BABII Metodologi Penelitian dan Data Secara garis besar metoda Penelitian dibagi dalam tiga bagian yaitu: 1. Metoda Pengumpulan Data 2. Metoda pemrosesan data 3. Metoda penalaran dan analisis
II.1 Metoda Pengumpulan Data Data yang digunakan adalah dalam penelitian ini adalah data yang telah dipublikasikan, maupun data yang pernah digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya dalam kerjasama penelitian bersama LPPM ITB dan PERTAMINA (PERTAMINA–LPPM ITB KERMA No: 1229/D0000/1991-B1) pada tahun 1991 – 1997.
Data utama dari penelitian ini adalah: 1. data penampang seismik dan interpretasinya yang didapatkan dari disertasi Ryacudu (2005), dari dua puluh lima (25) penampang seismik komposit, dipilih sebanyak 3 penampang yang mewakili ketiga arah pengendapan di cekungan Sumatera Selatan, ketiga interpretasi penampang seismik tersebut adalah gabungan S6 – S3, gabungan S14 – S17 dan S23 (Gambar II.1). 2. delapan belas buah sumur hasil pemrosesan geohistori dipilih untuk mendukung data lintasan seismik yang digunakan. Daftar sumur yang digunakan selengkapnya tertera dalam Tabel II.1. 3. tabel pengukuran aliran bahang masa kini dan pengukuran konduktifitas panas batuan dari Kenyon dan Beddoed (1977), Siswoyo dkk. (1979), Aadland dan Phoa (1981) dan Thamrin (1987) digunakan sebagai acuan. 4. data kurva kompaksi umum di cekungan Sumatera Selatan hasil dari penelitian sebelumnya dalam kerjasama penelitian bersama LPPM ITB dan
PERTAMINA
(PERTAMINA–LPPM
1229/D0000/1991-B1) pada tahun 1991 – 1997
10
ITB
KERMA
No:
II.2.1
Konversi waktu ke kedalaman
Data interpretasi penampang seismik yang digunakan memiliki satuan kedalaman dalam satuan waktu (mili sekon) yang harus dikonversikan kedalam satuan kedalaman meter. Dengan tidak terdapatnya data check shoot untuk setiap penampang seismik maka mdetoda konversi yang digunakan adalah metoda konversi time to depth yang diberikan oleh Acheson, (1981 dalam Middleton, 1984):
T
2 aZ n b atau
Z
§ T 2b · ¸ ¨ © 2a ¹
1/ n
(Acheson, 1981 dalam Middleton, 1984) (II-1)
Dengan T adalah two-way travel time dalam mili sekon, Z adalah kedalaman dalam meter dan a, b dan n adalah konstanta dengan nilai masing-masing 1, 0 dan 0.83.
Selanjutnya setelah didapatkan nilai kedalaman dalam satuan meter maka untuk mendapatkan nilai kedalaman yang benar maka nilai kedalaman tersebut akan dibandingkan data-data sumur terdekat.
II.3 Metoda Penalaran dan Analisis
Metoda penalaran dan analisis dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu (Gambar II.2): 1. Metoda analisis penentuan tebal elastik litosfera (Te) atau penentuan kedalaman bidang moho serta penentuan faktor penipisan kerak (faktor E) 2. Metoda analisis sejarah pembentukan cekungan satu dimensi 3. Metoda analisis sejarah pembentukan cekungan dua dimensi
Secara rinci ketiga metoda analisis tersebut akan dibahas satu persatu dibawah ini:
13
Gambar II.3. Mekanisme subsiden berdasarkan jenis cekungan (Ingersoll dan Busby, 1995 dalam U.S. Geodynamic Council, 1997) Mekanisme penipisan kerak akibat streching adalah mekanisme yang umum terjadi pada pembentukan cekungan di belakang busur, Allen dan Allen (2005) menyatakan bahwa terdapat dua buah mekanisme streching, yaitu streching aktif, streching pasif dan streching yang berhubungan dengan batas lempeng konvergen (Tabel II.2.). Pada streching aktif anomali densitas rendah pada mantle menyebabkan pengangkatan isostatic yang menimbulkan stress ekstensional atau
15
perbedaan stress normal (stress vertikal) yang berbeda dari pengangkatan mekanis (non-isostatic). Sedangkan streching pasif dibagi dalam dua kelompok utama yaitu mekanisme pure shear dan mekanisme simple shear. Model streching pasif mekanisme pure shear memiliki empat buah sub model (lihat Tabel II.2), sedangkan mekanisme simple shear hanya memiliki satu buah sub model yaitu Asymmetrical with relay.
Tabel II.2. Model penipisan pada litosfera kontinental (Allen dan Allen, 2005) Model Active Swell push (1) Gravity spreading
(2) Diapirism
Selected references
Houseman, G., and England, PC., 1986, A dynamical model of lithosphere extention and sedimentary basin formation, J. Geoph. Res, 91, 719-729. Neugebauer, HJ., 1978, Crustal doming and the mechanism of rifting part I, rift formation, Tectonophysics, 45, 159-186 Bott, MHP, 1981, Crustal doming and the mechanisnm of continental rifting, Tectonophysics, 73, 1-8 Woidt, WD., and Neugebauer, HJ., 1981, Lithospheric thinning and the dynamic of density instabilities, EOS. Trans. Amer. Geoph. Union, 62, 814
Passive A: Pure shear (1) Uniform extension
McKenzie, DP, 1978, Some Remarks on The Development of Sedimentary Basins, Earth Planet. Sci. Letters, 40, 25-32 (2) Uniform with induced mantle convection Buck, WR., 1986, Small-scale convection induced by passif rifting: the cause for uplift of rift shoulders, Earth Planet. Sci. Letters, 77, 362-372 Steckler, MS., 1985, Uplift and extension at the gulf of Suez: indications of induced mantle convection, Nature, 317, 135-139 (3) Discontinuous non-uniform extension Hellinger, SJ., and Sclater, JG., 1983, Some coment on two-layer extensional models for evolution of sedimentary basins, J. Geoph. Res, 88, 8251-8270 (4) Continuous non-uniform extension Rowley, DB., and Sahagian, D., 1986, Depth –dependent stretching: a different approach. Geology, 14, 32-35 B: Simple shear (5) Asymmetrical with relay Coward, MP., 1986, Heterogeneous stretching, simple shear and basin development, Earth Planet. Sci. Letters, 80, 325-336 Wernicke, B, 1985, Uniform-sense normal simple shear of the continental lithosphere, Can. J. Earth Sci., 22, 108-125 Related to convergent plate boundaries (1) Impactogen Sengor, AMC., Burke, K., and Dewey, JF., 1978, Rift at high angles to orogenic belts: tests for the origin and the Upper Rhine Graben as an example, Am.J. Sci., 278, 24-40
Mekanisme streching simple shear Asymmetrical with relay dari Wernicke, 1985 (Gambar II.4) dipilih sebagai dasar mekanisme pembentukan cekungan sparo graben dalam penelitian ini, dikarenakan model tersebut memberikan pola pembentukan cekungan yang bersesuaian dengan cekungan separo graben pada cekungan-cekungan di Sumatera Selatan.
