BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang secara umum dianggap penting dalam kehidupan seseorang. Pendidikan sejatinya bisa didapat dari mana saja dan kapan saja; formal dan informal. Pendidikan informal adalah yang didapat seseorang melalui lingkungan, keluarga, masyarakat, pengalaman, latihan/ training,
dan
sebagainya.
Sementara
pendidikan
formal
adalah
yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tertentu, mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Mahasiswa pada jenjang pendidikan tinggi sering dikatakan sebagai agent of changes, karena pendidikan tinggi diharapkan membentuk manusia/ lulusan yang dapat membawa perubahan bagi masyarakat dengan ilmu yang dimilikinya. Hal ini mengimplikasikan pentingnya peran lembaga perguruan tinggi sebagai jenjang tertinggi dalam sistem pendidikan formal. Pendidikan tinggi hendaknya dapat menghasilkan output atau lulusan berupa tenaga-tenaga ahli yang tidak hanya mumpuni bekerja di bidangnya, tetapi juga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 fungsi pendidikan tinggi adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan tridharma perguruan tinggi; 1
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai humaniora. Satuan pendidikan termasuk Universitas Gadjah Mada, pada dasarnya memiliki sistem untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi tahun 2008, menyebutkan bahwa sistem pendidikan tinggi sebagai sebuah kesatuan proses, memiliki empat tahapan pokok yaitu (1) masukan/ input; (2) proses; (3) luaran/ output; dan (4) hasil ikutan/ outcome. Masukan atau input bagi sebuah perguruan tinggi antara lain adalah dosen, mahasiswa, buku, staf administrasi dan teknisi, sarana dan prasarana, dana, dokumen kurikulum, dan lingkungan. Proses adalah proses pembelajaran, proses penelitian, proses manajemen perguruan tinggi secara keseluruhan. Luaran (output) adalah lulusan, hasil penelitian dan karya ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan lain-lain. Sementara hasil ikutan (outcome) antara lain adalah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap lulusan yang dihasilkan perguruan tinggi. Panduan Beasiswa Pendidikan Dalam Negeri DIKTI 2013, menyebutkan bahwa pendidikan jenjang pascasarjana merupakan salah satu program pendidikan tinggi yang secara umum bertujuan untuk dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi tinggi, berkarakter, berkemampuan sebagai pemimpin, dan mampu mengakses berbagai informasi terkini. Jenjang pendidikan pascasarjana diharapkan dapat memberikan kontribusi penting dalam berbagai isu pendidikan tinggi: pemerataan, relevansi, kualitas, pengembangan karakter, daya saing, dan internasionalisasi. 2
Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan seperti yang disebutkan di atas, diperlukan suatu sistem yang mendukung, yang dimulai dari tahap input calon mahasiswa melalui proses seleksi penerimaan mahasiswa baru. Sebagai suatu kesatuan sistem, setiap tahapan dari proses tersebut di atas, memiliki peran penting. Untuk dapat menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang berkualitas baik, diperlukan proses kegiatan belajar mengajar yang baik; untuk menunjang proses pembelajaran yang baik tersebut diperlukaninput yang berkualitas baik pula. Salah satu input dalam proses pendidikan di perguruan tinggi adalah mahasiswa. Untuk mendapatkan input calon mahasiswa yang berkualitas ini tentunya diperlukan proses seleksi yang baik pula. Secara umum, demand masyarakat terhadap pendidikan tinggi semakin meningkat, termasuk pada jenjang pascasarjana. Data dari Direktorat Akademik Universitas Gadjah Mada (DA UGM) menunjukkan bahwa jumlah pendaftar program pascasarjana di UGM tahun 2008-2012 adalah sebagi berikut: Tabel 1.1. Data selektivitas program pascasarjana UGM tahun 2008-2012, sumber DA UGM Tahun Jumlah Pendaftar Jumlah Diterima Akademik S2 S3 Total S2 S3 Total 2008 8.262 1.084 9.346 5.867 596 6.463 2009 10.755 1.599 12.354 6.408 761 7.169 2010 5.956 960 6.916 4.175 420 4.595 2011 6.457 631 7.088 4.810 382 5.192 2012 8.262 1.084 9.346 5.867 596 6.463 Seleksi penerimaan mahasiswa baru merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat bahwa pada tahap inilah input pendidikan berupa calon mahasiswa dapat disaring. Penyaringan ini harus dilakukan karena jumlah 3
