Peningkatan Empati Melalui Semangat Volunteerism Bagi Mahasiswa Fakultas Kedoteran Universitas YARSI Tahun Ajaran 2013/2014 Citra Fitri Agustina1, Werda Indriarti2,Taufiq Nashrulloh3
ABSTRACT: Communication is a core of clinical skill in the preparation of medical students to be a doctor. To establish communication with patients and their families, a doctor should be able to conduct verbal and non-verbal communication, show empathy, deliver some information and perform sensitivity of bio psycho sociocultural and spiritual aspects. One way to improve empathy is involving the students in a particular community to contribute as a volunteer. This study was conducted to obtain measurement data of empathy before and after carrying out volunteer activities by using a valid and reliable measuring instrument; and also to know correlation between increasing empathy and participation of the students in volunteer activities. The implementation of this grant involving 50 students as volunteers. The participants of volunteer activities are divided into 10 groups. Each group consists of 5 persons and placed in 10 different institutions, facilitated by one academic staff. Empathy measurement has performed before and after volunteer activities using a questionnaire which called Empathy Assessment Index. Of 50 subjects, most of their age was 18 and 19 years old (40% and 40%, respectively). Fifty-four percent were woman. There is significantly difference between the mean of empathy measurement before and after the volunteer activities (p < 0.05). The mean of empathy measurement before activities (pre-score) =4.3067 ± 0.541, less than the mean of empathy measurement after the activities (post-score) = 4.5822 ± 0.546. These findings indicate that there are significantly increased of the mean of empathy measurement before and after involving volunteer activities. Keywords: Empathy, Doctor, Volunteer ABSTRAK: Komunikasi merupakan inti ketrampilan klinik dalam persiapan mahasiswa kedokteran menjadi seorang dokter. Untuk membangun komunikasi dengan pasien dan keluarganya, seorang dokter diharapkan mampu membina hubungan komunikasi verbal dan non verbal, berempati secara verbal dan non verbal, mampu menyampaikan informasi dan menunjukkan kepekaan terhadap aspek biopsikososiokultural dan spiritual. Salah satu cara meningkatkan empati adalah melibatkan mahasiswa dalam komunitas tertentu untuk berkontribusi sebagai volunteer. Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk memperoleh data pengukuran empati sebelum dan setelah melaksanakan kegiatan volunteer dengan menggunakan instrumen pengukur empati yang sahih dan handal serta untuk mengetahui adanya hubungan antara peningkatan empati dengan keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan volunteer. Penelitian ini melibatkan 50 mahasiswa sebagai volunteer. Para peserta kegiatan volunteer dibagi menjadi 10 kelompok yang beranggotakan masing-masing 5 orang dan ditempatkan di 10 institusi berbeda dengan didampingi seorang fasilitator. Pengukuran empati dilakukan sebelum dan setelah kegiatan menggunakan kuesioner Empathy Assessment Index. Dari 50 subyek penelitian sebagian besar berusia 18 dan 19 tahun (masing-masing 40%) dan 54% diantaranya perempuan. Didapatkan perbedaan bermakna antara rerata pengukuran empati sebelum dan sesudah kegiatan (p < 0.05). Rerata sebelum (pre-score) = 4.3067 ± 0.541 lebih kecil secara bermakna dibanding rerata pengukuran empati sesudah kegiatan (post-score) = 4.5822 ± 0.546. Penelitian ini menyatakan bahwa terdapat peningkatan yang bermakna antara rerata pengukuran empati sebelum dan sesudah menjadi volunteer. Kata Kunci: Empati, Dokter, Volunteer
1
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Jiwa FK YARSI (
[email protected] ) Staf Pengajar Neurologi FK YARSI (
[email protected]) 3 Staf Pengajar Anatomi FK YARSI (
[email protected]) 2
9
Pendahuluan Untuk berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya, seorang dokter diharapkan mampu membangun hubungan melalui komunikasi verbal dan non verbal, berempati secara verbal dan non verbal, berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang santun dan dapat dimengerti. Dokter juga diharapkan mampu mendengarkan dengan aktif dalam menggali permasalahan kesehatan secara holistik dan komprehensif, menyampaikan informasi yang terkait kesehatan (termasuk berita buruk, informed consent) dan melakukan konseling dengan cara yang santun, baik dan benar serta menunjukkan kepekaan terhadap aspek bio psiko sosiokultural dan spiritual pasien dan keluarga (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012). Komunikasi merupakan inti ketrampilan klinik. Jika dalam rentang karir seseorang adalah 40 tahun, seorang dokter di rumah sakit melakukan 150.000 hingga 200.000 wawancara dengan pasien dan keluarganya. Penelitian mengenai komunikasi dokter-pasien membuktikan bahwa komunikasi efektif dalam meningkatkan kepuasan pasien, kepatuhan pengobatan dan optimalnya tata laksana (Ferguson and Candib, 2002; Fallowfield et al, 2002). Di Inggris, dilakukan sebuah penelitian terhadap 160 orang ahli onkologi dari 34 pusat kanker, yang dibagi menjadi 4 kelompok untuk menilai komunikasi. Sebelum dilakukan penilaian, setiap peserta akan diberikan