16
Gambar II.4. Model penurunan cekungan pada cekungan rift separo graben (Wernicke, 1984)
II.1.3.1
Penentuan Ketebalan Kerak
Ketebalan kerak kontinen dapat bervariasi dengan kisaran kedalaman 0 – 40 km, ketebalan kerak tidak berhubungan dengan umur pembebanan (Watts, 2001, dalam Braitenberg dkk. 2002), yang berpengaruh terhadap ketebalan Te adalah komposisi kerak, berupa kontrol reologi dan gradien geotermal (Braitenberg dkk., 2002).
Penentuan ketebalan kerak dapat dilakukan menggunakan tiga buah metoda yaitu: 1. analisis model gravitas menggunakan pemodelan gravitasi kedepan dari Talwani (1960) 2. model isostasi dari Airy (dalam Allen dan Allen, 1990, 2005) yang diterapkan pada sejarah pemendaman satu dimensi. 3. Pemodelan temperatur terhadap kedalaman (Allen dan Allen, 1990, 2005)
17
a. Ketebal kerak dari analisis model gravitas Tebal elastik litosfera dapat ditentukan menggunakan pemodelan gravitasi kedepan dari Talwani (1960). Bila diketahui ketebalan lapisan sedimen dan densitasnya pada suatu cekungan sedimen maka dapat diturunkan efek gravitasi Bouguernya, bila efek gravitasi ini dikurangkan terhadap data gravitasi Bouguer hasil pengukuran maka akan didapatkan efek gravitasi dari kerak dengan diketahuinya densitas kerak maka bidang moho dapat ditentukan.
Digunakan suatu asumsi yaitu: 1. Litosfer adalah lapisan tipis elastis yang akan merespon terhadap beban eksternal dan internal (Braitenberg dkk., 2002). Beban eksternal adalah relief topografi dan beban internal adalah perbedaan densitas batuan secara lateral. 2. Pada model pelenturan lapisan tipis, besarnya pelenturan sama dengan (atau mendekati) deviasi dari kedalaman bidang moho yang mendatar dan ditambah dengan beban topografi.
Penentuan Te dilakukan dalam dua dimensi/2D, data yang dibutuhkan adalah peta topografi, peta pengukuran gravitasi Bouguer, kemudian dipilih penampangpenampang yang memiliki data penampang seismik.
b. ketebal kerak dari analisis isostasi pada sejarah pemendaman Menurut Stuwe (2007) isostasi adalah kesetimbangan stress vertikal, isostasi berhubungan dengan distribusi masa vertikal dalam litosfera yang mengalami kesetimbangan karena litosfera tersebut mengambang diatas astenosfera. Isostasi dapat menjelaskan dengan baik variasi ketinggian pada hampir semua permukaan bumi, isostasi yang digunakan adalah isostasi hidrostatik.
Prinsip dari isostasi menurut Allen dan Allen (2005) dan Stuwe (2007) besarnya gaya permukaan pada dasar dari kolom vertikal adalah merupakan beban litostatik yang dinyatakan sebagai berikut:
V zz
yUg
(II-2)
18
Cara termudah untuk penggambaran efek dari beban vertikal tersebut adalah dengan membentuk suatu akar yang sangat dalam dengan densitas rendah. Hal ini dinamakan kompensasi Airy atau isostasi Airy (Allen dan Allen, 2005). Prinsip dari isostasi Airy (Allen dan Allen, 2005, Stuwe, 2007) adalah kesetimbangan hidrostatik (Gambar II.5) yang dinyatakan sebagai berikut:
V zz
yUg
c
(II-3)
Gambar II.5. Model isostasi Airy (Allen dan Allen, 2005, digambar ulang untuk memenuhi penurunan persamaan selanjutnya) Bila diambil kesetimbangan isostasi pada dua kolom pada Gambar II.5, menggunakan persamaan II-3 akan memperlihatkan naiknya permukaan kerak (berwarna abu-abu muda dalam Gambar II.5) terhadap mantle (berwarna abu-abu tua dalam Gambar II.5) akibat dari densitas kerak yang lebih kecil dari densitas mantel. Hal ini dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan tinggi di permukaan kerak. Makin tinggi permukaan kerak makin dalam akarnya, sebagai contoh gunung Himalaya akan memiliki ketebalan kerak jauh lebih tebal (karena memiliki akar yang sangat tebal) bila dibandingkan dengan dataran dipantai dengan ketinggian permukaan 0 m. Sedangkan bila densitas kerak sama dengan densitas mantel maka kerak tersebut akan terbenam didalam mantel.
Sebagai ilustrasi, bila dua buah kolom terkanan digunakan untuk mendapatkan ketinggian topografi dari kolom ke lima (h5) maka persamaan II-3 akan menjadi: z5 U c g d 5 U m g
dU m g h5 U u g
(II-4) 19
Dengan d5 d h5 z5
d5
(II-5)
z5 U c g d h5 z5 U m g z5 U c dU m h5 U m z5 U m
dU m
z5
(II-6) (II-7)
z5 U m Uc
h5 U m
h5
dU m g h5 U u g
(II-8)
U m U c Um
(II-9)
Bila diambil densitas mantel (m) 3300 km m-3 dan densitas kerak (c) 2670 km m-3 maka:
Um Uc 3300 2670 Um
h5
3300
330 3300
0.1
0.1 z5
(II-10) (II-11)
Ketinggian permukaan adalah seper sepuluh dari ketebalan kerak, bila ketebalan kerak (z5) adalah 10 km maka ketinggian permukaan adalah 1 km, hal yang sama untuk kolom yang lain, misalkan z4 = 20 km maka ketinggian topografi h4 =2 km dan z3 = 20 km maka ketinggian topografi h3 = 3 km. Karena kesetimbangan hidrostatik, maka bila dibandingkan vertikal kolom ke tiga (z3) = 30 km dan kolom vertikal ke empat (z4) =20 km, akan memberikan beda ketinggian topografi antara h4 = 2 km dan h3 = 3 km adalah 1 km, pembuktian tersebut diilustrasikan dibawah ini. Kesetimbangan hidrostatik (isostasi) antara kolom ke 3 dan ke 4 dari persamaan II-3: z3 U c g d 3 U m g
z 4 U c g d 4 U m g h3 h4 U u g
(II-12)
Dengan d3 adalah: d3
z z4 h3 h4 z3
(II-13)
z3 U c g z z 4 h3 h4 z3 U m g
z 4 U c g zU m g h3 h4 U u g
(II-14)
Karena kecepatan akselerasi gravitasi (g) adalah konstan dan terdapat pada setiap bagian persamaan dapat dibuang, dan dengan mengatur ulang urutannya maka persamaan II-14 menjadi: 20
h3 h4 z3 z4 U m Uc Um
(II-20)
Bila diambil densitas mantel (m) 3300 km m-3 dan densitas kerak (c) 2670 km m-3 maka:
h3 h4 z3 z4 3300 2670 3300
0.1 z3 z4
(II-21)
Dari persamaan II-21, didapatkan perbandingan ketinggian topografi kolom ketiga dan keempat (h3-h4) adalah 1 km, hal ini sesuai dengan yang dihasilkan sebelumnya.