peminat yang tinggi sedangkan kuota/ jumlah mahasiswa yang dapat diterima terbatas. Seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi juga bertujuan mendapatkan calon mahasiswa yang mempunyai kemampuan akademik untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Perguruan Tinggi sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan. Dalam proses seleksi penerimaan mahasiswa baru, ada banyak kriteria yang menjadi pertimbangan, salah satunya adalah penilaian terhadap prestasi yang sudah dimiliki oleh calon mahasiswa, misalnya nilai raport, IPK pendidikan jenjang sebelumnya, sertifikat kemampuan tertentu, termasuk kemampuan kognitif seperti Tes Potensi Akademik (TPA) dan kemampuan berbahasa asing tertentu. Penetapan syarat atau ketentuan penerimaan mahasiswa baru dengan tepat diharapkan dapat digunakan sebagai prediksi pencapaian prestasi akademik. Aboma (2009) menyebutkan bahwa mahasiswa yang memiliki prestasi baik pada jenjang pendidikan sebelumnya, secara umum juga memiliki potensi untuk menguasai suasana akademik yang berimplikasi pula pada kemampuan mahasiswa untuk mencapai prestasi akademik yang baik pada jenjang pendidikan selanjutnya. Dengan demikian, seleksi penerimaan mahasiswa baru dapat digunakan sebagai prediksi hasil proses belajar mahasiswa. Kerlinger (1996) menyatakan bahwa banyak pihak yang mempergunakan tes untuk tujuan prediksi guna menyaring serta memilih calon-calon yang berpotensi sukses di bidang pendidikan dan juga bidang-bidang lainnya seperti dalam seleksi pegawai untuk suatu pekerjaan tertentu. Penetapan kriteria/ persyaratan tertentu dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru juga dapat 4
memprediksikan keberhasilan siswa dalam menjalani proses pendidikan yang diterapkan di perguruan tingi. Keberhasilan mahasiswa tersebut dalam jangka pendek dapat ditunjukkan oleh prestasi belajar yang biasa diukur dengan menggunakan indeks prestasi (IP). Pada proses seleksi mahasiswa baru program pascasarjana di Universitas Gadjah Mada, salah satu komponen yang dinilai adalah kemampuan Bahasa Inggris. Untuk seleksi masuk program pascasarjana UGM kemampuan Bahasa Inggris dinilai melalui skor TOEFL (Test of English as a Foreign Language), baik TOEFL-like maupun skor ITP TOEFL, atau skor AcEPT (Academic English Proficiency Test), sebuah bentuk tes kemampuan Bahasa Inggris yang didesain oleh Pusat Bahasa UGM. Penerapan skor minimal TOEFL-like sebagai salah satu syarat dalam penerimaan mahasiswa baru jenjang pascasarjana di UGM ini mulai diberlakukan sejak ditetapkannya SK Rektor UGM nomor 519 tahun 2008. Pasal 15 ayat 2 dalam SK Rektor UGM No. 519/ 2008 menyebutkan bahwa salah satu syarat untuk dapat diterima sebagai mahasiswa program Master/ S2 di UGM adalah memiliki skor TOEFL minimal 450. Untuk jenjang pendidikan Doktor (S3) skor TOEFL yang dipersyaratkan adalah 500. Pada penerapannya, syarat skor TOEFL ini tidak sepenuhnya diberlakukan sebagai syarat masuk, akan tetapi menjadi syarat kelulusan dari program pascasarjana di UGM. Secara singkat proses seleksi calon mahasiswa pascasarjana UGM dapat digambarkan dalam bagan alir berikut:
5
Gambar 1.1. Bagan alur penerimaan mahasiswa baru program Pascasarjana UGM
Penilaian kemampuan Bahasa Inggris sebagai salah satu syarat pada seleksi penerimaan mahasiswa baru program pascasarjana tidak hanya diterapkan di UGM. Beberapa universitas lain juga menerapkan ketentuan syarat masuk pascasarjana yang memuat tentang persyaratan kemampuan Bahasa Inggris, diantaranya: -
Institut Teknologi Bandung: ITP TOEFL 475
-
Institut Teknologi Surabaya: tes Bahasa Inggris dari institusi yang diakui ITS, skor minimal 450
-
Universitas Diponegoro: TOEFL 500 (bagi program studi tertentu)
6
-
Universitas Udayana: Memiliki kemampuan berbahasa Inggris dengan nilai TOEFL 400 atau IELTS 4.0
-
Universitas Riau: memiliki hasil tes TOEFL minimal 450 (S2) yang diselenggarakan oleh lembaga yang berwenang untuk itu (dapat dipenuhi sebelum menempuh ujian tesis). Beberapa universitas lain seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas
Airlangga tidak menjadikan skor TOEFL sebagai syarat penerimaan mahasiswa baru program Master (S2) akan tetapi jika memiliki sertifikat TOEFL dapat dilampirkan (opsional). Tidak hanya di Indonesia, Marvin dan Mitchell (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa di Kanada -dimana Bahasa Ingris bukan merupakan bahasa utama- mayoritas universitas juga menerapkan syarat skor TOEFL dalam seleksi penerimaan mahasiswa barunya. Penelitan tersebut mengungkap bahwa pelamar dengan skor TOEFL kurang dari 550 sangat jarang diterima di universitas-universitas di Kanada. Studi yang mendalam tentang hubungan skor TOEFL yang diterapkan dalam seleksi masuk di universitas dengan prestasi akademik mahasiswa, khususnya di Indonesia, belum banyak ditemukan. Beberapa studi terkait hubungan Skor TOEFL dan prestasi akademik mahasiswa yang dapat penulis temukan dilakukan pada konteks mahasiswa asing dari non-english speaking countries yang mengikuti pendidikan di universitas dimana Bahasa Inggris menjadi bahasa pengantarnya.
