35
BAB II PEMBENTUKAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN PENCAK SILAT
A. Pembentukan Karakter 1. Pengertian, dan tujuan pembentukan karakter a. Pengertian Pembentukan karakter telah lama menjadi ide dasar mengenai pendidikan itu sendiri. Dalam literatur Yunani dan Romawi, ide-ide tentang pendidikan manusia dalam masyarakat modern memuncak dalam kesadaran roh Hegelian, untuk kemudian memuncak pada kesadaran dialektika sebagai sebuah bagian integral
dari
pendekatan
pembentukan
karakter
melalui
pendidikan.1 Menurut
Simon
Philips
mengenai
karakter
adalah
kumpulan tata nilai menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku yang ditampilkan.2 Sedangkan menurut Dirjen Dikti bahwa pendidikan karakter adalah Sebagai nilai-nilai khas-baik yang berdampak pada lingkungan yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam prilaku. Dimana
1
Esti Zaduqisti, Pendidikan Karakter Perspektif Aplikatif dalam proseding seminar internasional yang berjudul “Character Building Through Education” (Pekalongan : STAIN Press), hlm. 227 2
Fatchul Muin, Pendidikan Karakter Kontruksi Teoritik Dan Praktik, hlm. 160
35
36
karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olahraga, dan olah rasa serta serta karsa seseorang.3 Kemudian Syaiful Anam mendefinisikan pendidikan karakter sebagai proses internalisasi budaya kedalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, melainkan lebih luas lagi, yakni sebagai sarana pembudaya dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi).4 Sedangkan dalam islam mengenai pembentukan karakter harus dimulai dari masa balita bahkan sejak masih di kandungan, sehingga akan melekat apa yang di ajarkan dan dewasa menjadi sikap yang diharapkan, sebagaimana pendapat imam al-ghozali bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak difikirkan lagi.5 Seperti nilai kesopanan, keramahan dan kehalusan budi pekerti.6 Pembentukan
karakter,
menurut
Ratna
Megawangi,
“sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang 3
Barnawi dan M. Arifin, Strategi DAN Kebijakan..., hlm. 21
4
Barnawi dan M. Arifin, Strategi DAN Kebijakan..., hlm. 24
5
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter :..., hlm. 70
6
Muhammad Takdir Illahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral (Yogyakarta : ArRuzz Media, 2012), hlm. 141
37
positif kepada lingkungannya.” Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry Gaffar “Sebuah proses transportasi nilai-nilai kehidupan orang itu untuk ditumbuh kembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.” Dalam definisi tersebut, ada tiga ide pikiran penting, yaitu: 1) proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuh kembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku. Dalam konteks kajian P3 (Pusat Pengkajian Pedagogik), kami mendefinisikan pembentukan karakter dalam seting sekolah sebagai
“Pembelajaran
pendidikan
pada
penguatan
dan
pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang di rujuk oleh sekolah”. Definisi ini mengandung makna : 1) Pembentukan karakter merupakan pendidikan yang terintregrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran; 2) Diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh. Asumsinya anak merupakan organisasi manusia yang
memiliki
potensi
potensi
untuk
dikuatkan
dan
dikembangkan; 3) Penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah (lembaga).7
7
Dharma Kusuma, DKK, Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolahan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 5
38
Dari beberapa literature yang telah penulis paparkan, penulis menyimpulkan bahwa pembentukan karakter memiliki dimensi ruang dan waktu sesuai dengan nilai-nilai dan kearifan lokal yang dianut pada masing-masing kebudayaan. Maka dalam konteks penelitian ini, pembentukan karakter yang yang dimaksud oleh penulis adalah melalui jenis kegiatan yang melekat pada kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler sekolah.8 Pembentukan karakter berbeda dengan pendidikan dan pengembangan karakter. Pembentukan karakter melalui upaya sebagaimana tujuan yang ada, diarahkan dan di bentuk sesuai dengan apa yang menjadi aturan dan proses pendidikan pencak silat setia hati terate. Sedangkan pendidikan dan pengembangan hanya
mengajar
dan
menyalurkan
sebuah
nilai
dan
mengembangkan potensi yang ada. Pembentukan karakter ini berawal dari potensi manusia yang telah ada dan berkembang kemudian dibentuk dan diarahkan pada hal yang positif serta terukur sesuai dengan maksud atau tujuan pencak silat setia hati terate. b. Tujuan pembentukan karakter dalam pendidikan Sebelum mengkaji tentang tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah, perlu kita renungkan sebuah pertanyaan
8
Terdapat 3 implementasi pembentukan karakter yang ada di sekolah, salah satunya melalui kegiatan ekstrakulikuler. Lihat Agus Wibowo, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsepdan Praktik Implementasi), (Yogyakarta :PustakaPelajar, 2012), hlm. 15
39
berikut “Apakah tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 bersesuaian dengan pendidikan karakter?‟‟ Analisis yang telah dilakukan oleh Pusat Pengkajian Pedagogik dapat dijadikan sebagai salah satu tinjauan tentang tujuan pendidikan nasional. Pada hakikatnya, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya.9 Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UUSPN No.20 tahun 2003 Bab 2 Pasal 3: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalm rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dalam konteks pendidikan karakter, kami melihat bahwa kemampuan yang harus dikembangkan pada peserta didik melalui persekolahan adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan
9
Dharma Kusuma, DKK, Pendidikan Karakter :..., hlm. 6
40
manusia sebagai makhluk yang berketuhanan (tunduk patuh pada konsep ketuhanan) dan mengemban amanah sebagai pemimpin di dunia. Kemampuan yang perlu di kembangkan pada peserta didik Indonesia adalah kemampuan mengabdi kepada Tuhan yang menciptakannya, kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri, kemampuan untuk hidup secara harmoni dengan manusia dan makhluk lainnya, dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai wahana kemakmuran dan kesejahteraan bersama.10 Singkat kata, bawasannya tujuan pendidikan nasional mengarah
pada
pengembangan
berbagai
karakter
manusia
Indonesia, walaupun dalam penyelenggaraannya masih jauh dari apa yang dimaksuddkan dalam UU. Secara singkat, pendidikan nasional sebaiknya pendidikan karakter bukan hanya pendidikan akademik semata. Lalu apa tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah? Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai berikut : 1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap
penting
dan
perlu
sehingga
menjadi
kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan;
10
Dharma Kusuma, DKK, Pendidikan Karakter :..., hlm. 7
41
2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah; 3) Membangun kondisi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dan memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Tujuan pertama pembentukan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah ( setelah lulus dari sekolah).11 Tujuan kedua pembentukan karakter adalah mengkoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negative menjadi positif. Proses pelurusan yang di maknai sebagai pengkoreksian perilaku dipahami sebagai proses yang pedagogis, bukan suatu paksaan atau pengkondisian yang tidak mendidik. Proses pedagogis dalam pengkoreksian perilaku negatif diarahkan pada pola pikir anak, kemudian dibarengi dengan ketaladanan lingkungan sekolah dan rumah, dan proses pembiasaan berdasarkan tingkat dan jenjang sekolah.