Bila kesetimbangan isostasi tersebut diterapkan pada kolom vertikal kerak dengan densitas yang berbeda-beda pada setiap kedalaman dengan ketinggian topografi tetap (Gambar II.6). Misalkan terdapat suatu lapisan sedimen dengan densitas (s) 2400 km m-3, densitas kerak (c) 2700 km m-3 dan densitas mantel (m) 3300 km m-3 maka persamaan II-3 akan menjadi: z s1 U s g zc1 U c g z m U m g
z s 2 U s g zc 2 U c g
z s1 zc1 zm z s 2 zc 2 U m g
(II-22)
Gambar II.6. Model isostasi Airy dengan densitas berbeda-beda pada kerak (modifikasi dari Gambar II.5 untuk densitas kerak yang berbeda beda) Bila dilakukan pengaturan ulang dan penyederhanaan persamaan II-22 akan menjadi:
zc 2
zc1 z s1 z s 2
U m U s U m U c
(II-23)
21
Bila digunakan densitas lapisan sedimen (s) 2400 km m-3, densitas kerak (c) 2700 km m-3 dan densitas mantel (m) 3300 km m-3 maka didapatkan:
zc 2 zc 2
zc1 z s1 z s 2 zc1 z s1 z s 2
3300 2400 3300 2700
(II-24)
900 600
(II-25)
zc1 1.5 z s1 z s 2
Andaikata ketebalan sedimen pada kolom kiri (Zs1) memiliki tebal 1 km dan ketebalan sedimen pada kolom kanan (Zs2) memiliki tebal 2 km, dan ketebalan kerak kolom kiri (Zc1) adalah 25 km maka ketebalan kerak pada kolom kanan (Zc2) dapat dihitung :
zc 2
25 1.5 1 2 25 1.5 23.5
(II-26)
Dengan demikian diperlihatkan bahwa semakin tebal batuan sedimen dengan densitas yang lebih rendah dibandingkan densitas kerak, maka ketebalan kerak akan semakin tipis.
Pada umumnya lapisan sedimen terdiri dari beberapa lapisan dengan densitas yang berbeda beda, maka dalam penurunan persamaan II-3 menjadi persamaan II22 perlu dilakukan modifikasi, dengan memperhitungkan setiap lapisan sedimen pada tiap kolom, misalkan ada sejumlah p lapisan sedimen pada kolom kiri dan sejumlah q lapisan sedimen pada kolom kanan. Maka bentuk penurunan persamaan II-3 akan menjadi:
p
¦z i 1
s1i
U s g zc1 U c g z m U m g i
q
¦z
s2 j
U s g zc 2 U c g j
j 1
q · § p ¨ ¦ z s1i zc1 z m ¦ z s 2 j zc 2 ¸ U m g ¸ ¨ j 1 ¹ ©i1
22
(II-27)
Gambar II.7. Model isostasi Airy dengan densitas berbeda-beda pada kerak (modifikasi dari Gambar II.5 untuk densitas kerak yang berbeda beda) Bila dilakukan pengaturan ulang dan penyederhanaan persamaan II-27 akan menjadi:
zc 2
m · § n ¨ ¦ z s1i U si ¦ z s 2 j U s j ¸ ¸ § n ¨ m i 1 j 1 ¹ ¨ z z ·¸ U m zc1 © ¨ ¦ s1i ¦ s 2 j ¸ U U U m U c j 1 c ¹ m ©i1
(II-28)
Persamaan II-28 ini selanjutnya kan digunakan untuk pengerjaan selanjutnya, karena meurut Stuwe (2007) keseimbangan ini tidak terpengaruh oleh umur, akan tetapi lebih dimengaruhi oleh densitas vertikal kolom batuan, dengan lain perkataan akan terjadi kesetimbangan bila dilakukan analisis kolom vertikal pada umur yang berbeda asalkan posisinya sama. Maka ketebalan kerak atau kedalaman bidang moho dapat dicari dari waktu kewaktu menggunakan persamaan diatas.
II.1.3.2
Penentuan faktor penipisan kerak (-factor)
Setelah didapatkan Te masa kini pada penampang, dengan mengasumsikan ketebalan kerak awal sebelum terjadi rifting sama dengan ketebalan kerak ditempat yang tidak terjadi rifting, dan ketebalan kerak setelah rifting diketahui
23
dari penampang tersebut maka -factor dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (Allen dan Allen, 2005): = Y0/ Y1
(II-29)
Bila dilakukan dalam penampang untuk setiap posisi x(i) i = Y0i/ Y1i
(II-30)
dengan:
faktor penipisan (Streching factor)
Y0, Y0i tebal kerak awal Y1, Y1i tebal kerak setelah rifting Data masukan yang dibutuhkan untuk analisa penentuan ketebalan kerak dan faktor penipisan kerak ini adalah: x
peta topografi digunakan untuk mendapatkan profil topografi masa kini.
x
Data penampang seismik dengan tafsiran unit stratigrafi hingga ke batuan dasar dan telah dilengkapi dengan data densitas rata-rata per unit stratigrafinya.
x
Data penampang gravitasi sesuai dengan lintasan seismik, didapatkan dari peta gravitasi daerah telitian.
x
Data densitas perkedalaman dari data log talikawat sumur pemboran pada daerah telitian
Analisis tersebut akan memberikan data keluaran berupa: x
Konfigurasi cekungan masa kini
x
Ketebalan kerak atau kedalaman bidang moho sepanjang penampang seismik dan
x
faktor penipisan kerak (-factor) masa kini.
