1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Batu bata merah merupakan salah satu material yang masih cukup banyak digunakan dalam praktek konstruksi, karena cukup mudah mendapatkannya dan harganya relatif murah. Dinding pasangan bata merah merupakan pasangan yang terdiri dari bahan pengikat (mortar) dan bahan pengisi (bata merah) juga dikenal dengan nama masonry. Masonry umumnya memberikan konstruksi yang tahan lama, dimana bahan pembentuknya, kualitas mortar, dan cara pengerjaan sangat mempengaruhi ketahanan konstruksi dinding secara keseluruhan. Pemasangan dinding pengisi mengakibatkan struktur menjadi lebih kaku, yang terkadang dapat menyebabkan terjadinya perilaku keruntuhan yang berbeda antara struktur tanpa dinding pengisi dan struktur dengan dinding pengisi. Hal yang demikian mempengaruhi juga kapasitas dan daktilitas struktur secara keseluruhan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi dinding pengisi dengan kerangka sangat efektif meningkatkan kekuatan, kekakuan, dan kinerja struktur dalam menahan beban lateral akibat gempa. Kaushik et.al. (2006) menyatakan bahwa dinding pengisi masonry (batako ataupun batu bata) menghasilkan penambahan kekakuan yang luar biasa pada struktur rangka beton bertulang. Kekakuan lateral kerangka yang dianalisis dengan dinding pengisi meningkat hingga 25 kali dibandingkan dengan kerangka terbuka (Sukrawa, 2010). 1
2
Dalam kasus dinding yang kaku dan kuat seperti batako dan bata, walaupun lebih getas dari bahan kerangka, keberadaannya di antara struktur kerangka akan menimbulkan interaksi yang merubah kekakuan struktur, terutama saat menerima beban lateral akibat gempa atau angin (Sukrawa, 2010). Beberapa penelitian mengenai karakteristik dinding pasangan bata dan material pembentuknya telah dilakukan dengan hasil penelitian yaitu antara lain, pengujian dinding pasangan bata merah berdasarkan standar BS EN 1052-1-1999 diperoleh nilai kuat tekan rata-rata dan modulus elastisitas rata-rata sebesar 11,2 N/mm² dan 13500 N/mm² (Budiwati, 2009); pengujian kuat lekat (bond) pasangan bata mengacu pada SNI-03-4166-1996 didapat nilai kuat lekat sebesar 0,39 Mpa (Aryanto, 2008); dinding pasangan bata dengan perbandingan mortar 1:5 diperoleh nilai kuat tekan rata-rata sebesar 1,4 N/mm² (Diputra, 2010); dan pengujian kuat lentur rata-rata dinding tanpa plesteran diperoleh nilai kuat lentur sebesar 1,18 Mpa dan dinding dengan plesteran sebesar 1,63 Mpa. Penambahan plesteran memberikan kontribusi 38% tambahan kapasitas lentur dari dinding pasangan bata tanpa plesteran (Mahendra, 2012). Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik dinding pasangan bata dan material pembentuknya. Pengujian terhadap kuat tekan dinding pasangan bata sudah ada walaupun terbatas, namun data kuat tekan, kuat lentur dan kuat lekat dinding pasangan bata merah dengan perkuatan plesteran, kawat dan wire mesh belum diketahui sehingga perlu diadakan pengujian. Dalam penelitian ini dilakukan penelitian tentang kuat lentur,
3
kuat tekan dan kuat lekat pasangan bata tanpa plesteran dan dengan perkuatan plesteran kawat dan wire mesh.
1. 2 Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku lentur, tekan dan daya lekat pasangan bata tanpa plesteran dan dengan perkuatan plesteran, kawat dan wire mesh. Perilaku yang diteliti meliputi hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi serta pola retak/moda keruntuhan.
1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku lentur, tekan dan daya lekat pasangan bata tanpa plesteran dan dengan perkuatan plesteran, kawat dan wire mesh. Perilaku yang diteliti meliputi hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi serta pola retak/moda keruntuhan.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat di kalangan teknik sipil dalam merencanakan dinding bangunan, memberikan pengetahuan mengenai perilaku lentur, tekan dan daya lekat dinding bata, dan dapat memberikan informasi mengenai kekuatan dinding bata tersebut dengan perkuatan plesteran, kawat dan wire mesh.
4
1.5 Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka perlu adanya batasan masalah sehingga arah dan tujuan yang diinginkan dapat terlihat dengan jelas dalam penelitian ini. Adapun batasan-batasan masalah adalah sebagai berikut : 1.
Penyusun dinding uji/pasangan bata adalah batu bata merah Negara (220 mm x 100 mm x 50 mm).
2.
Tulangan yang digunakan adalah kawat ayam (diameter 1 mm dan spasi 2 cm) dan wiremesh (M4, diameter 4 mm dan spasi 15 cm).
3.
Variasi dinding uji adalah dinding pasangan bata tanpa plesteran, dengan plesteran, dengan plesteran dan kawat, dan dengan plesteran dan wire mesh.
4.
Pengujian yang dilakukan yaitu uji kuat tekan bata, uji daya serap bata, uji mortar, serta uji tekan, uji lentur, dan uji lekatan pasangan bata dengan mengamati perilaku fisik saat mengalami retak/runtuh.
5.
Perbandingan berat semen dan pasir 1:5 untuk spesi dan plesteran dengan faktor air semen 0,5. Tebal spesi 1 cm dan tebal plesteran 2,5 cm.
6.
Plesteran dan pemasangan tulangan kawat dan wire mesh pada dinding uji adalah 3 hari setelah pasangan bata tersusun.
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Dinding Dinding adalah bagian dari bangunan yang berfungsi sebagai pemisah antara ruangan luar dengan ruangan dalam, melindungi terhadap cuaca, penyokong atap, sebagai pembatas, penahan cahaya panas dari matahari, menahan tiupan angin dari luar. Dinding adalah bagian bangunan yang sangat penting perannya bagi suatu konstruksi bangunan. Dinding membentuk dan melindungi isi bangunan baik dari segi konstruksi maupun penampilan artistik dari bangunan (Fianli, 2011). Menurut Fianli (2011), fungsi dinding dalam konstruksi adalah: 1.
Dinding berfungsi sebagai pemikul. Konstruksinya harus kuat dan kokoh agar mampu menahan bebannya sendiri dan beban horizontal.
2.
Dinding berfungsi sebagai pembatas/partisi, tidak perlu kokoh tetapi harus kaku sehingga perlu kolom penguat (kolom praktis).
2.2 Bahan Pembentuk Dinding Pasangan 2.2.1 Bata merah Batu bata adalah salah satu unsur bangunan yang dibuat dari tanah liat bakar yang memiliki berbagai warna dan tekstur. Batu bata diproduksi dalam berbagai bentuk, ukuran dan kekuatan, dengan sifat material yang berbeda berdasarkan daya serap air dan kuat tekannya. Perbedaan ini biasanya ditentukan oleh jenis tanah liat dan metode pembentukan/pencetakannya (Thomas, 1996).
