BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Kerusakan gigi dapat berupa karies, keausan, trauma, penyakit periodontal, dan tindakan iatrogenik yang dapat menyebabkan terbukanya tubulus dentin terhadap mikroorganisme. Kerusakan gigi yang mencapai lebih dari setengah dentin atau bahkan telah mencapai pulpa dikategorikan sebagai karies profunda. Pulpa merupakan jaringan ikat yang memberi respon terhadap stimulus. Peradangan pulpa terdiri dari pulpitis reversibel dan pulpitis irreversibel. Pulpitis reversibel merupakan proses inflamasi ringan yang apabila penyebabnya dihilangkan maka inflamasi dapat hilang dan pulpa akan kembali normal sedangkan pulpitis irreversibel merupakan inflamasi yang tidak akan bisa pulih sendiri kecuali diberi bahan-bahan dentinogenesis (Murray dkk., 2002). Peradangan pulpa mengalami neurogenik inflamasi, dimana serabut saraf afferent distimulasi oleh berbagai iritan yang menghasilkan neuropeptid-neuropeptid seperti substansi P dan CGRP dari serabut nosiseptif C di dalam inti pulpa. Peptidpeptid ini memiliki sifat vasodilatasi yakni dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler dan edema. Neurogenik inflamasi mengeluarkan sel imun seperti makrofag, neurotrophil, sel mast, dan limphosit (Hargreaves, Cohen, 2011). Kerusakan odontoblas dan pelepasan molekul-molekul bioaktif sel dalam merangsang inflamatori pulpa (Gambar 2.1). Inflamasi pulpa tediri dari respon akut dan respon kronis bergantung pada besar dan durasi rangsangan. Perubahan permeabilitas
vaskuler terjadi saat inflamasi akut, mengakibatkan pembentukan eksudat karena ruang pulpa yang terbatas berekspansi menyebabkan tekanan intrapulpa meningkat dan mengakibatkan rasa sakit. Inflamasi kronis dapat bertahan selama bertahuntahun, seringkali tanpa ada keluhan pasien. Apabila inflamasi ini tidak segera ditanggulangi dapat menyebabkan efek yang membahayakan bagi pulpa sehingga dapat menyebabkan nekrosis pulpa dan infeksi jaringan periradikuler (Murray dkk., 2002). Inflamasi pulpa dapat dicegah dengan melakukan proteksi pulpodentinal kompleks berupa pengaplikasian bahan dentinogenesis atau bahan restoratif pada jaringan gigi yang rusak akibat prosedur operatif, toksisitas bahan restoratif serta penetrasi bakteri akibat terjadinya kebocoran mikro. Proteksi pulpodentinal kompleks juga berguna untuk memulihkan vitalitas pulpa (Ferracane dkk., 2010). Menjaga vitalitas jaringan pulpa dan mencegah perubahan patologis jaringan periradikular maka daerah tubulus dentin harus ditutup. Produksi dentin sekunder dan tersier berguna untuk melindungi pulpa gigi dan jaringan periapikal dari infeksi (Murray dkk., 2002). Proses pembentukan dentin tersier bersifat reaksioner dan reparatif. Dentin reaksioner biasanya diproduksi oleh odontoblas yang telah ada sebagai respon terhadap bahan restorasi, sebaliknya dentin reparatif terbentuk oleh sel-sel odontoblas baru ketika odontoblas primer mengalami injuri secara irreversibel. Dentinogenesis reparatif dianggap lebih kompleks dibanding dentin reaksioner (Murray dkk., 2002).
Banyak bahan yang telah digunakan untuk menutup tubulus dentin dengan merangsang terjadinya dentinogenesis. Proses dentinogenesis merupakan reaksi spesifik dari jaringan pulpa dan dianggap mekanisme perlindungan. Bahan yang sering digunakan adalah kalsium hidroksida dan MTA, walaupun kalsium hidroksida lebih ekonomis dan banyak beredar, peneliti-peneliti telah menunjukkan bahwa kalsium hidroksida kurang mampu menstimulasi dentinogenesis dan membentuk dentin reparatif dengan baik dan terlihat tidak dapat mengadakan deposisi dentin seperti yang diharapkan, sehingga hasil akhir yang diharapkan tidak sebaik dibandingkan menggunakan MTA (Eskandarizadeh dkk., 2006).
Gambar 2.1 Respons Odontoblas terhadap Stimulasi Patologis (Murray dkk., 2002)
Tujuan utama dari ilmu kedokteran gigi restoratif adalah mengembalikan dan mempertahankan kesehatan gigi melalui perawatan restoratif yang adekuat guna melindungi dan memperbaiki fungsi pulpa. Pulpa berperan penting dalam fungsi
formasi dan nutrisi bagi dentin serta fungsi inervasi dan pertahanan gigi (Smith dkk., 2003).