II.3.2
Pemodelan Cekungan Satu Dimensi
Pemodelan satu dimensi (1D) ini dilakukan untuk mendapatkan model sejarah pembentukan cekungan dari setiap titik pengamatan. Titik titik pengamatan
24
tersebut dapat berupa sumur pemboran yang berdekatan atau pada penampang seismik yang digunakan, serta pada titik-titik uji sepanjang lintasan seismik. Pemodelan satu dimensi (1D) pada sumur pemboran dilakukan untuk mendapatkan kalibrasi bagi penampang seismik yang dimodelkan.
Sebelum memulai pemodelan satu dimensi (1D) pada sumur pemboran terlebih dahulu dilakukan analisis data, agar data yang dimasukkan sebagai input maupun parameter yang digunakan adalah benar, dengan demikian diharapkan akan menghindari terjadinya kesalahan pengambilan data input dan parameter (menghindari terjadinya GIGO atau Garbage In Garbage Out).
Terdapat 3 buah analisis dan koreksi data yang harus dilakukan khusus selain analisis data secara umum, ketiga analisis data tersebut adalah: 1. Koreksi data Temperatur 2. Analisis Data geokimia (model pemecahan hidrokarbon) 3. Koreksi nilai pantulan vitrinit masa kini.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pemodelan satu dimensi (1D) itu sendiri yang akan dibagi dalam empat langkah menuju model sejarah pemanasan yang telah terkoreksi. Langkah-langkah tersebut adalah: 1. Rekonstruksi kurva kompaksi 2. Rekonstruksi Burial Geohistori dan tektonik subsiden 3. Rekonstruksi Sejarah termal dan sejarah aliran bahang. 4. Konversi temperatur ke nilai indikator kematangan (pantulan vitrinit) dan kalibrasi serta validasi model profil pantulan vitrinit dengan data pantulan vitrinit terkoreksi.
Bila dalam kalibrasi ternyata indikator kematangan (pantulan vitrinit) model tidak sama dengan pantulan vitrinit hasil pengukuran, maka model sejarah kematangan harus dikoreksi dengan cara merubah model aliran bahang sedemikian rupa (trial and error) sehingga bersesuaian.
25
Secara garis besar akan dirinci metoda yang digunakan untuk tiap langkah pemodelan pada subbab berikut ini.
Koreksi data Temperatur masa kini Koreksi temperatur masa kini dimaksudkan untuk mengkoreksi data pengukuran temperatur dasar sumur pemboran (BHT atau Bottom Hole Temperature) pada saat dilakukan logging. Hal tersebut perlu dilakukan karena pada saat melakukan pengukuran temperatur kondisi lubang bor masih dingin akibat dari sirkulasi lumpur pada saat melakukan pemboran yang digunakan untuk mendinginkan mata bor. Sehingga temperatur terukur selalu lebih rendah dari nilai temperatur formasi sebenarnya.
Pada dasarnya semakin lama selang waktu antara sirkulasi lumpur dihentikan dengan waktu pengukuran temperatur, temperatur terukur akan semakin mendekati temperatur formasi yang sebenarnya. Untuk melakukan koreksi ini dibutuhkan data waktu pemboran berhenti, waktu sirkulasi berhenti dan waktu logging (Gambar II.8a). Metoda koreksi yang biasa digunakan adalah Horner plot yaitu dengan memplot semua data pengukuran temperatur pada saat logging hingga suatu saat akan menjadi asimtotis yang akan menunjukkan nilai temperatur sebenarnya. Akan tetapi Beck dan Shen (1989) serta Dowdle dan Cobb (1975) dalam Barker (1995) menyatakan bahwa metoda Horner menghasilkan nilai temperatur yang lebih rendah dari nilai sebenarnya. Parasnis (1971 dalam Barker, 1995) menyarankan menggunakan metoda extrapolasi ke waktu tak hingga dalam plot semi log, dengan demikian dicari nilai temperatur pada log(1) atau log(T+T/T)=1 (Gambar II.8b). STOP STOP DRILLING MUD CIRC.
0
LOG 1
LOG2
T+' T1 T+'T2
T
Gambar II.8a. Gambaran waktu proses logging (Barker, 1995)
26
130 temperatur Estimasi 107.3 ºC
Circulation Data 'T (T+'T)/'T T 1.50 6.08 1.25 9.38 1.16 12.42 1.12
120
log(T+'T)/'T 0.0957 0.0644 0.0492
tm (ºC) 111.00 116.00 119.50
110 1.0
1.1
1.2
Gambar II. 8b. Metoda penafsiran temperatur formasi. Contoh data perhitungan koreksi temperatur. (kiri) Plot dalam kurva semi log (Barker, 1995) (kanan).
Data masukan yang dibutuhkan adalah: x
Temperatur dasar sumur (BHT), waktu pengukuran BHT, pemboran berhenti, dan penghentian sirkulasi lumpur
x
data temperatur lainnya.
