Sedulur Sikep tidak pernah mencatatkan pernikahannya kepada Kantor Urusan Agama di Kabupaten Pati. Komunitas nonSedulur Sikep menganggap bahwa perkawinan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep adalah “kumpul kebo”. Anggapan ini didasari pandangan adanya tahapan pernikahan dalam komunitas Sedulur Sikep, yaitu magang di mana kedua calon mempelai akan melakukan hubungan suami istri dengan waktu yang tidak ditentukan. Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di luar komunitas Sedulur Sikep hanya memandang bagian luar dari identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Misalnya, pantangan untuk menerima modernisasi sehingga muncul stereotipe negatif bahwa Sedulur Sikep terbelakang, memiliki kesan magis yang ditampakkan pada warna hitam pakaian yang dikenakannya, serta primitif karena tidak memiliki agama. Oleh karena itu, umumnya mengingatkan agar berhati-hati ketika berhubungan dengan komunitas Sedulur Sikep. Sekilas seolah tidak ada masalah apa pun terhadap pencitraan komunitas Sedulur Sikep oleh masyarakat umum. Namun, stereotipe negatif yang diberikan terhadap komunitas Sedulur Sikep tersebut menempatkan posisi komunitas Sedulur Sikep lebih rendah.
155
5.1.3
Konstruksi Identitas Komunitas Sedulur Sikep Saat Ini Berdasarkan konstruksi identitas komunitas Sedulur Sikep, baik
menurut pandangan komunitas Sedulur Sikep maupun pandangan komunitas nonSedulur Sikep, maka dapat ditabulasikan sebagai berikut. Tabel 5.2 Pencirian Konstruksi Identitas Komunitas Sedulur Sikep
Konstruksi Identitas Komunitas Sedulur Sikep Menurut Komunitas Sedulur Sikep
Konstruksi Identitas Komunitas Sedulur Sikep Menurut Komunitas Non Sedulur Sikep
Mempertahankan prinsip ajaran Sikep Berpakaian warna hitam/gelap Beragama Adam Menolak modernisasi Bahasa Jawa Sangkak Bekerja sebagai petani dan selaras dengan alam Menolak bersekolah formal Menikah dengan sesama anggota komunitasnya (endogami)
Mempertahankan prinsip ajaran Sikep Berpakaian hitam Tidak beragama Menolak modernisasi Bahasa Jawa Sangkak Bekerja sebagai petani dan selaras dengan alam Menolak bersekolah formal Tidak menikah (kumpul kebo)
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa pandangan antara komunitas Sedulur Sikep dan komunitas non-Sedulur Sikep tentang pencirian identitas komunitas Sedulur Sikep tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, seharusnya tidak perlu muncul kesan bahwa komunitas Sedulur Sikep berkedudukan lebih rendah daripada komunitas non-Sedulur Sikep. Tampaknya, kesan tersebut muncul karena adanya interpretasi yang berbeda atas sejumlah ciri identitas di atas. Hal ini lebih disebabkan oleh pijakan awal bahwa komunitas Sedulur Sikep berbeda dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Selanjutnya sejumlah ciri identitas komunitas
156
Sedulur Sikep diberikan stereotipe, seperti bodoh, terbelakang, tidak beragama, dan sebagainya. Dari hasil analisis konstruksi identitas komunitas Sedulur Sikep saat ini diketahui bahwa komunitas Sedulur Sikep sangat sulit melepaskan diri dari keharusan menerima pelabelan identitas dari luar kelompoknya. Hal ini dapat dilihat terutama dari keyakinan komunitas Sedulur Sikep dan model perkawinan yang dilakukannya. Tekanan yang besar diterima oleh komunitas Sedulur Sikep karena sebagian besar atau mayoritas masyarakat di sekitar lingkungannya beragama Islam ataupun agama resmi lainnya, yang diakui oleh Pemerintah Indonesia, yakni selalu menekankan pada Ketuhanan Yang Mahaesa serta melakukan perkawinan sesuai dengan agama resmi negara dan mencatatkannya di dalam lembaga perkawinan (KUA atau Catatan Sipil). Melalui ciri tersebut, maka komunitas Sedulur Sikep harus membuktikan bahwa mereka juga percaya adanya Tuhan Yang Mahaesa sehingga mereka pantas disejajarkan dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Jadi, komunitas Sedulur Sikep dapat membuktikan bahwa anggota komunitasnya bukan ateis (tidak beragama dan bertuhan) dan bukan penganut paham ”kumpul kebo”, walaupun ada sebagian komunitas non-Sedulur Sikep menganggap bahwa komunitas Sedulur Sikep hanya menganut aliran kepercayaan, bukan agama resmi. Anggapan komunitas non-Sedulur Sikep bahwa komunitas Sedulur Sikep tidak beragama atau penganut aliran kepercayaan umumnya didasarkan pada ketidaktahuan mereka (komunitas non-Sedulur Sikep) tentang pelaksanaan ibadah yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep. Berbeda dengan agama resmi di
157
Indonesia, yang pelaksanaan ibadahnya dapat dilihat melalui intensitas umatnya saat melaksanakan ibadah di tempat ibadahnya, seperti mesjid, pura, gereja, dan sebagainya. Oleh karena itu, agama Adam sebagai suatu keyakinan yang dimiliki oleh komunitas Sedulur Sikep perlu menunjukkan tata cara ritual ibadahnya dan diberikan tempat bersama-sama dengan kepercayaan atau agama resmi di Indonesia. Hal di atas sejalan dengan pandangan ahli teologi Rudolf Otto (Koentjaraningrat, 1980: 22 -- 23) bahwa semua sistem religi, kepercayaan, dan agama di dunia berpusat pada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap mahadahsyat (tremendum) dan keramat (sacre) oleh manusia. Sifat hal yang gaib dan keramat itu adalah mahaabadi, mahadahsyat, mahabaik, mahaadil, mahabijaksana, maha tidak berubah, maha tidak terbatas, dan sebagainya. Selanjutnya, hal yang gaib dan keramat tersebut menimbulkan sikap takut, terpesona, dan mendorong timbulnya hasrat universal untuk menghayati rasa bersatu dengannya. Hal ini dapat dilihat pada penganut agama-agama besar, seperti Islam, Kristen, Katolik, tetapi tidak dapat menerangkan adanya ratusan sistem kepercayaan dan religi yang kecil di dalam masyarakat yang bersahaja. Namun, sistem religi dan kepercayaan dalam masyarakat yang bersahaja adalah suatu tahap pendahuluan dari agama yang sedang berkembang. Stereotipe negatif lainnya yang dilekatkan oleh komunitas non-Sedulur Sikep kepada komunitas Sedulur Sikep adalah tidak menikah (kumpul kebo). Pandangan ini muncul karena model perkawinan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep dianggap tidak sah karena tidak dicatatkan di lembaga perkawinan
158
(KUA atau Catatan Sipil). Perkawinan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati bersifat endogami. Model perkawinan ini mengharuskan seseorang menikah dengan sesama komunitasnya. Oleh karena itu, prosesi perkawinan yang dilakukan jarang diikuti dan diketahui oleh orang di luar komunitasnya. Salah satu tahapan yang dianggap oleh komunitas non-Sedulur Sikep sebagai bentuk tradisi ”kumpul kebo” adalah tahapan pasuwitan, yaitu suatu tahapan di mana setelah lamaran mempelai laki-laki diterima oleh pihak perempuan, maka mempelai laki-laki wajib mengabdi kepada pihak perempuan dan harus membuktikan keseriusannya dengan melakukan hubungan suami istri. Selanjutnya, mempertahankan prinsip ajaran Sikep jika dibandingkan dengan ciri keberagamaan dan model perkawinan, maka ciri ini lebih mendekati keaslian komunitas Sedulur Sikep karena tidak mungkin masyarakat luar melaksanakan prinsip Sikep tersebut. Jika ditanya apakah mereka mau mempertahankan prinsip ajaran Sikep? Mereka (komunitas Sedulur Sikep) menjawab bahwa sudah menjadi kewajiban seluruh wong (orang) Sikep untuk mempertahankan dan melaksanakan ajaran Sikep yang telah diterimanya secara turun temurun sejak zaman Ki Samin Surosentiko. Di dalam hal ini, melaksanakan ajaran Sikep merupakan garis pembatas yang jelas antara komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas lainnya. Namun, komunitas Sedulur Sikep menyadari bahwa hal tersebut membawa dampak negatif karena dianggap berbeda dengan masyarakat lainnya. Ciri terpenting yang menjadi identitas komunitas Sedulur Sikep adalah berpakaian hitam atau gelap. Menurut komunitas Sedulur Sikep, jika pada masa
159
lalu, pakaian warna hitam atau gelap dihasilkan lewat cara menenun sendiri. Bahan dasar pembuatan kain tenun adalah benang yang dipintal dari tanaman kapas yang ditanam oleh petani. Adapun warna kain diambil dari dedaunan yang mudah ditemukan di sekitar lingkungannya sehingga sangat alami (wawancara dengan Hartini, 9 September 2012). Akan tetapi, pada masa kini komunitas Sedulur Sikep membeli pakaian warna hitam di pasar terdekat. Di dalam omah komunitas Sedulur Sikep sudah tidak lagi menemukan alat tenun. Hal ini terjadi karena pakaian yang diperlukan bisa didapatkan dengan mudah dan harga yang murah di pasar terdekat. Pada kenyataan sekarang ini, penerapan tradisi pakaian adat hitam hanya dibatasi saat ada upacara tradisi Sikep, seperti perkawinan, sedangkan untuk kegiatan sehari-hari lainnya, komunitas Sedulur Sikep umumnya menggunakan pakaian modern atau kaos yang berwarna hitam atau gelap, misalnya ketika menerima tamu atau ketika sedang bercocok tanam. Hal ini berkaitan dengan alasan kepraktisan. Bagi komunitas Sedulur Sikep, model pakaian tidak dipermasalahkan yang penting tetap berwarna hitam atau gelap sebagai simbol kesetiaan kepada tradisi nenek moyang yang selalu berpakaian warna hitam. Oleh karena itu, warna hitam atau gelap menjadi ciri identitas yang membedakan dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Adanya stereotipe yang diberikan terhadap komunitas Sedulur Sikep oleh masyarakat sekitar menyebabkan perjuangan komunitas Sedulur Sikep untuk menunjukkan identitasnya yang sejajar dengan komunitas non-Sedulur Sikep (suku Jawa). Perjuangan identitas tersebut menjadi dasar untuk mengembangkan wacana dialogis agar tercipta hubungan yang seimbang sehingga akan mereduksi
160
anggapan bahwa komunitas Sedulur Sikep lebih rendah daripada komunitas non Sedulur Sikep. Wacana dialogis menyebabkan komunitas Sedulur Sikep semakin aktif di dalam berbagai upaya tersebut agar dipandang setara dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Jeefrey Weeks (Kinarsih, 2007:4) mengenai identitas adalah tentang persamaan dengan sejumlah orang dan yang membedakan diri sendiri dengan orang lain. Secara spesifik, identitas komunitas Sedulur Sikep menekankan suatu cerita yang dibangun setelah memikirkan komunitasnya. Pada saat komunitas Sedulur Sikep membicarakan identitasnya, sebenarnya komunitas Sedulur Sikep sedang bercerita pada komunitas nonSedulur Sikep, bagaimana komunitas Sedulur Sikep dalam persepsi diri sendiri setelah melihat, termasuk memikirkan keberadaan dirinya. Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati menyadari bahwa keberadaan mereka akan ditanggapi oleh orang di luar komunitas Sedulur Sikep. Di dalam hal ini, bisa saja tanggapan orang luar tersebut berbeda dengan apa yang dialami oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati karena keberadaannya dianggap sebagai sesuatu yang aneh, bahkan ditanggapi secara negatif oleh kelompok masyarakat lainnya. Karena keberadaan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati ditanggapi secara negatif, maka komunitas Sedulur Sikep menyadari bahwa mereka perlu mengungkapkan bagaimana identitasnya dan cara komunitas Sedulur Sikep sendiri. Walaupun mereka sadar bahwa identitas tersebut akan terpengaruh pada identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati apabila melihat dirinya sendiri.
