BAB III KAJIAN TAFSIR AL-MISHBĀH DAN PENAFSIRANNYA TENTANG PEREMPUAN DAN HARTA A. KAJIAN TAFSIR AL-MISHBĀH a. Biografi M. Quraish Shihab M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944.1 Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986) adalah guru besar dalam bidang tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Di samping berwiraswasta, sejak muda Abdurrahman Shihab juga berdakwah dan mengajar. Beliau selalu menyempatkan diri untuk meluangkan waktunya, pagi dan petang, untuk membaca al-Qur‟an dan kitab-kitab tafsir.2 M. Quraish Shihab, sejak masa kecilnya bersama saudara-saudaranya sering diajak oleh ayahnya, untuk belajar bersama. Pada saat-saat seperti itulah ayahnya menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. M. Quraish Shihab mengetahui belakangan banyak dari petuah itu sebagai ayat al-Qur‟an atau petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar al-Qur‟an, yang hingga detik ini masih terngiang di telinganya. Di antara petuah-petuah tersebut adalah: “Aku akan palingkan (tidak memberikan) ayat-ayat-Ku kepada mereka yang bersikap angkuh di permukaan bumi....” (Q.S Al-A‟raf [7]: 146).
1 2
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an cet-4 (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 6 Ibid., hlm. 14
28
29
“Al-Qur‟an adalah jamuan Tuhan,” demikian bunyi sebuah hadis. Rugilah yang tidak menghadiri jamuan-Nya, dan lebih rugi lagi yang hadir tetapi tidak menyatapnya.3 “Biarkanlah Al-Qur‟an berbicara (Istanthiq Al-Qur‟an),” sabda „Ali ibn Abi Thalib. “Bacalah al-Qur‟an seakan-akan ia diturunkan kepadamu,” kata Muhammad Iqbal. “Rasakanlah keagungan al-Qur‟an, sebelum menyentuhnya dengan nalarmu,” kata Syaikh Muhammad „Abduh. “Untuk mengantarkanmu mengetahui rahasia ayat-ayat al-Qur‟an, tidaklah cukup kau membacanya empat kali sehari,” seru Al-Mawardi. Itulah sebagian petuah-petuah ayahnya yang masih terngiang yang mengantarkan kepada benih cintanya terhadap studi al-Qur‟an. sehingga pada saat M. Quraish Shihab belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, M. Quraish Shihab
bersedia mengulang setahun untuk mendapatkan kesempatan
kesempatan melanjutkan studinya di jurusan tafsir, walaupun jurusan-jurusan lainnya di fakultas lain sudah membuka pintu lebar-lebar untuknya.4 Pendidikan dasarnya dimulai dari pendidikan dasar di Ujung Pandang. Kemudian dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil
3
Salah satu hadis yang terdapat dalam mustadrak Imam Hakim, Lihat: Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak ala as -̣ ṣahihain fī al -hadis, juz-1 (Beirut, Dar al-Fikr, 1978), hlm. 555 ٌٍٕحذثْا أب٘ اى٘ىٍذ حغاُ بِ ٍحَذ اىقششً اىفقٍٔ ثْا ٍغذد بِ قطِ بِ إبشا عِ اىْبً صيى هللا: ْٔثْا داٗد بِ سشٍذ ثْا صاىح بِ عَش أّبأ إبشإٌٍ اىٖجشي عِ أبً األح٘ص عِ عبذ هللا سضً هللا ع إُ ٕزا اىقشآُ ٍأدبت هللا فاقبي٘ا ٍِ ٍأدبتٔ ٍا اعتطعتٌ إُ ٕزا اىقشآُ حبو هللا ٗ اىْ٘س اىَبٍِ ٗ اىشفاء اىْافع: عئٍ ٗ عيٌ قاه ٓ٘عصَت ىَِ تَغل بٔ ٗ ّجاة ىَِ تبعٔ ال ٌضٌغ فٍغتعتب ٗ ال ٌع٘ج فٍقً٘ ٗ ال تْقضً عجائبٔ ٗ ال ٌخيق ٍِ مثشة اىشد اتي ٌٍٍ ٗ ً اىٌ حشف ٗ ىنِ أىف ٗ ال: فإُ هللا ٌأجشمٌ عيى تالٗتٔ مو حشف عشش حغْاث أٍا إًّ ال أق٘ه 4 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an op.cit., hlm. 14
30
nyantri di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Fiqhiyyah. Pada 1958 dia berangkat ke Kairo, Mesir. M. Quraish Shihab
diterima di kelas II
Tsanawiyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian M. Quraish Shihab melanjutkan pendidikan magisternya di fakultas yang sama. Pada tahun 1969 M. Quraish Shihab
berhasil meraih gelar MA untuk
spesialisasi bidang Tafsir Al-Qur‟an dengan tesis berjudul Al‟I‟jaz Al-Tasyri‟i li Al-Qur‟an Al-Karim. Sekembalinya di Ujung Pandang, M. Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, M. Quraish Shihab
juga
dipercayakan untuk menjabat jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus, M. Quraish Shihab dipercayakan sebagai Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur Bidang Pembinaan Mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian. Antara lain, penelitian dengan tema Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978). Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab
kembali ke Kairo dan
melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, yakni Universitass Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nazham Al-Durar li AlBaqa‟iy, Tahqiq wa Dirasah, M. Quraish Shihab berhasil meraih gelar doktor
31
dalam ilmu-ilmu al-Qur‟an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma‟a martabat al-syaraf al-„ula). Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, M. Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan.5 Antara lain, anggota MPR-RI tahun 19821987,dan 1987-2002,6 ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama (sejak 1989), Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989). M. Quraish Shihab juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional. Antara
lain,
Pengurus
Perhimpunan
Ilmu-ilmu
Syari‟ah,
Pengurus
Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICM).7 Pengabdiannya di bidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor IAIN Syarif hidayatullah Jakarta pada tahun 1992-1998 yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 1998, M. Quraish Shihab dipercaya sebagai Menteri Agama RI.8 Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, M. Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu M. Quraish Shihab menulis dalam rubrik Pelita 5
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, op.cit., hlm. 6 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur‟an, cet-1 (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 6 7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, loc.cit., hlm. 6. 8 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur‟an, op.cit., hlm. 5 6
32
Hati. Dia juga mengasuh rubrik Tafsir Al-Amanah. Selain itu, M. Quraish Shihab juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur‟an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah.9 M. Quraish Shihab
juga sering tampil di berbagai media untuk
memberikan siraman rohani dan intelektual. Aktifitas utamanya sekarang adalah Dosen (Guru Besar) pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Direktur Pusat Studi Al-Qur‟an (PSQ) Jakarta.10 M. Quraish Shihab memperistri Fatmawati,11 yang dikaruniai lima orang anak, empat putri dan satu putra, yakni Najela, Najwa, Nasywa, Ahmad, dan Nahla.12 b. Karya-karya M. Quraish Shihab Di antara karya-karya M. Quraish Shihab
yang penulis telusuri
adalah: 1. Tafsir Al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984). 2. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Depag, 1987) 3. Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987). 4. Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah Al-Fatihah (Jakarta: Untagma, 1988).
9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, op.cit., hlm. 7. M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur‟an, op.cit., hlm. 6 11 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. Kata pengantar 12 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an (Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib), cet-4 (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 5 10
33
5. Melintasi Batas Agama, bersama Nurcholis Madjid, Barbara Brown, Suwoto Mulyosudarmo (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1988). 6. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990). 7. Membumikan Al-Qur‟an. a. Jilid 1 (Bandung: Mizan, 1992). b. Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011). 8. Rasionalitas Al-Qur‟an: Studi Kritik Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994). Dan diterbitkan kembali oleh Lentera Hati tahun 2005. 9. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan 1994). 10. Untaian Permata Buat Anakku: Pesan Al-Qur‟an untuk Mempelai (Jakarta: al-Bayan, 1995). 11. Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996) 12. Tafsir Al-Qur‟an Al-Karim: Tafsir Surah-Surah Pendek Berdasar Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayat, 1997) 13. Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1997). 14. Hidangan Ilahi dalam Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997). 15. Sahur Bersama Quraish Shihab di RCTI (Bandung: Mizan, 1997). 16. Asma' al-Husna; Dalam Perspektif al-Qur'an (4 buku dalam 1 boks) (Jakarta: Lentera Hati, 1998). 17. Haji Bersama Quraish Shihab: Panduan Praktis untuk Menuju Haji Mabrur (Bandung: Mizan 1999).
