10
BAB II DESKRIPSI TEORETIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teoretik 1. Produktivitas Kerja Produktivitas mempunyai peran penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Produktivitas sering diartikan sebagai ukuran seberapa jauh sumber daya yang ada diikutsertakan dan dipadukan dalam organisasi untuk mencapai hasil tertentu. Sondang P. Siagian (1995 : 14-15) mengemukakan bahwa “ suatu organisasi yang ingin meningkatkan daya tahannya hingga meningkatkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang, maka harus sungguh-sungguh memperhatikan faktor produktivitas. Produktivitas mengandung pengertian perbandingan antara hasil (output), dengan keseluruhan sumber daya yang dipakai. Dalam membahas pengertian produktivitas dikemukakan pendapat Dewan Produktivitas Nasional RI tahun 1983 yang disunting oleh J. Ravianto adalah : produktivitas pada dasarnya adalah sikap mental yang mempunyai pandangan bahwa mutu hidup hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini “(1986 : 17). Produktivitas adalah ukuran efisien produksi yaitu suatu perbandingan antara hasil keluaran dan masukan (output dan input) masukan sering dibatasi dengan masukan tenaga kerja, sedang keluaran
11
diukur dalam satuan fisik bentuk dan nilai (Sinungan 2000 : 12). Sementara itu, Rusli Syarif berpendapat bahwa Produktivitas mencakup dua dasar yaitu daya guna (efisiensi ) dan hasil guna (efektivitas). Daya guna menggambarkan tingkat sumber-sumber masalah dana dan alam yang diperlukan untuk mengusahakan hasil tertentu sedangkan hasil guna menggambarkan akibat dari kualitas hasil yang diusahakan. (1991 : 1) Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa produktivitas adalah faktor yang paling penting sekali dan harus benar-benar diperhatikan dalam suatu organisasi. Dalam konteks penelitian ini, produktivitas kerja merupakan tujuan dari organisasi pemerintah melalui kemampuan pegawai dengan persyaratan tertentu, yang sesuai dengan tugas atau pekerjaan yang dipikulnya, sebagaimana telah ditetapkan oleh organisasi itu. Untuk mencapai produktivitas kerja yang maksimum, organisasi harus menjamin dipilihnya orang yang tepat dengan pekerjaan yang tepat serta kondisi yang memungkinkan mereka bekerja optimal. Indikator-indikator Produktivitas John Supriyanto (1986 : 15) dalam pengukuran produktivitas tenaga kerja, dimensi-dimensi yang dapat diukur adalah : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Kualitas kerja Kuantitas kerja Loyalitas kerja Inisiatif kerja Keselamatan kerja Tanggung jawab Kegiatan
12
8) Kejujuran
Agus Dwiyanto mengatakan, konsep produktivitas tidak hanya mengukur
tingkat
efisiensi,
tetapi
juga
efektivitas
pelayanan.
Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan suatu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting (Dwiyanto, 2000 : 12). Dalam kaitanya dengan organisasi publik atau birokrasi pemerintahan, Yin Kimsean
dalam
(Sulistyani,
2004:315)
menyebutkan
bahwa
produktivitas kerja merupakan suatu sikap dan perilaku pegawai dalam birokrasi terhadap aturan-aturan dan standar-standar yang telah ditetapkan oleh birokrasi yang telah diwujudkan baik dalam bentuk tingkah laku maupun perbuatan. Dengan demikian mewujudkan produktivitas kerja dalam organisasi publik merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan dengan pekerjaan yang terlaksana secara efektif dan efisien, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Indikator-indikator produktivitas kerja menurut Yin Kimsean dalam (Sulistyani, 2004 : 317) yakni 1. Mempunyai kemampuan untuk melakukan tugas. 2. Berusaha untuk meningkatkan hasil usaha yang dicapai. 3. Sikap semangat kerja lebih baik dari hari kemarin.
13
4. Berupaya untuk mengembangkan diri untuk berperilaku lebih baik. 5. Senantiasa meningkatkan diri untuk meningkatkan kemampuan kerja. 6. Selalu berusaha untuk meningkatkan mutu lebih baik dari yang telah lalu. 7. Perbandingan antara hasil yang dicapai ( keluaran ) dengan keseluruhan sumber daya ( masukan ) yang dipergunakan. 8. Terus menerus berusaha meningkatkan kualitas kehidupan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan indikatorindikator produktivitas tersebut sebagai berikut ini : 1. Mempunyai kemampuan untuk melakukan tugas. Kemampuan suatu pegawai sangat bergantung pada ketrampilan yang dimiliki serta sikap profesionalitas mereka dalam bekerja. Inilah kemudian yang memberikan daya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diembanya kepada mereka. 2. Berusaha untuk meningkatkan hasil usaha yang dicapai. Hasil merupakan salah satu yang dapat dirasakan baik yang mengerjakan maupun yang menikmati hasil pekerjaaan tersebut. Jadi, upaya untuk memanfaatkan produktivitas bagi masing-masing yang terlibat dalam suatu pekerjaan. 3. Sikap semangat kerja lebih baik dari hari kemarin. Indikator ini merupakan usaha untuk lebih baik dari hari kemarin. Indikator ini dapat dilihat dari etos dan hasil yang dicapai dalam suatu hari kemudian dibandingkan dengan hari sebelumnya. Jadi, semangat kerja ini akhirnya memberikan gambaran bagaimana interaksi antara para pegawai dan pimpinan dalam suatu jabatan.
14
4. Berupaya untuk mengembangkan diri untuk berperilaku lebih baik. Tujuan utama dari indikator ini adalah menampakkan sebuah ritme kerja dalam suatu kantor dalam melayani masyarakat atau klienya. Sebab, dengan berperilaku baik maka produktivitas kerja dengan sendirinya akan meningkat. 5. Senantiasa meningkatkan diri untuk meningkatkan kemampuan kerja. Pengembangan ini dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan dengan apa yang akan dihadapi. Sebab semakin kuat tantangan, maka pengembangan diri akan dilakukan. Begitu juga harapan untuk menjadi lebih baik pada urutanya akan sangat berdampak pada keinginan pegawaiuntuk meningkatkan kemampuan kerja. 6. Selalu berusaha untuk meningkatkan mutu lebih baik dari yang telah lalu. Mutu atau kualitas hasil dari pekerjaan yang dapat menunjukkan kualitas seorang pegawai. Jadi peningkatan mutu bertujuan untuk memberikan hasil yang terbaik yang pada giliranya akan sangat berguna bagi birokrasi. 7. Perbandingan
antara
hasil
yang
dicapai
(keluaran)
dengan
keseluruhan sumber daya (masukan) yang dipergunakan. Masukan dan keluaran merupakan masukan aspek produktivitas yang memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi pegawai. 8. Terus menerus berusaha meningkatkan kualitas kehidupan. Usaha ini merupakan tujuan dari semua kegiatan di suatu jawatan baik di
15
pemerintah maupun swasta. Kualitas hidup seseorang bergantung pada penghasilan yang didapat selama ia bekerja. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas tersebut, maka dia harus memberikan hasil yang mendukung agar kesejahteraan mereka dapat semakin meningkat. Bagi birokrasi, nilai seperti produktivitas merupakan salah satu unsur yang penting di dalam pelaksanaan tugas sehari-hari yang harus diperhatikan oleh para pemimpin birokrasi. Pengukuran produktivitas birokrasi publik boleh jadi berbeda dengan organisasi swasta. Dalam banyak hal tolak ukur produktivitas birokrasi memang lebih rumit / komplek jika dibanding organisasi swasta karena akan melibatkan komponen pembuat keputusan dan stakeholders yang lebih banyak. Bertitik tolak dari uraian di atas, maka kriteria yang akan penulis gunakan untuk mengukur produktivitas kerja menurut Yin Kimsean Faktor-faktor yang mempengaruhi Produktivitas Kerja Produktivitas kerja bagi birokrasi bukan merupakan sesuatu yang kebetulan yang dimilikinya. Produktivitas kerja yang dimiliki oleh birokrasi pada hakekatnya merupakan suatu akibat dari suatu persyaratan kerja yang harus dipenuhi oleh pegawai., sedangkan terbentuknya persyaratan itu sendiri harus diupayakan oleh pimpinan birokrasi. Adapun persyaratan yang memungkinkan pegawai dalam melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya.