Analisis tersebut akan memberikan data keluaran berupa data temperatur dasar sumur terkoreksi. Bila tidak dijumpai data pemgukuran temperatur dasar sumur pemboran maka data temperatur yang difunakan adalah data temperatur lubang bor yang didapatkan dari data pengukuran temperatur lubang bor atau gradien geotermal terpublikasi yang diambil dari hasil penelitian Thamrin, 1972 (lampiran A)
Koreksi nilai pantulan vitrinit masa kini Salah satu indikator kematangan hidrokarbon yang umum digunakan dalam dunia industri migas adalah nilai pantulan vitrinit. Dalam penggunaan nilai pantulan vitrinit sebagai indikator kematangan perlu diperhatikan kondisi-kondisi yang terjadi saat pembentukan hidrokarbon dan saat pengambilan data pemboran. Hal tersebut dikarenakan menurut Wilkins dkk. (1995) telah lama diketahui bahwa terdapat beberapa masalah dalam penggunaan pantulan vitrinit sebagai indikator kematangan dalam eksplorasi migas. Beberapa permasalahan yang timbul diantaranya:
27
Hal senada juga dikemukanan oleh Mukhopadhyay (1994), vitrinit yang diendapkan di lingkungan marin dengan kondisi reduksi atau pada lingkungan pengendapan lakustrin sering memperlihatkan nilai pantulan vitrinit yang lebih rendah (antara 0.15% sampai dengan 0.55%Ro) bila dibandingkan dengan nilai pantulan vitrinit yang diendapkan pada lingkungan oksidasi. Hal tersebut terjadi bila: x
terdapat lipid dalam struktur vitrinit
x
maseral yang terbentuk adalah maseral serupa vitrinit yang terbentuk dari alga, rumput laut dll
x
pembentukan bitumen tidak sempurna, atau dari minyak yang sudah termigrasi
x
atau beberapa hal lainnya
Bila supresi pada lipid tidak dikenali, maka kematangan hidrokarbon yang ditunjukkan oleh pantulan vitrinit akan memberikan nilai yang terlalu rendah, sehingga kematangan batuan induk bisa saja dikenali belum matang. Permasalahan ini dapat dikenali dalam profil kematangan hidrokarbon sumur yang dianalisis dengan kemunculan anomali kematangan rendah dari batuan sumber yang menghasilkan minyak bila dibandingkan dengan lapisan di atas dan di bawahnya, akan tetapi permasalahan justru sering muncul bila yang dianalisis hanya batuan sumber saja, sehingga tidak ada pembandingnya. Untungnya pantulan vitrinit yang kaya akan lipid dapat dengan mudah diidentifikasi bila dimiliki cukup waktu untuk menganalisa conto dengan benar, akan tetapi adakalanya pantulan vitrinit yang kaya akan lipid tidak selalu dapat dikenali karena masalah kemampuan dalam mengidenfikasi di bawah mikroskop atau kegagalan dalam penggunaan fluoresece pada saat pembacaan reflektansinya.
Salah satu cara untuk mendapatkan indikator kematangan yang benar adalah dengan melakukan analisis FAMM (Fluorescene Alteration of Multi Maceral) sebagai pengganti analisis pantulan vitrinit. Menurut (Wilkins dkk, 1995) keunggulan dari analisis FAMM yang sangat penting dibandingkan pantulan vitrinit adalah dalam hal mendapatkan dua buah jenis parameter yaitu pertama berhubungan dengan tingkat kematangan dan kedua berhubungan dengan maseral
29
yang kaya akan hidrogen. Keunggulan ini memungkinkan untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam analisis pantulan vitrinit, diantaranya: x
masalah mengidentifikasi vitrinit dalam material organik campuran (DOM atau dispersed organic matter), karena dalam analisis FAMM semua maseral akan terindetifikasi
x
memberikan indikasi ketepatan dan jumlah penyimpangan,
x
mampu menganalisa batuan yang mengandung sedikit vitrinit
x
mengenali material organik hasil rombakan (rework) atau jatuhan (caving) dan
x
pantulan vitrinit yang mengalami supresi serta
x
hasil analisis FAMM ekivalen dengan nilai pantulan vitrinit dan bebas dari efek kandungan hidrogen
Akan tetapi analisis FAMM sangat mahal dibandingkan dengan analisis pantulan vitrinit, sehingga analisis FAMM tidak dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak. Untuk itu perlu dicarikan cara lain untuk melakukan koreksi nilai pantulan vitrinit yang mengalami supresi. Lo (1993) mendapatkan bahwa derajat supresi vitrinit berhubungan dengan nilai HI batuan induk yang belum matang dan kematangan batuan induk. Reflektansi supresi menaik pada kualitas batuan sumber (HI) dengan lain perkataan makin tinggi kandungan hidrogen (HI) makin besar supresi terjadi dan mencapai nilai supresi terbesar pada kondisi jendela kematangan menengah (Mid oil window maturities) seperti terlihat pada kurva di Gambar II.7 bagian atas. Sayangnya kurva yang diberikan oleh Lo (1993) tersebut hanya dapat mengkoreksi supresi pada nilai pantulan vitrinit diatas 0.5%, sehingga bila data pantulan vitrinit yang ada kurang dari 0.5% tidak dapat ditentukan. Saefuddin (1999) dalam tesisnya mencoba melakukan penelitian sejenis dengan cara membandingkan data pantulan vitrinit dengan data FAMM, data tersebut dikelompokkan berdasarkan kisaran HI tertentu dengan data yang digunakan berasal dari Cekungan Sumatera Tengah dan Cekungan Kutai. (Gambar II.10 bagian bawah).
30
Data masukan yang dibutuhkan adalah: x
Nilai pantulan vitrinit terukur dan FAMM
x
Pirolisa (tipe kerogen, HI, OI, Tmax).
Analisis tersebut akan memberikan data keluaran berupa data nilai pantulan vitrinit terkoreksi.
Rekonstruksi kurva kompaksi Rekonstruksi kurva kompaksi dilakukan untuk mendapatkan model kurva kompaksi dan parameternya yang akan digunakan untuk melakukan koreksi ketebalan paleostratigrafi serta sejarah penurunan cekungan.
Proses kompaksi yang terjadi pada lapisan sedimen yang mengalami perubahan ketebalan akibat pembebanan litostatik lapisan sedimen di atasnya. Pembebanan ini akan menyebabkan berkurangnya porositas sebagai respon berupa penyesuaian partikel terhadap pembebanan litostatik. Dalam hal ini diasumsikan hanya beban vertikal yang berpengaruh terhadap pengurangan porositas, serta tidak ada proses lain yang mempengaruhi pengurangan porositas, seperti misalnya dalam diagenesa batuan dapat terjadi pengurangan porositas akibat sementasi, penambahan porsitas akibat pelarutan ataupun penambahan porositas akibat pensesaran. Pengurangan porositas ini berhubungan langsung dengan perubahan ketebalan lapisan, sehingga istilah kurva kompaksi terhadap kedalaman sama dengan kurva porositas terhadap kedalaman atau dapat saling menggantikan.
