BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbedaan yang ada dalam suatu masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya konflik di beberapa negara, khususnya Indonesia. Indonesia merupakan sebuah masyarakat plural par excelence yang tidak hanya plural dalam kelompok, tetapi juga plural dalam tradisi agama (Latif, 2007: 63). Oleh karena itu, tidak jarang konflik mengatasnamakan agama kerap terjadi di Indonesia. Dunia saat ini memang tak bisa dilepaskan dari realitas plural keagamaan. Bahkan pluralitas keagamaan tidak hanya terjadi antaragama, melainkan juga terjadi dalam internal agama. Contohnya terdapat heterogenitas dalam internal tubuh Islam itu sendiri. “Perbedaan pandangan atau pendapat adalah sesuatu yang wajar bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif kita, sehingga tidak perlu ditakuti. Kenyataan inilah yang mengiringi adanya perbedaan kultural (dan juga politik) antara berbagai kelompok muslimin yang ada kawasan-kawasan dunia” (Wahid, 2006: 351).
Heterogenitas Islam dalam bidang politik dan ideologi juga kerap terjadi di kalangan kaum muslim. Beberapa gerakan Islam memang masih menginginkan Islam menjadi sebuah sistem negara. Seperti apa yang diungkapkan oleh beberapa ahli agama yang ada dalam sidang BPUPKI yang tidak menyetujui dasar Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila melainkan berdasarkan hukum Islam (Bahar, 1995: 38). Namun, sampai saat ini Negara Islam memang tidak pernah terwujud, sebab jika dilihat dari kultur dan agama masyarakat Indonesia yang plural,
1
2
Indonesia bukanlah negara yang tepat untuk didirikan sebuah negara Islam. Konsep negara Islam sendiri tidak memiliki konsep yang jelas dan pasti bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan (Wahid, 2006: 81). Abdurrahman Wahid dalam karyanya Islam Kosmopolitan menyatakan: “Kekuatan (politik), umat Islam selama lebih kurang dua puluh tahunan ini sudah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, namun bukan berarti tanpa dinamika internal sama sekali. Kita semua tahu, di kalangan Islam tidak pernah ada kesamaan strategi dalam pengembangan umat, sehingga yang terjadi adalah polarisasi yang cukup tajam antar berbagai gerakan Islam” (Wahid, 2007: 316).
Bukti polarisasi antar gerakan Islam yang dimaksud oleh pernyataan Abdurrahman Wahid, salah satunya dapat dilihat dalam praktek dan ajaran Islam yang berbeda-beda antar sesama Islam seperti apa yang terjadi antara kelompok modernis dan tradisionalis yang kemudian menyebabkan terbentuknya kelompokkelompok, seperti kelompok modernis yang kemudian membentuk organisasi Muhammadiyah (1912) dan kelompok tradisionalis yang kemudian membentuk Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 (Barton, 1999: 47). Kajian terhadap Islam yang begitu luas dan beragam membuat Islam dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, baik pendekatan yang bersifat teologisnormatif maupun pendekatan yang bersifat historis-kritis (Abdullah, 1996: 4). Namun, dengan adanya pendekatan-pendekatan tersebut bukan berarti tidak ada ketegangan antara keduanya. Abdullah menjelaskan ketegangan antara keduanya: “Hubungan antara keduanya – normatif dan historis – seringkali diwarnai dengan tension atau ketegangan, baik yang bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama, lantaran ia berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing agama – sampai batas-batas tertentu – adalah bercorak literalis, tekstualis. Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagaman corak ini (normatif) tidak sepenuhnya menyetujui – untuk tidak
3
mengatakan menolak – alternasi pemahaman yang dikemukakan oleh pendekatan kedua. Pendekatan terhadap fenomena keberagaman yang kedua dituduh oleh yang pertama sebagai pendekatan dan pemahaman keagamaan yang bersifat reduksionis” (Abdullah, 1996: vi).