16
M. Mulyono (1993:29) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja adalah motivasi, kesempatan, tingkat pendidikan, karakteristik fisik karyawan, kepemimpinan, pengawasan dan upah. F. C Gomes (2001 : 165) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja pegawai, ada empat yaitu; usaha, motivasi, kemampuan, dan kesempatan dan kejelasan tujuan kinerja yang diberikan birokrasi kepada pegawai. Dari faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan lebih rinci yakni 1. Usaha, dalam hal ini usaha perekrutan pegawai potensial dan upah yang memuaskan badan-badan legislatif dan para pemimpin eksekutif mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan pegawai melalui proses penetapan upah. Semakin banyak uang yang dialokasikan ke dalam komponen gaji semakin kompetetif seorang pegawai pemerintah dalam pasar tenaga kerja dan semakin banyak kemampuan
yang
akan
disumbangkan
kepada
pemerintah.
Diasumsikan bahwa upah pasar akan menarik mereka yang berkualitas kepada majikan, dan sangat penting untuk menyeleksi para pegawai yang potensial yang diketahui paling mampu untuk melaksanakan tugas, dan juga mampu untuk belajar metode baru. 2. Motivasi, dalam hal ini pegawai juga dipengaruhi oleh faktor-faktor birokrasi dan lingkungan. Pada level departemen, mengaitkan insentif dengan kinerja yang diinginkan secara kritis dipengaruhi
17
pekerjaan pegawai bahwa kinerja yang tidak akan dihargai dan kinerja yang rendah akan diperlakukan berbeda dengan yang memiliki kinerj tinggi. Hal tersebut akan mampu menciptakan pekerjakan menjadi lebih dapat menarik minat intrinsik, dari seorang untuk menangani pekerjaanya dan menghindari rasa bosan. Kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan sedikit hasil positif mungkin berpengaruh cukup besar terhadap kinerja pegawai, apabila ada perasaan pegawai bahwa mereka diperlakukan secara adil. Setiap pegawai dapat diidentifikasi secara berbeda antara satu dengan lainya hal ini terjadi karena latar belakang pendidikan, pengalaman dan lingkungan masyarakat yang beraneka ragam. Kondisi tersebut akan
terbawa
juga
dalam
hubungan
kerja
sehingga
akan
mempengaruhi sikap dan tingkah laku pegawai dalam melaksanakan pekerjaanya. Demikian pula pimpinan mempuyai latar belakang dan pandangan falsafah serta pengalaman dalam memimpin instansi organisasi sebelumnya dapat berpengaruh dalam melaksankan pola hubungan kerja dengan pegawai. Pada hakekatnya motivasi pegawai dan pimpinan berbeda, karena adanya perbedaan kepentingan maka perlu diciptakan motivasi yang searah yang mencapai tujuan bersama dalam rangka kelangsungan hidup birokrasi dan ketenangan kerja sehingga apa yang menjadi kehendak dan cita-cita kedua pihak dapat terwujudkan.
18
3.
Kemampuan,
dalam
hal
ini
kemampuan
pegawai
dalam
melaksanakan pekerjaan dan tugasnya kemampuan merupakan faktor yang sangat perlu agar dapat diperoleh hasil yang diharapkan. Kemampuan kerja dapat diperoleh melalui proses belajar, pelatihan kerja, pelatihan dalam menggunakan metode-metode yang baik, berkualitas dan tepat dalam memberikan umpan balik (feedback) mengenai kinerja. Oleh karena itu, salah satu tugas penting pemimpin birokrasi adalah melaksanakan program pendidikan dan latihan sesuai dengan pendidikan atau kemampuan yang dimiliki pegawai. 4. Kesempatan dan kejelasan tujuan, faktor kesempatan dari para pegawai untuk bekerja dengan baik sering diabaikan atau tidak mendapatkan perhatian serius. Mereka harus diberikan harapanharapan kinerja yang masuk akal, tidak terbatas pada pernyataanpernyataan tujuan, tetapi juga fasibilitas tujuan secara keseluruhan, yang meliputi perhatian terhadap alat pengamanan kondisi kerja sakit yang menyebabkan tidak masuk kerja, atau kompensasi dari pegawai, tentu biaya bagi birokrasi dalam jumlah yang besar dan kondisi kerja yang tidak nyaman jelas akan mengurangi kesempatan bagi pegawai untuk bekerja lebih efisien dan efektif. 2. Pengawasan Ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya. Hamdan Mansoer menyatakan bahwa
19
pengawasan adalah suatu proses pemantauan kegiatan untuk menjaga bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan terarah dan menuju kepada pencapaian tujuan yang direncanakan dan mengadakan koreksi terhadap kegiatan-kegiatan yang menyimpang atau kurang tepat sasaran yang dituju (1989 : 153). Tujuan pengawasan menurut Sukarno (1983 : 108) diperinci sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai rencana yang digariskan. 2. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan sesuai dengan instruksi serta asas-asas yang telah diinstruksikan. 3. Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan dengan efisien. 4. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan dalam bekerja. 5. Untuk mncari jalan keluar apabila ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan atau perbaikan ke arah perbaikan.
Dalam pengertian di atas bahwa pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pimpinan dengan tujuan untuk mengetahui dan menjamin segala sesuatunya berjalan sesuai dengan rencana pedoman instruksi yang telah ditetapkan termasuk pula untuk mengetahui para pegawai bekerja dengan disiplin. Dan jika diketahui ada tindak indisipliner seperti penyimpangan sama pemborosan, penyelewengan dan sebagainya. Sehingga pekerjaan atau hasil tidak sesuai dengan rencana, pedoman, atau target yang telah ditetapkan, maka segera dapat tindakan untuk dicari jalan pemecahannya. Beberapa pengertian pengawasan dalam instruksi presiden Nomor 1 tahun 1989 antara lain sebagai berikut : a. Pengawasan melekat yaitu serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendali yang terus menerus dilakukan
20
oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pengawasan fungsional ialah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern pemerintah yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan. c. Pengawasan masyarakat ialah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang disampaikan secara lisan atau tertulis kepada aparatur pemerintah yang berkepentingan, berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan, atau keluhan/ pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui media.
