BAB IV ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN RAJA MOHAMMAD DATUNGSOLANG DI BINTAUNA TAHUN 1900-1948 4.1 Tinjauan Singkat Sejarah Bintauna 4.1.1 Asal Nama Kerajaan Bintauna Bahasa daerah Bintauna Huntuk barasal dari kata Huntuo diambil dari kata “Puntuo” artinya suatu benda yang terletak di atas benda lain atau topi kecil yang terletak di atas kepala yang besar dalam hal ini, tempat yang terletak di atas punggung gunung sehingga kelihatannya lebih tinggi dari tempat yang lain. Sedangkan kata Bintauna (Vintauna) berasal dari dua suku kata, Vinta dan Una. Vinta yang berarti bintang dan una (Ouna-Una) yang berarti terdahulu. Sehingga kata Vintauna dapat diartikan bintang yang lebih dahulu. Seirama dengan pendapat di atas, Mokodenseho, (2003 :3) berpendapat bahwa : kata Vintauna berasal dari panggilan istri dan suami, Vai Vaunia dan Pai Sahaya yakni sepasang manusia yang pertama mendiami negeri Huntuo. Bila suami Sahaya memanggil istrinya Vinta (istri), sedangkan istri memanggil suaminya Una (terdahulu). Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Bintauna merupakan suatu daerah yang berada di dataran tinggi yang berbentuk bukit sehingga dapat terlihat dari kejauhan.
34
35
4.1.2 Status Kerajaan Bintauna Perjalanan sejarah Bintauna melepaskan diri dari kerajaan Bone-Suwawa dan membentuk kerajaan sendiri dengan nama Vintauna, mungkin ini yang dimaksud oleh Apriyanto pada kalimat di atas membentuk satu kesatuan berdasarkan ikatan geneologis, tata pemerintahan tradisional, politik dan budaya. C.P. Mokodenseho, (2003 : 9-10) berpendapat bahwa ketika berubah menjadi status kerajaan yang berdiri sendiri, mula-mula Bintauna terdiri dari dua kelompok masyarakat yang masing- masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri dan memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda. Kelompok pertama adalah masyarakat yang berada di bagian utara penyembah pohon, batu dan lain- lain yang disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Sedangkan kelompok kedua yaitu masyarakat bagian selatan yang beragama Islam . Alasan inilah yang menjadi penyebab sehingga kelompok bagian selatan yang beragama Islam memisahkan diri dari kerajaan Bintauna dan bergabung kembali dengan kerajaan Bone-Suwawa di Gorontalo pada tahun 1673. Kalau demikian jelas apa yang dikatakan oleh Kuno Kaluku, (1965 : 6) bahwa: di sebelah timur Gorontalo terdapat negeri Bawangijo yang tergabung dalam pohalaa Suwawa yang dihuni oleh beberapa kelompok manusia. Oleh suatu sebab yang tidak jelas beberapa dari kelompok ini berpindah ke bagian timur laut dan dapat berhubungan dengan kerajaan Bintauna. Pendapat di atas amat jelas jika dilihat dalam peta sama seperti apa yang dikatakan Mokodenseho tentang kelompok agama Islam bagian selatan yang melepaskan diri dari kerajaan Bintauna dan bergabung dengan kerajaan Bone-
36
Suwawa di Gorontalo. Selanjutnya kerajaan Bintauna yang berkembang adalah sebagian penduduk yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Masuknya agama Kristen dari Ambon pada akhir abad ke-17 (1680) sebagian penduduk memeluk agama Kristen Khatolik, walaupun sebelumnya pada pertengahan abad ke-16 masyarakat sudah memeluk agama Islam , namun penduduk tersebut melepaskan diri dari kerajaan Bintauna seperti yang telah dikemukakan di atas. Masuknya para pedagang Bugis yang membawa barang dagangannya pada tahun 1700 sebagian penduduk masuk Islam dan nanti pada tahun 1783 pada masa kepemimpinan raja ke-3 yakni Patilima Datunsolang yang dinobatkan di Ternate Islam menjadi agama kerajaan. Menurut B.J. Haga pada masa VOC tahun 1890 Bintauna masuk dalam wilayah pemerintahan afdeling Gorontalo, sebab Bintauna merupakan satu Marsaoleh-scap yakni wilayah pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Marsaoleh ulea dari kerajaan Bone-Suwawa (1981 : 14)). Masuknya kerajaan Bintauna ke wilayah pemerintahan afdeling Gorontalo terjadi pada masa kepemimpinan raja ke-7 yakni Serail Datunsolang 1884-1893. Namun demikian, kerajaan Bintauna yang dimasukkan pada wilayah Afdeling Gorontalo tetap melaksanakan sistem pemerintahan kerajaan sebab belum adanya perjanjian baru tetapi tetap mengacu pada Korte Volklaring dimasa pemerintahan Raja Elias Datunsolang sebagai raja ke-5 tertanggal 24-9-1857 yang disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22-02-1858 (Depdikbud Proyek Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara, 1978/1979 : 27).