11
Dharma Kusuma, DKK, Pendidikan Karakter :..., hlm. 9
42
Tujuan ketiga dalam pembentukan karakter setting sekolah adalah membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter scara bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan karakter di sekolah harus di hubungkan dengan proses pendidikan di keluarga. Jika saja pendidikan karakter di sekolah hanya bertumpu pada interaksi antara peserta didik dengan guru di kelas dan sekolah, maka pencapainan berbagai karakter yang di harapkan akan sulit di wujudkan. Mengapa demikian? Karena penguatan perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh (holistik) bukan suatu cuplikan dari rentangan waktu yang dimiliki oleh anak.12 2. Sekilas pembentukan karakter dalam pendidikan di Indonesia Ketika bangsa Indonesia bersepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para bapak pendiri bangsa (the founding fathers) menyadari bahwa paling tidak ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi. Pertama, adalah mendirikan negara bersatu dan berdaulat, kedua adalah membangun bangsa, dan ketiga adalah membangun karakter. Ketiga hal tersebut secaara jelas tampak dalam konsep negara bangsa (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Pada implementasinya kemudian upaya mendirikan negara relatif lebih
12
Dharma Kusuma, DKK, Pendidikan Karakter :..., hlm. 11
43
cepat jika dibandingkan dengan upaya untuk memebangun bangsa dan membangun karakter. Kedua hal terakhir itu terbukti harus di upayakan terus-menerus, tidak boleh putus di sepanjaang sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu bapak pendiri bangsa, presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahkan menegaskan: “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli.” Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini memaang dirasakan mendesak. Gambaran situasi masyarakat bahkan situasi dunia pendidikan di Indonesia menjadi motivasi pokok pengarusutamaan (mainstreaming) implementasi pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan karakter di Indonesia di rasakan amat perlu pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya tawuran antarpelajar serta bentuk-bentuk kenalan remaja lainnya terutama di kotakota besar, pemerasan/kekerasan (bullying), kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, fenomena suporter bonek, penggunaan narkoba, dan lain-lain. Bahkan yang paling memprihatinkan keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui kantin kejujuran di sejumlah sekolah, banyak yang gagal, bayak usaha kantin kejujuran yang dibangun karena belum bangkitnya sikap jujur pada anak-anak.
44
Maka hal yang harus di sepakati secara nasional disini adalah bagaimana
memberantas
perilaku
tidak
terpuji
itu
melalui
implementasi pendidikan karakter yang efektif bagi seluruh warga sekolah. keprihatinan itu menjadi keprihatinan nasional. Pada perayaan hari raya nyepi di Jakarta tahun 2010 yang lalu, Presiden Republik Indonesia menyampaikan pesannya: “Pembangunan watak (character building) amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berahklak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).” A good name ia seldom regained. When character is gone, all gone and one of the richest jewels of life is lost forever (J.Hawes). Keharuman nama jarang bisa dipulihkan. Ketika karakter lenyap. Satusatunya mutiara kehidupan yang paling berharga sirna selamanya.13 a. Dukungan Pemerintah Terhadap Pembentukan Karakter dalam Pendidikan di Indonesia 1) Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2007 tentang RJPS Dalam Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2007 tentang RJPS dinyatakan dalam tujuan pembangunan jangkan panjang tahun 2005-2025 adalah mewujudkan bangsa yang maju, mandiri dan adil sebagai landasan bagi tahapan pembangunan
13
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, hlm. 6
45
berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara tahun 1945. Salah satu ukuran tercapainya
Indonesia
yang
maju,
mandiri,
dan
adil
pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlaq mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab. Dimana pencapaian tersebut dapat di tandai dengan 2 hal sebagai berikut : a) Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetetif, berakhlaq mulia dan bermoral berdasarkan falsafah pancasila yang dicirikan dengan watak dan prilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjuang patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi IPTEK. b) Makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia dan menguatnya jati diri dan kepribadian bangsa.14 Pembangunan dan pemantapan jati diri bangsa ditujukan untuk mewujudkan karakter bangsa dan sistem sosial yang berakar, unik, modern dan unggul. Jati diri tersebut merupakan kombinasi
14
antara
nilai
lurur
bangsa,
Barnawi dan M. Arifin, Strategi DAN Kebijakan..., hlm. 44
seperti
religius,
46
kebersamaan dan persatuan, serta nilai modern yang universal yang mencangkup etos kerja dan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Untuk memperkuat jati diri bangsa dan kebanggaan bangsa, pembangunan olehraga diarahkan pada peningkatan budaya dan prestasi olahraga. 2) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-undang ini kita dapat melihat fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam bab 2 dan 3 yaitu “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakep, dan kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta tanggung jawab”. Dari fungsi dan tujuan diatas ada dua hal penting yang harus
diwujudkan
lembaga
pendidikan.
Pertama,
mengembangkan kemampuan dan kedua membentuk watak. Perkembangan kemampuan berkaitan dengan head, sedangkan mengembangkan
watak
kaitannya
heart.
Outcome
pengembangan kemampuan merujuk pada kualitas academik, sedangkan outcome dari membentuk watak adalah terwujudnya lulusan yang khusnul khuluq.15
15
Barnawi dan M. Arifin, Strategi DAN Kebijakan..., hlm. 45
47
3) INPRES No. 1 tahun 2010 : percepatan pelaksanaan pembangunan nasioanl tahun 2010 Substansi dari INPRES No. 1 tahun 2010 dapat disimpulkan bahwa penekanan INPRES tersebut terdapat pada dua hal yaitu pertama, metode pembelajaran aktif : dan kedua, membentuk daya saing dan karakter bangsa.16 4) Arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam puncak peringatan HARDIKNAS tanggal 11 Mei 2010 di Istana Negara “Saudara-saudara kalau saya berkunjung ke SD,SMP,SMA, saudara sering menjumpai saya, sebelum saya presentasikan sesuatu yang jauh, yang maju, yang membanggakan, saya lihat kamar mandi dan WC-nya bersih tidak, bau tidak, airnya ada tidak. Ada nggak tumbuhan supaya tidak kerontang disitu. Kebersihan secara umum, ketertiban secara umum. Sebab kalau anak kita TK, SD, SMP selama 10 tahun lebih tiap hari berada dalam lingkungan yang tertib, lingkungan yang teratur itu adalah values creation. Ada character building dari segi itu. Jadi bisa kita lakukan semuanya itu dengan sebaik-baiknya...” Dari apa yang diarahkan presiden tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut ; a) Sekolah penting untuk menciptakan lingkungan yang aerogonomis dan sehat karena kondisi tersebut dapat membentuk suasana belajar yang nyaman dan pikiran yang tidak kacau. b) Nilai-nilai
kreatif
akan
muncul
lingkungan yang baik
16
Barnawi dan M. Arifin, Strategi DAN Kebijakan..., hlm. 46
jika
didukung
oleh
48
c) Lingkungan yang bersih, asri, dan tertib adalah sebuah budaya yang mendukung pendidikan karakter.17 5) Grand design pendidikan karakter Karakter
seseorang
dibentuk
dari
apa
yang
telah
dipelajarinya disekolahan, keluarga, dan di masyarakat. Dari ketiga hal ini menjadi sebuah sistem yang harus dilakukan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan yang efektif dengan di lengkapi proses pembiasaan dan intervensi sesuai nilai dan harapan yang dianut. Transfer nilai-nilai luhur dalam diri anak melalui keluarga, sekolah dan masyarakat outcome yang diharapkan adalah terwujudnya prilaku yang berkarakter. Adapun grand design pendidikan karakter dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini18 ;
Diagram 2. Grand design pendidikan karakter
17 18
Barnawi dan M. Arifin, Strategi DAN Kebijakan..., hlm. 48 Barnawi dan M. Arifin, Strategi DAN Kebijakan..., hlm. 51
49
Dari gambar diatas dapat dideskripsikan sebagai berikut ; a) Pendidikan karakter berpijak pada pada landasan filosofis yang bersumber pada Agama, Dasar Negara, UUD 1945, dan kebijakan pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dari landasan ini diperoleh nilai-nilai luhur baik, yang bersifat partikular maupun universal. Perlu ditegaskan bahwa nilai-nilai luhur yang bersifat partikular merupakan kearifan lokal yang perlu dilestarikan. b) Nilai-nilai luhur dalam pembelajaran dapat disampaikan dengan teori belajar yang tepat, sesuai dengan tingkat perkembangan
psikologis
peserta
didik,
dengan
memperhatikan nilai sosial budaya masyarakat atau latar belakang peserta didik. c) Pengalaman-pengalaman, baik yang bersifat nyata maupun fiksi, dapat menjadi sumber inspirasi dalam pendidikan karakter. Contoh novel laskar pelangi yang dilatarbelakangi oleh sebuah sekolah dari daerah terpencil dengan fasilitas seadanya dapat menghasilkan generasi yang berkarakter kuat, berhasil dalam pendidikan, gigih dalam berjuang dan religius.19