Berdasarkan bermacam-macam pengawasan di atas, maka lebih sesuai dengan penelitian ini adalah pengawasan melekat, yakni pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan di Badan Kepegawaian Daerah terhadap bawahan di unit kerja masing-masing. Pengawasan itu dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dan dapat pula dilakukan mulai dari sebelum kegiatan dimulai, pada saat dilaksanakan dan setelah pekerjaan selesai. Pengawasan melekat adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan terhadap bawahan secara langsung. Untuk lebih jelasnya terdapat beberapa pengertian mengenai pengawasan melekat, yang salah satunya dikemukakan oleh Sujamto (1989 : 29) yaitu pengawasan dilakukan oleh pejabat pimpinan secara langsung terhadap anak buahnya yang dipimpin. Sedangkan Situmorang mengatakan
bahwa pengawasan
melekat yaitu berupa tindakan atau kegiatan usaha untuk mengawasi
21
dan mengendalikan anak buah secara langsung, yang harus dilakukan sendiri oleh setiap pimpinan organisasi (1998:71) Nawawi mengatakan suatu proses pemantauan, pemeriksaan dan evakuasi yang dilakukan secara berdaya dan berhasil guna oleh pimpinan unit atau organisasi kerja terhadap fungsi semua komponen untuk mewujudkan kerja di lingkungan msing-masing agar secara terus-menerus berfungsi secara maksimal dalam melaksanakan tugas pokok yang terarah pada pencapaian tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya (1994:8). Dari beberapa pengertian di atas bahwa pengertian pengawasan melekat adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh atasan atau pimpinan yang dilakukan dalam organisasi secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan berjalan secara efektif dan efisien yang dilaksanakan secara terus menerus kepada bawahanya, sehingga seluruh rencana kegiatan dapat berjalan dengan rencana dan terlaksana dengan baik. Dengan demikian kesimpulan dari pengawasan melekat adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan secara terus-menerus baik preventiv maupun represif agar rencana dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Indikator pelaksanaan pengawasan melekat Indikator pelaksanaan pengawasan melekat dapat diukur dari ( Instruksi Presiden no. 1 tahun 1989 ) 1. Adanya penetapan peraturan/pedoman/standar kerja yang harus ditaati para pegawai 2. Adanya pemeriksaan pada saat pegawai bekerja dan terhadap laporan kerja pegawai. 3. Adanya penilaian terhadap prestasi kerja para pegawai dan hasil yang telah dicapai. 4. Adanya pembinaan pegawai agar dapat melaksanakan tugas dengan baik
22
5. Adanya penerapan sanksi hukum yang setimpal jika ada pegawai yang melakukan kesalahan 6. Menjalin kerjasama dengan aparat pengawas lainya untuk meningkatkan mutu pengawasan Berdasarkan beberapa penjelasan dan indikator di atas akan penulis gunakan sebagai ukuran dalam pengawasan melekat pada Badan
Kepegawaian
Daerah
Kabupaten
Sleman
Provinsi D.I
Yogyakarta adalah Instruksi Presiden no. 1 tahun 1989. 3. Motivasi Kerja Dalam suatu organisasi formal, motivasi merupakan tugas seorang pimpinan untuk membuat bawahan melakukan apa yang harus dilakukan. Salah satu fungsi pemimpin adalah memberikan motivasi kerja kepada bawahan. Dengan demikian maka kepedulian pimpinan terhadap aspek pentingnya motivasi pegawai menjadi porsi yang harus diperhitungkan. Motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang berarti dorongan atau menggerakan. Diantara para ahli psikologi, ahli manajemen dan ilmuwan sosial lainya belum terdapat kesepakatan tentang pengertian motivasi. Pendekatan intelektual tersebut umumnya berkisar pada “ apakah motivasi hanya berasal dari dalam diri seseorang atau semata-mata karena pengaruh faktor eksternal ataukah ada konsidensi dan kesepakatan pengaruh antara keduanya “. Jones berpendapat bahwa motivasi berhubungan erat dengan bagaimana perilaku itu dimulai, dikuatkan, disokong, diarahkan,
23
dihentikan, dan direaksi subyektik, apakah yang timbul dalam organisme ketika semua ini berlangsung (1995 : 14). Sementara D.Bindra (1959) menyatakan bahwa konsep motivasi lebih ditekankan segi terarahnya kepada tujuan tertentu (Goal directedness of motivation). Secara garis besar definisi motivasi menurut Gibson (1986) akan mengarah pada dua hal yaitu pertama, kebutuhan (needs) yang berhubungan dengan kekurangan yang dialami oleh seseorang pada waktu tertentu. Kekurangan dalam hal ini bersifat fisiologis, psikologis maupun kebutuhan sosiologis yang berkaitan dengan kebutuhan untuk berinteraksi sosial. Dari sini kemudian kebutuhan dianggap sebagai pembangkit, penguat, dan penggerak orang untuk berperilaku. Kedua, pentingnya pembahasan tentang tujuan, sebagaimana diinterprestasikan oleh berbagai ahli tadi bahwa proses motivasi tadi sebenarnya diarahkan mencapai suatu tujuan. Faktor tujuan atau hasil yang didapat oleh seorang karyawan inilah yang dipandang sebagai kekuatan penarik. Kemampuan untuk menyatukan aspek-aspek manusia menjadi kesulitan tersendiri dalam suatu organisasi dan seseorang pimpinan harus dapat membuat bawahan mempunyai motivasi yang tinggi untuk bekerja demi mencapai tujuan organisasi. Pimpinan dapat memotivasi bawahan dengan berbagai cara, di antaranya menurut Allen (1990 : 249) adalah : a. Menginspirasi, yaitu dengan memasukkan semangat ke dalam diri orang kesediaan berbuat dengan efektif, orang di
24
inspirasi melalui kepribadian pemimpin, keteladanannya, dan pekerjaan yang dilakukanya, secara sadar atau tidak sadar. b. Mendorong, yaitu dengan merangsang orang untuk melakukan apa yang harus dilakukan melalui pujian, persetujuan dan bantuan c. Mendesak, yaitu membuat orang harus dapat melakukan apa yang harus dilakukan. Dengan suatu cara yang perlu, termasuk paksaan kekerasan dan ancaman jika perlu. Di antara berbagai cara memotivasi bawahan tersebut di atas yang lebih tepat digunakan adalah cara memberi inspirasi yang merupakan pola pimpinan kharismatik. Disamping itu, pimpinan juga dapat memberikan dorongan kepada bawahan agar mereka semakin termotivasi dalam bekerja. Sedangkan motivasi pegawai jenis paksaan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman dan bersifat negatif karena pegawai bekerja disebabkan adanya motif paksaan, tanpa adanya motif dari diri sendiri. Dalam birokrasi yang good governance perlu penerapan model motivasi yang mampu semaksimal mungkin untuk memberikan inspirasi kepada pegawai. Dalam hal ini proses internalisasi nilai-nilai disiplin, ketekunan, semangat perlu mendapatkan tekanan khusus. Pimpinan hendaknya mampu memberikan inspirasi melalui keteladanan yang baik, misalnya perilaku serius dalam bekerja, semangat dalam usaha, berperilaku efektif, perilaku yang konsisten, komitmen kerja yang tinggi. Hal ini dapat memiliki multiplier effek terhadap motivasi pegawai. Memotivasi bawahan yang paling effektif dilakukan adalah dengan memotivasi diri. Pimpinan dapat membuat bawahan mau
25
bekerja karena keinginan dari dalam dirinya sendiri, dan bukan karena paksaan. Motivasi jenis ini merupakan motivasi paling efektif dan dapat bertahan lama. Dalam kenyataanya, memotivai seseorang tidaklah mudah sebab masing-masing individu
mempunyai latar belakang,
harapan, keinginan, ambisi yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pekerjaan yang dilakukan didalam organisasi akan berkaitan kondisi pekerja sebagai individu, yang pada akhirnya suasana batin pada individu akan berpengaruh terhadap hasil kerja. Dengan kata lain, motivasi
menjadi
faktor
penting
agar
pekerja
melaksanakan
pekerjaanya dengan semangat, gairah, dan dedikasi yang tinggi. Selanjutnya Terry dalam Hasibuan menjelaskan motivasi adalah keinginan
yang
terdapat
pada
diri
seseorang
merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan
individu
yang
(1989 : 198).