2.1 Regenerasi pada Pulpodentinal Kompleks Anatomi mikroskopik dentin primer terdiri dari tubulus dentin, dengan mikrotubulus yang saling berhubungan, penyembuhan sel-sel odontoblas pulpa perifer terjadi pada dentin intertubular yang mengandung kolagen-hidroksiapatit. Mineralisasi struktur peritubular berlanjut sejalan dengan bertambahnya usia, menghasilkan jaringan kurang permiabel dan kurang dinamis. Proses mineralisasi dapat dipercepat setelah penempatan bahan restorasi dalam kavitas yang dipreparasi. Dentin terdiri dari mineral hidroksiapatit, air, dan bahan organik. Sekitar 90% dari bahan organik adalah kolagen, dan kebanyakan kolagen tipe 1. Sekitar 10 % sisanya merupakan matrix ekstraseluler organik yang terdiri dari protein noncollagenous dan proteoglycans (Dahl, Orstavik, 2010). Secara anatomi dan fisiologi letak pulpa dan dentin sangat berdekatan sehingga dianggap merupakan suatu kesatuan dan disebut pulpodentinal kompleks. Pulpodentinal kompleks secara seluler spesifik mampu merespon aplikasi terapi dalam membentuk jaringan keras. Hasil akhir dari proses penyembuhan apabila odontoblas teriritasi oleh trauma, infeksi bakteri, ataupun produk degradasi maka pada pulpodentinal kompleks terjadi penyusunan kembali susunan jaringan normal dengan terbentuknya dentin tersier atau pembentukan jaringan lunak atau parut yang menyerupai fibrodentin dalam waktu 4-6 minggu. Apabila iritasi tersebut dihilangkan
sebelum terjadi nekrosis pulpa, pembentukan dentin tersier menciptakan perisai antara pulpa dengan iritan. Pembentukan dentin tersier berlangsung lebih cepat dibandingkan pembentukan dentin sekunder dan merupakan mekanisme pertahanan yang penting terhadap iritan patologis maupun fisiologis di dalam pulpodentinal kompleks (Dahl, Orstavik, 2010). Pola perbaikan pada pulpodentinal kompleks bergantung pada tiga kondisi patofisiologi batas dentin-pulpa yang berbeda yaitu luas dan jenis jaringan yang terluka, efek perlindungan dari struktur gigi dan integritas batas dentin-pulpa. Evolusi jangka panjang dan perawatan pulpodentinal kompleks merupakan pertimbangan utama dari kebanyakan prosedur restoratif gigi terutama pada pasien berusia lanjut dimana proses reparatif menjadi kurang efektif (Hargreaves, Cohen, 2011). Kelangsungan hidup odontoblas sangat bergantung pada sisa ketebalan dentin. Menurut Pameijer, Stanley dan Ecker (1991) melaporkan bahwa sisa ketebalan dentin adalah 1 mm atau lebih akan melindungi jaringan pulpa dari efek sitotoksik zinc phosphate dan Semen ionomer kaca modifikasi resin selama proses luting. Dalam satu tahun terakhir, telah diperkirakan bahwa estimasi yang benar terhadap sisa ketebalan dentin adalah 0,5 mm, dimana pada sisa ketebalan dentin 0,5 mm masih terdapat kelangsungan hidup odontoblas. Sisa ketebalan dentin dan sekresi dentin reaksioner saling berkaitan. Bagian terpenting dalam sekresi dentin reaksioner pada sisa ketebalan dentin antara 0,25 - 0,50 mm karena pada sisa ketebalan dentin 0,25 0,50 mm mempunyai molekul bioaktif untuk mendifusi sel odontoblas yang lebih banyak dibandingkan ketebalan di atas 0,5 mm. Dentin reaksioner tidak terjadi pada
sisa ketebalan dentin di bawah 0,25 mm, karena sisa ketebalan dentin di bawah 0,25 mm kehilangan sel odontoblas dalam jumlah banyak (Murray dkk., 2002) (Gambar 2.2). Aktivitas sisa ketebalan dentin memainkan peran utama dalam menentukan tingkat cedera pulpa dan respon perbaikan dari bahan kaping pulpa (Tabel 2.1).
Gambar 2.2 Daerah Pulpodentinal Kompleks (Hargreaves, 2012)
Tabel 2.1 Pengaruh Sisa Ketebalan Dentin terhadap Kelangsungan Hidup Sel Odontoblas, Aktifitas Dentin Reaksioner, dan Inflamasi Pulpa (Murray, 2002). Sisa Tipe Kavitas Kelangsungan Pembentukan Aktifitas ketebalan hidup sel dentin inflamasi pulpa Dentin odontoblas (%) reaksioner >1mm
Dangkal
100
Sedikit
Sedikit
0,5-1 mm
Sedang
88,9
Sedikit
Sedikit
0,25-5 mm
Dalam
82,5
Makin tinggi
<0,25 mm
Sangat dalam
68,3
Meningkat secara signifikan sebanyak 292% Sedikit
Banyak bakteri
2.2 Efek Bahan Restorasi terhadap Jaringan Pulpodentinal Kompleks Tidak ada bahan yang dapat melindungi pulpa sebaik dentin. Dentin dapat berperan sebagai jaringan yang mampu mengadakan detoksifikasi dengan menyerap bahan yang sangat toksik ke dinding bagian dalam dari tubulus dentin. Keberhasilan kaping pulpa berkisar 44-97%, sedangkan keberhasilan kaping pulpa pada pulpa yang tak terbuka umumnya jauh lebih tinggi (Murray dkk., 2002). Jenis bahan restoratif menjadi faktor penting yang mendasar terhadap kelangsungan hidup odontoblas, dikaitkan dengan sisa ketebalan dentin. Kalsium hidroksida sebagai dasar pengukuran kelangsungan hidup odontoblas, kemampuan bahan diuji untuk mempertahankan kelangsungan hidup odontoblas dengan sisa ketebalan dentin di bawah 0,5 mm. Penurunan kelangsungan hidup odontoblas tampaknya berkorelasi dengan aktifitas bahan kimia sebagai lining atau bahan restorasi, karena ada beberapa bahan yang lebih sitotoksik pada jaringan pulpa dibandingkan jaringan lain. Observasi ini menunjukkan bahwa pentingnya menghindari penempatan bahan sitotoksik pada preparasi kavitas yang sangat dalam dimana dapat terjadi kerusakan pulpa dan dapat mencegah jaringan pulpa nekrosis (Murray dkk., 2002).