19
Barnawi dan M. Arifin, Strategi DAN Kebijakan..., hlm. 51
50
b. Pembelajaran efektif dan berkarakter Pembelajaran efektif dan berkarakter dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut ; 1) Pemanasan dan apersepsi Pemanasan dan apersepsi perlu dilakukan untuk menjajaki pengetahuan peserta didik, memotivasi peserta didik dengan meyajikan materi yang menarik, dan mendorong mereka untuk lebih mengetahui berbagai hal baru. 2) Eksplorasi Merupakan kegiatan pembelajaran untuk mengenalkan bahan dan mengkaitkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik kemudian memilih metode yang tepat dan digunakan secara variatif untuk meningkatkan penerimaan peserta didik terhadap materi standar dan kompetensi baru. 3) Konsolidasi pembelajaran Merupakan kegiatan untuk mengaktifkan peserta didik dalam pembentukan
kompetensi,
dengan
mengkaitkan
antara
kompetensi dengan kehidupan sehari-hari melalui pelibatan peserta didik dalam semua kegiatan dalam pembelajaran.20 4) Pembentukan kompetensi dan karakter Pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik dapat dilakukan sebagai berikut ;
20
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta : Bumi Aksara, 2013), hlm. 132
51
a) Mendorong peserta didik untuk menerapkan konsep, pengertian, dan kompetensi yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. b) Mempraktikkan pembelajaran secara langsung c) Menggunakan metodologi yang paling tepat agar terjadi perubahan kompetensi dan karakter peserta didik. 5) Penilaian formatif a) Kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik b) Gunakan hasil penilaian tersebut untuk menganalisis kelemahan atau kekurangan peserta didik dan masalahmasalah yang dihadapi guru dalam memberikan kemudahan kepada peserta didik. c) Pilihlah metodologi yang paling tepat sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.21 3. Strategi pembentukan karakter Perkembangan diri dari penjajah merupakan salah satu proses dan peristiwa mahabesar dalam sejarah bangsa Indonesia. Kemerdekaan Indonesia dicapai setelah para pejuang kemerdekaan melewati tantangan-tantangan yang sangat besar dan memberikan pengorbanan yang luar biasa, termasuk pengorbanan jiwa. Kemerdekaan dari penjajah bisa dicapai setelah para tokoh pejuang kemerdekaan berhasil
21
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, hlm. 133
52
membangun dan menyatukan kekuatan-kekuatan semua unsur masyarakat yang sangat bineka. Mereka dengan tidak mengenl lelah, dengan mengorbankan kepentingan diri mereka sendiri, mendidik rakyat Indonesia dan menjadi sumber inspirasi bagi rakyat untuk bangkit menjadi bangsa yang berani, percaya diri, optimis, bersedia berkorban, pantang menyerah, menghargai kebinekaan, dan bersatu mencapai cita-cita bersama, yaitu Indonesia Merdeka. Boleh dikatakan bahwa kemerdekaan
Indonesia tercapai
karena
para pejuang
kemerdekaan berhasil menyatukan dan membangunkan kekuatan bangsa melalui pendidikan karakter dalam arti luas. Sayangnya, ketika Indonesia ingin membangun perekonomian, pengalaman sejarah ini dikesampingkan, seolah-olah pembangunan karakter tidak diperlukan lagi ketika suatu negara ingin membangun perekonomian.22 Proses pembentukan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh factor-faktor khas yang ada dalam diri orang yang bersangkutan yang sering disebut factor endogen dan oleh factor lingkungan atau yang sering disebut factor eksogen antara kedua terjadi interaksi. Namun, perlu diingat bahwa factor endogen boleh dikatakan berada diluar jangkauan masyarakat. Segala sesuatu yang berada dalam pengaruh kita, baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Jadi, dalam usaha pengembangan karakter
22
Tim Pakar Yayasan Diri Bangsa, Pendidikan Karakter di Sekolah : Dari gagasan ketindakan (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 18-19
53
pada tataran individu dan masyarakat, focus perhatian kita adalah faktor yang bisa kita pengaruhi, yaitu pada pembentukan lingkungan.23 Pendidikan karakter tentu saja bukan hanya merupakan tanggung jawab sekolah, melainkan tanggung jawab bersama dari mereka semua yang menyentuh nilai dan kehidupan para anak muda, berawal dengan keluarga dan meluas hingga komonitas iman, organisasi, bisnis, pemerintahan, bahkan media. Harapan akan masa depan adalah bahwa kita akan berkumpul bersama dengan penyebab yang sama : mengangkat pendidikan karakter anak-anak kita, karakter kita sendiri sebagai orang dewasa, dan pada akhirnya karakter kebudayaan kita. Pendidikan karakter, selalu kami tekankan, bukanlah merupakan ide yang baru. Sepanjang sejarah, diseluruh dunia, pendidikan memiliki dua tujuan utama : untuk membantu para siswa menjadi pintar dan untuk membantu mereka menjadi baik.24 a. Strategi pembentukan karakter di sekolah Strategi pembelajaran merupakan mata rantai ketiga yang menghubungkan antara materi pelajaran dan kompetensi dari suatu materi. Strategi yang ideal hendaknya linear dengan materi dan kompetensi yang dicapai. Sebagai contoh jika materinya berenang, kompetensinya adalah dapat berenang, dan strategi yang paling tepat adalah praktik renang. Dalam konteks pendidikan karakter, materi dan kompetensi mengacu pada SKL-SP dan SKK-MP. 23
Tim Pakar Yayasan Diri Bangsa, Pendidikan Karakter di Sekolah :..., hlm. 44
24
Thomas Lickona, Character Matters Persoalan Karakter :..., hlm. 5
54
Ada
empat
model
yang
ditawarkan
untuk
mengimplementasikan pendidikan karakter disekolah. Pertama, model otonomi, yaitu dengan menempatkan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri. Kedua, model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan karakter-karakter yang akan dibentuk dalam setiap mata pelajaran. Ketiga, model ekstrakulikuler melalui sebuah kegiatan tambahan yang berorientasi pada pembinaan karakter
siswa.
Keempat,
model
kolaborasi
dengan
menggabungkan ketiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.25 b. Pembentukan karakter lintas kurikulum Ada beberapa moneklatur untuk menunjukan kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya di antaranya yang umum dikenal ialah pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan religius, pendidikan budi pekerti, dan pendidikan karakter itu sendiri. Masing-masing penanaman kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (Interexchanging), misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan religius itu sendiri. Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam koten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju
25
Barnawi dan M. Arifin, Strategi DAN Kebijakan..., hlm. 67-68
55
seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership; Internation Center for Character Education). Pusat- pusat ini telah mengembangkan modal, koten, pendekatan dan instrumen evaluasi pendidikan karakter. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan pendidikan karaktar antara lain Howark Krischenbaum, Thomas Lickona, dan Marvin W. Berkowitz. Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner : Psikologi, Filsafat Moral/Etika, Hukum, Sastra/Humaniora.26 Bagaimana pendidikan karakter yang ideal? Pendidikan karakter hendaknya mencakup aspek penbentukan kepribadian yang memuat dimensi nilai-nilai kebajikan universitas dan kesadaran kultural dimana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan berkembang. Ringkasnya, pendidikan karakter mampu memuat kesadaran transendental individu mampu terejawantah dalam prilaku yang konstruktif berdasarkan konteks kehidupan dimana ia berada : memiliki kesadaran global, namun mampu bertindak sesuai kontraks lokal. Dengan demikian, peran program pendidikan karakter ialah untuk membangun dan melengkapi nilai-nilai yang telah mulai tumbuh dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat, dan mambantu
26
Muchson AR, & Samsuri, Dasar-Dasar Pendidikan Moral :..., hlm. 105
56
anak
untuk
merefleksikan,
membangun
kepekaan
serta
menerapkan pengembangan nilai-nilai yang dimiliki anak tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendidikan karakter tidak bisa berjalan sendirian. Dalam kasus di Inggris, review penelitian tentang pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an memperlihatkan bahwa pendidikan karakter yang diusung dengan kajian
nilai-nilai
telah
dilakukan
melalui
program
lintas
kurikulum.27 Persoalannya, apakah nilai-nilai pembangunan karakter yang dikerjakan dalam setiap mata pelajaran harus bersifat eksplisit ataukah implisit saja? Temuan Halstead dan Taylor pun menempatkan pendebatan terhadap klaim-klaim implementasi pelajaran nilai-nilai moral dalam Kurikulum Internasional di Inggris (terutama di era Tony Blair). Klaim-klaim tersebut antara lain menyatakan pentingnya: 1) Sejarah
sebagai
sebuah
alat
untuk
membantu
siswa
mengembangkan toleransi atau komitmen rasional terhadap nilai-nilai demokrasi. 2) Bahasa Inggris sebagai alat untnk membantu siswa untuk mengembangkan kemandirian dan menghormati orang lain. 3) Pengajaran Bahasa Modern untuk menjamin kebenaran dan integritas personel dalam berkomunikasi.