5
6
Menurut SNI 15-0686-1989 tampak luar bata merah diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu bentuk, warna, dan berat bata merah. Bentuk dinyatakan dengan bidang-bidang datarnya rata atau tidak, menunjukan retak-tetak atau tidak, rusuk- rusuknya siku-siku atau tidak dan lain sebagainya. Warna dinyatakan dengan merah tua, merah muda, kekuning-kuningan, kemerah merahan, dan sebagainya. Warna pada penampang belahan merata atau tidak. Mengandung butir-butir kasar atau tidak serta rongga-rongga didalamnya. Pengujian berat bata merah adalah hasil-hasil penimbangan bata merah yang dihitung rata-ratanya dan dinyatakan dalam kilogram. Bata merah harus berbentuk prisma segi empat panjang mempunyai rusuk-rusuk yang siku-siku dan tajam, bidang-bidang datar yang rata dan tidak menunjukkan retak-retak. Pada SNI 15-0686-1989 ditentukan cara mencari persentase penyerapan air bata merah. Dalam standar tersebut masing-masing benda uji direndam dalam air hingga jenuh kemudian ditimbang beratnya (A) kemudian benda uji dikeringkan dalam dapur pengering pada suhu 100-110⁰C selama 24. Setelah itu benda uji dikeluarkan dari dapur pengering lalu didinginkan diruang sampai suhu kamar, kemudian masing-masing beratnya ditimbang (B). Penyerapan air masing-masing dihitung dengan Persamaan 2.1 berikut: =
× 100%
……...........…… (2.1)
Penyerapan air masing-masing contoh ini dicatat dan dihitung harga ratarata dari semua contoh yang diuji (10 buah), dinyatakan dalam persen. Pada Tabel 2.1 dapat dilihat persentase penyerapan air maksimum dari masing-masing kelas bata merah.
7
Tabel 2.1 Persentase penyerapan air maksimum dari masng-masing kelas bata merah menurut SNI 15–0686–1989 Kelas 50 100 150 200 250
Penyerapan Air Maksimum (%) 22 20 20 20 20
Sumber: SNI 15-0686-1989
Menurut SNI 15-0686-1989, benda uji yang dipergunakan dalam pengujian kuat tekan bata merah adalah bata merah dengan keadaan utuh, kemudian bidang yang akan ditekan diterap dengan adukan setebal 6 mm (perbandingan semen dan pasir 1:3) dengan ditambah air 60% - 70% berat semen. Setelah dicetak, keesokan harinya benda uji direndam dalam air bersih (suhu ruangan) selama 24 jam. Bata merah yang telah direndam diangkat dan bidang-bidangnya dibersihkan dengan kain lembab untuk menghilangkan air yang berlebihan. Benda-benda uji ditekan hingga hancur dengan kecepatan penekanan diatur hingga sama dengan 2 kg/cm²/detik. Kuat tekan benda uji diperoleh sebagai hasil bagi beban tekan tertinggi dan luas bidang tekan terkecil. Kuat tekan rata-rata adalah jumlah kuat tekan benda uji dibagi dengan banyaknya benda uji (30 buah). Kuat tekan bata merah dihitung dengan Persamaan 2.2:
=
Keterangan = Kuat tekan (N/mm²)
……...........…… (2.2)
8
P
= Berat tekan (N)
A
= Luas bidang tekan (mm²)
Dalam SNI 15-0686-1989 dijelaskan beberapa klasifikasi bata merah menurut kekuatannya dibagi dalam 5 (lima) kelas (Tabel 2.2). Berdasarkan nilai rata-rata kuat tekan bruto terendah, diantaranya: kelas 50, 100, 150, 200, dan 250. Batu bata kelas 50, 100, 150, 200, dan 250 masing-masing memiliki kuat tekan sebesar 5 N/mm², 10 N/mm², 15 N/mm², 20 N/mm², dan 25 N/mm² (Tabel 2.2). ASTM C 67 mensyaratkan kuat tekan bata merah diperoleh dari kuat tekan ratarata hasil test dengan minimum 10 buah sampel dengan ukuran sampel benda uji harus memiliki perbandingan tinggi dan tebal sama dengan satu, yaitu 50 mm x 50 mm x 50 mm (kubus). Menurut BS 3921-1985, benda uji yang dipergunakan dalam pengujian kuat tekan bata adalah 10 buah bata dengan keadaan utuh. Bata direndam dalam air selama 24 jam sebelum pengujian. Setiap bata ditempatkan di antara dua lapisan kayu (plywood) dengan ketebalan 4 mm di dalam mesin uji, dan diuji dengan tingkat pembebanan maksimum 35 N/mm2/menit sampai benda uji retak.
Tabel 2.2 Kuat tekan rata-rata dan koefisien variasi yang diijinkan dalam pengujian kuat tekan bata merah Kelas
50 100 150 200 250
Kuat Tekan bruto rata-rata minimum dari 30 buah yang di uji dalam keadaan utuh Kg/cm² N/mm² 50 5 100 10 150 15 200 20 250 25
Sumber: SNI 15-0686-1989
Koefisien variasi yang diijinkan dari kuat tekan bata yang diuji % 22 22 15 15 15
9
2.2.2 Mortar Mortar adalah campuran yang terdiri dari semen, agregat halus, dan air baik dalam keadaan dikeraskan ataupun tidak dikeraskan (SNI 15-2049-2004). Mortar sering digunakan sebagai bahan plesteran, pekerjaan pasangan dan banyak pekerjaan bangunan lainnya. Bahan perekat yang digunakan dapat bermacammacam, yaitu tanah liat, kapur, semen merah (bata yang dihaluskan) maupun semen portland (Tjokrodimuljo, 1996). Dalam dinding pasangan, mortar digunakan untuk melekatkan bata menjadi satu kesatuan yang kuat dan kaku. Mortar dapat juga digunakan untuk meratakan permukaan dinding yang terpasang. Untuk pemasangan dinding bata, mortar yang digunakan umumnya mortar yang diolah secara manual atau disebut mortar konvensional. Campuran mortar konvensional untuk dinding bata misalnya 1 : 5, artinya 1 takaran semen dicampur 5 takaran pasir. Tebal mortar yang menyatukan bata berkisar antara 0,65–2 cm. Tjokrodimulyo (1996) mengelompokkan mortar berdasarakan jenis bahan ikatnya menjadi empat jenis, yaitu: a) Mortar lumpur, yang dibuat dari campuran pasir, tanah liat/lumpur dan air; b) Mortar kapur, yang dibuat dari campuran pasir, kapur dan air, mortar ini biasa dipakai untuk pembuatan tembok bata; c) Mortar semen, yang dibuat dari campuran pasir, semen portland dan air dalam perbandingan campuran yang tepat. Perbandingan antara volume semen dan volume pasir berkisar antara 1:2 dan 1:6 atau lebih besar. Mortar ini kekuatannya lebih besar dari pada mortar kapur dan lumpur, oleh karena itu biasa dipakai untuk tembok, pilar, kolom atau bagian lain yang menahan beban; dan d) Mortar khusus,
10
yang dibuat dengan menambahkan bahan khusus pada mortar kapur dan mortar semen dengan tujuan tertentu. Pada pengujian kuat tekan mortar menurut SNI 03-6825-2002 benda uji berbentuk kubus dengan ukuran sisi 5 cm, dibuat dari mortar dengan campuran semen portland, pasir, dan air dengan komposisi tertentu. Pengujian dilakukan setelah mortar mengeras dengan menggunakan mesin uji tekan. Nilai kuat tekan didapat dengan membagi besar beban maksimum (N) dengan luas tampang (mm²). Dalam pengujian kuat tekan mortar diperlukan 6 buah benda uji. Persamaan yang dipergunakan dalam menentukan nilai kuat tekan mortar dapat dilihat dalam Persamaan 2.3.
