AKRUAL 5 (2) (2014): 151-167 e-ISSN: 2502-6380
AKRUAL Jurnal Akuntansi http://fe.unesa.ac.id/ojs/index.php/akrl PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE DAN MANAJEMEN LABA TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN Agustina Ratna Dwiati Muhammad Bisyri Effendi STIE Perbanas Surabaya Email:
[email protected] Artikel diterima: 15 November 2013 Terakhir direvisi: 20 Desember 2013
Abstract The aim of this study is to test the impact of corporate governance and investment opportunity set toward dividend policy with earnings management as intervening variable. The sample of this study is non-financial firms listed in Indonesia Stock Exchange and also a member of Corporate Governance Perception Index on 2012 and 2013. The method that used in this study is multiple regression. The results showed that company with strong corporate governance really cared about shareholders interests by giving high dividend for them. Meanwhile, earnings management has no impact toward dividend policy. Keywords: corporate governance, dividend policy, earnings management. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Masalah agensi timbul karena adanya konflik kepentingan.Sebagai agent, manajer bertanggung jawab untuk memaksimalkan keuntungan pemilik namun manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi. Kewenangan yang diberikan kepada manajer inilah yang memungkinkan manajer untuk bertindak tidak sesuai dengan kepentingan pemilik namun bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri. Masalah agensi dapat dikurangi melalui kebijakan dividen (Easterbrook, 1984; Jensen, 1986; La Porta et al., 2000). Kebijakan dividen merupakan kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya pembayaran dividen dan besarnya laba ditahan untuk kepentingan pihak perusahaan (Sutrisno, 2001). Pembayaran dividen dapat mengurangi dana yang dimiliki perusahaan. Berkurangnya dana yang dimiliki perusahaan akan mengurangi kemungkinan manajer menyalahgunakan dana perusahaan demi kepentingannya sendiri. Berkurangnya dana perusahaan juga membuat perusahaan perlu mencari dana lain dengan cara menjual saham pada pasar
151
modal dan mengakibatkan perusahaan diawasi oleh pihak luar perusahaan. Peran dividen sebagai pengurang masalah agensi ini merupakan alasan mengapa investor menyukai dividen. Investor juga menyukai dividen karena sifatnya yang lebih pasti daripada capital gain (bird in hand). Pembayaran dividen sendiri menunjukkan komitmen manajemen untuk memperhatikan kesejahteraan pemegang saham yang merupakan pemilik perusahaan. Dividen merupakan suatu bentuk return atas dana yang telah diinvestasikan oleh investor. Walaupun pembayaran dividen menyebabkan perusahaan mengeluarkan dana, tetapi pembayaran dividen juga dapat menguntungkan perusahaan. Wilbur (1932) menyatakan bahwa pembayaran dividen dapat membuat pemegang saham menjadi loyal pada perusahaan. Kehadiran investor yang loyal, peran dividen sebagai pengurang masalah agensi, dan pentingnya dividen sebagai suatu sinyal masa depan perusahaan merupakan daya tarik dividen bagi perusahaan sehingga tidaklah mengherankan jika banyak perusahaan yang membayar dividen. Megginson (1977) dalam Sugiarto (2009:81) menyatakan bahwa di Amerika Serikat sulit ditemukan perusahaan yang tidak membayar dividen sama sekali. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan di Indonesia dimana banyak perusahaan di Indonesia yang tidak membayarkan dividen. Berdasarkan data dari IDX, hanya sekitar 40% dari total perusahaan yang terdaftar di BEI membayar dividen, sedangkan sisanya tidak membayar dividen. Walaupun pembayaran dividen penting dan dapat menguntungkan perusahaan tetapi hal ini tidak menjamin perusahaan mau membayar dividen. Hal ini menggambarkan bahwa ada faktor penentu lain yang dapat mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan dividen adalah corporate governance (Mitton, 2004; Jiraporn dan Ning, 2006; Kowalewski et al., 2008; Sawicki, 2009).Corporate governance merupakan suatu sistem dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan demi tercapainya tujuan perusahaan (Zarkasyi, 2008:36).Corporate governance ini diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa investor akan menerima return atas dana yang telah diinvestasikan (Shleifer dan Vishny, 1997). Jika corporate governance dilihat sebagai mekanisme yang menjamin adanya return yang layak bagi investor, maka dividen yang tinggi merupakan bukti bahwa mekanisme corporate governance tersebut berjalan dengan baik (Sawicki, 2009). Perusahaan dengan corporate governance yang kuat dapat membayar dividen yang tinggi karena pemegang saham mampu menekan manajemen untuk membayar dividen. Perusahaan dengan corporate governance yang lemah juga bisa membayar dividen yang tinggi karena dividen dijadikan alat kompensasi atas lemahnya corporate governance dan sekaligus agar dapat membangun reputasi yang baik di mata pemegang saham. Penelitian lain menunjukkan bahwa kebijakan dividen dipengaruhi oleh manajemen laba (Kato et al., 2002; Savov, 2006; Edelstein et al., 2009; Hamdan, 2010). Manajemen laba adalah pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dalam
