Bab III Teori Dasar III.1 Sistem Panas Bumi Pada dasarnya di seluruh permukaan bumi memiliki energi panas bumi, namun besar dan jumlahnya tidak selalu sama. Di beberapa tempat yang berhubungan dengan daerah magmatik, dekat dengan sumber panas biasanya akan memiliki gradien panas bumi yang menunjukkan nilai anomali. Sumber dari energi panas bumi berasal dari inti bumi yang dalam evolusinya mengalami diferensiasi magma, batuan akan mengalami proses peluruhan maupun pencampuran dan asimilasi sehingga tiap–tiap magma memiliki nilai densitas yang berbeda-beda. Nilai densitas magma yang lebih rendah akan bergerak menuju permukaan dan dalam perjalanannya akan berinteraksi dengan magma lain dan bisa memanaskan batuan dan air disekitarnya.
Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai sumber panas adalah aktivitas vulkanik kuarter berupa panas yang tersimpan pada dapur magma kerucut gunungapi atau pada batuan intrusi muda yang ditunjang oleh aktifitas panas dari kegiatan tektonik kuat seperti pada pembentukan pull a part basin.
Sistem panas bumi dapat diklasifikasikan berdasarkan geologi, hidrologi dan karakteristik transfer panasnya (Rybach dan Muffler, 1981), salah satunya adalah sistem vulkanik hidrotermal. Sistem ini umumnya terdapat pada daerah gunungapi strato aktif atau tidak aktif. Dalam sistem ini memungkinkan terbentuknya intrusi dangkal sampai 1 km, dengan kedalaman reservoir < 1,5 km. Fluida dari air magmatik naik secara vertikal dan memungkinkan mengalir secara lateral sampai 20 km tergantung topografi dan hidrologinya. (Gambar III.1.).
21
Gambar III.1. Model konsep sistem vulkanik-hidrotermal yang berasosiasi dengan manifestasi permukaan (Lawless et al. 1995)
Pembagian klasifikasi sistem panas bumi berdasarkan temperatur reservoir pada kedalaman sekitar 1 km dibagi menjadi tiga, yaitu sistem temperatur tinggi, menengah dan rendah. Sistem temperatur tinggi dinyatakan pada temperatur reservoir > 225 °C, temperatur menengah 125 - 225°C dan temperatur rendah pada kondisi temperatur < 125°C (Hochstein dan Browne, 2000).
Sistem temperatur tinggi biasanya berasosiasi dengan pusat gunungapi maupun pendinginan batuan plutonik. Berdasarkan bentuk lerengnya, model sistem panas bumi temperatur tinggi dibagi lagi menjadi model elevasi tinggi dan model elevasi sedang-datar. Pada model sistem panas bumi daerah elevasi tinggi, sumber panas yang terbentuk berasosiasi pada pusat gunungapi, pluton atau lempeng kolisi. Model untuk di daerah elevasi sedang-datar (Gambar III.2.) sumber panasnya berasal dari batuan kerak bumi yang panas dan penyebarannya luas, bentuk morfologi mengelilingi sistem panas bumi dan tidak curam dengan ciri terbentuk kerucut vulkanik muda yang berada di tepi reservoir panas bumi. Model lainnya adalah sumber panas yang berasal dari batuan beku dalam yang telah mengalami pendinginan sebagai hasil subduksi tua dengan reservoir dari batuan sedimen sampai metamorf derajat rendah. Biasanya posisi model ini berada agak jauh dari zona subduksi saat ini (Hochstein dan Browne, 2000).
22
Gambar III.2. Model sistem dominasi air pada morfologi relatif datar (Hochstein dan Browne, 2000 )
Dengan membandingkan kedalaman penetrasi air meteorik, akumulasi panas, dan intensitas permeabilitas yang dibentuk oleh struktur serta daerah resapan yang baik maka sistem temperatur tinggi dibagi menjadi tiga, yaitu sistem dominasi air, sistem dua fasa dan sistem dominasi uap. Sistem dominasi air dicirikan dengan permeabilitas yang sedang, daerah resapan yang baik dan naiknya fluida panas menyisakan fase air. Bila terbentuk permeabilitas yang sangat rendah pada daerah resapan maka akan terbentuk sistem dominasi uap pada bagian reservoir. Bila suplai resapan jauh dengan permeabilitas yang rendah, fluida yang naik akan bercampur antara dominasi uap dan dominasi air.