Porositas suatu batuan akan berkurang sejalan dengan penambahan kedalaman dan akan mengikuti suatu model matematis tertentu. Beberapa peneliti terdahulu yang melakukan penelitian tentang kurva kompaksi terhadap kedalaman antara lain (Tabel II.4 dan Gambar II.11): x
Athy (1930), Selley (1978) dan Magara (1980) menunjukkan pola eksponensial
32
x
Sclater dan Christie (1980) yang pertama mendesain algoritma dekompaksi menggunakan
kurva
eksponensial
untuk
batupasir,
batulanau
dan
batugamping serta batulempung pada cekungan Nort Sea. x
Schmokker dan Halley (1982) juga membahas kurva kompaksi eksponensial untuk karbonat
x
Baldwin dan Buttler (1985) membahas kurva kompaksi eksponensial untuk mengikuti Sclater dan Christie (1980), akan tetapi untuk shale menggunakan persamaan powerlaw
x
Falvey dan Middleton (1981) mengajukan bentuk lain kurva kompaksi untuk laju sedimentasi yang lambat
x
Issler (1992) menyatakan bahwa untuk serpih menggunakan data log sonik bahwa pada kedalaman di bawah 500 m memiliki hubungan linier, pada bagian atasnya lebih cocok menggunakan powerlaw atau eksponensial
x
Liu dan Roaldset (1994) melihat ketidak-konsistenan pada persamaamn eksponensial dan mengusulkan model parabola
x
Koesoemadinata, (1997, dalam Kesumajana, 1998) mengusulkan model hiperbola
33
Tabel II.4. Persamaan kompaksi dari beberapa penulis x x x x x
ModelkurvakompaksieksponensialSclaterdanChistie(1980) I I o expcz
ModelkurvakompaksiBaldwindanButtler(1985),menggunakankonsepsoliditas(S=1I) burialdepth(inkm)=6,02S6,35 ModelkurvakompaksieksponensialFalveyandMiddleton(1981) 1/I=1/Io+kz ModelkurvakompaksilinierIssler(1992) I I o cz TigamodelkurvakompaksiLiudanRoaldset(1994) SclaterdanChristie sh: I =0,803xexp(0,51=/1000) ss: I =0,49exp(0,27=/1000) BaldwindanButler sh: I =0,803–4,3x102ln(z+1)5.,4x103[ln(z+1)]2 ss: I =0,49exp(0,27z/1000) Parabola sh: I =0,803–2,34x102z+1,517x106z2 ss: I =0,728–2,719x102z+2,604x106z2 dengan: I =porositaspadakedalamanz Io =porositasdipermukanaan c,k =faktorkompaksi z =kedalaman
Langkah pertama yang dilakukan adalah merubah nilai waktu tempuh gelombang sonik yang didapatkan dari log sonik (sonic transit time, t) menjadi nilai porositas menggunakan:
a. Persamaan rata-rata dari Wyllie (dalam Schlumberger, 1989) :
I
't 't
log
't ma
fl
't ma
(Schlumberger, 1989) (II-31)
Untuk batupasir : ' tmat= 55.5, ' tmin =51 dan ' tmax = 100 b. Persamaan empiris dari Raymer-Hunt-Gardner (Raymer dkk. 1980):
I
§ 't ma · ¸ 0.63 * ¨¨ 1 't log ¸¹ ©
(II-32)
Untuk batupasir : ' tmat = 54, ' tmin = 51 dan ' tmax = 100
34
Gambar II.11. Beberapa model kurva kompaksi (Kesumajana, 2005) 35
c. Persamaan empiris dari Raiga-Clemenceau (Isller, 1992) : § 't · 1 ¨¨ ma ¸¸ © 't log ¹
I
1
x
(Raiga-Clemenceau dalam Isller, 1992) (II-33)
Untuk shale : ' tmat = 67.05, ' tmin = 61 dan ' tmax = 180 dengan: I
Porositas
' tlog Log transit time
' tma Transit time ' tfl Fluida transit time (189 Ps/ft untuk air tawar)
x
factor Acoustic formasi = 2.19.
Selanjutnya setelah nilai porositas didapatkan adalah melakukan identifikasi pola kompaksi untuk setiap satuan batuan dalam satu cekungan atau sub-cekungan, serta menentukan parameter kompaksi untuk setiap pola kompaksi yang dijumpai. Data masukan yang dibutuhkan adalah: x
Log sonik atau log porositas neutron
x
Stratigrafi dan litologi.
Analisis tersebut akan memberikan data keluaran berupa model dan parameter kurva kompaksi.
Rekonstruksi burial geohistori dan tektonik subsiden Dilakukan untuk mendapatkan model kurva total subsiden (1D) yang terkalibrasi oleh kurva kompaksi serta Paleobatimetri dan Perubahan muka laut purba untuk mendapatkan paleostratigrafi (burial geohistori) dan kurva total subsiden terkoreksi. Serta mendapatkan model kurva tektonik subsiden yang telah terkoreksi oleh model pelenturan. Untuk tahap awal digunakan parameter pelenturan masa kini (parameter pelenturan konstan sepanjang masa), kemudian bila telah didapatkan model pelenturan dari waktu-kewaktu maka nilai ini yang akan digunakan (parameter pelenturan berubah sepanjang masa).
Untuk perhitungan total subsiden (TS) digunakan pemodelan ke belakang (Backward
modeling)
menggunakan
36
metoda
pengupasan
ke
belakang
(backstripping, van Hinte, 1978) yang terkoreksi oleh model kurva kompaksi (proses dekompaksi, Gambar II.12). Pada model ini diasumsikan bahwa setiap lapisan sedimen terdiri dari 2 bagian yaitu butiran (matriks) dan pori, dengan demikian maka dapat diturunkan suatu persamaan sebagai berikut: Dn Tn
D0 T0
Dn
D0
³ 1 In dZ
³ 1 I dZ
(van Hinte, 1978) (II-34)
0
dengan: Dn, D0 kedalaman sekarang dan awal Tn, T0
ketebalan sekarang dan awal
n, 0 porositas sekarang dan awal.
Gambar II.12. Proses kompaksi-dekompaksi (van Hinte, 1978)
Dengan mencari solusi intergal untuk persamaan kurva kompaksi yang digunakan maka ketebalan lapisan dari waktu kewaktu dapat ditentukan, selanjutnya dengan melakukan koreksi oleh paleobatimetri dan perubahan muka laut purba maka TS dapat dihitung. Secara konsep terdapat dua faktor utama penyebab terjadinya subsiden pada cekungan rift yaitu, besarnya penipisan kerak selama terjadi proses rifting dan jumlah penambahan panas dari mantel atas ke dalam kerak (Royden, 1985).
37
Untuk total tektonik subsiden (TTS) digunakan persamaan dari Bond dan Kominz (1984) (dalam Allen dan Allen, 2005):
Y
° § U U s · § U w ·½° ¸¸ 'SL¨¨ ¸¸¾ Wd 'SL C ®S ¨¨ m U U °¯ © U m U w ¹ w ¹° © m ¿
(II-35)
dengan densitas sedimen rata-rata didapatkan dari weighted average:
Us
i
Dan
C
D
dengan: Y
°Ii U w 1 Ii U sgi S 1 ¯
n
¦ ®°
U m U s
½°y' ¾ °¿
(II-35)
i
(II-37a)
o
D 4 Um Us k g
ETe3 12(1 v 2 )
(II-37b)
Total Tektonik Subsiden (TTS)
S Total Subsiden (TS) C
m densitas mantel w densitas air
Faktor Penipisan kerak (-factor) S densitas sedimen
SL
Perubahan muka laut Purba
i Porositas pada lapisan ke y’i
Wd Batimetri
y’i tebal lapisan ke i
D Flexure rigidity
k
radial wavenumber
v
Poisson ratio
g
Konstanta gravitasi.