Pengertian motivasi yang dikemukakan Terry tersebut lebih bersifat internal, karena faktor pendorong itu munculnya dari dalam diri seseorang yang merangsangnya untuk melakukan tindakan. Faktor pendorong itu bisa berupa kebutuhan, keinginan, hasrat yang ada pada diri manusia.Sedangkan Sondang P. Siagian memberikan pengertian motivasi yakni keseluruhan proses pemberian motif bekerja kepada bawahan sedemikian rupa, sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi terciptanya tujuan (1979 : 7). Pengertian yang diberikan Siagian lebih bersifat eksternal karena dorongan yang muncul pada diri seseorang itu dirasakan oleh faktor luar, bukan murni dari dalam diri.
26
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Malayu yaitu motivasi adalah pemberian daya terangasang atau kegairahan kerja kepada pegawai, agar bekerja dengan segala daya upayanya (Hasibuan, 1989 : 184). Ketiga pengertian yang dikemukakan diatas menunjukan adanya perbedaan, namun masih dalam konteks motivasi. Semua perbedaan itu ada kaitanya dengan istilah “ motif “ dan “ motivator “ dalam konsep motivasi itu sendiri. Menurut Effendi motif diungkapkan sebagai berikut : istilah motif atau dalam bahasa inggrisnya “motive” berasal dari perkataan “ motion “ yang bersumber pada perkataan bahasa latin “ movere “yang berarti bergerak. Jadi motiv adlah daya gerak yang mencakup dorongan, alasan dan kemauan yang timbul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan ia berbuat sesuatu (1989 : 105). Dari pengertian di atas maka motif itu bersifat internal dalam motivasi, karena dorongan atau daya gerak itu muncul dari dalam diri seseorang tanpa adanya perancang atau insentif. Mengenai motivator, Koontz dan Donnell menjelaskan : motivator adalah hal-hal yang merangsang seseorang untuk berprestasi. Kalau motivasi itu mencerminkan keinginan, maka motivator itu merupakan imbalan atau insentif yang telah diidentifikasi, yang meningkatkan dorongan untuk memuaskan keinginan tersebut (1989:568). Dengan demikian motivator merupakan aspek yang bersifat eksternal dalam motivasi seseorang karena faktor pendorong itu ada di dalam diri seseorang. Sebagai kondisi yang berada di luar diri seseorang, maka hal itu berkaitan dengan inisiatif dan kondisi kerja yang bersifat eksternal, seperti
27
jaminan kerja, status, peraturan organisasi, pengawasan, hubungan pribadi antar pegawai, dan hubungan antara pimpinan dan bawahan. Untuk dapat menumbuhkan motivasi kerja yang positif di dalam diri pegawai, berdasarkan gagasan Herzberg, maka seseorang pemimpin harus bersungguh-sungguh memberikan perhatian pada faktor-faktor motivator sebagai berikut (Manullang, 1987 : 152-153) : 1. 2. 3. 4. 5.
Archievement ( keberhasilan pelaksanaan ) Recognition ( pengakuan ) The work it self ( pekerjaan itu sendiri ) Responsilities ( tanggung jawab ) Advancement ( pengembangan )
Berdasarkan pendapat di atas, maka faktor-faktor motivasi dapat dijelaskan lebih rinci sebagai berikut : 1. Archievement (keberhasilan pelaksanaan), agar seseorang bawahan dapat berhasil melaksanakan pekerjaannya, maka pimpinan harus memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mencapai hasil. Pimpinan harus juga memberikan semangat kepada bawahan agar bawahan dapat mengerjakan sesuatu yang dianggapnya tidak disukainya. Apabila ia berhasil melakukan hal tersebut, maka pimpinan harus menyatakan keberhasilan tersebut. 2. Recognition (pengakuan), adanya pengakuan dari pimpinan atas keberhasilan bawahan melakukan suatu pekerjaan. Pengakuan tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya dengan menyatakan
keberhasilanya
langsung
ditempat
kerjanya,
28
memberikan surat penghargaan, hadiah berupa uang tunai, medali, kenaikan pangkat atau promosi. 3. The work it self (pekerjaan itu sendiri), pimpinan membuat usahausaha yang nyata dan menyakinkan, sehingga bawahan mengerti akan pentingnya pekerjaan yang dilakukannya. Untuk itu harus dihindarkan kebosanan yang mungkin muncul dalam pekerjaan serta menempatkan pegawai yang sesuai dengan bidangnya. 4. Responsilities (tanggung jawab), untuk dapat menumbuhkan sikap tanggung
jawab
menghindari
terhadap
pengawasan
bawahan, yang
ketat
maka
pimpinan
dengan
harus
memberikan
kesempatan kepada bawahan untuk bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menumbuhkan pertisipasi akan membuat bawahan terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan. 5. Advancement (pengembangan), pengembangan dapat
menjadi
motivator yang kuat bagi bawahan. Pimpinan dapat memulainya dengan memberikan bawahan pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. Apabila hal in sudah dilakukan, pimpinan dapat memberikan rekomendasi tentang bawahan yang siap untuk pengembangan, untuk menaikan pangkatnya atau untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan lebih lanjut. Keenam faktor eksternal dalam memotivasi pegawai tersebut hendaknya mendapat perhatian dalam birokrasi yang good goverment.