34
18. Jin dalam Al-Qur‟an yang Halus dan Tak Terlihat (Jakarta: Lentera Hati, 1999). 19. Malaikat dalam Al-Qur‟an yang Halus dan Tak Terlihat (Jakarta: Lentera Hati, 1999). 20. Setan dalam Al-Qur‟an yang Halus dan Tak Terlihat (Jakarta: Lentera Hati, 1999). 21. Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdhah (Bandung: Mizan, 1999). 22. Fatwa-fatwa: Seputar Al-Qur‟an dan Hadis (Bandung: Mizan 1999). 23. Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Republika, 2000). 24. Perjalanan Menuju Keabadaian, Kematian, Surga, dan Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2001) 25. Tafsir Al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), yang terdiri dari 15 volume. 26. Menyingkap tabir Ilahi Asma al-Husna dalam Perspektif Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2002). 27. 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati, 2002). 28. Panduan Sholat Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Republika, 2003). 29. Kumpulan Tanya Jawab Bersama Quraish Shihab: Mistik, Seks, dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004). 30. Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT. (Jakarta: Lentera Hati 2006). 31. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006).
35
32. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendikiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2006). 33. Perempuan: Dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2006). 34. Dia Dimana-mana “Tangan” Tuhan di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2006). 35. Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur‟an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006). 36. Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 2007). 37. Pengantin Al-Qur‟an Kalung Permata Buat Anak-anakku (Jakarta: Lentera Hati, 2007). 38. Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta: Lentera Hati, 2007). 39. Yang Sarat & Yang Bijak (Jakarta: Lentera Hati, 2007 ). 40. Yang Ringan dan Yang Jenaka (Jakarta: Lentera Hati, 2007 ). 41. M. Quraish Shihab Menjawab...? 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008). 42. Doa Harian bersama M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, 2009). 43. Al-Qur‟an dan Maknanya: Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul, Makna dan Tujuan Surah, Pedoman tajwid (Jakarta: Lentera Hati, 2010). 44. M. Quraish Shihab Menjawab..? 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati,2010).
36
45. Doa Al-Asma‟ Al-Husna (Doa yang Disukai Allah) bersama M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, 2011). 46. Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW. dalam Sorotan Al-Qur‟an dan Hadits-Hadits Shahih (Jakarta: Lentera Hati, 2011). 47. Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur‟an, terdapat 4 jilid (Jakarta: Lentera Hati, 2012). 48. Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, 2012). 49. 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2013). 50. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur‟an (Jakarta:Lentera Hati, 2013). 51. Birrul Walidaini: Wawasan Al-Qur‟an tentang Bakti Kepada Ibu Bapak (Jakarta: Lentera Hati, 2014). 52. M. Quraish Shihab Menjawab Pertanyaan Anak Tentang Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2014). 53. Kehidupan Setelah Kematian (Jakarta: Lentera Hati) 54. Kematian Adalah Nikmat: Sekelumit Pandangan Filosofis, Agamawan, Ilmuwan dan Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati). 55. Bisnis Sukses Dunia Akhirat Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat (Jakarta: Lentera Hati) 56. Al-Asma Al-Husna Mengenal Nama-Nama Allah (Jakarta: Lentera Hati). 57. Yasin dan Tahlil (Jakarta: Lentera Hati).
37
58. Ensiklopedia Al-Qur‟an Kajian Kosakata, terdiri dari 3 jilid. 59. Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departemen Agama). 60. Psikologi Islam, bersama Hidayat Nataatmaja, Nurcholis Madjid, Mochamad Ngemron (Muhammadiyyah University Press). 61. Teologi Islam Rasional, bersama Ariendonika, Said Agil Husin AlMunawar, Komaruddin Hidayat (Jakarta: Ciputat Press). c. Latar Belakang Penulisan Al-Qur‟an al-Karim adalah kitab yang oleh Rasul saw. dinyatakan sebagai “Ma‟dubatullah (Hidangan Ilahi)”. Hidangan ini membantu manusia untuk memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Kitab suci ini memperkenalkan dirinya sebagai hudan linnas (petunjuk bagi seluruh umat manusia) bagi manusia yang beriman, sekaligus sebagai mukjizat, yakni sebagai bukti kebenaran dan kebenaran itu sendiri yang menantang manusia dan jin untuk menyusun semacam al-Qur‟an.13 Umat manusia yang beriman tidak heran jika mereka mengagumi alQur‟an. Namun, sebagian masyarakat berhenti dalam pesona bacaan ketika dilantunkan seakan-akan
kitab suci ini hanya diturunkan untuk dibaca.
Bacaan hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan al-Qur‟an, pemahaman dan penghayatan yang disertai dengan tażakkur dan tadabbur. AlQur‟an mengecam mereka yang tidak menggunakan akal dan kalbunya untuk 13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an cet-1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. v
38
berpikir dan menghayati pesan-pesan al-Qur‟an, mereka itu dinilainya telah terkunci hatinya, seperti dalam Q.S Muhammad [47]: 20. Ummat Nabi Isa as mendapat petunjuk melalui kitab suci, namun “Di antara mereka ada ummiyun, tidak mengetahui Al-Kitab kecuali amani” dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 78. Ibnu Abbas menafsikan kata ummiyun dalam arti tidak mengetahui makna pesan-pesan kitab suci, walau boleh jadi mereka menghafalnya. Mereka hanya berangan-angan atau amani atau “sekedar membacanya”.14 Al-Qur‟an juga menjelaskan bahwa saat hari akhir nanti Rasul saw. akan mengadu kepada Allah swt. Beliau berkata, “Wahai Tuhanku. Sesungguhnya kaumku/ummatku telah menjadikan al-Qur‟an sebagai sesuatu yang mahjura”. (Q.S al-Furqan [25]: 30). M. Quraish Shihab mengambil pendapat ibn Al-Qayyim dalam menafsirkan kata mahjūrā yakni mencakup arti tidak tekun mendengarnya, tidak mengindahkan halal dan haramnya walau dipercaya dan dibaca, tidak menjadikan rujukan dalam menetapkan hukum menyangkut ushuluddin (prinsip-prinsip ajaran agama) dan rinciannya, tidak berupaya memikirkan dan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah yang menurunkannya. 15 Melihat hal seperti itu M. Quraish Shihab sebagai seseorang yang mempunyai wawasan keilmuan al-Qur‟an yang luas merasa tergugah hatinya
14
Abu Thohir Muhammad bin Ya‟qub Al-Fairuzabadi, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, cet-2, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halbi, 1951), hlm. 9 15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, cet-1, Volume 1, op.cit., hlm. vi
39
untuk memperkenalkan al-Qur‟an dan menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan dan harapan. Sebenarnya telah banyak para pakar al-Qur‟an telah berhasil melahirkan karya-karya metode dan cara menghidangkan pesan-pesan alQur‟an. salah satu di antaranya adalah apa yang dinamai metode maudhū‟i atau metode tematik. Metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur‟an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya. Seperti Fazlurahman dalam bukunya Tema-tema pokok al-Qur‟an, atau Mahmud Syaltut dalam bukunnya Ila al-Qur‟an al-Karim. Namun apa yang mereka kemukakan masih sangat singkat, dan dalam bahasa asing sehingga belum memuaskan mereka yang dahaga.16 Pada tahun 1997 penerbit Pustaka Hidayat menerbitkan karya penulis yang berjudul Tafsir al-Qur‟an al-Karim. Ada 24 surah yang dibahas. Uraiannya
banyak
merujuk
kepada
al-Qur‟an
dan
Sunnah
dengan
menggunakan metode taḥlīli. Penekanan dalam uraian tafsir itu adalah pada pegertian kosakata dan ungkapan-ungkapan al-Qur‟an yang merujuk kepada pandangan pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosakata atau ungkapan itu digunakan oleh al-Qur‟an.17 Sehingga apa yang penulis hidangkan kurang menarik minat orang kebanyakan, bahkan sementara mereka menilainya terlalu bertele-tele dalam uraian tentang pengertian kosakata atau kaidah-kaidah yang disajikan.
16 17
Ibid., hlm. vii Ibid., hlm. viii
40
Dalam
Tafsir
al-Mishbāh,
M.
