BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Tenaga kerja memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Hal ini karena tenaga kerja adalah sebagai pelaku dan subyek pembangunan sekaligus juga sebagai tujuan atau obyek pembangunan nasional yang akan menentukan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Oleh karna itu diharapkan tenaga kerja dapat melaksanakan fungsinya dengan baik melalui pemberian kesempatan kerja yang merata, perlindungan terhadap hak-haknya dalam menjalankan pekerjaan, pemberian jaminan kesejahteraan, kesehatan, keselamatan dan semua aspek ketenagakerjaan. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan struktural dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa indonesia menyebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hal ini menunjukkan bahwa setiap warga negara Indonesia tanpa memandang suku, ras, jenis kelamin, dan lain-lain, mempunyai hak yang sama untuk mendapat pekerjaan atau melaksanakan pekerjaan. Sampai saat ini Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai ketenagakerjaan bersumber pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan). Dalam undang-undang ini hubungan kerja dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu hubungan kerja tetap, hubungan kerja kontrak dan hubungan kerja melalui pihak ketiga. Hubungan kerja tetap didasari oleh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut PKWTT) dan mensyaratkan adanya masa percobaan selama 3
1
2
(tiga) bulan (Pasal 56 dan Pasal 60 Undang-Undang Ketenagakerjaan). Sedangkan hubungan kerja kontrak didasari oleh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disebut PKWT) dan tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan selama 3 (tiga) bulan (Pasal 56 dan Pasal 58 Undang-Undang Ketenagakerjaan). Sementara itu hubungan kerja melalui pihak ketiga didasarkan pada ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja kontrak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu tenaga kerja yang diperoleh melalui pihak ketiga yang biasa disebut sebagai tenaga outsourcing dan tenaga kontrak yang langsung diupayakan oleh perusahaan atau instansi sendiri. Mempekerjakan karyawan dalam ikatan kerja outsoucing nampaknya sedang menjadi trend atau model bagi pemilik atau pemimpin perusahaan baik itu perusahaan milik negara maupun perusahaan milik swasta. Banyak perusahaan outsourcing yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyedia tenaga kerja aktif menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja, sehingga perusahaan yang memerlukan tenaga tidak perlu susah-susah mencari, menyeleksi dan melatih tenaga kerja yang dibutuhkan1. Fenomena
memilih
kebijakan
untuk
menggunakan
tenaga
kerja
outsourcing semakin bertambah saat terjadinya krisis ekonomi global yang melanda dunia termasuk Indonesia. Banyak perusahaan yang mengalami 1
S. Gunarto, 2006, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 27.
3
penurunan tingkat penjualan, sedangkan dilain pihak kebutuhan biaya hidup karyawan meningkat karena kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, maka terjadilah konflik antara karyawan yang menuntut kenaikan upah tetapi manajemen kesulitan memenuhi karena kondisi perusahaan menurun2. Penggunaan tenaga kerja outsourcing di negara-negara maju merupakan kebijakan perusahaan yang wajar dan memang harus dilakukan, karena besarnya perusahaan dan banyaknya jenis pekerjaan yang tentunya membutuhkan banyak jenis keahlian sehingga tidak memungkinkan perusahaan menyediakan tenaga kerja secara keseluruhan. Sementara itu perhatian perusahaan atas core competence yang dimilikinya telah membuka jalan untuk outsourcing terhadap tugas-tugas yang bersifat bukan tugas utama (non core activities), yang menantang para pimpinan perusahaan untuk mengevaluasi kembali niat tradisional untuk melakukan integrasi vertical dan memenuhi segala keperluan perusahaan dari satu atap (perusahaan sendiri). Potensi keuntungan dari outsourcing adalah memperoleh kesempatan mengatur organisasi yang lebih fleksibel untuk melakukan core activitiesnya. Pada era globalisasi ini, menjadi makin mudah untuk memperoleh jasa dari luar atau pihak ketiga. Apa yang membedakan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain, adalah terutama mengenai modal intelektual, pengetahuan dan pengalaman dan bukan lagi dari besar dan ruang lingkup sumber daya yang mereka punyai dan kuasai. Sebagai hasilnya, banyak perusahaan dari hampir semua jenis memilih untuk mengkontrakkan berbagai jenis pekerjaannya, dengan
2
Syibli, Mohammad, Sudarso, Indung, 2012, Analisis ”Pengaruh Faktor-Faktor Rekrutmen Terhadap Kinerja Sdm Outsourcing Pt Telkom Dengan Pendekatan Sem (Structural Equation Modelling),” Jurnal Manajemen Teknologi, h. 2.