2.2.1 Mineral Trioxide Aggregate (MTA) MTA dikembangkan oleh Mahmoud Torabinejad di Loma Linda University tahun 1993. Penelitian menunjukkan bahwa bahan dasar MTA adalah semen Portland yaitu trikalsium silikat, dikalsium silikat, trikalsium aluminat, kalsium sulfat yang
merupakan bahan yang digunakan dalam bidang bangunan yang harganya murah dan mudah diperoleh (Camilleri, 2008). Sifat-sifat biologis dan fisiologis MTA adalah menginduksi dentinogenesis reparatif, yang melibatkan peristiwa selular dan molekuler yang kompleks yang mengarah pada perbaikan sel lir odontoblas. Dibandingkan kalsium hidroksida, MTA lebih efisien dalam mendorong reparatif in vivo. Analisis fisika telah mengungkapkan bahwa MTA tidak hanya bertindak sebagai materi pelepas kalsium hidroksida, tetapi juga berinteraksi dengan fosfat yang mengandung cairan untuk membentuk presipitat apatit. MTA juga menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam sealing ability dan stabilitas struktural, tetapi aktivitas antimikroba kurang kuat dibandingkan dengan kalsium hidroksida (Queiroz dkk., 2005). Sejak diperkenalkan, MTA merupakan bahan kedokteran gigi yang terbukti telah menjadi salah satu bahan yang serbaguna dan biokompatibel pada saat ini. Kemampuannya yang tinggi dalam hal sealing ability dapat mengurangi masuknya bakteri sehingga hal tersebut dapat mencegah kontaminasi. Sedangkan daya biokompatabilitas yang tinggi menghasilkan reaksi penyembuhan jaringan yang sangat baik, sehingga seringkali menyebabkanya terjadinya proses regenerasi jaringan yang sempurna pada tempat berkontaknya bahan dan jaringan tersebut (Ferracane dkk., 2010; Lohbauer U, 2010; Nagaraja Upadhya and Kishore, 2005) MTA dapat setting dalam keadaan lembab, dan menyebabkan penyembuhan jaringan, kemampuannya dalam menginduksi sementogenesis, maka bahan ini dapat digunakan untuk memperbaiki perforasi baik di akar maupun di daerah furkasi.
Bahan ini juga dapat dipergunakan sebagai kaping pulpa, pulpotomi, bahan penutup ujung akar, apeksifikasi, serta sebagai bahan pengisi saluran akar (Rao dkk., 2009; Torabinejad dkk., 1995). Penelitian Tanomaru, 2012 mengatakan bahwa waktu setting MTA adalah 15 menit, hal ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh beberapa studi sebelumnya, perbedaan ini disebabkan jenis MTA yang digunakan. Produk yang dilepaskan MTA mampu merangsang sel lir osteoblas dan fibroblas yang melibatkan protein dalam pembentukkan mineral, seperti osteopontin, osteonectin, dan osteokalsin. Kuratate dkk., 2008 menyatakan pembentukan jembatan dentin di atas pulpa yang terpapar pada tikus meningkatkan proliferasi sel, adanya protein nectin menunjukkan keberadaan odontoblas yang mampu mensekresi matriks dentin, dan terjadinya peningkatan osteopontin pada lapisan jaringan nekrotik dan pulpa. Dalam penelitian Koh dkk., 1997 menunjukkan bahwa osteoblast yang terekspos MTA memproduksi sitokin untuk perbaikan tulang seperti interleukin (IL)1α, IL-1β, dan IL-6, serta osteokalsin. MTA menstimulus pertumbuhan sel setelah 48 jam aplikasi (Tani-Ishii N, 2007). Walaupun banyak penelitian menunjukkan hasil yang sangat baik dari MTA, namun penggunaan bahan ini relatif masih jarang karena harganya yang relatif mahal, manipulasi yang sulit, dan waktu pengerasan yang panjang (Camilleri dkk., 2008). Dan berdasarkan penelitian Bramante dkk., 2008 menunjukkan terdapat sedikit kandungan arsen pada MTA.
2.2.2 Semen Ionomer Kaca Modifikasi Resin (SIKMR) SIKMR dikembangkan untuk memperbaiki sifat fisik dan mengurangi sensitivitas air dari bahan ionomer kaca konvensional. SIKMR merupakan bahan hibrid yang lebih kuat dan tidak rapuh diperkenalkan dengan penambahan monomer seperti HEMA. Pada dasarnya SIKMR memiliki komposisi yang sama dengan semen ionomer kaca konvensional hanya saja komponen air diganti menjadi campuran air dengan HEMA. SIKMR dapat mengeras dengan dua cara, yaitu kombinasi asam dan basa serta reaksi polimerisasi (Modena dkk., 2009). Bahan ini mengandung bubuk kaca yang mampu memindahkan ion dan asam polimer yang larut dalam air seperti asam akrilik. Bahan ini mengandung monomer organik (biasanya HEMA) dan sistem inisiator. Inisiator umumnya sensitif terhadap cahaya sehingga kebanyakan SIKMR mengeras dengan cara disinar dengan menggunakan lampu penyinaran biasa yang memancarkan sinar dengan panjang gelombang 470 nm (Goldberg, 2006; Modena dkk., 2009). SIKMR memiliki tahap-tahap reaksi pengerasan yang terjadi melalui reaksi asam-basa antara bubuk alumino silikat dengan asam polikrilat, reaksi polimerisasi dari partikel-partikel resin yang ada di dalam semen; reaksi antara logam poliakrilat dengan resin hingga membentuk matriks semen yang lebih kuat. Dari ketiga reaksi tersebut, sebenarnya SIKMR mengeras dengan sistem “Dual Cure” yaitu reaksi penggaraman (asam-basa) yang terjadi secara kimia dan polimerisasi yang terjadi akibat penyinaran (Modena dkk., 2009; Nicholson, 2008).