161
Ciri lainnya adalah komunitas Sedulur Sikep harus selaras dengan alam sehingga menjadi kewajiban utama bagi komunitas Sedulur Sikep untuk mempertahankan kelestarian alam dan lingkungannya dengan cara apa pun. Hal ini diyakini sebagai salah satu cara agar kelangsungan hidup komunitas Sedulur Sikep dapat dipertahankan. Penerapan aturan ini merupakan bukti kearifan lokal yang dimiliki oleh komunitas Sedulur Sikep. Dari berbagai ciri yang teridentifikasi sebagai tanda identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati, maka tampak bahwa (1) ada ciri yang merupakan ciri universal yang mudah dijumpai pada masyarakat lainnya; (2) ada ciri yang diberikan oleh masyarakat luar (komunitas non-Sedulur Sikep); (3) ada ciri asli dari komunitas Sedulur Sikep. Ketiga ciri tersebut, selanjutnya berbaur dan bersinergi menjadi sebuah bentuk ciri baru yang berbeda dri bentuk semula. Ciri baru tersebut diklaim sebagai bentuk identitas komunitas Sedulur Sikep. Identitas komunitas Sedulur Sikep digunakan untuk membedakannya dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Identitas yang dipandang sebagai pembeda oleh komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas non-Sedulur Sikep, maka komunitas Sedulur Sikep berusaha membuat suatu tanda untuk membedakan mereka dari komunitas nonSedulur Sikep yang sebenarnya masih dalam lingkup satu kesukuan, yaitu suku Jawa. Tanda pembeda tersebut dibentuk secara sinergi dengan memadukan berbagai hal sesuai dengan perubahan situasi yang ada. Identitas komunitas Sedulur Sikep tersebut sangat fleksibel sesuai dengan kebutuhan komunitas Sedulur Sikep. Hal tersebut merupakan bentuk wacana dialogis demi
162
mempertahankan posisi komunitas Sedulur Sikep agar setara dengan komunitas lainnya (suku Jawa).
5.2 Bentuk Perjuangan Identitas Komunitas Sedulur Sikep dalam Praktik Keseharian sebagai Subaltern Komunitas Sedulur Sikep hidup di dalam lingkungan masyarakat yang sangat plural sehingga pengakuan atau penghargaan pihak lain atas keberadaan komunitas Sedulur Sikep menjadi perjuangan yang terus-menerus dilakukan. Harapan botoh dan generasi tua Sedulur Sikep untuk mempertahankan ajaran Sikep agar dapat dilanjutkan oleh anak cucunya menjadi mimpi yang diidamkannya. Oleh karena itu, pewarisan kebudayaan dengan materi berupa pembentukan kepribadian yang mentradisikan ajaran sejak kecil hingga meninggal melalui teladan orang tua menjadi jurus utamanya. Di dalam praktik keseharian, komunitas Sedulur Sikep mampu mengajarkan strategi kebertahanan identitasnya di tengah subalternitas yang dilakukan oleh komunitas non-Sedulur Sikep. Berikut ini bentuk perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep dalam praktik kesehariannya sebagai kelompok yang terpinggirkan.
5.2.1 Pendidikan Pemerintah berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program wajib belajar, sebagaimana termaktub di dalam Peraturan Pemerintah (Perpu) Nomor 47, Tahun 2008 Pasal 1. Sesuai dengan Perpu tersebut, maka setiap warga negara Indonesia diwajibkan mengikuti program pendidikan dasar atas tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Program
163
pendidikan dasar tersebut adalah upaya untuk mengembangkan potensi yang ada pada masyarakat Indonesia agar dapat hidup mandiri atau melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keinginan pemerintah untuk melaksanakan program pendidikan dasar tersebut, tidak mendapat respons positif dari komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati walaupun sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47, Tahun 2008 Pasal 7 b, di mana aparat pemerintah mengancam memberikan sanksi administratif kepada seluruh warga negara Indonesia yang memiliki anak berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun yang tidak mengikuti program wajib belajar. Hasil wawancara dengan para informan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tentang pendidikan menunjukkan bahwa komunitas Sedulur Sikep justru melarang anaknya untuk menempuh pendidikan formal apa pun risikonya. Informasi yang diperoleh tidak ada satu pun anggota komunitas Sedulur Sikep yang menyekolahkan anaknya di dalam pendidikan formal, seperti penuturan informan Sedulur Sikep berikut ini. ”...salah satu ciri orang Sikep adalah tidak bersekolah formal seperti anak-anak non-Sedulur Sikep, yang memakai seragam, tas sekolah, berangkat jam 7 pagi, dan menerima semua aturan dan pendidikan di sekolah. Kalau ada anggota Sedulur Sikep yang bersekolah, menurut saya bukan wong Sikep karena Sedulur Sikep pasti tidak sekolah formal dan di Kecamatan Sukolilo, tidak ada satupun Sedulur Sikep yang menyekolahkan anaknya ke sekolah formal” (wawancara dengan Gunarti, 15 September 2012). Penuturan informan di atas menunjukkan bahwa komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati tidak ada yang bersekolah formal. Hal tersebut merupakan salah satu ciri identitas komunitas Sedulur Sikep. Apabila dikaitkan dengan Perpu Nomor 47, Tahun 2008, maka tindakan orang tua Sedulur
164
Sikep yang tidak menyekolahkan anaknya di sekolah formal sangat bertentangan dengan Perpu tersebut. Pada posisi tersebut, maka komunitas Sedulur Sikep dianggap sebagai kelompok minoritas yang ”aneh” dan berbeda dengan kelompok lain. ”Pembangkangan” terhadap Perpu No. 47, Tahun 2008 menyebabkan komunitas Sedulur Sikep mengalami berbagai rintangan. Pada sisi lain, kuatnya keinginan komunitas Sedulur Sikep untuk tidak menyekolahkan anaknya secara formal menunjukkan bahwa individu-individu di dalam komunitas Sedulur Sikep sangat
yakin
akan
identitas
Sikep-nya.
Menurut
Fromm
(http://idhamputra.wordpress.com, 2 Maret 2012), identitas diri (individu) tidak dapat dipisahkan dari identitas sosial individu dalam konteks komunitasnya. Hal itu terjadi karena selain ia menjadi makhluk individual, identitas diri tidak dapat dilepaskan dari norma yang mengikat semua warga masyarakat di dalam lingkungan dan peran sosial yang diembannya dalam masyarakat. Berbeda dengan kondisi yang dialami oleh komunitas Sedulur Sikep di daerah lain, seperti Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah. Di Kabupaten Kudus, cukup banyak komunitas Sedulur Sikep yang bersekolah formal. Berikut penuturan informan Sedulur Sikep. ”Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tidak ada yang bersekolah, berbeda dengan Sedulur Sikep di daerah lain. Kang Gun sendiri sewaktu kecil di Kudus sempat mengenyam pendidikan dasar walaupun tidak sampai lulus. Itu terjadi karena orang tuanya tidak begitu paham ajaran Sikep, akan tetapi begitu diingatkan bahwa sekolah formal itu menyalahi tatanan Sikep, maka orang tuanya mengeluarkan Kang Gun dari sekolah tersebut. Sekarang, sudah banyak Sedulur Sikep di Kudus yang bersekolah (wawancara dengan Gunarti, 12 Agustus 2012).
165
Penuturan informan Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tersebut, sejalan dengan penelitian Rosyid (2012) pada komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Kudus. Menurutnya, terdapat tiga respons sebagai tanggapan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Kudus dalam menerima peraturan pemerintah di bidang pendidikan formal, yaitu sebagai berikut. (1) Tidak bersekolah. Pendidikan formal pada prinsipnya memiliki target yang ingin digapai, misalnya menjadi pegawai, karyawan, buruh pabrik, dan sebagainya. Imbasnya timbul kekhawatiran terpenuhinya persyaratan menjadi pekerja yang hanya tersedia di luar lingkungannya. Dampak berikutnya meninggalkan kampung halaman dan berpisah dengan keluarga Sedulur Sikep. Secara otomatis mengurangi jumlah pengikut Sedulur Sikep. Bahkan, agar eksis sebagai petani, komunitas Sedulur Sikep dilarang berdagang. Gebyah macul biyen yo saiki ngantiyo mbesok yo ajek, asal gone dewe (Usaha mencangkul dari dulu hingga kini hingga mendatang tetap, hanya miliknya sendiri). Hal ini diperkokoh dengan kiratabasa bagi warga Sedulur Sikep bahwa kata ‘sekolah’ diberi makna sesek podo polah. Maksudnya, dengan terdidik mencari pekerjaan pun sulit. Jika mendapatkan lapangan kerja, pekerjaan tersebut di luar pantauan orang tua dan timbul harapan melepaskan ikatan dari ajaran Sikep. (2) Bersekolah, tetapi tidak mau menerima mata pelajaran agama karena komunitas Sedulur Sikep mengaku beragama Adam walaupun di dalam UU Nomor 20, Tahun 2003 Pasal 12 (1) a dan PP Nomor 55, Tahun 2007 tentang Pendidilan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama
166
yang dianutnya dan diajarkan pendidik yang seagama. Persoalannya, agama yang dipeluk komunitas Sedulur Sikep tidak dikategorikan ’agama’ oleh pemerintah, tetapi dikategorikan aliran kepercayaan, maka mereka yang bersekolah formal tidak difasilitasi guru agama (Adam). Langkah penolakan komunitas Sedulur Sikep terhadap materi ajar pendidikan agama yang diberikan pada anaknya dalam proses pembelajaran dengan cara wakil orang tua (tokoh Sedulur Sikep) mewakili warga Sedulur Sikep mendatangi penyelenggara lembaga pendidikan bahwa anaknya telah beragama Adam agar tidak diberikan pelajaran agama lain. (3) Bersekolah dan menerima mata pelajaran agama. Aktif bersekolah formal dan menerima materi pelajaran agama bagi komunitas Sedulur Sikep dengan dalih bahwa semua agama mengajarkan kebajikan. Hal tersebut terjadi karena ketaatan beragama komunitas Sedulur Sikep yang belum optimal dan pola pikir yang terimbas pola pergaulan yang luas terutama dengan komunitas nonSedulur Sikep. Berbeda dengan kondisi komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Kudus, perlawanan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati terhadap pelaksanaan program wajib belajar yang dilaksanakan pemerintah mengakibatkan munculnya stereotipe negatif bagi komunitas Sedulur Sikep. Masyarakat umumnya memandang bahwa komunitas Sedulur Sikep sebagai kelompok masyarakat yang susah diatur dan tidak bisa diajak maju. Hal ini kemudian menjadi bahan olokolok dari komunitas non-Sedulur Sikep bahwa komunitas Sedulur Sikep adalah kumpulan orang bodoh (tidak berpendidikan) karena tidak bersekolah dan tidak
167
beragama karena tidak sekali pun mereka melihat beribadah di mesjid sebagaimana umumnya yang dilakukan komunitas non-Sedulur Sikep. Situasi tersebut menimbulkan reaksi dari komunitas Sedulur Sikep untuk
menunjukkan
identitasnya.