4
tujuan untuk memfokuskan diri para aktivitas utamanya dan memanfaatkan kemampuan dan kemahiran mitra usahanya dalam menangani aktivitas sampingannya. Tidak ada suatu perusahaanpun yang terlalu kecil atau terlalu besar untuk memikirkan melakukan outsourcing ini3. Undang-Undang
Ketenagakerjaan
tidak
pernah
ditemukan
kata
outsourcing secara langsung, namun Undang-undang ini merupakan tonggak baru yang mengatur dan mendelegasi permasalahan outsourcing. Istilah yang dipakai dalam undang-undang ini adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja atau buruh. Istilah tersebut diadopsi dari istilah yang dipakai dalam KUHPerdata seperti sebagaimana telah dijelaskan diatas. Lebih spesifik ketentuan yang mengatur outsourcing dapat ditemukan dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan4. Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 64 disebutkan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh.5 Selanjutnya dalam Pasal 65 yang intinya menyatakan bahwa penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pengaturan lebih lanjut mengenai peraturan ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
3
Indrajit dan Djokopranoto. 2006. Proses Bisnis: Outsourcing. PT. Grasindo, Jakarta, h.
3-4. 4
N.L.M. Mahendrawati, 2009, ”Perjanjian Outsourcing Dalam Kegiatan Bisnis”, Kertha Wicaksana, Vol.15. No 2, h. 151. 5
Lalu Husni, 2005, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Edisi Revisi. Cetakan Kelima, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 189.
5
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain6. Pasal 66 mengatakan bahwa pekerjaan yang dapat dijadikan dalam perjanjian outsourcing adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan pokok atau proses produksi dari suatu perusahaan, kecuali untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi7. Pada Pasal 66 ayat (1) dijelaskan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan
proses
produksi,
pengusaha
hanya
diperbolehkan
mempekerjakan pekerja/buruh dengan PKWT dan/atau PKWTT. Demikian halnya dengan istilah tenaga kerja kontrak yang diupayakan oleh perusahaan atau instansi sendiri juga tidak ditemukan istilah pekerja kontrak dalam
Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
Dalam
Undang-Undang
Ketenagakerjaan istilah tenaga kerja kontrak, pekerja kontrak, kontrak kerja maupun sistem kerja kontrak. Pada Pasal 56, 57, 58 dan 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan disebut dengan nama PKWT. Pengaturan lebih lanjut PKWT dijabarkan di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (selanjutnya disingkat Kepmenakertrans): KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan tenaga kontrak adalah tenaga kontrak jenis PKWT ini yaitu tenaga kontrak yang direkrut oleh perusahaan atau instansi secara langsung.
6
Much. Nurachmad, 2009, Tanya Jawab Seputar Hak-Hak Tenaga Kerja Kontrak (Outsourcing), Visimedia, Jakarta, h. 15. 7
Bungasan Hutapea, 2010, “Perlindungan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Outsourcing”, Jurnal Penelitian Hukum APHI, DE JURE, 1410-5632 Vol.10. No. 3, h. 297.