29
Keenam faktor inilah yang melandasi kerangka pikir program motivasi dalam organisasi. Oleh karena itu pendapat Manullang perlu diadaptasi oleh birokrasi pemerintah supaya mampu menetapkan programprogram motivasi secara konsisten seperti pemberian peluang merupakan muara bagi munculnya semangat berpartisispasi. Pengakuan status dapat meningkatkan percaya diri. Pekerjaan yang variatif dalam kondisi tertentu akan menjadi perangsang kerja. Latihan disiplin dan pengendalian diri merupakan manivestasi dari kepercayaan bimbingan kepada anak buah yang sangat strategis untuk memompa semangat. Terakhir adalah pengembangan diri merupakan puncak yang dapat meningkatkan kehendak pegawai untuk berprestasi. Hal senada juga dikemukakan oleh Buchari Zainun (1981 : 111113) mengenai beberapa usaha yang dapat dilakukan oleh pimpinan dalam menyelenggarakan motivasi untuk meningkatkan semangat kerja pegawai yaitu: orientasi, supervisi, partisipasi, komunikasi, rekognasi, delegasi, kompetisi, integrasi,motivasi Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam penelitian ini penulis dapat menjelaskan usaha yang dapat dilakukan oleh pimpinan dalam menyelenggarakan motivasi untuk meningkatkan semangat kerja pegawai sebagai berikut :
a. Orientasi
30
Berorientasi kepada pegawai lebih penting daripada hanya berorientasi pada pekerja semata. Yang terbaik adalah apabila terdapat kesinambungan antara keduanya. Apabila dalam orientasi terlalu orientasi pada pegawai akan meniadakan beberapa ukuran obyektif yang biasanya melekat pada surat-surat pekerjaan. Sedangkan bila terlalu berorientasi pada pekerjaan maka akan menghilangkan segi kemanusiaan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. b. Supervisi Dengan adanya pengawasan yang tidak terlalu tepat dan kaku terhadap bawahan maka akan memberikan peluang dan kesemptan yang cukup untuk lebih berprakarsa dan berdayakarsa dalam menyelenggarakan tugas mereka. Hail prakarsa ini sendiri mempunyai daya motivasi yang lebih besar daripada hasil kerja atas dasar suruhan atau perintah orang. Adanya pengawasan yang terlalu ketat akan mematikan prakarsa. c. Partisipasi Seorang pemimpin yang demokratis akan memberikan kesempatan yang secara seluas-luasnya yang individual maupun kelompok untuk ikut berpartisipasi. Namun partisipasi kepada bawahan tidak boleh melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi, serta tidak boleh mengurangi peranan dan tanggung jawab akhir dari pimpinan.
31
d. Komunikasi Organisasi yang merancang pegawainya untuk bekerja giat adalah suatu organisasi yang membuka jalur dan menjamin lancarnya arus komunikasi ke semua penjuru. Dengan komunikasi yang baik, maka dapat disampaikan hal-hal yang dapat disampaikan dengan peranan dan tujuan organisasi, serta dapat menginformasikan kebijakankebijakan pimpinan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi suatu organisasi. Seorang pegawai diberi
kesempatan untuk
memperoleh informasi yang lebih dalam suatu organisasi akan mempunyai semangat kerja yang lebih tinggi daripada pegawai yang mempunyai pengetahuan yang minim tentang keadaan organisasi. e. Rekognasi Dengan melaksanakan rekognasi ini dapat diciptakan sense of belonging (merasa ikut memiliki), sense of importance (merasa ada peranan yang cukup penting), dan sense of adchievement (merasa sebagai orang yang berhasil). Pengakuan dan penghargaan terhadap keberhasilan seseorang karya pegawai dapat diberikan dengan berbagai cara, misalnya memberikan pujian didepan umum, memberi tanda penghargaan dan penghormatan dalam bentuk materiil dan bukan materi.
32
f. Delegasi Dengan adanya desentralisasi dan dekosentrasi dalam organisasi, seorang pemimpin dapat melimpahkan wewenang dan tanggung jawab yang sepadan kepada bawahanya. Akan tetapi pelimpahan wewenang itu harus disertai dengan pengawasan dan kewaspadaan pimpinan terhadap apa yang dilimpahkan tersebut. Selain itu juga harus diperhatikan segi yang menyangkut mutudan sifat persoalan, mutu bawahan dan kondisi lain yang dapat mempengaruhi tanggung jawab dan penggunaan wewenang yang dilimpahkan. g. Kompetisi Adanya kompetisi yang sehat didalam organisasi perlu ditumbuhkan agar setiap pegawai berkeinginan untuk memperbaiki diri, posisi serta prestasinya. Kompetisi yang jujur dan sehat akan dapat menciptakan dinamika kearah kemajuan. h. Integrasi Tujuan dan kepentingan pribadi masing-masing pegawai maupun tujuan kelompok, tujuan sosial dan tujuan formal organisasi perlu diintegrasikan bagi terwujudnya tujuan akhir organisasi. Dengan adanya pengintegrasian akan tumbuh keyakinan bahwa kepuasan semua pihak akan dapat terpenuhi secara adil, merata dan layak.
33
i.
Motivasi Motivasi kerja tidak hanya berasal dari pimpinan kepada bawahanya saja. Bawahanpun wajib memberikan dorongan kepada pimpinan dengan cara yang wajar. Demikian juga dengan pimpinan yang setingkat dapat saling memberi dorongan bagi terwujudnya kerjasama yang lebih serasi dan menguntungkan bagi semua pihak. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka di dalam memotivasi pegawai perlu diperhatikan kedua aspek tersebut. Baik motivasi yang bersifat internal maupun motif yang berupa kebutuhan, keinginan dan dorongan, maupun motivasi eksternal (motivator) yang berupa insentif dan tujuan sasaran. Apabila dicermati maka dapat diperoleh kesimpulan maka motivasi merupakan proses yang diawali dari adanya kebutuhan diri sesorang dirangsang oleh sesuatu yang ada diluar dirinya dan selanjutnya menuju sasaran dan tujuan. Dalam menjelaskan
jalannya
proses
motivasi
tersebut
diterimanya
rangsangan yang berbeda diluar diri seseorang itu, karena adanya minat perhatian terhadap rangsangan yang dimaksud, yang kemudian ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan (Gerungan, 1978 : 142 ). Dengan demikian, terdapat kaitan erat antara ketiga konsep yaitu motivasi, kebutuhan, dan rangsangan. Motivasi adalah suatu proses pemberian dorongan, yang tentunya berkaitan dengan faktor apa yang dapat mendorong. Faktor yang mendorong tersebut datangnya bisa dari dalam atau dapat juga datang dari luar yang pada hakekatnya
34
merupakan tujuan dari individu. Bila kebutuhan tersebut adalah bersifat internal, maka rangsangan adalah merupakan segi aktual dan tujuan. Apabila motivasi dikaitkan dengan konsep kerja, maka terbentuk konsep gabungan yaitu “ motivasi kerja “. Terlebih dahulu perlu dijelaskan istilah “ kerja “. Menurut The Liang Gie, kerja adalah keseluruhan aktifitas-aktifitas jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu atau mengandung maksud tertentu (1993 : 87). Pariata Westra menjelaskan lebih terperinci mengenai kerja sebagai : Salah satu tanda bahwa manusia hidup adalah adanya aktivitasaktivitas yang dilakukan sedangkan berbagai aktivitas yang dilakukan antara lain adalah “kerja” yang merupakan salah satu wujud dari aktivitas ini lebih terarah, bertujuan, guna memperoleh “karya” tertentu sehingga dapat dinikmati yaitu dengan melaksanakan tugas tertentu.(1981:20) Berdasarkan beberapa pendapat di atas jelaslah bahwa ada tiga hal yang dapat dikemukakan dari pengertian kerja yaitu : a) bahwa kerja merupakan salah satu bentuk aktivitas atau kegiatan jasmaniah maupun rohaniah. b) aktivitas tersebut mempunyai tujuan dan arah tertentu, c) arah atau tujuannya adalah untuk mencapai hasil atau kerja yang diinginkan. Dengan demikian konsep motivasi kerja dapat ditarik suatu pengertian sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan dorongan
35
bagi seseorang atau pekerja, baik yang berasal dari dalam dirinya (internal), maupun pengaruh luar (eksternal) dalam melaksanakan pekerjaan atau kegiatan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Setiap manusia mempunyai tujuan tertentu dan dengan usahanya berupaya mencapai tujuan tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Buchari, tujuan mempunyai dua segi yaitu segi internal dan eksternal. Segi internal tujuan adalah berupa “need”, sedangkan segi eksternalnya berupa “incentive”, yang kedua-duanya merupakan pendorong manusia untuk bertindak mencapai tujuan tertentu. Dari pendapat Buchari tersebut dapat dipahami adanya tujuan yang hendak dicapai menyebabkan manusia bekerja. Banyak sedikitnya kerja yang dilakukan akan sebanding dengan “needs” atau kebutuhan yang satu terpenuhi menyusul kebutuhan lain menuntut terpenuhi. Pendapat yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh Panji Aronaga bahwa dalam kehidupan manusia selalu mengadakan bermacam-macam aktivitas. Salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan yang dinamakan kerja. Faktor pendorong yang menyebabkan manusia bekerja adalah adanya kebutuhan yang harus dipenuhi (1995:39). Kebutuhan (need) sebagai pendorong dari dalam diri manusia bukanlah timbul begitu saja dalam bentuk gairah kerja yang tinggi, untuk itu perlu adanya rangsangan dari luar atau insentif, misalnya imbalan upah atau gaji. Dengan rangsangan inilah diharapkan akan terpenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan itu.
