BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia tak pernah sepi dari pembahasan ilmiah mengenai berbagai permasalahannya. Banyak sisi yang dapat diangkat dari pesantren sebagai sebuah “universitas” nya umat Islam Indonesia. Satu di antara hal yang menarik untuk diangkat tersebut adalah perihal perubahan-perubahan dalam hal penyesuaian yang terjadi dalam diri pesantren. Terlebih pesantren merupakan salah satu tradisi agung pengajaran Islam di Indonesia (Bruinessen, 2012). Tidak berlebihan jika para cendekiawan mengatakan bahwa pesantren telah berkontribusi besar terhadap kelahiran negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, pesantren merupakan tempat mencetak intelektual muslim yang sholeh dan alim sehingga mengantarkan lulusannya sebagai tokoh yang menjadi panutan di masyarakatnya. Pesantren tumbuh besar di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Islam merupakan agama yang sangat menekankan pentingnya menuntut ilmu bagi setiap pemeluknya. Wahyu pertama dari kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menurut sebagian ulama berisi tentang pentingnya pendidikan sebagai bekal dalam kehidupan. Salah satu watak utama dari Islam adalah tekanan yang berat sekali pada aspek pendidikan, sebagaimana dapat dilihat pada sejumlah sumber
1
2
motivatif, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menggambarkan pentingnya arti penidikan bagi Islam dalam pandangan Allah dan dalam pandangan Nabi Muhammad.1 Masyarakat Indonesia dengan jumlah pemeluk agama Islam yang besar serta jauh dari pusat kelahiran Islam, memiliki bentuk pendidikan Islam yang khas untuk menggali ilmu-ilmu agama. Bentuk pendidikan tersebut terwujud dalam lembaga pendidikan pesantren. Lembaga ini didesain untuk belajar ilmu agama yang merupakan turunan dari al-‘ulum an-naqliyah (ilmu yang diinterpretasi dari firman Tuhan) seperti ilmu tauhid, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu ushul fiqh, dan ilmu fiqh. Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diciptakan oleh masyarakat kita, para peneliti terdahulu mengenai pesantren sepakat bahwa pesantren adalah hasil rekayasa umat Islam Indonesia yang mengembangkannya dari sistem pendidikan Agama Jawa (Mastuhu, 1994). Oleh sebab itu pola pendidikan yang diterapkan di pesantren memiliki bentuk yang khas, yang telah disesuaikan dengan keadaan dan budaya masyarakat Indonesia. Subakri (2004) berpendapat bahwa kebudayaan lokal memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk sistem dan pola kehidupan serta pendidikan agama yang berlangsung di
pesantren.
Kedewasaan
serta
kematangan
dari
pesantren
membuat
kemampuannya beradaptasi mengikuti perkembangan zaman lebih dinamis. Pesantren dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Label sebagai lembaga pendidikan tradisional disematkan pada
1
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan tradisi: esai-esai pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 158.
3
pesantren karena lembaga ini merupakan lembaga pendidikan paling tua di Indonesia. Pelopor pendidikan pesantren di tanah Jawa adalah para wali, atau dikenal dengan sebutan Walisongo, salah satunya adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Giri (wafat tahun 1419 M) yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng juru dakwah sebelum diterjunkan ke masyarakat (Shihab, 2002). Sumber sejarah lain mencatat bahwa pesantren tertua dan terkenal di Jawa adalah pesantren Tegalsari di Ponorogo yang didirikan pada abad ke-15 oleh Kiai Hasan Besari. 2 Empat abad setelahnya pesantren terbesar dan sekaligus tertua di Yogyakarta berdiri, yakni pesantren Krapyak yang didirikan oleh KH. Munawwir pada tahun 1911.3 Pesantren Krapyak merupakan pesantren yang masih menggunakan kitab kuning sebagai rujukan utamanya serta metode bandongan dan sorogan4 sebagai metode yang digunakan dalam penyampaian materi. Pesantren Krapyak mengalami kejayaan dan kemajuan yang pesat di bawah pimpinan KH. Ali Maksum yang merupakan putra menantu dari KH. Munawwir. Sepeninggal KH. Ali Maksum yang wafat pada 7 Desember 1989, pesantren Krapyak terbagi menjadi dua dalam pengelolaannya, yakni pesantren AlMunawwir yang dikelola oleh para putra KH. Munawwir dan pesantren Krapyak di bawah Yayasan Ali Maksum yang dikelola oleh dhurriyyah (keturunan) KH.