Quraish
Shihab
berusaha
menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan/tema pokok surah. Di sisi lain banyak kaum muslimin membaca surat-surat tertentu untuk tujuan tertentu yang mereka dasarkan pada hadis-hadis lemah. Boleh jadi mereka salah dalam memahami maksud ayat-ayat yang dibacanya walau telah mengkaji terjemahannya. Menjelaskan tema pokok surah akan membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan yang benar.18 M. Quraish Shihab menegaskan bahwa kalimat-kalimat yang tersusun dalam Tafsir AlMishbāh
yang sepintas terlihat seperti terjemahan al-Qur‟an, hendaknya
jangan dianggap sebagai terjemahan apalagi al-Qur‟an.19 Kedudukan sepanjang sejarah baik sebelum ataupun sesudah datangnya al-Qur‟an berbeda. Situasi dan kondisi tersebut membuat perbedaan pemahaman para pakar dalam memahami sebuah teks al-Qur‟an.20 Karena dalam memahami teks al-Qur‟an, seorang mufasir tentunya dipengaruhi oleh sosial budaya yang ada di sekitarnya. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam tafsirnya bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Namun itu juga merupakan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandanganpandangan mereka . Khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim ibn Umar al-biqā‟i (w.885 H-1480 M). M. Quraish Shihab juga menukil dari Sayyid Muhammad Thant ̣ awi, Syekh Mutawalli asy -Sya‟rawi, Sayyid Qut ̣ b,
18
Ibid., hlm. ix Ibid., hlm ix 20 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas pelbagai Persoalan Umat, op.cit., hlm. 298 19
41
Muhammad T ̣ahir ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husein T ̣abat ̣aba‟i, dan lain-lain.21 Dalam tafsirnya ini, M. Quraish Shihab sudah barang tentu banyak dipengaruhi dari pemikiran-pemikiran terdahulunya. Hal itulah yang menjadi genealogi pemikiran M. Quraish Shihab dalam tafsirnya. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sumber penafsirannya bukan sepenuhnya ijtihad beliau. Karena M. Quraish Shihab mengambil rujukan dari penafsiran mufassir yang ada sebelumnya. Jika dilihat dari penafsirannya, tafsir yang paling berpengaruh dan paling banyak dirujuk dalam tafsir al-Mishbāh ini adalah tafsir Ibrahim bin „Umar al -Biqā‟i. Tafsir inilah yang menjadi bahan disertasinya ketika ia menyelesaikan doktornya di Al-Azhar, Mesir. Hal itu dapat dilihat dari sebagian besar penafsirannya dari setiap menafsirkan ayat, pendapat alBiqā‟i ini menjadi penafsiran yang dominan.22 Selain itu, ayahnya, Abdurrahman Shihab juga sangat berpengaruh dalam pemikiran M. Quraish Shihab. Abdurrahman Shihab dikenal sebagai seorang ulama, pengusaha, politikus, yang mempunyai reputasi baik dikalangan masyarakat. Kontribusi dalam bidang pendidikan terbukti
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, op.cit., hlm. xii 22 Lihat: Ahmad Syaiful Bahri, “Kontekstualisasi Konsep Basyir dan Nadzir dalam alQur‟an (Studi Tematik atas Penafsiran Prof. DR. H. M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah”, Skripsi sarjana Fak. Ushuluddin, (Semarang, Perpustakaan IAIN Walisongo, 2010), hlm 35
42
dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang. Yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), dan IAIN Alaudin Ujung Pandang.23 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, M. Quraish Shihab telah memiliki rasa cinta terhadap al-Qur‟an sejak ia masih kecil. Karena pengajian yang ia ikuti kepada ayahnya sendiri. Cinta terhadap al-Qur‟an memang telah melekat padanya sejak ia masih kecil. Dapat disimpulkan bahwa penulisan Tafsir Al-Mishbāh ini, dilatarbelakangi karena adanya kekhawatiran M. Quraish Shihab terhadap masyarakat yang belum memahami al-Qur‟an secara sempurna, banyaknya metode yang ditawarkan dalam penafsiran al-Qur‟an namun masih membutuhkan adanya tujuan/tema pokok surah agar pemahaman masyarakat terhadap al-Qur‟an menjadi utuh. Alasan yang lain yaitu adanya kenikmatan rohani saat ia mendalami al-Qur‟an, sehingga ia membaca, menulis dan mengkajia al-Qur‟an. d. Metode Penafsiran Secara umum dikenal empat macam metode penafsiran: 1. Metode Taḥlīli/Analisis Tafsir taḥlīli/analisis adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari seluruh aspeknya. Didalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti 23
Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, vol 2, (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 111
43
global ayat, munasabah/korelasi ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain, sabab nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul saw., sahabat, tabi‟in, bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan juga dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dapat membantu memahami al-Qur‟an. Penafsir taḥlīli ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian panjang lebar, namun ada juga yang sederhana. Selanjutnya mereka juga mempunyai arah penefsiran yang aneka ragam.24 Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode taḥlīli ini dapat dibedakan menjadi: a. Al-Tafsir bi al-Ma’ṡ ūr Al-Tafsir bi al-Ma‟ṡūr adalah penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit oleh para sahabat, ayat dengan ijtihad para sahabat, ayat dengan ijtihad para tabi‟in.25 Para ulama menyatakan bahwa peringkat tafsir yang tertinggi adalah tafsir ayat dengan ayat, disusul dengan tafsir dengan Rasul, lalu tafsir sahabat Nabi saw.26 b. Al-Tafsir bi al-Ra’yi Al-Tafsir bi al-Ra‟yi adalah penafsiran al-Qur‟an dengan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh mansukh, dan hal-hal lain 24
Abd. Al Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟iy: Sebuah Pengantar Edisi Terjemahan oleh Suryan A. Jamrah cet-1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 12 25 Ibid., hlm. 13 26 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur‟an, cet-2 (Jakarta: Lentera Hati, 2013), hlm. 351
44
yang diperlukan oleh penafsir. Tafsir ini dapat diterima jika menghindari, (1) memaksaka diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan penafsir tidak memenuhi syarat, (2) mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah, (3) menafsirkan al-Qur‟an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan, yakni menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya, (4) menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti faham
madzhab
tersebut,
(5)
menafsirkan
al-Qur‟an
dengan
memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian ataupun demikian, tanpa didukung dalil.27 c. Al-Tafsir al-Ṣūfy Semakin berkembangnya zaman, muncullah penafsiran yang kecenderungannya kedalam tasawuf. Namun menurut Adz-Dzahabi yang dikutip oleh Rosihon Anwar, “Kami belum mendengar seorangpun ulama tasawuf yang menyusun sebuah kitab tafsir khusus, yang ditemukan hanyalah penafsiran-penafsiran al-Qur‟an secara parsial yang dinisbatkan kepada ibnu Arabi yaitu kitab Al-Futūhat AlMakiyyah dan Al-Fuṣuṣ.”28 d. Al-Tafsir al-Fiqhi Bebarengan dengan lahirnya tafsir bi al-ma‟ṡūr, lahir pula altafsir al-fiqhi, dan sama-sama dinukil dari Nabi saw. tanpa pembedaan 27
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an, cet-2 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),
28
Ibid., hlm. 151
hlm. 150
45
antara keduanya. Para sahabat setiap menemukan kesulitan untuk memahami hukum yang dikandung oleh al-Qur‟an langsung bertanya kepada Nabi saw, dan beliau langsung menjawab. Jawaban Rasul ini, disatu pihak adalah tafsir bi al-ma‟ṡūr, dan dilain pihak adalah tafsir bi al-fiqhi.29 Sepeninggal Rasul saw, para sahabat langsung mencari keputusan hukum dari al-Qur‟an dan berusaha menarik kesimpulan hukum syari‟ah berdasarkan ijtihad, hasil ijtihad mereka ini disebut altafsir al-fiqhi.30 e. Al-Tafsir al-Falsafy Latar belakang lahirnya berbagai corak tafsir itu karena tersebar luasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjamahan ini tumbuh dan giat dilaksanakan di masa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan aneka macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku filsafat karya para filosof Yunani.31 f. Al-Tafsir al-‘Ilmi Ajakan al-Qur‟an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri diatas prinsip pembebasan akal dari tahayyul dan kemerdekaan berpikir. AlQur‟an menyuruh umat manusia memperhatikan alam.32 Dengan semangat ini, bermunculanlah sebagian mufassir yang menafsirkan 29
Abd. Al Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟iy: Sebuah Pengantar, op.cit., hlm.
18 30
Ibid., hlm. 19 Ibid., hlm. 20 32 Ibid., hlm. 22 31
46
ayat-ayat kauniah dengan bertolak dari proposisi pokok-pokok bahasa, dari kapasitas keilmuan yang mereka miliki, dan dari hasil pengamatan langsung fenomena-fenomena alam. Namun, mereka membatasi diri pada penjelaan ayat per ayat secara parsial tanpa menyertakan ayatayat yang memiliki tema serupa.33 g. Al-Tafsir al-Adābi al-Ijtima’i Tafsir ini berupaya menyingkap keindahan bahasa al-Qur‟an dan mukjizat-mukjizatnya, menjelaskan makna dan maksudnya, memperlihatkan aturan al-Qur‟an tentang kemasyarakatan, dan mengatasi persoalan yanng dihadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum. Semua itu diuraikan dengan memperlihatkan kebahagiaan
petunjuk-petunjuk
dunia
akhirat.