=
……...........…… (2.3)
Keterangan: σ
= Kekuatan tekan mortar
Pmax = Gaya tekan maksimum A
= Luas penampang benda uji
Menurut ASTM C 270 standar mortar berdasarkan kekuatannya dibedakan menjadi: a) Mortar tipe M, adalah adukan dengan kuat tekan yang tinggi, dipakai untuk pasangan yang dikenai beban lateral atau tekan tinggi, dinding bata bertulang, dinding dekat tanah, pasangan pondasi, adukan pasangan pipa air kotor, adukan dinding penahan dan adukan untuk jalan. Kuat tekan minimumnya adalah 17,25 MPa; b) Mortar tipe S, adalah adukan dengan kuat tekan tinggi sedang, dipakai bila tidak disyaratkan menggunakan tipe M, tetapi diperlukan daya ikat lentur yang
11
tinggi serta adanya gaya tekan normal. Kuat tekan minimumnya adalah 12,15 MPa; c) Mortar tipe N, adalah adukan dengan kuat tekan sedang, dipakai untuk pasangan terbuka diatas tanah. Kuat tekan minimumnya adalah 5,17 MPa; dan d) Mortar tipe O, adalah adukan dengan kuat tekan rendah sedang, dipakai untuk konstruksi dinding yang tidak menahan beban yang lebih dari 7 kg/cm2 dan gangguan cuaca tidak berat. Kuat tekan minimumnya adalah 2,4 MPa. Menurut ASTM C 109, pengujian mortar yang dilakukan mempergunakan mortar berbentuk kubus dengan ukuran benda uji sebesar 50 mm x 50 mm x 50 mm dengan perbandingan campuran semen dan pasir 1:5. Pengujian kuat tekan mortar dilakukan setelah berumur 28 hari. Dalam BS 5628-1-1992, disebutkan ada 4 jenis campuran mortar (semen: pasir), yaitu: 1:3 (i), 1:4 (ii), 1:5 (iii), 1:6 (iv) yang masing-masing memiliki kuat tekan minimum 16 N/mm², 6,5 N/mm², 3,6 N/mm², 1,5 N/mm² (Tabel 2.3).
Tabel 2.3 Klasifikasi mortar Mortar designation
Types of mortar (proportion by volume)
Mean Compressive Strength at 28 days (N/mm2) Preliminar y Site (Laborator Test y tests) 16.0 11.0
Cement: Lime: Sand
Masonry Cement: Sand
Cement:Sand with plasticizer
(i)
1 : 0to1/4 : 3
-
1:3
(ii)
1 : 1/2 : 4to41/2
1 : 21/2to31/2
1:3to4
6.5
4.5
(iii)
1 : 1 : 5to6
1:4to5
1:5to6
3.6
2.5
(iv)
1 : 2 : 8to9
1:51/2to61/2
1:7to8
1.5
1.0
Sumber: BS 5628-1-1992
12
Menurut BS 5628-1-1992, kekuatan mortar yang digunakan harus diuji terlebih dahulu di laboratorium, dengan menggunakan salah satu ukuran dari spesimen berikut: 70.7 mm (kubus), 100 mm (kubus), 100 mm x 25 mm x 25 mm (prisma/balok), atau 160 mm x 40 mm x 40 mm (prisma/balok). Kuat tekan ratarata mortar ditunjukkan pada Tabel 2.3. Jika diinginkan, setengah dari benda uji dapat diuji kuat tekannya pada umur 7 hari. Biasanya hasil test ini akan memberikan indikasi kekuatan yang diharapkan pada umur 28 hari. Untuk mortar yang terdapat pada Tabel 2.4, kuat tekan pada umur mortar 7 hari akan mendekati dua pertiga dari kuat tekan mortar pada umur 28 hari. Jika kuat tekan rata-rata dari umur mortar 7 hari sama dengan atau melebihi dua pertiga dari kuat tekan mortar yang terdapat dalam Tabel 2.3, maka dianggap cukup menggunakan hasil kuat tekan dari benda uji mortar dengan umur 7 hari saja. Namun jika kurang, maka harus menunggu kekuatan benda uji mortar umur 28 hari. 2.2.2.1 Semen portland Semen Portland didefinisikan sebagai semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling terak semen portland terutama yang terdiri atas kalsium silikat yang bersifat hidrolis dan digiling bersama-sama dengan bahan tambahan berupa satu atau lebih bentuk kristal senyawa kalsium sulfat dan boleh ditambah dengan bahan tambahan lain (SNI 15-2049-2004). Semen merupakan bahan ikat yang penting dan banyak digunakan dalam pembangunan fisik di sektor konstruksi sipil. Jika ditambah air, semen akan menjadi pasta semen. Jika ditambah agregat halus, pasta semen akan menjadi
13
mortar yang jika digabungkan dengan agregat kasar akan menjadi campuran beton segar yang setelah mengeras akan menjadi beton keras/concrete (Mulyono, 2004). 2.2.2.2 Pasir Pasir merupakan agregat halus sebagai hasil desintegrasi alami batuan atau pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butiran terbesar 5 mm (SNI 03-2847-2002). Menurut SK SNI T-15-1990-03, kekasaran pasir dibagi menjadi 4 (empat) kelompok gradasi zone yang diadopsi dari British Standar yang digunakan di Indonesia saat ini, yaitu: pasir halus, agak halus, agak kasar. Keempat gradasi tersebut biasanya disebut sebagai daerah I (zone I), daerah II (zone II), daerah III (zone III) dan daerah IV (zone IV). Pasir zone I adalah pasir kasar, zone 2 adalah pasir agak kasar, zone 3 adalah pasir agak halus, dan zone 4 adalah pasir halus (Tabel 2.4).