Pada umumnya SIKMR dapat membentuk ikatan yang kuat ke dentin dan enamel serta dapat melepaskan fluoride. Selain itu, bahan ini juga melepaskan beberapa ion seperti Na, Ca, Sr, Al, P dan Si . Ion – ion tersebut juga dilepaskan oleh SIK konvensional namun kadar ion phosphat yang dilepaskan SIKMR lebih rendah dibandingkan dengan konvensional (Goldberg, 2008). SIKMR ini terbukti bersifat sitotoksis terutama karena pelepasan HEMA dalam kadar tinggi dan bersifat mutagenik. Akan tetapi data mengenai mutagenitas sangat sedikit dan sulit diinterpretasi. SIKMR menunjukkan sifat biologis yang dapat diterima terhadap pulpa yang terpapar maupun tidak terpapar. SIKMR menimbulkan respon inflamasi persisten tingkat menengah hingga berat pada pulpa dan pembentukan zona nekrotik yang besar (Modena dkk., 2009).
2.2.3 Abu Sekam Padi Nanopartikel (ASPn) Produk utama pertanian di negara-negara agraris, termasuk Indonesia adalah padi. Sekam padi merupakan bagian terluar (kulit) dari butir padi. Sekam padi dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan tetapi mempunyai nilai ekonomis yang masih rendah sehingga perlunya dicari alternatif lain yang lebih bermanfaat dan penanganan sekam padi yang kurang tepat akan menimbulkan pencemaran lingkungan. Padahal abu sekam padi merupakan sumber silika potensial yang dapat digunakan sebagai bahan kedokteran (Indahyani dkk., 2011). Nilai paling umum kandungan silika (SiO2) dalam abu sekam padi
adalah 94 – 96 %. Abu sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi (500–6000C) akan menghasilkan abu silika (Zakaria, 2002). Warna abu sekam dapat diklasifikasikan menjadi 3 lapisan warna, yaitu abuabu, putih dan merah jambu (Gambar 2.3). Berdasarkan hasil laboratorium, perbedaan warna ini mempunyai sifat permukaan dan kadar penghidrat yang berbeda. Abu sekam padi berwarna merah jambu jauh lebih reaktif dan mampu memberikan sifat pengerasan yang lebih baik (Zakaria, 2002).
Gambar 2.3 Lapisan Abu Sekam Padi (Zakaria, 2002)
Abu sekam padi nanopartikel (ASPn) dibuat dengan tujuan agar dapat membantu absorpsi antara substrat dan membran sel. Ukuran partikel nanonya memiliki efektivitas yang lebih baik. Nanoteknologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Fisika, Richard P. Feynman pada tahun 1959. Kata depan nano-berasal dari bahasa yunani yang berarti kecil dan satu nanometer sama dengan 10-9 m. Nanopartikel merupakan produk yang dihasilkan dari nanoteknologi, sehingga nanopartikel dianggap suatu bahan yang mempunyai dimensi ukuran kurang dari 100
nm (Park, 2007). Alat yang digunakan untuk membuat abu sekam padi nanopartikel adalah Planetary Ball Mills (Retsch, PM 200). Sekam padi mengandung senyawa organik berupa lignin dan kitin, selulosa, hemiselulosa, senyawa nitrogen, lipid, vitamin B, dan asam organik, sedangkan senyawa anorganik berupa silika (Ismunandji, 1988). Menurut BPPP (2001) silika yang terkandung dalam sekam padi sebanyak 16.98% dan berada dalam bentuk dasar (silika amorf). Komposisi kimiawi sekam padi dapat dilihat pada Tabel 2.2. Komposisi lainnya dari sekam padi adalah selulosa. Senyawa ini tidak larut dalam air dan terdiri atas unit-unit β-D-glukopiranosa yang disatukan oleh ikatan→4 β1 membentuk rantai lurus panjang yang diperkuat oleh ikatan hidrogen. Selulosa merupakan senyawa organik yang paling tinggi dalam sekam. Selulosa yang terdapat pada sekam padi sebanyak 34.34-43.80% (Ismunadji, 1988). Silika merupakan bahan kimia yang pemanfaatan dan aplikasinya sangat luas. Salah satu pemanfaatan serbuk silika yang cukup luas adalah sebagai penyerap kadar air di udara, (Harsono, 2002 cit Sitorus, 2009). Selain itu, silika juga digunakan sebagai penyaring molekuler, resin, pembantu peran katalis, dan pengisi dalam pembuatan polimer. Gugus -OH yang mampu membentuk ikatan hidrogen dengan gugus yang sama dari molekul lain yang mengakibatkan silika dapat digunakan sebagai pengering dan fasa diam pada kolom kromatografi (Sinulingga dkk., 2014). Silika abu sekam padi terbukti mempengaruhi pembentukan tulang. Silika merupakan bahan semi konduktor yang mempunyai potensi untuk mencapai sifatsifat mekanis, morfologis, biokompatibilitas dan biodegradasi. Makanan yang
mengandung silika dapat menstimulasi sel osteoblas dan osteo-blast-like cell untuk mensekresi kolagen tipe I dan marker bio-kimia lain pada maturasi sel tulang dan pembentukan tulang (Refitt dkk., 2003 cit Indahyani dkk., 2011). Berdasarkan penelitian Indahyani dkk., 2011 menyatakan bahwa silika yang berasal dari sekam padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi osteoblast dan mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi. Hasil X-ray Diffraction (XRD) abu sekam padi nano partikel terlihat bahwa kandungan silika (SiO2) paling tinggi (Gambar 2.4).