E
Modulus Youngs
Te tebal elastik
Data masukan yang dibutuhkan adalah:
x
Stratigrafi, litologi, densitas litologi (densitas matrik)
x
Parameter kompaksi
x
Biostratigrafi (umur dan paleobatimetri)
x
Perubahan muka laut dari waktu ke waktu
x
Koefisien rigiditas.
Analisis tersebut akan memberikan data keluaran berupa:
x
Total Subsiden dan Paleostratigrafi
x
Tektonik Subsiden
38
Rekonstruksi Sejarah Pemanasan dan Sejarah Aliran bahang. Rekonstruksi Sejarah pemanasan dan sejarah perkembangan temperatur dibangun berdasarkan sejarah perkembangan cekungan satu dimensi (1D), dilakukan untuk mendapatkan sejarah pemanasan dan aliran bahang dari waktu ke waktu.
Pada awalnya akan dilakukan menggunakan aliran bahang konstan menggunakan data aliran bahang masa kini sebagai acuan. Kemudian akan dirubah secara gradual berdasarkan model rifting yang terjadi dan dikalibrasikan dengan data pantulan vitrinit hasil pengukuran setelah data sejarah temperatur ini dikonversikan ke data pantulan vitrinit.
Dalam pemodelan ini digunakan data TTS dan paleostratigrafi sebagai template, selanjutnya sejarah temperatur dibangun menggunakan perambatan panas konduktif dari Fourier (Turcote dan Schubert, 1982): q
k
dT dy
(II-38)
dengan memperhitungkan pemanasan internal maka integrasi dari persamaan di atas menjadi: T
Ts
qs UH 2 y y k 2k
(II-39)
dengan mengabaikan pemanasan internal maka persamaan di atas menjadi: T
Ts
qs y k
(II-40)
dengan: qS aliran bahang dipermukaan
Ts
Temperatur permukaan
k konduktivitas panas
T
Temperatur pada kedalaman y
y ketebalan sedimen. Untuk sedimen dengan n lapisan: n
Ti
Ts q s ¦ i 1
yi ki
(Turcote dan Schubert, 1982) (II-41)
dengan: qS aliran bahang dipermukaan
Ts Temperatur permukaan
ki konduktivitas panas batuan pada yi
Ti Temperatur pada kedalaman yi.
39
yi ketebalan sedimen ke i. K adalah konduktivitas panas yang tergantung dari porositas (Allen dan Allen, 1990, Magara, 1985) sehingga untuk mendapatkan nilai k batuan sedimen didapatkan dari persamaan: k s k w / k s
I
k
(Allen dan Allen, 1990, Magara, 1985) (II-42)
dengan: k
konduktivitas panas batuan
kw konduktivitas panas air
ks konduktivitas panas batuan butiran
porositas.
Data masukan yang dibutuhkan adalah:
x
Temperatur dasar sumur terkoreksi dan temperatur permukaan
x
Konduktivitas panas butiran per litologi dan konduktivitas panas air
x
Porositas per kedalaman dan ketebalan lapisan.
Analisis tersebut akan memberikan data keluaran berupa:
x
Aliran bahang masa kini
x
Sejarah pemanasan dan aliran bahang satu dimensi (1D).
II.3.3
Pemodelan Cekungan Dua Dimensi
Dalam pemodelan cekungan dua dimensi (2D atau spektral) dimaksudkan untuk mendapatkan konfigurasi cekungan pada masa yang lalu. Metoda yang mendasari model ini adalah metoda restorasi berdasarkan Balance cross-section yang akan terkoreksi oleh ketebalan dekompaksi yang didapatkan dari pemodelan satu dimensi (1D) pada setiap bagian dari penampang. Bila dalam satu horizon terjadi perubahan jenis batuan secara lateral maka akan digunakan model linier untuk penyebaran jenis dan sifat fisis batuan secara lateral.
Rekonstruksi penampang dilakukan paling tidak untuk setiap top horizon yang terdapat dalam penampang yang direstorasi, untuk mendapatkan hasil yang baik
40
bila terdapat suatu horizon yang memiliki ketebalan terlalu tebal akan dibagi dalam selang umur tertentu.
Setiap kali dilakukan rekonstruksi seluruh parameter akan dievaluasi kembali mulai dari model geodinamik penentuan kedalaman bidang moho yang tentunya akan berakibat pada model satu dimensinya. Sehingga pada akhirnya akan didapatkan model pembentukan cekungan dan sejarah pemanasan yang telah terkoreksi. Data masukan: x
Hasil dari pemodelan geofisika
x
Hasil dari pemodelan satu dimensi
Analisis tersebut akan memberikan data keluaran berupa sejarah perkembangan cekungan dan sejarah pemanasan dalam penampang yang terkoreksi.
Terdapat dua buah metoda yang digunakan dalam melakukan restorasi penampang seismik yaitu metoda rekonstruksi panjang garis (line length reconstruction) pada endapan sedimen post-rift dan rekonstruksi Simple Shear pada endapan sedimen Syn-rift (Gambar II.13). Pemisahan metoda tersebut dikarenakan pada endapan post-rift telah terpengaruh oleh terjadinya tektonik kompresi dan reaktifasi sesarsesar normal menjadi sesar-sesar naik (reverse fault), sehingga metoda rekonsrtuksi Simple Shear tidak dapat lagi digunakan lagi.
