BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penderita gangguan skizifrenia di seluruh dunia ada 24 juta jiwa dengan angka
kejadian 7 per 1000 penduduk (pada wanita dan pria sama ). Diperkirakan terdapat 4 – 10 % resiko kejadian bunuh diri sepanjang rentang kehidupan penderita skizofrenia dan 40 % angka percobaan bunuh diri. Studi yang dilakukan WHO melaporkan bahwa angka kematian tertinggi pada kasus skizofrenia disebabkan karena bunuh diri. Faktor resiko bunuh diri pada pasien skizofrenia terdapat gejala gejala positif terdapat ko – morbilitas depresi, kurangnya terapi, penurunan tingkat perawatan, sakit kronis, tingkat pendidikan tinggi dan pengharapan akan tampilan kerja yang tinggi biasanya terjadi pada fase awal dari perjalanan penyakitnya (Widiodiningrat , 2009). Diperkirakan penduduk Indonesia yang menderita gangguan jiwa sebesar 23% jiwa setiap tahun. Zaman dahulu penanganan pasien gangguan jiwa adalah dengan dipasung, dirantai, atau diikat, lalu ditempatkan di rumah atau hutan jika gangguan jiwa berat. Tetapi bila pasien tersebut tidak berbahaya, dibiarkan berkeliaran di desa, sambil mencari makanan dan menjadi tontonan masyarakat. Terapi dalam gangguan jiwa bukan hanya meliputi pengobatan dengan farmakologi tetapi juga dengan psikoterapi, serta terapi modalitas yang sesuai dengan gejala atau penyakit pasien yang akan mendukung penyembuhan pasien jiwa. Pada terapi
Universitas Sumatera Utara
modalitas tersebut perlu adanya dukungan keluarga dan dukungan sosial yang akan memberikan peningkatan penyembuhan karena pasien akan merasa berguna dalam masyarakat dan tidak merasa diasingkan dengan penyakit yang dialaminya (Kusumawati, 2010). Terapi kejang listrik merupakan salah satu terapi dalam kelompok terapi total. Terapi ini berupa terapi fisik dengan pasien-pasien psikiatri dengan indikasi dan cara tertentu. Terapi kejang listrik adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau dua ‘’temples’’(Stuard,2007). Pada pelaksanaan pengobatan ECT, mekanismenya sebenarnya tidak diketahui, tapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia dalam otak. Suatu peningkatan kadar norefinefrin dan serotonin, mirip efek obat antidepresan. Kehilangan memori dan kekacauan mental sementara merupakan efek samping yang paling umum dimana perawat merupakan hal yang penting hadir pada saat pasien sadar setelah ECT, supaya dapat mengurangi ketakutan-ketakutan yang disertai dengan kehilangan memori (Erlinafsiah, 2010). Di Sumatera Utara dari data yang diambil dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara sebanyak 3097 kali dalam tahun 2010, Electro Convulsif Terapy diberikan kepada pasien- pasien depresi, halusinasi, waham, pasien dengan perilaku kekerasan, dan yang mencakup skizofrenia. Peran perawat dalam pelaksanaan ECT ini sangat penting karena adanya efek samping yang harus segera ditindak lanjuti.
Universitas Sumatera Utara
Peran perawat kesehatan jiwa menurut Weiss (1947) yang dikutip Stuart Sundeen dalam Principles and Practice of Psychiatric Nursing Care (1995) dalam (Kusumawati, 2010) bahwa peran perawat adalah sebagai Attitude Therapy, yaitu mengobservasi perubahan, baik perubahan kecil atau menetap yang terjadi pada klien, mendemonstrasikan penerimaan, respek, memahami klien dan mempromosikan ketertarikan klien dan berpartisipasi dalam interaksi. Sedangkan menurut Clinton dan Nelson perawat jiwa harus berusaha menemukan dan memenuhi kebutuhan dasar klien yang terganggu seperti kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan disayangi, kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Klien gangguan jiwa umumnya mengalami gangguan selain fisiologis sebagai keluhan utama, tetapi selanjutnya seluruh kebutuhan menjadi terganggu sebagai dampak terganggunya kebutuhan psikologis. Oleh karena itu, perawat harus berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan menjalin rasa percaya dan berusaha memahami apa yang dirasakan oleh klien. Berdasarkan latar belakang diatas karena pentingnya peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap gangguan jiwa yang mendapat terapi ECT penulis tertarik melakukan penelitian tentang Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Sebelum Dan Sesudah ECT (Electro Convulsive Terapy) di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah
penelitian ini adalah: bagaimana peran perawat sebelum dan sesudah ECT (Electro Convulsive Terapy) di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan penelitian ini adalah: mengidentifikasi peran perawat sebelum dan sesudah ECT (Electro Convulsive Terapy) di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengidentifikasi peran perawat sebelum ECT. 2. Untuk mengidentifikasi peran perawat sesudah ECT. 1.4
Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi praktek keperawatan. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan menjadi masukan dalam melakukan intervensi pada klien yang mendapat terapi ECT sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan sebelum dan sesudah ECT. 2. Manfaat bagi pendidikan keperawatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang pentingnya
Universitas Sumatera Utara
peran perawat mengenai ECT sebelum praktek di rumah sakit jiwa untuk dapat memberikan asuhan keperawatan. 3. Manfaat bagi penelitian keperawatan. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan atau sumber data peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam ruang lingkup yang sama.
Universitas Sumatera Utara