Sejak sebelum modernisasi Barat masuk mempengaruhi kaum muslim, hubungan Islam dengan agama lain diwarnai dengan dinamika yang berbeda-beda. Mulai dalam pola sinkretik kehidupan beragama orang Islam di Keraton Mataram, hingga puritanisme Islam yang kemudian melahirkan peristiwa perang Padri di Sumatera Barat terdapat manifestasi hubungan antarumat beragama yang sangat beragam (Wahid, 1993:6-7). Namun, tantangan modenisasi yang datang dari Barat ternyata justru mempengaruhi cara kaum muslimin memandang keabsahan yang ada dalam Islam itu sendiri, seperti hukum agama, kesusilaan (akhlak), dan akidah (teologia) (Wahid, 1993:8). Pada tahun 1980-an dunia mengalami peristiwa perubahan yang luar biasa yaitu tidak lagi adanya batas-batas budaya, rasial, bahasa, dan geografis. Dunia Barat tidak dapat lagi menutup diri dan menganggap bahwa Barat merupakan pusat sejarah dan budaya serta agama yang absah. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi di Dunia Barat, tetapi juga di Dunia Timur (Coward, 1989: 5). Masuknya pengaruh postmodernisme ternyata ikut merubah pemikiran masyarakat modern di Barat pada waktu itu, termasuk pemikiran masyarakat modern terhadap agama. Munculnya diskursus mengenai pluralisme juga ikut mewarnai corak masyarakat postmodernisme. Masyarakat postmodernisme adalah masyarakat yang penuh keberagaman, baik dalam sikap maupun pemikiran. Pluralisme menjadi suatu sikap kesadaran yang tepat dalam memahami realitas
4
dalam menghargai setiap perbedaan yang ada di dalam suatu masyarakat. Pluralisme juga menjadi ciri dari postmodernisme itu sendiri sebab perdebatanperdebatan postmodernisme menekankan pentingnya perbedaan dan “ke-yang-lainan” (otherness) (Turner, 2006: 36). Membicarakan pluralisme dalam konteks ke-Indonesia-an, pemikiran Abdurrahman Wahid menarik untuk dijadikan objek kajian utama. Abdurrahman Wahid tidak hanya dikenal sebagai tokoh intelektual yang terkenal di Indonesia, tetapi Abdurrahman Wahid adalah tokoh yang hadir dengan membawa semangat untuk berpegang teguh terhadap nilai-nilai universal agama, nasionalisme, dan menjunjung tinggi sikap keterbukaan akan segala kemungkinan menerima perbedaan (Wahid, 2007: xii-xiii). Melalui karya-karyanya seperti Islam Kosmopolitan, Muslim di Tengah Pergumulan, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, dan dalam beberapa karya lainnya, terdapat gambaran pemikiran Abdurrahman Wahid tentang semangat pluralitas di tengah perbedaan masyarakat. Menurut Gadamer dalam menyikapi perbedaan tersebut perlu adanya dialog. Penekanan Gadamer terhadap dialog merupakan suatu upaya untuk memaknai ulang posisi dan peran subjek serta pemahaman dan pemaknaan baru (Hambali, 2005: 17). Abdurrahman Wahid juga menganggap bahwa dialog merupakan suatu upaya bentuk kerjasama antar umat beragama untuk memahami perbedaan. Sebab dalam Islam perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui, sedangkan perpecahan merupakan yang dilarang oleh Islam (Wahid, 2006: 134). Berdasarkan penjelasan di atas, secara tersirat peneliti melihat adanya elemen postmodernisme dalam beberapa hal yang menjadi pokok pemikiran Abdurrahman
5
Wahid, khususnya pemikiran terhadap pluralisme. Namun, Abdurrahman Wahid memang tidak secara langsung mengakui sebagai pemikir postmodernisme. Bagi sebagian orang, Abdurrahman Wahid justru dikenal sebagai seorang bercorak pemikiran post tradisionalisme. Namun, pada penelitian ini peneliti memilih memakai istilah postmodernisme untuk melihat dimensi postmodernisme terhadap konsep pluralisme menurut Abdurrahman Wahid. Berbeda dengan Barton dalam penelitiannya (1999) yang menggunakan istilah neo-Modernisme untuk membedakan dengan modernisme yang pernah dikenal sebelumnya: “Sungguhpun demikian, gerakan intelektual baru dengan nama ‘Pembaruan Pemikiran Islam’ ini tetap populer sepanjang tahun 1970-an dan secara baik mampu memberikan gerakan yang – walau terlepas dari aliran Modernisme Islam terdahulu – vitalitas kreatifnya begitu berbeda dari Modernisme yang ditawarkan organisasi semacam Muhammadiyah atau Masyumi. Dengan alasan itulah buku ini menggunakan istilah ‘neo-Modernisme’ daripada istilah ‘Pembaruan Pemikiran Islam’. Hal ini bertujuan untuk membedakan gerakan Modernisme baru ini dari Modernisme yang pernah dikenal sebelumnya” (Barton, 1999: 10).