152
rangka mencapai tujuan tertentu (Scott, 2009:403). Perusahaan terkadang memerlukan manajemen laba untuk mempertahankan rasio pembayaran dividen perusahaan. Dividen perlu dipertahankan karena dividen dianggap sebagai sinyal masa depan perusahaan dan dividen juga penting untuk mengurangi masalah agensi antara corporate insiders dan outsiders (Shah et al., 2010). Sementara itu, Daniel et al., (2008) menyatakan bahwa pada perusahaan yang membayar dividen, manajemen laba secara signifikan mempengaruhi kemungkinan terjadinya penurunan pembayaran dividen. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah corporate governance dan manajemen laba berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Sesuai dengan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh corporate governance dan manajemen laba terhadap kebijakan dividen. Penelitian mengenai kebijakan dividen ini menarik untuk dilakukan karena kebijakan dividen ini unik. Pembayaran dividen menunjukkan komitmen perusahaan untuk memperhatikan kesejahteraan pemegang sahamnya. Namun dengan membayar dividen, perusahaan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk membiayai investasinya. Hal inilah yang menggambarkan bahwa kebijakan dividen unik. Kebijakan dividen sangat penting untuk memenuhi harapan para pemegang saham terhadap dividen namun di sisi lain kebijakan dividen jangan sampai menghambat pertumbuhan perusahaan. Adanya hasil penelitian yang beragam tentang pengaruh corporate governance dan manajemen laba terhadap kebijakan dividen juga memotivasi dilakukannya penelitian ini. KAJIAN PUSTAKA Agency Model of Dividend Teori agensi menjelaskan hubungan antara dua pihak yang terlibat dalam suatu kontrak yang terdiri atas agent sebagai pihak yang diberikan tanggung jawab untuk suatu tugas dan principal sebagai pihak yang memberi tugas. Pemisahan fungsi kepemilikan (ownership) dan fungsi pengendalian (control) yang terjadi antara principal dan agent sering menimbulkan masalah yang disebut dengan masalah agensi. Masalah agensi tersebut timbul karena adanya konflik atau perbedaan kepentingan antara principal (pemilik perusahaan) dan agent (manajer perusahaan). Sebagai agent, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan pribadi. Hal ini kemungkinan besarmenyebabkan agent tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik principal (Jensen dan Meckling, 1976). Salah satu cara untuk mengurangi masalah agensi adalah melalui kebijakan dividen. Easterbrook (1984) berargumen bahwa dividen memainkan peranan penting dalam mengurangi masalah agensi. Pembayaran dividen yang tinggi akan meningkatkan kemungkinan perusahaan untuk menjual saham pada pasar modal. Hal ini nantinya akan membuat manajemen perusahaan diawasi oleh bank investasi, bursa 153
efek, dan pemasok modal. Jensen (1986) menyatakan bahwa jika masalah agensi ingin dikurangi, maka free cash flow harus dikurangi terlebih dahulu. Dengan kata lain, manajer harus menunjukkan kepada pemegang saham bahwa dia telah melakukan upaya menahan diri (bonding) untuk tidak menciptakan peluang melakukan penyimpangan-penyimpangan dengan cara memperkecil dana yang dapat disimpangkan, yaitu free cash flow. Pengurangan free cash flow ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan distribusi kas kepada pemegang saham, misalnya dengan cara membagikan dividen. Semakin besar dividen yang ditetapkan oleh perusahaan, maka perusahaan harus mengeluarkan dana kas yang semakin besar sehingga yang tersisa di perusahaan menjadi kecil. Pernyataan Easterbrook (1984) dan Jensen (1986) juga didukung oleh La Porta et al. (2000). La Porta et al. (2000) menyatakan bahwa dengan membayar dividen, manajer perusahaan membagikan laba perusahaan kepada investor sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya penggunaan laba tersebut demi keuntungan pribadi manajer. Dividen lebih baik daripada laba ditahan karena laba ditahan mungkin tidak bisa menjadi dividen di masa mendatang. Lebih lanjut La Porta et al. (2000) juga menjelaskan mengenai dua model agensi yang berkaitan dengan dividen yaitu the outcome agency model of dividend dan the substitute agency model of dividend. Menurut the outcome agency model of dividend, dividen dibayarkan karena pemegang saham minoritas menekan manajemen perusahaan untuk mengeluarkan kas. Model ini menjelaskan bahwa semakin kuat hak pemegang saham minoritas, semakin tinggi dividen yang dibayarkan. Sementara itu, menurut the substitute agency model of dividend, perusahaan yang tertarik untuk menerbitkan ekuitas di masa mendatang