Harapannya
adalah
mereka
tidak
menganggapnya bodoh dan menyadari bahwa salah satu tujuan bersekolah adalah mencapai cita-cita seperti yang diinginkan. Bagi komunitas Sedulur Sikep, citacita mereka adalah menjadi petani dan melakukan semua tatanan Sikep dengan baik. Sekitar tahun 1990 kondisi komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati sangat memprihatinkan. Setiap hari mereka menjadi bahan olokan masyarakat sekitar (komunitas non-Sedulur Sikep). Para orang tua komunitas non-Sedulur Sikep melarang anak-anaknya bergaul dengan anak-anak Sedulur Sikep karena bodoh tidak bersekolah dan tidak beragama. Mereka yang meledek bukan hanya anak-anak non-Sedulur Sikep, melainkan juga orang tua, seperti penuturan informan Sedulur Sikep berikut ini. ”Saat itu, situasinya mengkhawatirkan. Ada rasa takut. Kalau yang tuatua sudah kebal dengan ledekan tetangga, tetapi yang anak-anak selesai bermain pasti menangis. Dari situ saya beri bekal kepada anak-anak Sedulur Sikep seandainya ditanya saudara-saudara lain (non-Sedulur Sikep, pen). Kalau ditanya: Kamu Sekolah? jawablah sekolah, sekolah di mana? jawablah di mondokan dewe (rumah sendiri), gurumu siapa? jawablah bapak dan ibuku, apakah bapak dan ibumu guru? jawablah iya, bapak ibuku guru. Kan yang saya gugu lan tiru (guru dari kiratabasa gugu=dipatuhi dan tiru=dicontoh, pen.), kalau mengajar bagaimana? Aku diajarkan dilarang aja drengki srei (jangan memfitnah dan serakah), panasten (mudah tersinggung atau membenci sesama), dawen (mendakwa tanpa bukti), kemiren (iri hati), nyiyo marang sepodo (berbuat nista sesema penghuni alam), bejok reyot iku sedulure waton menungso tur gelem di ndaku sedulur (menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, cacat seperti apa pun asal manusia jika saudara mau dijadikan saudara), bedog (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat dengan sumber kehidupannya, seperti buah-buahan atau
168
sayuran yang masih di ladang), jumput (mengambil barang), nemu wae ora keno (menemukan sesuatu adalah pantangan)” (wawancara dengan Gunarti, 15 September 2012). Penuturan informan tersebut menunjukkan betapa beratnya perjuangan hidup komunitas untuk mempertahankan identitasnya, yaitu tidak bersekolah formal. Pemahaman yang berbeda tentang sekolah, tampaknya menjadi akar permasalahan munculnya stigma negatif yang diberikan kepada komunitas Sedulur Sikep, Sedulur Sikep, yaitu bodoh. Oleh karena itu, melalui peran orang tua, anak-anak komunitas Sedulur Sikep diberikan pemahaman tentang pendidikan (sekolah). Sedikit demi sedikit, anak-anak Sedulur Sikep ketika bermain di luar rumah, mereka tidak menangis lagi walaupun ada yang mengolok-oloknya. Bagi komunitas Sedulur Sikep, keengganan mereka menyekolahkan anaknya bukan karena mereka tidak mampu membayar biaya sekolah, tetapi dianggap sebagai bagian pilihan hidup untuk netepi (melaksanakan) tata cara Sedulur Sikep, yaitu (1) ingin memperbaiki kelakuan dan (2) ingin membetulkan ucapan. Oleh karena itu, sekolah cukup dengan orang tua di rumah (homeschooling) dan menjadi petani untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika ditanyakan kepada anak-anak Sedulur Sikep, apakah mereka tidak ada keingginan bersekolah seperti anak-anak dari komunitas non-Sedulur Sikep? Secara umum, mereka mengatakan bahwa awalnya mereka ingin bersekolah seperti mereka, tetapi sekarang tidak lagi. Anak-anak Sedulur Sikep berpandangan bahwa mereka yang bersekolah sepertinya tertekan, tiap pagi disuruh mandi, berangkat ke sekolah dengan seragam, duduk di kelas dengan berbagai aturan, sedangkan belajar di rumah lebih enak, bisa menyapu, mencuci
169
piring, di mana kegiatan itu juga dianggap sebagai bagian sekolah. Menurut Gunarti (wawancara, 15 September 2012), sekolah intinya belajar karena semua tidak bisa dilakukan tanpa belajar. Saat ini anak-anak Sedulur Sikep mulai diajari menulis dan membaca. Pelajaran membaca dan menulis pada komunitas Sedulur Sikep diajarkan oleh Gunretno dan Gunarti. Kemampuan mengajar Gunretno diperoleh karena ia pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar di Kabupaten Kudus walaupun tidak sampai lulus. Adapun kemampuan Gunarti di dalam mengajarkan membaca dan menulis pada anak-anak diperoleh dari Gunretno. Keduanya mengajar tanpa target tertentu, artinya kemampuan anak-anak di dalam menerima pelajaran dilakukan secara alami. Bagi anak-anak yang ingin bisa membaca dan menulis, keduanya akan mengajarkan, tetapi bagi yang tidak ingin, keduanya tidak akan memaksakan pada anak-anak, seperti penuturan Gunarti berikut ini. “Saya tidak memaksa, misalnya semua anak harus belajar. Pokoknya belajar membaca dan menulis jangan ada tekanan atau paksaan. Tujuannya agar anak-anak tidak dianggap bodoh. Oleh karena itu, mungkin ada cara belajar lainnya yang disukai, misalnya mencuci, menyapu, dan lain-lainnya. Tidak harus membaca dan menulis karena hal itu juga merupakan salah satu bentuk belajar” (wawancara, 15 September 2012). Dari penuturan Gunarti dapat diketahui bahwa dewasa ini anak-anak Sedulur Sikep mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis. Kesediaan Gunarti dan Gunretno untuk memberikan pelajaran membaca dan menulis pada anak-anak karena mereka tidak ingin anak-anak Sedulur Sikep dianggap bodoh karena tanpa bersekolah formal, seperti anak-anak non Sedulur Sikep, mereka juga mampu membaca dan menulis. Meskipun bentuk pengajarannya bersifat sampingan dan
170
nonformal, hal ini merupakan upaya dari komunitas Sedulur Sikep sebagai wacana dialogis demi mempertahankan posisinya agar diakui sejajar dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeefrey Weeks (Kinarsih, 2007: 4) bahwa identitas dipandang sebagai suatu penanda yang membedakan komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas non-Sedulur Sikep (suku Jawa). Tanda pembeda tersebut dibentuk secara sinergi dengan memadukan berbagai hal sesuai dengan situasi yang ada.
5.2.2 Interaksi Sosial Kemasyarakatan Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan pergaulan dan interaksi sosial di dalam kehidupannya. Hubungan sosial yang harmonis merupakan idaman setiap orang. Demikian pula dengan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati, merasa perlu untuk bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Sebagai kelompok minoritas, komunitas Sedulur Sikep merasakan beban psikologi karena hidup di dalam lingkungan pergaulan sehari-hari yang tidak mendukungnya. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep merasa perlu untuk menampakkan identitasnya sebagai bentuk perjuangan identitasnya pada saat berinteraksi sosial kemasyarakatan. Penampakan identitas tersebut sebagai bentuk perjuangan kelompoknya agar tidak dianggap remeh oleh komunitas nonSedulur Sikep. Di
Kabupaten
Pati,
komunitas
Sedulur
Sikep
hidup
dalam
keterisolasian dan terkotak-kotak menjadi tantangan bagi kehidupan mereka secara pribadi. Berkaitan dengan ini, Habermas (Agger, 2003: 189) menyatakan bahwa setiap individu menghumanisasi dirinya melalui interaksi, refleksi, dan
171
komunikasi dalam mengontrol dirinya di dalam masyarakat. Identitas yang dimiliki
oleh
komunitas
Sedulur
Sikep
membutuhkan
kenyamanan
di
lingkungannya. Oleh karena itu, pentingnya menata sesuatu secara spasial dalam menempatkannya pada posisi berbeda. Berikut penuturan Gunarti dalam menyampaikan pengalamannya. ” Komunitas Sedulur Sikep oleh masyarakat sekitar (Kecamatan Sukolilo, pen.) dianggap aneh sehingga mereka tidak suka bergaul dengan kelompok kami, tetapi komunitas Sedulur Sikep tetap berusaha bergaul dengan mereka dengan segala cara. Salah satunya dengan membantu tenaga komunitas non-Sedulur Sikep bila punya hajat. Awalnya mereka menganggap komunitas Sedulur Sikep membantu karena ingin diberi makan. Padahal, sudah sewajarnya, namanya orang membantu diberi sedikit makanan dan minuman. Komunitas Sedulur Sikep tidak pernah meminta, kami tidak memikirkan kalau komunitas non-Sedulur Sikep memberi kami makan dan minum atau tidak, tetapi kalau diberi makan dan minum ya kami terima. Yang penting kami ingin membantu komunitas non-Sedulur Sikep yang punya hajat. Biar mereka tahu bahwa kami tulus dan ikhlas di dalam membantu” (wawancara, 16 September 2012). Pernyataan Gunarti tersebut menunjukkan bagaimana komunitas Sedulur Sikep ingin berinteraksi sosial dengan masyarakat di lingkungannya. Menurut Sriah, saat ini sedikit demi sedikit di antara komunitas non-Sedulur Sikep mulai tepa slira (saling menghargai), di mana jika sekarang ada komunitas Sedulur Sikep yang mempunyai hajat, komunitas non-Sedulur Sikep mau membantu. Kesabaran komunitas Sedulur Sikep di dalam berinteraksi dengan komunitas non-Sedulur Sikep, termasuk memberikan penjelasan bagaimana sesungguhnya komunitas Sedulur Sikep mulai mendapatkan penghargaan dari masyarakat sekitarnya. Pendapat Gunarti ini dibenarkan oleh Ubaidilah yang berasal dari komunitas non-Sedulur Sikep terkait dengan aktivitas pergaulan komunitas Sedulur Sikep dengan masyarakat sekitar. Berikut penuturannya.
172
”Saya senang dengan keberadaan komunitas Sedulur Sikep karena mereka orangnya tulus kalau membantu. Mereka juga mengerahkan semua keluarganya, termasuk anak-anaknya ketika kami (komunitas non-Sedulur Sikep, pen.) mempunyai hajat. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh anak-anak muda komunitas non-Sedulur Sikep karena mereka masih terikat aktivitas lain, misalnya sekolah” (wawancara, 16 September 2012). Dari penuturan Ubaidilah di atas, diketahui bahwa keberadaan komunitas Sedulur Sikep dalam melakukan interaksi sosial kemasyarakatan mulai diterima oleh komunitas non-Sedulur Sikep. Kepercayaan diri komunitas Sedulur Sikep sebagai kelompok subbaltern dengan berani berinteraksi sosial dengan tujuan agar masyarakat sekitar mengetahui bagaimana sesungguhnya komunitas Sedulur Sikep sehingga kesan negatif yang selama ini ada dalam pandangan komunitas Sedulur Sikep sedikit demi sedikit dapat diubah. Berdasarkan fenomena keterpinggiran komunitas Sedulur Sikep, Wallerstein (Sanderson, 2003: 251) menyatakan bahwa selayaknya suatu individu ataupun komunitas merebut kesempatan, kemajuan, dan kemandirian. Oleh karena itu, melalui interaksi sosial yang dilakukannya, komunitas Sedulur Sikep berharap agar komunitas non-Sedulur Sikep menerima keberadaannya. Hal ini dilakukan karena sebelumnya komunitas non-Sedulur Sikep sulit menerima keberadaan komunitas Sedulur Sikep. Masyarakat sekitar tidak mau sama sekali membantu jika mereka mempunyai hajat. Tekanan hidup dari lingkungan memberikan kesan negatif terhadap keberadaan komunitas Sedulur Sikep. Interaksi sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas non-Sedulur Sikep, semakin membuka akses pihak luar (non-Sedulur Sikep) untuk memasuki wilayah komunitas Sedulur
173
Sikep. Kehadiran orang di luar komunitas Sedulur Sikep tentunya akan membawa nilai-nilai yang berbeda. Benturan nilai budaya tersebut disadari oleh botoh komunitas Sedulur Sikep akan membahayakan ketahanan internal komunitas Sedulur Sikep, berikut penuturannya. ”Kira-kira sejak tahun 1995-an, mulai sering datang tamu-tamu dari luar (komunitas non-Sedulur Sikep, pen.). Mereka tertarik untuk meneliti terkait keberadaan dan adat istiadat komunitas Sedulur Sikep. Awalnya, saya menerima dengan terbuka, tetapi akhir-akhir ini, terutama sejak peristiwa tolak semen, banyak tamu yang datang dengan tujuan kurang baik. Mereka mulai menghasut dan memojokkan komunitas Sedulur Sikep. Mereka juga kadang mengadu domba kami (komunitas Sedulur Sikep, pen). Sejak itu, saya dan semua anggota komunitas Sedulur Sikep mulai membatasi dengan tidak banyak menerima tamu yang tidak saya kenal” (wawancara dengan Gunretno, 12 Agustus 2012). Penuturan botoh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tersebut menunjukkan bahwa komunitas Sedulur Sikep berusaha membatasi masuknya nilai budaya luar. Komunitas Sedulur Sikep menyadari bahwa interaksi sosial dengan masyarakat di luar komunitasnya akan membuka peluang perubahan pada sosial budaya yang dimiliki. Komunikasi budaya adalah suatu fenomena komunikasi di mana para pesertanya memiliki latar belakang yang berbeda dan terlibat dalam suatu kontak antara satu dan yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung (Widyawati, 2008: 3). Letak geografis lingkungan komunitas Sedulur Sikep yang berdekatan dengan akses jalan raya provinsi yang menghubungkan Kabupaten Pati dengan Kabupaten Grobogan membuka peluang besar untuk mengubah tatanan adat yang dimilikinya. Perubahan tatanan adat bagi komunitas Sedulur Sikep merupakan sesuatu yang sangat dikhawatirkan karena selama ini mereka berkewajiban
174