6
Adanya tenaga kontrak PKWT ini bisa ditemukan pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung. Saat ini Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung mempekerjakan 147 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 100 orang tenaga PKWT yang disebut sebagai tenaga kontrak. Dinas Pemadam Kebakaran merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang penanggulangan kebakaran. Dinas Pemadam Kebakaran dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati melalui Sekretaris Daerah. Dinas Pemadam Kebakaran dalam melaksanakan fungsinya di koordinasikan oleh Asisten Tata Praja dan Aparatur. Salah satu masalah tenaga kontrak ini adalah ketika diterbitkannya PP No. 48 Tahun 2005 pada Pasal 8 yang menyatakan : “Sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di Lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pengangkatan tenaga honorer maupun kontrak di lingkungan pemerintahan yang diangkat oleh kepala instansi dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Kepala instansi terkait masih saja terjadi. Hal ini menimbulkan pertentangan norma antara Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh kepala instansi terkait, salah satunya yang terjadi pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung yang mengangkat tenaga honorer berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penunjukan Tenaga Kontrak Staf Operasional Pemadam Kebakaran Badung Tahun Anggaran 2015. Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi karena seharusnya lex superior derogat legi
7
inferiori8, yang artinya undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang lebih rendah. Dengan perkataan lain seharusnya SK Kepala Dinas tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Kondisi tersebut menyebabkan kedudukan tenaga kontrak sangat lemah. Terjadinya perekrutan tenaga kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung disebabkan karena kebutuhan yang sangat urgent. Untuk kepetingan masyarakat umum yang di karenakan wilayah kabupaten badung yang cukup luas, maka perlu penambahan post bantu di setiap wilayah untuk mempercepat respon jika terjadi kebakaran. Maka dari itu di rekrutlah tenaga kontrak untuk mengisi kekosongan pada post-post yang baru di buat. Di dalam surat peryataan yang di tanda tangani oleh tenaga kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung, yang merupakan isi dari perjanjian lisan ,Ternyata Belum Mendapatkan Perlindungan Hukum. Contoh perlindungan hukum yang belum diterima oleh tenaga kontrak yaitu belum adanya jaminan kesehatan dan
keselamatan kerja. Dalam Pasal 3 huruf b Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menyatakan, bahwa untuk dapat diberikan keselamatan kerja harus memenuhi persyaratan dalam hal untuk mencegah, mengurangi memadamkan kebakaran. Tugas tenaga kontrak pada dinas Pemadam kebakaran kabupaten badung adalah pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Tugas ini merupakan tanggung jawab tenaga kontrak yang sangat beresiko 9. Jika dibandingkan dengan ketentuan pada Pasal 86 ayat (1) UndangUndang Ketenagakerjaan yang menyatakan, bahwa “setiap pekerja/buruh
8
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 6. 9
Cerita Miris Tim Damkar Badung Yang Belum Dapat Tunjangan Kesehatan, Bali Post, tanggal 6 Mei 2015.
8
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja”. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja (Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan). Selanjutnya diatur juga mengenai sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang mewajibkan setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan (Pasal 87 Undang-Undang Ketenagakerjaan)10. Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan perusahaan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja seperti yang diuraikan di atas merupakan bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha 11. Selanjutnya sebelum diterima bekerja di dinas pemadam kebakaran kabupaten badung terlebih dahulu tim perekrut tenaga kontrak mengumpulkan para calon tenaga kontrak untuk duduk bersama bernegosiasi membuat perjanjian kerja dan menyepakati perjanjian secara lisan. Untuk selanjutnya setelah diterima bekerja tenaga kontrak harus menandatangani surat peryantaan yang merupakan hasil dari kesepakatan tersebut dan melaksanakan perjanjian yang telah ada dalam surat peryataan tersebut.
10
I Made Udiana, 2015, Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial, Udayana University Press, Denpasar, h. 8. 11
Ibid.
9
Sedangkan dalam pembayaran jasa tenaga kontrak Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten Badung berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penunjukan Tenaga Kontrak Staf Operasional Pemadam Kebakaran Tahun Anggaran 2015. Sampai sekarang belum pernah ada tenaga kerja kontrak yang menggugat sewenang-wenangan ini, sehingga perjanjian yang banyak melanggar aturan Undang-Undang Ketenagakerjaan ini terus berlanjut hingga sekarang. Hal ini disebabkan apabila tenaga kontrak melakukan gugatan, maka yang bersangkutan justru takut akan kehilangan pekerjaan. Demikian juga dengan sifat hubungan kerja juga tidak jelas apakah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ataukah Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT), mengingat hubungan kerja antara tenaga kontrak dengan Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung, mengingat perjanjian tersebut tidak sesuai dengan pengaturan Pasal 56 hingga Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan (pengaturan untuk PKWT) dan juga tidak sesuai dengan Pasal 60 Undang-Undang Ketenagakerjaan (pengaturan untuk PKWTT). Mengingat pentingnya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung, maka perlu dikaji “Eksistensi Tenaga Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan”.