akan membayar dividen untuk membangun suatu reputasi di mata pemegang saham minoritas. Model ini menjelaskan bahwa semakin lemah hak pemegang saham minoritas, semakin tinggi dividen yang dibayarkan. Teori Sinyal Teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi dikarenakan adanya asimetri informasi antara manajer dan investor berkaitan dengan informasi tentang prospek perusahaan. Dibandingkan dengan investor, manajer mengetahui dengan baik tentang prospek perusahaan di masa depan karena manajer mempunyai informasi yang lebih banyak dan akurat tentang kondisi perusahaan. Kurangnya informasi bagi investor mengenai prospek perusahaan menyebabkan investor melindungi diri sendiri dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar. Sinyal yang diberikan dapat berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya dan akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang. 154
Manajer dapat menggunakan kebijakan dividen sebagai cara untuk memberikan sinyal mengenai prospek perusahaan di masa depan (Scott, 2009:458). Teori dividen sebagai sinyal dikembangkan oleh Miller dan Rock (1985) yang menyatakan bahwa pengumuman dividen mengandung informasi mengenai laba saat ini dan masa depan. Jika manajemen mengumumkan kenaikan dividen yang dibagikan, maka investor akan menangkap informasi ini sebagai sinyal positif yaitu bahwa perusahaan mempunyai prospek masa depan yang baik. Jika manajemen mengumumkan penurunan dividen, maka hal ini akan dijadikan sinyal negatif oleh investor bahwa kondisi perusahaan relatif tidak baik di masa mendatang. Hal ini menggambarkan bahwa dividen mempunyai kandungan informasi yang berguna bagi investor Selain kebijakan dividen, manajemen laba juga dapat diinterpretasikan sebagai suatu sinyal (Scott, 2009:459). Manajemen laba dapat dilakukan demi tujuan yang baik yaitu sebagai alat untuk menyampaikan informasi privat. Manajemen laba yang dilakukan untuk menyampaikan informasi privat kepada publik inilah yang dapat diinterpretasikan sebagai suatu sinyal. Gul et al. (2000) dalam Shanti dan Yudhanti (2007) menyatakan bahwa manajer dapat menggunakan manajemen laba sebagai alat untuk memberi sinyal mengenai peluang tumbuh perusahaan pada masa yang akan datang. PENGEMBANGAN HIPOTESIS Corporate Governance dan Kebijakan Dividen Dividen merupakan pembayaran kepada para pemegang saham oleh pihak perusahaan atas keuntungan yang diperolehnya (Sutrisno, 2001). Dividen ini akan dibayarkan jika perusahaan memperoleh laba. Tidak adanya laba dapat membatasi dividen yang dibayarkan tanpa mempedulikan arus kas perusahaan (Galai et al., 2005). La Porta et al. (2000) menyatakan bahwa dengan membayar dividen, manajer perusahaan membagikan laba perusahaan kepada investor sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya penggunaan laba tersebut demi keuntungan pribadi manajer. Dividen lebih baik daripada laba ditahan karena laba ditahan mungkin tidak bisa menjadi dividen di masa mendatang. Lebih lanjut La Porta et al. (2000) juga menjelaskan mengenai dua model agensi yang berkaitan dengan dividen yaitu the outcome agency model of dividend dan the substitute agency model of dividend. Kedua model agensi tersebut dapat menggambarkan pengaruh corporate governance terhadap kebijakan dividen. Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan dan diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa investor akan menerima return atas dana yang telah diinvestasikan (Shleifer dan Vishny, 1997). Return yang diterima investor dapat berupa dividen. Teori kebijakan dividen, bird in the hand, juga bisa menjadi relevan jika investor mempertimbangkan mengenai peran dividen sebagai pengurang masalah agensi (Sawicki, 2009). Menurut teori kebijakan dividen, bird in the hand, investor menyukai dividen karena sifatnya yang lebih pasti daripada 155
capital gain. Pada perusahaan dengan corporate governance yang lemah, investor lebih suka menerima dividen untuk menghindari terjadinya penggunaan laba demi kepentingan manajer sendiri. Perusahaan dengan corporate governance yang kuat dapat mengurangi masalah agensi dengan cara membagikan dividen (Kowalewski et al., 2008). Oleh karena itu, dividen yang tinggi merupakan bukti bahwa corporate governance tersebut berjalan dengan baik (Sawicki, 2009). La Porta et al., (2000) menjelaskan mengenai dua model agensi yang berkaitan dengan dividen yaitu the outcome agency model of dividend dan the substitute agency model of dividend. Menurut the outcome agency model of dividend, dividen dibayarkan karena pemegang saham minoritas menekan manajemen perusahaan untuk mengeluarkan kas. Menurut the substitute agency model of dividend, perusahaan yang tertarik untuk menerbitkan ekuitas di masa mendatang akan membayar dividen untuk membangun suatu reputasi di mata pemegang saham minoritas. Mitton (2004) dan Kowalewski et al. (2008) meneliti