III.1.1 Manifestasi Panas Bumi Manifestasi panas bumi merupakan gejala kenampakan di permukaan yang berkaitan dengan sistem panas bumi. Pada sistem panas bumi konvektif akan terjadi sirkulasi fluida dari daerah resapan yang masuk ke dalam reservoir. Setelah mengalami proses pemanasan sebagian fluida tersebut ada yang terlarut dan bereaksi dengan batuan sekitar, terbentuk alterasi batuan dan mineral ubahan. Terjadinya perubahan kesetimbangan membentuk mineral yang terdeposisi dalam
23
bentuk urat-urat. Bila terbentuk suatu zona rekahan ataupun terjadi indikasi struktur geologi baik dalam bentuk sesar atau rekahan hingga kepermukaan maka fluida / gas tersebut akan naik melalui celah-celah struktur dan keluar dalam bentuk mata air panas, fumarol, solfatar, tanah panas, lumpur panas.
III.2 Sistem Hidrotermal Sistem hidrotermal adalah suatu sistem panas bumi dimana transfer panas berasal dari sisa pendinginan batuan plutonik yang mengalir ke permukaan secara konveksi dengan mengikutsertakan fluida meteorik dengan/ tanpa fluida magmatik. Fluida dari daerah discharge yang berada atau dekat dengan permukaan akan diisi ulang oleh air meteorik yang diperoleh dari daerah resapan (Hochstein and Browne, 2000). Dengan kata lain proses hidrotermal adalah suatu tipe sistem panas bumi yang melibatkan tubuh intrusif (plutonik) atau aktivitas magmatik sebagai sumber panas sehingga terbentuk transfer/ perpindahan panas dalam bentuk konduktif pada batuan sekitarnya dan konvektif pada larutan air panas baik yang bisa berasal dari magmatik ataupun dari air meteorik yang meresap melalui daerah resapan. Interaksi antara fluida dengan batuan induk tersebut dapat melarutkan unsur-unsur kimia dan membawa unsur-unsur berharga yang kemudian diendapkan pada temperatur yang lebih rendah. Sebagian besar dari cebakan mineral yang ada, berasal dari proses hidrotermal seperti ini. Pembentukan sistem hidrotermal harus berpedoman kepada beberapa aspek, seperti adanya sumber panas, batuan pembawa (host rock), fluida dari daerah resapan dan transfer panas yang naik ke permukaan.
Aktivitas hidrotermal sangat erat kaitannya dengan mineralisasi. Fosil dari sistem hidrotermal dikenal sebagai endapan-endapan bijih yang cukup berpotensi dan memiliki nilai ekonomis. Pembentukan cebakan pada bagian yang lebih dangkal biasanya dikenal sebagai endapan epitermal dan pada bagian yang lebih dalam dikenal sebagai sistem porfiri. Energi panas bumi merupakan refleksi dari pembentukan sistem hidrotermal yang masih berlangsung hingga saat ini. (Deflin et al., 1996)
24
Endapan mineral yang berhubungan dengan vulkanisme akan terbentuk secara langsung akibat saturasi fluida magmatik dalam bentuk volatile atau dari air tanah panas yang mengalami sirkulasi dalam sistem magmatik – hidrotermal. Faktor lingkungan tektonik juga mempengaruhi pembentukan endapan bijih di daerah vulkanik.