Gambar 2.4 Hasil XRD Abu Sekam Padi Nanopartikel (Pretty dkk., 2014)
Penelitian Pretty dkk., 2014 memperlihatkan tag like structure pada permukaan dentin dengan bahan ASPn+KMTn, hal ini berarti ASPn+KMTn mempunyai kemampuan adhesi dengan adanya sealing ability yang baik dalam menjaga jaringan pulpodentinal kompleks (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Tag Like Structure ASPn+KMTn dengan Uji SEM (Pembesaran 300x) (Pretty dkk., 2014)
2.2.4 Kitosan Molekul Tinggi Nanopartikel (KMTn) Kitosan (poly-β-1,4-glukosamin) pertama kali ditemukan oleh Routget (1859) yang merupakan biopolimer alami di alam setelah selulosa dan merupakan hasil Ndiasetilisasi dari kitin. Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terdiri atas tiga yaitu kitosan bermolekul rendah, kitosan bermolekul sedang dan kitosan bermolekul tinggi. Kitosan bermolekul rendah dengan berat molekul di bawah 400.000 Mv dan kitosan bermolekul sedang dengan berat molekul 400.000-800.000 Mv berasal dari hewan laut dengan cangkang atau kulit yang lunak misalnya udang, cumi-cumi dan rajungan. Kitosan dengan berat molekul 800.000-1.100.000 Mv biasanya berasal dari hewan laut bercangkang keras misalnya kepiting, kerang dan blangkas (Gambar 2.6) (Trimurni dkk., 2007).
Gambar 2.6 Kitosan Molekul Tinggi (Trimurni dkk., 2007)
Kitosan blangkas merupakan kitosan bermolekul tinggi yang diperoleh dari cangkang blangkas. Blangkas disebut juga dengan Horseshoe-crab. Kitosan blangkas yang diuji oleh Trimurni dkk., 2007 mempunyai derajat deastilisasi 84,20% dengan berat molekul 893.000 Mv. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa kitosan blangkas mempunyai berat molekul yang tinggi. Pada penelitian tersebut juga dinyatakan bahwa kitosan blangkas yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menstimulasi dentin reparatif dengan kemampuannya membentuk koagulum yang padat sebagai sub base membran yang memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti dentinoblast untuk memudahkan migrasi dan proliferasi sel-sel pulpa dentinoblast. Berdasarkan penelitian Agusnar., 1997 mengatakan bahan ini tidak dapat dibiarkan terlalu lama pada suhu kamar karena larutan kitosan akan terhidrolisis sehingga konsentrasi berkurang.
Dalam perkembangannnya, kitosan dimodifikasi dalam bentuk nanopartikel. Nanopartikel dibuat dengan reaksi gelatinasi yang berdasarkan reaksi antar muatan positif gugus amino kitosan dan muatan negatif natrium tripolifosfat. Rerata ukuran nanopartikel kitosan yang dihasilkan ialah 180 nm dengan polidispersitas 0,519 yang menunjukkan, bahwa ukuran nanopartikel hampir seragam. Adsorpsi dengan menggunakan nanopartikel kitosan memiliki kapasitas adsorpsinya yang lebih besar dibandingkan dengan manik kitosan dalam ukuran mikron karena bentuknya yang kecil, sehingga bidang sentuh dengan zat akan diserap semakin besar (Tiyaboonchai, 2003). Siregar (2009) menyiapkan kitosan nanopartikel dengan melarutkan kitosan dalam larutan asam lemah ditambahkan larutan yang bersifat basa, seperti amoniak, NaOH, atau KOH distirer dengan kecepatan 300 rpm sehingga diperoleh gel kitosan putih dan dibilas dengan aquadest sampai netral kemudian ditempatkan dalam ultrasonic bath untuk memecah partikel-partikel gel kitosan menjadi lebih kecil. Cheung cit Siregar (2009) menyiapkan kitosan nano dengan metode lain, yaitu dengan menambahkan larutan tripolipospat ke dalam larutan kitosan sehingga diperoleh emulsi kitosan sambil distirer dengan kecepatan 1200 rpm, dan ditambahkan asam asetat agar pH-nya 3,5 dengan hasil berupa suspen kitosan. Lu EShi cit Ningsih (2010) menyiapkan kitosan nanopartikel dengan menambahkan larutan tripolipospat (TPP) kedalam larutan suspensi kitosan yang dibuat dengan menambahkan asam asetat, kemudian distrier dengan kecepatan 1200 rpm terbentuk emulsi.