mengenai pengaruh corporate governance terhadap kebijakan dividen. Hasil penelitian mereka mendukung the outcome agency model of dividend yaitu bahwa semakin baik corporate governance semakin tinggi pula dividen yang dibayarkan. Penerapan corporate governance menuntut adanya perlindungan yang kuat terhadap hak-hak pemegang saham terutama pemegang saham minoritas sehingga perusahaan yang tata kelolanya baik akan memberikan hak yang lebih kuat kepada pemegang saham. Jika pemegang saham mempunyai hak yang kuat, maka pemegang saham cenderung menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi manajemen agar membagikan dividen. Corporate governance juga dapat berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen (Jiraporn dan Ning, 2006; Sawicki, 2009). Perusahaan dengan corporate governance yang lemah berarti bahwa hak-hak pemegang saham tidak dilindungi dengan baik sehingga perusahaan membayarkan dividen yang tinggi sebagai kompensasi atas lemahnya hak pemegang saham tersebut (the substitute agency model of dividend). Hal ini dilakukan untuk membangun reputasi yang baik di mata pemegang saham. Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa corporate governance berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Atas dasar tersebut, hipotesis yang diajukan adalah: H1:Corporate governance berpengaruh terhadap kebijakan dividen Manajamen Laba dan Kebijakan Dividen Pada dasarnya, setiap orang mempunyai perilaku yang mementingkan diri sendiri atau self-interested behaviour yang memberikan kecenderungan pihak manajer melakukan manipulasi kinerja perusahaan yang dilaporkan untuk kepentingannya sendiri (Morris, 1987). Tindakan ini dikenal sebagai manajemen laba. Manajemen laba timbul sebagai dampak persoalan keagenan yaitu adanya 156
ketidakselarasan kepentingan antar pemilik dan manajemen (Beneish, 2001) dimana baik pemilik maupun manajer sama-sama ingin memaksimalkan utilitasnya masingmasing. Manajemen laba (earnings mangement) merupakan fenomena yang sukar untuk dihindari karena fenomena ini merupakan dampak dari penggunaan dasar akrual dalam penyusunan laporan keuangan. Dalam prakteknya, para manajer dapat memilih kebijakan akuntansi sesuai standar akuntansi keuangan. Oleh sebab itu, sangat wajar bahwa para manajer memilih kebijakan-kebijakan tersebut untuk memaksimalkan utilitasnya dan nilai pasar perusahaan. Menurut Scott (2009:403), earnings management adalah pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Manajer dapat memilih kebijakan akuntansi dari sekumpulan kebijakan yang ada. Biasanya manajer memilih kebijakan yang dapat memaksimalkan utilitasnya dan atau nilai pasar dari perusahaan. Perusahaan terkadang memerlukan manajemen laba untuk mempertahankan dividend payout ratio perusahaan (Shah et al., 2010). Dividen perlu dipertahankan karena dividen dianggap sebagai sinyal masa depan perusahaan dan dividen juga penting untuk mengurangi masalah agensi antara corporate insiders dan outsiders. Outside investors menyukai dividen daripada laba ditahan karena investor takut manajemen perusahaan akan menggunakan laba ditahan tersebut demi kepentingan pribadi dan merugikan outside investors. Menurut teori kebijakan dividen, bird in the hand, investor menyukai dividen karena sifatnya yang lebih pasti daripada capital gain.Kesukaan investor terhadap dividen membuat perusahaan juga perlu untuk mempertahankan pembayaran dividen karena nantinya dapat membuat investor menjadi loyal pada perusahaan. Manajer dapat melakukan manajemen laba untuk mempengaruhi kebijakan dividen karena adanya tuntutan dari pemerintah ataupun pemegang saham. Di Jepang terdapat suatu regulasi yang mewajibkan adanya pembayaran dividen sebesar 40%. Adanya regulasi ini memotivasi manajer untuk melakukan manajemen laba apabila ada kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap regulasi tersebut (Kato et al., 2002). Di Amerika sendiri juga terdapat suatu regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk membayarkan dividen sebesar 90%. Jika perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi regulasi tersebut, maka manajer akan melakukan manajemen laba (Edelstein et al.,2009). Selain itu, Daniel et al. (2008) menyatakan bahwa pada perusahaan yang membayar dividen, manajemen laba secara signifikan mempengaruhi kemungkinan terjadinya penurunan pembayaran dividen. Savov (2006) meneliti mengenai manajemen laba dan dividen. Penelitiannya membuktikan bahwa akrual diskresioner berhubungan dengan dividen. Perusahaan yang rendah likuiditasnya dan banyak berinvestasi membutuhkan dana yang besar sehingga menyebabkan perusahaan tidak mampu membayar dividen tinggi. Oleh karena itu, perusahaan melaporkan laba lebih rendah untuk menurunkan pembayaran dividennya. Penelitian Edelstein et al. (2009) juga membuktikan bahwa manajemen laba berpengaruh negatif terhadap pembayaran dividen.