2
Salahuddin Wahid, Jawa Pos, 15 Januari 2014 A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum, Perjuangan dan Pemikiran-pemikirannya, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989). 4 Metode bandongan merupakan cara pengajaran di pesantren dimana seorang kiai/ ustadz membaca sebuah kitab berserta maknanya per kata, sementara santri menuliskan makna tadi pada kitab masing-masing menggunakan tulisan arab berbahasa jawa. Sedangkan metode sorogan, santri membaca kitab beserta maknanya di depan kiai, metode ini untuk mematangkan kemampuan membaca kita bagi santri. 3
4
Ali Maksum. Kedua pesantren ini memiki kekhususan tersendiri dalam bidang keilmuan. Pesantren al-Munawwir termasyhur dengan pesantren huffadz, tempat para santri menghafalkan Al-Qur’an. Sedangkan pesantren Ali Maksum meskipun pada awal pendiriannya merupakan pesantren salaf, namun telah mengadopsi sistem pendidikan formal dan modern. Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum memiliki beberapa lembaga pendidikan
mulai dari Madrasah Diniyah, Madrasan Tsanawiyah, Madrasah
Aliyah hingga Madrasah Mahasiswa di bawah Lembaga Kajian Islam Mahasiswa (LKIM). Lembaga yang terakhir ini merupakan bentuk khas dari pesantren yang ada di Yogyakarta. Sebagai kota pelajar, Yogyakarta menjadi tujuan mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk menimba ilmu di beberapa perguruan tinggi yang ada di kota ini. Santri yang belajar di LKIM ini merupakan para mahasiswa, sehingga kegiatan belajar berlangsung “hanya” pada malam hari dan pagi hari setelah shalat Subuh. Pesantren Ali Maksum dengan LKIM nya merupakan contoh dari pesantren salaf yang berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan kebutuhan keilmuan. Dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan kulturil yang relatif lebih kuat dari pada masyarakat sekitarnya, oleh sebab itu pesantren memiliki kemampuan melakukan transformasi dalam sikap hidup masyarakatnya. 5 Hal ini terlihat dari adanya Lembaga Kajian Islam Mahasiswa yang mengakomodasi para mahasiswa yang telah belajar al-‘ilm al-aqliyah (ilmu penngetahuan yang
5
Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur, Dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), hlm. 43.
5
dikembangkan manusia) untuk sekaligus belajar al-ilm an-naqliyah (ilmu yang diinterpretasi dari firman Tuhan). Keberadaan pesantren mahasiswa ini cukup mendapatkan tempat di masyarakat. Hal ini dibuktikan ketika setiap tahun akademik baru yang disesuaikan dengan tahun akademik pada perguruan tinggi, minat wali santri untuk menempatkan putranya yang kuliah di Yogyakarta pada pesantren mahasiswa ini cukup tinggi. Kewibawaan dan nama besar pesantren Krapyak menjadi daya tarik kepercayaan masyarakat akan pendidikan pesantren yang dikhususkan bagi para mahasiswa ini. Kelahiran pesantren mahasiwa di tengah pesantren salaf ini merupakan bentuk transformasi pesantren guna menjawab kebutuhan masyarakat. Pondok pesantren dewasa ini dihadapkan dengan berbagai tantangan yang tidak ringan, yakni menyangkut kemampuan pesantren menjawab tantangan itu tanpa kehilangan kepribadiannya. Sebagai sebuah institusi yang bertujuan utama menyiapkan keder umat yang mutafaqqih fid-din (faham betul akan ajaran agamanya)6 Kekuatan pesantren untuk bertransformasi berbanding lurus dengan kekuatan pesantren untuk bertahan di tengah masyarakat. Menurut Azyumardi Azra, sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional
6
KH. Ali Maksum, Kiai yang Didambakan, Jurnal Pesantren No.I/Vo.II/1985, hlm.42.