Tabel 2.4 Syarat gradasi agregat halus/pasir Lubang ayakan (mm) 10 4,8 2,4 1,2 0,6 0,3 0,15
Persen Berat Tembus Komulatif Zone I Zone II Zone III Zone IV 100 100 100 100 90-100 90-100 90-100 95-100 60-95 75-100 85-100 95-100 30-70 55-100 75-100 90-100 15-34 35-59 60-79 80-100 5-20 8-30 12-40 15-50 0-10 0-10 0-10 0-15
Sumber: SK SNI T-15-1990-03
14
ASTM C 33 dalam “Standard Spesification for Concrete Agregate” memberikan syarat gradasi agregat halus seperti yang tercantum pada Tabel 2.5, dimana agregat halus tidak boleh mengandung bagian yang lolos pada satu set ayakan lebih besar dari 45% dan tertahan pada ayakan berikutnya.
Tabel 2.5 Syarat mutu agregat halus Ukuran Lubang Ayakan (mm) 9,5 4,75 2,36 1,18 0,6 0,3 0,15
Persen Lolos Kumulatif 100 95 – 100 80 – 100 50 – 85 25 – 60 5 – 30 0 – 10
Sumber: ASTM C 33
2.2.2.3 Air Air diperlukan pada pembuatan beton untuk memicu proses kimiawi semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan beton. Air yang dapat diminum umumnya dapat digunakan sebagai campuran beton. Air yang mengandung senyawa-senyawa yang berbahaya, yang tercemar garam, minyak, gula, atau bahan kimia lainnya, bila dipakai dalam campuran beton akan menurunkan kualitas beton, bahkan dapat mengubah sifat-sifat beton yang dihasilkan (Mulyono, 2004). Menurut SNI 03-2847-2002, air yang digunakan pada campuran beton harus bersih dan bebas dari bahan-bahan merusak yang mengandung oli, asam, alkali, garam, bahan organik, atau bahan-bahan lainnya yang merugikan terhadap
15
beton atau tulangan. Air yang tidak dapat diminum tidak boleh digunakan pada beton, kecuali memenuhi ketentuan hasil pengujian pada umur 7 dan 28 hari pada kubus uji mortar yang dibuat dari adukan dengan air yang tidak dapat diminum harus mempunyai kekuatan sekurang-kurangnya sama dengan 90% dari kekuatan benda uji yang dibuat dengan air yang dapat diminum. Perbandingan uji kekuatan tersebut dilakukan pada adukan serupa, terkecuali pada air pencampur, yang dibuat dan diuji sesuai dengan metode uji kuat tekan untuk mortar semen hidrolis, menggunakan spesimen kubus dengan ukuran sisi 50 mm (ASTM C 109). 2.2.2.4 Faktor air-semen Secara umum diketahui bahwa semakin tinggi nilai faktor air semen (FAS) , semakin rendah mutu kekuatan beton. Namun demikian, nilai FAS yang semakin rendah tidak selalu berarti bahwa kekuatan beton semakin tinggi. Nilai FAS yang rendah menyebabkan kesulitan dalam pengerjaan, yaitu kesulitan dalam pelaksanaan pemadatan yang pada akhirnya akan menyebabkan mutu beton menurun. Umumnya nilai FAS yang diberikan antara 0.4 - 0.65 (Mulyono, 2004). Menurut SNI 03-2847-2002, rasio air-semen yang diisyaratkan pada Tabel 2.6 harus dihitung menggunakan berat semen. Beton yang akan mengalami pengaruh lingkungan seperti yang diberikan pada Tabel 2.6 harus memenuhi rasio air-semen dan persyaratan kuat tekan karakteristik beton yang ditetapkan pada tabel tersebut.
16
Tabel 2.6 Persyaratan untuk pengaruh lingkungan khusus Kondisi Lingkungan
Rasio air-semen f'c minimum2 maksimum1 MPa
Beton dengan permeabilitas rendah yang 0,50 terkena pengaruh lingkungan air Untuk perlindungan tulangan terhadap korosi pada beton yang terpengaruh 0,40 lingkungan yang mengandung klorida dari garam, atau air laut Catatan: 1. Dihitung terhadap berat dan berlaku untuk beton normal 2. Untuk beton berat normal dan beton berat ringan
28
35
Sumber: SNI 03-2847-2002
2.2.3 Tulangan baja Menurut SNI-07-0954-2005, syarat mutu tulangan baja adalah tidak boleh mengandung serpihan, lipatan, retakan, gelombang dan hanya diperkenankan berkarat ringan pada permukaan. Karat yang dimaksud adalah apabila digosok secara manual tidak meninggalkan cacat pada permukaan. Menurut SNI-07-0663-1995, jaringan kawat baja las untuk tulangan adalah jaringan yang berbentuk segi empat dari kawat hasil penarikan dingin yang dibuat dengan pengelasan titik, dimana dapat berbentuk bujur sangkar dan jaring empat persegi panjang. Kawat-kawat satu sama lain harus saling tegak lurus dan tidak boleh terdapat cacat-cacat yang dapat mengurangi kegunaannya. Panjang juntaian kawat adalah maksimum ½ x jarak kawat melintang, sesuai Gambar 2.1. Ukuran kawat baja dan toleransinya harus sesuai dengan Tabel 2.7. Menurut SNI 07-0663-1995, untuk pengujian jaringan kawat baja (Gambar 2.1) yaitu dengan mengambil satu benda uji sebanyak 2 (dua) lembar yang
17
berukuran 1 x 1 meter dari per tiap 10 (sepuluh) bundel. Pengukuran diameter dilakukan terhadap kawat baja yang melintang dan memanjang, masing-masing pada dua titik pengukuran (Gambar 2.2). Ukuran jaring ditentukan dengan mengukur secara acak lebar maupun panjang jaring minimum 3 kali pengukuran (Gambar 2.3). Untuk uji kesikuan dilakukan dengan mengukur perbedaan diagonal seperti pada Gambar 2.4.
Tabel 2.7 Ukuran kawat baja Diameter (mm) 4,0 5,0 6,0 7,0 8,0 9,0 10,0 11,0 12,0
Toleransi diameter (± mm) 0,10 0,10 0,10 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13
Berat (kg/m) 0,099 0,154 0,222 0,302 0,395 0,499 0,617 0,746 0,888
Sumber: SNI 07-0663-1995
kaw at m em anjang kaw at m elintang
juntaian
jarak kaw at m elintang jarak kaw at m elintang
Gambar 2.1 Jaringan kawat baja
(Sumber: SNI 07-0663-1995)
18
d2
d1
Gambar 2.2 Uji diameter kawat (Sumber: SNI 07-0663-1995)
b
a
Gambar 2.3 Uji panjang jaring kawat (Sumber: SNI 07-0663-1995)
Gambar 2.4 Uji kesikuan kawat (Sumber: SNI 07-0663-1995)
19
Keterangan notasi pada gambar tersebut di atas, d1 adalah langkah pengukuran pertama, d2 adalah langkah pengukuran kedua, a adalah lebar jaring, b adalah panjang jaring, D1 adalah diagonal terpanjang dan D2 adalah diagonal terpendek. Untuk perhitungan persentase penyimpangan kesikuan (PPK) menggunakan Persamaan 2.4 berikut: PPK =
× 100%
……………..… (2.4)
Menurut SNI 07-0371-1998, berdasarkan pengelompokan batang uji sesuai bentuk produk, untuk jenis kawat termasuk dalam batang uji yang tidak proporsional, No. 9A dan No. 9B (Tabel 2.8).