Corak
yang
al-Qur‟an tafsir
ini
pun
membawa berupaya
mengkompromikan antara al-Qur‟an dengan teori-teori pengetahuan yang valid. Corak ini mengingatkan manusia bahwa al-Qur‟an merupakan kitab Allah abadi yang sanggup menyetir perkembangan zaman dan kemanusiaan. Corak tafsir ini pun berupaya menghilangkan keraguan mengenai al-Qur‟an dengan mengemukakan berbagai argumentasi yang kuat.34 2. Tafsir Ijmāli/Global Metode ijmāli/global adalah penafsiran al-Qur‟an dengan singkat dan global, tanpa uraian panjang dengan menggunakan bahsa populer, 33 34
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an, op.cit., hlm. 154 Ibid., hlm. 155
47
mudah dimengerti dan mudah dicerna. Mufasir menjelaskan arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat menejelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain. Hal ini dilakukan terhadap ayatayat al-Qur‟an, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Kadangkala mufasir dengan metode ini menafsirkan al-Qur‟an dengan lafadz al-Qur‟an, sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Qur‟an. Dengan cara demikian ia akan sampai kepada tujuannya dengan cara yang mudah, serta uraian yang singkat dan bagus.35 3. Metode Muqarran/ Perbandingan; Komparasi. Metode tafsir ini yaitu metode yang berusaha membandingkan antara: a. Ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda redaksinya satu dengan yang lain, padahal sepintas terlihat bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan yang sama. b. Ayat yang berbeda kandungan informasinya dengan hadits Nabi saw. c. Perbedaan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat yang sama.36 Tafsir muqarran ini sangat penting, terutama bagi mereka yang ingin melakukan studi lanjut untuk mendapatkan pemahaman yang luas berkenaan dengan penafsiran suatu ayat dengan mengkajinya dari berbagai aspek dan disiplin ilmu sesuai dengan muatan dan konteks ayat tersebut.
35
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur‟an, cet-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.
168-169 36
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur‟an, op.cit., hlm. 382
48
Dengan menggunakan metode komparatif ini akan dapat diketahui mengapa penafsiran yang menyimpang timbul dan bahkan dapat membuat sikap ekstrim dikalangan sebagian kelompok masyarakat.37 4. Metode Maudhū‟i/Tematik Nama dan istilah tafsir Maudhū‟i adalah istilah baru dari ulama zaman sekarang dengan pengertian menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan
serta
mengambil
kesimpualn
secara
khusus,
penafsir
melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhū‟i, dimana ia meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.38 Langkah-langkah dalam metode maudhū‟i adalah: 1. Memilih dan menetapkan topik (objek) kajian yang akan dibahas berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an (tematik). 2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang membahas topik atau objek tersebut. 37 38
36-37
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur‟an, op.cit., hlm. 170 Abd. Al Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟iy: Sebuah Pengantar, op.cit., hlm.
49
3. Mengurutkan
tertib
turunnya
ayat-ayat
berdasarkan
masa
penurunannya dan disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat-ayat atau asbab al-nuzul. 4. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masingmasing suratnya. 5. Menyusun tema pembahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh. 6. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila di pandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas. 7.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara „am dan khash, muṭlaq dan muqayyad, mensinkronkan yang tampaknya berlawanan, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.39 Metode yang digunakan dalam Tafsir Al-Mishbāh, jika dilihat dari
metode yang sudah dipaparkan di atas, M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an menggunakan metode taḥlīli, yaitu menafsirkan ayat demi ayat, surah demi surah sesuai runtutan ayat yang terdapat dalam Mus ̣ haf Usmani. Metode ini dipilih karena M. Quraish
39
Ibid., hlm. 45-46
50
Shihab berusaha menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah atau tema pokok surah. Memang, menurut para pakar, setiap surah ada tema pokoknya. Pada tema itulah berkisar uraian ayat-ayatnya. Jika penafsiran mampu memperkenalkan tema pokok itu, maka secara umum dapat memperkenalkan pesan utama setiap surah dan dengan memperkenalkan ke 114 surah, kitab suci ini akan dikenal lebih dekat dan mudah.40 M. Quraish Shihab sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan metode taḥlīli, karena menurutnya metode ini sangat menyita waktu yang cukup banyak, dan sering kali menimbulkan pengulangan dalam penafsiran kata atau ayat yang hampir serupa atau mirip.41 M. Quraish Shihab berusaha untuk menampilkan penafsiran atau kesan-kesan tertentu untuk ayat-ayat tertentu, bukan berarti memilah-milah al-Qur‟an, yakni menganggap penting yang satu dan menganggap kurang penting yang lain. Namun, hal itu karena yang demikian itulah kesan atau informasi dan curah pikir yang diperoleh saat menulis Tafsir Al-Mishbāh.42 Dalam menafsirkan sebuah ayat kadang juga M. Quraish Shihab menyisipkan kata-kata yang sekiranya mampu untuk menjelaskan tujuan ayat, hal ini bukan karena menambah-nambah al-Qur‟an yang mungkin bisa saja dianggap sebagai al-Qur‟an.43 Namun, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam Tafsir Al-Mishbāh yang sepintas seperti 40
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh Pesan , Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, op.cit., hlm ix 41 Ibid., hlm. ix 42 Ibid., hlm. xii 43 Ibid., hlm xi
51
terjemahan al-Quran, hendaknya jangan dianggap terjemahan al-Qur‟an apalagi al-Qur‟an.44 M. Quraish Shihab berusaha memisahkan antara terjemahan makna al-Qur‟an dengan sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjemahan maknanya dengan italic letter (tulisan miring) dan sisipan dan tafsirnya dengan tulisan normal.45 Hal itu dapat terlihat dari penafsirannya —misalnya—pada Q.S alAnkabūt [29] : 63 saat menafsirkan kata dan pasti jika engkau bertanya kepada mereka, antara dan dan pasti, ia sisipkan kata Aku (Allah) juga bersumpah sesungguhnya.46 Jika dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang ada dalam Tafsir Al-Mishbāh, dapat dikatakan bahwa M. Quraish Shihab menggunakan sekaligus dua macam corak penafsiran, yaitu bi al-Ma‟ṡ ūr dan bi ar-Ra‟yi. Karena selain menafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, ayat dengan pendapat sahabat dan tabi‟in, M. Quraish Shihab dalam menafsirkan juga tampak menggunakan pemikiran akal dan ijtihadnya. Namun jika melihat keumuman penafsirannya, maka coraknya yaitu corak bi al-Ma‟ṡ ūr. Seperti dalam menafsirkan Q.S ar -Rūm [30] : 30, dalam menafsirkan kata fiṭrah, M. Quraish Shihab menafsirkannya dengan hadis riwayat Bukhāri
,
Muslim,
Ahmad,
dan lain
-lain.