Para pemikir gerakan intelektual, seperti Djohan Effendi, Nurcolish Madjid, dan Abdurrahman Wahid menganggap istilah neo-Modernisme – mungkin begitu juga postmodernisme – hanyalah sebagai label yang paling layak untuk menggambarkan posisi tokoh tersebut, meskipun para pemikir gerakan intelektual tersebut sebenarnya jarang memakai istilah tersebut (Barton, 1999: 12). Label tersebut hanya untuk membedakan pemikirannya dengan Modernisme yang pernah ada sebelumnya. Pada penelitian ini, peneliti akan mengkaji dimensi postmodernisme dalam konsep pemikiran pluralisme menurut Abdurrahman Wahid sebagai upaya pembuktian bahwa ada dimensi postmodernisme dalam pemikiran pluralisme
6
Abdurrahman Wahid. Selain itu peneliti ingin mencari tahu apakah pemikiran pluralisme Abdurrahman Wahid dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme atau justru Abdurrahman Wahid menolak postmodernisme itu sendiri. Hingga pada kesimpulan apakah Abdurrahman Wahid adalah tokoh yang bisa dikategorikan sebagai pemikir postmodernisme atau bukan. Dengan begitu diharapkan penelitian ini memberikan pemahaman baru tentang pemikiran Abdurrahman Wahid serta relevansinya terhadap pluralitas keagamaan di Indonesia.
1.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusunlah beberapa pokok rumusan
masalah yang akan diteliti pada penelitian ini. a. Apa dimensi postmodernisme dalam pemikiran Abdurrahman Wahid? b. Apa konsep pluralisme Abdurrahman Wahid? c. Apa relevansi Islam inklusif Abdurrahman Wahid?
2.
Keaslian Penelitian Sejauh pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti, peneliti belum pernah
menemukan tulisan jurnal, skripsi atau buku-buku yang membahas secara terperinci mengenai dimensi postmodernisme dalam konsep pluralisme Abdurrahman Wahid. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan objek penelitian yang akan peneliti lakukan adalah:
7
a. Ahmed, Akbar S, 1992. Dalam Postmodernism and Islam Predicament and Promise. Mencoba menjelaskan posisi Islam dalam postmodernisme. Dalam karyanya tersebut memperlihatkan adanya titik temu antara kritik postmodernis dan hegemoni Barat dengan tinjauan Islam tentang materialisme, hegemoni media, kekuasaan militer, dan dominasi global Barat. Ahmed dalam karyanya juga menjelaskan ancaman media yang merusak. b. Greg Barton, 1995, dalam disertasinya yang berjudul The Emergence of Neo-Modernism: A Progresive, Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia, yang kemudian dijadikan buku yang berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: Paramadina, 1999). Greg Barton berupaya menelusuri gagasan Islam liberal oleh para intelektual muslim Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Selain itu dalam penelitiannya, Greg Barton mencoba menegaskan bahwa Islam di Indonesia sebagai sebuah keseluruhan telah berubah secara signifikan oleh kekuatan modernisasi dan globalisasi. (Barton, 1999: xv). c. Penelitian Amin Abdullah yang berjudul Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) berupaya mengangkat
kembali
diskursus
seputar
Kalam
dengan
mempertimbangkan perkembangan sesuai dengan tantangan dan tuntutan historisitas kemanusiaan yang melingkarinya (Abdullah, 1995: vi). Inti
8
dari penelitian Amin Abdullah adalah bagaimana mengubah wajah konsepsi Kalam yang terkesan defensif ke arah perumusan yang lebih hidup di tengah era postmodernisme. d. Achmad Arief Imamulhaq, 2000, Pandangan KH. Abdurrahman Wahid dan Ayatullah Khomeni Tentang Negara dan Demokrasi (Sebuah Studi Komparasi), skripsi Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini berupaya mengkomparasikan pemikiran Abdurrahman Wahid dengan Ayatullah Khomaeni dalam melihat konsep negara. Kesimpulan penelitian ini menyatakan bahwa kehadiran negara Islam bukan merupakan kewajiban utama dalam suatu negara, Dalam penelitian ini, Abdurrahman Wahid memberikan tawaran alternatif dalam menegakan ajaran Islam tanpa harus mendirikan negara Islam, yakni; Islam dijadikan sebagai etika masyarakat dan pribumisasi Islam. e. Listyono Santoso, 2003, Agama dan Negara: Tinjauan Hemeneutika atas Konsep Sekularisasi Politik menurut KH. Abdurrahman Wahid, skripsi Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini menjawab permasalahan yang berkaitan dengan hubungan agama dan negara menurut Abdurrahman Wahid dalam diskursus demokratisasi. f. Andri Hasan Fauzi, 2007, Konsep Pluralisme Agama Abdurrahman Wahid, skripsi Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini menganalisis pemikiran pluralisme agama menurut Abdurrahman Wahid. Ada empat poin utama dalam kesimpulan penelitian ini, pertama adalah konsep pluralisme agama Abdurrahman Wahid berakar dari ide tentang pribumisasi Islam,
