BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Partisipasi merupakan aspek penting dari demokrasi . 1 Partisipasi politik di negaranegara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warganegara, tetapi dalam kenyataan persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua warga negara ikut serta dalam proses politik. Di negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Partisipasi politik merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara yang kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional dan sifat kepemimpinan politiknya ditentukan oleh segolongan elit penguasa, maka partisipasi warganegara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara relatif sangat rendah. Sementara itu di negara yang proses modernisasi politiknya telah berjalan baik, maka tingkat partisipasi politik warga negara cenderung meningkat. Pemilihan umum 2009 merupakan pemilu ketiga setelah reformasi bergulir, dan berkembang banyak wacana seputar pelaksanaannya. Pembicaraan, perdebatan dan diskusi banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat yang mengupas masalah-masalah pemilu, partai politik, electoral threshold dan yang tidak ketinggalan juga partisipasi politik perempuan dalam kehidupan berbangsa yang dalam hal ini dimanifestasikan dalam lembagalembaga politik.
1
Herbert Mc.Closky, International Encyclopedi of the Social Sciences, dalam Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 285.
Universitas Sumatera Utara
Menggagas peran perempuan dalam politik Indonesia masih terlihat sebagai cerita klasik yang menempati ruang pinggir diskursus kontemporer selama lebih kurang lima dekade. Perjuangan Kartini pada masa pra kemerdekaan menemukan relevansinya bahwa domistikasi peran perempuan, ketidaksetaraan kesempatan dalam pendidikan dan peran publik bukan merupakan hal baru. Posisi perempuan yang cenderung dinomorduakan menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini, mengingat perempuan seharusnya turut mengambil peran yang penting dalam pembangunan. Perempuan selalu diasosiasikan mengambil peran sebatas urusan-urusan domestik yang hanya seputar rumah tangga. Hal ini bukan suatu kebetulan tapi sudah menjadi konstruksi budaya yang sudah menjadi tradisi dan merugikan pihak perempuan, karena akan berimbas kepada ketidakadilan dalam mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam kehidupan politik. Negara yang menganut sistem nilai patriarkal seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias ke arah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini memberi kemudahan bagi perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, termasuk di dalamnya isu politik. Pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam
Universitas Sumatera Utara
politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-organisasi partai. 2 Berbeda dengan periode Orde Lama (Era Soekarno), pada masa Orde Baru (era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat, sejumlah tertentu elit. Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga/ kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat (orang), tetapi simbol partai, untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam proses pencalonan/pemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan mengartikulasikan kepentingan konstituennya. Berdasarkan kajian dan pengamatan para analis politik dinyatakan bahwa pemilu di Indonesia pada masa Orde Baru lebih sebagai sebuah pemilu yang memenuhi prosedur demokrasi, tidak secara substantif. Pemilu pada masa ini lebih sebagai sebuah rutinitas bagi sebuah negara demokratis, sehingga terkesan ada rotasi kekuasaan sebagai sebuah prasyarat demokrasi. 3 Hal ini disebabkan ketidakstabilan politik akibat tarik menarik antarkekuatan partai politik dengan kekuatan lain yang memiliki peran kuat yakni militer, yang memiliki hubungan khusus dengan partai Golkar. Pemilihan umum 1999, proses pemilihan mengalami perubahan cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif, termasuk perempuan, harus disetujui oleh daerah, para pengambil keputusan partai di daerah (hal ini tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi). Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilu, antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, 2
http://www.padang-today.com/index.php?today=article&j=1&id=555, diakses pada tanggal 28 November 2010, pukul 11:28. 3 Afan Gafar, Politik Indonesia, Transis Menuju Demokrasi,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 251-254.