III.3 Sistem Epitermal Pembentukan sistem panas bumi biasanya dihubungkan dengan tipe mineralisasi epitermal (Gambar III.3.). Sistem epitermal diidentifikasi memiliki nilai temperatur yang berkisar pada derajat menengah (<340 °C). Sistem epitermal umumnya berhubungan dengan batuan pembawa dari aktivitas vulkanik-plutonik yang dikenali dengan munculnya kalsedon kuarsa dengan butiran halus, kalsit, pseudomorf kuarsa yang kemungkinan mengindikasikan terjadinya titik didih fluida, dan breksi hidrotermal (Hedenquist et al., 1996). Tekstur bijih berupa pengisian, crustiform, colloform banding dan struktur comb. Endapan yang terbentuk berada sekitar 1,5 km di bawah permukaan berbentuk urat, stockwork dan dissemenasi sulfida rendah (low sulfidation) dan sulfida tinggi (high sulfidation). Fluida yang mempengaruhi sistem sulfida rendah umumnya terbentuk pada pH yang bersifat netral/ mendekati netral, dominasi air dengan pencampuran air meteorik, walaupun terkadang gas magmatik juga muncul seperti CO2, SO2 dan HCl (Gambar III.4.). Titik didih yang terbentuk pada kedalaman dangkal menghasilkan uap yang kaya akan CO2 dan H2S dengan kondensasi dekat permukaan, membentuk pemanasan uap dari tipe air sulfat. Endapan sulfida rendah memiliki karakter seperti urat terbuka, breksi dan stockwork. Bijih dan mineral gang yang terbentuk seperti pirit, arsenopirit, spalerit, galena, emas, kuarsa, kalsedon, kalsit, adularia, illit, barit sangat miskin akan Cu dan logam dasar lainnya. Tekstrur pada sulfida rendah berbentuk colloform banding, rekahan hidrolik, bladed kalsit atau kuarsa. Terbentuk pada suhu 200 - 300°C dengan tekanan hidrostatis (Einaudi et al., 2003).
25
Gambar III.3. Model ideal porfiri, epitermal, skarn, modifikasi dari Sillitoe (1995)
Sistem epitermal dibagi menjadi dua bagian, yaitu sulfidasi rendah (low
Gambar III.4. Skema sederhana distribusi mineral pada sistem epitermal high dan low sulfidation. (Hedenquist et al., 1996)
26
Endapan tipe sulfida tinggi ditunjukkan dengan naiknya temperatur pada volatile magma. Air magmatik bercampur dengan air meteorik, membentuk larutan asam yang tinggi mengandung HCl, SO2, H2S. Asal sulfat yang terbentuk kontak dengan batuan dinding dan mengakibatkan proses pencucian (alterasi advance argilic). Temperatur terbentuk sekitar 200 - 300°C dengan pH antara 0 – 2 salinitas antara 2-5 wt% setara NaCl. Semakin dalam salinitas akan semakin bertambah. Endapan sulfida tinggi memiliki karakter seperti disementasi mineral bijih, replacement dan sedikit stockwork atau urat. Umumnya mengandung bijih Cu-As. Alterasi yang umum terbentuk seperti kaolin dan alunit, barit, dickit, piropilit dan diaspor, membentuk zona poros, vuggy silika dikarenakan terjadinya proses pencucian yang kuat (Einaudi et al., 2003). Alterasi argilik lanjut tidak selalu mengindikasikan nilai ekonomis yang tinggi tapi bisa juga karena penurunan steam heated water yang tidak berhubungan dengan fluida mineralisasi.
Endapan sulfida tinggi dan sulfida rendah dapat mengalami overprinted oleh alterasi steam-heated. Pada alterasi ini, sistem epitermal biasanya mengalami erosi dan runtuh. Dicirikan oleh terbentuknya endapan sinter silika di daerah manifestasi air panas (Hedenquist et al. 1996). Steam-heated alterasi berasosiasi dengan unsur Cl yang kaya dan berada di dekat permukaan, pada air panas akan kaya oleh CO2 dikarenakan terjadi interaksi dengan dinding vulkanik (asam – menengah). Kumpulan mineral alterasi yang terbentuk seperti albit ± adularia ± wairakit ± serisit ± yang epidot sebagai ubahan dari plagioklas. Biotit terubah menjadi klorit ± spane ± epidot. Piroksen dan ampibol terubah menjadi serisit ± klorit ± spane ± kuarsa ± pirit. Massa dasar terubah menjadi kuarsa ± serisit ± kalsit ± zeolit ± klorit. Rekahan dan urat – urat terisi oleh mineral kuarsa, kalsit, serisit, adularia, zeolit, klorit, epidot terkadang pirit dan pirotit (Hedenquist et al., 1996). Pada daerah panas bumi aktif albit dan adularia tidak akan muncul di kedalaman bila temperaturnya kurang dari 180 °C. Mineral serisit, mika putih, dan kuarsa lebih banyak terbentuk menggantikan mineral primer (mafik) dan masa dasar (Hedenquist dan Browne, 1989).