Kitosan blangkas yang diuji oleh Trimurni dkk., 2007 menunjukkan bahwa kitosan blangkas yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menstimulasi dentin reparatif dengan kemampuannya membentuk koagulum yang padat sebagai sub base membran yang memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti odontoblas untuk memudahkan migrasi dan proliferasi. Henny dkk., 2013 melakukan penelitian dengan menambahkan kitosan molekul tinggi nano yang diperoleh dari blangkas (Tachypleus gigas) 0,15% berat kitosan pada SIKMR dan SIKMRn dan efeknya terhadap proliferasi sel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan viabilitas sel yang signifikan pada SIKMR dan SIKMRn yang ditambahkan 0,015% berat kitosan nano dari blangkas. Dalam perkembangan bahan-bahan biomaterial dalam regenerasi pulpa diperlukan adanya sel, bahan perancah (scaffolds) untuk proliferasi dan diferensiasi sel serta faktor pertumbuhan (growth factor), ketiga faktor ini disebut tissue engineering triad (Trimurni, 2007) (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 Kombinasi Tiga Elemen yang Memungkinkan Terjadinya Regenerasi Jaringan atau Organ (Trimurni, 2007)
Kitosan sebagai biomaterial scaffold dapat menggantikan fungsi biologis dan mekanis matriks ekstraselular jaringan di dalam tubuh dengan bertindak sebagai matriks ekstraseluler artifisial (Koh, Atala, 2004 cit Trimurni, 2007). Scaffold sintetis harus mempunyai sifat osteoinduktif, osteokonduktif, integritas mekanisnya tinggi, biodegradabilitas, biocompatibilitas (mudah diterima secara imun) dan porosita yang akan menyebabkan pertumbuhan jaringan. Selain itu, scaffold harus didegradasi ketika jaringan yang rusak telah diregenerasi. Sel-sel diimplantasi atau dimasukkan ke dalam struktur artifisial yang mampu mendukung pembentukan jaringan dalam tiga dimensi. Struktur ini disebut bahan perancah (scaffolds) yang memungkinkan sel-sel mempengaruhi lingkungan mikronya. Bahan perancah (scaffolds) paling sedikit memiliki tujuan sebagai berikut (Sun, 2007) : 1. Memungkinkan perlekatan dan migrasi sel. 2. Menghantarkan dan menahan sel-sel serta faktor-faktor biokhemis.
3. Memungkinkan difusi nutrisi bagi sel-sel yang vital dan produknya. 4. Menimbulkan pengaruh-pengaruh mekanis dan biologis untuk memodifikasi fase sel.
2.3 Mekanisme Pertahanan Pulpodentinal Kompleks 2.3.1 Reaktifitas Odontoblas Serangan toksik ringan ke pulpa dapat mengakibatkan peningkatan dentinogenesis, yang dapat dianggap sebagai mekanisme pelindung. Peningkatan pembentukan dentin peritubular mempersempit tubulus dentin melalui pembentukan dentin sklerotik. Respon perbaikan yang umum terhadap cedera pulpa adalah pembentukan dentin tersier (Murray dkk., 2002). Tidak seperti dentin primer atau sekunder yang terbentuk di sepanjang perbatasan pulpo-dentino kompleks, dentin tersier diproduksi secara lokal sebagai respon terhadap injuri dentin atau produk toksis yang mencapai pulpo dentino kompleks. Proses pembentukan dentin tersier bersifat reaksioner atau reparatif (Smith dkk., 2003). Dentin reaksioner biasanya diproduksi oleh odontoblas yang telah ada sebagai respon terhadap kavitas yang dipreparasi secara hati-hati atau bahan restoratif. Sebaliknya dentin reparatif terbentuk oleh sel-sel odontoblas baru ketika odontoblas primer telah mengalami injuri secara ireversibel. Dentinogenesis reparatif dianggap lebih kompleks dibanding pembentukan dentin reaksioner, dan ditemukan pada gigi dengan preparasi kavitas yang dalam atau penyingkapan pulpa (Gambar 2.1). Disebutkan bahwa faktor pertumbuhan, khususnya transforming growth factor- ß
(TGF-ß), menginisiasi perbedaan odontoblas dan menstimulasi pembentukan dentin. Reseptor TGF-ß terlihat pada odontoblas dan growth factor ditemukan dalam matriks dentin. Pelepasan faktor pertumbuhan dapat terjadi saat serangan karies dan injuri lainnya ke jaringan, dan pada saat preparasi kavitas dan restorasi gigi (Murray dkk., 2002). Odontoblas dirangsang untuk mengeluarkan matriks ekstraselular dan memicu terjadinya mineralisasi selama proses dentinogenesis reaksioner (Gambar 2.8). Pada saat dentinogenesis reaksioner menunjukkan sel lain dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi sel lir-odontoblas yang kemudian akan dipicu untuk menghasilkan matriks ekstraselular dan terjadinya mineralisasi selama proses dentinogenesis reparatif (Murray dkk., 2002).
Gambar 2.8 Hipotesa Efek Matriks Protein Dentin yang Dilarutkan oleh Karies ataupun Bahan Kedokteran Gigi pada Odontoblas dan Sel Lain (Murray dkk., 2002)
2.3.2 Matriks Metaloprotein Bahan restorasi yang diletakkan di dalam lingkungan jaringan pulpodentinal kompleks berpotensi menghasilkan spektrum luas dari fisikokimia dan efek biologis. Beberapa efek memiliki pengaruh yang berbeda tergantung pada jaringan sehat atau karies, dikarenakan infeksi bakteri, inflamasi, dan respon sel pulpa. Dentin memiliki aktivitas enzim proteolitik dan saat ini diakui adanya beberapa matriks metaloproteinase (MMP-2,-8,-9,-13,dan -20) di dalam dentin. Aktivitas MMP pada permukaan antara material dan jaringan dapat menyebabkan degradasi dari permukaan (Pashley dkk., 2014).