Universitas Sumatera Utara
ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu. Pemilu 1999 menghasilkan 44 orang yang duduk di DPR atau sekitar 8,9%. 4 Kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik pada tahun 2004 terbuka lebar dengan dicantumkannya kuota 30 persen sebagai nominasi calon legislatif dalam undang-undang pemilihan umum. Hal ini merupakan terobosan positif yang masih sangat awal bagi peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia khususnya diparlemen. Hal lain yang turut memberi warna pada pemilu kali ini adalah adanya ketentuan kuota minimal sebesar 30% untuk calon anggota legislatif perempuan. Perubahan ini tentu saja akan membawa implikasi politik yang cukup menyegarkan bagi kehidupan politik di masa mendatang. Bagaimanapun, selama ini kehidupan politik di Indonesia memang banyak didominasi oleh mainstream ideologi patriarkat. Hasil pemilu tahun 2004 menempatkan 65 orang (11,82%) perempuan di lembaga DPR, hanya meningkat sedikit apabila dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Sementara di lembaga DPD jumlah perempuan lebih besar, mencapai 29 orang (21,09%). 5 Di lembaga legislatif, keterwakilan politik perempuan dalam parlemen berada pada peringkat-89 dari 189 negara. 6 Pencantuman kuota 30 persen bagi perempuan ternyata tidak cukup untuk mewujudkan peningkatan partisipasi politik perempuan karena hal ini tidak memberikan pengaruh yang significant terhadap keterwakilan perempuan di parlemen, mengingat pencantuman kuota 30 persen pada pemilu 2004 hanya sekedar syarat yang tekesan ’basa-basi’ untuk menyenangkan kaum perempuan karena pada akhirnya laki-laki yang akan masuk ke parlemen. Banyak hal yang mempengaruhi hal tersebut, disamping calon legislatif perempuan ditempatkan pada nomor urut bawah juga mereka bukanlah pengurus
4
Panduan Rencana Aksi Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, Deputi Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Tahun 2006, hal. 5. 5 Ibid. 6 Kuota Perempuan Tantangan Partai Politik, Media Indonesia, 2 September 2008, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
’teras’ partai. Mereka menjadi calon hanya sekedar untuk melengkapi kuota calon perempuan 30 persen. Memperkuat partisipasi politik perempuan perlu penguatan peran dan kesempatan yang sama baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk terlibat dalam politik yang dimulai dari keterlibatan langsung dengan cara memasukkan porsi perempuan yang lebih besar dalam struktur partai politik. Hal ini diatur dalam undang-undang partai politik dan setiap partai politik wajib untuk mengikutinya sebagai bagian dari upaya keberpihakan kepada perempuan dan untuk memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Menurut Sanit, anggota masyarakat perlu mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan, dengan kata lain setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan semestinya terlibat dalam proses pembangunan terutama di bidang politik. Dengan demikian, keinginan dan harapan setiap warga negara dapat terakomodasi melalui sistem politik yang terbangun. 7 Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilainilai demokrasi dalam masyarakat tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap 7
Sanit Arbi, Perwakilan Politik Indonesia. Jakarta : CV. Rajawali, 1985, hal. 203.
Universitas Sumatera Utara
warga negara untuk menikmatinya. Dalam kehidupan sosial bernegara, setiap warga negara pada dasarnya tidak ada pembedaan atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Termasuk dalam hal ini adalah hak berpolitik, hak untuk memberikan pendapat dan hak untuk melakukan koreksi atas pemerintahan. Semua hal tersebut tentunya dilaksanakan dengan cara-cara dan mekanisme yang telah diatur oleh sistem pemerintahan. Pemilu 2009 memiliki banyak sisi yang unik untuk dikaji, salah satunya adalah keterlibatan perempuan dalam pemilu. Sejarah perpolitikan di Indonesia maupun negara berkembang lain, pada umumnya peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan yang memegang jabatan publik masih sangat sedikit. Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada tingkat pusat, tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah. Berdasarkan sejarah tradisi budaya Indonesia, kedudukan perempuan cenderung terbatas, yang dimulai dari diri perempun itu sendiri yang didominasi oleh sistem patriarki, hingga pada faktor eksternal yang juga berperan dalam membatasi peran perempuan di ruang publik maupun parlemen. Sejarah sistem politik di sebagian besar negara juga menunjukan adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam proses politik, mulai tingkat lokal hingga nasional. Hal ini mengkibatkan terpotongnya akses perempuan dalam partisipasi politik dan terdiskriminasi dalam sistem politik. Peran dan status perempuan dewasa ini lebih dipengaruhi oleh masa lampau, kultur, ideologi, dan praktek hidup sehari-hari. Inilah yang menjadi kunci mengapa partisipasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengalami kelemahan. Kini gerbang demokrasi telah terbuka dengan lebar dan peluang perempuan untuk turut mengaktualisasikan dirinya juga telah dijamin. Adanya
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 yang mengatur tentang kuota 30% sebagai salah satu syarat bagi pencalonan anggota legislatif oleh partai politik tentunya secara logika mampu mendobrak stagnasi kuantitas perempuan di wilayah publik. Partisipasi politik
perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya
pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menghasilkan instrument hukum yang sensitif gender, yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan. Dalam konteks pemilu tahun 2009, kesertaan perempuan di dalamnya merupakan suatu proses penting yang menyangkut sejauh mana perempuan itu menerima sejumlah orientasi dan nilai-nilai tentang pemilu.
Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara, bahwa dengan terbukanya kran demokrasi yang luas memungkinkan untuk setiap elemen bangsa berperan dalam proses pembangunan. Dalam proses pembangunan terutama dalam bidang politik, sejatinya seluruh elemen terlibat termasuk dari kalangan perempuan. Dengan terlibatnya perempuan dalam pembangunan ini diharapkan mampu menghadirkan nilai-nilai perbaikan. Partisipasi politik elit politik perempuan dalam pemilu bukan hanya memilih wakilwakil rakyat saja namun elit politik perempuan dalam kegiatan pemilu juga dimungkinkan untuk memilih bentuk-bentuk partisipasi yang lain. Hal ini didasarkan pada karakter manusia yang memiliki kebebasan, kreatifitas, serta keyakinan untuk memilih, menggunakan, dan mengevaluasi cara, prosedur, metode, dan perangkat dalam merealisasikan orientasinya tersebut. Keikutsertaan elit politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong elit politik perempuan dalam berpartisipasi. Motif inilah yang kemudian menentukan bentuk partisipasi politik elit politik perempuan di Kota Pematangsiantar. Partisipasi perempuan dalam proses politik merupakan keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan politik. Partisipasi perempuan sangat berhubungan dengan sosilisasi politik
Universitas Sumatera Utara
yang dilaminya. Sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat .8 Merujuk pada deskripsi di atas Penulis tertarik untuk mengangkat wacana perempuan di Pematangsiantar, dimana dalam kelembagaan legislatif sebagai permasalahan yang akan diteliti penulis tidak terpenuhinya kuota 30% perwakilan politik perempuan. Adapun fokus penelitian ini adalah partisipasi politik elit politik perempuan di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar, dengan menguraikan dan menganalisa bagaimana bentuk dan motif partisipasi elit politik perempuan pada Pemilu tahun 2009. Kajian mengenai partai politik merupakan aspek penting demokrasi . 9 Salah satunya adalah mengenai partisipasi politik rakyat, yang pertama partisipasi dalam menetukan arah kebijakan dan yang kedua dalam membuat suatu perundang-undangan. Oleh karena itu kajian mengenai partai politik akan terkait dengan studi mengenai Pemilihan Umum. Partai Demokrat hadir sebagai partai politik dengan tampilan berbeda dari partai politik lainnya. Banyak prestasi dan kemenangan yang diraih Partai Demokrat pada dua periode pemilihan umum belakangan ini (pemilu 2004 dan 2009), beberapa diantaranya seperti dalam pemenangan Soesilo Bambang Yudoyono dalam 2 periode jabatan presiden, dan menjadi Partai Politik yang memiliki jumlah anggota dewan perempuan yang terbesar. Pada Pilkada 2004, Partai Demokrat juga berhasil memenangkan R.E Siahaan menjadi Walikota Pematangsiantar. Di Pematangsiantar Partai Demokrat merupakan partai pemenang pada Pemilihan Umum Legislatif 2009. Suara perempuan memiliki peranan yang sangat vital bagi Partai Demokrat, pada pemilihan Legislatif dan SBY pada pemilihan Presiden. Data exit poll Lembaga Survei Indonesia menunjukkan bahwa SBY didukung oleh 66% pemilih perempuan. Hasil pemilu
8
Syahrial Sarbaini,. Sosiologi dan Politik, Jakarta : Kahlia Indonesia, 2002, hal. 73. Maswadi Rauf, Jurnal Politika (Partai Politik dan Sistem Kepartaian), Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006, hal. 7
9
Universitas Sumatera Utara
legislatif menunjukkan bahwa Paetai Demokrat memiliki jumlah anggota dewan perempuan yang terbesar dari sisi jumlah maupun proporsi. 10 Menanggapi
kuota 30% bagi keterwakilan perempuan, Partai Demokrat juga
menyambut baik dan mendukung aturan tersebut. Karna Partai Demokrat merupakan salah satu partai yang memiliki banyak kader perempuan. Hal ini juga sejalan dengan visi dan misi Partai Demokrat. Visi Partai Demokrat menekankan pentingnya kita berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan. Pada misi ketiga Partai Demokrat ditegaskan kembali tujuan untuk memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan. Dengan demikian sangat jelas dukungan Partai Demokrat dalam upaya pemberdayaan politik perempuan. Hal inilah yang membuat Penulis tertarik untuk memilih Partai Demokrat sebagai objek penelitian, dan partai Demokrat mewakili seluruh partai yang ada di Indonesia untuk melihat bagaimana bentuk-bentuk partisipasi elit poplitik perempuan dan sejauh mana keterwakilan politik Perempuan di Parlemen. Adapun alasan yang melatarbelakangi Penulis memilih lokasi Penelitian di DPC Partai Demokrat Pematangsiantar karna merupakan kota asal Penulis, dengan demikian diharapkan lebih praktis dalam pengambilan dan pengolahan data yang akan memudahkan Penulis dalam proses penelitian. Perempuan merupakan salah satu entitas yang memiliki potensi, kemampuan, dan kelebihan yang tidak kalah dengan laki-laki. Atas dasar kenyataan inilah kemudian peneliti mengambil judul “Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di DPC Partai Demokrat Kota Pematangsiantar (Studi Kasus pada Pemilihan Umum 2009)”.