10
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah
keberadaan tenaga kontrak sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003? 2. Apakah perlindungan hukum terhadap tenaga kontrak pada Dinas Pemadam
Kebakaran di kabupaten Badung
sudah
sesuai dengan
Undang-Undang?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk mendapatkan pembahasan yang sistematis dan tidak jauh menyimpang dari permasalahan, maka dalam pembahasan akan di batasi sesuai dengan permasalahan yang ada. Dimana terhadap permasalahan yang pertama yang akan di bahas adalah persoalan yang berkaitan dengan keberadaan tenaga kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran kabupaten di Kabupaten Badung sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Selanjutnya terhadap pembahasan yang kedua yang akan di bahas hanya perlindungan hukum terhadap tenaga kontrak pada dinas pemadam kebakaran di kabupaten Badung sudah sesuai dengan Undang-Undang.
1.4 Orisinalitas Penelitian Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian, hingga saat ini belum ada hasil penelitian dalam bentuk skripsi ataupun
11
penelitian yang berkaitan dengan eksistensi perlindungan hukum tenaga kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung. Adapun dari penelusuran kepustakaan yang cukup dekat dengan topik penelitian ini yaitu : No 1
Judul Penelitian Pelaksanaan Perlindungan Kerja bagi Pekerja Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Kota Mataram
2
Perlindungan Hukum terhadap Pegawai Non Pegawai Negeri Sipil pada Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) (Studi Kasus di Rsud Pasar Rebo Jakarta)
Penulis Rumusan Masalah bentuk Aditya Aprinky 1. Bagaimanakah perlindungan kerja dalam Heriansyah, Fakultas hal keselamatan kerja dan Hukum Universitas waktu kerja yang Mataram Tahun 2014 diberikan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Mataram terhadap pekerja kontrak? 2. Apakah perlindungan keselamatan kerja dan waktu kerja yang diberikan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Mataram kepada pekerja kontrak sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditinjau dari faktor efektifitas hukum? Alam Syah, Program 1. Bagaimana kedudukan Pascasarjana Fakultas pegawai non PNS pada Hukum Universitas BLU berdasarkan Indonesia Tahun Peraturan Pemerintah 2012 Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999? 2. Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap pegawai non PNS di BLUD Provinsi DKI Jakarta
12
khususnya pada RSUD Pasar Rebo, Jakarta?
3
Kepastian Hukum Ayu Prilia Diantri, 1. Apakah semua tenaga Kedudukan Tenaga Program honorer sudah pasti Honorer dalam Sistem Pascasarjana Fakultas dapat diangkat menjadi Kepegawaian Hukum Universitas Calon Pegawai Negeri Udayana Tahun 2013 Sipil berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005? 2. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil?
Dapat disimpulkan bahwa originalitas penelitian ini murni, belum dikerjakan oleh peneliti lain sehingga penulis dapat melanjutkan usulan proposal penelitian dengan judul eksistensi perlindungan hukum tenaga kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung.
1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan umum 1. Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis serta mengembangkan ilmu pengetahuan hukum. 2. Untuk memberikan kontribusi ilmiah terkait dengan permasalahn hukum dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu dalam bidang hukum perdata khususnya hukum ketenagakerjaan. 3. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
13
1.5.2 Tujuan khusus 1. Untuk memahami keberadaan tenaga kontrak sesuai dengan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003. 2. Untuk memahami perlindungan hukum terhadap tenaga kontrak pada dinas pemadam kebakaran di kabupaten badung sudah sesuai dengan UndangUndang.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat teoritis Penelitian ini dapat di jadikan sebagai bahan penelitian awal bagi para peneliti di lingkungan lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai bahan refrensi pada perpustakaan. 1.6.2 Manfaat praktis 1. Untuk dapat di jadikan pedoman dalam pembuatan karya-karya tulis baik itu pembuatan makalah maupun penelitian hukum lainya, dan memberikan pengalaman belajar dan melakukan penelitian bagi mahasiswa sehingga mahasiswa mengtahui jalanya praktek hukum di masyarakat secara langsung. 2. Untuk dapat di jadikan pedoman dalam menyelesaikan permasalahan yang sejenis baik oleh pemerintah, praktis dan bagi yang berkepentingan. 1.7 Landasan Teoritis 1.7.1
Teori Perlindungan Hukum Dalam perspektif filsafat hukum, teori perlindungan hukum, awalnya
muncul dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan Zeno. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa
14
hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral. Hukum alam menurut Thomas Aquinas sebagaimana dikutip Romli Atmasasmita12 adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan. Eksistensi dan konsep hukum alam selama ini, masih banyak dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar filosof, tetapi dalam kanyataannya justru tulisan-tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan faham hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakkan sejumlah filosof terhadap hukum alam, karena mereka masih mengganggap pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksitensi hukum alam, tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa pencarian pada yang “absolut” merupakan kerinduan manusia akan hakikat keadilan. Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat “universal, abadi, dan berlaku mutlak”, ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia.13
12
Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif : Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 20-21. 13
Ibid.