157
Penelitian Kato et al. (2002) dan Hamdan (2010) membuktikan bahwa manajemen laba berpengaruh positif terhadap pembayaran dividen.Manajer melaporkan laba lebih tinggi untuk meningkatkan pembayaran dividen karena adanya tuntutan dari pemegang saham atau pemerintah. Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa manajemen laba berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Atas dasar tersebut, hipotesis yang diajukan adalah: H2: Manajemen laba berpengaruh terhadap kebijakan dividen METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Penelitian Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode tahun 2012 dan 2013. Hal ini dikarenakan adanya perubahan standar akuntansi menjadi IFRS pada awal tahun 2012 sehingga jika menggunakan data sebelum tahun 2012 maka akan ada perbedaan penghitungan angka dalam laporan keuangan perusahaan sebelum dan sesudah perubahan standar akuntansi. Selanjutnya sampel akan dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dari populasi berdasarkan suatu kriteria tertentu (Hartono, 2008:76). Adapun kriteria pemilihan sampel adalah: (a) merupakan perusahaan non keuangan; (b) merupakan perusahaan peserta Corporate Governance Perception Index (CGPI); (c) menerbitkan laporan keuangan; (d) laporan keuangan dilaporkan menggunakan mata uang Rupiah; (e) perusahaan membayarkan dividen. Total sampel penelitian yang diperoleh adalah sebanyak 47 perusahaan. Definisi Operasional Variabel Kebijakan Dividen Kebijakan dividen merupakan variabel dependen penelitian ini. Kebijakan dividen diproksikan dengan rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio/DPR) yang menunjukkan persentase laba perusahaan yang dibayarkan kepada pemegang saham dalam bentuk kas (Van Horne dan Wachowicz, 1998:496). Proksi ini mengacu pada penelitian Mitton (2004), Kowalewski et al. (2008), dan Shah et al. (2010). Rasio DPR dihitung dengan rumus:
Keterangan: Dividen per lembar saham : besarnya dividen yang diterima untuk setiap lembar saham. Laba per lembar saham : besarnya laba untuk setiap lembar saham
158
Corporate Governance Corporate governance merupakan variabel independen penelitian ini.Corporate governance diproksikan dengan indeks pemeringkatan yang dikembangkan oleh IICG, yang disebut Corporate Governance Perception Index (CGPI). CGPI mengukur sejauh mana perusahaan telah mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam menjalankan bisnisnya (Darmawati, 2006). Proksi indeks corporate governance ini mengacu pada penelitian Mitton (2004), Kowalewski et al. (2008), dan Sawicki (2009). Indeks corporate governance ini bisa diperoleh secara langsung melalui The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). Manajemen Laba Manajemen laba merupakan variabel independen penelitian ini. Penelitian ini menggunakan manajemen laba yang diproksikan dengan akrual diskresioner berdasarkan model Kothari et al. (2005). Alasan penggunaan model ini adalah karena pengukuran akrual diskresioner model Kothari mempunyai tingkat kesalahan spesifikasi yang rendah dan dapat meningkatkan reliabilitas kesimpulan dari penelitian manajemen laba. Rumus dari discretionary accrual diperoleh dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menghitung total accruals (TACC) TACCt = NIt–CFOt Keterangan: NIt = laba bersih (net income) perusahaan i pada periode t CFOt = arus kas operasi (cash flow of operation) perusahaan i periode t 2. Total accruals yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS (Ordinary Least Square) adalah TACCt/TAt-1= α0+ α1(1/TAt-1) + α2 ((ΔREVt–ΔARt)/TAt-1) + α3 (PPEt/TAt-1) + α4 ROAt+ εt Keterangan: TAt-1 = total aset pada periode t-1 ΔREVt = perubahan pendapatan pada periode t ΔARt = perubahan piutang pada periode t PPEt = property, plan, and equipment pada periode t ROAt = return on assets pada periode t
159
3. Menghitung akrual non diskresioner (non discretionary accrual/NDACC) Dari langkah ke-2 akan didapat nilai α1, α2, α3, dan α4. Nilai α tersebut akan dimasukkan dalam persamaan akrual non diskresioner berikut ini dan kemudian akan dihitung secara manual untuk mendapatkan nilai akrual non diskresioner. Persamaan akrual non diskresioner adalah: NDACCt = α1(1/TAt-1) + α2 ((ΔREVt–ΔARt)/TAt-1) + α3 (PPEt/TAt-1)+ α4ROAt 4. Menghitung akrual diskresioner (discretionary accrual/DACC) DACCt = TACCt - NDACCt Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi berganda. Berikut ini adalah persamaannya: DPR = a0 + a1 ICG + a2 DACC + e Keterangan: ICG = indeks corporate governance perusahaan DACC = manajemen laba perusahaan DPR = rasio pembayaran dividen perusahaan Pengujian hipotesis dilakukan secara parsial atau uji t. Uji t bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel dependen. Hipotesis diterima bila nilai probabilitas(pvalue) pada kolom Sig.