Tabel 2.8 Ukuran batang uji no. 9 Nomor Batang Uji 9A 9B
Panjang Ukur (Lo) 100 mm 200 mm
Jarak Jepit (J) min. 150 mm min. 250 mm
Sumber: SNI 07-0371-1998
Baja merupakan material yang memiliki kekuatan tarik yang cukup besar. Dua karakteristik utama yang menentukan karakter baja adalah titik leleh dan modulus elastisitasnya. Modulus elastisitas baja biasanya mempunyai nilai sebesar 200.000 MPa. Hubungan nilai regangan dan tegangan baja dapat dilihat pada Gambar 2.5. Pada gambar tersebut memperlihatkan perilaku baja secara idealisasi. Selama pembebanan hanya sampai σ1, bila beban dilepaskan maka batang akan kembali ke keadaan semula (kembali ke titik O), dalam hal ini sifat batang
20
dikatakan elastis. Bila beban telah melampaui yield point dan sampai ke titik A beban dilepas, maka akan ada regangan yang tinggal (residual strain) sebesar OB. Dalam keadaan ini kapasitas daktilitasnya berkurang menjadi sebesar BF. Pembebanan kembali memperlihatkan perilaku yang sama seperti teganganregangan awal, tetapi dengan permulaan terletak di titik B, sehingga daerah plastis yang mendahului strain hardening juga berkurang. Jika batang dibebani lagi (mulai B) hingga mencapai titik C, pembebasan beban kemudian mengikuti garis putusputus CD sampai titik D. Sebagai pengaruh strain hardening, menunjukkan titik leleh (yield point) C dengan σ1 yang lebih besar dari σ1 awal. Titik C adalah strain hardening yield point. Dalam hal ini kapasitas daktilitas tinggal sebesar DF. Dari gambar ini juga menunjukkan bahwa proses pembebanan di luar batas elastis menyebabkan perubahan pada sifat daktilnya (Oentoeng, 1999).
σ1
Gambar 2.5 Diagram tegangan regangan baja (Sumber: Oentoeng, 1999)
21
Untuk keperluan penulangan digunakan bahan baja yang memiliki sifat teknis menguntungkan, dan baja tulangan yang digunakan dapat berupa batang baja lonjoran ataupun jaringan kawat rangkaian las (wire mesh) yang berupa batang kawat baja yang dirangkai dengan teknik pengelasan. Ada dua jenis baja tulangan yaitu, baja tulangan polos dan baja tulangan ulir. Baja tulangan ulir berfungsi untuk menambah lekatan antara beton dengan baja. Baja tulangan ulir yaitu batang tulangan baja yang permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip teratur dengan pola tertentu atau batang tulangan yang dipilin pada proses produksinya. Dalam penelitian ini menggunakan tulangan kawat loket dan wire mesh (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Kawat loket dan wire mesh
2.3 Metode Pengujian Dinding Pasangan 2.3.1 Pengujian kuat lentur pasangan Menurut SNI-03-4165-1996 pengujian kuat lentur dinding pasangan bata merah dilakukan dengan menggunakan benda uji berbentuk persegi tanpa plesteran
22
dengan ukuran panjang 8b dan tinggi 5b, dimana b adalah lebar bata merah (Gambar 2.7). Pengujian ini dilakukan dengan memberikan beban garis terpusat pada jarak ¼ bentang dengan kecepatan pembebanan konstan dan dapat diatur, sehingga gerakan pembebanannya 150 N/mm/menit sampai dengan 210 N/mm/menit sampai kapasitas maksimum benda uji.
Gambar 2.7 Posisi pengujian dinding pasangan bata (Sumber: Mahendra, 2012)
Rumus kuat lentur berdasarkan SNI-03-4165-1996 menggunakan Persamaan 2.5. Pu l c flt 2 4 I
Keterangan: flt = kuat lentur pasangan dinding
……............… (2.5)
23
Pu = Beban maksimum l = Bentang tumpuan (8b) c = Jarak antara garis netral dengan serat tarik terluar I = Inersia penampang dinding Dalam British Standart 5628 : Part 1 : 1992, kuat lentur pasangan dinding (fkx) ditentukan berdasarkan mortar design dan persentase penyerapan air unit bata merah yang digunakan, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Kuat lentur pasangan bata Persentase serapan air unit bata merah < 7% 7% ≤ x ≤ 12% 12% <
fkx arah vertikal (N/mm²) fkx arah horisontal (N/mm²) Mortar design (i) (ii), (iii) (iv) (i) (ii), (iii) (iv) 0,7 0,5 0,40 2,0 1,5 1,2 0,5 0,4 0,35 1,5 1,1 1,0 0,4 0,3 0,25 1,1 0,9 0,8
Sumber: British Standart 5628 : Part 1 : 1992
Menurut BS EN 1052-2-1999, untuk pengujian kuat lentur dinding menggunakan spesimen berbentuk persegi yang bentuk dan ukurannya dapat dilihat pada Tabel 2.10. Pengujian ini dilakukan dengan memberikan beban garis terpusat pada jarak yang seperti terlihat pada Gambar 2.8. Dari hasil pengujian tersebut kemudian dicatat beban maksimum (Fi,max) benda uji. Kuat lentur dinding pasangan dihitung sampai 0,01 N/mm2 terdekat dengan Persamaan 2.6.
24
f xi
3Fi ,max (l1 l2 ) 2b.hu
2
N/mm2
…….........…… (2.6)
Keterangan: fxi
= Kuat lentur dinding pasangan bata (N/mm2)
Fi,max = Beban maksimum benda uji (N) b
= Lebar benda uji (mm)
hu
= Tebal benda uji (mm)
l1
= panjang antara tumpuan (mm)
l2
= panjang antara 2 beban terpusat (mm)
Keterangan untuk notasi hu, b, ls, dan lu, pada Tabel 2.10 dan Gambar 2.8 berturut-turut merupakan tinggi spesimen, lebar spesimen, panjang spesimen, dan panjang unit masonry.