36
Tanpa adanya kebutuhan yang ingin dicapai, kiranya sulit untuk mengharapkan seseorang bersedia melakukan suatu pekerjaan tertentu. Hal ini
sebagaimana dikatakan Maslow dalam Siagian,
sebagai berikut : bahwa seseorang berperilaku karena didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh pemenuhan dalam bermacammacam kebutuhan. Berbagai kebutuhan yang diinginkan oleh seseorang berjenjang pertama telah dapat dipenuhi, maka kebutuhan kedua akan mengutama, apabila kebutuhan pada jenjang kedua telah dapat dipenuhi, maka kebutuhan jenjang ketiga menonjol, demikian seterusnya sampai kebutuhan jenjang kelima. Dan apabila kelima jenjang kebutuhan telah dapat dipenuhi orang yang bersangkutan akan merasakan keberhasilan dan kebahagiaan. (1993 : 287) Sedangkan Maslow yang dikutip oleh Siagian (1993:288) mengemukakan lima jenjang kebutuhan manusia sebagai berikut : 1. Kebutuhan fisik (physiological need), yaitu kebutuhan pokok untuk memelihara kelangsungan hidupnya, seperti makanan, udara, tidur dan sebagainya. 2. Kebutuhan untuk memperoleh keamanan atau keselamatan (security or safety need). Ada dua dimensi mengenai kebutuhan ini, yang satu untuk keamanan badaniah. Individu-individu dalam memenuhi kebutuhan ini berusaha menghindarkan
keadaan
yang
membahayakan
atau
mengandung resiko yang mengancam mereka dengan kecelakaan
badaniah.
Yang
kedua,
individu-individu
mencari keamanan dalam tingkah laku yang memelihara
37
individu dalam lingkungan-lingkungan keluarga, dimana ia mempunyai rasa aman dan bebas dari ancaman. Individuindividu yang berusaha memenuhi kebutuhan ini mengikuti pola-pola kelakuan yang cenderung untuk mempertahankan keadaan, apabila keadaan tersebut menimbulkan perasaan aman bagi individu. 3. Kebutuhan bermasyarakat (social need) atau kebutuhan untuk
berkelompok
dan
bermasyarakat.
Ini
adalah
kebutuhan-kebutuhan akan kasih sayang dan berpartisipasi. Keinginan orang untuk berpartisipasi (ikut serta), untuk dipersamakan dengan
kelompok-kelompok,
merupakan
sebagian daripada sifat hidup berkelompok. Individuindividu yang berusaha memenuhi kebutuhan ini didorong untuk berkelakuan (bertingkah laku) sendiri dengan caracara yang dapat diterima masyarakat. 4. Kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (esteem need), yaitu
kebutuhan
memperoleh
reputasi/
kemasyuran,
terhormat dan dihormati. Kebutuhan ini merupakan suatu kebutuhan yang berdimensi dua. Sebagian kebutuhan akan penghargaan ini adalah harga dari kemampuan bagi seorang yang bekerja dengan orang-orang lain. Dimensi yang lain dari kebutuhan ini adalah kebutuhan untuk menerima pengakuan dan penghargaan dari orang-orang yang menjadi
38
temanya. Ini adalah suatu kebutuhan untuk memiliki kemampuan yang diterima dan dikenal oleh orang lain. 5. Kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan atau kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization need), yaitu kebutuhan membuktikan sebagai seorang yang mampu mengembangkan potensi bakatnya, sehingga mempunyai prestasi yang dibanggakan. Berdasarkan pendapat Maslow tersebut di atas, terlihat bahwa kebutuhan-kebutuhan orang akan motivasi disusun dalam suatu hirarki dan apabila serangkaian kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi, maka timbul
keinginan
untuk
memenuhi
tingkat-tingkat
kebutuhan
berikutnya yang lebih tinggi pada hirarki. Keinginan untuk terus memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini, disamping adanya kekecewaankekecewaan dan ketidakpuasan. Maslow memandangnya sebagai bagian yang sangat penting daripada perwujudan manusia. Seorang tidak dapat diajar untuk tumbuh dan untuk berusaha mencapai aktualisasi dirinya. Kebutuhan manusia itu bersifat relatif atau tidak tetap dan sangat tergantung pada keadaan, ruang dan waktu. Demikian juga pegawai, kebutuhanyapun bermacam-macam, yang kesemuanya menghendaki agar dapat terpenuhi. Terpenuhinya kebutuhan yang satu muncul tuntutan yang lain, demikian seterusnya.
39
Meskipun demikian, tidaklah tertutup kemungkinan adanya usaha menginventarisir kebutuhan yang beraneka ragam tersebut dalam kelompok-kelompok kebutuhan yang sifatnya umum. Para sarjana, seperti Chaude S. George, Edwin B. Flippo menginventarisir kebutuhan atau keinginan pegawai/pekerja, sebagaimana dikutip Soetarto berikut ini : 1. Menurut Claude S. George dalam Soetarto ( 1977 : 25 ) a. Upah yang layak b. Kesempatan untuk maju c. Pengakuan sebagai individu d. Keamanan kerja e. Tempat kerja yang baik f. Kepemimpinan yang baik g. Pekerjaan yang menarik dan menyenangkan h. Penerimaan oleh kelompok i. Partisipasi 2. Menurut Edwin B. Flippo a. b. c. d. e. f. g.