7
Berdasarkan pengalaman penulis sebagai tenaga kependidikan di bagian administrasi akademik Universitas Gadjah Mada, pro kontra terkait aturan TOEFL sebagai syarat masuk atau syarat kelulusan ini cukup sering muncul. Bagi pihak yang mendukung penerapan skor TOEFL sebagai syarat masuk atau syarat lulus program S2, syarat ini dipandang sebagai bagian dari usaha mewujudkan visi universitas menjadi World Class Research University (WCRU). Kata „world class”
dalam
visi
UGM
ini
mengindikasikan
adanya
tujuan
menginternasionalisasikan universitas, sehingga Bahasa Inggris sebagai „bahasa dunia‟ dipandang wajar menjadi syarat penerimaan mahasiswa baru, khususnya pada jenjang pascasarjana. Visi UGM untuk menjadi World Class Research University ini juga sejalan dengan arah tujuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mendorong setiap perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk mampu berkontribusi pada jenjang internasional atau menjadi World Class University (WCU). Beberapa kegiatan yang difasilitasi oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) seperti program Sandwich-like, Scheme for Academic Mobility and Exchange/ SAME, dan Program Academic Recharging/ PAR, sebagai bagian dari usaha untuk mencapai tujuan WCU tersebut juga mensyaratkan kemampuan Bahasa Inggris pada level tertentu (www.dikti.go.id). Program beasiswa dalam negeri pun banyak yang mensyaratkan kemampuan Bahasa Inggris tertentu, misalnya Beasiswa Unggulan DIKTI bagi calon dosen untuk tahun 2014, mensyaratkan skor ITP TOEFL minimal 510. Pemberlakuan syarat TOEFL pada program-program DIKTI ini juga menguatkan alasan diberlakukannya ketentuan 8
skor TOEFL sebagai syarat penerimaan atau kelulusan program pascasarjana di UGM. Keberadaan buku acuan/ textbooks dan juga artikel ilmiah di perguruan tinggi yang mayoritas adalah dalam Bahasa Inggris juga menjadi salah satu pertimbangan yang sering diutarakan berbagai pihak terkait diperlukannya ketentuan kemampuan Bahasa Inggris. Mahasiswa yang memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik diharapkan dapat memahami buku acuan atau artikel ilmiah yang digunakan dalam perkuliahan, kemudian dapat membahasakan ulang baik secara lisan maupun tulisan apa yang sudah dipahaminya dari buku atau artikel tersebut. Sementara bagi pihak yang kontra, pemberlakuan syarat kemampuan Bahasa Inggris sebagai salah satu syarat masuk ini dianggap tidak perlu karena dalam praktiknya perkuliahan di UGM tidak menggunakan Bahasa Inggris. Alihalih sebagai pendorong pencapaian visi universitas sebagai WCRU, syarat skor TOEFL ini sering dikeluhkan menjadi kendala, baik bagi calon mahasiswa pascasarjana yang tidak lolos seleksi masuk, maupun bagi mahasiswa program pascasarjana yang sudah kuliah tetapi terkendala untuk lulus karena masih memiliki kewajiban untuk memenuhi skor TOEFL minimal sesuai persyaratan yang diberlakukan di UGM. Syarat skor TOEFL diberlakukan pada saat seleksi masuk, baru mulai diberlakukan pada tahun akademik 2010/2011. Pada tahun sebelumnya, skor TOEFL ini dijadikan syarat kelulusan. Beberapa program studi tertentu seperti Magister Manajemen, dan Program Pendidikan Dokter Spesialis, sudah 9
memberlakukan ketentuan minimal skor TOEFL sebagai syarat masuk sebelum tahun 2010. Pada tahun akademik 2013/2014 dan 2014/2015, ketentuan skor TOEFL minimal bagi program pascasarjana ini kembali mengalami perubahan kebijakan. Laman um.ugm.ac.id menginformasikan bahwa salah satu syarat pendaftaran program pascasarjana UGM adalah “mempunyai nilai tes kemampuan Bahasa Inggris dibuktikan dengan sertifikat yang masih berlaku” tanpa menyebutkan skor minimal yang dipersyaratkan. Syarat skor TOEFL minimal 450 untuk program S2 dan 500 untuk program S3 harus dipenuhi oleh mahasiswa sebelum mengikuti ujian tesis atau ujian komprehensif.