27
Muchson AR, & Samsuri, Dasar-Dasar Pendidikan Moral :..., hlm. 106
57
4) Matematika
sebagai
alat
untuk
membantu
siswa
mengembangkan tanggung jawab sosial. 5) Ilmu Alam dan Geografi sebagai alat alat untuk membantu siswa mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap lingkungan. 6) Desain dan Teknologi sebagai alat untuk membantu siswa mengenbangkan nilai-nilai multikultural dan anta-rasis. 7) Ekspresi
Seni
mengembangkan
sebagai
alat
untuk
kualitas
fundamental
membantu kemanusiaan
siswa dan
tanggapan spritual terhadap kehidupan. 8) Pendidikan Jasmani dan olah Raga sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kerjasama dan karakter bermutu lainnya. Paparan tersebut memperkuat alasan bahwa pendidikan karakter
merupakan program aksi lintas kurikulum. Sebagai
program kurikulum yang berdiri sendiri (Sparanted Subject) dan lintas kurikuler (Integrated Subject). Namun, pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan semata-mata sebagai bagian dari programkulikurer. Misal, seperti kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (Community Service), dan/atau program civicvaluntary dalam tindakan insidental seperti relawan kegiatan mitigasi bencana alam.28
28
Muchson AR, & Samsuri, Dasar-Dasar Pendidikan Moral :..., hlm. 107
58
c. Pembentukan karakter menurut Imam al-Ghozali Menurut al-Ghozali, ada empat unsur pokok dalam diri manusia yang mendorong timbulnya karakter. Pertama, unsur kebinatangan atau bahimiyah, yaitu syahwat. Unsur ini mendorong manusia mencari ikhtiyar, sehingga badan yang merupakan kendaraan bagi jiwa akan tetap bertahan dan tidak musnah. Syahwat inilah yang akan bertanggung jawab terhadap sifat kebinatangan
pada
manusia.
Seperti
makan,
tidur,
dan
bersenggama. Kedua, unsur kebuasan atau sub`iyyah yaitu amarah. Unsur ini berperan mengusir semua yang merugikan bagi jasad. Unsur ini bertanggung jawab terhadap sifat dan prilaku binatang buas, seperti rasa iri, dengki dan suka bertengkar. Kalau tidak bisa dikendalikan unsur ini akan menyebabkan kehancuran moral. Ketiga, unsur kesyaitanan atau syaithaniyyah. Unsur ini muncul pada usia tamyiz, yakni kira-kira pada usia tujuh tahun. Unsur ini bertanggung jawab terhadap prilaku dan sifat tercela manusia, seperti permusuhan, penipuan, pembunuhan, dll. Keempat, unsur yang muncul terakhir adalah unsur ketuhanan atau raobbaniyyah. Unsur ini merupakan sumber sifat-sifat cita, pujian, kekuasaan, dan pengetahuan berbagai disiplin ilmu. Unsur ini ada pada jiwa saat penciptaannya. Karena sifatnya yang robbani, unsur ini melulu mengejawantahkan. Keempat unsur diatas bertanggung jawab terhadap empat jenis karakter yang ada pada setiap manusia.
59
Unsur-unsur tersebut merupakan asas semua sifat batin dan prilaku lahiriyah manusia.29 d. Efektifitas dan komponen pembentukan karater menurut Thomas Lickona Menurut Lickona pendidikan karakter dapat berjalan secara efektif jika para pendidik dan pemangku kebijakan pendididkan memperhatikan dan melaksanakan prinsip-prinsip berikut: (1) nilai-nilai etika inti hendaknya dikembangkan, sementara nilainilai kinerja pendukungnya dijadikan sebagai dasar atau fondasi; (2) Karakter hendaknya didefinisikan secara komprehensif, sehingga mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) pendekatan yang digunakan hendaknya komprehensif, disengaja, dan proaktif; (4) ciptakan komunitas sekolah yang benar perhatian; (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu mereka untuk berhasil; (7) usahakan mendorong motifasi dari siswa; (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral; (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral; (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra; dan (11) Evaluasi karakter sekolah,
29
Imam Chanafie Al-Jauhari, dalam tulisannya yang berjudul “sufism Education For Human Character : Its Concept And Implimentation” pada Seminar Internasional Character Building Through Education, 12 November 2011 (Pekalongan : STAIN Press, 2011), hlm. 296
60
fungsi staf sekolah sebagai pendidikan karakter, dan sejauh mana anak didik memanifestasikan karakter yang baik.30 Adapun komponen pembentukan karakter yang baik menurut Thomas Lickona yaitu ; 1) Pengetahuan Moral Terdapat enam aspek yang menonjol yang merupakan sebagai tujuan pendidikan karakter yang diinginkan a) Kesadaran moral Kegagalan moral yang lazin diseluruh usia adalah kebutuhan moral, kita semata-mata tidak melihat bahwa situasi yang
kita
hadapi
melibatkan
permasalahan
moral
dan
memerlukan penilaian moral. Hal ini dapat dilakukan dengan melalui dua tanggung jawab moral, pertama ; menggunakan pemikiran mereka untuk melihat suatu situasi yang memerlukan penilaian moral dan kemudian untuk memikirkan dengan cermat tentang apa yang dimaksud dengan arah tindakan yang benar. Kedua ; memahami informasi dari permasalahan yang bersangkutan. b) Mengetahui nilai moral Nilai-nilai moral seperti menghargai kehidupan dan kemerdekaan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, penghormatan, disiplin diri, integritas,
30
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter :..., hlm. 48
61
kebaikan,
belas
kasihan
dan
dorongan
atau
dukungan
mendefinisikan seluruh cara tentang menjadi pribadi yang baik. c) Penentuan perspektif Merupakan kemempuan sudut pandang orang lain, melihat situasi sebagaimana adanya, membayangkan bagaimana mereka akan berfikir, bereaksi, dan merasakan masalah yang ada. d) Pemikiran moral Pemikiran moral
melibatkan pemahaman
apa
yang
dimaksud dengan moral dan mengapa harus aspek moral. e) Pengambilan keputusan Mampu memikirkan cara seseorang bertindak melalui permasalahan moral dengan cara ini merupakan keahlian pengambilan keputusan reflektif. f) Pengetahuan pribadi Menjadi orang yang bermoral memerlukan keahlian untuk mengulas kelakuan kita sendiri dan mengevaluasi prilaku kita tersebut secara kritis. Mengembangkan pengetahuan moral pribadi mengikutsertakan hal menjadi sadar akan kekuatan dan kelemahan karakter individual kita.31 2) Perasaan Moral Sisi emosional karakter telah amat diabaikan dalam pembahasan pendidikan moral, namun sisi ini sangatlah penting.
