Penerapan Asas Berperkara Secara Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Penyelesaian Perkara Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga)
SKRIPSI Diajukan guna memenuhi kewajiban dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama dalam Ilmu Hukum Islam
Disusun Oleh Nafis Afiyanto 211 06 014
JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI STAIN SALATIGA 1433 H / 2012 M
i
ii
iii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Bapak,, Ibuk dan adikku serta keluarga besar Bani H. Ali dan Bani H. Sa’id yang selalu jadi motivasi hingga dapat merumuskan skripsi ini. Kampus STAIN Salatiga, Dosen Pembimbing, KaProdi dan semuanya yang telah membimbing dari awal sampai akhir sehingga dapat tersusun skripsi ini. Dalam Organisasi teman-teman LPM DinamikA, Rekan dan Rekanita IPNUIPPNU PC maupun PAC, Remaja Gayam(GaYoung), dan teman-teman UKM, yang ikut andil membesarkan, mendewasakan dan memberi banyak pengalaman sebagai bekal kedepan. Guru, Teman, Sahabat, Kolega, Gus Jeki, Doel Akim sekalian, pak dhe dhofar, kongsi, AHS ’06, Kholis, Gazpur, lyly’, ponakan hingga cucu. sabar kantin, dan yang lain yang tak dapat tertulis yang selalu mendukung dan memberi semangat dalam setiap proses, MasterGroup Advertising, PREsSIDENT penerbit & percetakan, Mahameru PRESS. KS Com, yang berperan dalam membantu kelancaran administrasi, senang bisa berkonsep dan jadi bagian disana. Seseorang yang nantinya terpilih atau dipilihkan menjadi teman hidup. Dan bagi semua yang membaca skripsi ini, semoga dapat bermanfaat.
iv
MOTTO
Iqro’ “Menjadi besar meskipun dengan tubuh yang kecil” Tak perlu ambisi untuk menjadi yang terbaik dan “ter” yang lainnya, namun mengarahkan ambisi untuk yang lebih baik
v
KATA PENGANTAR
Pujian bagi Allah Tuhan semesta alam, atas limpahan rahmat dan nikmat serta segalanya kepada makhluk-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada panutan seluruh umat, Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya. Berkat rahmat Allah Yang Maha Pengasih, skripsi ini dapat penulis selesaikan meskipun masih banyak kesalahan dan kekurangan. Dalam kesempatan inilah penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan selanjutnya, dan akhirnya penulis mendapat ilmu yang bermanfaat bagi penulis di dunia dan akhirat. Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengakhiri program studi tingkat sarjana (S1) pada Jurusan Syari’ah di STAIN Salaiga, maka penulis mengajukan skripsi yang berjudul: Penerapan Asas Berperkara Secara Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Penyelesaian Perkara Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga) Dalam pengerjaan dan penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bimbingan dan arahan dari Dosen Pembimbing serta Bapak/Ibu Dosen lainnya, oleh sebab itu penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Imam Sutomo, M. Ag. selaku Ketua STAIN Salatiga 2. Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah 3. Bapak Ilyya Muhsin, S. HI, M. SI. selaku Ketua Progdi al-Akhwal alSyakhshiyyah (AS).
vi
4. Ibu Evi Ariyani, S.H, M.H. yang telah tekun dan telah bersedia membimbing penulis dari awal hingga terselesainya skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh staff STAIN Salatiga. 6. Bapak Hakim, Panitera dan karyawan Pengadilan Agama Salatiga yang telah
memberikan
pelajaran
dan
data-data
yang
mendukung
terselesaikannya skripsi ini. 7. Rekan-rekan mahasiswa, UKM dan Organisasi lainnya telah memberi masukkan kepada penulis terhadap terselesaikannya skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas amal kebijakannya. Penulis menyadari masih banyaknya kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik, saran dan masukan yang membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Salatiga, 03 Maret 2012 Penulis
Nafis Afiyanto
vii
ABSTAK
Dalam hukum acara perdata, baik di pengadilan agama maupun negeri, suatu pemeriksaan dituntut untuk melaksanakan beberapa asas beracara. Salah satu asas tersebut ialah asas beracara secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Sederhana dapat diartikan tidak berbelit-belit, cepat diwujudkan dengan melaksanakan persidangan dengan cepat atau tidak diulur-ulur dengan banyaknya penundaan. Sesuai SEMA nomor 06 Tahun 1992 persidangan wajib diselesaikan dalam waktu 6 bulan. Jika kedua asas tersebut dapat berjalan dengan baik maka akan tercapainya biaya yang ringan dan terjangkau oleh masyarakat. Namun dalam prakteknya banyak ditemukan tidak diterapkannya asas tersebut dengan maksimal. Berbagai factor yang mempengaruhi terhambatnya penerapan asas tersebut. Factor sumber daya manusia yang kurang, banyaknya perkara yang masuk. Tidak disiplinnya pihak-pihak maupun dari pihak pengadilan itu sendiri dan pihak yang lainnya.