kemudian
mengemukakan pendapat al -Biqā‟i, Ibnu Asyūr sekaligus disimpulkan
44
Ibid., hlm.ix Ibid., hlm. xii 46 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, op.cit., volume-10, hlm. 131 45
52
dengan pendapatnya sendiri bahwa fiṭrah manusia adalah fitrah keagaman yang perlu dipertahankan. Kemudian di kontekstualisasikan pada penemuan Tim Universitas Kalifornia tentang apa yang dinamai god spot, yakni noktah otak yang merespon ajaran moral keagamaan.47 Penafsiran semacam ini juga bisa dikatakan memakai corak adabi ijtimā‟i karena adanya uraian yang berupaya untuk menjelaskan persoalanpersoalan yang beredar dan terjadi di kalangan umat. Setelah menguraikan isi ayat, biasanya paparan itu dilanjutkan dengan pendapat yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan. Penafsiran semacam ini juga serupa dengan penafsiran yang dilakukan syaikh Muhammad Al-Ghazali yang menjadi gurunya di alAzhar, Mesir. Dimana menurut al-Ghazali, al-Qur‟an diposisikan sebagai sumber paradigma umat Islam (maṣdar al -ḥaḍārah),
48
terkandung
gerakan-gerakan
inspirasi-inspirasi
untuk
melahirkan
di dalamnya
peradaban.49 Al-Ghazali menegaskan bahwa jantung peradaban umat Islam sesungguhnya terletak dalam al-Qur‟an itu sendiri. Sebab di dalamnya terdapat berbagai prinsip kehidupan yang meliputi moralitas, hukum dan tuntunan dalam hidup bermasyarakat, selain itu, al-Qur‟an juga berisikan isyarat-isyarat ilmiah yang juga dikaji dengan cermat mampu
47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, op.cit., volume-10, hlm. 210 48 Muhammad al-Ghazali, Kaifa Nata‟āmal Ma‟a al -Qur‟an?, cet-12, (Mesir: Dār Al Nahḍah, 2011) hlm. 29 49 Muhammad al-Ghazali, Naẓarāt Fī al -Qur‟ān, cet-10, (Mesir: Dār Al -Nahḍah, 2012), hlm. 4
53
membentuk peradaban Islam yang luhur.50 Bisa dikatakan bahwa alQur‟an bisa memberikan petunjuk secara umum jika difahami secara benar untuk menjawab persoalan-persoalan kemasyarakatan. B. PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISHBĀH TENTANG PEREMPUAN DAN HARTA a. Q.S Al-Aḥzāb [33]: 28
ْ ٌَا أٌَُّ َٖا اىَّْبِ ًُّ قُ ْو َِّع ِّش ْح ُن َ ُاجلَ إُِْ ُم ْْتَُِّ تُ ِشدَُْ ا ْى َحٍَاةَ اى ُّذ ٍَّْا َٗ ِصٌَْتَ َٖا فَتَ َعاىٍََِْ أُ ٍَتِّ ْع ُنَِّ َٗأ ِ َٗ ألص احا َج ٍَِال ً ع َش َ Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada pasangan-pasanganmu: “Jika kamu menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kamu mut‟ah dan aku ceraikan kamu dengan perceraian yang baik. (QS. Al-Aḥzāb [33]: 28) M. Quraish Shihab mengutip pendapat Al-Biqā‟i, kaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah ayat sebelumnya menjelaskan tentang kegagalan
kaum
musyrikin
dan
sekutu-sekutunya
menyerang
dan
mengalahkan Nabi saw. Kekalahan itu adalah atas kekuasan Allah yang telah mengambil alih tugas kaum muslimin dengan mengirim angin kencang yang sangat dingin dan menurunkan tentara-tentara yang tidak terlihat. Hal ini menunjukkan betapa kuasanya Allah mengatur segala sesuatu dan betapa Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Ini menuntut setiap manusia untuk selalu hanya kepada Allah meminta segala sesuatu dan tidak berpaling kepada selain-Nya. Dari ayat ini Allah mendidik Nabi saw. sebagai makhluk pilihan agar berserah diri kepada-Nya, dan tidak mengambil dari kehidupan dunia 50
Lihat: Fejrian Yazdajird Iwanebel, “Paradigma dan Aktualisasi Interpretasi dalam Pemikiran Muhammad Al-Ghazali” (Yogyakarta: Pusat Kajian Keislaman (PAKIS) Pesantren Baitul Hikmah Krapyak, No. 1, Juni, XI, 2014), hlm. 1
54
kecuali sekadarnya, dan agar tetap hidup sederhana dan dengan puas hati. Ayat ini juga berbicara agar Nabi saw. untuk memberikan pilihan kepada orang-orang yang paling melekat/dekat dengan beliau agar melakukan pilihan sebagaimana pada ayat ini.51 Selain itu, M. Quraish Shihab menambahkan dari pendapat Fakhruddin ar-Rāzi, yakni
bahwa akhlak mulia, hanya terdiri dari dua hal pokok.
Pengagungan Allah dan kasih sayang terhadap makhluk-Nya. Allah swt. Pada awal surah ini telah memerintahkan untuk mengagungkan dan bertakwa kepada-Nya, dan di sini Allah memerintahkan untuk mencurahkan kasih sayang kepada makhluk, bermula dengan memberi petunjuk untuk istri-istri beliau.52 M. Quraish Shihab mengutip pendapat Ibn „Asyūr, beberapa ulama antara lain Ibn Athiyah dan Abu Hayyan bahwa hubungan ayat-ayat ini dengan ayat sebelumnya berkaitan dengan besarnya perolehan kaum muslimin dari Bani Quraizhah, yang dijatuhi hukuman oleh Nabi saw. sebagaimana terbaca pada bagian yang lalu
. Sedang sebelum Bani Quraiz ̣ah
, kaum
muslimin pun telah menguasai pula kekayaan kelompok Yahudi yang lain yaitu Bani an -Naẓir yang juga mengkhianatai Nabi
saw. Kekayaan yang
melimpah itu, menjadikan istri-istri Nabi saw. merasa bahwa mereka pun akan memperoleh tambahan nafkah akibat perolehan itu sebagaimana halnya
51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, op.cit., volume-11. Hlm. 255 Lihat juga: Burhanuddin Abi al-Hasan Ibrahim bin Umar al-Biqā‟i, Naẓm alDurār fi Tanāsub al-Aayāt wa al-Suwar, Juz-6, (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah, 1971), hlm. 97 52 Ibid., hlm. 255. Lihat juga: Muhammad ar-Rāzi Fakhr ad-din ibn al-„Allāmah Ḍiya‟ alDin, Tafsir al-fakhr ar-rāzi al -musytahirah bi at-Tafsīr al -Kabīr wa Mafatiḥ al -Ǵaib, juz-25, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 206
55
keluarga lain bila suami mereka memperoleh kelapangan harta. Memang istriistri Nabi saw. itu, tidak pernah meminta tambahan sebelum peristiwa ini, dan setelah Allah menetapkan kepada Nabi saw. seperlima dari harta rampasan perang, maka keinginan untuk memperoleh tambahan itu, muncul. Allah swt. Menghendaki dari Rasul-Nya agar hidup sederhana, hati beliau tidak terkait dengan kesenangan duniawi, kecuali guna melanjutkan hidup. Ayat ini turun untuk mendidik istri Nabi saw. agar hidup sederhana, tidak menjadikan gemerlapan duniawi sebagai bahan perhatian yang besar. Jika pendapat ini ingin dijadikan hubungan, maka perlu ditambahkan bahwa sementara ulama menilai ayat di atas turun jauh setelah peristiwa penaklukan Bani Quraiz ̣ah . Ini berarti ketika turunnya ayat di atas atau ketika pengajuan permintaan istri-istri Nabi saw. itu, limpahan gemerlapan duniawi semakin banyak diraih oleh kaum muslimin, dan dengan demikian semakin keras dorongan hati untuk meraih kenyamanan hidup dan gemerlapan duniawi.53 Dapat juga dikatakan bahwa kelompok ayat-ayat yang lalu berbicara tentang Nabi Muhammad saw. selagi panglima perang di medan juang, kini kelompok ayat-ayat ini berbicara tentang beliau sebagai kepala rumah tangga yang membimbing dan mendidik keluarga beliau. Atau dengan kata lain, uraian kelompok ayat ini dan kelompok ayat lalu, kesemuanya menyatu pada pemaparan kepimimpinan Nabi Muhammad saw. di dalam keluarga kecil dan keluarga besar umat Islam. 53
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, cet-5, voleme-11 Op.cit., hlm. 255
56