27
III.4 Alterasi Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan perubahan yang terbentuk pada batuan atau mineral yang diakibatkan oleh aktivitas air panas. Perubahan yang terjadi meliputi mineralogi, fisika, kimia, tekstur sehingga menghasilkan interaksi antara batuan/mineral yang dilalui oleh larutan panas.
Beberapa faktor yang mengontrol terbentuknya alterasi adalah batuan asal
-
batuan dinding (wall rock), komposisi fluida dan konsentrasi dari komponen unsur – unsur kimia larutan seperti H+, CO2, O2, K+, S2, dll. Alterasi yang terjadi pada sistem epitermal tidak begitu bergantung pada komposisi batuan dinding, namun lebih dikarenakan permeabilitas, temperatur dan komposisi fluidanya (Henley et al., 1983).
Alterasi hidrotermal dapat terbentuk karena proses pengendapan langsung, penggantian (replacement) dan pencucian (leaching) (Browne, 1978). Proses pengendapan secara langsung umumnya dijumpai pada aktivitas panas bumi hal tersebut diakibatkan karena larutan yang berada pada reservoir dapat bergerak melalui rekahan-rekahan, rekahan hidrolik, sesar, kekar, ketidakselarasan, lubang, pori dan bentukan permeabel lainnya. Kuarsa, kalsit dan anhidrit biasanya terbentuk pada urat – urat dan lubang, tapi mineral klorit, ilit, alularia, pirit, pirotit, hematit, wairakit, flourit, laumonit, prehnit dan epidot terbentuk hanya akibat pengendapan langsung. Penggantian biasanya terjadi pada batuan vulkanik dengan komposisi mineral primer yang tidak stabil pada lingkungan panas bumi. Akibatnya mineral primer akan digantikan oleh mineral baru yang stabil atau metastabil di bawah kondisi yang baru. Tingkat penggantian mineral baru tergantung dari permeabilitas dan temperaturnya.
Proses lainnya adalah pencucian dimana proses ini terjadi diluar dari batas lingkungan panas bumi. Pencucian biasa terjadi pada kondensasi uap, pengasaman oleh oksidasi H2S yang berlangsung pada batuan, menghancurkan mineral primer namun tanpa adanya penggantian / replacement. Hidrolisis alterasi atau hidrogen ion metasomatism juga merupakan salah satu hal penting yang dapat membentuk
28
alterasi batuan dengan mengubah komposisi ion H2O menjadi ion H
+
dan OH
–
dimana ion-ion tersebut akan berinteraksi dengan larutan silika pada larutan hidrotermal. Efek yang terbentuk adalah terjadinya perubahan nilai pH larutan dan menambah pemisahan ion kation dalam larutan. Proses hidrasi yang terbentuk pada proses alterasi merupakan masuknya molekul H2O dalam mineral (atau terikat oleh ion dalam mineral), misalnya pada gipsum (CaSO4.2H2O) dan zeolit. Sedangkan proses dimana kation menggantikan mineral lain disebut sebagai base exchange (alkali metasomatisme) seperti konversi dari mikroklin ke albit dimana Na menggantikan K (Taylor, 1997). Jadi secara umum baik proses hidrolisis, hidrasi dan base axchange adalah upaya untuk mengontrol stabilitas mineral silika, pH larutan dan perpindahan kation dalam larutan. Ketiga proses tersebut menghasilkan pembentukan masing-masing zona alterasi seperti argilik, propilitik, filik dan potasik (Gambar III.5.) pada kumpulan mineral.
Gambar III.5. Terminologi alterasi hidrotermal (Corbett dan Leach, 1998)
29
Pada daerah panas bumi intensitas alterasi di permukaan merefleksikan berbagai parameter seperti kondisi hidrologi, tingkat reaktifitas batuan pembawa dan fluida, serta jumlah fluida yang berinteraksi dengan batuan. Setidaknya telah diketahui sekitar 100 mineral alterasi yang berasosiasi dengan proses terjadinya dan kisaran temperatur pembentukannya dalam wilayah panas bumi aktif. (Lampiran A).
III.5 Sistem Hidrologi Kondisi hidrologi daerah setempat sangat berperan dalam pembentukan sistem panas bumi. Fluida yang masuk melalui daerah resapan berfungsi sebagai pencampur dan sebagai sumber fluida di reservoir panas bumi. Ada beberapa cara dalam proses masuknya air permukaan ke dalam sistem akifer seperti melalui permeabilitas yang terbentuk oleh ruang antar butir pada batuan (klastik) ataupun melalui sesar dalam bentuk rekahan (Puradimaja, 2006).