10
FN: LSI, Arah Baru Peilaku Pemilih, Exit Poll 8 Juli 2009, Lembaga Survei Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Menjelaskan jalannya penelitian perlu adanya batasan operasional agar orang lain yang berkepentingan dalam penelitian ini mempunyai persepsi yang sama dengan peneliti. Batasan operasional yang perlu ditegaskan adalah : 1. Menurut Huntington dan Nelson partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak (turut ambil bagian) sebagai pribadi-pribadi yang di maksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah. 11 2. Elit merupakan istilah yang menunjuk kepada suatu minoritas-minoritas pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektifitas dengan cara yang bernilai sosial sebagai minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggung jawab. 12 Elit politik menurut Harold Laswell merupakan sekelompok kecil orang yang memegang posisi dan peranan penting dalam masyarakat, mereka memperoleh sebagian besar dari apa saja dan mereka termasuk dalam kelompok elit berpengaruh. Adapun elit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengurus perempuan di DPC Partai Demokrat Kota Pematangsiantar. 3. Perempuan adalah orang (manusia) yang memiliki kodrat. Yang dimaksud dengan kodrat di sini adalah perbedaan yang mendasar dan hakiki yang tidak dimiliki oleh laki-laki.Menurut Teori nature perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara keduanya memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran yang tidak dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak dapat dipertukarkan.
13
Hal inilah yang membedakan elit politik perempuan dengan elit politik laki-laki. 4. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang 1945 yang
11
Samuel P. Huntington, dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 9. 12 Arsal Thriwaty, Partisipasi Politik Elit Agama Islam di Kota Magelang, FIS Unnes, 2004, hal. 5. 13
Sri Sundari Sasongko, Konsep dan Teori Gender, Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN, 2009, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pemilu yang menjadi bahan penelitian Penulis adalah pemilu legislatif 2009 di Pematangsiantar.
2. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan penjelasan dan penjabaran dari identifikasi dan pembatasan masalah 14.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang
masalah di atas, maka permasalahan utama yang akan menjadi bahan analisa Penulis dalam penelitian yaitu : 1. Bagaimana bentuk
partisipasi politik elit politik perempuan di Partai
Demokrat Kota Pematangsiantar? 2. Bagaimana partisipasi politik
perempuan di Partai Demokrat
Kota
Pematangsiantar dilihat dari tingkat keterwakilannya?
3. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah adalah usaha menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan demi mendapatkan hasil uraian yang sistematis, diperlukan adanya pembatasan masalah atau disebut ruang lingkup penelitian. Pembatasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup penelitian tersebut. Adapun berdasarkan perumusan masalah di atas, yang menjadi batasan dan fokus masalah penelitian ini adalah penelitian hanya dilakukan di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar dan penelitian hanya dilakukan untuk mengetahui bentuk partisipasi politik elit politik perempuan pada Pemilu 2009 di Pematangsiantar.
14
Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta, Bumi Aksara, 2004, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan motif partisipasi elit politik perempuan di Partai Demokrat Kota Pematangsiantar. 2. Untuk mengetahui partisipasi elit politik perempuan di Partai Demokrat Kota Pematangsiantar dilihat dari tingkat keterwakilannya.
5. Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat untuk orang lain terlebih lagi bagi ilmi pengetahuan. Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah kemampuan dalam membuat karya tulis ilmiah, serta melalui penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai permasalahan yang diteliti. 2. Secara akademis dapat menambah referensi bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai partisipasi politik elit politik perempuan. 6. Kerangka Teori 6. 1. Teori Partisipasi Politik 6. 1. 1. Konseptualisasi Partisipasi Politik Partisipasi merupakan masalah yang cukup rumit di negara berkembang. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju
Universitas Sumatera Utara
dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan. Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri 15. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Para ilmuwan dan pakar politik telah banyak memberi batasan lebih mengenai partisipasi politik. Menurut Huntington dan Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah. 16 Dalam konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik itu bersifat otonom atau mobilisasi. Hal ini terjadi menurut Huntington dan Nelson, disebabkan oleh sejumlah alasan berikut: Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. 17 Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Baik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik.