Ayat di atas menyatakan, Hai Nabi, katakanlah kepada pasanganpasangan hidup-mu yakni istri-istrimu guna memberi mereka salah satu dari dua pilihan: “Jika kamu sekalian benar-benar menginginkan kelapangan kehidupan dunia, gemerlapan dan perhiasannya yang berpotensi mengalihkan seseorang dari mengingat Allah, maka marilah dengan penuh kesadaran supaya kuberikan kepada kamu semua mut‟ah yakni sebagai harta sebagai hadiah yang dapat meringankan dampak perceraian dan aku ceraikan kamu dengan cara perceraian yang baik tanpa rasa dengki atau amarah antar kita. Dan Jika kamu sekalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri akhirat tetapi bersabar hidup sederhana sebagaimana diajarkan Allah dan Rasul-Nya—menyediakan buat mereka—pahala yang besar. Ayat di atas juga dimulai dengan penghormatan kepada Nabi Muhammad saw. Ini antara lain bertujuan mengingatkan istri-istri beliau yang kepada mereka ditujukan kandungan ayat di atas agar menyadari kedudukan Nabi saw. sebagai utusan Allah, suatu kedudukan yang sangat tinggi, berbeda dengan manusia-manusia lain. Kedudukan tersebut menuntut konsekuensi dari beliau, dan juga dari keluarga beliau yaitu mereka semua harus tampil berbeda dan jauh lebih baik dari orang-orang lain. Istri-istri Nabi saw. yang dimaksud disini adalah A‟isyah binti Abū Bakr, Hafṣah binti „Umar , Ummu Ḥabibah binti Abī Sufyan
, Ummu
57
Khuza‟iyah, Maimunah binti al -Ḥariṡ al -Hilaliyah, Saudah binti Zam‟ah al „Amiriyah, Zainab binti Jahesy, dan S ̣afiyah binti Huyai al-Naẓiriyah.54 M. Quraish Shihab mengutip pendapat Ṭabāṭabā‟i, menggarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan “Menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya” adalah menjadikannya sebagai pokok dalam ketergantungan dan kecenderungan hati padanya, baik kehidupan yang dialami benar-benar menjadi lapang dan nyaman, maupun tidak. M. Quraish Shihab menambahkan bahwa bisa saja seseorang memperoleh kelapangan hidup dan hiasan duniawi yang melimpah, tetapi jika itu tidak dijadikannya sebagai pokok sehingga mengutamakannya atas akhirat dan hatinya tidak tergantung dan tidak cenderung kepadanya dengan kecenderungannya yang besar, maka ini pun dapat ditoleransi.55 Kata (ٍِ )تعا ىta‟ālaina terambil dari kata (ً„ )عاىālī yakni tinggi. Kata ini pada mulanya adalah panggilan dari yang berada pada posisi tinggi kepada yang berada di posisi rendah, namun berkembang sehingga menjadi panggilan secara mutlak. Penggunaan kata ta‟ālaina yang ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. itu, mengesankan bahwa mereka—atas perintah Allah—diajak oleh Nabi saw. meningkat ke peringkat yang lebih tinggi dari posisi mereka ketika diajak itu. Orang-orang yang tenggelam dalam kenikmatan duniawi, berada dalam posisi rendah, sedang mereka yng tidak menjadikannya sebagai tuntutan pokok tetapi mengarah kepada Allah, mereka itulah yang berada pada posisi tinggi. 54
Ibid., hlm. 256 Ibid., hlm. 257. Lihat juga: Muhammad Husain at ̣ -ṭaba‟ṭaba‟i, Al-Mīzan fī Tafsīr al Qur‟ān, cet-1, juz-16, (Beirut: Mu‟assasah al-A‟lami, 1991), hlm. 312 55
58
Ketika ayat ini turun, Nabi saw. memulai dengan Aisyah ra. sambil memintanya agar bermusyawarah dengan ayahnya yakni Abu Bakr ra. Tanpa ragu dan tanpa menunggu, langsung Aisyah ra. menjawab: “Apakah dalam hal semacam ini akan bermusyawarah dengan ayahku? (Tidak!) Sesungguhnya yang aku inginkan adalah Allah dan Rasul-Nya serta kehidupan akhirat.” Demikian juga jawaban istri-istri beliau yang lain. Ada beberapa kandungan ayat dari latar belakangnya yang perlu digarisbawahi: Petama, bahwa istri-istri Nabi saw. adalah manusia biasa juga seperti semua manusia. Mereka adalah sebagaimana perempuan lain. Ada kecenderungan mereka untuk memperoleh hiasan hidup, dan untuk itu mereka “menuntut” Nabi saw. Permintaan mereka itu, tidak dipersalahkan Nabi saw., namun itu menyedihkan beliau, sampai-sampai beliau menyendiri enggan menerima tamu. Demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Kesedihan tersebut karena beliau ingin agar sitri-istrinya pun mencapai peringkat tinggi dalam pandangan Allah, dengan jalan tidak menjadikan perhatian pokoknya pada kehidupan duniawi. 56 Kedua, permintaan itu beliau tolak, bukannya karena beliau tidak memiliki peluang untuk mendapatkan harta. Tetapi apa yang beliau miliki, diberikan untuk hal-hal yang lebih penting, dan karena itu, beliau dan keluarga hidup sederhana. Lebih-lebih karena yang demikian itulah yang dikehendaki Allah buat beliau dan istri-istri beliau. Dalam konteks ini Sayyid Qut ̣b menulis 56
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, cet-5, voleme-2 op.cit., hlm. 257
59
bahwa setelah Nabi saw. memberi pilihan kepada istri-istrinya dan mereka semua memilih hidup bersama Nabi saw., setelah itu mereka pun bersepakat untuk tidak lagi akan menuntut apa yang berada di luar kemampuan Nabi. Masalahnya bukanlah ada atau tidaknya kemampuan Nabi saw., tetapi masalahnya adalah memilih Allah dan Rasul serta kehidupan akhirat secara keseluruhan atau memilih perhiasan duniawi dan kenyamanannya baik gudang-gudang gemerlapan duniawi ada ditangan mereka maupun rumahrumah mereka, kosong dan sedikit bekal pun. Ternyata Rasul saw. memilih akhirat. Dan beliau pun akhirnya sangat bergembira ketika istri-istri beliau itu, menjatuhkan pilihan yang sama. Ketiga, hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw., baik sebagai istri atau anak cucu, sama sekali tidak membatalkan prinsip dasar bahwa “Yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Kemuliaan diperoleh dengan ketakwaan”, karena itu pula ketika berbicara tentang ketidaksamaan istri-istri Nabi saw. dengan perempuan-perempuan lain, ditegaskan-Nya bahwa: Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa (ayat 32).57 Dapat disimpulkan bahwa, pada zaman istri-istri Nabi pun, sudah terdapat adanya indikasi bahwa perempuan memiliki kecenderungan terhadap harta, yakni dengan menuntut nafkah lebih terhadap suaminya. Namun hal itu juga harus dipertimbangkan mengingat perempuan sebagai istri juga harus
57
Ibid., hlm. 258
60
patuh terhadap suaminya, yakni dengan selalu berada di jalan Allah dan Rasul-Nya. b. QS. Ali Imrān [3]: 14
َّ ٍَِِ اطٍ ِش ا ْى َُقَ ْْطَ َش ِة ض ِت َّ ط ُح ُّب اى َّ ِب َٗا ْىف َ ِّْث ٍَِِ اى ِ َٕ اىز ِ ََْغا ِء َٗا ْىبٍََِِْ َٗا ْىق ِ ش َٖ َ٘ا ِ ُصٌَِِّ ىِيَّْا َّ َٗ غ َّ٘ ٍَ ِت َٗاأل ّْ َع ِاً َٗا ْى َح ْش ِ َرىِلَ ٍَتَا ُا ا ْى َحٍَا ِة اى ُّذ ٍَّْا آ َ َُ َٗا ْى َخ ٍْ ِو ا ْى ِ ََ هللاُ ِع ْْ َذُٓ ُحغُِْ ا ْى Artinya: “Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang tidak terbilang lagi berlipat ganda dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imrān [3]: 14). Ada yang dapat menghalangi seseorang untuk mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa di atas. Ada juga yang menghalanginya terlibat dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Hal-hal itulah yang dilukiskan oleh ayat ini. Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yakni aneka keinginan. Jika ada yang mengatakan dijadikan indah, maka sesuatu yang dijadikan indah itu , bisa jadi benar -benar indah , seperti keimanan yang dijadikan indah oleh Allah di dalam hati orang -orang beriman (baca QS . AlḤujurat [49]: 7), bisa jadi ia buruk tetapi ia diperindah oleh pemuka -pemuka masyarakat,
sebagaimana pemimpin kaum musyrikin memperindah
pembunuhan anak -anak dalam pandangan masyarakat mereka
(baca QS . al-
An‟a̔m [6]: 137), bisa jadi juga yang memperindah keburukan adalah setan (baca antara lain QS. Al-Anfal [8]: 48).