Tabel 2.10 Ukuran spesimen untuk pengujian kuat lentur dinding Arah Sejajar Siar Datar Tegak Lurus Siar Datar Sumber: BS EN 1052-2-1999
hu (mm) lebar unit yang digunakan ≤ 250 > 250
b (mm) ≥ 400 dan ≥ 1,5 lu ≥ 240 dan ≥ 3 hu ≥ 1000
25
Gambar 2.8 Spesimen uji lentur (Sumber: BS EN 1052-2-1999)
Lendutan merupakan fungsi dari panjang bentang, perletakan atau kondisikondisi ujungnya, jenis pembebanan (beban terpusat atau beban terdistribusi), dan kekakuan lentur EI dari elemen. Bila suatu beban vertikal bekerja pada elemen struktur yang terletak di atas dua tumpuan, maka elemen tersebut akan mengalami lentur, yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk pada elemen tersebut berupa lendutan (Gambar 2.9). Persamaan 2.7 adalah rumus lendutan dari elemen struktur yang menerima dua beban terpusat sejarak a dari tumpuan (Nawy, 2000).
26
Gambar 2.9 Elemen struktur yang menerima 2 beban terpusat
Nilai kekakuan dapat dicari dengan Persamaan 2.7.
EI
Pa (3L2 4a 2 ) 24 max
…...........…… (2.7)
Keterangan: EI
= Kekakuan (KNm²)
Δmax = Lendutan maksimum (mm)
P
= Beban (KN)
a
= Jarak beban ke tumpuan (m)
L
= Bentang (m)
2.3.2 Pengujian kuat tekan pasangan Menurut SNI-03-4164-1996 pengujian kuat tekan dinding pasangan bata merah dilakukan dengan menggunakan benda uji berbentuk persegi tanpa plesteran dengan ukuran panjang 8b dan tinggi 5b, dimana b adalah lebar bata merah. Benda uji diletakkan di bawah alat pembebanan, kemudian menghidupkan mesin pada
27
awal pengujian selama 15 menit setelah mengatur jarum penunjuk beban pada posisi nol. Analisa dilakukan dengan mencatat data beban hancur dan menggambar bentuk retakan yang terjadi setelah pengujian. Benda uji dibuat dengan ketentuan ukuran seperti Gambar 2.10. Permukaan atas dan bawah benda uji di kaping dengan mortar. Kaping adalah lapisan perata pada permukaan bidang tekan benda uji, terbuat dari bahan yang mempunyai kekuatan lebih besar dari kekuatan benda uji.
Gambar 2.10 Dinding pasangan uji tekan (Sumber: SNI-03-4164-1996)
Kuat tekan dinding pasangan dihitung dengan Persamaan 2.8.
f 'c
Pu N/mm2 A
…….........…… (2.8)
Keterangan f’c
= Kuat tekan dinding pasangan bata (N/mm2)
28
Pu = Beban uji maksimum (N) A
= Luas bidang tekan (mm2)
Menurut BS EN 1052-1-1999, untuk uji kuat tekan dinding menggunakan minimal 3 spesimen yang bentuk dan ukurannya dapat dilihat pada Tabel 2.11. Untuk menentukan nilai kuat tekan dinding pasangan bata, benda uji dibebani dengan beban merata sampai hancur. Dari hasil pengujian tersebut kemudian dicatat beban maksimum (Fi,max) benda uji. Kuat tekan dinding pasangan dihitung sampai 0,1 N/mm2 terdekat dengan Persamaan 2.9.
fi
Fi ,max Ai
N/mm2
…….........…… (2.9)
Keterangan: fi
= Kuat tekan dinding pasangan bata (N/mm2)
Fi,max = Beban maksimum benda uji (N) Ai
= Luas permukaan benda uji (mm2)
Selain dengan persamaan diatas, pada BS 5628-1-1992 nilai kuat tekan karakteristik dinding pasangan dari beberapa jenis mortar dan bata merah dengan nilai kuat tekan yang berbeda yang dipergunakan sebagai komponen struktur, dapat dicari dengan menggunakan grafik dan tabel seperti yang terlihat pada Tabel 2.11 dan Gambar 2.11. Dalam standar tersebut dijelaskan nilai kuat tekan mortar dibedakan menjadi 4 kelas yaitu: kelas i, ii, iii, dan iv dengan nilai kuat tekan masing-masing 16 N/mm², 6,5 N/mm², 3,6 N/mm², dan 1,5 N/mm². Dalam BS
29
5628-1-1992 juga diperlihatkan 7 kelas bata merah yang diklasifikasikan menurut kuat tekannya yaitu kelas 2, 3, 4, 5, 7, 10, dan 15. Ketujuh kelas bata merah tersebut memiliki kuat tekan masing-masing 15 – 20 N/mm², 20 – 27,5 N/mm², 27,5 – 35 N/mm², 35 – 50 N/mm², 50 – 70 N/mm², dan 70 – 100 N/mm².
Gambar 2.11 Grafik kuat tekan karakteristik dinding pasangan bata menurut BS 5628-1-1992 (Sumber: BS 5628-1-1992)
Tabel 2.11 Kuat tekan karakteristik dinding pasangan bata menurut BS 5628-1-1992 Characteristic compressive strength of masonry, fk in N/mm2 Constructed with standard format bricks Mortar Compressive strength of unit (N/mm2) designation 5 10 15 20 27,5 35 50 70 (i) 2,5 4,4 6,0 7,4 9,2 11,4 15,0 19,2 (ii) 2,5 4,2 5,3 6,4 7,9 9,4 12,2 15,1 (iii) 2,5 4,1 5,0 5,8 7,1 8,5 10,6 13,1 (iv) 2,2 3,5 4,4 5,2 6,2 7,3 9,00 10,8 Sumber: BS 5628-1-1992
100 24,0 18,2 15,5 12,7
30
Nilai kuat tekan yang diperoleh dari hasil pengujian bata merah dihubungkan dengan kelas mortar pada grafik kuat tekan karakteristik dinding pasangan, sehingga akan diperoleh nilai kuat tekan karakteristik dari dinding pasangan. Untuk mortar kelas (i),(ii),(iii), dan (iv) kuat tekan karakteristik yang dapat dihasilkan oleh dinding pasangan bata dari bata dengan kuat tekan 5 N/mm² sampai 100 N/mm² adalah masing-masing 2,5 – 24 N/mm², 2,5 – 18,2 N/mm², 2,5 – 15,5 N/mm², dan 2,2 – 12,7 N/mm². Untuk menentukan modulus elastisitas pada dinding pasangan bata perlu diketahui besar tegangan dan regangan yang terjadi. Tegangan dan regangan dapat dihitung apabila deformasi aksial yang terjadi pada dinding pasangan diketahui. Deformasi aksial yang terjadi pada dinding pasangan dapat diketahui dengan menggunakan dial gauge. Dari hasil pengujian tersebut kemudian dicari hubungan tegangan dan regangan yang terjadi selama pengujian dinding pasangan bata. Perubahan panjang suatu benda disebut dengan regangan (ε) yang terjadi akibat perubahan statik (ΔL) terhadap panjang mula-mula (Lo). Regangan normal yang terjadi akibat beban tekan statik dapat ditentukan berdasarkan Persamaan 2.10.