viii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL......................................................................................... . i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................................ . ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... . iii HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ . iv HALAMAN MOTTO ....................................................................................... . v HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................. .vi ABTRAK .......................................................................................................... viii HALAMAN DAFTAR ISI .................................................................................ix BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1 B. Rumusan Masalah ………………………………………………. 6 C. Pembatasan Masalah ……………..……………………………... 6 D. Telaah Pustaka ………………………………………………...... 7 E. Penegasan Istilah ……………………………………………...... 9 F. Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 9 G. Kegunaan Penelitian ……………………………………………. 9 H. Metode Penelitian …………………………………………….....10 I.
Sistematika Penulisan ………………………………………….. 16
BAB II : KERANGKA TEORITIK A. Asas berperkara Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan ……….. 19 B. Peradilan Agama ………………………………………………. 29 C. Prosedur Beracara di Pengadilan Agama ……………………... 33 ix
D. Kode Etik Hakim …………………………………………….. 41 BAB III : SEKILAS TENTANG PENGADILAN AGAMA SALATIGA A. Profil Pengadilan Agama Salatiga …………………………….. 48 B. Gambaran
Umum
Proses
Penyelesaian
Perkara
Gugatan
Perceraian di Pengadilan Agma Salatiga …………………....... 58 C. Proses Penyelesaian Perkara dalam Perkara Perceraian ……… 67 BAB IV : ANALISIS MASALAH A. Analisa Dalam Perkara dan Proses Beracara cerai Nomor: 0049/Pdt.G/2010/PA.Sal ……………………………………… 73 B. Hasil analisis masalah dalam penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan …………………………………………………… 80 C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan ………………………………………. 83 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………. 85 B. Saran …………………………………………………………... 88 C. Penutup ………………………………………………………... 89 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN -
Lampiran salinan putusan no. 0049/Pdt/G/2010/PA.Sal
-
Lampiran Keputusan ketua MA tentang pedoman perilaku hakim
-
Lampiran SEMA no 6 Tahun 1992
-
Lampiran tambah panjar biaya
x
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses beracara dalam pengadilan ialah pelaksanaan tuntutan hak baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan. Penyelesainnya diserahkan ke pengadilan dimaksudkan selain untuk mendapatkan keabsahan tentang hak yang dipunyai oleh salah satu pihak atau lebih juga untuk mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang mana pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara paksa terhadap para pelanggar hak dan kewajiban (Sarwono:2011:7). Sidang pengadilan ialah proses memeriksa dan mengadili perkara baik perkara pidana maupun perkara perdata di dalam ruang sidang pengadilan
(dibawah
hakim
tunggal
atau
hakim
majelis)
(Sudarsono:2005:442). Proses persidangan merupakan suatu usaha bagi para pencari kebenaran untuk mendapatkan haknya, baik dalam hal sengketa maupun hal permohonan dalam usaha mendapatkan kebenaran yang hakiki. Kelancaran proses persidangan dipengaruhi oleh faktorfaktor, baik dari pihak pengadilan maupun dari para pihak yang berperkara. Pengadilan
Agama
dalam
melaksanakan
tugasnya
guna
menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana,
2
cepat dan biaya ringan. Hal ini dapat
terwujud
apabila
didukung
lembaga peradilan itu sendiri dan oleh masyarakat pencari keadilan. Akan
tetapi
pada
prakteknya, Pengadilan
Agama
dalam
menerapkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan belum tentu dapat berjalan sempurna. Misalnya mengenai proses lamanya persidangan, dan sesuatu kendala yang lainnya dalam berjalannya proses persidangan. Kelancaran proses persidangan bergantung pada faktor-faktor tersebut, keaktifan dari pihak-pihak yang berperkara sangat berpengaruh dan menjadi kunci kelancaran proses perjalanan suatu persidangan, namun selain dari pihak-pihak factor yang lain juga dapat terjadi dari pihak pengadilan agama itu sendiri, adanya banyak perkara yang masuk, juga proses sidang yang bersamaan, serta pergantian majelis hakim dalam proses sidang yang telah berjalan sangat mempengaruhi kelancaran proses sidang. Semakin lancar proses persidangan tentunya akan berakibat proses persidangan akan cepat selesai, sehingga dengan cepat selesainya persidangan, berpengaruh pada biaya yang dikeluaran oleh para pihak akan semakin sedikit. Namun sebaliknya apabila proses persidangan berlangsung lambat maka persidangan akan memerlukan waktu yang lama sehinggga biaya yang diperlukanpun akan semakin banyak. Adanya asumsi bahwa dengan memakai atau tidak memakainya jasa pengacara juga dapat mempengaruhi proses dalam penyelesaian suatu perkara perceraian. Selain itu, karena seringnya Pengadilan Agama