9
yaitu dengan mengokohkan kembali akar budaya Indonesia, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Kedua, Islam harus berani melawan kultur. Sikapnya ini berimplikasi terhadap konsep pluralisme agama yang bertitik tolak kepada aspek kemanusiaan. Ketiga, Islam adalah agama kasih sayang dan toleran, sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Keempat, pluralisme agama Abdurrahman Wahid menitikberatkan pada adanya nilai-nilai universal dalam setiap agama. Berdasarkan beberapa penelitian di atas terlihat bahwa penelitian yang mengkaji tentang dimensi postmodernisme dalam konsep pluralisme Abdurrahman Wahid belum dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian ini berbeda dengan penelitianpenelitian sebelumnya yang mengungkapkan pemikiran Abdurrahman Wahid melalui pendekatan ilmu politik dan ilmu fiqh (agama). Penelitian ini mencoba mengkaji pemikiran Abdurrahman Wahid dari aspek kefilsafatan, khususnya dalam ranah diskursus postmodernisme. Pustaka atau karya ilmiah yang membahas mengenai postmodernisme dengan melihat Abdurrahman Wahid sebagai objek material masih sangat jarang ditemukan. Belum adanya penelitian yang mengkaji dimensi postmodernisme dalam konsep pluralisme Abdurrahman Wahid meyakinkan penulis bahwa penelitian yang dilakukan peneliti belum dilakukan oleh penelitian lain. Dengan demikian,
penelitian
yang
akan
dipertanggungjawabkan keasliannya.
dilakukan
oleh
penulis
sangat
bisa
10
3.
Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan bentuk sumbangsih nyata peneliti bagi
perkembangan dunia pendidikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi khalayak umum baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Bagi Ilmu Filsafat Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya pengembangan ilmu khususnya dalam memahami pemikiran postmodernisme.
Selain itu
penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi referensi dalam memahami pemikiran postmodernisme dengan kajian keislaman. b. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai kajian pendidikan pemikiran kefilsafatan bagi masyarakat agar lebih memahami berbagai macam
pemikiran
kefilsafatan
yang
beragam,
salah
satunya
postmodernisme. Selain itu penelitian ini merupakan salah satu upaya mengangkat kembali pemikiran pluralisme Abdurrahman Wahid, kemudian diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. c. Bagi Peneliti Hasil penelitian memiliki manfaat bagi peneliti yakni, penelitian ini diharapkan menambah wawasan bagi peneliti terhadap kajian sosial politik khususnya dalam kajian postmodernisme. Selain itu penelitian ini diharapkan memahami pemikiran sosial-politik Abdurrahman Wahid.
11
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Berupaya mengidentifikasi adanya dimensi postmodernisme dalam pemikiran Abdurrahman Wahid 2. Menganalisis konsep pluralisme Abdurrahman Wahid 3. Menganalisis relevansi Islam inklusif menurut Abdurrahman Wahid
C. Tinjauan Pustaka Penelitian ini berusaha mengidentifikasi dimensi postmodernisme dalam konsep pluralisme Abdurrahman Wahid. Peneliti melakukan penelusuran melalui literatur-literatur yang berkaitan dengan objek kajian penelitian kali ini. Kajian tentang pluralisme telah banyak dibahas oleh beberapa peneliti sebelumnya baik mengenai pluralisme agama, pluralisme budaya, pluralisme etnik, dan jenis-jenis pluralisme lainnya. Kajian-kajian tersebut ada yang berupaya menjawab permasalahan sosial secara praktis, ada juga yang memberikan pemahaman konsep pluralisme itu sendiri sehingga jelas sudah sejauh mana kajian mengenai pluralisme dilakukan. Nurcholish Madjid (2001: 12) menjelaskan definisi pluralisme berdasarkan definisi dalam The Oxford English Dictionary, yakni: 1.
Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis, sebaliknya mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Termasuk
12
juga berpatokan bahwa kekuasaan politik harus dibagikan kepada beberapa partai politik (pluralisme politik). 2.
Keberadaan atau toleransi terhadap keragaman etnik atau kelompokkelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya (pluralisme sosial).