Perubahan kebijakan ketentuan skor TOEFL sebagai syarat masuk dan atau syarat kelulusan pada program pascasarjana di UGM ini menurut penulis menarik untuk dikaji. Melalui
penelitian dalam tugas akhir ini penulis akan
mengkaji hubungan kemampuan Bahasa Inggris yang diukur melalui skor TOEFL-like dengan prestasi akademik mahasiswa program pascasarjana UGM yang diukur melalui nilai Indeks Prestasi Kumulatif/ IPK, dan masa studinya. Secara spesifik penulis ingin mengetahui apakah ada perbedaan secara umum pada prestasi akademik mahasiswa ketika syarat skor TOEFL dipenuhi di depan sebagai syarat masuk dengan pemenuhan skor tersebut sebagai syarat kelulusan.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis merumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut:
10
a. Bagaimana gambaran kemampuan Bahasa Inggris yang dilihat melalui skor TOEFL-like mahasiswa baru program pascasarjana UGM angkatan 2008, 2009 dan 2010? b. Bagaimana performa akademik (IPK dan lama studi) mahasiswa program pascasarjana UGM angkatan tahun 2008, 2009 dan 2010? c. Bagaimana hubungan antara kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa program pascasarjana UGM dengan prestasi/ performa akademiknya (IPK dan lama studi)? d. Bagaimana perbedaan prestasi akademik mahasiswa yang memenuhi skor TOEFL
sebagai
syarat
penerimaan
pada
program
pascasarjana
dibandingkan dengan yang memenuhi skor TOEFL sebagai syarat kelulusan dari program pascasarjana?
1.3. BATASAN MASALAH
Batasan masalah berguna untuk menjaga agar penelitian fokus kepada permasalahan yang akan diteliti dan tidak semakin meluas. Dalam penelitian ini, masalah yang akan dikaji dibatasi pada hubungan kemampuan Bahasa Inggris dengan prestasi akademik mahasiswa program pascasarjana UGM tahun 2008, 2009, dan 2010. Melalui penelitian ini penulis akan melihat bagaimana korelasi antara kemampuan Bahasa Inggris yang dinilai melalui skor TOEFL dengan prestasi akademik mahasiswa, yang dilihat melalui instrumen IPK dan masa studi, serta bagaimana perbedaan prestasi akademik mahasiswa yang memenuhi skor
11
TOEFL sebagai syarat penerimaan mahasiswa baru dengan syarat kelulusan dari program pascasarjana UGM. 1.4. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui gambaran kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa program pascasarjana UGM angkatan 2008, 2009 dan 2010 yang dilihat melalui skor TOEFL-like. 2. Mengetahui performa akademik mahasiswa program pascasarjana UGM angkatan 2008, 2009 dan 2010, yang akan dilihat melalui nilai IPK, dan lama masa studi mahasiswa 3. Mengetahui korelasi antara kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa program pascasarjana UGM dengan prestasi akademiknya. 4. Mengetahui bagaimana perbedaan prestasi akademik mahasiswa yang memenuhi skor TOEFL sebagai syarat penerimaan pada program pascasarjana dibandingkan dengan yang memenuhi skor TOEFL sebagai syarat kelulusan dari program pascasarjana?
1.5 MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa program pascasarjana UGM, dan hubungannya dengan prestasi akademik mahasiswa. Korelasi antara kemampuan 12
Bahasa Inggris dan prestasi akademik mahasiswa program pascasarjana ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai bahan pertimbangan bagi pimpinan universitas dalam penyusunan kebijakan, termasuk kebijakan terkait penerimaan mahasiswa baru dan atau kebijakan syarat kelulusan mahasiswa dari program pascasarjana di UGM.
13