31
Thomas Lickona, Character Matters , hlm. 85-90
62
Kita ketahui seberapa jauh kita peduli tantang bersikap jujur, adil dan pantas terhadap orang lain sudah jelas mempengaruhi apakah pengetahuan moral kita mengarah pada prilaku moral. Aspek-aspek berikut kehidupan emosional moral menjamin perhatian kita sebagaimana kita mencoba mendidik karakter yang baik. a) Hati nurani Bagi orang-orang dengan hati nurani, moralitas itu perlu diperhitungkan. Mereka ini berkomitmen untuk menghadapi nilai moral mereka karena nilai-nilai tersebut berakar sangat dalam pada diri pribadi seorang yang bermoral. b) Harga diri Ketika kami memiliki harga diri, kami tidak begitu bergantung pada persetujuan orang lain. Penelitian yang ada menunjukan bahwa anak-anak dengan harga diri yang tinggi lebih tahan terhadap takanan teman sebayannya dan lebih mampu untuk mengikuti penilaian mereka sendiri dari pada anak-anak yang memiliki harga diri yang rendah. c) Empati Empati merupakan identifikasi dengan, atau pengalaman yang seolah-olah terjadi dalam, keadaan orang lain. Empati memampukan kita untuk keluar diri dari kita sendiri dan masuk
63
kedalam diri orang lain. Hal ini merupakan sisi emosional penentuan perspektif. d) Mencintai hal yang baik Bentuk karakter yang tertinggi mengikutsertakan sifat yang benar-benar tertarik pada hal yang baik. Psikolog boston gollege kirk kilpatrick mengatakan “dalam pendidikan tantang hal yang baik, hati kita dilatih sebagaimana dengan pikiran kita. Orang yang baik belajar untuk tidak hanya membedakan antara yang baik dan yang buruk melainkan juga diajarkan untuk mencintai tentang hal yang baik dan membenci tentang hal yang buruk.” Itulah alasannya mengapa para guru telah memandang sastra secara tradisional sebagai suatu cara untuk menanamkan perasaan benar dan salah. e) Kendali diri Kendali diri juga diperlukan untuk menahan diri agar tidak memanjakan diri kita sendiri. Apabila seseorang mencari akar gangguan moral sekarang ini, tulis seorang profesor program studi liberal universitas notre dame walter nicgorski, “seseorang mendapat ini dalam pemanjaan diri, dalam pengejaran kesenangan yang menyebabkan banyak orang untuk menyerap diri mereka secara seutuhnya dalam pengejaran keuntungan finansial.” Idealisme yang tinggi mengalami kegagalan di hadapan pola ini. Dan kecuali kalau kendali diri menjadi bagian
64
yang
lebih
besar
dalam
karakter
orang
muda,
maka
permasalahan seperti substansi penyalahgunaan remaja dan aktivitas
seksual prematur tidak akan tereduksi
secara
substansial. f) Kerendahan hati Kerandahan hari merupakan kebaikan moral yang dibaikan namun merupakan bagian yang esensial dari karakter yang baik. Kerendahan hati merupakan sisi afektif pengetahuan pribadi. Hal ini merupakan keterbukaan yang sejati terhadap kebenaran dan keinginan untuk bertindak guna memperbaiki kegagalan kita.32 3) Tindakan moral Tindakan moral untuk tingkatan yang besar merupakan hasil atau outcome dari dua bagian karakter lainnya. Untuk benar-benar memahami apa yang menggerakan seseorang untuk melakukan tindakan moral-atau mencegah seseorang untuk tidak melakukannya, maka kita perlu memerhatikan tiga aspek karakter lainnya, yaitu ; kompetensi, keinginan dan kebiasaan. a) Kompetensi Kompetensi moral memiliki kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral kedalam tindakan moral yang efektif. Untuk memecahkan suatu konflik dengan adil, misalnya
32
Hlm. 90-97
65
kita
memerlukan
keahlian
praktis
;
mendengarkan,
menyampaikan sudut pandang kita tanpa mencemarkan nama baik orang lain, dan mengusahakan solusi yang dapat diterima semua pihak. b) Keinginan Pilihan yang benar dalam suatu situasi moral biasanya merupakan pilihan yang sulit. Menjadi orang baik seringkali memerlukan tindakan keinginan yang baik, suatu penggerakan energi moral untuk melakukan apa yang kita pikir kita harus lakukan. Diperlukan keinginan untuk menjaga emosi dibawah kendali pemikiran. Diperlukan keinginan untuk melihat dan berfikir melalui seluruh dimensi moral dalam suatu situasi. Diperlukan keinginan untuk melaksanakan tugas sebelum memperoleh kesenangan. Diperlukan keinginan untuk menolak godaan, untuk menentang tekanan teman sebaya, dan melawan gelombang. Keinginan berada pada inti dorongan moral.33 c) Kebiasaan Dalam pribadi dengan karakter yang baik, pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral secara umum bekerja sama untuk saling mendukung satu sama lain. Tentu saja, hal itu tidaklah selalu demikian; bahkan orang baik tidak terkecuali
33
Hlm. 98-99
66
sering gagal dalam melakukan perbuatan moral mereka yang terbaik. Namun, seiring kita mengembangkan karakter-proses seumur hidup-kehidupan moral yang kita jalani secara meningkat mengintegrasikan penilai, perasaan, dan pola pelakasanaan perbuatan yang baik.
B. PendidikanPencak Silat 1. Pengertian dan sejarah pencak silat a. Pengertian pencak silat Menurut Kamus Besar Indonesia, pencak silat memiliki pengertian permainan ( keahlian ) dalam mempertahankan diri kepandaian menangkis, menyerang, dan membela diri, baik dengan atau tanpa senjata. Menurut guru pencak silat Bawean, Abdus Syukur menyatakan sebagai berikut : “Pencak adalah gerakan langkah keindahan dengan menghindar, yang disertai gerakan berunsur komedi. Pencak dapat dipertontonkan sebagai sarana hiburan, sedangkan Silat adalah Unsur teknik bela diri menangkis, menyerang, dan mengunci yang tidak dapat diparagakan didepan umum”.34 Pernyataan senada di perkuat oleh Mr. Wongsonegoro ketua IPSI yang mengatakan bahwa pencak silat adalah gerakan serang bela yang berupa tari dan berirama dengan peraturan adat
34
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 85
67
kesopanan tertentu yang bisa di pertunjukan didepan umum. Silat adalah inti sari dari pencak, ilmu untuk perkelahian atau membela diri mati – matian yang tidak dapat dipertunjukan didepan umum. Istilah ini di dukung oleh Alm. Imam Koesoepangat, guru besar Setia Hati Teratai yang mengatakan “pencak sebagai gerak diri tanpa lawan, dan silat sebagai beladiri yang tidak boleh di pertanding.” Dari semua definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang menjadi kriteria untuk membedakan arti „ pencak‟ dan arti „silat‟ adalah apakah gerakan itu boleh ditonton atau tidak. Oleh karena itu, dalam rangka usaha untuk mempersatukan perguruan pencak dan perguruan silat, pada 1948 kedua kata tersebut telah dipadukan menjadi pencak silat. PB IPSI beserta BAKINpada tahun 1975 mendefinisikan sebagai berikut : “Pencak silat adalah hasil budaya manusia Indonesia untuk membela, mempertahankan eksistensi (kemandiriannya) dan integritasnya (manunggal) terhadap lingkungan atau alam sekitarnya untuk mencapai kelarasan hidup guna meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.35 Pencak silat adalah seni bela diri asli Indonesia, yang telah berumur berabad-abad. Pencak silat diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Awalnya pada zaman ketika manusia masih hidup dari berburu, mereka hidup
35
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 86
68
secara
berkelompok
dan
saling
bermusuhan.
Untuk
mempertahankan kehidupannya, mereka belajar untuk membela diri dengan cara menirukan gerakan-gerakan binatang buruannya. Dengan berkembangnya peradapan, seni bela diri juga ikut berkembang kearah lebih sempurna yang dinamakan pencak atau silat. Dimasa lalu tidak semua daerah di Indonesia menggunakan istilah
pencak
silat.