6
Islam seperti pesantren yang mampu bertahan.7 Tetap bertahannya pendidikan pesantren ini menepis anggapan para kalangan yang skeptis terhadap pesantren sebagai lembaga yang statis. I.2. Rumusan Masalah Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam tertua di Indonesia, banyak melakukan pembenahan-pembenahan dalam meningkatkan kualitas lulusannya, pada masa perkembangan pesantren, pengelolaan dan sistem yang dijalankan sangat sederhana, proses transformasi keilmuan hanya mengandalkan proses verbal (ceramah), kemudian pada perkembangan selanjutnya dilakukan dengan membuka sekolah-sekolah yang mempunyai kurikulum berbasis keilmuan pesantren.8 Di Indonesia yang dimaksud dengan pesantren tradisional juga sering disebut dengan pesantren salaf. Dalam rangka rmengajarkan keilmuannya ciri khas yang dimiliki pesantren adalah jaringan nasab9 keilmuan sampai pada ulama pengarang kitab yang menjadi rujukannya itu. Kitab-kitab yang menjadi rujukan di pesantren salaf pada umumnya merupakan kitab-kitab utama atau masterpiece yang dibuat oleh ulama-ulama terdahulu. Kurikulum universal yang digunakan kalangan pesantren berasal dari permulaan abad ke-19 M (Wahid, 2001). Kitab-kitab dari ulama salaf itu dipandang sebagai kitab yang paling kuat kandungan ilmunya karena ditulis oleh ulama yang luhur secara intelektual. Oleh 7
Azyumardi Azara, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan Dalam Pengantar Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren (Jakarta: Dian Rakyat, 1997), hlm. Xi. 8 Dokumen draf sistem pengelolaan SDM LKIM pondok pesantren Krapyak 9
7
karena rujukan-rujukan yang digunakan pesantren salaf merupakan kitab-kitab yang ditulis beberapa abad yang lalu, maka pemikiran model pesantren dianggap kolot dan kaku dalam menjawab beberapa masalah kontemporer. Hal ini yang mempengaruhi anggapan masyarakat umum bahwa dunia pesantren salaf merupakan suatu dunia yang sukar diajak berbicara mengenai perubahan, sulit difahami pandangan dunianya.10 Pertanyaan pertama dalam penelitian ini adalah bagaimana wujud pesantren salaf yang sebenarnya, serta bagaimana pesantren salaf dengan kajiannya yang konservatif menyikapi perubahan. Analisis proses transformasi pesantren ini akan dimudahkan dengan penjabaran yang rinci mengenai definisi pesantren salaf beserta ciri-ciri dan karakteristik umumnya. Dalam konteks di Yogyakarta pesantren salaf merupakan embrio dari lahirnya pesantren mahasiswa dimana memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan pesantren salaf. Pertanyaan kedua adalah apa yang dimaksud dengan pesantren mahasiswa dan bagaimana karakteristik khusus yang dimilikinya. Jika dilihat dari objek pengajaran dan pendidikannya, santri pada pesantren mahasiswa ini memiliki karakteristik yang berbeda. Penjabaran secara rinci mengenai pesantren mahasiswa akan menunjukkan benang merah penyatu visi-misi pendidikan dan sekaligus pembeda dengan pesantren salaf Melihat pola dari pesantren serta transformasi yang terjadi pada pesantren Ali Maksum yang notabene merupakan pesantren salaf yang memiliki lembaga khusus untuk mewadahi para mahasiswa dari Perguruan Tinggi untuk belajar ilmu
10
Dawam Rahardjo, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, Dalam M. Dawam Rahardjo (ed) Pesantren dan pembaharuan, (Jakarta:LP3ES, 1974), hlm. 1.
8
pesantren, pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa pesantren mahasiswa tumbuh dan berkembang di pesantren salaf, serta apa saja benang merah yang menghubungkan keduanya. Bagaimana sebuah institusi pesantren salaf membuat konsep lahirnya pesantren mahasiswa serta bagaimana membaca fenomena transformasi pesantren akan menjadi bahasan utama dari tulisan ini. I.3. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Lembaga Kajian Islam Mahasiswa (LKIM) yang merupakan salah satu lembaga dari Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum Yogyakarta. Lembaga ini terletak di dalam komplek besar pesantren dan berdampingan dengan asrama santri Madrasah Tsanawiyah, dan gedung Madrasah Aliyah Ali Maksum. Penelitian ini fokus pada transformasi pesantren Ali Maksum yang berlatar belakang pesantren salaf hingga melahirkan LKIM yang merupakan bentuk baru dari pendidikan pesantren. Oleh karena itu penulis melakukan pembatasan dalam hal objek penelitian, yakni LKIM dengan segala unsur di dalamnya. Objek pendidikan yang diselenggarakan oleh LKIM ini adalah santri yang sekaligus juga mahasiswa yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Lembaga ini dipimpin oleh pengasuh sebagai pemimpin pesantren secara moral dan juga merangkap sebagai direktur yang memimpin lembaga secara manajerial.