61
Ayat ini tidak menjelaskan siapa yang menjadikan indah hal-hal yang disebut oleh ayat ini. Yang diperindah adalah kecintaan kepada aneka syahwat. Syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi atau material.58 Yang dijadikan indah adalah kecintaan, bukan hal-hal yang disebutnya. Bisa jadi di antara apa yang disebut dalam rinciannya itu bukan merupakan dorongan hati yang sulit atau tidak terbendung. Tetapi kalau ia telah dicintai oleh seseorang, maka ketika itu ia menjadi sulit atau tidak terbendung. Hal-hal yang dicintai adalah keinginan terhadap perempuanperempuan, anak-anak laki-laki, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Apakah laki-laki dan anak perempuan tidak dicintai oleh manusia atau kata manusia pada ayat ini khusus laki-laki? Tidak dapat disangkal, bahwa manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah semua putra-putri Adam apalagi yang dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Ada dua jawaban yang dapat dikemukakan sebagai sebab tidak disebutnya laki-laki dan anak-anak perempuan. Pertama, ayat ini enggan mencatat secara eksplisit syahwat perempuan terhadap laki-laki, demi menjaga kehalusan perasaan perempuan. Di sisi lain, ayat ini menyebutkan anak-anak laki-laki, tidak anak perempuan, karena keadaan masyarakat ketika itu masih mendambakan anak-anak laki-laki dan tidak menyambut baik
58
Ibid., hlm. 25
62
kehadiran anak-anak perempuan. Masyarakat Arab Jahiliah ketika itu memandang rendah kedudukan perempuan dan menganggap mereka hanya pembawa aib. Pembelaan perempuan hanya tangis, dan pengabdiannya adalah mencuri, yakni mencuri harta suami untuk diberikan kepada ibu bapaknya, demikian ungkapan populer ketika itu. Itulah sebabnya, sehingga anak-anak perempuan tidak disebut dalam rangkaian redaksi ini. Jawaban kedua berkaitan dengan gaya bahasa al-Qur‟an, cenderung mempersingkat uraian. Misalnya jika ada kata yang menunjuk satu sifat yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh perempuan, maka kata tersebut tidak lagi memerlukan tambahan tanda untuk menunjukkan bahwa pelakunya adalah perempuan, tetapi jika pekerjaan itu dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, maka di sini diperlukan tambahan tanda. Misalnya kata pekerja, karena kerja dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, maka bila yang bekerja laki-laki, cukup berkata („ )عاٍوāmil, tetapi bila perempuan, kata yang menunjukannya harus dibubuhi apa yang dinamai ( )تاء تأٍّثtā‟ ta‟nits (huruf ta‟ yang menunjukkan bahwa pelakunya adalah perempuan), maka harus berkata („ )عاٍيتāmilah. Ini karena laki-laki dan perempuan keduanya dapat terlibat dalam pekerjaan. Tetpi jika sesuatu tidak mungkin dilakukan kecuali oleh perempuan, maka ta‟ ta‟nits tidak diperlukan lagi. Anda cukup berkata ( )حائضhā‟iḍ, bukan ( )حائضتhā‟iḍah, atau ( )حاٍوḥāmil, bukan ( )حاٍيتḥāmilah, karena hanya perempuan yang mengalami haid dan hamil/ mengandung.59
59
Ibid., hlm. 26
63
Kadang juga al-Qur‟an seringkali tidak menyebut lagi kata atau penggalan kalimat, jika dalam rangkaian susunan kalimat satu ayat telah ada yang mengisyaratkan kata atau penggalan kalimat yang tidak disebutnya itu. Dalam istilah tata bahasa Arab, ini dikenal dengan ( )احتباكiḥtibāk. Misalnya pada QS. Yūnus [10]:67. Dalam ayat ini, tidak menyebut anak-anak perempuan sebagai salah satu yang dicintai oleh manusia, karena perempuan telah disebut sebelumnya sebagai salah satu yang dicintai oleh manusia, demikian juga tidak disebut kecintaan kepada laki-laki, karena anak laki-laki telah disebut sebagai salah satu yang dicintai oleh mereka. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ayat tersebut menyatakan Dijadikan indah bagi manusia seluruhnya, kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu perempuan-perempuan bagi laki-laki, dan para laki-laki bagi perempuan, serta anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Dijadikan indah juga bagi manusia, kecintaan kepada harta yang tidak terbilang lagi berlipat ganda. Kata ( )اىقْاطٍشal-qanāṭir adalah bentuk jamak dari ( )قْطاسqinṭār. Ada yang memahami kata qinṭār dalam bilangan tertentu, seperti 100 kg, atau uang dengan jumlah tertentu, dan ada juga yang tidak menetapakan jumlah. Qinṭār menurut penganut pendapat kedua ini adalah timbangan tanpa batas. Ia adalah sejumlah harta yang menjadikan pemiliknya dapat menghadapi kesulitan hidup, dan membelanjakannya guna meraih kenyamanan bagi diri dan keluarga.
64
Kata ( )ٍقْطشةmuqanṭarah adalah pelipatgandaan dari ( )اىقْاطٍشalqanāṭir.60 Dengan memperhatikan ayat ini dapat tergambar betapa kecintaan manusia kepada harta. Bukan saja satu qinṭār, yakni jumlah yang tidak terbatas dan mencukupinya meraih kenyamanan, tetapi qanāṭir, yakni banyak qinṭār, bahkan bukan hanya banyak, yang banyak itu pun berlipat ganda, yakni menjadi muqanṭarah. Itulah sifat manusia menyangkut harta benda dari jenis emas, perak dan sebagainya. Demikian juga kuda pilihan. Kata pilihan adalah terjemahan yang sangat umum untuk kata ()ٍغٍ٘ت musawwamah yang digunakan ayat di atas. ّ Kata ini mempunyai banyak arti, antara lain tempat penggembalaan, yakni ia dapat makan seenaknya, bukannya kuda yang diikat dan disajikan makanan kepadanya. Ia juga berarti yang bertanda, yakni ada tanda-tanda khusus bagi kuda-kuda itu, yang membedakannya dari kuda-kuda lain. Atau bermakna terlatih dan jinak. Apa pun makna yang dipilih, yang pasti bahwa kuda-kuda yang dimaksud adalah kuda-kuda istimewa yang berbeda dengan kuda-kuda biasa, sehingga ia benar-benar merupakan kuda pilihan. Selanjutnya, binatang ternak pun merupakan salah satu yang dicintai manusia. Istilah yang digunakan oleh ayat ini untuk menunjuk binatang itu adalah (ً )األّعاal-an‟ām. Kata ini adalah bentuk jamak dari kata (ٌ )ّعna‟am. Binatang ternak yang dimaksud adalah sapi, kambing, domba, dan unta, baik jantan maupun betina, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-An‟ām [6]: 143144.
60
Ibid., hlm. 27
65
Yang terakhir disebut oleh ayat ini adalah sawah ladang, yang ditunjuk oleh ayat di atas dengan kata ( )حشḥarṡ. Ini dijadikan yang terakhir karena untuk memilikinya diperlukan tenaga ekstra dari manusia, bukan seperti emas, perak, dan lain-lain. Barang-barang tersebut adalah barang-barang yang telah wujud dan tidak diperlukan upaya khusus manusia untuk mengadakannya. Kata ḥarṡ menujuk kepada upaya membajak tanah. Tanah bersifat keras sehingga harus terlebih dahulu dibajak untuk ditanami benih, kemudian diolah dengan menyiraminya agar tumbuhan dapat tumbuh, selanjutnya tanah tersebut menjadi sawah dan ladang. Timbul pertanyaan, siapa yang memperindah hal-hal di atas dalam pandangan manusia? Siapa yang menjadikan syahwat buat mereka? Jika kita berkata, bahwa yang memperindah adalah Allah, adalah merupakan fitnah, yakni bawaan manusia sejak lahirnya, bahwa dia mencintai lawan seksnya, serta harta benda yang beraneka ragam.61 Allah swt. Menugaskan manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Mereka ditugaskan membangun dan memakmurkannya. Untuk maksud tersebut, Allah swt. Menganugerahkan naluri kepadanya yang rinciannya antara lain disebutkan oleh ayat ini. Untuk melaksanakan tugas kekhalifahan itu, manusia harus memiliki naluri mempertahankan hidup di tengah aneka makhluk, baik dari jenisnya maupun dari jenis makhluk hidup yang lain, yang memiliki naluri yang sama. Naluri inilah yang merupakan pendorong umat bagi segala aktivitas manusia. Dorongan ini mencakup dua hal pokok, yaitu
61
Ibid., hlm. 28
66
“mamalihara diri” dan “memelihara jenis”. Dari kaduanya lahir aneka dorongan, seperti memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, keinginan untuk memiliki, hasrat untuk menonjol. Semuanya berhubungan erat dengan dorongan/fitrah memelihara diri, sedang dorongan seksual berkaitan dengan upaya manusia memelihara jenisnya. Itulah sebagian fitrah yang dihiaskan Allah kepada manusi, yang dinamai “hubbu asy-syahawat” (QS. Ali Imrān [3]: 14). Al-Qur‟an menamainya demikian, bahkan menjadikannya sebagai syahwat, karena segala aktivitas manusia memerlukan daya yang melahirkan keletihan—paling tidak—menghadapi daya tarik bumi. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan susah payah” (QS. AlBalad [90]: 4). Dari sini diperlukan daya dorong yang melebihi “keletihan” itu, atau dengan kata lain, diperlukan “hubbu asy-syahawat”. Perlu diingat, bahwa ketika al-Qur‟an mengakui dan menegaskan adanya kecinntaan kepada syahwat-syahwat itu, atau dengan kata lain dorongan-dorongan untuk melakukan aktivitas kerja, ia juga menggarisbawahi dorongan yang seharusnya lebih besar, yakni memperoleh “apa yang berada di sisi Allah.” Karena itu, ayat di atas diakhiri dengan pernyataan ( ِٗهللا عْذٓ حغ )اىَأآwa Allāhu „indahu ḥusnu al -ma‟āb. Di sisi Allah terdapat kesudahan yang baik. Jika demikian, pandangan seseorang harus melampaui batas masa kini dan masa depannya yang dekat, menuju ke masa depan yang jauh. Visi masa depan yang jauh merupakan etika pertama dan utama dalam setiap aktivitas, sehingga pelakunya tidak sekadar mengejar keuntungan
67
sementara/duniawi yang segera habis, tetapi selalu berorientasi masa depan. Dari sini pula al-Qur‟an mengingatkan, bahwa sukses yang diperoleh mereka yang berpandangan dekat bisa melahirkan penyesalan, dan bahwa kelak—di masa depan—mereka akan merugi dan dikecam. Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya mereka jahannam, dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedang dia adalah mu‟min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya akan disyukuri (dibalas) dengan baik” (QS. Al-Isrā‟ [17]: 18-19).62 Demikianlah makna dan pesan ayat di atas, bila dipahami bahwa yang memperindah syahwat itu adalah Allah swt. Jika demikian, keseluruhan apa yang disebut di atas, pada dasarnya baik, karena itu lanjutan ayat tersebut menyatakan, “Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” Kesenangan hidup dilukiskan oleh ayat di atas dengan istilah ()ٍتاا matā‟, yang makna asalnya adalah kesenangan yang mudah diperoleh lagi sementara. Sekali lagi, kalau syahwat di atas digunakan sebagaimana digariskan Allah, serta sesuai dengan tujuan-Nya memperindah, maka semua yang disebut itu adalah baik. Yang mencintai lawan seksnya, bahkan melakukan
62
Ibid., hlm. 29
68
hubungan seks demi memelihara diri dan memperoleh keturunan, bukan saja tidak berdosa, tetapi justru berpahala. “Hubungan seks kalian adalah sedekah”, demikian sabda Nabi saw. Sahabat beliau yang mendengar ucapan ini terheran-heran dan bertanya, maka beliau menjawab, “Bukankah jika dia meletakkan (sperma)nya dalam (wadah) yang haram dia berdosa?” HR. Muslim melalui Abu Dzar).63 Para nabi pun merindukan anak, bacalah doa Nabi Zakariyya yang diabadikan al-Qur‟an: “Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri (tanpa anak) dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.” (QS. AlAnbiyā‟ [21]: 89). Harta benda, bahkan harta yang banyak, oleh al-Qur‟an dinamai ()خٍش khair, yakni sesuatu yang baik (baca QS. Al-Baqarah [2]: 180), bukan saja untuk mengisyaratkan bahwa ia harus diperoleh dan digunakan secara baik, tetapi juga untuk menambah kebaikan seseorang. Demikian Allah menghiaskan hal-hal tersebut kepada manusia untuk tujuan-tujuan yang baik. Kalau yang memperindahnya adalah setan, maka syahwat-syahwat tersebut menjadi tujuan. Ia diupayakan dan dimanfaatkan untuk tujuan di sini dan sekarang, di dunia ini, bukan akhirat kelak.