37
Lain halnya dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Gorontalo kekuasaan dimantapkan sebagai akibat kemenangan Hindia Belanda dalam perang Panipi pada tahun 1873. Dengan demikian mulai tahun 1886 praktis di daerah Gorontalo langsung berada dibawah kekuasaan Belanda, sehingga secara resmi kekuasaan raja-raja diakhiri dengan beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 17 April 1889 (Depdikbud Proyek Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara, 1978/1979 : 27). Kembali ke pembahasan kerajaan Bintauna. Jelaslah bahwa di kerajaankerajaan yang ada di Bolaang Mongondow terutama Bintauna masih tetap menjalankan sistem pemerintahan kerajaan, karena penghapusan swapraja di kerajaan-kerajaan Bolaang Mongondow seperti kerajaan Bintauna, kerajaan Kaidipang besar yaitu hasil gabungan dari kerajaan Kaidipang dan Bolangitang, kerajaan Bolaang Uki dan kerajaan Mongondow. Dari semua sumber yang ditemukan nanti diakhiri pada bulan Juli tahun 1950. Sebenarnya sejak berdirinya kerajaan Bintauna tidak mencakup wilayah pesisir pantai laut Sulawesi, tetapi menguasai wilayah pedalaman, seperti wilayah bagian selatan kecamatan Sangtombolang (sekarang kecamatan Sangkub), bagian barat kecamatan Dumoga dan bagian pedalaman kecamatan Bintauna sekarang. Sebagai awal pemerintahan Gubermen Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya di Bolaang Mongondow pada tahun 1901, diadakan penertiban batas-batas wilayah antara satu kerajaan dengan kerajaan lain, walaupun belum jelas batas-batasnya, namun setiap kerajaan memiliki daerah kekuasaan masingmasing.
38
Pada tahun 1905, dilakukan kontrak sifat batas-batas wilayah kerajaan Bintauna sebagai berikut: 1). Mencakup laut Sulawesi di sebelah utara, Kerajaan Bolaang Mongondow sebelah timur, Afdeling Gorontalo sebelah selatan dan Kerajaan Bolangitang di sungai Biontong (Bunongoditi/Gulantu) di sebelah Barat, Mokodenseho (dalam S.K Datunsolang, 1996:134). Untuk itu kerajaan Bintauna harus melepaskan distrik Doloduo ke kerajaan Mongondow, sebagai penggantinya, wilayah Mongondow yang berada di pesisir pantai desa Batulintik (sekarang menjadi salah satu desa di kecamatan Bintauna), diserahkan pada kerajaan Bintauna. Setelah terjadi penggantian wilayah tahun 1905, penduduk kerajaan Bintauna yang sudah berabad-abad lamanya bermukim di daerah pedalaman di tepi sungai Sangkub pindah ke pesisir utara Minanga yang sekarang menjadi desa Bintauna Pantai. Di Minanga, terbentuklah perkampungan karena ancaman buaya dan pesatnya penduduk, pada tahun 1913 sebagian penduduk ditempatkan di Vunia (tempat persembunyian) sekarang desa Bunia yang berdekatan dengan perkampungan orang Mongondow di desa Batulintik seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya. Untuk memperluas wilayah kerajaan 1914 sebagian besar penduduk di pindahkan ke bagian barat desa Pimpi yang dijadikan pusat kerajaan dan didirikan Komalig (singgasana raja) pada saat itu telah memiliki sembilan desa dan sekarang menjadi ibukota kecamatan. Sementara desa Mome berdiri pada zaman Jepang (Kolonisasi Siau). Tetapi ketika terjadi perpindahan penduduk dari Minanga ke Pimpi, sebuah desa Bagugula diganti nama menjadi Bintauna.
