A FLUOROMETRIC DETERMINATION OF MICROQUANTITIES OF MORPHINE IN URINE, OPIUM AND OTHER PHARMACEUTICALS
A B S T R A K
Pada penentuan kadar morfina yang sangat rendah di dalam urina dan sediaan-sediaan yang mengandung opium, ternyata masih banyak kesulitan-kesulitan yang perlu diatasi. Untuk menentukan kadar morfina dalam 'jumlah mikro' ini telah dikembangkan berbagai-bagai cara analisa, akan tetapi hanya beberapa cara diantaranya yang dapat digunakan untuk menentukan kadar morfina dalam urina. Test "fluoresensi ungu" terhadap morfina, yang ditemukan oleh Fulton, merupakan langkah pertama ke arah penentuan kadar morfina dengan cara fluorometri. Nadeau dan Sobolewsky menyusun suatu tata kerja dimana morfina diubah menjadi turunannya yang berfluoresensi secara kwantitatip dan memancarkan sinar yang cukup mantap. Dalam tata kerja itu morfina direaksikan dengan asam sulfat pekat dalam keadaan babas lengas dan setelah dipanaskan di dalam larutan yang mengandung amonia berlebih pada 50°C selama dua jam, maka terbentuk senyawa yang berfluoresensi. Tata kerja itu sangat sederhana dan sangat peka serta dapat
ikerjakan di dalam laboratorium yang me-
miliki fotofluorometer yang sesuai. Apabila untuk
pengukuran-pengukuran itu dipergunakan spektrofotometer yang dilengkapi dengan 'spectral fluorescence attachment' atau sebuah spektrofluorometer dengan monokhromator ganda, maka hasil-hasilnya akan lebih baik. Agar supaya tata kerja Nadeau dapat digunakan untuk menentukan tidak
kadar
murni,
morfina
telah
dalam
dilakukan
bahan-bahan beberapa
yang
perubahan
seperti tertera di bawah 1.
Morfina
yang
diekstraksi
terkandung
dengan
dalam
campuran
contoh,
khloroform-
isopropanol dengan perbandingan 3:1 v/v pada pH 10. Catatan: a. Untuk menentukan kadar total morfina (bebas dan terkonyungasi) dalam urina, contoh itu diasamkan dengan asam khlorida pekat dan dipanaskan selama satu jam di dalam penangas air mendidih. b. Zat-zat yang memadamkan (quenching) fluoresensi, dihilangkan dahulu dengan jalan mengocok urina yang telah dihidrolisa dengan aluminium oksida asam. 2. Untuk mengukur 'background emission', larutan blanko dibuat dengan mengocok ekstrak organik
dengan larutan natrium hidroksida 10% dan larutan dalam pelarut organik itu dipakai sebagai bahan untuk pembuatan blanko. 3. Setelah pelarut organiknya diuapkan, sisa ekstrak dikeringkan dalam penangas udara pada 105 0C
selama sepuluh menit, kemudian didinginkan
dalam eksikator. 4. Semua reaksi-reaksi kimia dilangsungkan pada suhu yang tidak melampaui 50°C untuk mencegah pembentukan hasil-hasil reaksi yang lain. 5. Untuk meningkatkan intensitas fluoresensi dalam larutan yang diukur telah ditambahkan metanol hingga tercapai kadar akhir 40% v/v. Untuk pengukuran ini fluorofor tidak diekstraksi dengan isobutanol. 6. Pada analisa bahan-bahan yang tidak murni, telah
diterapkan
'standard
addition
method'
yang hasil-hasilnya memuaskan. 7. Fluorofor itu diaktipkan dengan garis raksa365 dan untuk meningkatkan nilai pengukurannya, fluoresensi diukur pada 425 nm dengan menggunakan celah (slit) yang sekecilkecilnya. Jika digunakan fotofluorometer, sinar-sinar yang diemisikan disaring dengan penyaring interferensi
yang puncak transmisinya terletak pada 425 atau 430 nm. Tata kerja yang telah disusun untuk
penentuan kadar morfina dalam urina, telah digunakan juga pada penentuan kadar morfina dalam darah, opium dan pulvis doveri, serta dapat pula dipakai untuk bahan-bahan pemeriksaan lainnya.
5. SUMARY 1. The procedure for the fluorometric determination of morphine introduced by Nadeau and Sobolewsky, could not be used for the determination of morphine in urine. 2. Based on the work of Nadeau and Sobolewsky, a new procedure had been developed which could be used successfully on urine samples. 3. The fluorescent morphine-sulfuric acid reaction product, might have a structure similar to apomorphine. 4. An increase in the fluorescence efficiency was obtained when the fluorophore was dissolved in a watermethanol mixture. Water containing 40% by volume of methanol was found to have maximum efficiency. 5. The pH of the fluorophore solution to be measured should be between 9 and 10. 6. The temperature of the fluorophore solution, during the fluorescence measurements, may vary between 25° and 37°C.
7. The presence of quenching substances in urine, which were extracted into the organic solvent, cause difficulties. 8. These quenching substances are readily adsorbed by acid aluminium oxide from strong acid solution, whereas morphine molecules are kept in solution at the same condition. 9. A mode of blank preparation, using the urine sample as material, had been introduced. 10. The temperature of the reaction mixture during the chemical treatment should be controlled carefully and should not exceed 50°C, to obtain uniform reaction products. 11. A standard addition method was shown to be very useful for impure samples and complexed mixtures.