3
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perceraian, lantas bagaimanakah
proses
pemeriksaan
perkaranya
apakah
sudah
menerapkan azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai yang diharapkan oleh ketentuan Pasal 57 ayat (3) dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dalam hukum Islam, sikap seorang hakim juga telah dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 104, Allah berfirman:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. Dalam surat An Nisaa’ ayat 58, menerangkan:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
4
Surat tersebut menjelaskan bahwasanya seorang hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan adil. Keadilan menjadi tugas yang paling utama bagi seorang hakim. Dalam menjalankan amanat tersebut seorang hakim harus selalu berpegang teguh pada aturan dan sumpahnya. Dalam proses persidangan pergantian hakim merupakan hal yang diperbolehkan dan diatur dalam pasal 17 Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman,Jo pasal 93 Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang nomor 3 tahun 2006, dan telah diubah kembali dengan Undang-undang nomor 50 tahun 2009. Masa jabatan hakim di suatu daerah kabupaten maupun kota tidak berlangsung lama. Ada kalanya hakim harus dipindah tugaskan keluar daerah sehingga otomatis diperlukan hakim pengganti untuk menggati memproses jalannya persidangan yang telah dilakukan hakim yang dipindah tugaskan. Namun pergantian hakim akan mengakibatkan proser persidangan bertambah lama, karena hakim pengganti memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk mendalami kasus yang tadinya di proses oleh hakim yang berbeda, apalagi kalau tidak hanya satu hakim yang diganti melainkan majelis hakimnya yang diganti, sudah pasti proses persidangan akan berlangsung semakin lama, karena dalam proses persidangan fakta yang ada di depan hakim lah yang nantinya menjadi dasar putusan. Pandangan hakim satu kadang berbeda dengan hakim yang lain. karena dalam setiap
5
saat akan terungkap fakta-fakta yang berguna, meskipun fakta-fakta persidangan dicatat oleh panitera pengganti hakim pastinya mempunyai pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam menyelesaikan suatu kasus hukum. Dalam sidang perkara di Pengadilan Agama Salatiga, pada tahun 2010 terjadi perpindahan hakim. Pada saat itu hakim yang dipindah sedang menangani lebih dari 10 kasus. Karena hakim yang dipindah merupakan ketua majelis maka diganti dengan ketua majelis yang baru. Namun ada satu perkara yaitu perkara Nomor 0049/Pdt.G/2010/PA.Sal, dimana perkara Nomor 0049/Pdt.G/2010/PA.Sal dipindah keruang sidang lain dengan
hakim
majelis
yang berbeda, sehingga
perkara
Nomor
0049/Pdt.G/2010/PA.Sal proses persidangannya menjadi semakin lama sampai biaya panjar perkara yang ditargetkan habis dan harus menambah pajar perkara lagi. Dalam asas hukum acara perdata terdapat asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Maksud dari asas tersebut ialah hakim dalam mengadili suatu perkara harus semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama (Sarwono:2011:23). Penulis menganggap asas berperkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan tidak tercapai dalam persidangan perkara Nomor 0049/Pdt.G/2010/PA.Sal. Dari permasalahan diatas penulis mengangkat judul “PENERAPAN
ASAS BERPERKARA SECARA SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA
6
RINGAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN” (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga) B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penerapan asas berperkara sederhana, cepat dan biaya ringan di Pengadilan Agama Salatiga? 2. Faktor apa yang mempengaruhi penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan? C. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini penulis memilih Pengadilan
Agama
Salatiga sebagai obyek penelitian. Penulis memilih Pengadilan Agama karena
mayoritas
penduduk
negara
Indonesia
beragama
Islam.