39
Realitas sejarah di atas menunjukkan bahwa sejak awal mulainya nilai persatuan, kesatuan, permusyawaratan dan demokrasi telah hidup dalam tata sosial masyarakat Bintauna. Memang belum demokrasi murni karena masih terbatas antara maharaja dengan para bangsawan, tapi setidaknya nilai tersebut sudah dibuktikan dalam kinerja awal. Hal serupa juga terjadi pada pengangkatan raja pertama yaitu Tamungku, namun dibunuh pada saat penobatan menjadi raja karena banyak melanggar susila. Betapa beratnya konsekuensi yang harus diterima oleh seorang yang melanggar aturan susila, bahkan rajapun harus dibunuh demi menegakkan hukum yang ada. Namun kepemimpinan Tamungku ini penulis tidak masukan dalam dimensi pemerintahan raja-raja dan dijadikan tolak ukur berdirinya kerajaan Bintauna sebab tidak sempat menata sitem pemerintahan yang baru di kerajaan Bintauna, sehingga penulis mengambil patokan pada raja Lepeo Mooreteo sebagai awal terbentuknya kerajaan Binta una pada abad ke- 17. Sejak Lepeo Mooreteo menjadi raja Bintauna, maka mulailah berlaku sistem pemerintahan kerajaan Bintauna, walaupun sebelumnya ada raja yang diangkat melalui hasil musyawarah oleh masyarakat, para Sakurango dan tua-tua adat, namun tidak sempat menata sistem pemerintahan kerajaan seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya. 4.1.3 Dimensi Pemerintahan Raja-raja Setelah berakhirnya pemerintahan Sakurango pada awal abad ke-17 tahun 1600, Bintauna mulai memasuki zaman raja-raja. Sebenarnya sejak masa Sakurango Movihe dan Royanda munculnya embrio sistem pemerintahan kerajaan
40
Bintauna yang diawali dengan dipeloporinya untuk mengangkat Ohongia atau raja tertinggi di kerajaan Bintauna. Dimana diangkatnya raja Tamungku sebagai hasil musyawarah antara para Sakurango dan tua-tua adat. Oleh karena Tamungku banyak melanggar norma-norma yang sudah menjadi ketentuan adat, maka dibunuh pada saat di Duwiyo (penobatan sebagai raja). Ini merupakan bagian dari wujud percobaan demokrasi. Terbunuhnya
Tamungku
sebagai raja
Bintauna,
maka
terjadilah
kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Oleh karena itu, Bintauna dipimpin kembali oleh para Sakurango dan tua-tua adat. Sistem pemerintahan ini baru dimantapkan oleh raja yang terpilih berikutnya, yakni Lepeo Mooreteo. Adapun dimensi raja-raja Bintauna yang pernah memimpin kerajaan Bintauna adalah sebagai berikut : 1. Raja lepeo Mooreteo + 1675-1720 Dari perbandingan beberapa sumber yang ada dapat dipastikan raja Mooreteo memimpin sekitar tahun 1675-1720. Pada masa pemerintahannya negeri Bintauna bertempat di Raminanga. Menurut C.P Mokodenseho, Lepeo Mooreteo atau Mokoditek merupakan anak dari putrid Tendeno yang dinikahi Bilotohe anak dari kerajaan Limboto, sedangkan Loini anak dari putrid Tendeno dan Makasumba dari kerajaan Suwawa dan Tendeno adalah putri yang berasal dari kerajaan Bintauna yang melarikan diri sejak kakaknya Tamungku dibunuh (2003 : 7 dan 16). Jika melihat dari silsilah yang ada raja Lepeo Mooreteo memeluk agama Islam , namun ini masih diragukan sebab kerajaan Bintauna yang berkembang
41