Supartiningsih (2012: 129) dalam disertasinya menjelaskan bahwa secara fenomenologis istilah ‘pluralisme beragama’ (religious pluralism) menunjukan fakta bahwa sejarah agama-agama menampilkan suatu pluralitas tradisi dan berbagai varian masing-masing tradisi. Sedangkan secara filosofis, istilah ‘pluralisme beragama’ menunjukan pada suatu teori tentang hubungan antara berbagai tradisi itu. Disertasi Greg Barton yang berjudul The Emergence of Neo-modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia (A Textual Study Examining the Writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, and Abdurrahman Wahid 1968-1980). Penelitian ini menjelaskan perspektif internal dari perkembangan pemikiran Islam Indonesia yang dibawa oleh tokoh pembaruan Islam seperti Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid. Selain itu kajian yang dibahas pada disertasi ini adalah berpusat pada pemikiran Islam per se daripada politik atau sosial (Barton, 1999: 17).
13
Menurut Barton (1999), pemikiran pluralisme Abdurrahman Wahid dapat dilihat pada empat esai yang pernah ditulis oleh Abdurrahman Wahid. Empat esai tersebut antara lain berjudul Rasionalitas Kiai Adlan (Tempo, 26 Juli 1980), yang intinya bahwa pluralisme mengakar bukan bagaimana seseorang bertindak, tetapi bagaimana seseorang berpikir. Esai lainnya berjudul Bersatu dalam Menuntut Ilmu (Tempo, 11 Oktober 1980), inti esai ini adalah bagaimana sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal, melainkan persoalan hati, persoalan perilaku. Selanjutnya esai berjudul Kiai Khasbullah dan Musuhnya (Tempo, 7 Juni 1980) yang mengajak pembaca untuk belajar menahan diri untuk melawan dan memilih untuk bersikap dewasa dalam menghadapi keberagaman umat seperti yang ditunjukkan oleh Kiai Khasbullah. Terakhir adalah esai yang berjudul Kiai Iskandar dan Pak Damin (Tempo, 4 Oktober 1980). Pada esai ini menceritakan seorang Kiai yang diminta memimpin upacara pemakaman yang bernama Pak Damin. Karena ketidaktahuan Kiai Iskandar bahwa Pak Damin adalah seorang abangan dan bukan santri. Pasca kejadian itu Kiai Iskandar mengadakan pendekatan kembali antara santri dan abangan di kampungnya (Barton, 1999: 396400). Coward menjelaskan pluralisme keagamaaan terdiri dari prinsip umum, pertama bahwa pluralisme keagamaan dipahami sebagai sebuah logika tentang Yang Satu diwujudkan dalam banyak nama. Kedua memahami agama sebagai alat. Ketiga pengingkaran spiritualitas menjadi kesulitan dan tantangan bagi pluralisme keagamaan di zaman ini, maka diperlukan pengenaan kriteria yang diabsahkan (1989: 169-177).
14
D. Landasan Teori Istilah “Postmodernisme” berasal dari kata dasar “modern” yang terdiri dari awalan “post”, dan akhiran ”isme”. Penggunaan istilah “post” telah menimbulkan banyak perdebatan oleh beberapa tokoh. Istilah “post” bisa menunjukkan arti sesudah era kemodernan yang berarti babak baru putusnya hubungan total dari pola modernisme, atau seperti yang dijelaskan Habermas bahwa postmodernisme adalah kelanjutan proyek yang belum selesai (Sugiharto, 2000: 24). Turner membedakan antara istilah postmodernisme dan postmodernitas. Turner memahami postmodernisme sebagai penggunaan simulasi dalam produksi kebudayaan, dan dalam istilah gaya, istilah postmodernisme menyangkut ejekandiri dan ironi. Sedangkan postmodernitas mengacu pada pengluasan proses komodifikasi kepada kehidupan sehari-hari dan dampak kebudayaan konsumer massa pada sistem budaya, yang menyamarkan perbedaan. Turner memberi contoh antara kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah (Turner, 2002: 11-12). Salah satu tokoh filsafat yang memperkenalkan istilah “postmodernisme” ke dalam bidang filsafat adalah Jean Francois Lyotard. Lyotard menggambarkan postmodernisme adalah suatu kondisi pengetahuan dalam masyarakat sangat berkembang. “Saya akan menggunakan istilah modern untuk menunjukkan sains apapun yang melegitimasi dirinya sendiri dengan referensi pada suatu metawacana semacam ini yang membuat suatu keputusan eksplisit pada beberapa narasi agung, semacam dialektika spirit, hermeneutika dalam arti, emansipasi atas subyek rasional atau pekerjaan, atau penciptaan kesejahteraan” (Lyotard, 2009: 35-36).