menjaga tradisi nenek moyangnya. Oleh karena itu, perlu adanya strategi agar perubahan yang terjadi tidak merusak tatanan tradisi komunitas Sedulur Sikep. Di dalam hal ini, salah satu strategi adalah penguatan lingkungan komunitas Sedulur Sikep. Pola hidup ini berpegang pada dua prinsip. Pertama, hidup menyatu di dalam suasana pedesaan. Hal ini terjadi karena mata pencaharian komunitas Sedulur Sikep sebagai petani. Kedua, pendidikan moral dan pembentukan sikap hidup melalui homeschooling untuk mengantisipasi kowar kawering kaweruh (pengaruh lingkungan luar). Berdasarkan letak tempat tinggal komunitas Sedulur Sikep, mereka selalu menyatu dalam satu lingkungan. Apabila mereka berpindah tempat karena suatu hal, misalnya mencari lahan baru, maka komunitas Sedulur Sikep akan membentuk suatu kelompok baru. Pengelompokan sesama komunitas Sedulur Sikep tersebut diharapkan dapat mempermudah komunikasi antargenerasi komunitas Sedulur Sikep. Di samping itu, komunikasi generasi muda komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas non-Sedulur Sikep dapat mudah dipantau oleh para orang tua. Hal ini terjadi karena kekhawatiran generasi tua akan sikap mental generasi muda Sedulur Sikep yang mungkin mudah terpengaruh oleh lingkungan budaya luar. Melalui penguatan lingkungan, khususnya di dalam keluarga komunitas Sedulur Sikep, maka tradisi Sedulur Sikep diminimalisasi dari sentuhan modernisasi. Para orang tua, khususnya botoh Sedulur Sikep mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai dan norma dalam tradisi komunitas Sedulur Sikep. Para generasi tua inilah yang tidak henti-hentinya bekerja
175
menyosialisasikan tradisi dan mendorong upaya pelestarian tradisi nenek moyang kepada generasi muda. Penguatan lingkungan komunitas Sedulur Sikep dengan hidup secara berkelompok menjadi pagar pembatas keberadaan komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Di mana di dalam kawasan lingkungan komunitas Sedulur Sikep, para anggota komunitas non-Sedulur Sikep berusaha memosisikan nilai, norma dalam adat, dan tradisi nenek moyang di samping selalu tetap mengingatkan kepada generasi muda Sedulur Sikep bahwa mereka adalah penerus ajaran Sikep melalui homeschooling. Oleh karena itu, semua tradisi nenek moyang akan selalu diletakkan di dalam alam pikiran setiap generasi muda komunitas Sedulur Sikep. Bagi komunitas Sedulur Sikep, penguatan lingkungan komunitas Sedulur Sikep dianggap sebagai bagian kewajiban hidup untuk netepi (melaksanakan) ajaran nenek moyang berupa tata cara, yaitu (1) ingin memperbaiki kelakuan dan (2) ingin membetulkan ucapan. Upaya penguatan lingkungan komunitas Sedulur Sikep seperti di atas telah semaksimal mungkin dilakukan oleh generasi tua untuk menangkal pengaruh budaya luar. Namun, sterilisasi budaya luar oleh komunitas Sedulur Sikep masih terdapat celah dengan masuknya segala macam bentuk modernisasi. Oleh karena itu, tidak dapat dimungkiri bahwa perubahan fisik terjadi karena arus modernisasi tersebut. Peralatan modern, seperti handphone, televisi, laptop, kendaraan bermotor, peralatan listrik rumah tangga, dan sebagainya telah dimiliki oleh beberapa anggota komunitas Sedulur Sikep. Di dalam hal ini, modernisasi telah menyebabkan komunitas Sedulur Sikep membiayai dirinya untuk memiliki
176
sejumlah peralatan modern. Padahal, di dalam pola pikir komunitas Sedulur Sikep hidup modern sama dengan hidup mewah. Namun, komunitas Sedulur Sikep memberlakukan batasan sampai seberapa penting peralatan modern tersebut digunakan. Pada sisi lain, perkembangan teknologi modern, khususnya televisi, internet, dan koran menyebabkan perjuangan identitas yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep semakin mudah diketahui oleh masyarakat luas. Adanya publikasi yang luas dari media massa tersebut mendapat respons positif dari masyarakat di luar komunitas Sedulur Sikep. Solidaritas sosial kemasyarakatan yang terbangun di luar komunitas Sedulur Sikep menunjukkan bahwa upaya perjuangan identitas oleh komunitas Sedulur Sikep tersebut akan tercapai. Secara tradisional, upaya penguatan lingkungan komunitas Sedulur Sikep dan pertemuan rutin yang dilakukan setiap bulan sekali oleh komunitas Sedulur Sikep merupakan salah satu strategi yang tepat untuk menangkal masuknya nilai-nilai budaya luar karena interaksi sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep. Menurut Gunretno (wawancara, 12 Agustus 2012), dewasa ini sikap komunitas Sedulur Sikep yang sangat ramah dan terbuka, sejak semakin banyaknya pihak dari luar yang masuk ke wilayah komunitas Sedulur Sikep karena rasa keingintahuan tentang sesuatu yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep mengakibatkan komunitas Sedulur Sikep cenderung menutup diri. Mereka mulai menaruh curiga dengan kehadiran orang dari luar komunitas Sedulur Sikep dan sulit untuk memberikan informasi, terutama terkait dengan upaya penolakan pabrik semen karena tidak semua orang luar
177
(komunitas non-Sedulur Sikep) yang akan berinteraksi sosial dengan komunitas Sedulur Sikep mempunyai maksud baik.
5.2.3 Perkawinan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa, sebagaimana yang termaktub di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1, Tahun 1974. Terdapat perbedaan mendasar bagi komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas non-Sedulur Sikep dalam melakukan perkawinan. Perkawinan di dalam komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah selama ini tidak menyertakan peran pemerintah (Kantor Urusan Agama ataupun Catatan Sipil). Hal ini terjadi karena komunitas Sedulur Sikep mempunyai prinsip bahwa yang berhak menikahkan anak adalah orang tuanya sendiri, seperti penuturan informan Sedulur Sikep berikut ini. ”Sedulur Sikep tidak perlu melibatkan pemerintah (KUA atau Catatan Sipil, pen) karena yang berkewajiban menikahkan anak adalah orang tuanya sendiri. KUA atau Catatan Sipil itu kan juga dijalankan manusia, bapak/ibu Sedulur Sikep juga manusia sehingga yang berhak menikahkan mereka ya orang tuanya. Kalau bapak/ibunya sudah salin sandang, maka yang menikahkan adalah pamannya (kakak/adik kandung dari bapak kemanten putra) (wawancara dengan Gunarti, 10 September 2012).” Pandangan informan seperti di atas sangat bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1, Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1. Di dalam UU Perkawinan tersebut dinyatakan bahwa tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Di samping itu, komunitas Sedulur Sikep juga tidak
178
melakukan persyaratan usia minimal yang diperbolehkan dalam sebuah perkawinan. Di dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan negara, jika pihak pria (minimal) mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita (minimal) mencapai umur 16 tahun. Bagi komunitas Sedulur Sikep, tidak ada batasan baku tentang usia di dalam syarat perkawinan. Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati beranggapan bahwa manusia dilahirkan ke dunia tidak memiliki usia. Syarat dilangsungkannya sebuah perkawinan menurutnya apabila kedua mempelai sudah siap menikah. Perkawinan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah selain dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1, Tahun 1974 juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23, Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Di dalam Undang-Undang Nomor 23, Tahun 2006 Pasal 34 Ayat 1 dinyatakan bahwa perkawinan yang sah menurut peraturan perundangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan. Ayat (4) pelaporan sebagaimana ayat (1) bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUA kecamatan. Bagi komunitas Sedulur Sikep, kehadiran Undang-Undang Nomor 23, Tahun 2006 tersebut tidak menjadi bagian praktik perkawinan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Selama ini, ritual perkawinan yang dilaksanakan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tidak pernah dilaporkan kepada pihak yang berwenang (KUA dan Catatan Sipil). Menurut komunitas Sedulur Sikep, kehadiran warga Sedulur Sikep dan sebagian
179
undangan komunitas non-Sedulur Sikep yang turut menyaksikan prosesi perkawinan dianggap menjadi suatu legalitas perkawinan. Di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati tidak ditemukan adanya perceraian dalam rumah tangga komunitas Sedulur Sikep. Mereka juga tidak mengenal istilah poligami (mempunyai istri lebih dari satu) walaupun di dalam sebuah perkawinan, pasangan suami istri tidak memiliki keturunan. Menurut informan Sedulur Sikep, seorang laki-laki atau perempuan yang sudah terikat perkawinan akan menikah kembali jika salah satu pasangan mereka salin sandang, seperti penuturan Gunarti berikut ini. ”....seperti Pakde Yuri yang sudah menikah selama 15 tahun dan tidak mempunyai keturunan, juga tidak menikah. Kebetulan istrinya salin sandang, jadi sekarang ia punya rukunan (istri, pen.) lagi” (wawancara, 10 September 2012). Penuturan informan tersebut menunjukkan bahwa keluarga Sedulur Sikep sangat setia menjaga rumah tangga perkawinannya. Pelaksanaan perkawinan komunitas Sedulur Sikep yang tidak menyertakan peran negara (KUA atau Catatan Sipil) menjadi gunjingan dari komunitas non-Sedulur Sikep. Mereka dianggap komunitas yang senang ”kumpul kebo”. Pemerintah melalui aparatnya di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati telah berkali-kali memberikan pemahaman tentang pentingnya legalitas perkawinan berupa surat nikah, seperti penuturan Sahari berikut ini. ”Sangat sulit memberikan penjelasan kepada warga Sedulur Sikep akan pentingnya KUA atau Catatan Sipil. Selama ini mereka dianggap oleh masyarakat umum (non-Sedulur Sikep, pen) ambyuk (kumpul kebo, pen.) karena tidak memiliki surat nikah. Hal itu sudah tentu menyulitkan administrasi desa karena mereka tidak pernah melaporkan perkawinannya, termasuk jika mempunyai anak dari hasil perkawinan tersebut” (wawancara, 6 Agustus 2012).
180
Penuturan Sahari di atas menunjukkan bahwa model perkawinan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati mendapat stereotipe negatif dari masyarakat umum karena tidak mendapat legalitas dari pemerintah sehingga dianggap menyulitkan di dalam administrasi kependudukan. Oleh karena itu, upaya Pemerintah Kabupaten Pati untuk melegalkan perkawinan komunitas Sedulur Sikep dilakukan dengan cara memaksa 119 kepala keluarga komunitas Sedulur Sikep di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati untuk menikah secara massal pada 7 Agustus 1989. Seluruh pasangan Sedulur Sikep yang sudah berkeluarga selama bertahun-tahun, bahkan yang lanjut usia pun dinikahkan melalui tata cara agama Budha. Adanya pernikahan massal tersebut, akhirnya memberikan kemudahan bagi komunitas Sedulur Sikep saat memerlukan layanan administrasi desa, seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Peristiwa-peristiwa penting yang memerlukan bukti administrasi dan pencatatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23, Tahun 2006, seperti kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, dan lain-lain harus dilaporkan karena membawa implikasi pada perubahan data identitas kependudukan. Menurut Gunretno (wawancara, 12 Agustus 2012), peristiwa nikah massal
yang terjadi pada
masa
Orde
Baru telah menyebarkan rasa
ketidaknyamanan, lantaran tidak diakuinya tata cara yang sudah dilakukan komunitas Sedulur Sikep selama ini. Namun, saat itu sulit dihindari karena penolakan
komunitas
Sedulur
Sikep
untuk
melegalkan
perkawinannya
181
mengakibatkan sulitnya komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati mendapatkan pelayanan administrasi desa. Bagi komunitas Sedulur Sikep, sebenarnya tidak terlalu sering berurusan dengan administrasi desa karena pekerjaan mereka adalah petani yang tidak memerlukan pelayanan administrasi, seperti kartu tanda penduduk dan lainlain. Akan tetapi, sejak tahun 1987, komunitas Sedulur Sikep terpaksa berurusan dengan pemerintah ketika ada beberapa warga ingin memasang listrik. Saat itu salah satu syarat agar bisa mendapatkan sambungan listrik adalah memiliki KTP. Jadi, mereka terpaksa mengurusnya. Komunitas Sedulur Sikep mengaku sangat sulit mendapatkan KTP karena banyak isian yang tidak
dimengerti, seperti
agama, umur, dan sebagainya. Di dalam pengisian form KTP tersebut, komunitas Sedulur Sikep dipaksa mengisi agama Islam agar mendapatkan KTP tersebut. Semua form diisi menurut maunya petugas desa.
Hal ini dilakukan oleh
komunitas Sedulur Sikep agar urusan menjadi lancar dan mendapatkan sambungan listrik (wawancara dengan Yitno, 6 Agustus 2012). Pada masa Orde Reformasi, penetrasi pemerintah untuk mengurusi pernikahan
anggota
komunitas
Sedulur
Sikep
agak
longgar.