15
Hukum alam menurut Thomas Aquinas14 adalah cerminan dari undangundang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang-undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa. Substansi hukum, pada abad ke-17, telah menempatkan suatu asas yang berisfat universal yang bisa disebut hak asasi manusia. Konsep perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif15. Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan
14 15
Ibid.
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, h. 118.
16
untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial16. Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.17 Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya. 18 Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar 16
Sunaryati, Hartono, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, h. 29. 17 18
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53.
Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, h. 64.
17
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi. Dengan demikian Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:19 1. Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. 2. Perlindungan Hukum Represif
19
Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, h. 30.
18
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Selanjutnya pekerja merupakan “tulang punggung perusahaan”. Pekerja dikatakan sebagai tulang punggung, karena memang dia mempunyai peranan yang penting. Tanpa adanya pekerja tidak akan mungkin perusahaan itu dapat berjalan, dan berpartisipasi dalam pembangunan. Pentingnya pekerja bagi perusahaan, pmerintah dan masyrakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaannya. Dengan demikian maka perlindungan kerja akan mencakup; a. Norma keselamatan kerja. b. Norma kesehatan kerja dan Heigiene kesehatan perusahaan. c. Norma kerja. d. Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit kuman akibat pekerjaan20. Perlindungan hukum menurut Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja ini menjadi 3 (tiga) macam yaitu: a. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu
20
43-44.
Kartasapoetra, G, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Cet I, Armico Bandung, h.
19
bekerja sesuatu diluar kehedaknya. Perlindungan ini disebut jaminan sosial. b. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannnya memungkinkan pekerja itu mengenyam
dan
memperkembangkan
prikehidupannya
sebagai
manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga; atau yang biasa disebut dengan kesehatan kerja. c. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan; atau yang biasa disebut dengan keselamatan kerja. 21 Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Selanjutnya hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam masyarakat. 1.7.2
Konsep Tenaga Kerja Kontrak Tenaga kerja kontrak adalah konsep perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam jangka waktu
21
Zainal Asikin, 2002, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta. h. 76. Dikutip dari Imam Soepomo, 1983, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. VI, Djambatan.
20
berlakunya ditentukan. Bila jangka waktu telah berakhir maka dengan sendirinya terjadi pemutusan hubungan kerja dan para pekerja tidak berhak atas konpensasi. Selanjutnya konsep perjanjian kerja menurut Wiwiho Soedjono adalah hubungan hukum antar seseorang yang bertindak sebagai pekerja/buruh dengan seorang yang bertindak sebagai majikan, atau perjanjian perorangan pada suatu pihak dengan lain pihak sebagai majikan, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan mendapat upah22. Adapun syarat-syarat untuk melakukan kerja kontrak adalah sebagai berikut: 1. Perjanjian Kerja Kontrak harus ditulis dan harus menggunakan bahasa Indonesia sesuai dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin.” 2. Perjanjian Kerja Kontrak yang tidak dibuat tertulis dianggap sebagai Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan demikian pekerja menjadi pekerja tetap di perusahaan tersebut sesuai dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
22
Wiwiho Soedjono, 1983, Hukum Perjanjian Kerja, Cet. I, Bima Aksara. h. 5.