Sistem akifer dengan aliran air melalui rekahan (fracture), terjadi pada litologi non-klastik seperti aliran lava, selain non klastik sistem ini juga umum pada litologi klastika halus seperti batuan sedimen, tingkat kerapatan kekar, baik itu kekar deformatif ataupun kekar primer akibat proses pendinginan juga mempengaruhi besarnya infiltrasi air dibawah permukaan. Pada zona struktur sesar sistem akifer ini umum terjadi.
Sistem akifer dengan aliran air melalui ruang antar butir (intergranular) umum terjadi pada batuan klastik atau vulkanoklastik, seperti batuan piroklastik baik aliran piroklastik atau jatuhan piroklastik, breksi vulkanik atau breksi laharik. Pada umumnya jenis akifer ini mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi karena permeabilitasnya tinggi.
Sistem akifer dengan aliran air melalui media pori (porous) terjadi pada batuan dengan tingkat porositas tinggi, batuan beku basaltis yang mempunyai ronggarongga di permukaan (vesicular) serta endapan vulkanik yang tersusun oleh scorea sangat umum menjadi media sistem akifer ini. Tingkat kelolosan aliran air
30
ini tergantung pada jenis lubang porinya itu sendiri, bila saling berhubungan antar satu rongga dengan rongga lainnya, menyebabkan permeabilitasnya tinggi.
III.6 Geokimia Kandungan kimia fluida panas bumi merupakan hal yang penting untuk mengetahui karakteristik reservoir suatu sistem panas bumi. Beberapa hal penting dalam anasisis kandungan kimia fluida adalah temperatur fluida, kandungan gas, sumber air, jenis batuan, kondisi dan lamanya interaksi air terhadap batuan dan pencampuran fluida dengan sumber lain.
Penentuan tipe air panas ditentukan oleh konsentrasi unsur anion yang terlarut Cl, HCO3 dan SO4 (Nicholson, 1993). Oleh karena itu secara umum fluida panas bumi terbagi atas tiga tipe air yaitu air klorida, air asam sulfat dan air bikarbonat. -
Air klorida dicirikan pada kandungan Cl yang tinggi, biasanya berasosiasi dengan nilai Na, K yang tinggi, Ca dan Mg rendah, menunjukkan air reservoir dengan kandungan salinitas 0,1 – 1 wt % Cl, kaya akan SiO2 dan sering terdapat HCO3, perbandingan Cl/ SO4 tinggi, berasosiasi dengan gas CO2 dan H2S, pH fluida netral. Kondisi manifestasi (air panas) biasanya bening, jernih, berwarna biru serta pada temperatur yang tinggi biasanya ditemukan sinter silika.
-
Air asam sulfat dicirikan dengan nilai unsur SO4 yang tinggi, Cl dan HCO3 sangat rendah dengan pH rendah (2-3), terbentuk di kedalaman yang lebih dangkal dan membentuk kondensasi uap ke dalam air permukan (steam heated water), biasanya terbentuk kolam lumpur dan pelarutan batuan sekitarnya.
-
Air bikarbonat dicirikan dengan kandungan unsur HCO3 yang tinggi dengan kation utama Na, terbentuk di daerah pinggir dan dangkal, akibat absorbsi gas CO2 dan kondensasi uap air ke dalam air tanah (steam heated water), nilai Cl dan SO4 bervariasi. Di bawah muka air tanah bersifat asam lemah, tetapi bila terjadi CO2 yang terlarut di permukaan bisa bersifat basa, biasanya berhubungan dengan kehadiran batugamping di bawah permukaan dan identik dengan terbentuknya traventin di permukaan.