Hal
ini
mengakibatkan munculnya perkawinan yang dilakukan anggota komunitas Sedulur Sikep sesuai dengan tata cara ajaran Sikep dan tidak melaporkan kepada aparat desa. Bagi komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati, upaya mempertahankan model perkawinan dengan sesama komunitas Sedulur Sikep dan sesuai dengan tradisi Sedulur Sikep adalah bagian dari perjuangan identitasnya. Perkawinan tersebut diharapkan mampu melanjutkan ajaran nenek moyangnya
182
walaupun akan berimbas kembali pada sulitnya mendapatkan layanan administrasi dari pemerintahan desa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Spivak (Morton, 2008: 159) yang menyebut subaltern, yaitu komunitas Sedulur Sikep sebagai subjek yang tertindas, terbungkam, terpinggirkan, dan tidak berdaya. Posisi subaltern tersebut di antaranya tercermin dalam akses yang terbatas, seperti pembuatan surat nikah, akte kelahiran, KTP, dan sebagainya. Wacana kekalahan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah sebagai kelompok minoritas dari segi jumlah adalah keterpinggiran dan pandangan yang stereotipe terhadap komunitas tersebut. Kenyataan hidup yang dialami oleh komunitas Sedulur Sikep di atas menunjukkan bahwa ia berada pada posisi korban dalam hubungan oposisi biner (binary opposition) dalam paham modernisme. Komunitas Sedulur Sikep dianggap kalah sehingga mendapat tekanan dalam praktik perkawinannya.
5.2.4 Keberagamaan Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kenyamanan di dalam lingkungannya karena latar belakang kehidupan mereka yang berbeda-beda. Salah satu di antaranya adalah keberagamaan keyakinan dengan segala praktik di dalamnya memerlukan sikap toleransi dari lingkungannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menata segala sesuatu secara spasial dalam menempatkannya pada posisi berbeda. Berkaitan dengan hal ini, Gunarti menyampaikan pengalamannya, sebagai berikut.
183
“Dulu, anak-anak komunitas Sedulur Sikep sering menangis sepulang bermain dengan teman-temannya (anak komunitas non-Sedulur Sikep, pen.) karena diejek tidak punya agama. Anak-anak komunitas Sedulur Sikep sering ditanya, agamamu apa? kok tidak pernah ke mesjid? Selama ini, komunitas non-Sedulur Sikep selalu mengukur keberagamaan seseorang karena ibadah yang kasat mata. Jika muslim, ya....melaksanakan ibadahnya di mesjid. Sedikit demi sedikit, anakanak komunitas Sedulur Sikep diberi penjelasan bahwa tujuan agama adalah untuk mencapai kebaikan kehidupan. Selama mereka menjalankan hidup yang baik, mereka sama dengan beragama. Sekarang, mereka tidak terlalu peduli jika ditanya tentang keberagamaan” (wawancara, 15 September 2012). Dari penuturan Gunarti terlihat bahwa keberagamaan dengan segala praktik di dalamnya membutuhkan sikap toleransi dari lingkungannya. Kuatnya rasa keberagamaan yang dimiliki oleh komunitas Sedulur Sikep menunjukkan bahwa keberagamaan merupakan salah satu konstruksi identitas komunitas Sedulur Sikep.
Di dalam hal ini, Wolton (2007: 334) menyebutkan
bahwa
identitas menjadi karakter yang identik dengan diri sendiri. Di dalam makna yang lebih luas, identitas mirip dengan sistem sentimen dan representasi. Melalui hal tersebut, subjek membedakan dirinya dengan orang lain. Di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah tempat tinggal komunitas Sedulur Sikep suasana kehidupan di atas tidak menjadi suatu ancaman serius. Ketegangan, saling “mencibir”, meledek adalah hal biasa. Di dalam beberapa hal, hubungan tersebut, justu memiliki mekanisme untuk menjaga “keharmonisan.” Pergulatan di antara mereka hidup subur dan menjadi bagian dari sejarah rakyat yang masih diminati sampai saat ini. Kecamatan Sukolilo yang terletak di Kabupaten Pati bagian selatan, sangat identik dengan masyarakat abangan. Secara kebetulan, di Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati bagian selatan terdapat makam Syeh Jangkung. Sementara di komunitas santri yang
184
berada di Pati bagian utara mengidentifikasi ketokohan mereka kepada Wali Songo. Tentu saja penggolongan ini agak semena-mena. Dibandingkan dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan, identitas Jawa-abangan-santri, jauh lebih kompleks, cair, dan tidak mudah untuk diseragamkan. Berikut ini gambar 5.4 yang merupakan Makam Syeh Jangkung, terletak di Kabupaten Pati bagian selatan menjadi representasi dari seluruh imajinasi mengenai masyarakat Jawaabangan.
Gambar 5.4 Makam Syeh Jangkung (Dokumen: Eko, 2012)
Gambar 5.4 adalah makam Syeh Jangkung, yang menjadi legenda rakyat Pati yang hidup dalam masa Kerajaan Islam Demak adalah sedikit dari beberapa cerita mengenai ketegangan suatu keyakinan dan keagamaan di wilayah
185
Kabupaten Pati. Syeh Jangkung yang makamnya “dikeramatkan” di sekitar Pati ini konon adalah “anak haram” Sunan Bonang (salah seorang tokoh wali sembilan) yang di kemudian hari berseteru dan menjadi tokoh antagonis di mata Sunan Bonang sendiri. Di dalam salah satu kisahnya digambarkan mengenai suatu dialog yang panas dan berujung ke dalam perkelahian antara kuasa lokal yang ditokohkan
Syeh
Jangkung
dengan
“penguasa
kerajaan
Islam”
yang
direpresentasikan oleh Sunan Bonang. Mereka masing-masing menyatakan pendiriannya yang berbeda. Hidup dalam “perbedaan”, yang dipraktikkan Syeh Jangkung ternyata merupakan ancaman sendiri bagi kuasa yang dibentangkan Islam Demak pada masa itu. Jadilah Syeh Jangkung tokoh subversib yang dianggap membahayakan stabilitas kerajaan. Ternyata cerita semacam Syeh Jangkung ini tidak sendirian. Cerita-cerita lain dalam beberapa lakon ketoprak di Pati juga banyak menyiratkan suatu gambaran mengenai dialog dan ketegangan antara
dua
keyakinan,
keagamaan
yang
saling
berebut
pengaruh
(http://interseksi.org, 26 April 2012). Pada masa Orde Lama, di Kabupaten Pati bagian utara, Partai Nahdlatul Ulama menjadi partai politik terbesar, sementara di Kabupaten Pati bagian selatan, termasuk di Kecamatan Sukolilo yang dihuni komunitas Sedulur Sikep merupakan basis Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa 30 September 1965 menjadi fase dari kulminasi konflik yang melibatkan “konflik horizontal” di dalam masyarakat Kabupaten Pati. Akibat konflik politik ini, hubungan dan relasi antarbudaya di Kabupaten Pati menjadi sesuatu yang mengancam. Akibat peristiwa 30 September 1965, terjadi peralihan keagamaan secara besar-besaran.
186
Mereka yang semula dituduh sebagai PKI terpaksa memilih Islam sebagai agama mereka. Islamisasi atau dakwah oleh para kiai dan ustadz-ustadz berlangsung ramai. Kebanyakan penyebar Islamisasi ini dari wilayah Kabupaten Pati bagian utara atau setidak-tidaknya alumni dari salah-satu pondok pesantren dari Kabupaten Pati bagian utara. Di dalam melakukan dakwahnya, mereka ini merasa mendapatkan amanah menyampaikan “misi suci” untuk menebar pesan-pesan Tuhan. Orang-orang PKI kini perlu disadarkan dan diarahkan menuju jalan “keagamaan”. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang “di-PKI-kan” memilih jalan damai. Mereka ramai-ramai masuk Islam sebagian karena kesadarannya, tetapi tidak sedikit yang merasa tertekan kalau masih harus bertahan dengan sikapnya pada masa lalu (http://interseksi.org, 26 April 2012). Paska peristiwa 30 September 1965, itulah titik balik dalam kehidupan komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo. Walaupun komunitas Sedulur Sikep tidak terlibat secara langsung dalam konflik horizontal, tetapi sebagai kelompok subaltern turut merasakan dampaknya. Komunitas Sedulur Sikep dipaksa untuk memilih salah satu agama resmi negara agar tidak dicap berhaluan komunis. Oleh karena cara beribadah komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati menyerupai cara ibadah agama Budha, maka mereka dipaksa memeluk agama tersebut. Berikut penuturan informan Sedulur Sikep.
187
“Akibat peristiwa tahun 1965, para orang tua Sedulur Sikep dipaksa memeluk agama Budha. Mungkin pemerintah melihat, cara ibadah komunitas Sedulur Sikep mirip agama Budha sehingga didatangkan para pendeta guna mengajarkan tata cara beribadah menurut agama Budha. Ketika itu, semua perintah sang pendeta dituruti, segala ucapan dan perilakunya diikuti oleh para orang tua Sedulur Sikep. Termasuk waktu pendeta buang air kecil, mereka juga ikut bersama-sama buang air kecil. Tidak lama kemudian, sang pendeta meninggal dunia (wawancara dengan Gunarti, 10 September 2012). ” Dari informasi tersebut, tampak bahwa komunitas Sedulur Sikep sangat patuh terhadap keinginan pemerintah. Kepatuhan tersebut menjadi bentuk pembungkaman
komunitas
Sedulur
Sikep
sebagai
kelompok
subaltern.
Sebagaimana pendapat Sheriff (West dan Turner, 2008: 206) yang menyatakan bahwa pembungkaman kelompok subaltern merupakan fenomena yang dialami secara sosial. Di dalam hal ini, pembungkaman dicapai melalui pemahaman sosial, siapa yang memegang kekuasaan dan siapa yang tidak. Pernyataan ini didukung oleh Guha (King, 2001: 382) yang mengatakan bahwa subaltern sebagai dampak relasi kuasa melalui alat bahasa, ekonomi, sosial, dan kultur. Dampak peristiwa 30 September 1965 yang terjadi di sekitar Kabupaten Pati bagian selatan, tidak ingin berimbas pada komunitas Sedulur Sikep. Komunitas Sedulur Sikep percaya bahwa siapa pun yang memaksakan kehendak tidak baik terhadap komunitas Sedulur Sikep akan mendapat balasan sesuai dengan perilakunya. Sepeninggal sang pendeta Budha, pemerintah tidak pernah lagi memaksakan komunitas Sedulur Sikep memeluk agama Budha dengan cara mendatangkan pendeta. Sejak saat itu sebagian besar masyarakat di sekitar Kabupaten Pati percaya bahwa komunitas Sedulur Sikep memiliki ilmu magis.
188
Siapa pun yang menyakiti komunitas tersebut, maka bisa berakibat kematian. Hal ini dibenarkan oleh informan non-Sedulur Sikep sebagai berikut. “….jangan sekali-sekali menyakiti orang Sikep, dia itu walaupun lugu tapi sakti. Ada barang di jalan aja jangan diambil. Dulu pernah, ada orang yang mencoba mencuri di wilayah Sedulur Sikep. Pencuri itu dengan mudah bisa masuk dan mengambil barang di rumah orang Sikep karena kebiasaan Sedulur Sikep tidak pernah mengunci rumahnya. Akan tetapi, pencuri itu tidak bisa keluar rumah sampai pemilik rumah (orang Sikep, pen.) mengetahuinya dan memintanya pergi. Sejak saat itu, tidak ada orang yang berani mengganggu Sedulur Sikep. Mereka punya ilmu magis” (Moh. Latip, wawancara 16 September 2012). Berdasarkan pengetahuan yang disampaikan Moh. Latip terkesan bahwa lingkungan komunitas Sedulur Sikep sangat magis dan “berbahaya” walaupun komunitas Sedulur Sikep dianggap polos dan lugu. Guna mengetahui kebenaran pandangan tersebut, maka dilakukan konfirmasi kepada komunitas Sedulur Sikep, apakah benar pandangan komunitas non-Sedulur Sikep bahwa mereka mempunyai ilmu magis? Secara umum, komunitas Sedulur Sikep menolak jika dikatakan memiliki ilmu magis. Kesukaan memakai pakaian berwarna hitam dan tata cara kehidupan yang dianggap berbeda dengan komunitas non-Sedulur Sikep, menurut komunitas Sedulur Sikep menjadi stereotipe bahwa mereka mempunyai ilmu magis. Komunitas Sedulur Sikep percaya bahwa dengan menjalankan perilaku dan tutur kata yang benar, sebagaimana perintah agama apa pun, maka akan mendapat kebahagian. Sebaliknya, jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, maka ia akan mendapat kesengsaraan.