63 َّ َح َّذثََْا َع ْب ُذ ِِ ص ٌو ٍَ ْ٘ىَى أَبًِ ُعٍَ ٍَْْتَ عَِْ ٌَ ْحٍَى ْب ْ َهللاِ بُِْ ٍُ َح ََّ ِذ ْب ِِ أ ُّ اىضبَ ِع ًُّ َح َّذثََْا ٍَ ْٖ ِذ ُّ ع ََا َء ِ ي بُِْ ٍَ ٍْ َُ٘ ٍُ َح َّذثََْا َٗا َ َ َ َع َ٘ ِد اىذٌِّيِ ًِّ عَِْ أَبًِ ر ٍّرس َ َّ َّ ُ َّ َّ َّ َ َّ َّ ْ َ ْ صيى هللاُ ُعق ٍْ ٍو عَِْ ٌَ ْحٍَى ْب ِِ ٌَ ْع ََ َش عَِْ أبًِ األ ْ عا ٍِِْ أ َ ًِّ ِعي ٌَ قاى٘ا ىِيْب َ َٗ ِٔ ٍْ صيى هللاُ َعي َ ًِّ ِآ اىْب ً أََُّ َّا ِ ص َحا ُ ََٗ ض٘ ِه أَ ٍْ َ٘اىِ ِٖ ٌْ قَا َه أ َ َ ُ ُ ُ ِّ ُّ َّ َّ ُ َ ْ َ َ َ ُ ص َّذقَُ٘ بِف ُ ّ ص٘ ٍَُُ٘ م ََا ُ ٌََٗ ًصي ُ عي ٌَ ٌَا َس َ ص٘ ًُ ٌََٗت َ ّ صيَُ٘ م ََا َ ٌُ َب أ ْٕ ُو اى ُّذث٘ ِس بِاأل ُج٘ ِس َ ٕع٘ َه هللاِ ر َ َٗ ِٔ ٍْ ََعي ً ً ً ُ َ َ َ َّ َ َ ْ ُ ُ ُ ُ ُ َ َ َ َ ص َذقَتً َٗأَ ٍْ ٌش ت ي ٍ ي ٖ ت و م ٗ ت ق ذ ص ة ذ ٍ َ َح ت و م ٗ ت ق ذ ص ة ش ٍ ب ن ت و م ٗ ت ق ذ ص ت ٍح ب غ ت و ن ب إ ق ذ ص ت ا ٍ ٌ ن ى هللا و ع ج َ ٍ ِ ْ ِّ َ َ َ ٍ َ ِ ْ ِّ َ َ َ ٍ َ ِ ِّ َ َ َ ٍ َ ِ ْ ِّ ِ َُِّ َُ٘ َّ َّ َ ٍْ َى َ ْ ُ َ َ َ ظ قَ ْذ َ ٌ ٌ َ َ َّ ع٘ َه ْ َ ُ َ ش ْٖ َ٘تَُٔ ٌََٗ ُنُُ٘ ىَُٔ فٍِ َٖا أَ ْج ٌش قَا َه ٌ م ذ ح أ ع ض ب ً ف ٗ ت ق ذ ص ش ن ْ ٍ ع ً ٖ ّ ٗ ت ق ذ ص ٗف ش ع ََ بِا ْى َِْ َ هللاِ أٌََأتًِ أَ َح ُذَّا َ َ ْ ْ ْ ُ ص َذقَتٌ قَاىُ٘ا ٌَا َس ُ ُ َ ْ ِ َ ِ َ ٍ ُ َ ِ ِ َ ٌ َ ض َع َٖا فًِ ا ْى َح َال ِه َماَُ ىَُٔ أَ ْج ًشا َ َٗ ض َع َٖا فًِ َح َش ٍاً أَ َماَُ َعيَ ٍْ ِٔ فٍِ َٖا ِٗ ْص ٌس فَ َن َزىِ َل إِ َرا َ َٗ ْ٘ َأَ َسأَ ٌْتُ ٌْ ى
69
Seks, jika diperindah setan, maka ia dijadikan tujuan. Cara dan dengan siapa pun, tidak lagi diindahkan. Yang peting dilampiaskan walau secara kotor sekalipun. Jika setan memperindah kecintaan kepada anak, maka subjektivitas akan muncul, bahkan karena cintanya, orang tua membela anaknya walau salah. Dia memberinya walau melanggar, bahkan menganiaya orang lain, walau temannya yang akrab.64 Jika harta dicintakan setan kepada manusia, maka dia akan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya, dia akan menumpuk dan menumpuk serta melupakan fungsi sosial harta, demikian seterusnya. Yang dilukiskan di atas, tidak dikehendaki Allah, dan bukan itu tujuan Allah memperindah syahwat-syahwat itu untuk manusia.65 Semua syahwat yang disebut di atas—lawan seks, anak, harta yang berneka ragam— semuanya adalah baik, tetapi ada yang lebih baik dari itu. Yaitu yang dijelaskan pada ayat selanjutnya yakni apa yang disediakan untuk orangorang yang bertakwa yakni yang menggunakan naluri kecintaan yang melekat pada dirinya sesuai dengan cara dan tujuan yang digariskan Allah.66 Meskipun itu juga meupakan naluri manusia untuk mencintai keluarga, anak, dan harta benda, namun hal itu juga dilarang jika berlawanan dengan nilai-nilai ilahi, tetapi ketika hal itu tidak berlawanan, maka hal itu diperbolehkan. Karena hal itu juga dielaskan dalam Q.S at-Taubah [9] : 24
64
Ibid. hlm 30 Ibid. hlm. 31 66 Ibid. hlm. 32 65
70
bahwa adanya larangan mencintai keluarga dan harta benda, meskipun hal itu merupakan naluri manusia.67 Dapat disimpulkan bahwa, kecintaan terhadap perempuan, anak, dan harta benda merupakan sifat alamiah manusia dan yang memperindah segala sesuatu adalah manusia itu sendiri. Karena hal itu merupakan bawaan manusia sejak lahir jika laki-laki dan perempuan mencintai lawan seksnya, serta harta benda yang beraneka ragam. Hal itulah yang disebut dengan syahwat. Namun dari syahwat tersebut harus dibarengi dengan maksud untuk memperoleh cinta di sisi Allah serta mendapatkannya harus dengan nilai-nilai Ilahi.
67
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, op.cit., volume-5, hlm. 561