31
Untuk memperkirakan temperatur reservoir beberapa parameter yang bisa digunakan adalah dengan mengetahui nilai geotermometer fluida seperti Geotermometer
SiO2,
geotermometer
sodium-potasium
(Na-K)
atau
geotermometer Sodium-kalsium-potasium (Na-K-Ca). Geotermometer silika (Fournier, 1966), digunakan bila reservoir jenuh dengan kuarsa. Kuarsa adiabatik : t (°C) =
1533.5 − 273 5.768 log SiO2
Kuarsa konduktif : t (°C) =
1315 − 273 5.205 log SiO2
Kuarsa kalsedon : t (°C) =
1015.1 − 273 4.655 log SiO2
Geotermometer Na-K, digunakan untuk jenis air alkali klorida dengan pH netral dan tidak terdapat endapan traventin t (°C) =
855.6 − 273 log( Na / K ) + 0.8573
Fournier (1979) : t (°C) =
1217 − 273 log( Na / K ) + 1.483
Giggenbach (1988) : t (°C) =
1390 − 273 log( Na / K ) + 1.75
Geotermometer Na-K-Ca digunakan untuk air yang mengandung Ca tinggi dan terdapat endapan traventin t (°C) =
855.6 log( Na / K ) + log( Ca / Na ) + 2.24
Penentuan isotop stabil (1H dan 2H;
12
− 273
C dan
13
C;
16
O dan
18
O;
32
S dan
34
S)
dimaksudkan untuk mengetahui antara fluida dan efeknya terhadap interaksi dengan batuan, disamping itu isotop stabil digunakan sebagai jejak untuk mengetahui sumber elemen dalam bentuk paleotermometer yang mempelajari sebaran reaksi dan mekanisme proses geologi (Hoefs, 1987 dan Valley et al., 1986). Penentuan air magmatik dari perhitungan nilai isotop dilakukan dengan membandingkan perhitungan nilai δD vs δ18O dalam bentuk diagram dimana nilai
32
δD antara -40 sampai -80 ‰ dan δ18O antara +5.5 sampai +9.0 ‰ (Sheppard,1977). Untuk air metamorfik nilai δD antara -20 sampai -65 ‰ dan δ18O antara +3 sampai +25 ‰. Pada daerah panas bumi, air panas sebagian besar berasal dari air meteorik namun komposisi isotopnya bisa mengubah nilai δ18O. Nilai δD sama dengan nilai asal air meteorik. Nilai δ18O pada sistem panas bumi berkisar antara +0.37 dan + 2.37 ‰ (Campbell et al., 1988).
III.7 Gaya berat
Metode gaya berat digunakan untuk menganalisis variasi densitas batuan yang berhubungan dengan sistem panas bumi. Aplikasinya didasarkan atas sifat massa dari benda-benda di alam dimana besarnya massa tersebut sangat menentukan besarnya gaya tarik menarik diantara benda tersebut. Berdasarkan hukum Newton besarnya gaya tarik menarik adalah : F = G.m1.m2 / r2
(Newton)
Keterangan: F = gaya tarik menarik G = konstanta gravitasi = 6.670 x 10 (cgs) m1, m2 = massa benda (kg) r = jarak antara kedua benda (m) Hubungan antara konstanta G dengan percepatan gaya tarik bumi andaikan suatu massa (m) berada diatas bumi bermassa M dan radius r, maka: F = G. M.m / r2
Sehingga gaya tarik bumi (g) adalah g = F/m = G.M / r2 Keterangan : Satuan g dalam cm/det2 atau gal = 1000 milligal. Kondisi di atas dan di bawah permukaan bumi yang tidak homogen dapat menyebabkan perbedaan gravitasi pada lokasi-lokasi tertentu. Perbedaan yang muncul karena pengaruh alam dan anomali setempat yang menimbulkan medan gravitasi tidak merata di permukaan bumi.
33
Nilai gaya berat normal dihitung dengan mempertimbangkan bumi sebagai suatu benda elips yang berputar. Anomali Bouguer adalah gaya berat pengamatan dikurangi gaya berat normal yang telah dikoreksi oleh efek-efek ketinggian dan topografi. Batuan yang relatif lebih basa akan memiliki nilai densitas yang lebih tinggi dari pada batuan yang lebih asam (Tabel III.1.). Sedangkan untuk batuan sedimen akan sangat dipengaruhi faktor porositas dan saturasinya.