9
I.4. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Pendidikan di Indonesia mungkin dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran dari pendidikan pesantren. Sejarah mencatat pola pendidikan yang diberikan pesantren menekankan pelajaran moral dan kepribadian sebagai prasyarat menguasai ilmu pengetahuan. Apa yang dikhawatirkan oleh kalangan generasi tua sekarang bahwa generasi muda telah mengalami degradasi moral yang selanjutnya dikhawatirkan menuju kehilangan identitas budayanya, mungkin dapat dijawab dengan membekali anak didik pelajaran moral sebagai dasar sebagaimana pendidikan di pesantren. Penelitian ini bertujuan mencari pemahaman mengenai perubahan yang terjadi dalam tubuh pesantren. Pesantren dari awal mula berdiri dan pertumbuhannya bertujuan untuk membawa ajaran Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta). Oleh sebab itu, pesantren harus selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Umat Islam sekarang ini sedang terpojokkan pada isu global, terutama di dunia Barat yang menempatkan Islam sebagai common enemy atau musuh bersama. Penelitian ini juga sedikit memberikan gambaran Islam yang ramah tersebut. Pesantren dengan segala instrumen yang dimilikinya menempatkan akhlak sebagai orientasi utama yang harus dijunjung dalam hal berhubungan kepada sesama manusia. Dalam hal ini upaya penyesuaiannya pesantren pada dasarnya juga merupakan upaya membangun budaya toleran dalam masyarakat.
10
Penelitian ini diharapkan juga dapat memberi masukan kepada pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah untuk dapat menyajikan informasi tentang transformasi sebuah pesantren. Terkadang progam pemerintah dalam rangka memperhatikan pesantren kurang tepat karena tidak disertai dengan studi sebelumnya. Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan tentang tentang dunia pesantren dengan perspektif dari dalam. Setidaknya penulis dapat memberikan sumbangsih tulisan tentang pesantren dengan cara melihatnya dari dalam. I.5. Tinjauan Pustaka Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik dan memiliki kekhasan tersendiri, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia, yang pada saat ini merupakan warisan kekayaan bangsa Indonesia yang terus berkembang (Dhofier, 2012). Oleh sebab itu penelitian terhadap lembaga pendidikan ini telah dilakukan oleh beberapa ilmuan Indonesia dan beberapa juga ilmuan luar Indonesia. Buku yang menjadi rujukan utama beberapa penulis tentang pesantren salah satunya adalah ”Tradisi Pesantren” karya Zamakhsyari Dhofier yang terbit pertama kali di Indonesia pada tahun 1982. Buku tersebut membahas tradisi pesantren dengan pusat kajiannya pada peranan kiai dalam upaya memelihara dan mengembangkan faham Ahlussunnah wal-Jama’ah11 di Indonesia. Menurut Dhofier (2012:267) tradisi pesantren tidak jalan ditempat melainkan selalu
11
Definisi Ahlussunnah wal Jamaah disini adalah ajaran islam yang mengikuti salah satu dari empat imam madzhab: Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki dan Imam Syafi’i
11
tumbuh dan mengalami kemajuan. Tradisi pesantren saat ini sedang bangkit dan berupaya memperkuat perannya dalam rangka memajukan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan agar tujuan pembangunan peradaban Indonesia lebih cepat tercapai. Adapun mengenai perubahan pesantren Dhofier mengatakan: “Sikap kyai semakin lapang dalam penyelenggaraan modernisasi pesantren di tengah-tengah perubahan masyarakat Indonesia yang sangat cepat. Mereka juga tidak dihambat oleh perdebatan pro atau kontra untuk mempertahankan aspek-aspek positif sistem pendidikan Islam. Tekanan telah mengarah kepada upaya menyantuni kebutuhan yang bermanfaat bagi umat Islam.” Buku yang ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier tersebut naskah aslinya merupakan disertasi doktor antropologi sosial di The Australian National University (ANU). Untuk sementara buku tersebut merupakan salah satu masterpiece dari penelitian tentang dunia kepesantrenan. Sedangkan ilmuan dari luar Indonesia yang memberikan perhatian pada pesantren di antaranya adalah Manfred Ziemek, seorang sarjana Jerman yang menulis buku “Pesantren dalam Perubahan Sosial”, merupakan buku pertama tentang lembaga pesantren yang ditulis oleh sarjana Jerman. Masa depan pendidikan keilmuan Islam menurut Ziemek (1986) bertumpu pada “pesantren moderen” karena dianggap sebagai model pendidikan, yang memberikan pengalaman-pengalaman dan rangsangan pemikiran. Mengenai bentuk pesantren yang terus mengalami pembaharuan, Ziemek berpendapat: “Pesantren model baru (modern) dapat dianggap sebagai model pendidikan yang memberikan pengalaman-pengalaman dan rangsangan pemikiran. Mereka dapat membangkitkan rangsangan dorongan yang menuju ke
12
arah reorientasi pendidikan pada sejumlah besar pondok yang masih terbelenggu oleh tradisi.” Modernisasi dalam pesantren merupakan suatu keniscayaan yang harus diterima. Modernisasi merupakan salah satu dampak dari perubahan sosial yang selalu dialami masyarakat, dan pesantren sebagai lembaga yang memfasilitasi pendidikan bagi masyarkat harus pula menyesuaikan diri dengan masyarakat pendukungnya. Sistem pendidikan pondok pesantren Krapyak dalam hubungannya dengan pengembangan pengetahuan pernah diteliti dan ditulis dalam skripsi jurusan antropologi UGM tahun 1977 oleh Yusi Farida. Menurutnya pada saat itu pesantren Krapyak telah menyelenggarakan dua macam pendidikan pesantren, pertama secara formal dalam bentuk madrasah dan kedua secara informal yang dilakukan secara sorogan dan bandongan. Dalam hal sistem pendidikan yang dijalankan oleh pesantren Krapyak, Farida mengatakan: “Sistem pendidikan di Pondok Pesantren Krapyak disusun berdasarkan atas keseimbangan antara pengetahuan, kecerdasan dan ketrampilan serta komunikasi dengan lingkungannya. Secara langsung para santri telah belajar teori kemudian langsung praktek di arena lingkungannya, jelasnya Pondok Pesantren sekaligus merupakan Lembaga Pendidikan yang langsung berfungsi mendidik manusia secara praktis bukan hanya teoritis.” Pernyataan dalam skripsi tersebut menggambarkan bahwa pada tahun itu Pesantren Krapyak telah lebih maju dari pesantren salaf pada umumnya. Literatur mengenai pesantren selanjutnya adalah dari peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen yang awalnya bekerja pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga akhirnya tertarik untuk meneliti dunia pesantren. Mengenai tradisi pesantren, menurutnya:
13
“Ada paradoks pada tradisi pesantren. Di satu sisi ia berakar kuat di Bumi Indonesia; pondok pesantren bisa dianggap lembaga yang khas Indonesia. Meskipun ia merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek, berbeda dengan sekolah tradisional di dunia manapun. Di sisi lain, pada saat yang sama ia berorientasi internasional, dengan Makkah sebagai pusat orientasinya, bukan Indonesia.” Bukunya yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat ini tertbit pertama kali pada tahun 1995. Penelitian tersebut menitikberatkan pada dua aspek, yakni kurikulum pesantren termasuk di dalamnya cabang keilmuan beserta kitab-kitab yang menjadi rujukannya, yang tergolong dalam kitab kuning. Aspek kedua dalam penelitian tersebut menjelaskan tentang tarekat yang berkembang di pesantren sebagai sentral pusat kegiatannya. Bruinessen (2012) mengatakan bahwa kunci dari tradisi pesantren dan kelanggengan keilmuannya yang bersumber pada kitab kuning terletak pada sosok seorang kiai yang menjadi pucuk