selanjutnya adalah kelompok masyarakat yang memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Namun kesimpulan yang bisa diperoleh, raja Mooreteo pemeluk agama Kristen Khatolik sebab jika dikaitkan dengan kerajaan di Gorontalo dan Limboto pada tahun 1678 pendeta Kristen meminta izin kepada raja Iskandar Bija dan Jogugu Isnain dari Limboto supaya rakyat menerima agama Kristen namun ditolak, sehingga raja Iskandar Bija dibuang ke Srilanka sedangkan Jo gugu Isnain dibuang ke Tanjung Pengharapan Afrika (Depdikbud, Proyek Penelitian dan Perencanaan Kebudayaan daerah Sulawesi Utara 1978/1979 : 45). Hal tersebut di atas tidak menutup kemungkinan pendeta-pendeta ini dating menyebarkan agama Kristen Khatolik ke kerajaan Bintauna. Hal ini bisa dibuktikkan dengan adanya kuburan seorang pendeta dari Ambon yang bernama Talahuta yang kuburannya berdekatan dengan raja Mooreteo. Pada masa pemerintahan raja Lepeo Mooreteo terjadi pembentukkan struktur kemasyarakatatan, sedangkan bentuk penyapaan anak cucu Ohongia biasa disapa dengan kata Avo dan Vua. Setelah meninggalnya raja Lepeo Mooreteo, maka yang menggantikan tahta kerajaan adalah anaknya yang bernama Datu. 2. Raja Datu 1720-1783 Sesudah raja Mooreyeo wafat, digantikan anaknya Datu, karena Datu diangkat menjadi raja maka rakyat saat itu mengatakan Datu rono solako dalam arti Datu sudah besar dalam hal ini menjadi raja. Sebutan tersebut telah melekat pada raja dan berubah menjadi Datunsolang sehingga raja-raja berikutnya telah telah memakai julukan tersebut sebagai marga keturunanya. Pada masa
42
kepemimpinanya negeri dipindahkan dari Raminamga ke Lasako, sampai beliu wafat pada tahun 1783 dan dimakamkan ditempat tersebut. 3. Raja Patilima Datunsolang Sesudah raja Datu meninggal, maka yang diangkat menjadi raja adalah Abo Bolakia, namun beliau melakukan pelanggaran disaat diadakan tarian kaibu masuk Abo Lahai dengan mengendarai kuda dan salah satu pakaian putri penari terinjak kuda, maka saat itu juga tua-tua adat melakukan pemogokan yang disebut Wumempe Lipu. Ditangkaplah Abo Lahai dan dibuang ke Ambon sampai meninggal disana. Dengan demikian diangkatlah Abo Patilima Datunsolang sebagai raja pada tahun 1783, raja Patilima membawa seperangkat kulintang, tombak, dan paying dari Ambon yang sekarang masih tersimpan pada keluarganya. 1. Raja Salmon Datunsolang Menggantikan raja Patilima adalah raja Salmon. Masa pemerintahannya negeri Bintauna dari Raminanga dipindahkan ke suatu tempat yang bernama Voaa sampai ia meninggal dan dimakamkan ditempat itu pada tahun 1857. 2. Raja Eliyas Datunsolang Yang menggantikan raja Salmon adalah adik kandungnya Eliyas Datunsolang yang dinobatkan pada tanggal 24 September 1857 Kedudukan pemerintahan dipindahkan ke negeri Pangkusa. 3. Raja Toraju Datunsolang I Setelah raja Eliyas meninggal dunia maka yang diangkat sebagai raja adalah Toraju Datunsolang, anak dari raja Salmon Datunsolang dan karena
43
umurnya sudah lanjut usia, maka beliau mengundurkan diri pada tahun 1884 dan dingangkat raja baru yang bernama Israi Datunsolang. 4. Raja Israil Datunsolang Beliau diangkat pada tahun 1884-1893. Raja Israil adalah anak dari raja Eliyas Datunsolang. Beliau wafat pada saat membaca al-qur’an, dimana ia memuntahkan darah dan seketika juga menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 1893. 5. Raja Toraju Datunsolang II Status yang menggantikan raja Israil Datunsolang adalah raja Toraju Datunsolang yang menjabat kedua kalinya dari tahun 1893-1895. Beliau meninggal pada tahun 1896. 6. Raja Mohammad Datunsolang Pewaris tahta kerajaan saat Toraju wafat adalah Mohammad Datunsolang. Beliau diangkat menjadi raja dari tahun 1895-1948. Penobatan raja Mohammad Datunsolang pada tanggal 1 Juli 1896. Dan pada tanggal 1 Juli 1948 menyerahkan jabatannya kepada Abo Jan Rasid Datunsolang. Beliau meninggal dunia pada bulan Februari 1950 dan dimakamkan di Pimpi bersama permaisuri Vua Mosolako. Dalam pemerintahan beliau banyak berbuat untuk kesejahteraan rakyat Bintauna.