Sedangkan perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Lain halnya dengan orangorang
yang beragama
selain
Islam
maka
penyelesaian
perkara
perceraiannya melalui Pengadilan Negeri. Mengingat terlalu luasnya kompetensi absolute yang dipegang oleh Pengadilan Agama Salatiga yaitu meliputi perkawinan, wakaf, shadaqoh dan lain-lain, maka dalam penelitian ini penulis melakukan pembatasan terhadap masalah yang akan diteliti yaitu hanya perkara perceraian.
7
D. Telaah Pustaka Permasalahan tentang hukum acara perdata sebelumnya pernah dibahas dalam beberapa skripsi, akan tetapi dalam penelitian yang penulis lakukan terdapat perbedaan fokus yang diangkat. Beberapa skripsi yang telah membahas tentang hukum acara: 1. EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2008 oleh FAHRUDIN Mahasiswa STAIN SALATIGA Jurusan Ahwalul Syakhsiyah. Dalam skripsi tersebut fokus pembahasan tentang proses mediasi di pengadilan agama salatiga. Skripsi tersebut menggambarkan proses mediasi di pengadilan agama salatiga. Dalam skripsi tersebut telah menyinggung beberapa prosedur berperkara di pengadilan agama. 2. Titik Mei Susilowati Mahasiswa UMS dengan judul skripsi PENERAPAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA MELALUI MEDIASI BERDASARKAN PERMA No. 1 TAHUN 2008 Di PENGADILAN NEGERI SURAKARTA. Dalam penelitiannya fokus penelitian di fokuskan pada penerapan azas sederhana, cepat dan biaya ringan
dalam
pemeriksaan perkara perdata melalui mediasi dan relevansi PERMA No. 1 Tahun 2008 terhadap azas tersebut. Perbedaan
8
penelitian yang dilakukan oleh penulis terdapat pada subjek penelitian yang diteliti. Jika dalam penelitian tersebut di yang difokuskan yaitu kesesuaian asaz sederhana, cepat dan biaya ringan pada upaya mediasi, sedangkan penulis lebih difokuskan pada penerapan azas sederhana, cepat dan biaya ringan pada perkara No. 0049/Pdt.G/2010/PA.Sal yang berkaitan dengan pergantian majelis hakim dan ruang sidang. E. Penegasan Istilah Untuk memudahkan pembaca, maka penulis akan memberikan batasan-batasan pemahaman atau menegaskan beberapa istilah-istilah yang dipakai dalam judul, antara lain: 1. Asas berperkara sederhana, cepat, dan biaya ringan ialah hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama. 2. Sederhana dapat diartikan oleh hakim dalam pelaksanaannya, mengadili para pihak yang sedang berperkara didalam memberi pernyataan-pernyataan maupun pertanyaan untuk memperoleh keterangan yang akurat dari para pihak dan saksi memakai bahasa yang sederhana yang dapat dipahami oleh pihak-pihak berperkara. 3. Cepat ialah bahwa hakim dalam memeriksa para pihak yang sedang
berperkara,
harus
mengupayakan
agar
proses
9
penyelesaiannya setelah ada bukti-bukti yang akurat dari para pihak dan saksi segera memberi keputusan dan waktu tidak diulur-ulur atau mengadakan penundaan persidangan yang jarak antara persidangan pertama dengan seterusnya tidak terlalu lama. 4. Biaya Ringan, setelah tercapai asas-asas tersebut maka akan terlaksana persidangan yang lancar, dengan demikian biaya yang dikeluarkan oleh para pihak akan menjadi ringan. F. Tujuan Penelitian Dalam melakukan suatu kegiatan pada dasarnya memiliki tujuan tertentu. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang
telah penulis uraikan di atas, maka tujuan diadakan penelitian
adalah : 1. Untuk mengetahui dengan jelas penerapan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama. 2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat mempengaruhi penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan dapat berjalan dengan baik. G. Kegunaan Penelitian 1. Dengan penelitian ini diharap menambah wawasan dan hasanah keilmuan bagi penulis dan masyarakat luas.