kursus komunikasi. Penelitian dinilai secara subyektif dan obyektif oleh peneliti, dokter dan pasien. Penilaian MIPS (Medical Interaction Process System) meliputi tipe pertanyaan dokter (tertutup atau terbuka), ekspresi empati, kemampuan mendeteksi informasi yang diharapkan pasien, evaluasi diri dan penilaian dari pasien. Berdasarkan penelitian itu, ternyata 14 orang dari 160 ahli onkologi yang menjadi responden kurang mampu mengeskpresikan empati. Keempat belas orang tersebut tercatat tidak mengikuti kursus komunikasi. (Fallowfield et al, 2002). Cohen dan Strayer memberikan pengertian empati sebagai ‘the understanding and sharing in another’s emotional state or context. Definisi ini memiliki sudut pandang yang positif, baik secara kognitif maupun afektif. Dari sudut pandang kognitif, empati merupakan kemampuan untuk memahami emosi seseorang. Dari sudut pandang afektif, empati dapat diartikan sebagai berbagi perasaan emosional seseorang. Berbagai penelitian neurosains mengenai kognitif dan psikologi menunjukkan empati sebagai komponen kognitif dan afektif yang memerlukan alat ukur, baik perekaman maupun kuesioner. Terdapat hubungan yang konsisten antara empati dengan perilaku tertentu. Salah satunya, individu yang berperan secara sosial cenderung memiliki pengukuran. Kognitif dan afektif yang tinggi dalam penilaian empati (Geng et al, 2012). Empati merupakan salah satu cara untuk membina sambung rasa (rapport) dalam melakukan pemeriksaan kepada pasien. Meskipun empati tidak dapat diciptakan, namun empati dapat dilatih dan diperdalam melalui training, pengamatan serta refleksi diri. Selain itu, empati dapat ditingkatkan dengan berbagi pengalaman dengan orang lain (Othmer E and Othmer S, 1994). Pengukuran empati menggunakan kuesioner Empathy Assessment Index yang dikemukakan oleh Gerdes dan Segal pada tahun 2009. Sebuah model yang menggabungkan komponen emosional dan kognitif dari empati (Gerdes and Segal, 2011). Instrumen ini dikembangkan melalui serangkaian aplikasi psikiometri. Pada tahun 2009, putaran pertama digunakan exploratory factor analysis (EFA) dari 54 butir versi awal Empathy Assessment Index (Gerdes, Lietz, and Segal, 2011). Dari analisis
10
meggunakan EFA, teridentifikasi beberapa keterbatasan ukuran awal, dan beberapa butir perlu diubah atau dihilangkan. Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner Empathy Assessment Index, diperoleh bahwa terdapat 18 butir yang dapat diterapkan sehingga didapatkan alat ukur yang sahih dan handal. (Gerdes, Segal and Lietz, 2010). Volunteering atau kerap diartikan dengan “sukarela” didefinisikan sebagai aktivitas yang melibatkan waktu, tidak dibayar, melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk lingkungan atau orang lain. Pada dasarnya, menjadi relawan adalah pilihan bebas bagi seseorang. (Volunteering England, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data pengukuran empati sebelum dan setelah melaksanakan kegiatan volunteer dengan menggunakan instrumen pengukur empati yang sahih dan handal serta untuk mengetahui adanya hubungan antara peningkatan empati dengan keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan volunteer pada mahasiswa tingkat I Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Tahun Ajaran 2013/2014. Selain itu juga sebagai wujud pengabdian Fakultas Kedokteran Universitas YARSI kepada masyarakat, dalam hal ini komunitas – komunitas sosial yang terkait. Metode Penelitian Untuk menilai adanya peningkatan empati, dilakukan studi eksperimental untuk menilai empati mahasiswa, sebelum dan sesudah melakukan kegiatan pengabdian masyarakat sebagai relawan (volunteer). Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa tingkat satu Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, dengan rentang usia 17-20 tahun, dan telah menandatangani surat pernyataan kesediaan untuk mengikuti penelitian. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan Februari hingga Mei 2014. Sebanyak 50 mahasiswa yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Peserta penelitian dibagi menjadi 10 kelompok, yang masing – masing beranggotakan 5 orang. Masing-masing kelompok ditempatkan di suatu institusi, antara lain panti asuhan, Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia, Komunitas 1001 buku, penampungan anak jalanan, Wisma Tuna Ganda, Panti Wreda, Pesantren bagi kaum dhuafa, Klinik sosial, panti rehabilitas jiwa dan lingkungan berpenduduk ekonomi lemah. Setiap kelompok mendapat satu orang staf pengajar sebagai fasilitator. Para mahasiswa ini berperan sebagai relawan sebanyak 6 kali dalam 3 bulan dan dituntut membuat laporan dan mengumpulkan refleksi diri. Sebelum berperan sebagai relawan, mahasiswa peserta penelitian mengisi kuesioner penilaian empati (Empathy Assessment Index), yang hasilnya disebut sebagai pre-score. Setelah menjalani 6 kali kegiatan sebagai relawan, peserta diminta kembali mengisi kuesioner penilaian empati (Empathy Assessment Index), yang hasilnya disebut sebagai post-score. Tidak ada peserta yang meminta berhenti (drop out). Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 21.0. Untuk melihat adanya perbedaan nilai rerata pengukuran empati sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan volunteer digunakan uji t berpasangan.