pimpinan pesantren. Secara sosial kiai memiliki kharisma yang kuat, sedangkan secara keilmuan, penyampaian materi secara lisan dari kitab kuning oleh kiai pada setiap pengajian memiliki bobot keilmuan yang tinggi. Optimisme yang kuat dari transformasi pesantren ini dituliskan oleh Said Aqil Siroj (2006) dalam buku “Tasawuf sebagai Kritik Sosial”. Menurutnya, setelah pesantren menempatkan tradisi sebagai proyek besarnya pada masa lalu, kini pesantren harus menjawab tantangan modernitas. Pendidikan pesantren pada masa depan merupakan pendidikan yang di satu sisi berorientasi pada modernitas namun pada sisi yang lain tetap berpijak pada tradisi dan nilai semula. Siroj
14
menegaskan bahwa modernitas yang dilakukan pesantren merupakan mata rantai dari sebuah gugusan kebudayaan Islam sebelumnya. Penelitian yang lebih baru tentang pesantren dilakukan oleh Mahmud Arif yang disertasinya pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta diterbitkan dengan judul “Pendidikan Islam Transformatif”. Mengenai transformasi pesantren Arif (tahun) berpendapat: “Dinamika zaman terus berjalan seiring dengan proses modernisasi yang menuntut pesantren untuk mau menerima perubahan dan perkembangan. Namun demikian, masih terdapat pola baku sebagai hal esensial dunia pesantren yang dinilai relatif ajeg dan kontinu terkait sistem nilainya yang tercermin dalam tradisi keilmuan dan moralitasnya, yang secara epistemik-etik diakui turut menentukan cara pandang dunia pesantren dalam menafsirkan realitas yang dihadapi dan dalam memberikan respons terhadapnya.” Dalam buku tersebut Arif mencoba melihat perkembangan pendidikan Islam secara historis-filosofis khususnya pada abad III, IV dan V Hijriyah serta implikasi transmisi historisnya pada pendidikan Islam Indonesia sekarang. Penelitian dalam skripsi ini akan memfokuskan diri pada transformasi pesantren Krapyak sehingga melahirkan Lembaga Kajian Islam Mahasiswa, salah satu sub lembaga yang diselenggarakan pesantren guna melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan. LKIM merupakan pesantren mahasiswa sebagai bentuk turunan dari pesantren Krapyak. Pesantren ini sejak awal berdirinya menerapkan sistem pendidikan salaf. Benang merah yang terhubung dari pesantren salaf ke pesantren mahasiswa ini akan nampak dalam pembahasan selanjutnya.
15
I.6 Landasan Teori Agama merupakan salah satu unsur pembentuk kebudayaan, atau dalam bahasa Koentjaraningrat (2000) salah satu dari isi pokok sebuah kebudayaan. Kepercayaan terhadap suatu agama akan mempengaruhi pandangan hidup keduniawian serta orientasi keakhiratan dari seseorang. Agama diturunkan dari generasi ke generasi melalui pendidikan. Di Indonesia pembelajaran mengenai agama Islam diajarkan melalui institusi pendidikan, dan yang paling awal memberikan pengajaran keislaman adalah lembaga pendidikan pesantren. Pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mewarisi tradisi intelektual Islam tradisional.12 Sejak munculnya tradisi pesantren di Nusantara antara abad ke-11 dan ke14 hingga kini pesantren telah mengalami banyak perubahan. Studi ini akan mencoba melihat bagaimana perubahan atau transformasi yang dialami pesantren Krapyak. Memaknai perubahan yang terjadi dalam diri pesantren harus dilihat secara komprehensif. Dalam Ensiklopedi Islam (1993) pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan Islam tertua yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat Muslim di Indonesia. Selanjutnya ensiklopendi tersebut juga menjabarkan ciri-ciri pesantren, seperti: adanya hubungan yang akrab antara kiai dan santri; santri taat dan patuh 12
Ulil Abshar Abdalla, Humanisasi Kitab Kuning: Refleksi dan Kritik atas Tradisi Intelektual Pesantren, Pesantren, No.I / Vol. IX/ 1992, hlm. 75.