Beberapa
daerah
di
jawa
lazimnya
menggunakan nama pencak. Adapun disumatra dan daerah lainnya dinamakan silat. Kata “pencak” dan “silat” memiliki makna secara khusus, yakni “pencak” artinya gerak dasar bela diri yang terikat pada peraturan dan digunakan dalam belajar, latihan, dan pertunjukan. Adapun “silat “ diartikan sebagai gerak bela diri yang sempurna, yang bersumber pada kerohanian yang suci murni, guna keselamatan diri atau kesejahteraan bersama, menghindarkan diri dari bala atau bencana (perampok, penyakit, tenung dan segala sesuatu yang jahat atau merugikan masyarakat).36 Zaman dahulu pencak silat diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau-surau. pencak silat lalu berkembang tidak sekedar ilmu beladiri dan seni tradisi rakyat, tetapi menjadi bagian
36
Muhajir dan Jaja Mujahid, Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Untuk SMK/MAK Kelas X (Jakarta : Erlangga, 2011), hlm. 53
69
dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajahan.37 Pencak silat adalah hasil budaya masyarakat Indonesia untuk membela dan mempertahankan eksistensi (kemandirian) dan integritasnya (manunggalnya) terhadap lingkungan hidup dan alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Peranan pencak silat adalah sebagai prasarana dan sarana untuk membentuk manusia seutuhnya yang pancasilais, sehat, kuat, terampil, tangkas, tenang, sabar, kesatria, dan percaya pada diri sendiri.38 Boleh dikatakan, bahwa pencak dan silat itu bagi kita adalah suatu bentuk olahraga nasional. Disamping manfaat yang bersifat jasmani, antara lain: pembelaan diri, kita mendapat faedahfaedah rohani, seperti: ketajaman reaksi, ketabahan menderita sakit, keperwiraan, kesatriaan, dll. Maka dari itu adalah sangat tepat pada tempatnya, jika pencak dan silat itu dipelihara sebaikbaiknya serta di selenggarakan sedemikian, hingga makin subur hidupnya di tengah-tengah rakyat Indonesia, sebagai pusaka yang turun temurun menghiasi serta berguna bagi kepentingan nusa dan bangsa Indonesia.39
37
L. Darwin dan Setyo G, Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Untuk SMAMA/SMK-MAK (Mitra Pustaka Aksara, 2013), hlm. 20 38 39
1952)
Muhajir dan Jaja Mujahid, Pendidikan Jasmani..., hlm. 54 Pendapat Presiden Pertama Republik Indonesia Tentang Pencak (Wongsonegoro,
70
b. Sejarah pencak silat Pada mulanya
pencak
silat
diciptakan manusia untuk
memperoleh keamanan dari ancaman binatang buas. Tidak ada yang tahu kapan, dimana, dan bagaimana pertama kali proses tersebut berlangsung karena informasi yang tersedia sangat terbatas. Namun demikian menurut catatan sejarah, pencak silat berkembang di kawasan Indonesia seperti di ungkapkan oleh Draeger pencak-silat is certainlyto be bermed. Pada zaman kerajaan Nusantara, pencak silat dijadikan sebagai alat untuk mencapai status dan kedudukan sosial. Seseorang yang menguasi kemahiran beladiri pencak silat disegani oleh masyarakat dan dapat mencapai kekuasaan politik.40 Pencak silat mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum ulama, seiring penyebaran Islam dinusantara pada masa itu pencak silat diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama disurau-surau.41 Pencak silat dalam konteks pendidikan bermula di pesantren sebagai bagian integral dari ajaran. Dalam proses pendidikan tersebut, seorang santri selain mendalami ilmu agama juga dibekali keterampilan ilmu silat untuk kepentingan penyebaran agama. Pendidikan agama dan pencak silat ini awalnya hanya diberikan kepada
40 41
sekelompok
bangsawan
tertentu,
misalnya
Syech
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 79
Asepta Yoga Permana, Bermain Dan Olahraga Pencak Silat Cendekia, 2008), hlm. 2
(Surabaya : Insan
71
Burhannudin penyebar agama islam di Sumatera dan Aceh pada abad XV, dan para wali songo di tanah Jawa. Pencak silat hingga kini terus berkembang di masyarakat luas sebagai media pendidikan. Tradisi pencak silat sebagai pendidikan terus berlangsung dan kini telah menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Secara substansial, pelajaran pencak silat terdiri dari empat aspek yaitu aspek mental, beladiri, seni dan olahraga. Keempat aspek tersebut diajarkan disekolah dalam satu kesatuan yang berlandasan pada falsafah budi pekerti luhur. Falsafah budi pekerti luhur adalah ajaran moral masyarakat lokal etnis Nusantara. Nilai – nilai yang terkandung dari falsafah budi pekerti luhur adalah nilai nilai pendidikan karakter yang melekat dalam pembelajaran pencak silat.42 Dalam kehidupan nyata, pencak silat digunakan sebagai alat untuk beladiri, memelihara kebugaran jasmani, mewujudkan rasa estetika, dan menyalurkan aspirasi spiritual manusia. Pada dimensi individu, pencak silat berfungsi membina manusia agar dapat menjadi warga teladan yang mematuhi norma – norma masyarakat. Pada dimensi sosial, pencak silat berfungsi sebagai kekuatan kohesif yang dapat merangkul individu – individu dalam ikatan hubungan sosial organisasi perguruan silat guna mempertahankan
42
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 80
72
kesatuan dan persatuan masyarakat dengan menciptakan rasa kesetiakawanan dan kebersamaan diantara anggotanya. Setelah terbentuk organisasi pencak silat pada tanggal 18 mei 1948 IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia), para tokoh pencak silat berikrar
untuk
menjadikan
wadah
tersebut
sebagai
alat
perjuangannya, dimana tujuannya adalah mempersatukan dan membina seluruh perguruan pencak silat yang terdapat di Indonesia, menggali, melestarikan dan mengembangkan pencak silat beserta nilai-nilainya; menjadikan pencak silat beserta nilainilainya sebagai sarana Character National Building serta sarana perjuangan bangsa. Sebagai wujud perjuangan tersebut dibidang pengajaran, pencak silat mulai dikembangkan pada tahun 1981 dengan menyusun program pengajaran bersama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga. Tujuan pebelajaran ini untuk meningkatkan program dibidang olahraga dan kembali mengembangkan pencak silat dibidang kesenian, beladiri, serta meningkatkan peranan pencak silat sebagai pendidikan watak.43
43
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 84
73
2. Aspek dan nilai-nilai pendidikan pencak silat a. Aspek-aspek Menurut IPSI secara subtansial pencak silat adalah suatu kesatuan dengan empat rupa catur tunggal seperti tercermin dalam senjata trisula pada lambang IPSI, yang ketiga ujungnya melambangkan unsur seni, beladiri dan olahraga, dan gagangnya mewakili unsur mental- spiritual. Sebagai aspek mental – spiritual, pencak silat lebih banyak menitikberatkan pada pembentukan sikap dan watak kepribadian pesilat yang sesuai dengan falsafah budi pekerti luhur. Pada aspek beladiri, pencak silat bertujuan untuk memperkuat naluri manusia untuk membela diri terhadap berbagai ancaman dan bahaya. Aspek seni pencak silat merupakan wujud
kebudayaan dalam bentuk
kaidah
taktik
gerak
dan
irama
yang
pada
keselarasan,
keseimbangan, dan keserasian antara wiraga, wirama, dan wirasa. Keempat aspek tadi selanjutnya mendasari pengembangan pencak silat menjadi empat cabang atau jenis yang masing – masing memiliki tujuan tersendiri, yakni pencak silat mental-spiritual, pencak silat beladiri, pencak silat seni, pencak silat olahraga.44 1) Pencak silat mental – spiritual Tujuan pencak silat mental – spiritual dari masing – masing perguruan sangat beragam. Tujuan tersebut adalah untuk
44
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 89
74
menginternalisasikan bersangkutan. pendidikan
ajararan
Pendidikan ketrampilan
falsafah
pencak semata,
silat
perguruan bukan
melainkan
yang sekedar
bertujuan
membentuk kualitas kepribadian manusia. Seorang pesilat apalagi seorang pendekar harus menjaga, melestarikan, dan membela nilai – nilai dasar kebudayaannya seperti ketekunan, kesabaran, kejujuran, kepahlawanan, kepatuhan dan kesetiaan, dan memberi landasan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan warga masyarakat. 2) Pencak silat beladiri Pencak adalah senjata yang bisa yang dibawa kemana saja. Begitu pentingnya peran pencak silat untuk mempertahankan hidup sehingga pada masyarakat Betawi dulu calon pengantin pria pada waktu melamar calon istrinya di wajibkan untuk mempertunjukan kepandaiannya bermain pencak silat didalam sanak keluarganya.45 Pencak silat beladiri merupakan cikal bakal dari aspek pencak silat yang lainnya. Struktur pencak silat beladiri mungkin akan lebih jelas apabila dengan menggunakan pendekatan sistem. Berdasarkan pendekatan sistem, dapat dikatakan bahwa pencak silat adalah suatu sistem atau tata beladiri yang terdiri dari jurus – jurus yang saling bergantung