15
Harvey menjelaskan bahwa heterogenitas hak dan perbedaan menjadi ciri dari pemikiran postmodernisme dalam redefinisi diskursus budaya. ”Postmodernism,by way of contrast, privileges 'heterogenity and difference as liberative forces in the redefinition of cultural discourse. 'Fragmentation, indeterminacy, and intense distrust of all universal or 'totalizing' discourses (to use the favoured phrase) are the hallmark of postmodernist thought” (Harvey, 1992: 9). Turner juga mengaitkan antara postmodernisme dengan pribumisasi. Turner menyebutkan bahwa hubungan antara postmodernisme dengan pribumisasi memiliki daya tarik bagi tekstualitas pengetahuan; kualitas lokal, jelmaan, kontekstualnya, dan masalah meuniversalkan atau mengenalkan ‘agama’ atau ‘sifat manusia’ (Turner, 2002: 12). Shihab menjelaskan bahwa postmodernisme adalah suatu era kebangkitan kembali pamor agama dan semangat pada nilai-nilai tradisional keagamaan setelah dikecewakan dengan janji-janji gerakan modern yang dianggap gombal. Mitos keunggulan rasional digoyahkan untuk kembali ke alam yang lebih otentik dan suci. Kaum agamawan dan postmodernis menolak kemampuan akal dalam mencapai kebenaran seperti yang diyakini gerakan modern, melainkan menempatkan iman dan tradisi pada keadaan semula (Shihab, 1998:50-51). Sugiharto melihat rasionalitas dan pluralisme merupakan salah satu persoalan dalam postmodernisme. Pluralitas permainan bahasa dan bentuk kehidupan dianggap sebagai titik landasan bagi para pemikir postmodern. Manusia memang hidup di tengah keberagaman bahasa. Namun, ketidakterukuran keberagaman permainan bahasa menjadi relatif. Oleh karena itu, kenyataan bahwa pluralistik
16
adalah titik akhir yang tak terjembatani, dan permainan bahasa merupakan sistem tertutup yang tidak pernah bisa diukur (Sugiharto, 2000: 58). “To approach an understanding of the Postmodernist age is to presuppose a questioning of, a loss of faith in, the project of modernity; a spirit of pluralism; a heightened scepticism of tradisional orthodoxies; and finally a rejection of a view of the world as a universal totality, of the expectation of final solutions and complete answers” (Ahmed, 1992: 10). Amin Abdullah juga menjelaskan bahwa ciri dasar postmodernisme antara lain dekonstruksionisme, relativisme, dan pluralisme (1995: 99). Perlunya pemahaman dan pendekatan melaui multidimensional approaches sangat diperlukan dalam memahami postmodernisme. Keberagaman yang ada di era postmodernisme membuat tidak adanya tempat untuk paradigma tunggal dalam diskursus apapun. Abdullah melihat fenomena pluralisme ini cocok dengan kondisi di Indonesia yang terdiri beragam suku, agama, ras, dan budaya (1995: 105). Supartiningsih (2012: 151) dalam disertasinya melihat realitas plural dalam masyarakat modern merupakan akibat dari suatu kehidupan sosial. Supartiningsih mengacu pada dua teori politik modern yang kerap dijadikan solusi atas realitas plural, yaitu liberalisme politik John Rawls dan rasionalitas komunikatif Jürgen Habermas. Supartiningsih menjelaskan bahwa filsafat politik Rawls merupakan jawaban atas fakta pluralitas masyarakat modern. Pluralisme menurut Rawls adalah suatu etika politik yang mengajarkan bahwa kemajemukan tidak boleh ditiadakan, tetapi harus dipertahankan. Rawls juga menjelaskan bahwa pluralisme merupakan suatu conditio humana masyarakat modern yang tidak mungkin disingkirkan dari
17
masyarakat modern itu sendiri. Negara yang menjunjung tinggi pluralitas dalam masyarakat adalah negara yang juga menghormati HAM. Sedangkan rasional komunikatif Jürgen Habermas melihat bahwa kehidupan bersama dalam suatu negara selalu berkembang seiring kemajuan berpikir manusia. Ancaman globalisasi merupakan tantangan bagi masyarakat era modern yang tidak bisa disangkal. Oleh karena itu, konflik yang mengatasnamakan etnis, agama, dan budaya tak terhindarkan lagi. Ketika ada di dalam kondisi seperti itu, ajaran toleransi tidak akan mampu
memecahkan
permasalahan
tersebut.