16
kepada kiainya; para santri hidup secara mandiri dan sederhana; adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan; dan para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat. Transformasi menurut penjelasan Ahimsa-Putra (2006:61) adalah suatu perubahan yang terjadi pada tataran permukaan, sedangkan pada tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi. Bagaimana transformasi yang terjadi dalam tubuh pesantren dalam hal ini LKIM yang lahir dari pesantren krapyak dengan latar belakang pesantren salaf akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini. Menurut Wahid (1974) pesantren adalah sebuah subkutlur yaitu bagian budaya yang hidup mandiri, dan tidak terikat dengan budaya mainstream secara bebas. Predikat subkultur tersebut salah satunya dipengaruhi oleh faktor kiai sebagai pemimpin pesantren. Kiai memiliki kuasa penuh atas pesantren tersebut, pertama kiai sebagai pemilik dari tanah pekarangan dimana pesantren itu berdiri, selain itu, kiai sebagai seorang alim yang mengajarkan berbagai macam ilmu agama yang bersumber dari kitab kuning. Penghargaan yang tinggi kepada kiai bukan karena faktor dari dirinya yang menyandang gelar kiai, tetapi lebih karena sisi keilmuannya (Hilmy, 2008). Sementara, Sztompka (1999:259) mengatakan bahwa sosok-sosok seperti kiai itu merupakan individu yang memegang peranan penting dalam perubahan masyarakat. Dalam hal ini kiai berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Apapun yang diajarkan oleh kiai merupakan inspirasi bagi santri-santrinya. Great
17
Individuals as Agents of Change. Di sini kiai juga berperan sebagai agen perubahan, sebagai sumber ilmu pengetahuan, apa yang diajarkan oleh kiai merupakan inspirasi bagi santri. Sztompka juga mengutip Thomas Carlyle (1963:17) bahwa pada setiap zaman akan ada orang besar yang berperan sebagai semacam juru selamat dunia. Sekali lagi, kiai merupakan juru selamat dalam sebuah subkultur pesantren. Bahwa kiai selalu mereproduksi pesantren untuk selalu bertahan dan memberikan manfaat pada peradaban, khususnya pada bidang ilmu pengetahuan agama islam. Penafsiran tentang agama itu akan selalu direproduksi guna menjawab pertanyaan dan permasalah yang bersifat kontemporer. Pesantren dapat bertahan hingga kini karena pesantren bersikap dinamis terhadap perubahan, menurut Hilmy (2008:106-107) fenomena perubahan di dunia pesantren sebenarnya ingin menunjukkan pesan bahwa di samping pesantren memiliki tradisi “pertahanan” dan “perlawanan” yang kuat, ternyata ia juga memiliki watak dasar “perkawanan” dengan elemen-elemen budaya dari luar. Seperti yang dibahas pada bagian sebelumnya, di sini kiai sangat berperan dalam hal kompromi tentang bagian mana yang kiranya patut diperbaharui dari pesantren, dan bagian mana yang tidak boleh atau belum waktunya diubah untuk tetap mempertahankan ruh dari pesantren itu sendiri. Kearifan yang dimiliki oleh pesantren dalam hal menyikapi perubahan ini didasari pada pepatah yang masyhur di kalangan pesantren yakni Al Mukhafadhotu ‘Aala Qadimis Shalih wal Akhdhu bil Jadiidil-Aslah (mempertahankan sesuatu yang baik dari yang ada dan mengambil suatu hal baru yang lebih baik).
18
I.7. Metode Penelitian Pesantren merupakan lembaga yang unik, terkadang orang tua santri atau tamu yang berkunjung ke pesantren tidak mengetahui standar etika yang berlaku di pesantren. Contoh kecil adalah menutup aurat, yakni seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan bagi perempuan dan minimal lutut tertutup bagi lakilaki. Sedikit cerita, suatu ketika pada sore hari di saat beberapa santri sedang asyik bermain sepak takraw di halaman asrama, salah satu ustadz yang masih keluarga kiai melewati para santri yang sedang bermain. Tanpa diawali ucapan pembuka, ustadz tadi menegur beberapa santri yang memakai celana pendek di atas lutut, baginya menutup aurat wajib hukumnya selama di tempat umum. Tentu pemahaman tersebut menimbulkan banyak perdebatan. Penelitian
ini
menggunakan
beberapa
metode
sebagai
proses
mengumpulkan data. Pertama penulis yang kesehariannya tinggal di lingkungan pondok pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum Yogyakarta sejak pertengahan 2009 ini telah sedikit mengenal lingkungan pesantren beserta karakteristik khas nya. Obeservasi partisipasi secara terencana dilakukan sejak paruh kedua tahun 2013 hingga bulan September 2014 dimana tahun akademik baru dari kurikulum pesantren ini dimulai. Menurut Atkinson dan Hammersley (2009) observasi partisipasi adalah model observasi yang dilakukan seorang peneliti setelah dia berhasil berperan menjadi partisipan dalam lokasi penelitian tersebut.