15
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo. 1990, hal. 140. Samuel P. Huntington, dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 9. 17 Kamaruddin, Partai PoLitik Islam di Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004. Jakarta : Visi Publishing, 2003. hal. 94. 16
Universitas Sumatera Utara
Di samping konseptualisasi dari partisipasi politik di atas, Lane dalam Rush dan Althoff18 menyatakan bahwa Partisipasi politik juga memiliki empat fungsi, yaitu: •
Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis,
•
Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial,
•
Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus,
•
Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan bawah sadar dan psikologis tertentu.
Samuel P Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi: 1. Kegiatan pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu. 2. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu. 3. Kegiatan organisasi, yaitu partsipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. 4. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringna dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka. 5. Tindakan kekerasan (violence), yaitu tindakan individu atau kelompok untuk mempengauhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk disini adalah huru-hara, terror, kudeta, pembunuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan. 19 Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson di atas, telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Oleh sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan dalam klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk
18
Michael Rush, dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 181. 19 Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, op.cit, hal. 16-19.
Universitas Sumatera Utara
partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.
6. 1. 2. Tipologi Partisipasi Politik Surbakti mengkategorikan kegiatan partisipasi politik dengan sejumlah kriteria “rambu-rambu” yang menjadi konseptualisasi dari partisipasi politik itu sendiri. Pertama, partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal ini perlu ditegaskan karena sikap dan orientasi individu tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya. Kedua, kegiatan ini diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksanaan keputusan politik. 20 . Partisipasi sebagai kegiatan dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Yang termasuk dalam kategori partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, kegiatan yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa kegiatan yang menaati pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah 21. Dengan kata lain, partisipasi aktif berarti kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output politik, sedangkan partisipasi pasif merupakan kegiatan yang berorientasi pada proses output. Di samping itu, terdapat sejumlah anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori partisipasi aktif maupun partisipasi pasif karena mereka menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini disebut dengan apatis 20 21
Surbakti Ramlan, op. cit., hal. 141. Ibid., hal. 142.
Universitas Sumatera Utara
atau golongan putih (golput). Menurut Olsen partisipasi dapat dipandang sebagai dimensi utama stratifikasi sosial. Dia membagi partisipasi politik menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik, aktivis politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik lainnya kepada orang lain), warga negara, marginal, (orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan system politik), dan orang yang terisolasikan (orang yang jarang melakukan partisipasi politik). 22 Perspektif lainnya, Roth dan Wilson menguraikan bentuk partisipasi politik warga negara berdasarkan intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas partisipasi tertinggi sebagai aktivis.
23
Bila dijenjangkan, intensitas kegiatan politik warga negara tersebut membentuk segitiga serupa dengan warga negara.Karena seperti piramida, bagian mayoritas partispasi politik warga negara terletak di bawah. Ini berarti intensitas partisipasi politik warga negara kebanyakan berada pada jenjang pengamat. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini biasanya melakukan kegiatan politik seperti: menghadiri rapat umum, menjadi anggota partai/kelompok kepentingan, membicarakan masalah politik mengikuti perkembangan politik melalui media massa, dan memberikan suara dalam pemilu. Setingkat lebih maju dari kelompok pengamat yang terletak di tengah-tengah piramida partisipasi politik ialah kelompok partisipan. Pada jenjang partisipan ini aktivitas partisipasi politik yang sering dilakukan adalah menjadi petugas kampanye, menjadi anggota aktif dari partai/kelompok kepentingan, dan aktif dalam proyek-proyek sosial. Kelompok terakhir yang terletak di bagian paling atas dari piramida partisipasi politik adalah kelompok aktivis. Warga yang termasuk dalam kategori aktivis sedikit jumlahnya. Kegiatan politik pada jenjang aktivis ini adalah seperti menjadi pejabat partai sepenuh waktu, 22 23
Surbakti Ramlan, Op.Cit., hal. 143. Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
pemimpin partai/kelompok kepentingan. Di samping itu, ada juga warga yang tidak termasuk dalam piramida ini, mereka adalah kelompok warga yang sama sekali tidak terlibat dan tidak melakukan kegiatan politik. Mereka ini oleh Roth dan Wilson disebut sebagai orang yang apolitis.