Upah Keamanan kerja Kawan-kawan yang sesuai Kepercayaan melakukan pekerjaan Pekerjaan yang berarti Kesempatan untuk maju Syarat-syarat pekerjaan yang menyenangkan aman dan menarik h. Kepemimpinan yang berkemampuan dan adil i. Peraturan dan pengarahan yang masuk akal j. Pergaulan yang tepat Sedangkan menurut Pariata Westra (1981:28) kebutuhan pegawai/pekerja meliputi : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kerja yang tepat Kolega yang baik Kesempatan mendapatkan pengalaman Suasana yang menyenangkan Kesempatan mengabdi Jaminan sosial yang baik
40
7. Tempat kerja yang menyenangkan 8. Kesempatan untuk maju 9. Gaji yang tinggi 10. Kerja yang singkat waktunya 11. Kerja yang mudah
Dari
perincian
kebutuhan
pegawai/pekerja
sebagaimana
pendapat para sarjana di atas, nampak betapa beraneka ragamnya kebutuhan tersebut. Membicarakan mana sebenarnya kebutuhan pegawai yang paling utama, hanya akan mengundang pertentangan belaka, mengenai hal ini Manullang mengemukakan : Secara obyektif dapat dikatakan, bahwa pertentangan pendapat tidak akan membawa kita kepada kesimpulan kebutuhan mana yang lebih utama. Kesimpulan yang demikian hanya dapat diambil dengan mengadakan penyelidikan yang seksama. Oleh karenanya, pendapat yang sama Manullang adalah pernyataan bahwa setiap jenis kebutuhan memegang peranan dalam memberikan dorongan kepada manusia untuk bekerja. Dorongan mana yang lebih utam, itu tergantung pada ruang, waktu dan keadaan (1982 : 143). Pernyataan Manullang tersebut pada dasarnya meletakan kebutuhan pada segmen kepentingan masing-masing berdasarkan pada ruang, waktu serta keadaan. Pada bagian terdahulu telah dikemukakan, bahwa dalam memotivasi pegawai tidak saja diperhatikan motivasi yang bersifat internal (motif) yang berujud kebutuhan-kebutuhan seseorang tetapi juga motivasi yang bersifat eksternal (motivator) berupa insentif
41
(imbalan). Sehubungan dengan insentif, A.S. Hornby menjelaskan, insentif adalah sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan seseorang bertindak (Sukarna, 1990 : 109). Lee H. Mill dalam Sukarna (1990 : 81) menyebutkan motivasi yang bersifat insentif yakni : 1. Security (keamanan) 2. Fair adjusment of grievances (memperhatikan dengan sebaik-baiknya terhadap keluhan-keluhan pegawai) 3. Working condition (kondisi kerja) 4. Wages (upah) 5. Promotion (kenaikan tingkat) 6. Safety (keselamatan) 7. Supervision (supervisi) 8. Recognation (pengakuan/penghargaan) 9. Benefits (jaminan) 10. Job instruction 11. Shere in management (ikut serta dalam manajemen) 12. Information (informasi) 13. Amout of hours ang work (jumlah jam kerja) 14. Job planning (perencanaan kerja) 15. Effeciency method (metode yang efisien)
Dari uraian-uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa motivasi kerja yang bersifat internal (motif) adalah daya gerak yang terdapat dalam diri seorang pegawai berupa dorongan-dorongan, keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Sedangkan motivasi kerja yang bersifat eksternal (motivator) adalah pemberian daya perangsang kepada para pegawai yang berupa insentif ( imbalan atau rangsangan ), tujuan, sasaran, dimana daya perangsang tersebut berada di luar diri para pegawai tersebut untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan yang diinginkan.
42
Dalam penelitian ini kedua aspek motivasi kerja tersebut akan diteliti untuk mengukur tingkat motivasi kerja pegawai Badan Kepegawaian Kabupaten Sleman Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kedua aspek motivasi kerja yaitu motivasi kerja internal (motif) dan motivasi kerja eksternal (motivator), mempunyai peran dalam mempengaruhi motivasi kerja pegawai yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini. 1. Kriteria yang digunakan untuk pengukuran tingkat motivasi kerja internal (motif) merupakan indikator-indikator yang mengacu pada pendapat-pendapat yang diajukan oleh Claude S. George, Keith Davis, Elmo Roper, Edwin B. Flippo dan Pariata Westra, dimana pendapat para sarjana tersebut di atas pada dasarnya sudah terangkum secara keseluruhan dikemukakan
dalam
pengelompokan
Abraham
Maslow.
kebutuhan Disini
yang
Maslow
mengembangkan teori motivasi dengan mengetengahkan hirarki dari kebutuhan (the hirarchi of need). 2. Dalam
mengukur
tingkat
motivasi
kerja
eksternal
(motivator) digunakan indikator-indikator yang diajukan oleh Lee H. Mill dalam (Sukarna,1990 : 109) yakni kondisi kerja, gaji, perencanaan kerja, instruksi kerja, pengawasan, ekspresi sendiri, metode kerja yang efisien. Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :
43
a. Kondisi kerja Kondisi kerja yang baik dan menyenangkan akan dapat membangkitkan gairah kerja para pegawai. Oleh karena itu sangat perlu untuk diciptakan agar pelaksanaan tugas dapat berhasil dengan baik. Kondisi kerja menyangkut tidak saja kondisi fisik, seperti tempat kerja yang memadai,
bersih,
sehat,
tetapi
juga
menyangkut
hubungan antar pegawai di tempat kerja tersebut. b. Gaji Gaji merupakan pendapatan yang diterima oleh pegawai setiap bulanya. Besar kecilnya gaji yang diterima sangat berpengaruh terhadap semangat kerja pegawai, karena dengan gaji yang diterima itulah mereka mencukupi kebutuhan yang diperlukan c. Perencanaan kerja Rencana kerja yang dibuat harus dapat diketahui pegawai.
Dengan
demikian
dapat
dikembangkan
mekanisme yang mengacu pada rencana kerja yang telah ditetapkan.
44
d. Instruksi kerja Instruksi kerja merupakan petunjuk bagi pelaksanaan pekerjaan yang biasanya dijabarkan dalam uraian kerja. e. Ekspresi sendiri Ekspresi sendiri merupakan inisiatif dari para pegawai dalam melakukan pekerjaan. Ada tidaknya kesempatan untuk mengembangkan inisiatif dalam melaksanakan pekerjaan akan berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai itu sendiri. f. Metode kerja yang efisien Penerapan metode kerja yang efisien akan merangsang para pegawai untuk lebih giat bekerja, karena waktu sehingga akan meringankan beban para pegawai di dalam melaksanakan tugas. Tingkat tanggapan motivasi kerja menurut Lee H Mill dalam (Sukarna,1990 : 109) diukur dari : a. Tingkat tanggapan pegawai terhadap kondisi kerja di instansinya. b. Tingkat tanggapan pegawai terhadap gaji dan pendapatan lain yang diterima setiap bulan c. Tingkat tanggapan pegawai terhadap ketahuan mereka pada perencanaan kerja di instansinya d. Tingkat tanggapan pegawai terhadap instruksi kerja yang berlaku di instansinya e. Tingkat tanggapan pegawai terhadap kesempatan mengembangkan inisiatifnya dalam melaksanakan pekerjaan yang menurutnya terbaik f. Tingkat tanggapan pegawai terhadap metode kerja yang diterapkan di instansinya
45
g. Tingkat tanggapan tanggung jawab.