< 0,05. Penelitian ini juga melakukan pengujian asumsi klasik dan normalitas karena model regresi linier berganda dapat disebut sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi asumsi normalitas data dan terbebas dari asumsi-asumsi klasik statistik, baik itu multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskesdastisitas. HASIL DAN PEMBAHASAN Statistik Deskriptif Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai minimum, maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil perhitungan statistik deskriptif adalah sebagai berikut: Tabel 1. Statistik Deskriptif Variabel DPR ICG DACC
N 47 47 47
Minimum 0,092 56,38 -0,21060
Maksimum 0,70440 89,04 0,10601
Rata-rata 0,3653827 78,1917 -0,0186387
Standar Deviasi 0,14629024 7,27584 0,08063493
Sumber: data sekunder diolah, 2014-2015
160
Keterangan: DPR ICG DACC
: Rasio Pembayaran Dividen : Indeks Corporate Governance : Discretionary Accrual
Tabel 1 menunjukkan mengenai statistik deskriptif variabel penelitian. Rasio pembayaran dividen (DPR) merupakan proksi dari kebijakan dividen. Nilai DPR terkecil adalah 0,092 dan nilai DPR terbesar adalah 0,70440 dengan standar deviasi sebesar 0,14629024. Rata-rata nilai DPR menunjukkan angka sebesar 0,3653827 yang berarti bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia rata-rata membagikan labanya sebesar 36,54% sebagai dividen. Indeks corporate governance (ICG) merupakan proksi dari corporate governance. Berdasarkan tabel 1 bisa dilihat bahwa hasil rata-rata ICG sebesar 78,1917. Menurut IICG, angka 55-69 menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai corporate governance yang cukup terpercaya, angka 70-84 menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai corporate governance yang terpercaya, dan angka 85-100 menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai corporate governance yang sangat terpercaya. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa kualitas corporate governance adalah terpercaya. Akrual diskresioner (DACC) merupakan proksi dari manajemen laba. Nilai DACC terkecil adalah -0,21060 dan nilai DACC terbesar adalah 0,10601 dengan standar deviasi sebesar 0,08063493.Rata-rata nilai DACC menunjukkan angka sebesar -0,0186387. Tanda negatif pada nilai rata-rata menunjukkan bahwa perusahaan rata-rata melakukan manajemen laba dalam bentuk income-decreasing dimana manajemen laba yang terjadi rata-rata sebesar 1,86% dari total accrual. Uji Normalitas Uji normalitas ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test. Berikut ini adalah hasil uji normalitas : Tabel 2. Hasil Uji Normalitas
Data Residual
Asymp. Sig. 0,456
Sumber: data sekunder diolah, 2014-2015
Model regresi dikatakan baik jika mempunyai data residual yang terdistribusi normal. Data residual dikatakan terdistribusi normal apabila nilai asymp. sig. > 0,05. Berdasarkan tabel 2, nilai asymp. sig. lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti residual berdistribusi normal. Dengan kata lain, uji normalitas terpenuhi.
161
Uji Multikolinieritas Uji multikolinearitas diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam satu model. Berikut ini adalah hasil uji multikolinearitas: Tabel 3. Hasil Uji Multikolinearitas
ICG DACC
Tolerance 0,964 0,964
VIF 1,037 1,037
Sumber: data sekunder diolah, 2014-2015
Hasil perhitungan nilai Tolerance menunjukkan bahwa tidak ada variabel independen yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10 yang berarti tidak ada korelasi antar variabel independen. Hasil perhitungan Variance Inflation Factor (VIF) menunjukkan bahwa tidak ada variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih dari 10.Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinearitas antar variabel independen dalam model regresi. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi digunakan uji Durbin Watson. Berikut ini adalah hasil uji autokorelasi : Tabel 4. Hasil Uji Autokorelasi du DW 4-du 1,58 1,630 2,42 Sumber: data sekunder diolah, 2014-2015 Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Suatu model regresi dikatakan tidak ada autokorelasi apabila nilai durbin watson (DW) lebih besar dari batas atas (du) dan kurang dari 4-du. Batas atas (du) yang digunakan dalam kedua model regresi ini adalah 1,58. Pada model regresi yang dipakai dalam penelitian ini, nilai durbin watson 1,630 lebih besar dari batas atas (du) 1,58 dan kurang dari 2,42 (4-du). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model regresi bebas dari autokorelasi.