6. 2. Teori Elit Studi tentang elit menjadi studi yang menarik untuk dikaji sebagai istilah yang menunjuk pada minoritas-minoritas pribadi, yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan cara yang
bernilai sosial sebagai
minoritas-minoritas yang
efektif dan
bertanggungjawab. Teori elit dibangun di atas pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elit, baik elit politik maupun elit agama tidak dapat dielakkan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba kompleks. Dalam sejarahnya, jumlah elit cenderung lebih sedikit akibat legitimasi dari masyarakat demikian berat. Ada dua tradisi akademik tentang elit. Dalam tradisi yang lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Dalam pendekatan yang lebih baru, elit dipandang sebagai suatu kelompok yang menghimpun para petinggi pemerintahan. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin atau pembuat keputusan 24.
24
Arsal Thriwaty, Partisipasi Politik Elit Agama Islam di Kota Magelang. FIS Unnes,2004, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat yang menganut paham demokrasi, maka keberadaan elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller 25 mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit yakni: (1) pertumbuhan penduduk, (2) pertumbuhan spesialisasi jabatan, (3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi, (4) perkembangan keagamaan moral. Konsekuensinya, kaum elitpun semakin banyak, semakin beragam, dan lebih bersifat otonom. Huky26 membagi elit ke dalam tiga kategori : 1. Elit karena kekayaan. Kekayaan menjadi suatu sumber kekuasaan. Orang-orang kaya tergabung ke dalam group tertentu baik bersifat konkrit maupun abstrak dan mengontrol masyarakat di sekitarnya, seperti majikan dengan posisi elit dalam mengontrol bawahannya. 2. Elit karena eksekutif. Group ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai posisi strategis dalam strategi di bidang tertentu. Dengan posisi yang strategis ini, ia memperoleh kekuasaan mengontrol dan mempengaruhi orang lain. Misalnya pejabatpejabat pemerintah pada kedudukan yang strategis. 3. Elit komunitas. Orang-orang tertentu dalam suatu komunitas dipandang sebagai kelompok yang dapat mempengaruhi kelompok lain. Secara umum, elit merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukankedudukan tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit juga ditunjukkan oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu dan khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elit cenderung lebih menekankan kepada elit politik dengan merujuk pada pembagian 25
Keller Suzanne, Penguasa dan Kelompok Elit, Peranan Elit penentu dalam Masyarakat Modern. PT. Raja Grafindo Persada, 1995. hal. 87. 26 Arsal Thriwaty, Op.Cit., hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
elit penguasa dan elit yang tidak berkuasa yang mengarah kepada adanya kepentingan yang berbeda. Elit politik merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam pemahaman, pemaparan, dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan selain itu, elit politik juga merupakan individu yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam peran dan fungsinya di tengah masyarakat. Sehingga dengan kedudukan yang istimewa inilah kemudian elit menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Elit politik atau politisi menurut Harold Laswell merupakan sekelompok kecil orang yang memegang posisi dan peranan penting dalam masyarakat, mereka memperoleh sebagian besar dari apa saja dan mereka termasuk dalam kelompok elit berpengaruh.
6. 3. Teori Gender Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’. 27 Kata ‘gender’ bisa diartikan
27
John M. Echols dan Hassan Shadily,Kamus Inggris Indonesia,Jakarta: Gramedia, 1983, hal. 265.
Universitas Sumatera Utara
sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku. 28 Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. 29 Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu, lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. 30 Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin. 31 Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang. Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-
28
Victoria Neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary, New York: Websters New World Clevenland, 1984, hal. 561. 29 Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, London: Myfield Publishing Company,1993 hal.4. 30 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet.I, 2004, hal. 4. 31 John M. Echols dan Hassan Shadily, op.cit, hal. 517.
Universitas Sumatera Utara
olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat. Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. 6. 4. Keterwakilan Politik Perempuan Salah satu konsep kunci dalam Ilmu Politik untuk mengukur partisipasi perempuan dalam politik adalah keterwakilan politik. Keterwakilan politik diartikan sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Keterwakilan politik (political representativeness) tersebut ditentukan oleh system perwakilan politik yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Keterwakilan politik diukur dari kemampuan wakil-wakil untuk bertindak atas nama yang pihak yang diwakili. 32 Menurut Syafiq Hasyim, masalah perempuan dan politik di Indonesia terhimpun sedikitnya dalam 4 (empat) isu, yaitu: • keterwakilan politik perempuan yang sangat rendah di ruang publik, • komitmen partai politik yang belum sensitif gender, sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan, • kendala nilai-nilai budaya, dan interpretasi ajaran agama yang bias gender, dan bias nilai-nilai patriarki, dan
32
Arbi, Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1985, hal. 206.
