BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bagi bangsa Indonesia, pendidikan adalah hal yang sangat penting. Cita-cita untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terdidik bahkan telah tercetus sejak zaman penjajahan. Sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa perubahanperubahan besar yang terjadi pada bangsa ini biasanya melibatkan tokoh-tokoh perjuangan yang terdidik. Anies Baswedan (2013) dalam tulisan elektroniknya yang berjudul “Tantangan Dunia Pendidikan di Indonesia”, mengatakan bahwa pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia telah tertulis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalamnya tertulis sebuah amanat yang menetapkan bahwa pemerintah Indonesia hukumnya wajib untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi warga negara. Ketetapan ini merupakan prioritas kedua setelah mandat untuk mensejahterakan rakyat. Dapat disimpulkan bahwa hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya peran pendidikan bagi kelangsungan bangsa Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia setidaknya membagi jenjang pendidikan menjadi tiga kategori, yaitu pendidikan dasar (SD), menengah (SMP – SMA) dan perguruan tinggi. Berbeda dengan sistem pendidikan dasar dan menengah, sistem pendidikan perguruan tinggi cenderung menuntut mahasiswanya untuk menjadi lebih mandiri dan dapat mengambil keputusan sendiri (Rohmah, 2007). Akibat dari tuntutan sistem pendidikan tersebut beberapa mahasiswa ditemukan mengalami stres. Hal ini didukung oleh studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Maret 2014 melalui angket online kepada 10 mahasiswa Psikologi UGM. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam satu semester terakhir seluruh 1
2 responden pernah merasakan stres terkait perkuliahan. Responden mengungkapkan beberapa alasan stres seperti: tugas kuliah, deadline tugas, materi perkuliahan, nilai akademik, tanggungjawab organisasi, masa depan, dan perasaan minder (tidak percaya diri). Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, ditemukan bahwa stres merupakan salah satu masalah yang dapat menghambat performa mahasiswa. Hal tersebut didukung oleh hasil survei yang dilakukan oleh American College Health Association pada tahun 2013 di Amerika, yang menghasilkan temuan berupa salah satu masalah besar yang dihadapi mahasiswa dalam dunia perkuliahan adalah stres. Sebanyak 27,9% dari total 32.964 mahasiswa mengakui bahwa stres menjadi penghalang bagi performa akademik mereka. Hal tersebut senada dengan hasil penelitian Pierceall & Keim (2007) yang menemukan bahwa banyak mahasiswa yang tergolong dalam kategori umur dewasa muda mengalami stres akibat tekanan dalam dunia perkuliahan. Secara khusus, Kim & Lee (2013) mengatakan bahwa stres akademik mahasiswa merupakan masalah yang terus berkembang dan semakin serius menimpa negara-negara baik di Timur maupun Barat. Data yang diperoleh dari website Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada ditemukan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan oleh Widianingrum pada tahun 2012 terhadap mahasiswa yang direkrut secara acak menunjukkan bahwa satu dari empat mahasiswa mengalami tingkat stres sedang, sementara hampir 4% menunjukkan tingkat burnout yang tinggi. Masih dari sumber yang sama, Anisah dalam penelitiannya pada tahun 2012 menemukan sebanyak 12 % dari 217 responden mahasiswa menunjukkan gejala kecemasan yang cukup tinggi, dan sekitar 40 % dari 194 responden mahasiswa dalam penelitian Pratiwi (2012) menunjukkan gejala-gejala depresi. Lebih lanjut berdasarkan tulisan elektronik di website Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa temuan penelitian-penelitian lapangan tersebut diatas sejalan dengan data yang diambil dari layanan konsultasi psikologi di Gadjah
3 Mada Medical Center (GMC). Klien-klien yang dilayani di GMC sebagian besar menunjukkan masalah-masalah terkait dengan perasaan kurang bersemangat, tertekan, gangguan konsentrasi, perasaan bingung, kesulitan tidur, putus asa, dan dorongan mengakhiri hidup, bahkan pada beberapa kasus telah terjadi percobaan bunuh diri oleh mahasiswa. Setiap tahap perkembangan manusia merupakan fenomena stres yang terus berjalan. Ini dikarenakan karakter tahap perkembangan yang selalu berubah, tidak terprediksi, dan menuntut sebuah proses (Maddi, 2013). Hall mendefinisikan masa remaja yang usianya berkisar diantara 12 sampai 23 tahun kehidupannya diwarnai oleh pergolakan. Pandangan badai-dan-stres (storm-and-stress view) merupakan konsep Hall yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi dengan konflik dan perubahan suasana hati (Santrock, 2007). Dengan demikian, mahasiswa sebagai individu yang masih tergolong dalam masa remaja juga akan merasakan fenomena badai dan stres. Stres merupakan salah satu respon psikologis seorang individu ketika dihadapkan pada situasi atau kondisi yang dirasa telah melampaui batas ketahanan/kemampuan diri. Stres adalah fenomena normal yang dirasakan setiap individu dan merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan. Selye (dalam Wade & Tavris, 2008) mengungkapkan bahwa orang tidak harus berusaha untuk mencapai kehidupan yang bebas stres, karena mengalami sedikit stres adalah hal yang positif dan produktif walaupun beberapa stres negatif memang tidak dapat dihindari. Penelitian yang dilakukan oleh Hystad, dkk (2009) menemukan adanya hubungan antara stres yang dialami mahasiswa dengan somatisasi dan komplain-komplain masalah psikologis. Stres yang dialami mahasiswa merupakan akibat dari tuntutan kehidupan perkuliahan yang harus dijalani. Kehidupan perkuliahan mahasiswa bukan sekedar kegiatan sehari-hari seperti datang ke kampus, menghadiri kelas, mengerjakan tugas, mengikuti ujian,
4 dan kemudian lulus. Diluar hal tersebut, masih banyak aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan perkuliahan seperti bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan teman sesama mahasiswa yang memiliki karakteristik dan latar belakang berbeda, mengembangkan bakat dan minat melalui kegiatan-kegiatan diluar kampus, dan bekerja untuk menambah uang saku (Govaerst & Gregoire, 2004). Tekanan dalam bidang akademik cenderung menjadi salah satu stresor yang paling signifikan dalam kehidupan mahasiswa (Hystad, Eid, Laberg, Johnsen, & Bartone, 2009). Stres yang dialami mahasiswa apabila tidak mampu dikendalikan dan diatasi maka akan memunculkan beberapa dampak negatif. Bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari stres, salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama di Indonesia, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB) secara khusus memberikan pelatihan pengelolaan stres kepada mahasiswanya (“Mahasiswa ITB dapat Pelatihan Pengelolaan Stres”, 2009). Dampak negatif secara kognitif yang bisa saja dialami oleh mahasiswa seperti sulit berkonsentrasi, sulit mengingat materi pelajaran (mata kuliah), dan sulit memahami bahan-bahan pelajaran. Dampak negatif secara emosional, mahasiswa biasanya mengalami kesulitan untuk memotivasi diri, sering muncul perasaan cemas, sedih, mudah marah, frustasi, dan afek-afek negatif lainnya. Secara fisiologis, stres yang dialami mahasiswa juga memberikan dampak negatif sperti gangguan kesehatan, daya tahan tubuh yang menurun terhadap penyakit, kepala terasa pusing, badan letih-lemah-lesu, dan tidur tidak nyenyak. Dampak negatif lainnya adalah muncul perilaku menunda-nunda penyelesaian tugas-tugas kuliah, malas berangkat kuliah, penyalahgunaan obat dan alkohol, serta terlibat dalam kegiatan mencari kesenangan beresiko yang berlebihan (Heiman & Kariv, 2005). Berdasarkan penjelasan diatas, maka stres yang dialami mahasiswa sebenarnya merupakan sebuah konsekuensi yang normal dari sistem pendidikan perguruan tinggi. Permasalahan muncul ketika dampak negatif dari stres mulai dirasakan oleh mahasiswa.
5 Namun begitu, menurut Maddi (2013) tidak semua individu yang mengalami stres akan merasakan dampak-dampak negatif tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan faktor resistensi (resistance factor) terhadap stres yang dimiliki masing-masing individu. Guna memahami lebih dalam tentang faktor-faktor yang dapat membantu individu untuk melawan stres, alasan inilah yang kemudian mendorong penelitian tentang variabel yang dapat menurunkan hubungan stres dan penyakit. Dua variabel yang secara konsisten ditemukan dapat mengurangi tingkat stres adalah hardiness dan dukungan sosial. Penelitian serupa berupa tesis, sebelumnya pernah dilakukan oleh Tatipikalawan (2011) dengan judul “Pengaruh Hardiness dan Dukungan Sosial Terhadap Distress Kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polresta Yogyakarta”. Namun berdasarkan search engine di perpustakaan Fakultas Psikologi UGM belum ditemukan penelitian baik tesis maupun skripsi yang meneliti hubungan hardiness dan dukungan sosial dengan stres pada mahasiswa. Penelitian menggunakan lebih dari satu faktor resistensi terhadap stres dalam satu waktu telah terbukti dapat meningkatkan prediksi hubungan penyakit terhadap orang yang berada dalam tingkat stres tinggi. Dalam sebuah studi sumber daya resistensi, Kobasa dan rekan-rekannya menemukan bahwa para eksekutif laki-laki yang memiliki tingkat hardiness dan dukungan sosial