10
2. Hasil penelitian ini diharap juga dapat dijadikan kontribusi bagi hasanah keilmuan yang berkaitan dengan hukum acara dalam berperkara. H. Metode Penelitian Suatu penelitian agar dapat menghasilkan data-data yang akurat dan tidak meragukan mesti dilakukan secara sistematis, sehingga penentuan metode yang akan dipakai merupakan langkah-langkah awal penelitian, adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normative dan Pendekatan kualitatif. Pendekatan normative adalah cara mendekati masalah yang sedang diteliti apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah berdasarkan norma yang berlaku (Sumitro, 1990:54 dalam skripsi Fahrudin). Pendekatan kualitatif
ialah pendekatan yang digunakan
untuk menghasilkan suatu uraian mendalam tentang ucapan, tulisan dan tingkah laku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, organisasi tertentu dalam suatu konteks setting tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistic (Bodgan dan Taylor dalam Rosady Ruslan,2010:215) Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalan penelitian untuk memahami fenomena apa yang dialami oleh subjek penelitian (moleong,2007:6).
11
Penelitian kualitatif bertujuan untuk dapat memahami pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan social dari perspektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan social yang menjadi fokus penelitian, dan kemudian ditarik suatu kesimpulan berupa
pemahaman umum
tentang kenyataan-
kenyataan tersebut (Rosady Ruslan,2010:215). b. Lokasi Penelitian Alamat Kantor Pengadilan Agama Salatiga,Jl. Lingkar Selatan
Dusun
Jagalan
Kelurahan
Cebongan
Kecamatan
Argomulyo Kota Salatiga Jawa Tengah. c. Sumber Data Data merupakan unit informasi yang direkam media yang dapat dibedakan dengan data lain, dapat dianalisis dan relevan dengan problem tertentu. Menurut sumbernya data dapat dibagi menjadi dua yaitu data intern dan ekstern. Data intern ialah data yang diperoleh dari dalam suatu instansi lembaga atau organisasi, sedangkan dara ekstern adalah data yang diperoleh dari luar instansi (Rosady Ruslan,2010:54). Data ekstern dibagi menjadi dua yaitu: i. Data Primer Data primer adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutahir ataupun pengertian
12
baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan atau ide yakni mencakup Undang-Undang, buku, dan lain-lain (Soekanto&Namudji,1983:13). Selain UU, buku dan dokumen, peneliti juga menggunakan data dari informan. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk member informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Seorang informan secara sukarela menjadi anggota tim
penelitian
walaupun
hanya
bersifat
informal
(Moleong,2007:90) dalam skripsi Fahrudin. ii. Data Sekunder Data sekunder yang digunakan adalah bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara rancangan Undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain-lain (Soekanto&Namudji,1983:13). d. Prosedur pengumpulan Data Pengumpulan Data, adalah proses untuk menghimpun data yang diperhatikan (data-data yang dikumpulkan), relevan serta akan memberikan gambaran dari aspek yang akan diteliti, baik penelitian kepustakaan maupun lapangan. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan antara lain: i. Wawancara Wawancara ialah cara yang dilakukan untuk memperoleh informasi dengan bertanya secara langsung. Wawancara yang
13
dilakukan adalah wawancara tak berstruktur, wawancara tak berstruktur ialah wawancara yang tidak secara ketat telah ditentukan sebelumnya mengenai jenis-jenis pertanyaan, urutan, dan
materi
pertanyaannya.