2.4 Uji Biokompatibilitas Biokompatibilitas adalah kemampuan suatu bahan untuk tidak menimbulkan respon biologis yang merugikan jika bahan tersebut digunakan didalam tubuh. Setiap bahan dapat dikategorikan sebagai bahan yang biokompatibel atau tidak, tergantung kepada fungsi fisik dan reaksi biologis yang diharapkan dari bahan tersebut. Suatu bahan tidak dapat digeneralisasikan sebagai bahan yang biokompatibel untuk semua penggunaannya di dalam tubuh, karena setiap jaringan hidup yang berinteraksi akan memberikan respon biologis yang berbeda. Sesuai dengan standard ISO 10993, semua
bahan
yang
akan
berkontak
dengan
jaringan
memerlukan
data
biokompatabilitas. Tes biologis merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah
evaluasi
biokompatibilitas.
ISO
10993
membagi
kategori
matriks
biokampabilitas bahan menurut tipe dan durasi bahan tersebut berkontak dengan jaringan (Assesing Biocompatibility, 2008 cit Diana, 2008). Biokompatibilitas
suatu
bahan
dapat
meliputi
derajat
sitotoksisitas,
mutagenitas dan potensinya dalam menimbulkan keganasan. Uji biokompatibilitas dilakukan pada bahan yang akan diletakkan pada tubuh manusia. Reaksi jaringan tubuh terhadap bahan sangat bervariasi tergantung kepada tipe bahan. Bahan yang dapat berfungsi saat berkontak dengan cairan biologis atau jaringan hidup dengan menimbulkan reaksi penolakan yang minimal oleh tubuh disebut bahan yang biokompatibel. Pengujian biokompatibilitas suatu bahan dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Pengujian yang dilakukan secara in vitro, yaitu tanpa melibatkan organ hidup, dilakukan pada sel, enzim, atau sistem biologis yang terisolasi. Uji bahan secara in vitro sebagian besar dibagi menjadi pengujian untuk mengetahui sitoksitas dan pertumbuhan sel, mengukur metabolisme dan fungsi sel serta mengukur efek mutagenitas bahan pada sel (Assesing Biocompatibility, 2008 cit Diana, 2008). Saat ini kultur sel telah menjadi salah satu obyek utama dalam berbagai penelitian tentang kehidupan. Kultur sel adalah sel yang dikondisikan pada suatu lingkungan buatan yang kondusif untuk pertumbuhannya. Berbagai perilaku, karakteristik, dan bentuk sel dapat diamati pada kultur sel. Oleh karena itu, kultur sel memiliki kegunaan yang bervariasi, antara lain untuk pengamatan biokimia sel, uji toksisitas suatu bahan, penelitian kanker, diteksi dan isolasi suatu virus, serta terapi gen (Freshney, 2000).
Kultur sel terbagi menjadi kultur sel primer dan kultur sel sekunder (cell line). Sel primer adalah sel yang diperoleh langsung dari pemisahan jaringan suatu organisme, sedangkan cell line adalah keturunan sel yang diperoleh dari kultur sel primer dan dipisahkan secara enzimatis ataupun secara mekanis. Empat karakterisitik sel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kultur sel adalah morfologi sel, kecepatan pertumbuhan, efesiensi pertumbuhan, dan fungsi khusus yang dilalui sel (Freshney, 2000).
2.5 Viabilitas Sel sebagai Indikator Sitotoksisitas
Tes sitotoksisitas merupakan suatu metode untuk mengetahui apakah suatu bahan bersifat toksik terhadap sel tertentu. Sitotoksisitas umumnya ditandai dengan adanya penurunan proliferasi sel, viabilitas sel, sintesis asam nukleat atau protein. Viabilitas sel adalah kemungkinan sel untuk dapat bertahan hidup (Freshney, 2000). Nilai absorbansi (OD) dari kristal formazan yang telah dilarutkan dapat diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang antara 550-570 nm. Selanjutnya, viabilitas dinyatakan dengan membandingkan nilai absorbansi kelompok perlakuan yang dipaparkan bahan uji dengan kelompok enzim assay, merupakan metode yang banyak dipilih untuk mempelajari viabilitas sel. Metode ini mengukur aktivitas metabolisme dari pertumbuhan sel pada bahan yang akan diuji. Tes yang dapat dilakukan adalah menggunakan Alamar Blue™ dan 3-(4,5-dimethythiazol-2yl)-2,5-diphenyl tetrazolhm bromide (MTT) assay. MTT assay pertama kali dikenalkan oleh Mosmann pada tahun 1983, MTT merupakan bahan kimia yang
berwarna kuning dan dapat larut dalam air. Prinsip dasar MTT assay adalah mengukur aktivitas selular berdasarkan aktivitas succinic dehydogenase mitocondria sel untuk mereduksi garam meihythiazol tetrazolium (MTT). Pada proses metabolisme, sel-sel yang hidup akan menghasilkan succinic dehydrogenase mitocondria. Enzim ini akan bereaksi dengan MTT dan membentuk kristal formazan ungu yang jumlahnya sebanding dengan aktivitas sel yang hidup. Kristal formazan ungu bersifat impermeable pada membrane sel dan tidak larut dalam air. Oleh karena itu, diperlukan pelarut tambahan seperti isopropanol, dimethyl sulfoxide (DMSO) atau larutan deterjen sodium dodecyi sulfate (SDS) yang diencerkan dalam asam hidroklorida (HCl) untuk melarutkan Kristal formazan ungu (Proliferation assay. MTT Protocol, 2014). Kontrol (sampel tanpa bahan uji) menggunakan rumus dari In Vitro Technologies sebagai berikut (Cryopreserved human hepatocyte high-throughput screening protocol, 2008) : Viabilitas Sel = Nilai absorbansi kelompok Perlakuan x 100% (% dari Kontrol)
Nilai absorbansi kelompok Kontrol
Jika persentasi viabilitas sel lebih kecil dari 100%, maka material yang dipaparkan pada sel tersebut dikatakan bersifat toksik (Cryopreserved human hepatocyte high-throughput screening protocol, 2008).