Tabel III.1. Sebaran data nilai densitas batuan (Sheriff, 2002)
Densitas (gr/cm3) ~0 1 1.7-2.3 2.0-2.6 2.0-2.7 2.5-2.8 2.5-2.8 2.7-3.1 2.5-2.8 2.6-3.0
Material Udara Air Sedimen Batupasir Batulempung Batugamping Granit Basalt Andesit Metamorf
Perbedaan densitas pada lingkungan panas bumi terbentuk karena adanya deposisi mineral hidrotermal dengan cara pengendapan langsung dimana nilainya akan berbeda dengan densitas batuan akibat proses pencucian atau penggantian. Pada proses pengendapan langsung mineral hidrotermal, densitas batuan secara keseluruhan akan mengalami penambahan sedangkan pada proses pencucian densitas batuan akan mengalami penurunan. Mineral yang memiliki nilai porositi tinggi nilai densitas akan naik, begitu pula sebaliknya (Sheriff, 2002).
III.8 Geolistrik
Pada metode tahanan jenis dilakukan dengan menginjeksi aliran listrik ke dalam bumi dan mengukur perbedaan potensial antara titik tertentu. Beda potensial yang terukur tergantung pada sifat kelistrikan dari batuan secara vertikal maupun horizontal. Pada prinsipnya bumi terbagi atas beberapa lapisan batuan yang memiliki perbedaan potensial, namun harga tahanan jenis bukanlah nilai yang sebenarnya sehingga dinamakan sebagai nilai tahanan jenis semu. Semakin jauh
34
bentangan elektroda maka nilai tahanan jenis akan semakin dalam, begitu pula sebaliknya. Pengukuran arus listrik dilakukan dengan konfigurasi Schlumberger dengan pengukurannya seperti berikut.
I
mA V
A
M
0
N
B
Jarak AB/2
Gambar III.6. Konfigurasi Schlumberger untuk pengukuran geolistrik.
Arus listrik (I) dialirkan ke tanah melalui elektroda-elektroda arus (AB). Beda potensial (∆V) akibat arus tersebut diukur melalui elektroda-elektroda potensial MN). Elektroda potensial berbentuk porous-pot yang diisi larutan CuSO4 dengan sebuah batang tembaga (Cu) kecil di dalamnya, bertindak sebagai elektroda potensial non-polarisasi. Elektroda MN ini, melalui kabel, dihubungkan ke voltmeter yang memiliki impedansi diri sangat tinggi. Tahanan jenis semu untuk konfigurasi Schlumberger dihitung dengan rumus berikut:
( )
⎛ AB ⎜ 2 ρa = ⎜ ⎜ MN ⎝
2
⎞ MN ⎟ ∆V − ⎟ 4 ⎟ I ⎠
X
π
Perhitungan nilai resistivity diperuntukan untuk mengetahui nilai konduktivitas dari reservoir panas bumi. Konsentrasi unsur kimia dari fluida hidrotermal akan mempengaruhi batuan reservoir, dimana larutan akan akan mempengaruhi nilai konduktivitas dari mineral lempung dan zeolit pada matriknya. Anomali geofisika yang berkaitan langsung dengan panas bumi antara lain untuk mendeteksi matrik batuan (segar = resistif, alterasi / lempung = konduktif), pori berair akan konduktif dan uap akan resistif (Sumintadireja, 2005).
35
III.9 Perhitungan Potensi Energi Panas Bumi
Metode yang digunakan dalam estimasi potensi panas bumi (dalam MWe) adalah metode Volumetrik Lump parameter yang ditulis kembali oleh “Panitia Kecil Standardisasi Panas Bumi” (1994) sebagai berikut: Q = 0.11585 x A x (Tag – Tcut-off)
Keterangan: Q = potensi energi batuan (MWe) A = luas reservoir (km2) Tag = temperatur air panas hasil geotermometer (°C) Tcut-off = temperatur cut-off (°C).
Nilai Tcut-off diambil dari asumsi yang terdapat dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 13-6171-1999) dapat dilihat dalam Tabel III.2. berikut.
Tabel III.2. Daftar Nilai Tcut-off dalam reservoir panas bumi
Temperatur rendah
Batas Temperatur (°C) < 125
Temp. cut-off (°C) 90
Konversi Energi (%) 10
Lain-lain **) φ = 10 %
Temperatur sedang
125 - 225
120
10
t = 30 th
Temperatur tinggi
> 225
180
10
SL = 100%
Reservoir
Beberapa asumsi lain yaitu: tebal reservoir = 1 km, recovery factor = 50%, faktor konversi = 10%, dan lifetime = 30 tahun.
36