189
Pada sekitar tahun 1987, di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati dilakukan penyambungan saluran listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Salah satu persyaratan untuk memeroleh sambungan listrik PLN adalah kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep yang membutuhkan listrik melakukan pengurusan KTP. Komunitas Sedulur Sikep dipaksa mengisi kolom agama Islam oleh petugas administrasi desa. Ketika awal era Reformasi, ada sedikit kebebasan. Hal ini dimanfaatkan oleh komunitas Sedulur Sikep dengan mulai berani memperjuangkan identitas keagamaannya. Di dalam kolom agama pada KTP, komunitas Sedulur Sikep meminta menuliskan agama Adam. Walaupun oleh aparat pemerintah desa dianggap tidak diakui oleh perundangan, tetapi pengosongan kolom agama pada KTP yang dimiliki beberapa orang komunitas Sedulur Sikep telah dianggap sebagai kemajuan di dalam perjuangan identitasnya.
5.2.5 Pelestarian Sumber Daya Alam Lahan pertanian bagi petani merupakan modal yang paling utama. Bagi petani, tanah merupakan sumber produksi dan kekayaan yang utama, kepemilikannya membawa prestise yang tinggi karena tanpa kepemilikan lahan, maka mereka hanya berfungsi sebagai petani penggarap. Secara tradisional petani penggarap dalam masyarakat agraris, berada dalam strata yang lebih rendah daripada pemilik tanah. Hal ini terjadi karena salah satu ukuran status sosial penduduk desa ditentukan oleh kepemilikan tanah, di samping jabatan sosial dan keagamaan (Abdullah, 1991: 34).
Pentingnya tanah bagi seorang petani,
khususnya komunitas Sedulur Sikep membuat mereka mempertahankan tanah
190
yang dimilikinya. Terdapat pihak yang senantiasa menekan dan mengorbankan petani adalah kaum kapitalis (konglomerat, pemodal, dan pengusaha), politisi, dan pemerintah (Wilardjo dan Perdana, 2001: 1). Ketika pemerintah memandang sumber agraria sebagai komoditas potensial yang menjanjikan keuntungan berlimpah dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam melalui kekuatan kapitalisme, maka konflik agraria sebagai gejala klasik akibat keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi komunitas Sedulur Sikep yang mengandalkan sumber kehidupannya pada sektor agraris pun terjadi. Konflik agraria merupakan jenis konflik yang sangat berbeda dengan sengketa perdata pada umumnya. Hal ini terjadi karena tanah sebagai pengikat kesatuan sosial untuk hidup berkelanjutan (social asset) dan sebagai faktor modal dalam pembangunan (capital asset) (Rohmat, 2008: 1 -- 3). Perbedaan pandangan dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya Pegunungan Kendeng telah menjadi sumber konflik. Menurut data dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang, pada tahun 2009 terdapat 42 konflik tanah di Provinsi Jawa Tengah dengan luas lahan 10.587,18 hektare, sedangkan pada tahun 2010 terdapat 53 konflik tanah. Adapun sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2011 di Provinsi Jawa Tengah telah terjadi 262 kriminalisasi petani dalam bentuk penganiayaan, penembakan yang menyebabkan luka hingga tewas, penangkapan, dan pemenjaraan (Suara Merdeka, 23 September 2011: 2).
191
Perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah sangat nyata pada upaya pelestarian sumber daya alam. Permasalahan lingkungan menjadi fokus utama perhatian dari komunitas Sedulur Sikep. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa komunitas Sedulur Sikep di dalam kehidupannya sangat selaras dengan alam lingkungannya. Bagi komunitas Sedulur Sikep, rusaknya lingkungan alam merupakan ancaman bagi keberadaan komunitasnya. Kesadaran akan pentingnya Pegunungan Kendeng bagi aktivitas pertanian, selanjutnya mengikat semua petani komunitas Sedulur Sikep dan komunitas non-Sedulur Sikep di dalam perlawanan yang sama, yaitu menuntut penolakan rencana pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng. Sebagaimana pendapat yang disampaikan Gunarti (wawancara, 10 September 2012) bahwa kelestarian Pegunungan Kendeng adalah kewajiban semua orang karena Kendeng itu milik siapa saja, tidak hanya untuk orang sekitar Pegunungan Kendeng, untuk orang Pati, bahkan seluruh orang Jawa Tengah, tetapi milik semua orang yang merasa mempunyai hak atas Pegunungan Kendeng. Mereka semua boleh memiliki, tetapi tidak boleh menjual. Jangankan dijual oleh orang lain, dijual oleh orang yang hidup di kawasan Gunung Kendeng saja tidak boleh. Pandangan serupa juga disampaikan oleh Kasmari (wawancara, 12 Agustus 2012), selaku tokoh komunitas non-Sedulur Sikep dari Kecamatan Kayen Kabupaten Pati yang menyatakan bahwa di dalam Pegunungan Kendeng terdapat tanah dan air. Di mana di seluruh dunia, kedua bagian tersebut, tidak bisa dipisahkan oleh siapa pun. Tanah dan air itu tidak boleh diperjualbelikan. Itu milik siapa saja. Menurut Kasmari, hal itu bukan berarti kita serakah. Terkait
192
dengan pengelolaan sumber daya alam tidak boleh dimonopoli oleh pemerintah karena sumber daya alam itu milik semua orang. Jadi, ketika di tempat lain ada situasi kekacauan terkait dengan masalah sumber daya alam, maka setiap orang mempunyai hak untuk ikut membantu menyelamatkan alam. Oleh karena itu, ketika Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati yang menjadi basis komunitas Sedulur Sikep sering mendapat musibah banjir hingga menyebabkan rusaknya areal pertanian yang dimiliki oleh komunitas Sedulur Sikep maupun komunitas nonSedulur Sikep, maka dibentuklah aliansi petani bernama Karya Tani Maju (KTM). KTM dibentuk pada tahun 1999 atas gagasan Tarno, yang saat itu (sebelum salin sandang) merupakan botoh Sedulur Sikep. Sehubungan dengan hal ini, Gunretno (wawancara, 12 Agustus 2012) menyatakan bahwa di Kecamatan Sukolilo sering mengalami musibah banjir. Setiap pilihan kepala desa, semua hanya menjanjikan akan mengatasi banjir karena permasalahan banjir itu yang menjadi korban tidak hanya petani dari komunitas Sedulur Sikep, tetapi juga dialami oleh petani dari komunitas non-Sedulur Sikep. Terkait dengan itu, Tarno menyuruhnya untuk survei dan berbicara pada tokoh-tokoh petani antardesa di Kecamatan Sukolilo. Saat survei tersebut, Gunretno dibantu dengan Sedulur Sikep lainnya dengan berjalan kaki, ada pula yang naik sepeda menyusuri kali Juwana, sepanjang 17,5 km untuk mencari penyebab banjir di Kecamatan Sukolilo. Ternyata, ditemukan bahwa penyebab banjir karena adanya jlarang (tambak). Sekitar Sungai Juwana ditemukan enam jlarang besar dan jlarang kecil yang jumlahnya tidak terhitung. Sungai Juwana yang memiliki lebar 40 meter, 38 meternya dibuat jlarang dan sisanya 2 meter untuk aliran sungai. Ketika debit air sungai tinggi, maka Sungai
193
Juwana tidak mampu lagi menampung airnya sehingga meluap ke seluruh areal pertanian di Kecamatan Sukolilo. Jika diuangkan, hasil tangkapan ikan tiap harinya sekitar 1,5 juta rupiah. Itu sama dengan setoran empat buah bus. Akibat jlarang, sekitar 5.000 hektare areal pertanian di Kecamatan Sukolilo terendam banjir. Hal ini tentunya merugikan para petani dan hanya menguntungkan segilintir orang pemilik jlarang karena pemilik jlarang tersebut adalah orangorang kaya dari luar Kecamatan Sukolilo dan sangat berpengaruh. Oleh karena itu, dibentuklah KTM sebagai kelompok untuk melawan kekuatan pemilik jlarang. Musyawarah untuk membentuk KTM dilakukan di rumah Gunretno dengan mengundang tujuh kepala desa dan para tokoh petani di Kecamatan Sukolilo. Dari hasil musyawarah tersebut, terbentuklah KTM dengan susunan pengurus, sebagai berikut: Ketua: Domo (tokoh petani non-Sedulur Sikep, dari Desa Gadudero); Sekretaris: Darmo (tokoh petani non-Sedulur Sikep, dari Desa Sukolilo); Bendahara: Gunretno (tokoh muda dan petani Sedulur Sikep, dari Desa Baturejo). Setelah KTM terbentuk, maka organisasi tersebut bergerak dengan melakukan audensi ke DPRD Kabupaten Pati dan Bupati Pati untuk menyampaikan pandangan-pandangan terkait dengan keberadaan jlarang yang menyebabkan banjir di Kecamatan Sukolilo. Di dalam menyampaikan pandangan tersebut, KTM menyertakan bukti survei penyebab banjir di Kecamatan Sukolilo. Tujuan yang ingin dicapai adalah dikeluarkannya peraturan daerah (Perda) untuk melarang jlarang beroperasi di sepanjang Sungai Juwana. Keinginan KTM tersebut, terpenuhi dengan dikeluarkannya Perda tentang pelarangan jlarang di Sungai Juwana.
Terbentuknya KTM sebagai wadah organisasi petani di
194
Kecamatan Sukolilo adalah bukti nyata peran komunitas Sedulur Sikep terhadap kepedulian
lingkungannya.
Sebagai
petani
tradisional
yang
sehari-hari
mengandalkan tanah pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rusaknya areal pertanian karena banjir, cukup menyulitkan kehidupan komunitas Sedulur Sikep. Seluruh areal pertanian di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati sangat bergantung pada aliran Sungai Juwana (wawancara dengan Gunretno, 12 Agustus 2012). Pada perkembangan selanjutnya, permasalahan para petani tidak hanya meliputi banjir. Oleh karena itu, muncullah organisasi baru bernama Serikat Petani Pati (SPP) pada tahun 2002. Kemunculan SPP tersebut. mengakibatkan KTM kurang berfungsi sehingga KTM bubar dengan sendirinya. SPP diketuai oleh Gunretno. Wadah petani SPP beranggotakan para petani dari tujuh kecamatan,
meliputi
(1)
Kecamatan
Sukolilo,
(2)
Kecamatan
Kayen,
(3) Kecamatan Margorejo, (4) Kecamatan Jakenan, (5) Kecamatan Jaken, (6) Kecamatan Puncakwangi, dan (7) Kecamatan Dukuhsekti. Adapun kegiatan utama dari SPP adalah menyelesaikan permasalahan petani sehingga petani tidak bergantung pada bantuan dari pemerintah. Adanya SPP diharapkan muncul kemandirian dari para petani (wawancara dengan Gunretno, 12 Agustus 2012). Pada tahun 2006 komunitas Sedulur Sikep mulai mendapat kabar tentang rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Pegunungan Kendeng. Kabar tersebut semakin hari semakin menguat. Guna mempertahankan keberadaan Pegunungan Kendeng terhadap rencana tersebut, maka dibentuklah sebuah aliansi petani bernama Jaringan Masyarakat Peduli
195
Pegunungan Kendeng (JMPPK) pada tahun 2008. Hal yang menarik adalah aliasi petani JMPPK untuk melawan rencana pembangunan pabrik semen di Kabupaten Pati dipimpin oleh Gunretno yang merupakan
tokoh muda Sedulur Sikep
(sebelum Tarno, yang merupakan botoh Sedulur Sikep saat itu meninggal). Terpilihnya
Gunretno sebagai
Ketua
JMPPK atas
dasar pertimbangan
pengalamannya, ketika menjadi bendahara di wadah petani bernama KTM dan ketua di SPP. Berikut penuturan Gunretno, sebagai botoh Sedulur Sikep¸ sekaligus Ketua JMPPK. ”Info semen masuk diketahui komunitas Sedulur Sikep saat ada pertemuan di rumah saya (Gunretno, pen.). Rumah saya memang sering dijadikan tempat pertemuan rutin, minimal sebulan sekali untuk rembugan (diskusi) masalah Sedulur Sikep. Saat tahun 2006, ada kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), pemerintah merencanakan upaya alternatif pengganti BBM dengan biodiesel dengan menanam pohon jarak. Karena itu, di rumah saya diadakan pertemuan sosialisasi penanaman pohon jarak bersama-sama. Hitung-hitungannya, harga solar 1 liter saat itu 5.500 rupiah. Jika kita menanam pohon jarak, untuk 1 liternya butuh 30 kilogram pohon jarak. Adapun harga pohon jarak sebanyak itu, nilainya hanya 15 rupiah. Ini sangat tidak wajar bagi petani. Berapa jumlah pohon jarak yang mesti ditanam petani? Petani mulai curiga, ternyata di dalam sosialisasi berikutnya, kepala Bapeda menyampaikan pandangannya bahwa untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, maka di kawasan Pegunungan Kendeng akan didirikan pabrik semen. Sejak itu, mulai sering keluar masuk calo-calo tanah yang merayu petani untuk menjual tanahnya. Guna mempertahankan kelestarian Gunung Kendeng, maka dibentuklah JMPPK, di mana saya ditunjuk sebagai ketuanya” (wawancara, 12 Agustus 2012). Dari keterangan Gunretno dapat disimpulkan bahwa kondisi komunitas Sedulur Sikep yang bermata pencaharian sebagai petani dan hidup dalam kesederhanaan menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengubah cara pandang komunitas Sedulur Sikep melalui program peningkatan ekonomi dengan cara menjadi petani pohon jarak dan mendirikan pabrik semen di Kawasan
196
Pegunungan Kendeng. Hal tersebut tentunya sangat merugikan komunitas Sedulur Sikep yang selama ini bermata pencaharian sebagai petani padi dan sangat bertumpu pada sumber daya alam di Kendeng. Sebagaimana pendapat Bourdieu (Tilaar, 2007:92) bahwa tiga jenis modal kekuasaan dan ketidaksetaraan sosial, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan modal budaya. Berkaitan dengan hal ini, komunitas Sedulur Sikep masih memiliki potensi modal budaya untuk berupaya menjaga kelestarian lingkungan Pegunungan Kendeng. Menanggapi rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Kawasan Pegunungan Kendeng, sejumlah tokoh Sedulur Sikep dipimpin oleh Gunretno dibantu oleh Sapari melalui aliansi petani JMPPK mengorganisasi para petani di Kecamatan Sukolilo untuk menolak pembangunan Pabrik Semen Gresik tersebut. Penolakan tersebut didasari bahwa Pegunungan Kendeng merupakan penyangga utama sumber perairan untuk pertanian di seluruh Kabupaten Pati, termasuk di Kecamatan Sukolilo yang menjadi basis komunitas Sedulur Sikep. Oleh karena itu, rencana pembangunan Pabrik Semen Gresik dikhawatirkan akan dapat merusak sumber daya lingkungan Kawasan Pegunungan Kendeng, sekaligus menjadi ancaman bagi hilangnya produktivitas pertanian di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Pegunungan Kendeng adalah kawasan milik semua orang yang mau melestarikannya, tidak hanya bagi komunitas Sedulur Sikep, tetapi juga bagi komunitas non-Sedulur Sikep.