Universitas Sumatera Utara
•
minat, hasrat, animo para perempuan untuk terjun dalam kancah politik yang rendah, tetapi untuk yang terakhir ini perlu dilakukan pengkajian lebih dalam. 33
Secara konsepsional, keterwakilan politik berawal dari pemilihan umum. Artinya Pemilihan Umum yang merupakan proses seleksi pemimpin akan menumbuhkan rasa keterwakilan politik di kalangan masyarakat luas, sebab pemimpin yang muncul di pusat kekuasaan disaring/diseleksi oleh pemilih. Begitupula halnya jika Pemilu berperan sebagai sarana bagi
masyarakat untuk menyeleksi kebijaksanaan sesuai dengan garis besar
kepentingan mereka.
34
6. 5. Hubungan Partai Politik dengan Partisipasi Politik Perempuan Partai politik merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembentukan kekuasaan Negara. Partai politik juga menjadi sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk
menjunjung
tinggi kebebasan
yang
bertanggungjawab. 35 Melalui partai politiklah berbagai kepentingan masyarakat akan diserap dan diadopsi dalam berbagai bentuk kebijakan negara yang dirumuskan oleh badan legislatif yang menjadi ranah formal dari berlakunya fungsi-fungsi partai politik. Kajian mengenai partai politik merupakan salah satu aspek penting demokrasi. 36 Salah satunya adalah mengenai partisipasi politik rakyat, baik mengenai partisipasi dalam menentukan arah kebijakan dan maupun dalam membuat suatu perundang-undangan. Demikian, kajian mengenai partai politik akan terkait dengan studi mengenai pemilihan 33
. Hasyim Syafiq, Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, hal. 124.
34
Sanit Arbi, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1998, hal. 193-194. Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, hal.16 36 Maswadi Rauf, I Jurna POlitika ( Partai :POitik dan Sistem Kepartaian di Indonesia, antara kenyataan dan harapan), Jakrta, Akbar tanjung Institute, 2006. Hal. 7. 35
Universitas Sumatera Utara
umum. Partai politik merupakan kendaraan politik untuk terselenggaranya pemilu dan sebagai suatu institusi yang mempunyai struktur organisasi di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Syarbaini mendefinisikan partai politik sebagai kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang mempersatukan, dan dimotivasi oleh ideologi tertentu. Fungsi-fungsi partai politik dalam Negara demokrasi adalah melaksanakan fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemandu kepentingan, kontrol kepentingan dan sebagainya.
37
Menggerakkan pemilu dibutuhkan peserta pemilu yang diwakili oleh partai politik. Hal ini tergambar dari tujuan umum dan tujuan khusus partai politik. Tujuan umum partai politik antara lain: 38 a. Mewujudakan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, b. Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, c. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan d. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia Adapun tujuan khusus partai politik antara lain: 39 a. Meningkatkan
partisipasi
politik
anggota
dan
masyarakat
dalam
rangka
penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan b. Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
37
Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002, hal 48. Pasal 10 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2008. 39 Pasal 10 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2008. 38
Universitas Sumatera Utara
Perempuan dan kepentingannya dalam partai politik seringkali kurang diperhatikan. Pandangan ini sebenarnya berangkat dari pemahaman atau budaya yang tidak peka terhadap keadilan relasi. Iklim partai politik yang cenderung mereduksi politik sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan tidak memiliki komitmen dan kepedulian terhadap persoalanpersoalan yang membutuhkan komitmen tinggi, serta persoalan diskriminasi kekerasan terhadap perempuan. Sekalipun terdapat divisi pemberdayaan perempuan dalam partai politik, belum dipergunakan secara maksimal demi mengangkat perempuan ke panggung politik. Suara perempuan dalam partai politik pun mengalami hambatan karna jumlahnya yang rendah, hinga tersingkir oleh mayoritas (laki-laki). Partai politik terutama diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk dapat terjun dalam bidang politik dan meningkatkan kualitas perempuan-perempuan yang ada di partai politik. Partai politik jangan hanya menjadikan perempuan sebagai objek propaganda politik saja tetapi juga diharapkan mampu memberikan pendidikan politik dan menjadikan perempuan sebagai ’subjek’ untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam berpolitik. Selain itu, peran parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan rekrutmen serta sosialisasi politik juga harus terus ditingkatkan. Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan bagian dari keandalan perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang signifikan seperti halnya laki-laki. Demikian, keterwakilan perempuan dalam pemerintahan baik di lembaga eksekutif maupun legislatif sangat penting. Keterwakilan perempuan di legislatif akan memudahkan akses perempuan untuk mengawasi dan menyalurkan kebijakan-kebijakan yang belum
Universitas Sumatera Utara
dianggap adil bagi hak-hak perempuan. Duduknya perempuan dalam lembaga-lembaga tersebut, maka dapat terlibat langsung dalam proses kebijakan sebagai pembuat keputusan (decision maker).