yang tinggi, hanya memiliki kemungkinan 8% untuk jatuh sakit, sedangkan mereka yang tidak memiliki kedua sumber tersebut, memiliki kemungkinan 72% menjadi sakit (Kobasa dkk, 1982). Temuan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Tatipikalawan (2011) yang menyebutkan bahwa hardiness dan dukungan sosial memberikan sumbangan efektif lebih besar pada polisi lalu lintas terhadap stres secara bersama-sama dibandingkan masing-masing variabel berdiri sendiri. Hardiness (personality hardiness) merupakan tipe kepribadian yang memiliki daya tahan terhadap stres. Kobasa, dkk (dalam Retnowati & Munawarah, 2009) mengatakan bahwa saat ini semakin banyak penelitian yang telah membuktikan jika hardiness mampu
6 menjadi tameng untuk melindungi seseorang menghadapi stres yang ekstrim. Hardiness terdiri dari tiga dimensi, yaitu: 1) komitmen untuk menemukan tujuan hidup yang bermakna; 2) keyakinan akan kemampuan mengontrol lingkungan dan peristiwa yang dihadapi; dan 3) keyakinan untuk dapat tumbuh dan berkembang baik dari pengalaman positif maupun negatif yang dialami individu. Keyakinan tersebut mempengaruhi individu yang tangguh untuk menilai situasi yang mengancam menjadi kurang menakutkan, sehingga meminimalkan timbulnya tekanan (distress) (Maddi, 2013). Individu yang tangguh juga lebih percaya diri dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menggunakan koping aktif dan dukungan sosial, sehingga hal ini membantunya mengatasi tekanan yang dihadapi (Florian, Mikulincer, & Taubman, 1995). Seringkali seorang individu tidak mampu untuk mengatasi stres sendirian, dan perlu bagi dirinya untuk mendapatkan bantuan dan dukungan sosial dari orang lain yang berada dalam lingkaran keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja (Wade & Tavris, 2008). Dukungan sosial (social support) dianggap sebagai salah satu cara yang paling ampuh untuk melakukan koping terhadap stres. Dalam sebuah penelitian eksperimen yang melibatkan sejumlah 120 mahasiswa, Baqutayan (2011) menemukan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen dalam hubungan antara stres dan dukungan sosial. Kelompok eksperimen yang diberikan kelas tentang dukungan sosial dan mekanisme koping terbukti memiliki kemampuan koping yang lebih baik daripada kelompok kontrol. Mereka juga merasa lebih puas dengan performa akademik yang dilakukan selama proses eksperimen. Santrock (2007) menyatakan bahwa dukungan teman sebaya lebih berpengaruh terhadap tingkat rasa percaya diri pada individu terutama remaja akhir daripada dukungan orangtua. Quigley (2004) menemukan bahwa kelompok teman sebaya memiliki manfaat yang besar dalam pertumbuhan remaja. Manfaat paling menonjol yaitu berupa pemberian dukungan sosial bagi remaja lainnya dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang
7 mereka hadapi. Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini akan berfokus pada dukungan sosial yang bersumber dari teman sebaya. Penelitian ini menggunakan subjek mahasiswa karena mahasiswa memiliki karakter yang unik dan menarik untuk dilaksanakannya penelitian terutama di bidang kepribadian dan studi perilaku, selain itu mahasiswa akan selalu bersedia jika diminta untuk mengisi atau merespon kuesioner dan survei (Craik, 1986). Mereka juga cenderung sangat ekspresif dengan perasaan mereka tentang kejadian sehari-hari, dan mereka adalah kelompok yang berguna yang dapat digunakan untuk mempelajari masalah yang memerlukan tindakan pencegahan dan perilaku kambuhan seperti merokok, diet dan gangguan makan serta stres (Forrest, 1997). Selain itu, fenomena badai-stres yang biasa dialami oleh remaja menjadikan mahasiswa yang juga masih tergolong remaja merupakan subjek yang cocok bagi penelitian tentang stres dan faktor resistensi terhadap stres. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan korelasional untuk melihat hubungan hardiness dan dukungan sosial teman sebaya dengan stres pada mahasiswa di Universitas Negeri “X” di Yogyakarta.
8 B.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menguji hubungan hardiness dan dukungan sosial teman sebaya dengan stres pada mahasiswa di Fakultas Psikologi UGM. 2. Menguji hubungan hardiness dengan stres pada mahasiswa di Fakultas Psikologi UGM. 3. Menguji hubungan dukungan sosial teman sebaya dengan stres pada mahasiswa di Fakultas Psikologi UGM.
C.
Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan rujukan pengambilan kebijakan terkait pengalaman stres pada mahasiswa di Fakultas Psikologi UGM. 2. Penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian ilmu psikologi, khususnya cabang psikologi pendidikan mengenai stres pada mahasiswa.