197
Di sisi lain, Bupati Pati, Tasiman, dan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, melihat bahwa pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik akan dapat
memberikan
keuntungan
ekonomi
yang
besar
dan
memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat, khususnya di Kabupaten Pati. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sangat antusias untuk segera merealisasikan rencana pembangunan pabrik semen tersebut. Hal ini tampak dalam beberapa forum yang dikemas dalam rangka penjaringan aspirasi masyarakat hanya diisi dengan sosialisasi rencana pembangunan pabrik semen tersebut (wawancara dengan Gunretno, 12 Agustus 2012). Konsolidasi di dalam tubuh anggota JMPPK semakin meluas dan menguat setelah mendapat banyak dukungan dari banyak organisasi gerakan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada tingkat nasional pada akhir 2008. Menghadapi hal tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Pati melakukan berbagai kebijakan untuk mendukung rencana pembangunan pabrik semen melalui terbitnya Surat Pernyataan Bupati Pati, 17 April 2008, Nomor 131/1814/2008 tentang Kesesuaian RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Pati dengan berdasar Naskah Akademik RTRW Kabupaten Pati Tahun 2007 dan Raperda RTRW Kabupaten Pati (tanpa tahun). Menurut kalangan JMPPK, surat pernyataan bupati tersebut tidak memiliki landasan dan kekuatan hukum yang jelas serta dapat dikategorikan melawan hukum karena surat itu telah menganulir keputusan di atasnya, yaitu Perda RTRW Kabupaten Pati Tahun 2001 – 2011 (Idhom, 2009: 141).
198
Pihak PT Semen Gresik (Tbk) mencoba menawar luasan lokasi rencana pembangunan pabrik semen. Pada awalnya PT Semen Gresik meminta luas lokasi penambangan semen sebesar 2.000 hektare, kemudian diperkecil menjadi 1.500 hektare. Pada pertemuan yang lain, PT Semen Gresik menurunkan tawaran luasan lokasi penambangan menjadi 900 hektare, dan terakhir menjadi 320 hektare. Namun, aliansi petani yang tergabung dalam JMPPK tetap menolak semua penawaran tersebut karena JMPPK dan komunitas Sedulur Sikep beranggapan andaikata diperbolehkan dan berdiri pabrik, pasti lama-kelamaan akan bertambah luasan wilayah operasional Pabrik Semen Gresik di kawasan Pegunungan Kendeng (wawancara dengan Gunretno, 12 Agustus 2012). Konflik atas rencana pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng mencapai puncaknya ketika terjadi peristiwa penghadangan warga terhadap rombongan mobil PT Semen Gresik (Tbk) yang akan melakukan pengukuran lahan rencana lokasi pembangunan di wilayah Dukuh Puri, Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati tanggal 22 Januari 2009. Massa yang terdiri atas anggota JMPPK menyandera tiga belas orang pejabat PT Semen Gresik yang berada di dalam empat mobil yang mereka tumpangi selama kurang lebih sembilan jam sejak pukul 10.00 WIB. Penyaderaan yang dilakukan anggota JMPPK ini berujung pada aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, baik dari Polres Pati maupun Polda Jawa Tengah yang mengerahkan sekitar 100 orang Brigade Mobil (Brimob) ke lokasi kejadian untuk membebaskan para sandera dengan menyemprotkan water cannon kepada para pendemo (Harian Surya, 23 Januari 2009). Aksi demo menolak rencana pembangunan tersebut juga
199
diikuti oleh perempuan, berujung dengan penangkapan sembilan orang anggota JMPPK. Kesembilan orang anggota JMPPK yang ditangkap tersebut, adalah Wanto (komunitas Sedulur Sikep), Gunarto (komunitas Sedulur Sikep), Sutikno (komunitas Sedulur Sikep), Alim (komunitas Sedulur Sikep), Sudarto (komunitas non-Sedulur Sikep), Tamsi (komunitas non-Sedulur Sikep), Narto (komunitas nonSedulur Sikep), Sudarman (komunitas non-Sedulur Sikep), dan Zainul (komunitas non-Sedulur Sikep) (wawancara dengan Gunretno, 12 Agustus 2012). Sejak peristiwa penangkapan sembilan anggota JMPPK yang menolak rencana pembangunan semen oleh PT Semen Gresik di Kecamatan Sukolilo pada 22 Januari 2009, intimidasi menjadi sering dilakukan oleh orang-orang yang kemungkinan berasal dari aparat, seperti penuturan Gunretno, berikut ini. ”Sejak penangkapan 9 orang anggota JMPPK, suasana di Kecamatan Sukolilo mencekam. Intimidasi dan stereotipe negatif terhadap komunitas Sedulur Sikep diembuskan untuk mengadu domba sesama anggota JMPPK. Sebenarnya mereka (aparat, pen.) membidik saya untuk ditangkap, tetapi kebetulan saat demo tersebut, saya tidak berada di lokasi karena ada kepentingan sehingga intel-intel dari kepolisian mencari informasi melalui anggota komunitas Sedulur Sikep yang lain tentang kegiatan saya. Saya mengetahui kalau diikuti gerak-gerik saya diawasi oleh aparat, ya dari sanak saudara yang ditanya-tanya oleh aparat tersebut. Mereka (Sedulur Sikep, pen.) ketakutan atas peristiwa penangkapan 9 orang anggota komunitas Sedulur Sikep yang terlibat demo” (wawancara, 12 Agustus 2012). Dari penuturan Gunretno di atas, diketahui bahwa situasi yang semakin kacau akibat intimidasi yang berlebihan menimbulkan ketakutan yang luar biasa terhadap beberapa anggota komunitas Sedulur Sikep. Namun, adanya intimidasi sebagaimana penuturan informan di atas tidak menyurutkan semangat perjuangan komunitas Sedulur Sikep untuk mempertahankan kelestarian Pegunungan Kendeng terhadap ancaman eksploitas PT Semen Gresik. Melalui wadah
200
perjuangan aliansi petani JMPPK, komunitas Sedulur Sikep juga semakin berani menyuarakan aspirasinya menolak rencana pembangunan pabrik semen dengan semakin sering melakukan aksi demonstrasinya ke Kantor Pemerintah Kabupaten Pati dan DPRD Kabupaten Pati. Atas situasi yang semakin tidak kondusif di Kabupaten Pati, akhirnya PT Semen Gresik (Tbk) menyatakan secara resmi mengundurkan diri dari rencana invetasi eksplorasi penambangan semen di Pegunungan Kendeng pada 11 Mei 2009. Meskipun PT Semen Gresik (Tbk) secara resmi membatalkan pengajuan proposal rencana pembangunan tambang semen di Pegunungan Kendeng karena situasi konflik antarwarga dan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati yang tak juga surut. Namun, ketegangan sosial politik di Kecamatan Sukolilo cukup membekas di kalangan komunitas Sedulur Sikep. Hal ini terjadi karena proses hukum terhadap sembilan orang komunitas Sedulur Sikep yang tergabung dalam JMPPK masih dilanjutkan dengan tuduhan merusak fasilitas mobil rombongan PT Semen Gresik (Tbk). (Idhom, 2009: 142 - 145). Kesembilan anggota JMPPK tersebut disidang selama 25 kali dengan menghadirkan 33 orang saksi dan berlangsung selama 5 bulan. Pada akhirnya, ke9 orang tersebut, dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Pati karena tidak ada alat bukti yang cukup untuk menahan mereka (wawancara dengan Gunretno, 12 Agustus 2012).
201
Usaha Pemerintah Daerah Kabupaten Pati untuk menarik investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Pati terus dilakukan. Hal itu dilakukan untuk alasan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Pati karena dengan hadirnya banyak investor yang menanamkan modalnya akan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pati. Kegagalan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati untuk menarik PT Semen Gresik membangun pabriknya di kawasan Pegunungan Kendeng tidak menyurutkan niat Pemerintah Daerah Kabupaten Pati untuk mendapatkan investor baru. Pada tahun 2010, PT Indocement berhasil diyakinkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pati agar membangun pabrik semen di Kabupaten Pati. Adapun rencana pembangunan tidak lagi di Kecamatan Sukolilo yang merupakan basis komunitas Sedulur Sikep, tetapi di Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo. Terdapat sepuluh desa di kedua kecamatan tersebut, yang akan dijadikan areal berdirinya pabrik Indocement. Hal ini memicu komunitas Sedulur Sikep di bawah botoh Gunretno (saat peristiwa ini, Tarno yang sebelumnya merupakan botoh Sedulur Sikep telah meninggal) untuk kembali menolak rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Indocement di kedua kecamatan tersebut. Berikut ini gambar 5.5 yang menunjukkan bentuk penolakan rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Indocement dengan cara memasang poster di pintu masuk Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati.
202
Gambar 5.5 Poster Menolak Berdirinya Pabrik Semen di Kecamatan Tambakromo (Dokumen: Eko, 2012)
Gambar 5.5 menunjukkan bahwa upaya komunitas Sedulur Sikep untuk mempertahankan kawasan Pegunungan Kendeng dari eksploitasi PT Indocement telah mendapat dukungan dari komunitas non-Sedulur Sikep. Sebagaimana penuturan Karno, berikut ini. ”Apa pun alasannya, pembangunan pabrik semen di Kawasan Pegunungan Kendeng akan merusak lingkungan. Kebetulan wilayah pembangunan pabrik tersebut, berada di Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo. Saya dan Sedulur Sikep merasa perlu untuk melarang pembangunan pabrik semen karena bahan bakunya tetap mengambil dari karst Pegunungan Kendeng. Itu sangat mengancam kerusakan lingkungan dan kehidupan petani yang sudah puluhan tahun bergantung pada sumber air dari Pegunungan Kendeng” (wawancara, 13 Agustus 2012).