19
Selanjutnya untuk mengawali penulisan ini penulis mengumpulkan beberapa tulisan baik dari buku, jurnal, majalah maupun sumber lain tentang pesantren guna melengkapi gambaran awal tentang pesantren secara lebih komprehensif. Sumber pustaka mengenai pesantren telah cukup banyak diterbitkan, baik yang ditulis sebagai tugas akhir maupun sebagai laporan penelitian, atau dalam bentuk gagasan dan wacana. Kegiatan penelitian dengan studi literatur yang merupakan salah satu pendukung dalam penulisan tugas akhir ini membawa penulis bertamasya ke ruang dan waktu yang lampau. Buku-buku itu seperti hidup, memiliki ruh dan dapat menceritakan kepada pembaca tidak hanya secara tekstual, namun kadang juga sisi emosional dapat kita rasakan ketika membacanya. Membaca literatur tentang pesantren seperti halnya membaca sebuah tulisan etnografis, meskipun dalam perkenalannya buku tersebut tidak mengidentifikasikan diri sebagai laporan etnografi. Metode selanjutnya yang digunakan dalam penelitan ini adalah wawancara. Denzin dan Lincoln (2009) mendefinisikan wawancara sebagai bentuk perbincangan, seni bertanya dan mendengar.
Wawancara diperlukan guna
mengumpulkan data tentang interpretasi dari informan akan pertanyaan atau beberapa permasalahan yang ada di lapangan. Wawancara dilakukan dengan beberapa unsur pelaku dari pesantren mahasiswa ini, mulai dari tingkat hierarki paling tinggi yakni pengasuh, pengelola LKIM, pengurus asrama, dan dari unsur santri. Wawancara dilakukan dengan cara tak terstruktur guna mendapatkan informasi yang lengkap dan tidak terlalu mengintervensi informan. Karena tujuan
20
wawancara tak terstruktur adalah memahami informasi dari informan, maka penting bagi peneliti untuk menciptakan hubungan harmonis dengan para informan (Fontana dan Frey, 2009). Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para ahli. Meskipun demikian dalam pandangan penulis, tidak ada batas untuk meneliti dan menuliskan suatu kebudayaan atau unsur dari kebudayaan itu. Karena dengan itu kita dapat memperkaya pandangan atau interpretasi tentang sebuah kebudayaan, yang dalam tahap selanjutnya akan membuat kebudayaan itu tetap ada karena selalu dibicarakan dan diamalkan oleh pelakunya. I.8. Sistematika Pembahasan Tulisan ini terdiri dari lima bab yang akan menjelaskan apa yang menjadi pertanyaan dari rumusan masalah di atas. Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah hingga metode penelitian yang dilakukan dalam penelitan ini. Pada bab kedua akan dijelaskan mengenai bentuk pesantren salaf secara umum serta tipe-tipe dari pesantren salaf. Pembahasan akan dilanjutkan dengan bentuk pesantren salaf Krapyak, bagaimana karaktersitik dan dinamika khusus dari pesantren ini juga akan dijelaskan pada bab ini. Bab ketiga menjelaskan keadaan Lembaga Kajian Islam Mahasiswa yang merupakan pesantren mahasiswa yang berada di lingkungan pesantren krapyak Yayasan Ali Maksum. Sejarah berdirinya pesantren mahasiswa ini akan mengawali pembahasan pada bab tiga. Unsur manajerial seperti pengelolaan,
21
tenaga pengajar dan pengurus akan menjadi pembahasan selanjutnya. Kemudian dilanjutkan dengan uraian mengenai fasilitas fisik dari pesantren mahasiswa. Bab keempat dalam tulisan ini akan menganalisis transformasi yang terjadi di pesantren krapyak Yayasan Ali Maksum sehingga mendirikan pesantren mahasiswa yang terlembaga dalam bentuk LKIM. Transformasi itu akan dianalisis melalui beberapa pendekatan, di antaranya adalah manajemen, kurikulum, dan metode pembelajaran, serta beberpa makna dari transformasi tersebut. Kesimpulan sebagai penutup akan disajikan pada bab lima dalam tulisan ini.