7. Metode Penelitian 7. 1. Jenis Penelitian Penelitian menggunakan jenis penelitian deskriptif. Adapun metode deskriptif adalah suatu bentuk menerangkan hasil penelitian yang bersifat memaparkan sejelas-jelasnya tentang apa yang diperoleh di lapangan, dengan melukiskan, memaparkan dan menyusun suatu keadaaan secara sistematis sesuai dengan teori yang ada untuk menarik kesimpulan dalam upaya pemecahan masalah 40.
7. 2. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian akan dilakukan di Sekretariat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Jl. Ahmad Yani No. 60, Kotamadya Pematangsiantar.
7. 3. Populasi dan Sampel 1. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar, yang terdiri dari 40 orang pengurus partai, yakni 26 orang pengurus laki-laki dan 14 orang pengurus perempuan. 2. Metode sampling yang digunakan penulis pada penulisan ini adalah dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode penarikan sampling yang disengaja dengan tujuan sampling yang diambil adalah orang yang dapat memberikan keterangan dan memahami masalah yang akan diteliti di lapangan. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari
40
Moh. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.
Universitas Sumatera Utara
pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Pematangsiantar, khususnya pengurus perempuan. Adapu profil ke-14 informan adalah sebagai berikut:
No 1 2 3 4 5 6
Nama Hj. Etiria Zai Berliana Sibarani Yuniar Siahaan, ST Dra. Ernita Purba Mutiara Sitanggang, SH Ariyani Nadeak, SH
7
10 11
Artina Linda Kristina Simanjuntak Dra. Espelinda Napitupulu Ida Pananda, BA Hj. Yulpida
12 13 14
Siti Aizah Yuriati Nurhaidah Tambunan
8 9
Jabatan
Um ur 40 42 38 43 45 43
Pendidikan SMA S1 Hukum SMA S1 ADM S1 Hukum S1 USI
Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta
46
SMA
Wiraswasta
37 49
D1 S1
Wiraswasta Wiraswasta
W. Bendahara Kelautan W. bendahara pertanian
37 48
Anggota DPRD Wiraswasta
W. Bendahara Energi W. Bend. Pertahanan W. bend. Pariwisata
38 52 43
SMA S1 pertanian SMA SMA D3 AKPAR
W. Kelautan W. Pemberdayaan W. Sekretaris OKK W. Sekretaris Kelautan W. Sekretaris Agama W. Sekretaris Hukum HAM W. Sekretaris Pemberd. Perempuan W. Bendahara SDM W. Bend. Perdagangan
Pekerjaan
Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta
Sumber : Dokumen Sekretariat DPC Partai Demokrat Pematangsiantar
7. 4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dan informasi berdasarkan fakta, maka penulis akan menggunakan: a. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara mengumpulkan data dari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah,bulletin, maupun Undang-undang serta berbagai sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini. b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu Pengumpulan data dengan dialog ataupun wawancara dan terjun langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan penelitian ini. Data-data yang dimaksud adalah data tentang partisisipasi elit politik perempuan pada pemilu 2009 di Pematangsiantar.
7. 5. Teknik Analisa Data Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian 41. Untuk menganalisa data dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode kualitatif. Analisis data kualitatif dilakukan pada data yang tidak dapat dihitung berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam bentuk angka-angka. Selanjutnya data-data yand berasal dari studi kepustakaan maupun data lapangan (wawancara, dialog) akan dianalisis dan dieksplorasi menggunakan teori yang signifikan terhadap data demi menghasilkan kesimpulan yang dapat menjelaskan masalah yang diteliti secara akurat.
8. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci, dan demi mempermudah pemahaman isi dari Skripsi, maka Penulisan Penelitian ini akan dijabarkan dalam 3 (tiga) bab Penyajian Data dan 1 ( satu ) bab sebagai penutup.
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: DESKRIPSI DAN LOKASI PENELITIAN Bab ini meliputi gambaran umum lokasi penelitian dilakukan.
41
Sumadi, Suryabrata, Metode Penelitian. Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
: PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA Bab ini berisikan penyajian dan pembahasan data yang diperoleh serta menganalisis data dan fakta yang ada mengenai partisipasi elit politik perempuan di Pematangsiantar pada Pemilihan Umum 2009.
BAB IV
: PENUTUP Bab terakhir ini berisikan Kesimpulan dari keseluruhan penelitian serta temuan-temuan di dalam penyusunan skripsi ini dan diakhiri dengan saran atau rekomendasi dari Penulis
Universitas Sumatera Utara