11
Hasil Dan Pembahasan Keseluruhan subyek penelitian adalah 50 orang yang terdiri dari 23 mahasiswa (46 %) dan 27 mahasiswi (54 %) dengan rentang usia 17 – 20 tahun terdiri dari 5 responden berusia 17 tahun (10%), 20 responden berusia 18 tahun (40%), 20 responden berusia 19 tahun (40%) dan 5 responden berusia 20 tahun (10%). Hasil pengisian kuesioner didapatkan bahwa rerata sebelum (Pre Score) = 4.3067 ± 0.541, sedangkan rerata setelah (Post Score) = 4.5822 ± 0.546. Kuesioner EAI atau yang kemudian diberi tajuk Human Relation Survey yang diisi oleh mahasiswa, dilakukan penghitungan untuk mengetahui adakah perbedaan yang bermakna antara rerata pengukuran empati sebelum dan sesudah kegiatan volunteer. Secara keseluruhan hasil uji t berpasangan dapat dilihat pada tabel 1. Pada tabel 1 didapatkan nilai sig = 0.000 < 0.05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata pengukuran empati sebelum dan sesudah kegiatan volunteer dengan perbedaan rerata 0.276 ± 0,480, IK 95% (0.139 – 0.412). Rerata sebelum (Pre Score) = 4.3067 ± 0.541 lebih kecil secara bermakna dibanding rerata pengukuran empati sesudah kegiatan (Post Score) = 4.5822 ± 0.546. Tabel 1:
Perbedaan rerata pengukuran empati sebelum dan sesudah kegiatan volunteer N
Rerata ± SB
prescore
50
4.3067 ± 0.541
postscore
50
4.5822 ± 0.546
Perbedaan Rerata ± SB
IK 95%
p
0.276 ± 0.480
0.139 – 0.412
< 0.05
Simpulan Dan Implikasi Berdasarkan penelitian ini, didapatkan perbedaan yang bermakna antara pengukuran empati sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan volunteer, yang dinilai berdasarkan Human Relation Survey yang sahih dan handal. Terjadi peningkatan empati sesudah mengikuti kegiatan volunteer dibanding sebelum mengikuti kegiatan volunteer. Empati sebagai bagian dari komunikasi, menjadi aspek penunjang persiapan seseorang dalam menjadi dokter. Diharapkan dengan empati yang meningkat, orientasi mahasiswa kedokteran menjadi lebih kepada patient-oriented dibandingkan disease-oriented ataupun doctororiented. Mahasiswa peserta penelitian dan kegiatan volunteer ini mendapatkan manfaat untuk belajar serta menjadi individu yang lebih peka terhadap sesamanya. Keterbatasan studi ini adalah jumlah sampel yang tidak besar dan tidak serupanya insitusi yang dituju. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai empati baik dengan menyempurnakan penelitian terkait pengabdian masyarakat maupun menggunakan metode kualitatif.
12
Daftar Pustaka Fallowfield L, Jenkins V, Farewell V et al, 2002. Efficacy of a Cancer Research UK Communications Skill Training Model for Oncologists: a Randomised Controlled Trial. United Kingdom: The Lancet Publishing Group (Jurnal). Ferguson WJ and Candib LM, 2002. Culture, language, and the doctor-patient relationship. Family Medicine and Community Health Publications and Presentations. University of Massachusetts Medical School. (Jurnal). Geng Y, Xia D, Qin B, 2012. The Basic Empathy Scale: A Chinese Validation of a Measure of Empathy in Adolescents. Child Psychiatry Hum Dev 43. p. 499– 510. (Jurnal). Gerdes KE, Lietz CA, and Segal EA, 2011. Measuring Empathy in the 21st. Century: Development of an Empathy Index Rooted in Social Cognitive Neuroscience and Social Justice. Social work Research 35 (2), p.83 – 93. (Jurnal ). Gerdes KE, Segal EA and Lietz CA, 2010. Conceptualising and measuring empathy. British Journal of Social Work 40(7), p. 2326-2343. (Jurnal). Gerdes KE, Segal EA, 2011. Importance of empathy for social work practice: Integrating new science. Social Work 56(2). p. 141-148. (Jurnal). Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia, cetakan Pertama. Jakarta. (Buku). Othmer E, Othmer S, 1994. The Clinical Interview using DSM IV, Second Ed. American Psychiatric Press Inc. Volunteering England, 2013. available at www.volunteering.org.uk
13