162
Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas digunakan uji glejser. Tabel 5. Hasil Uji Heteroskedastisitas
ICG DACC
Tingkat Signifikansi 0,178 0,721
Sumber: data sekunder diolah, 2014-2015
Model regresi dikatakan baik jika tidak terjadi heteroskedastisitas. Jika tingkat signifikansi variabel independen lebih besar dari 5%, maka disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas. Pada tabel 5 bisa dilihat bahwa tingkat signifikansi semua variabel independennya lebih dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda untuk menguji 2 hipotesis. Hasil analisis regresi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 6. Hasil Analisis Regresi Variabel Independen ICG DACC
Koefisien Regresi 0,312 0,060
Nilai Statistik
Nilai Probabilitas
2,138 0,408
0,038 0,685
Sumber: data sekunder diolah, 2014-2015
Hipotesis akan diterima jika nilai probabilitas kurang dari 5%. Berdasarkan tabel 6, hipotesis yang diterima hanya hipotesis 1 yaitu bahwa corporate governance (ICG) berpengaruh terhadap kebijakan dividen (DPR). Hipotesis 2 yang menyatakan bahwa manajemen laba (DACC) berpengaruh terhadap kebijakan dividen (DPR) ditolak. Corporate Governance dan Kebijakan Dividen Hipotesis 1 yang menyatakan bahwa corporate governance berpengaruh terhadap kebijakan dividen diterima. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6 yang menunjukkan nilai probabilitas ICG (0,038) kurang dari 0,05 yang berarti bahwa corporate governance berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
163
Jika melihat pada koefisien regresi yang bertanda positif (0,312), maka dapat dinyatakan secara lebih lengkap bahwa corporate governance berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Hasil ini sesuai dengan the outcome agency model of dividend.Menurut the outcome agency model of dividend, dividen dibayarkan karena pemegang saham minoritas menekan manajemen perusahaan untuk mengeluarkan kas. Model ini menjelaskan bahwa semakin kuat hak pemegang saham minoritas, semakin tinggi dividen yang dibayarkan. Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian Mitton (2004) dan Kowalewski et al. (2008) yang menyatakan bahwa corporate governance berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen namun berbeda dengan hasil penelitian Jiraporn dan Ning (2006) dan Sawicki (2009) yang menyatakan bahwa corporate governance berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Berdasarkan hasil penelitian Sawicki (2009) mengenai kebijakan dividen di Indonesia, corporate governance mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.Hasil penelitian Sawicki (2009) ini sesuai dengan the substitute agency model of dividend yang menjelaskan bahwa perusahaan membayarkan dividen tinggi karena perusahaan ingin membangun suatu reputasi yang baik di mata pemegang saham. Namun, hasil dari penelitian ini sesuai dengan the outcome agency model of dividend yang menunjukkan bahwa corporate governance mempunyai pengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan dalam implementasi corporate governance di Indonesia sehingga pembayaran dividen bukan lagi untuk membangun suatu reputasi yang baik di mata pemegang saham minoritas namun karena manajemen benar-benar memperhatikan kesejahteraan pemegang saham baik mayoritas maupun minoritas. Manajemen Laba dan Kebijakan Dividen Hipotesis 2 yang menyatakan bahwa manajemen laba berpengaruh terhadap kebijakan dividen ditolak. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6 yang menunjukkan nilai probabilitas DACC (0,685) lebih dari 0,05 yang berarti bahwa manajemen laba tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian Shah et al. (2010) yang menyatakan bahwa manajemen laba tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen namun berbeda dengan hasil penelitian Kato et al. (2002), Savov (2006), Edelstein et al. (2009), dan Hamdan (2010) yang menyatakan bahwa manajemen laba berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Menurut Shah et al. (2010), tidak adanya pengaruh manajemen laba terhadap kebijakan dividen disebabkan karena adanya perusahaan keluarga dimana pada perusahaan keluarga tidak diperbolehkan adanya manipulasi data keuangan yang dapat menghalangi pemegang saham sekaligus pemilik perusahaan untuk mendapatkan dividen. Indonesia merupakan negara yang mempunyai banyak perusahaan keluarga sehingga bisa disimpulkan bahwa, di Indonesia, manajemen laba tidak mempengaruhi kebijakan dividen. Manajemen laba tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen juga dapat dikarenakan adanya perbedaan regulasi di luar negeri dengan di Indonesia mengenai 164
pembayaran dividen. Adanya suatu regulasi yang mewajibkan pembayaran dividen dalam jumlah tertentu inilah yang menyebabkan manajer melakukan manajemen laba untuk mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan. Di luar negeri, besarnya pembayaran dividen telah diatur oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa perusahaan dituntut untuk membayar dividen sebesar yang telah ditetapkan.Adanya regulasi ini dapat mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba jika tidak bisa memenuhi regulasi tersebut. Sementara itu, di Indonesia, tidak terdapat suatu regulasi yang mewajibkan perusahaan membayarkan dividen dalam jumlah tertentu sehingga manajer tidak perlu melakukan manajemen laba untuk mempengaruhi kebijakan dividennya. SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menguji pengaruh corporate governance dan manajemen laba terhadap kebijakan dividen.Variabel corporate governance diukur menggunakan indeks corporate governance, variabel manajemen laba diukur menggunakan akrual diskresioner, dan variabel kebijakan dividen diukur dengan menggunakan rasio pembayaran dividen. Beberapa tujuan dari penelitian ini dapat dibuktikan.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa corporate governance berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Pengaruh corporate governance terhadap kebijakan dividen bersifat positif dan hal ini sesuai dengan penelitian Mitton (2004) dan Kowalewski et al. (2008) yang menyatakan bahwa perusahaan dengan corporate governance yang kuat akan membagikan dividen yang tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen laba tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Shah et al. (2010). Menurut Shah et al. (2010), hal ini disebabkan karena adanya perusahaan keluarga dimana dalam perusahaan keluarga tidak diperbolehkan adanya manipulasi keuangan yang dapat menghalangi pemegang saham sekaligus pemilik perusahaan untuk mendapatkan dividen. Perusahaan di Indonesia banyak yang merupakan perusahaan keluarga.Alasan lainnya adalah karena di Indonesia tidak terdapat suatu regulasi yang menuntut perusahaan membayarkan dividen dalam jumlah yang telah ditetapkan sehingga manajer tidak perlu melakukan manajemen laba untuk memenuhi regulasi tersebut. Penelitian selanjutnya dapat menambah variabel lain yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dividen seperti arus kas operasi dan/atau leverage. Penelitian selanjutnya juga dapat menggunakan proksi manajemen laba berdasarkan model lainnya untuk mengetahui sensitivitas hasil pengujian.