L Lo
…….........…… (2.10)
Keterangan: ΔL
=
Lo – L
ε
=
Regangan normal akibat beban aksial (mm)
L
=
Perubahan panjang spesimen akibat beban tekan (mm)
Lo
=
Panjang spesimen mula-mula (mm)
31
Dalam BSEN 1052-1-1999, modulus elastisitas dinding pasangan bata diperoleh dengan mencari nilai hubungan tegangan dan regangan. Nilai regangan yang terjadi di ukur dengan mempergunakan strain gauge. Dari nilai masingmasing dan rata-rata modulus elastisitas dalam N/mm2 dihitung sampai mendekati 100 N/mm2. Persamaan yang dipergunakan dalam menentukan modulus elastisitas masing-masing dinding pasangan bata adalah Persamaan 2.11. Beban tekan maksimum yang di peroleh dari hasil eksperimen dibagi 3 dan dikalikan dengan nilai regangan yang dikalikan dengan luas permukaan benda uji.
Ei
Fi ,max 3 x i xAi
…….............… (2.11)
Keterangan: Ei
= Modulus Elastisitas masing-masing benda uji (N/mm2)
Fi,max = Beban tekan maksimum masing-masing benda uji (N) Ai
= Luas permukaan masing-masing benda uji (mm²)
ε
= Regangan normal akibat beban aksial (mm)
2.3.3 Pengujian kuat geser/lekat pasangan Menurut SNI-03-4166-1996 pengujian kuat lekat pasangan bata merah dilakukan dengan menggunakan benda uji seperti yang terlihat pada Gambar 2.12 (dalam Aryanto, 2008). Benda uji diletakkan di bawah alat pembebanan, kemudian menghidupkan mesin pada awal pengujian selama 15 menit setelah mengatur jarum penunjuk beban pada posisi nol. Analisa dilakukan dengan mencatat data beban
32
hancur dan menggambar bentuk retakan yang terjadi setelah pengujian. Persamaan yang digunakan dalam menghitung kuat geser pasangan batu bata adalah menggunakan persamaan 2.12.
f vh
Pu 2bh
……............. (2.12)
Keterangan: fvh
= Kuat lekat pasangan (N/mm2)
Pu
= Beban maksimum benda uji (N)
b
= lebar bidang lekatan (mm)
h
= tinggi bidang lekatan (mm)
Gambar 2.12 Test kuat lekat pasangan bata Sumber: Aryanto, 2008
33
Menurut BS EN 1052-4-2000, untuk uji geser dinding menggunakan minimal 9 spesimen yang bentuk dan ukurannya dapat dilihat pada Gambar 2.13. Panjang (l) spesimen harus lebih besar dari 400 mm dan tidak lebih dari 700 mm. Sedangkan untuk tinggi (h) dan lebar (w) spesimen adalah dengan rasio h/w > 2. Untuk menentukan nilai geser dinding pasangan bata, benda uji dibebani dengan model pembebanan seperti yang terlihat pada Gambar 2.13. Dari hasil pengujian tersebut kemudian dicatat beban maksimum (Fi,max) benda uji. Dimana 1) papan/alas, 2) beban geser, 3) lapisan penahan pasangan 4) beban tekan, 5) pelat atas, 6) kaping, 7) pengaku yang menahan bagian atas dan bawah, dan 8) pelat bawah.
Gambar 2.13 Spesimen uji geser (Sumber: BS EN 1052-4-2000)
Menurut ASTM C 519, untuk uji geser dinding menggunakan minimal 3 spesimen dengan ukuran 1,2 m x 1,2 m (4 ft x 4 ft), yang bentuk dan metode pengujian seperti yang terlihat pada Gambar 2.14. Metode pengujian meliputi penentuan kuat tarik diagonal atau geser sepanjang satu diagonal dalam posisi
34
vertikal, sehingga menyebabkan keruntuhan tarik diagonal yang sejajar terhadap arah pembebanan. Spesimen ditempatkan dalam mesin yang setidaknya harus memiliki ketinggian minimal 2,13 m (7 ft). Pengujian dilakukan setelah umur spesimen mencapai 28 hari. Mesin uji harus memiliki kapasitas pembebanan yang cukup untuk mampu menerapkan beban secara terus menerus, sehingga beban maksimumnya dicapai dalam waktu tidak kurang dari 1 menit dan tidak lebih dari 2 menit.
Gambar 2.14 Metode pengujian kuat tarik diagonal atau geser masonry (Sumber: ASTM C 519)
35
Dari beberapa metode pengujian spesimen tersebut diatas, perbandingan ukuran spesimen antara SNI, ASTM dan British Standard (BS), dapat dilihat pada Tabel 2.12 berikut ini:
Tabel 2.12 Ukuran Spesimen Ukuran Benda Uji ASTM BS Kubus Ukuran bata utuh, 2 in (50 mm) (BS 3921-1985) (ASTM C67)
1
Jenis Pengujian Spesimen Kuat Tekan Bata
2
Kuat Tekan Mortar
50 x 50 x50 mm (SNI 15-6825-2002)
3
Kuat Tekan: - Dinding Bata
8b x 5b b = lebar bata (SNI 03-4164-1996)
-
- Panjang ≥ (2 x panjang bata) - Tinggi ≥ (5 x lebar bata) - Tebal ≥ tebal bata (BS 1052-1-1999)
4
Kuat Lentur Dinding
8b x 5b b = lebar bata (SNI 03-4165-1996)
-
Sejajar siar datar: - Lebar ≥ 400 mm dan ≥ 1,5 x panjang unit masonry - Tebal ≥ lebar unit masonry
No
SNI Ukuran bata utuh, diterap spesi 6 mm, 1Pc:3Ps (SNI 15-0686-1989)
Kubus 2 in (50 mm) (ASTM C109)
a) 70,7 mm (kubus) b) 100 mm (kubus) c) 100 x 25 x 25 mm (prisma) d) 160 x 40 x 40 mm (prisma) (BS 5628-1-1992)
Tegak lurus siar datar: - Lebar ≥ 240 mm dan ≥ 3x lebar unit masonry) - Tebal ≥ lebar unit masonry (BS EN 1052-2-1999) 5
Kuat Geser/Lekat Dinding
(SNI 03-4166-1996)
Sumber: SNI, ASTM, dan British Standard
1,2 m (4 ft) (ASTM C 519)
Panjang (l), tinggi (h), lebar (w) 400 mm < l < 700 mm h/w > 2 (BS 1052-4-2000)
36
2.4 Penelitian-Penelitian Terkait 2.4.1 Budiwati (2009) Budiwati (2009) melakukan pengujian pada bata merah, batako, mortar dan masonry. Pada pengujian bata merah dengan ukuran 215 x 102,5 x 65 mm dilakukan sesuai standar dalam BS 3921-1985 yang terdiri dari 10 buah sampel benda uji diperoleh kuat tekan rata-rata bata merah sebesar 63 N/mm². Sedangkan untuk pengujian batako dengan ukuran 440 x 200 x 215 mm dilakukan sesuai standar dalam BS 6073-1-1981, diperoleh kuat tekan rata-rata batako sebesar 12,8 N/mm². Pengujian mortar dilakukan dengan standar yang ditetapkan dalam British Standart 5628-1-1992. Standar tersebut menunjukan ada 4 tipe campuran mortar. Tipe mortar yang digunakan adalah mortar tipe (iii) dan kuat tekan rata-rata yang diperoleh adalah 4,2 N/mm². Pengujian dinding pasangan bata merah dan batako dilakukan berdasarkan standar yang ditetapkan pada BS EN 1052-1-1999, yang di uji setelah berumur 28 hari. Dari pengujian tersebut diperoleh nilai kuat tekan rata-rata dan modulus elastisitas rata-rata sebesar 11,2 N/mm² dan 13500 N/mm² untuk dinding pasangan bata merah; 7,2 N/mm² dan 7300 N/mm² untuk dinding pasangan batako.