203
Dari penuturan Karno, dapat dipahami bahwa para petani, baik dari komunitas Sedulur Sikep maupun non-Sedulur Sikep sangat bergantung pada sumber air di Pegunungan Kendeng. Kerusakan lingkungan Kendeng akan membahayakan kehidupan mereka. Oleh karena itu, adanya keinginan PT Indocement untuk membangun pabriknya di Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo, maka aliansi petani JMPPK yang awalnya dibentuk untuk menolak pembangunan Pabrik Semen Gresik di Kecamatan Sukolilo, selanjutnya bergerak membela petani di kedua kecamatan tersebut. Hal yang menarik adalah Ketua JMPPK, yaitu Gunretno yang sekaligus menjadi botoh Sedulur Sikep. Anggota JMPPK semakin banyak dengan masuknya tokoh-tokoh petani dari Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo. JMPPK berhasil meyakinkan hampir sebagian besar petani di kedua kecamatan tersebut. Sedikit berbeda situasinya, ketika JMPPK mengorganisasi massa petani di Kecamatan Sukolilo yang sebagian besar berasal dari komunitas Sedulur Sikep, di mana saat itu mereka sangat mudah untuk diatur dan mendukung penuh upaya menolak pabrik semen di Kecamatan Sukolilo. Di Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo, terdapat dua kepentingan yang berbeda. Di satu pihak, ada sebagian kecil petani (komunitas non-Sedulur Sikep) yang mendukung berdirinya PT Indocement. Namun, di pihak lain ada sebagian besar (komunitas non-Sedulur Sikep dan didukung komunitas Sedulur Sikep) menolak pembangunan pabrik semen oleh PT Indocement.
204
Sejak adanya rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Indocement di Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo pada tahun 2010 hingga saat ini (2012), intimidasi terhadap warga yang menolak rencana pembangunan pabrik semen, khususnya petani di kedua kecamatan tersebut, kembali terjadi sebagaimana penuturan Gunarti, tokoh wanita Sedulur Sikep dan anggota JMPPK. ”Bentuk intimidasi yang pernah saya rasakan terjadi pada sekitar bulan Oktober 2010. Saat itu, saya ke Dukuh Klening Kecamatan Tambakromo. Yang intinya mencari saudara (non-Sedulur Sikep, pen) untuk menanyakan apakah mereka sudah tahu adanya rencana pendirian pabrik semen oleh PT Indocement di Kecamatan Tambakromo? Di sana saya datang bersama tiga orang Sedulur Sikep. Di sana saya disambut warga, terutama ibu-ibu yang senang dengan kedatangan kami. Mereka umumnya mengutarakan bahwa sebenarnya warga Dukuh Klening Kecamatan Tambakromo tidak menyetujui rencana pendirian pabrik semen oleh PT Indocement di daerah itu, tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana cara melawan rencana tersebut. Saat itu, tidak berapa lama ada perangkat desa bernama Pak Wo yang datang dan memanggil Pak Wagiman yang punya mondokan (rumah) yang kita tempati pertemuan itu. Pak Wo menanyakan kepada Pak Wagiman, kok ramai-ramai dan ada orang luar (Sedulur Sikep, pen.) di sini, ada apa? Ini ada saudara datang dari Kecamatan Sukolilo. Aparat desa (Pak Wo) tersebut, memandang kami (Sedulur Sikep) dengan sikap aneh. Tidak berapa lama setelah aparat desa itu meninggalkan kami, pak lurah datang dengan baju dinas. Saat itu, pak lurah bertanya, kenapa ada pertemuan tidak dilaporkan, pertemuan lebih dari sepuluh orang harus dilaporkan kepadanya. Kalau tidak laporan, dianggap ada rapat gelap. Saat itu, memang sedang ramairamainya berita teroris di televisi. Pak lurah mengancam akan melaporkan pada polisi. Saat itu, warga ketakutan karena belum pernah mengalami ancaman seperti itu. Mereka merasa ini baru ada rencana tolak pabrik semen kok sudah ada situasi yang mengancam jiwa mereka, tetapi sebelum Pak Wo datang bersama pak lurah, saya sudah memberikan bekal kepada saudara-saudara (non-Sedulur Sikep) bahwa ada resiko yang akan kita hadapi karena kita melawan pemerintah. Jadi, kemungkinan akan ada intimidasi dari polisi ataupun tentara. Saat itu, ada beberapa warga yang ketakutan dan meninggalkan pertemuan. Tidak berapa lama, aparat muspika datang ke tempat pertemuan itu, setelah mendapat laporan dari pak lurah. Saya dan tiga orang Sedulur Sikep lainnya yang tergabung dalam JMPPK, ditanya-tanya oleh aparat keamanan tentang maksud kedatangan saya. Aparat sebenarnya tahu maksud kedatangan saya, karena mereka mengatakan kalau saya ini
205
kan yang biasa memimpin demo terkait rencana pabrik semen Gresik di Kecamatan Sukolilo. Aparat bilang kamukan aktivis? Saya jawab aktivis itu apa? Ketuanya JMPPK siapa? Saya menjawab semua ya ketua, buktinya kalo ada surat yang akan dikirimkan kepada Kapolres Pati ataupun aparat pemerintah daerah di Kabupaten Pati, siapa pun bisa tanda tangan. Tidak hanya ketua. Jadi, sebenarnya ada upaya untuk menangkap Ketua JMPPK karena dianggap dia yang mengatur semua ini, tetapi saya dan kawan-kawan mengatakan bahwa hal ini terjadi secara spontanitas. Saya menjawab intinya kedatangan saya ke saudara Tambakromo adalah persaudaraan” (wawancara, 15 September 2012). Dari penuturan Gunarti, dapat diketahui bahwa intimidasi terhadap warga yang menolak pembangunan pabrik semen di Kabupaten Pati masih terus belangsung. Tampaknya, Orde Reformasi yang menjadi tonggak masa reformasi politik dan seharusnya memberikan ruang kebebasan mengemukakan pendapat kepada rakyat, belum dilaksanakan. Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui UU No. 22, Tahun 1999, justru mengekang pencerahan dan kebebasan perpolitikan di tingkat daerah. Padahal, amanat reformasi adalah membangun ”Indonesia Baru” yang memungkinkan keterlibatan seluruh rakyat, termasuk di daerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menanggapi hal tersebut, Suparlan (Cholil, 2008: 141) menguraikan bahwa landasan masyarakat majemuk adalah multikultural yang merupakan ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dan kesederajatan, baik secara individu, kelompok, maupun kebudayaan. Intimidasi yang terus-menerus dilakukan oleh oknum aparat tidak menyurutkan niat aliansi petani yang tergabung di dalam JMPPK yang diketuai oleh Gunretno untuk memperjuangkan kelestarian alam, khususnya kawasan pegunungan Kendeng. Peranan dan pengaruh botoh Sedulur Sikep yang selama ini
206
dianggap jujur dan tulus dalam memperjuangkan kepentingan para petani, telah terbukti saat berhasil mengusir PT Semen Gresik dari Kecamatan Sukolilo. Oleh karena itu, kehadiran JMPPK di bawah pimpinan Gunretno mendapat dukungan penuh dari massa petani komunitas non-Sedulur Sikep di Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo. Hal ini terbukti dengan keberanian sebagian besar massa petani untuk melawan kehadiran PT Indocement dengan cara menyiapkan bambu runcing di depan rumah masing-masing serta menuliskan kalimat ”tolak semen” di pintu-pintu rumahnya, seperti gambar 5.6 berikut ini.
Gambar 5.6 Rumah Petani yang Menolak Berdirinya Pabrik Semen di Kecamatan Tambakromo (Dokumen: Eko, 2012)
Gambar 5.6 menunjukkan bahwa betapa kuatnya perlawanan yang dilakukan para petani untuk mempertahankan kelestarian Pegunungan Kendeng. Baginya, Pegunungan Kendeng telah menjadi sandaran kehidupan selama
207
bertahun-tahun. Oleh karena itu, mereka akan berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga Kawasan Kendeng walaupun harus mempertaruhkan nyawanya. Hal itu bisa dilihat pada simbol bambu runcing yang telah disiapkan di depan rumah mereka masing-masing, seperti penuturan Parman, tokoh petani nonSedulur Sikep dari Desa Karangawen Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, berikut ini. ”Rencana lokasi pabriknya tepat di lahan saya. Itu berarti saya disuruh pergi. Padahal, di tempat ini saya dilahirkan, dibesarkan, dan mencari nafkah sebagai petani. Itu kan sama dengan mengusir saya. Terus saya harus hidup di mana? Selama ini saya sudah merasa hidup berkecukupan sebagai petani. Saya siap dengan segala resiko, makanya saya siapkan bambu runcing di depan rumah. Sewaktu-waktu bisa digunakan untuk melawan. Dulu saja melawan Belanda bisa menang pakai bambu runcing, sekarang pun kita pasti menang walau pakai senjata bambu runcing melawan orang-orang ”semen” (wawancara, 13 Agustus 2012). Penuturan Parman di atas, juga mendapat dukungan dari Ngadio, petani non-Sedulur Sikep dari Dukuh Grasak Desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, sebagai berikut. ”Asap knalpot mobil saja bisa membikin tanaman rusak dan mati, apalagi kalau ada pabrik semen. Selama ini, kita sudah bisa makan dan hidup sejahtera walau tidak ada pabrik semen. Ya...kita akan terus melawan walau pun nyawa taruhannya, karena kita hidup sebagai petani, pekerjaan yang lain kita tidak bisa” (wawancara, 13 Agustus 2012). Apa yang disampaikan Ngadio di atas, menjadi bukti bahwa untuk mempertahankan kelestarian Kendeng, mereka siap bertaruh nyawa. Hal ini dilakukan karena kemandirian petani sangat bergantung pada kelestarian alam di Pegunungan Kendeng. Menanggapi uraian tersebut, Wallerstein (Sanderson, 2003: 251) menyatakan bahwa sudah selayaknya individu merebut kesempatan,
208
kemajuan, dan kemandirian. Salah satu masalah serius kelompok minoritas adalah pengingkaran atas hak-hak politiknya. Kehadiran Gunretno selaku Ketua JMPPK, bagi para petani di tempat rencana lokasi pendirian pabrik PT Indocement Kecamatan Tambakromo, yaitu Desa Karangawen, Desa Mojomulyo, Desa Tambakromo, dan Desa Larangan, dirasakan para petani sebagai dewa penyelamat. Setiap waktu, para petani melaporkan kepada Gunretno, terkait dengan intimidasi yang dialami oleh petani ataupun peristiwa terbaru lainnya yang berhubungan dengan kegiatan tolak semen di Kecamatan Tambakromo dan Kecamatan Kayen. Keanggotaan JMPPK yang semakin luas, tidak hanya berasal dari komunitas Sedulur Sikep, tetapi berasal dari seluruh kalangan petani di Kabupaten Pati. Oleh karena itu, oleh pihak-pihak yang bertentangan dengan JMPPK, mereka selalu mengadu domba, terutama terkait dengan keberadaan Ketua JMPPK, seperti penuturan Gunretno, berikut ini. ”Saya tahu, ada intel korem ”bermain” untuk memecah belah sedulursedulur yang tergabung di dalam JMPPK. Kalo melihat ketelatenan intel tersebut, ini sebenarnya sudah bukan kawasannya intel korem. Saya mendapatkan informasi dari komunitas Sedulur Sikep di Klopodhuwur Blora yang mengatakan kepada saya bahwa ada intel korem yang menjelek-jelekkan saya dengan mengatakan kepada Sedulur Sikep di Blora bahwa saya itu pekerjaannya di Kecamatan Sukolilo anarkis, menakut-nakuti para petani sehingga tidak mau ke sawah lagi. Pokoknya, Semen Gresik ada di tangan kanan dan Indocement ada di tangan kiri saya. Jadi tidaknya, pembangunan pabrik semen tergantung Gunretno. Ini bukti bahwa di mana pun jaringan saya, mereka mencoba merusaknya agar terpecah belah” (wawancara, 12 Agustus 2012).
209
Akhir-akhir ini, intimidasi, teror, dan hasutan untuk memecah belah JMPPK semakin menguat. Hal ini terjadi karena pimpinan JMPPK adalah botoh Sedulur Sikep sehingga muncul dugaan pada sesama anggota JMPPK dan para petani di Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo bahwa kehadiran Gunretno sebagai pemimpin JMPPK, sekaligus sebagai botoh Sedulur Sikep di dalam membela petani di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, semata-mata adalah untuk
membela kepentingan Sedulur Sikep. Hal ini sejalan dengan pendapat
Husaini (2009: 9) bahwa untuk menghancurkan sebuah komunitas akan lebih mudah dilakukan dengan cara mengadu domba antaranggota komunitas tersebut. Paparan di atas menunjukkan bahwa kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengeksploitasi kawasan Pegunungan Kendeng harus dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Pati, khususnya komunitas Sedulur Sikep. Penguasaan atau hegemoni yang dijalankan oleh pemerintah selalu menggunakan model penjajahan atau kolonialisme. Oleh karena itu, ketika pemerintah baru muncul, maka kelas penguasa akan mempraktikkan cara-cara khas kolonial untuk memaksa komunitas Sedulur Sikep agar tunduk kepada kekuasaan penguasa. Sebagaimana pendapat Gramsci bahwa kelas penguasa bersamaan menjalankan kekuasaannya dengan pemerintah. Sinergi antara kedua pusat kekuasaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian penting dari hegemoni modern.