Menurut
Habermas
perlu
dilakukannya suatu rasionalitas komunikatif yang berorientasi pada saling pemahaman (Supartiningsih, 2012: 152-153). Abdurrahman Wahid memahami perbedaan sebagai sesuatu yang diakui dalam Islam. Perbedaan keyakinan bukanlah sesuatu hal yang membatasi / melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, apalagi menyangkut kepentingan umat manusia. Sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan (Taffaruq) (Wahid, 2006: 134). Menurut Abdurrahman Wahid penerimaan Islam akan kerjasama itu dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama. “Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antar agama juga menjadi kewajiban” (Wahid, 2006: 134). Dialog antar agama sangat dibutuhkan untuk menangani persoalan yang ada pada masyarakat, sebab masing-masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda (Wahid, 2006: 134-135).
18
Gadamer yang merupakan salah satu tokoh postmodernisme menjelaskan pentingnya penekanan sebuah dialog untuk memaknai ulang posisi dan peran subjek. Dialog merupakan cara subjek dapat dipulihkan dan diberi pemaknaan baru dalam proses pemahaman (Hambali, 2005: 17). Bagi umat beragama, melalui dialog subjek memperoleh pemahaman tentang bagaimana harus bersikap. Rahardjo menekankan pentingnya suatu sikap inklusif pada kaum muslim. Sikap inklusif adalah suatu sikap seseorang yang menyadari kehadiran agamaagama lain. Hal ini memungkinkan seseorang untuk berdialog dengan agamaagama lain (Rahardjo, 2010: 232). Sikap inklusif
dinilai sesuai dengan
perkembangan zaman saat ini. Shihab menjelaskan pentingnya sikap inklusif sebab pada masa ini hubungan antar umat beragama mengalami perubahan pola. Pada masa lalu hubungan antar umat beragama lebih pada antagonisme polemik dan upaya menundukkan pihak lain ke agama yang diyakini. Namun, pada masa ini hubungan hubungan antar agama lebih pada menekankan pada dialog dan saling pengertian (Shihab, 1998: 66). Dr. M. Syafi’i Anwar dalam kata pengantar Islamku, Islam Anda, Islam Kita karya Abdurrahman Wahid mengelompokkan pemikiran Abdurrahman Wahid pada tipologi pemikiran substansif-inklusif. Syafi’i menjelaskan ada empat ciri pemikiran substansif-inklusif. Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa AlQuran sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan secara detil setiap objek
19
permasalahan kehidupan. Kedua, pendukung paradigma substansif-inklusif meyakini bahwa misi utama Nabi Muhammad adalah untuk mempersatukan umat (al-wihda al ijtimahi). Ketiga, para proponen paradigma substansif-inklusif berpendapat bahwa syari’at tidak terikat oleh negara, syari’at justru diletakan dalam kerangka sistem keimanan Islam. Keempat,
refleksi pendukung paradigma
substansif-inklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam (Islam Injuctions) dalam aktivitas politik, dan tidak hanya dalam penampilan, melainkan juga dalam format pemikiran dan kelembagaan (2006: xvii-xviii).
E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian historis-faktual mengenai tokoh. Objek material yang dibahas adalah pemikiran pluralisme KH. Abdurrahman Wahid. Objek formal yang digunakan untuk menganalisis apa dimensi postmodernisme dalam konsep pluralisme Abdurrahman Wahid. Penelitian ini berjenis penelitian kepustakaan, dengan menelaah pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid melalui karya-karya yang ditulis langsung untuk kemudian menjawab bagaimana relevansi pemikiran pluralisme Abdurrahman Wahid dengan postmodernisme. Dengan demikian,
20
data kepustakaan akan diolah dengan analisis hasil yang mengacu kepada kerangka berpikir yang mengaitkan antara objek material dan objek formal. 2.
Bahan Penelitian Penelitian ini berjenis studi kepustakaan, yang terbagi atas pustaka primer dan pustaka sekunder. a. Pustaka Primer Pustaka Primer penelitian ini dijadikan referensi utama oleh peneliti. Pustaka primer yang digunakan untuk mendeskripsikan objek material secara lengkap dan komprehensif. 1) Wahid, Abdurrahman, 1999a, Prisma Pemikiran Gus Dur, LKiS, Yogyakarta 2) Wahid, Abdurrahman, 1999b, Membangun Demokrasi, Remaja Rosdakarya, Bandung 3) Wahid, Abdurrahman, 1999c, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Grasindo, Jakarta 4) Wahid, Abdurrahman, 2006, Islamku, Islam Anda, Islam Kita Agama Masyarakat Demokrasi, Wahid Institute, Jakarta 5) Wahid, Abdurrahman, 2007, Islam Kosmopolitan, Wahid Institute, Jakarta
b. Pustaka Sekunder Pustaka sekunder digunakan sebagai referensi atau rujukan selain dari pustaka primer. Pustaka sekunder berfungsi untuk mendeskripsikan objek formal, serta mendukung kelengkapan data penelitian.