165
DAFTAR PUSTAKA Beneish, M. D. 2001. Earnings Management: A Perspective. Management Finance. vol. 27, no.12, p. 3-17. Daniel, N. D., D. J. Denis, L. Naveen. 2008. Do Firms Manage Earnings To Meet Dividend Thresholds?. Journal of Accounting and Economics. 45, p. 2-26. Darmawati, Deni. 2006. Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Faktor Regulasi Terhadap Kualitas Implementasi Corporate Governance. Simposium Nasional Akuntansi IX 23-26 Agustus Padang. Easterbrook, F. H. 1984. Two Agency-Cost Explanations of Dividends. The American Economic Review. vol. 74, no. 4, p. 650-659. Edelstein, R., P. P. Liu dan D. Tsang. 2009. Real Earnings Management and Dividend Payout Signals: A Study for U.S. Real Estate Investment Trusts. Working Paper. Galai, D., E. Sulganik dan Z. Wiener. 2005. Accounting Values Versus Market Values and Earnings Management in Banks. Working Paper. Hamdan, A. M. M.. 2010. The Relationship Between Creative Accounting and Dividend Payments: Evidence from Dubai Financial Market. Interdiciplinary Journal of Contemporary Research in Business. vol. 2, no. 7, p. 224-238. Hartono, J. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Jensen, M. C. dan W. H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics. vol. 3, no. 4, p. 305-360. Jensen, M. C. 1986. Agency Costs of Free Cash Flow, Corporate Finance, and Takeovers, American Economics Association Papers and Proceedings. vol. 76, no. 2, p. 323-329. Jiraporn, P. dan Y. Ning. 2006. Dividend Policy, Shareholder Rights, and Corporate Governance. Journal of Applied Finance. Fall/Winter. p. 24-36. Kato, K., M. Kunimura dan Y. Yoshida. 2002. Dividend Behaviour and Pure Accrual Management of Japanese Banks. Working Paper. Kothari, S. P., A. J. Leone dan C. E. Wasley. 2005. Performance Matched Discretionary Accrual Measures. Journal of Accounting and Economics. 39: 163-197. Kowalewski, O., I. Stetsyuk dan O. Talavera. 2008. Does Corporate Governance Determine Dividend Payouts in Poland? Post-Communist Economics. vol. 20, no. 2, p. 203-218. La Porta, R., F. Lopez-De Silanes, A. Shleifer dan R. W. Vishny. 2000. Agency Problems and Dividend Policies Around The World. The Journal of Finance. vol. 55, no. 1, p. 1-33. Miller, M. H. dan K. Rock. 1985. Dividend Policy under Asymmetric Information. The Journal of Finance. vol. XL, no. 4, p. 1031-1051. Mitton, T. 2004. Corporate Governance and Dividend Policy in Emerging Markets. Emerging Markets Review. 5, p. 409-426. 166
Morris, R. D. 1987. Signaling Agency Theory And Accounting Policy Choice. Accounting of Business Research. vol.18, no.69, p.47-56. Savov, S. 2006. Earnings Management, Investment, and Dividend Payments. Working Paper. Sawicki, J. 2009. Corporate Governance and Dividend Policy in Southeast Asia Preand Post-Crisis. The European Journal of Finance. vol. 15, no. 2, p. 211-230. Scott, W. R.. 2009. Financial Accounting Theory. New Jersey: Prentice Hall. Shah, S. Z. A., H. Yuan dan N. Zafar. 2010. Earnings Management and Dividend Policy An Empirical Comparison Between Pakistani Listed Companies and Chinese Listed Companies. International Research Journal of Finance and Economics. Issue 35, p. 51-60. Shanti, J. C. dan C. B. H. Yudhanti. 2007. Pengaruh Set Kesempatan Investasi dan Leverage Finansial Terhadap Manajemen Laba. Jurnal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi. vol. 10, No. 3, p. 49-70. Shleifer, A. dan R. W. Vishny. 1997. A Survey of Corporate Governance. The Journal of Finance. vol. LII, no. 2, p. 737-783. Sugiarto. 2009. Struktur Modal, Struktur Kepemilikan Perusahaan, Permasalahan Keagenan dan Informasi Asimetri. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sutrisno. 2001. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Publik di Indonesia. TEMA. vol. II, no. 1, p. 1-12. Van Horne, J. C. dan J. M. Wachowicz. 1998. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan. Jakarta: Salemba Empat. Wilbur, D. E. 1932. A Study of The Policy of Dividend Stabilization. Harvard Business Review. vol. 10, issue 3, p. 373-381. Zarkasyi, M. W. 2008. Good Corporate Governance. Bandung: Alfabeta.
167