21
3. Perjanjian Kerja Kontrak tidak mempersyaratkan adanya masa percobaan sesuai dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.” 4. Apabila dalam Perjanjian Kerja Kontrak ditetapkan masa percobaan maka akan batal demi hukum sesuai dalam Pasal 58 ayat (2) Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.” 5. Perjanjian Kerja Kontrak tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat terus-menerus atau tidak terputus-putus, sesuai dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: jangka waktu; atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.” Adapun ciri-ciri pekerjaan yang dapat dibuat Perjanjian Kerja untuk Kontrak adalah sebagai berikut: 1. Jangka waktu pekerjaan tersebut tertentu atau terbatas 2. Jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh pekerja/buruh adalah tertentu bersifat, jenisnya dan kegiatanya selesai dalam jangka waktu tertentu
22
3. Pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan pokok dari suatu perusahaan atau hanya merupakan pekerjaan penunjang atau tambahan 4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru atau kegiatan baru atau tambahan yang dalam percobaan atau penjajakan. Adapun masa berakhirnya Perjanjian Kerja untuk Kontrak adalah sebagai berikut: 1. Untuk Perjanjian Kerja untuk Kontrak adalah yang sekali selesai dan predictable maka perjanjian kerja untuk waktu tertentu diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaruan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat diadakan satu kali dan paling lama dua tahun. 2. Apabila perjanjian kerja untuk kontrak diakhiri oleh salah satu pihak sebelum berakhirnya perjanjian kerja untuk kontrak, maka pihak yang mengakhiri harus mengganti rugi sebesar upah pekerja sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan sebaliknya jika kewajiban ganti rugi itu tidak terjadi apabila pekerjaan yang diprediksikan untuk jangka waktu tertentu lebih cepat diselesaikan. Bila demikian maka perjanjian kerja untuk kontrak dibuat akan berakhir dengan sendirinya sesuai dalam Pasal 62 ayat (1) UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja
23
waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.” Jika sampai perjanjian kerja untuk kontrak itu pekerjaan belum selesai juga selesai maka dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja untuk kontrak¸ pembaharuan perjanjian kerja untuk kontrak tersebut dapat dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Konsekuensinya selama 30 hari masa tenggang waktu tidak ada hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha. Keberadaan pegawai non pegawai negeri sipil yang bekerja di instansi pemerintah telah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Walaupun mereka bekerja pada tempat dan pekerjaan yang sama dengan pegawai negeri sipil, namun yang membedakan mereka terletak pada status hukumnya. Jadi seorang dikatakan sebagai pegawai negeri atau bukan pegawai negeri tidak terletak pada jenis pekerjaannya namun pada status hukum yang melekat pada masing-masing pegawai. Pengertian pegawai non Pegawai Negeri Sipil tidak ditemukan dalam literatur hukum kepegawaian. Namun dapat ditarik suatu pengertian mengenai hal tersebut dengan menafsirkan secara terbalik dari pengertian pegawai negeri. Bila Logemann mengatakan bahwa
pegawai
negeri adalah seseorang
yang
mengikatkan dirinya kepada perintah negara atau pemerintah dalam suatu hubungan dinas publik, maka dengan demikian pegawai non pegawai negeri sipil
24
adalah seseorang yang bekerja kepada negara bukan berdasarkan hubungan dinas publik. Sedangkan bila kita merujuk kepada pengertian pegawai negeri yang dibuat oleh undang-undang, maka kita juga dapat memberikan pengertian kepada pegawai non pegawai negeri sipil sebagai seseorang yang bekerja kepada negara atau pemerintah dalam hubungan hukum atau pengertian yang berbeda dengan pegawai negeri sipil. Dengan kata lain, mereka yang bekerja di pemerintah dengan dasar yang berbeda dengan pegawai negeri sipil adalah pegawai non pegawai negeri sipil. Dengan pengertian tersebut di atas maka pegawai non pegawai negeri sipil bentuknya bisa bermacam-macam, tergantung dengan kebutuhan instansi tersebut. Sastra Djatmika dan Marsono menyebutkan golongan-golongan pekerja yang tidak termasuk pegawai negeri tersebut, yakni (a) pejabat negara, (b) pekerja, (c) pegawai dengan ikatan dinas (lebih tepat perjanjian kerja) berdasar ketentuanketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil, (d) pegawai dengan ikatan dinas untuk waktu terbatas, (e) pegawai bulanan menurut Pasal 20 ayat (2) PGPS 1968, (f) pegawai desa, dan (g) pegawai perusahaan umum23. Pegawai-pegawai non PNS sebagaimana diatas diperkerjakan tidak secara tetap atau dalam jangka waktu tertentu baik secara harian, bulanan atau beberapa tahun.