21
1) Abdullah, Amin, 1995, Falsafah Kalam di Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Era
2) Ahmed, Akbar S, 1992, Postmodernisme and Islam Predicament and Promise, Routledge, London 3) Barton, Greg, 1999, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, Paramadina, Jakarta 4) Barton, Greg, 2008, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, LKiS, Yogyakarta 5) Sugiharto, I. Bambang, 2000, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta 6) Harvey, David, 1992, The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origin of Cultural Change. Blackwell Published, United Kingdom 3.
Alur Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan langkah sebagai berikut. a.
Inventarisasi bahan data: pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan referensi pustaka yang terkait dengan penelitian untuk menjelaskan objek material dan objek formal.
b.
Klasifikasi data: referensi pustaka yang telah diperoleh akan diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi bahan penelitian, sehingga akan diklasifikasi menjadi sumber primer dan sekunder.
c.
Pengolahan dan sistematisasi data: Data dari berbagai pustaka diolah dan disistematisasi berdasarkan kerangka berpikir.
d.
Analisis hasil penelitian: Pengolahan data menggunakan langkahlangkah metodis filsafat sehingga memenuhi syarat sebagai penelitian
22
filsafat. Setelah data diolah, kemudian akan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang disusun.
4.
Analisis Hasil Penelitian ini menggunakan beberapa metode dalam penelitian filsafat untuk melakukan analisa terhadap data. Adapun unsur-unsur metodis sebagai berikut: a.
Deskripsi,
yaitu
memberikan
penjelasan
tentang
dimensi
postmodernisme serta memberikan penjelasan konsep pluralisme Abdurrahman Wahid. b.
Intepretasi, Metode ini digunakan untuk menafsirkan dimensi postmodernisme dan konsep pluralisme Abdurrahman Wahid. Melalui hermeneutika peneliti berupaya memahami makna terdalam terhadap suatu teks, yang dalam hal ini merupakan karya Abdurrahman Wahid, sehingga menemukan makna yang terkandung di dalamnya.
c.
Kesinambungan Historis, peneliti menganalisis perkembangan historis pemikiran Abdurrahman Wahid dengan melihat hal dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, serta keadaan yang melatarbelakangi pemikirannya.
d.
Heuristik, Metode ini dilakukan dengan melakukan penyimpulan dan refleksi kritis sehingga menemukan suatu pemikiran baru atau kritik terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid.
23
F. Hasil yang dicapai Hasil yang dicapai dari penelitian filsafat ini adalah sebagai berikut: 1.
Menjelaskan bukti adanya dimensi postmodernisme dalam pemikiran Abdurrahman Wahid.
2.
Menjelaskan konsep pluralisme Abdurrahman Wahid
3.
Memahami relevansi Islam inklusif terhadap keragaman agama di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan BAB I
: Menguraikan pendahuluan, yang memuat: latar belakang masalah yang terdiri rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian; tujuan penelitian; tinjauan pustaka; landasan teori; metode penelitian yang terdiri dari jenis, bahan, alur dan analisis hasil penelitian; hasil yang ingin dicapai; serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II
: Menguraikan konsep postmodernisme. Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian postmodernisme, sejarah postmodernisme, pokok pemikiran postmodernisme, dan pluralisme dalam postmodernisme.
BAB III
: Menguraikan
deskripsi
tentang
pemikiran
pluralisme
Abdurrahman Wahid yang menjadi objek material penelitian, terdiri atas riwayat hidup Abdurrahman Wahid, latar belakang pemikiran Abdurrahman Wahid, pokok pemikiran Abdurrahman Wahid, dan penjelasan konsep pluralisme Abdurrahman Wahid.
24
BAB IV
: Menganalisis secara kritis dimensi postmodernisme dalam pemikiran pluralisme Abdurrahman Wahid serta relevansinya terhadap kemajemukan agama di Indonesia.
BAB V
: Pada bab penutup ini terdiri dari kesimpulan dan saran yang terkait dengan penelitian yang telah dilakukan.