45
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 90
75
saling menunjang dan saling berhubungan secara fungsional menurut pola tertentu untuk tujuan beladiri secara total, sedangkan jurus adalah sistem atau tata beladiri yang terdiri atas teknik – teknik sikap dan gerak yang saling bergantung, saling berhubungan secara fungsional menurut pola tertentu untuk tujuan khusus yang merupakan bagian dari identitas diri.46 3) Pencak silat seni Perbedaan pencak silat seni dan pencak silat beladiri terletak pada nilai, orientasi, papakem, dan ukuran yang diterapkan dalam proses pelaksanaannya. Pelaksanaan pencak silat beladiri bernilai teknis, orientasinya efektif, praktis, taktis, dan pragmatis. Papakemnya logika, yakni disiplin atau urutan tentang pelaksanaan sesuatu dengan menggunakan penalaran atau perhitungan akal sehat ukurannya objektif. Lain halnya dengan pencak silat seni bernilai estetis yang orientasinya keindaham dalam arti luas, meliputi keselarasan dan keserasian. Papakemnya estetika, yakni disiplin atau aturan tentang pelaksanaan sesuatu secara indah, ukurannya objektif relatif. a) Estetika Estetika
merupakan salah satu cabang filsafat. Estetika
membahas dan mempermasalahkan “keindahan” secara mendasar, contohnya apakah keindahan itu, apa hubungannya
46
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 91
76
dengan karya seni, dan bagaimana orang menghayati keindahan dan sebagainya. b) Keindahan Keindahan itu sesuatu yang memberi rasa senang. Keindahan alam memang merupakan benda atau hal menimbulkan rasa senang. Akan tetapi dari manakah rasa senang ketika kita berhadapan dengan karya–karya seni seperti tragedi, lukisan, tari, musik dan sebagainya, yang mengungkap penderitaan manusia atau keburukan serta kejahatan dalam kehidupan? Inilah pertanyaan yang harus kita temukan jawabannya. Rasa senang yang datang dari karya seni adalah adanya rasa puas karena dapat menafsirkan karya seni itu, yaitu menemukan isi (visi) di balik lambang; dan rasa kagum pada kemampuan seniman yang telah menciptakan lambang yang memadai bagi isi (visi) yang hendak di ungkapkannya. Sifat kedua adalah adanya “keselarasan”. Artinya setiap bagian atau lambang dari karya seni itu harus selaras atau sesuai satu sama lain dengan saling menyesuaikan diri, lambang – lambang itu saling menguatkan isi atau visi. Ketiga adalah adanya keseimbangan, artinya volume (ukuran) dan intensitas
77
(kepekaan) bagian–bagian dari karya seni itu harus seimbang dengan fungsi masing–masing, tidak lebih atau kurang.47 4) Pencak silat olahraga Sebetulnya pertandingan pencak silat sudah ada jauh sebelum diakui secara resmi sebagai cabang olahraga. Pertandingan pencak silat bebas maupun adu cepat ini sangat penting untuk perkembangan pencak silat olahraga karena sudah berusaha mencari sistem penilaian yang dapat mengukur kebolehan seorang pencak silat diluar konteks beladiri. Di pihak lain, para pendekar dan perguruan progresif mengupayakan membentuk pencak silat sebagai olahraga. Perguruan–perguruan di Jawa Timur dan Jawa Tengah seperti Setia Hati, Perpi Harimurti, Phasaja Mataram, dan Persatuan Hati berusaha membuat sistem pertandingan yang lebih sempurna untuk dipersembahkan kepada masyarakat. Dalam pembentukan sistem pertandingan,
penyusunan
sistem pertandingan diilhami oleh olahraga lain, seperti tinju, karate, dan lain – lain. Babak baru lembaran sejarah pencak silat di mulai pada PON VIII untuk pertama kali pencak silat tampil sebagai cabang olahraga prestasi. Olahraga si anak yang hilang sudah ditemukan dan muncul di permukaan.48
47
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 92-93
48
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 94-95
78
b. Nilai-nilai pendidikan pencak silat Nilai-nilai pendidikan watak diduga telah melekat pada pembelajaran pencak silat. Memang tidak banyak ditemukan bukti empiris mengenai hal itu sehingga diperlukan pengkajian yang mendalam apa sebenarnya yang terjadi ketika seseorang belajar pencak silat. Mengapa seseorang yang menguasai ilmu pencak silat identik dengan tokoh panutan yang memiliki moral yang baik dan mewariskan sifat-sifat ksatria. Pencak silat sebagai refleksi dari nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia merupakan sistem budaya yang dipengaruhi oleh lingkungan alam, dan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas manusia. Pada tataran individu, pencak silat berfungsi membina manusia agar dapat menjadi warga teladan yang mematuhi norma-norma masyarakat. Pada tataran kolektif, pencak silat berfungsi sebagai kekuatan kohesif yang dapat merangkul individu-individu dalam ikatan
hubungan
sosial
organisasi
perguruan
silat,
guna
mempertahankan kesatuan dan persatuan dengan menciptakan rasa kesetiakawanan dan kebersamaan diantara anggotanya. Di Jawa Timur misanya tradisi seperti itu dikenal dengan nama “Arisan pencak silat”, yaitu kegiatan para anggota perkumpulan pencak silat dalam bentuk arisan dan sekaligus sebagai sarana evaluasi hasil latihan. Bebeda dengan di Bali, acara seperti itu
79
tersistem kedalam kesatuan Banjar, semacam ritual adat dari masyarakat bali.49 Materi pembelajaran pencak silat yang disampaikan kaitannya dengan pembentukan nilai-nilai moral peserta didik adalah pendalaman nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah pencak silat dan gerakan-gerakan serta jurus-jurus yang membentuk karakter. 1) Nilai falsafah dalam dokumen Prasetya Pencak Silat PB IPSI Sebagai berikut ; a) Kami pesilat Indonesia adalah warga negara yang bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur. b) Kami pesilat Indonesia adalah warga negara yang membela dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. c) Kami pesilat Indonesia adalah pejuang yang cinta bangsa dan tanah air Indonesia. d) Kami pesilat Indonesia adalah pejuang yang menjunjung tinggi persaudaraan dan persatuan bangsa. e) Kami pesilat Indonesia adalah pejuang yang senantiasa mengejar kemajuan dan kepribadian Indonesia. f) Kami pesilat Indonesia adalah kesatria yang senantiasa menegakan kebenaran, kejujuran,dan keaadilan. g) Kami pesilat Indonesia adalah kesatria yang tahan uji dalam menghadapi cobaan dan godaan.
49
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 87
80
Rumusan prasetya pencak silat tersebut memiliki kandungan nilai moral yang tinggi. oleh karena itu, sangat cocok dipahami oleh sisiwa dalam upaya memebentuk nilai – nilai moral perilaku sehari-hari.50 2) Gerakan-gerakan pencak silat prasetya yang mengandung pembentukan karakter a) Berdiri tegak melambangkan penyerahan yang mutlak kepada tuhan yang maha esa b) Gerakan merendah melambangkan sikap seorang pesilat yang makin merendah diri bila makin tinggi ilmunya seperti “ilmu padi” c) Gerakan melangkah dimulai dari kaki kanan melambangkan seorang pesilat selalu mendahulukan yang baik. d) Gerakan tangan menyentuh tanah melambangkan sikap cinta kepada tanah air. e) Gerakan tangan menengadah keatas melambangkan doa kepada tuhan yang maha esa f) Gerakan menghormat dengan tangan dirangkap didepan hidung melambangkan penghormatan kepada para pendekar atau hadirin yang menyaksikan, serta memohon maaf sebelum melakukan gerakan pencak silat.51
50 51
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 88
Muhajir dan Jaja Mujahid, Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Untuk SMK/MAK Kelas XI, (Jakarta : Erlangga, 2011), Hlm. 145
81
3) Jurus-jurus yang mengandung unsur pembentukan karakter a) Taqwa dan budi pekerti (pola lantai lurus dan pola langkah geseran) b) Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (pola lantai serong/gergaji dan pola langkah angatan) c) Cinta bangsa dan tanah air (pola lantai segi empat atau jurus dan pola langkah berputar) d) Persaudaraan dan persatuan (pola lantai lurus dan pola langkah silang/berputar) e) Kemajuan yang berkepribadian indonesia (pola lantai lurus dan pola langkah berputar) f) Kebenaran, keadilan, dan kejujuran (pola lantai lurus dan pola langkah angkatan) g) Tahan cobaan dan godaan (pola lantai lurus dan serong serta pola langkah loncatan).52
C. Nilai-nilai Karakter Dalam Pendidikan Pencak Silat 1. Karakter dalam pendidiakan pencak silat Pembentukan, pembinaan, dan pengembangan watak seseorang menjadi pesilat sejati yang handal dan bermoral, dilakukan di perguruan atau organisasi pencak silat melalui proses pengajaran dan pelatihan secara edukatif. Proses pendidikan tersebut dilakukan secara
52
Muhajir dan Jaja Mujahid, Pendidikan Jasmani... , hlm. 149.