23
Sastra Djatmika, 1990, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Penerbit Djambatan, Cetakan Kedelapan, Jakarta, h. 15
25
1.8 Metode Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini diperlukan ketersediaan data yang obyektif dan ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dan untuk memperoleh data tersebut dipergunakan metode sebagai berikut: 1.8.1 Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan adalah: Penelitian hukum sosioligis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, karena bertitik tolak dari data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan. Penelitian lapangan di lakukan melalui pengamatan (observasi), wawamcara ataupun penyebaran kuesioner24. 1.8.2 Jenis pendekatan Penelitian Hukum Empiris umumnya mengenal 7 jenis pendekatan, yaitu: Pendekatan
Kasus,
Pendekatan
Perundang-Undangan,
Pendekatan
Fakta,
Pendekatan Analisis Konsep Hukum, Pendekatan Frasa, Pendekatan Sejarah, dan Pendekatan Perbandingan25. Dari 7 Jenis-jenis pendekatan dalam penelitian hukum empiris seperti yang di uraikan di atas, penulis menggunakan jenis Pendekatan Fakta dan Pendekatan Perundang-undangan. Pendekatan fakta adalah pendekatan yang dilakukan dengan melihat langsung kondisi Tenaga Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung.
24 25
Bambang Wahyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16.
Fakultas Hukum Uiversitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 80.
26
Selain itu, dipergunakan juga pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang telah ditangani. Berkaitan dengan penelitian ini yang dijadikan acuan adalah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan eksistensi perlindungan hukum tenaga kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung. 1.8.3 Sifat penelitian Sifat
penelitian
ini
adalah
penelitian
deskriptif
yang
bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat26. Dalam penelitian ini memperkuat teori yang sudah ada dan dapat menggunakan data kualitatif. 1.8.4 Data dan sumber data Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 sumber data, yaitu: 1. Data primer (data lapangan) adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber asalnya dan belum diolah dan diuraikan oleh orang lain. 27 Data primer ini merupakan data yang diperoleh dari lapangan, yang dalam hal ini data dari hasil penelitian yang dilakukan di Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung.
26
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta h. 25. 27
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, h. 168.
27
2. Data
sekunder
adalah
data
yang
diperoleh
metode
library
research/penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berjudul laporan dan seterusnya berhubungan dengan masalah yang dibahas28. Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah: a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang dapat membantu dalam menganalisa dan memahami permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: 1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 3) Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279). 4) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. 5) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 220/Men/X/2004
tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. 6) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi No. Kep. 100/Men/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 28
Bambang Wahyo, op.cit. h. 16
28
7) Keputusan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penunjukan Tenaga Kontrak Staf Operasional Pemadam Kebakaran Tahun Anggran 2015 b. Bahan hukum sekunder yaitu sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikirian para ahli. Bahan hukum sekunder ini berupa jurnal-jurnal hukum, buku-buku hukum, dan hasil karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini bersumber dari Kamus besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. 1.8.5 Teknik pengumpulan data Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan pertanyaan-pertayaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawabn relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam berwanwancara peneliti menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide29. Wawancara dilakukan pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung. 1.8.6 Teknik pengolahan dan analisis data
29
Fakultas Hukum Uiversitas Udayana, op.cit, h. 82.
29
Untuk mendapatkan hasil atau jawaban atas permasalahan yang diteliti, maka keseluruhan data yang terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisa dari aspek praktek dan teorinya. Analisa data yang telah dilakukan adalah analisa kualitatif, dalam arti keseluruhan data yang terkumpul diklasifikasikan sedemikian rupa kemudian diambil yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas. Setelah data tersebut semua diolah, selanjutnya pembahasan disajikan secara analisis deskriptif yaitu memaparkan secara lengkap dan mendetail aspekaspek tertentu yang berkaitan dengan masalah, diberikan uraian-uraian dan memperoleh suatu kesimpulan yang ilmiah.