37
2.4.2 Aryanto (2008) Aryanto (2008) melakukan pengujian bata merah Garut dengan ukuran rata-rata sebesar 207,23 mm x 99,47 mm x 52,28 mm. Pengujian kuat tekan dilakukan dengan memotong bata merah berukuran 50 x 50 x 50 mm. Pengambilan ukuran sampel tersebut untuk memenuhi persyaratan ASTM C 140 dan ASTM 67 dimana benda uji unit bata harus memiliki perbandingan tinggi dan tebal sama dengan satu. Kuat tekan rata-rata bata merah diperoleh adalah 4,57 N/mm² yang mana berdasarkan SII.0021-78 termasuk kelas 25 karena nilai kuat tekannya masih dibawah 5 N/mm². Pengujian mortar yang dilakukan mempergunakan mortar berbentuk kubus dengan ukuran benda uji sebesar 50 x 50 x 50 mm dengan perbandingan campuran semen dan pasir 1:5. Pengujian dilakukan mengikuti standar ASTM C 109-88. Hasil uji kuat tekan mortar yang diperoleh setelah berumur 28 hari sebesar 10,45 N/mm². Selain pengujian terhadap kuat tekan unit bata dan mortar, diuji pula kuat tekan dan kuat geser pasangan bata. Spesimen pasangan bata terdiri dari tiga tumpuk bata mengacu pada ketentuan ASTM C 1314-95. Hasil uji kuat tekan dinding pasangan bata umur 28 hari diperoleh nilai rata-rata kuat tekan pasangan bata sebesar 3,71 N/mm². Untuk memperoleh kuat geser pasangan bata, maka pasangan bata diuji kekuatan lekatnya. Prosedur pengujian ini mengacu pada SNI-03-4166-1996 (Gambar 2.12). Dari hasil pengujian ini, didapat nilai kuat lekat (bond) pasangan bata (τo) adalah 0,39 MPa. Pola keruntuhan geser yang dibentuk oleh pasangan bata
38
merah menunjukkan kegagalan terjadi pada permukaan sambungan (interface), bukan pada material bata atau mortarnya. 2.4.3 Diputra (2010) Diputra (2010) melakukan pengujian kuat tekan bata, mortar dan dinding pasangan bata menurut SNI 03-4165-1996 dengan menggunakan bata merah lokal (Keramas, Gianyar) dengan ukuran 230 mm x 110 mm x 55 mm. Dari pengujian kuat tekan bata merah diperoleh nilai kuat tekan rata-rata sebesar 4,43 N/mm². Untuk pengujian kuat tekan mortar dalam penelitian ini menggunakan benda uji berbentuk kubus berukuran 50 x 50 x 50 mm sebanyak 6 buah dengan umur 28 hari. Nilai kuat tekan rata-rata yang diperoleh mortar dengan perbandingan campuran 1:3 adalah 21,03 N/mm², sedangkan mortar dengan perbandingan campuran 1:5 adalah 9,20 N/mm². Pada dinding pasangan bata dengan perbandingan mortar 1:5, mengalami beban hancur rata-rata pada nilai pembebanan 132,981 kN sehingga diperoleh nilai kuat tekan rata-rata dinding pasangan bata sebesar 1,4 N/mm². 2.4.4 Mahendra (2012) Mahendra (2012) melakukan penelitian kuat lentur dinding pasangan bata yang terdiri dari 3 spesimen, yaitu dinding pasangan bata tanpa tulangan tanpa plesteran (TTTP), dinding pasangan bata tanpa tulangan dengan plesteran (TTDP), dan dinding pasangan bata dengan tulangan dengan plesteran (DTDP). Tiap spesimen dibuat 3 buah benda uji. Bata merah lokal yang digunakan berasal dari produsen bata merah desa Keramas, Gianyar. Pengujian kuat lentur mengacu pada standar yang ditetapkan dalam SNI-03-4165-1996.
39
Dari hasil penelitian ini diperoleh kuat tekan rata-rata bata merah 4,4 N/mm² dengan serapan air sebesar 21,21%. Kuat tekan mortar dengan komposisi perbandingan semen dan pasir 1: 3 (spesi) sebesar 21,57 N/mm² dan 1:4 (plesteran) sebesar 12,2 N/mm². Kuat lentur rata-rata dinding TTTP diperoleh 1,18 MPa dan kuat lentur rata-rata dinding TTDP sebesar 1,63 Mpa, sedangkan kuat lentur dinding DTDP belum dapat ditentukan karena telah terjadi keruntuhan geser. Penambahan plesteran memberikan kontribusi 38% tambahan kapasitas lentur dari dinding pasangan bata tanpa plesteran. Pola keruntuhan pada dinding TTTP dan TTDP terjadi pada area momen maksimum yaitu antara ¼ bentang sampai ¾ bentang, sedangkan pola keruntuhan dinding DTDP terjadi di luar area momen maksimum atau di area geser maksimum yaitu antara tumpuan sampai ¼ bentang. Dari hubungan beban dengan lendutan diperoleh rasio kekakuan dinding pasangan bata TTDP terhadap TTTP sebesar 3,5 dan DTDP terhadap TTTP sebesar 4,3. Modulus elastisitas untuk benda uji TTTP diperoleh sebesar 8290,36 MPa, sedangkan modulus elastisitas benda uji lainnya belum dapat ditentukan mengingat material penyusunnya yang tidak dianggap homogen.