82
utuh dan menyeluruh meliputi empat aspek, yaitu aspek mentalspiritual, aspek bela diri, aspek seni, dan aspek olahraga. Pendidikan dalam arti yang luas berarti memberikan proses pengajaran dan pelatihan yang menyangkut bukan hanya ketrampilan teknis pencak silat semata, tetapi juga disertai dengan mempelajari budi pekerti (ajaran moral) secara utuh dan menyeluruh. Proses pendidikan dalam pencak silat secara simultan dilaksanakan dalam bentuk wejangan lisan yang diberikan secara berulang – ulang atau dalam bentuk wejangan secara tertulis yang singkat dan padat. Materi pendidikan meliputi ajaran pekerti luhur beserta nilai – nilainya dan contoh amalan – amalan konkritnya.53 Tujuan pendidikan dalam pencak silat adalah membentuk manusia penck silat beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berkepribadian luhur,
cinta
persahabatan,
perdamaian,
rendah
hati,
mampu
mengendalikan diri, disiplin, percaya diri, tahan terhadap cobaan, dan lain sebagainya. Didalam pencak silat juga diajarkan bersikap hormat kepada orang lain, tenggang rasa dan suka menolong orang lain. Dalam pergaulan sosisal diajarkan sikap rendah hati, ramah dan sopan dalam berbicara, berjiwa besar, dan tidak segang – segang meminta maaf jika berbuat kesalahan terhadap orang lain. Pendidikan dalam pencak silat mencakup dua dimensi, yaitu dimensi kualitas dan dimensi kuantitas. Dimensi kualitas dan kuantitas
53
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 99
83
tersebut seyogyanya merupakan hasil pendidikan pencak silat. Semakin luas dan dalam kualitas dan kuantitas pengetahuan, keterampilan, dan perilaku seorang pesilat, harus semakin mantap dan tinggi kualitas penghayatan dan pengamalan ajaran budi pekerti luhur. Kedalam dan keluasan tersebut bahkan harus terwujud dalam kemantapan penghayatan dan pengamalan ajaran budi pekerti luhur. Kualifikasi serta keselarasan mental, intelegensi, dan fisik yang sedemikian itu dapat dirumuskan dengan ungkapan takwa, tanggap, tangguh, tanggon, dan trengginas. Secara sederhana nilai – nilai tersebut dapat digambarkan pada ilustrasi berikut ini.54 2. Lima pilar pembentukan karakter dalam pencak silat a. Takwa Takwa berarti beriman teguh kepada pemilik alam semesta yakni Allah SWT. Bertakwa artinya meyakini akan kebesaran Allah SWT dan menjalankan seluruh ajarannya secara kaffah atau total. Manusia sebagai mahkluk tuhan memang diciptakan untuk beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT. Berbagai karakter yang harus dimiliki oleh setiap orang menurut al-Qur‟an antara lain: “serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah ( berdiskusilah ) kamu dengan mereka menurut secara yang lebih baik” (QS. An- Nahl : 125). Selanjutnya dalam surat an–Nahl ayat 90 Allah berfirman
54
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 100
84
“sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, baik, dan memberi bantuan kepada kerabat.” Manusia berasal dari Tuhan, oleh karena itu manusia adalah mahkluk yang mulia. Agar manusia dengan status mulianya dapat di terima oleh Tuhan dengan sebaik – baiknya jika pada waktunya nanti kembali kepadanya, manusia harus menjadi mahkluk yang bertakwa yakni percaya dan berserah diri kepada Allah SWT dengan cara mengamalkan ajaran-ajaran Allah. Semua itu harus dilakukan secara konsisten, konsekuen, dan berkelanjutan. Sesungguhnya tujuan
hidup manusia dalam wujud moral
individual dari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan adalah budi pekerti luhur.55 Dalam kaitannya dengan proses pendidikan dalam pencak silat, takwa berarti selalu memohon kekuatan lahir dan batin, serta pertandingan, bimbingan dan petunjuk Allah agar memiliki keunggulan kompetitif yang senantiasa terukur dan terkendali sehingga tidak berdampak negatif terhadap orang lain. Dengan demikian, seorang pesilat harus mampu mewujudkan perdamaian dan persahabatan yang abadi dengan siapapun, dan semua itu berdasarkan pada keimanan yang teguh kepada Tuhan.
55
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 101
85
b. Tanggap Tanggap berarti peka, peduli, antisipatif, proaktif, dan mempunyai kesiapan diri terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi berikut semua kecenderungan, tuntutan, dan tantangan yang menyertainya berdasarkan sikap berani, mawas diri, dan terus meningkatkan kualitas diri. Sikap tanggap yang harus dimiliki oleh seorang pesilat diajarkan bersamaan dengan keterampilan pencak silat. Pesilat yang tanggap artinya memiliki kepekaan, kecerdasan, dan kecerdikan, dalam mengantisipasi serta memahami situasi yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Tanggap berarti pula seorang pesilat memiliki kemampuan untuk menyusun kekuatan dan kiat untuk mengungguli kekuatan lawan secara cepat dan tepat. Semua itu berlandaskan pada sikap hati – hati, waspada, dan kecermatan yang tinggi.56 c. Tangguh Tangguh berarti sikap ulet dan sanggup mengembangkan kemampuan diri dalam menghadapi dan menjawab setiap tantangan dengan baik. Seorang pesilat yang tangguh terhadap lingkungan yang terjadi bertujuan untuk menjawab segala persoalan dengan sikap kesatria yang pantang menyerah. Dalam kaitannya dengan proses pendidikan dalam pencak silat, tangguh
56
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 102
86
berarti banyak inisiatif dan kreatif dan dapat mengembangkan kemampuan dalam mengatasi permasalahan atau kesulitan yang dihadapi sebagai upaya untuk mengungguli lawan. d. Tanggon Tanggon berasal dari bahasa dari bahasa Jawa yang artinya teguh, tegar, konsisten, konsekuen dalam memegang prinsip menegakan keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Tanggon berarti mempunyai harga diri dan kepribadian yang kuat, penuh perhitungan dalam bertindak, disiplin, dan tahan uji, serta tahan terhadap godaan dan cobaan yang dihadapinya. Dalam kaitan dengan penginerjaan pencak silat, tanggon berarti tahan uji, tegar, dan tegas, tidak mudah terpancing oleh provokasi yang dapat merusak. semua sikap tersebut dilandasi oleh rasa percaya diri yang kokoh dan moral yang tinggi.57 e. Trengginas Trengginas dalam bahasa Jawa berarti enerjik, aktif, kreatif, dan inovatif, berpikir luas serta sanggup bekerja keras untuk mengejar kemajuan yang bermutu dan bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat berdasarkan sikap kesediaan untuk membangun diri sendiri dan sikap bertanggung jawab atas pembangunan masyarakatnya.
57
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 103
87
Dalam konteks pembinaan pencak silat, trengginas berarti cergas, aktif, dan kreatif, serta inisiatif mencari peluang-peluang untuk mengungguli lawan. Trengginas berarti pula lincah, gesit, dan tangkas mengeluarkan jurus-jurus yang dikuasainya sehingga membuat lawan tidak berdaya dan berkutik menghadapinya. Semua tindakan itu berdasarkan pada sikap yang pantang menyerah.58
58
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, hlm. 103