2.6 Landasan Teori
Kaping Pulpa
Indirek
Direk
Dentin Tersier (Dentinogenesis)
MTA
-Melepaskan flour - bahan hibrid yang
SIKMR
lebih kuat dan tidak rapuh
-biokompatibel -sealing ability -penyembuhan jaringan
-estetik >>> - bahan hibrid yang lebih kuat dan tidak rapuh -dapat melepaskan fluoride
SIKMRn
Kitosan Molekul Tinggi
Mempunyai asam amina, anti toxic,Biokompatibel, menstimulasi dentin reparatif, biodegradable
-Compressive +flexural strength Proliferasi Sel
Viablitas Sel
ASP
-Silika tinggi (SiO2 >>>)Osteoinduksi biokompatibilit as biodegradasi
nilai absorbansi
Penggunaan produk-produk alam di bidang kedokteran gigi saat ini semakin berkembang pesat, contoh bahan alami yang dapat menstimulasi proliferasi sel adalah abu sekam padi dan kitosan molekul tinggi. Sekam padi dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan tetapi mempunyai nilai ekonomis yang masih rendah sehingga perlunya dicari alternatif lain yang lebih bermanfaat dan penanganan sekam padi yang kurang tepat akan menimbulkan pencemaran lingkungan. Padahal Abu sekam padi merupakan sumber silika potensial yang dapat digunakan sebagai bahan kedokteran gigi. Nilai paling umum kandungan silika (SiO2) dalam abu sekam padi adalah 94 – 96% dan apabila nilainya mendekati atau dibawah 90 % dijumpai dalam bentuk amorf terhidrat. Abu sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi (500–6000C) akan menghasilkan abu silika. Berdasarkan derajat pembakaran abu sekam padi, maka warna abu sekam dapat diklasifikasi menjadi 3 lapisan warna, yaitu abu-abu, putih dan merah jambu (Zakaria, 2002). Silika terbukti mempengaruhi pembentukan tulang. Silika merupakan bahan semi konduktor yang mempunyai potensi untuk mencapai sifat-sifat mekanis, morfologis, biokompatibilitas dan biodegradasi. Makanan yang mengandung silika dapat menstimulasi sel osteoblas dan osteo-blast-like cell untuk mensekresi kolagen tipe I dan marker bio-kimia lain pada maturasi sel tulang dan pembentukan tulang (Refitt dkk., 2003 cit Indahyani dkk., 2011).
Berdasarkan penelitian Indahyani dkk., 2011 menyatakan bahwa silika yang berasal dari sekam padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi osteoblast dan mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi. Kitosan merupakan biopolimer alami di alam dan merupakan hasil Ndiasetilisasi dari kitin. Kitin banyak terkandung pada hewan laut berkulit keras, salah satunya adalah blangkas yang merupakan kitosan bermolekul tinggi dan dapat menstimulasi dentin reparatif. Kitosan juga dibuat dalam bentuk nanopartikel. Ukuran partikel kitosan yang berskala nanometer akan meningkatkan luas permukaan sampai ratusan kali dibandingkan dengan partikel yang berukuran mikrometer, sehingga dapat meningkatkan efektifitas kitosan dalam hal mengikat gugus kimia lainnya. Kitosan nano juga dapat meningkatkan efisiensi proses fisika-kimia pada permukaan kitosan tersebut karena memungkinkan interaksi pada permukaan yang lebih besar (Trimurni dkk., 2007; Siregar, 2009). Berkembangnya bahan material yang bergerak ke arah nanopartikel, maka dengan ASPn+KMTn diharapkan dapat meningkatkan stimulasi proliferasi sel pada pulpa yang dapat dilihat melalui uji viabilitas sel dengan menggunakan MTT assay.
2.7 Kerangka Konsep -
-
ASPn ASPn+KMTn sebelum+ sesudah setting MTA sebelum+ sesudah setting SIKMR
Viabilitas sel MDPC -
1 Hari 3 Hari 7 Hari
2.8 Hipotesis Penelitian Dari uraian di atas dapat dibuat hipotesa yaitu : 1. ASPn+KMTn dapat menstimulasi viabilitas sel MDPC. 2. Terdapat
perbedaaan
viabilitas
sel
MDPC
bila
diaplikasikan
ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan ASPn. 3. Terdapat
perbedaaan
viabilitas
sel
MDPC
bila
diaplikasikan
ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan MTA sebelum dan sesudah setting. 4. Terdapat
perbedaaan
viabilitas
sel
MDPC
bila
ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan SIKMR.
diaplikasikan