44
4.2 Islam Pada Masa Pemerintahan Raja Mohammad Datungsolang di Bintauna Tahun 1900-1948 Pada masa pemerintahan Raja Mohamad Datungsolang periode 1900-1948 sudah banyak masyarakat yang beragama Islam . Dan berbagai macam Adat istiadat di adakan secara ajaran Islam . Misalkan, prosesi adat istiadat perkawinan hal ini di lakukan seperti anjuran dalam Islam . pertama peminangan. Peminangan artinya pertemuan pertama dari kedua orang tua laki- laki dan orang tua perempuan yang difasilitasi oleh lembaga adat dengan maksud memohon kepada orang tua perempuan dimana seorang anak perempuan dimohon dan diminta kiranya mendapat persetujuan/diterima untuk dinikahi oleh seorang laki- laki, pada saat itu orang tua dan lembaga adat dari pihak laki- laki belum mendapat jawaban dengan alasan mesih menanyakan kepada seorang perempuan dimana merek a sudah ada saling hubungan cinta. Nanti selang beberapa hari kemudian dari pihak mempelai perempuan menyampaikan kabar kepada orang tua pihak laki- laki bahwa sudah mendapat jalan yang baik untuk ditempuh. Maka orang tua dari pihak laki- laki bersama orang tua adat mendatangi rumah dari orang tua ihak perempuan untuk mnesyukurinya dimana peminangan sudah diterima. ( Wawancara, H. JS. Datungsolang. 12 Juli 2013 ) Prosesi adat istiadat pada enyelenggaraan syariat dan adat istiadat pada peristiwa kematian. Hal ini juga dilaksanakan sesuai anjuran dalam Islam . Pada setiap kematian kita diwajibkan untuk melaksanakan fardu kifayah, seperti memandikan,
mengkafankan,
menyelatkan,
dan
mengkuburkan.
Setelah
dikuburkan dibacakan talqin dan tahlilan. Adapun pembacaan tahlilan dari hari pertama sampai keseratus hari merupakan kebiasaan sejak dari dulu kemudian
45
dipraktekan oleh para ulama bagi keluarga berduka, pelaksanaannya biasanya dihari pertama sampai hari keseratus. ( Wawancara, Zulkifli. Datungsolang. 02 Agustus 2013 ). Kemudian melaksanakan adat istiadat pada pprosesi hari- hari besar agama. Bagi masyarakat bintauna yang mayoritasnya beragama Islam dalam pengalaman syariatnya dan hari- hari besar Islam juga ditemukan prosesi adat pada setiap pelaksanaannya sebagai berikut. 1) Hari Raya Idul Fitri Dan Idul Adha. 2) Maulid Nabi dan Isra Mi’raj. Prosesi Adat Istiadat Pada Aqikah dan gunting rambut. Bagian ini juga dilaksanakan oleh masyarakat Bintauna yang beragama Islam . Maka dapat disimpulkan bahwa Islam Pada masa pemerintahan Raja Mohamad Datungsolang sebagian besar mayoritasnya sudah Islam . ( Wawancara, Zulkifli. Datungsolang. 02 Agustus 2013 ) Berdasarkan hasil wawancara, H. JS. Datungsolang. (27 Agustus 2013 ) menjelaskan bahwa agama yang di anut oleh masyarakat Bintauna pada masa pemerintahan Raja Mohamad Datungsolang periode 1900-1948 ialah agama Islam . Dalam pemerintahan Raja yang ke III yaitu Raja Patilima Datunsolang sampai pada pemerintahan Raja M.T Datunsolang bersendikan pada adat ajaran Agama Islam , sehingga selai hukum adat juga hukum Islam berlaku dan dijalankan dalam pemerintahan, sehingga tata cara keagamaan Islam banyak terdapat dan mempengaruhi tata cara kehidupan masyarakat sehingga di angkat pejabat-pejabat dalam menjalankan hukum dan syara. Agama Islam membantu Raja seperti:
46
1. Kadi/ Kali adalah Pemegan Hukum dan Sya’ra. 2. Hakim adalah Mengadili masyarakat yang melanggar hokum Islam dan memberikan sangsi – sangsi yang sesuai dengan ajaran Agama Islam disamping hukum Adat. 3. Imam adalah menjadi ikutan dan panutan dalam agama, terutama menjalankan peraturan dan tata tertib serta tata krama dalam agama Islam dalam wilayah Desa,dan merupakan pembawa Jemaah dalam sembahyang berjamaah. Imam juga menjalankan tugas tugas seperti: a.
Mengurus Soal Kawin Mawin
b.
Mengurus kematian dan kelahiran dalam desa.