41
Y
A
B
Kedudukan lapisan Regional
Sesar Utama
a
X
W
Kedudukan lapisan Regional
V
Sesar Utama
Lapisan Syn-rift
Lapisan Syn-rift Z
X
Y a
C
D
h W B V
Z
W’
W
B
V
B’ W’
B’ Z
B’’ B’’’
B’’ B’’’
Gambar II.13. Rekonstruksi penampang rekonstruksi Simple Shear (McClay, 1996, gambar telah dimodifikasi), metoda rekonstruksi penampang Simple Shear menganggap bahwa suatu sesar utama akan membentuk sesar-sesar minor baik antitetik maupun sintetik. Penentuan penggunaan sesar minor antitetik atau sintetik tergantung dari jejak sesar utama yang teramati pada penampang yang direstorasi. A. Garis ungu adalah lapisan syn-rift yang akan direstorasi ke garis horizontal berwarna hitam, garis biru adalah sesar utama. B. Metoda penentuan sudut sintetik, dengan garis YZ adalah sesar sintetik pertama dari sesar utama, menyentuh titik W pada kedudukan lapisan regional, garis XW adalah garis vertikal yang menyentuh kedudukan lapisan regional pada titik W, sudut a adalah sudut antara sesar sintetik dengan garis vertikal. C. Langkah restorasi lapisan syn-rift kearah lapisan regional, h (garis VW) adalah jarak antara sesar utama dengan sesar sintetik pertama, jarak ini digunakan untuk menentukan kedudukan sesar sintetik kedua sejajar dengan sesar sintetik pertama (garis BW). Pada titik perpotongan sesar sintetik kedua dengan lapisan syn-rift (titik B’’) ditarik garis menuju titik perpotongan antara sesar sintetik pertama dengan lapisan regional (titik W), garis ini adalah
42
restorasi dari lapisan syn-rift segmen garis ZW ke kedudukan laisan regional segmen garis VW. Selanjutnya untuk mendapatkan kemenerusan sesar utama, ditarik garis ZB’’ sejajar dengan garis WW’, dan garis B’’B’’’ sejajar dengan garis BB’’, demikian seterusnya hingga sesar utama menjadi mendatar setelah garis hijau terakhir. D. Metoda penentuan sudut antitetik. Sama dengan metoda sintetik, garis YZ adalah sesar antintetik pertama dari sesar utama, menyentuh titik W pada kedudukan lapisan regional, garis XW adalah garis vertikal yang menyentuh kedudukan lapisan regional pada titik W, sudut a adalah sudut antara sesar antintetik dengan garis vertikal. II.3.4
Validasi Model Sejarah Pemanasan dan Sejarah Aliran Bahang
Validasi model sejarah pemanasan dan aliran bahang dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan konversi data sejarah pemanasan (dalam hal ini temperatur setiap waktu) yang telah terbentuk pada bagian sebelumnya akan dikonversikan menjadi indikator kematangan pantulan vitrinit, kemudian model dari pantulan vitrinit yang dihasilkan selanjutnya akan dicocokkan dengan nilai pantulan vitrinit hasil pengukuran, bila bersesuaian maka model sejarah termal telah, akan tetapi bila belum sesuai maka perlu dilakukan koreksi terhadap sejarah temperatur secara trial and error, sehingga pada akhirnya didapatkan model pantulan vitrinit bersesuaian dengan nilai pantulan vitrinit hasil pengukuran.
Bila hasil pantulan vitrinit model bersesuaian dengan nilai pantulan vitrinit hasil pengukuran maka sejarah temperatur telah benar dan valid asalkan sejarah pemanasan telah pula mengikuti sistim pembentukan cekungan seperti telah disinggung pada bagian pemodelan geodinamika. Pemodelan ini dilakukan dalam satu dimensi sedangkan untuk model dua dimensi diambil titik-titik tertentu sebagai kontrol dan dilakukan pemodelan satu dimensinya.
Model yang mendasari metoda konversi ini adalah prinsip dan hukum kinetik kimia pemecahan material organik (hidrokarbon) menjadi minyak mentah dan gas (Barker, 1995). Metoda ini biasanya disebut sebagai model kinetik atau reaksi paralel orde pertama persamaan Arhenius (Sweeney dan Burnham, 1990). 43
Simplifikasi dari model kinetik Arhenius ini dilakukan oleh Sweeney dan Burnham (1990) yang kemudian dinamakan model kinetik EASY%RO. Persamaan ini didasari oleh jumlah material organik yang bereaksi (dw) pada suatu selang waktu (dt) sama dengan pengurangan jumlah material organik yang tidak bereaksi (w) dikalikan dengan laju reaksi (k), dan dinyata dalam persamaan sebagai berikut: dw dt
kw
(II-43)
dengan laju reaksi (k) : k=A exp(-E/RT)
(II-44)
dengan w komponen yang tidak bereaksi k
laju reaksi
A faktor Pre-eksponensial
E energi pengaktifan
R konstanta gas universal
T temperatur dalam kelvin.
Pada kenyataannya material organik bersifat campuran heterogen sehingga reaksi yang terjadi menjadi kompleks. Karena setiap komponen material organik memiliki parameter energi pengaktifan dan faktor pre-eksponensial tersendiri.
Untuk memudahkan perhitungan dilakukan penyederhanaan menjadi suatu reaksi paralel dengan faktor Pre-eksponensial tunggal (A) dan energi pengaktifan (E) bervariasi (Gambar II.14). Dengan demikian maka dengan mensubstitusikan persamaan ke II-17 ke persamaan ke II-16 untuk komponen material organik ke i akan didapatkan persamaan sebagai berikut:
dwi dt
ª E º « »
wi Ae ¬ RT t ¼
(II-45)
dan jumlah material organik yang bereaksi (dw) secara keseluruhan pada suatu selang waktu (dt) merupakan penjumlahan dari setiap komponen material organik yang bereaksi, seperti pada persamaan dibawah ini:
dw dt
¦
i
dwi dt
(II-46)
jumlah material organik yang tidak berubah (atau sisa material organik) pada reaksi ke i dapat dinyatakan sebagai: 44
wi w0i
1 e
'I ij
'I ij
dengan:
dan
I ij
(II-50)
I
ij
I i , j 1
(II-51)
H ij
T j Ae
Ei RT j
ª § E ·2 § « ¨ i ¸ a1 ¨ Ei ¨ RT « ¨© RT j ¸¹ © j 1 « 2 § « § Ei · ¸ b1 ¨ Ei « ¨¨ ¸ ¨ RT «¬ © RT j ¹ © j
º · ¸ a2 » ¸ » ¹ » · » ¸ b2 » ¸ »¼ ¹
(II-52)
dimana: a1=2,334733, a2=0,250621, b1=3,330657 dan b2=1,681534. Bila F (fraksi reaktan yang berubah) telah didapatkan selanjutnya untuk mendapatkan nilai pantulan vitrinit dicari menggunakan persamaan:
% Ro
e 1, 6 3, 7 F
(Sweeney dan Burnham, 1990) (II-53)
Data masukan: x
Sejarah pemendaman
x
model energi pengaktifannya
Analisis tersebut akan memberikan data keluaran berupa: x
Sejarah temperatur
x
Nilai pantulan vitrinit dari waktu ke waktu
x
Sejarah kematangan hidrokarbon.
46