pegawai
terhadap
pemberian
Bertitik tolak dari uraian-uraian diatas, maka kriteria yang digunakan penulis untuk mengukur tingkat motivasi kerja pegawai yakni menurut Lee H. Mill. B. Penelitian yang relevan a. Penelitian dari Novita Anggraeni (2009) FISE UNY dengan judul “ Hubungan antara pengawasan, motivasi kerja dan pemberian insentif dengan produktivitas kerja karyawan bagian produksi PT Perkebunan Tambi Wonosobo “. Hasil penelitian menunjukan (1) ada hubungan positif dan signifikan antara pengawasan dengan produktivitas kerja karyawan PT Perkebunan Tambi Wonosobo yang menunjukan dengan koefisien korelasi r xy1 sebesar 0, 641 dan lebih besar dari pada tabel pada taraf signifikansi 5 % sebesar 0,207 ( 2) ada hubungan positif dan signifikan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan PT
Perkebunan
Tambi
Wonosobo
yang
menunjukan dengan
koefisiensi korelasi r xy2 sebesar 0,652 dan lebih besar dari pada tabel pada taraf signifikansi 5% sebesar 0,207 (3) ada hubungan positif dan signifikan antara pemberian insentif dan produktivitas kerja karyawan PT Perkebunan Tambi Wonosobo yang menunjukan dengan koefisien korelasi r xy1 sebesar 0,635 dan lebih besar dari pada tabel pada taraf signifikansi 5 % sebesar 0,207 (4) ada hubungan positif dan signifikan
46
antara pengawasan, motivasi kerja dan pemberian insentif secara bersama-sama dengan produktivitas kerja karyawan PT Perkebunan Tambi Wonosobo ditunjukan dengan koefisien korelasi ( R yx1x2x3 ) 0,578 dengan F hitung sebesar 39,650 lebih besar daripada tabel signifikasi 5 % sebesar 2,709 dan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,578 b. Penelitian dari Rahmawati Nurul Isnaini (2007) FISE UNY yang berjudul “Hubungan Antara Pengawasan, Sistem Pengupahan Dan Disiplin Kerja Dengan Produktivitas Karyawan Bagian Produksi PT Mitra Adi Jaya Di Berbah Sleman”. Menunjukan bahwa : pertama terdapat hubungan positif dan signifikan antara pengawasan dan produktivitas kerja dengan t hitung > t tabel (6,072 >1,645) pada taraf signifikasi 5% dan probabilitas t hitung <0,05. Kedua terdapat hubungan positif dan signifikan antara sistem pengupahan dengan produktivitas kerja dengan t hitung > t tabel (2,463 > 1,645) pada taraf signifikansi 5% dan probabilitas t hitung < 0,05. Ketiga terdapat hubungan positif dan signifikan antara disiplin kerja dengan produktivitas kerja dengan t hitung > t tabel (2,988 > 1,645) pada taraf signifikansi 5% dan probabilitas t hitung < 0,05. Keempat terdapat hubungan
positif
dan
signifikan
antara
pengawasan,
sistem
pengupahan dan disiplin kerja seacara bersama-sama dengan produktivitas kerja dengan R sebesar 0,488 dan R20,238, F hitunf sebesar 17,327dengan probabilitas 0,000 sedangkan F tabel pada taraf
47
signifikansi 5% sebesar 2,67. F hitung > F tabel dan probabilitas F hitung , 0,05. SE untuk variabel pengawasan sebesar 17,16 %, SE variabel sistem pengupahan sebesar 3,29 % dan SE untuk variabel disiplin kerja sebesar 3,35 %. Dari besarnya sumbangan efektif tiaptiap variabel tersebut dapat diketahui bahwa variabel pengawasan adalah variabel yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja diikuti varibel disiplin kerja kemudian sistem pengupahan. C. KerangkaPemikiran a. Hubungan antara pengawasan melekat dengan produktivitas kerja pegawai Instruksi Presiden No 1 tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat yang dimaksud dengan pengawasan melekat
adalah
serangkaian
kegiatan
yang
bersifat
sebagai
pengendalian terus menerus yang dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sesuai yang dikatakan Sujamto (1989 : 29) yaitu pengawasan melekat dilakukan oleh pejabat pimpinan secara langsung terhadap anak buahnya yang dipimpin. Hal ini juga didukung oleh penelitian dari Nurul Isnaeni yang menunjukan terdapat hubungan positif dan signifikan antara pengawasan dan produktivitas kerja dengan t hitung >t
48
tabel (6,072 >1,645) pada taraf signifikasi 5% dan probabilitas t hitung <0,05. Dari uraian diatas, proses pengawasan melekat diduga mempunyai hubungan erat dengan produktivitas kerja. Semakin efektif pengawasan melekat yang dilakukan maka semangat kerja akan meningkat dan semakin tinggi pula tingkat produktivitas kerja, baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini karena dapat diketahui penyimpangan-penyimpangan dan kesalahan serta dapat dilakukan tindakan perbaikan dengan segera. Sebaliknya pengawasan yang kurang efektif menyebabkan produktivitas kerja semakin menurun. b. Hubungan antara motivasi dengan produktivitas kerja pegawai Motivasi kerja kerja adalah dorongan yang timbul dalam diri seseorang pegawai secara sadar yang dipergunakan orang tersebut, untuk melakukan aktivitas kerja guna mencapai tujuan yang diinginkan Hal ini sesuai yang dikatakan Sondang P. Siagian ( 1995 : 138 ) bahwa motivasi kerja merupakan pendorong yang utama dalam rangka tercapainya tujuan. Baik tujuan dari pegawai maupun tujuan dari lembaga. Hal ini juga didukung oleh penelitian dari Novita anggraeni yang menunjukan ada hubungan positif dan signifikan antara motivasi kerja dengan produktivitas kerja karyawan PT Perkebunan Tambi Wonosobo yang menunjukan dengan koefisiensi korelasi r xy2 sebesar 0,652 dan lebih besar dari pada tabel pada taraf signifikansi 5% sebesar 0,207.
49
Dari uraian di atas, diduga motivasi mempunyai hubungan erat dengan produktivitas kerja. Semakin adanya motivasi kerja yang tinggi dari pegawai dalam mencapai tujuan akan berdampak pula pada tujuan lembaga yaitu tercapainya produktivitas kerja yang tinggi. c. Hubungan antara pengawasan melekat dan motivasi secara bersama dengan produktivitas kerja pegawai Pengawasan melekat dari Sujamto yaitu pengawasan dilakukan oleh pejabat pimpinan secara langsung terhadap anak buahnya. Begitu pula mengenai pengertian motivasi dari Sondang P. Siagian dimana keseluruhan proses pemberian motif bekerja kepada bawahan sedemikian rupa, sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi terciptanya tujuan. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian dari Novita Anggraeni dimana ada hubungan positif dan signifikan antara pengawasan, motivasi kerja dan pemberian insentif secara bersamasama dengan produktivitas kerja karyawan PT Perkebunan Tambi Wonosobo ditunjukan dengan koefisien korelasi ( R yx1x2x3 ) 0,578 dengan F hitung sebesar 39,650 lebih besar daripada tabel signifikasi 5 % sebesar 2,709 dan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,578 Dari uraian diatas pengawasan melekat dan motivasi secara bersamasama diduga mempunyai hubungan erat dengan produktivitas pegawai. Faktor pendukung yang dominan adalah pengawasan yang dilakukan langsung oleh pimpinan serta dimilikinya pegawai yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi untuk menjalankan pekerjaannya dengan
50
baik. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerjanya sehingga dengan demikian, adanya pengawasan melekat dan motivasi dapat meningkatkan produktivitas kerja pegawai. D.
Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dimuka dan pembahasan teori yang penulis kemukakan, maka hipotesa yang penulis ajukan dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Ada hubungan positif dan signifikan antara pengawasan melekat dengan produktivitas kerja pegawai di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sleman. 2. Ada hubungan yang positif dan signikan antara motivasi dengan produktivitas
kerja
pegawai
Badan
Kepegawaian
Daerah
Kabupaten Sleman. 3. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara pengawasan melekat dan motivasi secara bersama-sama dengan produktivitas kerja pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sleman.