4. Hatib adalah Pemberi Hotbah dalam acara keagamaan 5. Bilal adalah Pembawa Adzan 6. Saradaa adalah Penjaga Mesjid Hatib, Bilal dan Saradaa adalah pembantu imam dalam menjalankan tugas sehari – hari dalam desa. Imam juga bertanggung jawab kepada Hakim dan Kadi. Hakim dan Kadi bertanggung jawab kepada raja karena raja adalah sebagai khalifah dalam menjalankan ajaran agama Islam . Berdasarkan hasil wawancara, H. JS. Datungsolang. (27 Agustus 2013 ) Kadi/Kali yang di jabat terakhir oleh M.S Datunsolang yang meninggal tahun 1927, tapi sesudah Kadi tersebut tidak diangkat lagi Kadi, jadi beliau almarhum Kadi M.S Datunsolang adalah Kadi yang terakhir di kerajaan Bintauna.Sesudah Kadi meninggal diangkat Hakim Djakaria tapi hakim Djakaria ini tidak lama memegang jabatan dan ada tahun 1945 di angkat hakim C.P Mokondenseho sesudah beliau berhenti dari jabatan jurutulis
47
kerajaan Bintauna. Hakim C.P Mokodenseho menjalankan tugasnya sampai pada tahun 1953 yang di gantikan oelh wali Hakim H.M Datunsolang karena hakim tidak dapat menjalankan tugas, dan wakim hakim yang menjalankan tugas sehari – hari dan Wakil Hakim bertanggung jawab kepada Hakim mengenai hukum dan wali hakim bertanggung jawan sebagai atasan langsung. Tugas Wali Hakim ini di hapuskan dengan adanya Kepala Kantor Urusan Agama di Kecamatan. Raja M.T Datunsolang sangat memperhatikan ajaran Agama Islam sehingga pada tahun 1925 di bangun Mesjid di Kerajaan Bintauna sebagai Lambang Kebesaran Ajaran Islam tempat rakyat dan Pemimpin menyerahkan diri pada Khaliknya serta mendengarkan Khotbah dan Dakwah yang diajarkan langsung oleh Rajanya sesudah usai sembanhyang Jum’at. Mesjid yang di bangun itu ialah mesjid Jami yang terletak di desa Padang, dewasa ini merupakan bukti sejarah agama Islam di kerajaaan Bintauna dan juga merupakan peninggalan buah tangan beliau dan masyarakat Bintauna.Untuk menanamkan ajaran Islam
itu
maka di desa di dirikan taman pengajian di rumah rumah kepala agama yang di koordinir oleh Kadi dan Hakim di bawah pengawasan Khalifah. Selain itu Raja mengajarkan kebudayaan Islam seperti zikir dan buruda serta harda. Zikir di selengarakan pada Hair Maulid Nabi Muhammad SAW dan hari hari lain yang dianggap baik memainkan Buruda dan Hadra
dimainkan pada saat pesta
perkawinan untuk mengiring pengantin Pria menuju rumah pengantin Wanita. Raja dalam pimpinan Agama dalah Khalifah sehinga oleh rakyat beliau diberi gelar (Ohongia Alimu) Raja Alim). Meskipun Raja memeluk Agama Islam beliau
48
pula tidak lupa pada adanya Agama lain di kerajaan Bintauna, seperti Agama Kristen yang di peluk oleh penduduk desa Huntuk. Penduduk desa Huntuk sesudah negeri Bintauna berada di desa pimpi maka Raja memintahkan supaya masyarakat Huntuk dapat di pindahkan kesuatu tempat kesuatu tempat yang bernama Lamongo, dan diangkat seorang kepala desa atau Sangadi yang bernama Atuluma.Sangadi ini disamping seorang kepala desa adalah seorang imam untuk mengajarkan agama Islam kepada penduduk desa Huntuk, tapi masarakat Huntuk tidak dapat meninggalkan makanan mereka ialah Binatang babi, maka merekamelarikan diri kehutan , kemudian nanti di bujuk kembali baru pulang kekampung kembali, Tapi mereka sudh di pindahkan ke Desa Huntuk sekarang ini. Penerapan hukum Islam
semakin digalakkan di lingkungan Kerajaan
Bintauna pada masa pemerintahan Raja M.T Datunsolang. Diakui atau tidak, ajaran Islam telah turut mewarnai kebudayaan dalam sendi-sendi kehidupan warga Bintauna. Namun, sejauh ini penyebab mengapa nama- nama raja Bolaang Mongondow termasuk kerajaan Bintauna yang memeluk agama Islam bernuansa Eropa (Nasrani) masih belum terungkap .
masih