Materi
pertanyaan
dapat
dikembangkan pada saat berlangsung wawancara dengan menyesuaikan pada kondisi saat itu sehingga menjadi lebih fleksibel dan sesuai dengan jenis masalahnya
(Rosady
Ruslan,2010:63). Wawancara dilakukan terhadap subyek penelitian yaitu hakim, panitera, informan dan para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Salatiga. Metode ini digunakan untuk menggali data tertentu dalam permasalahan perceraian berkaitan dengan azas sederhana, cepat dan biaya ringan. ii. Observasi Observasi adalah melihat, mengamati dan mencatat secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (margono dalam Rosady Ruslan,2010:58). Observasi merupakan metode pengumpulan data yang menggunakan pengamatan terhadap obyek peneliti yang dapat dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung (Riyanto dalam Rosady Ruslan,2010:58). Observasi sebagai alat pengumpulan data ini banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati secara langsung
14
yaitu pengamat berada langsung bersama obyek yang diselidiki atau tidak langsung yakni pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu peristiwa yang diselidiki (Rosady Ruslan,2010:58). Observasi digunakan untuk menggali data tentang penerapan azas beracara sederhana, cepat dan biaya ringan. iii. Dokumentasi Adalah mengumpulkan data dengan melihat atau mencatat suatu laporan yang sudah tersedia. metode ini dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen resmi yang mendukung untuk keperluan penelitian. Dokumen dapat berupa catatan pribadi, surat pribadi, bukubuku, laporan kerja, surat kabar, catatan perkara, perudangundangan, dan dokumen-dokumen tak tertulis seperti rekaman, foto dan lain-lain (Sukandarrumidi,2002:101) e. Analisis Data Dalam sebuah penelitian, setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah melakukan penganalisaan terhadap data yang diperoleh. Analisa data merupakan hal yang penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisis data tersebut dapat memberikan arti dan makna yang digunakan untuk digunakan dalam penyelesaian masalah penelitian. Dalam penulis ini, Metode yang digunakan
15
penulis dalam menganalisis data
dalam
penelitian ini adalah
Diskriptif Kualitatif, artinya: i. Deskriptif
adalah
menggambarkan,
penyelidikan menganalisa
yang dan
menuturkan, mengklasifikasi
penyelidikan dengan teknik survei, interview, observasi. Menganalisa secara deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan dan gejala-gejala lainnya untuk mempertegas focus penelitian.. ii. Kualitatif
adalah
penelitian
yang
dimaksudkan
untuk
mengungkap secara menyeluruh dari hasil pengumpulan data sebagai instrument yang mendukung penelitian (Rosady Ruslan,2010:100). Pola yang dipakai dalam pengambilan sebuah kesimpulan yaitu pola penalaran induktif. Penalaran induktif dimulai dengan
mengemukakan
pernyataan-pernyataan
yang
mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi (Sukandarrumidi,2004:38). Analisa secara induktif adalah analisa yang dimulai sejak awal pengumpulan data sampai akhir untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Ahmad Tanzeh,2009:107).
16
f. Pengecekan Keabsahan Data Dalam suatu penelitian validitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian, sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik untuk memeriksa keabsahan suatu data. Teknik yang digunakan yaitu: membandingkan apa yang dikatakan secara umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, membandingkan apa yang dikatakan tentang penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan(Moleong,2002:178 dalam skripsi Fahrudin) g. Tahap-Tahap Penelitian Setelah menentukan tema yang akan diteliti, maka penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga dengan bertanya pada hakim, panitera pengganti dan dilanjutkan dengan pengumpulan data. I. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan skripsi ini, maka secara garis besar dapat digunakan sistematika penulis sebagai berikut :
17
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Pembatasan Masalah D. Telaah Pustaka E. Tujuan Penelitian F. Kegunaan Penelitian G. Metode Penelitian H. Penegasan Istilah I.
BAB II
Sistematika Penulisan
KERANGKA TEORITIK A. Asas Hukum Acara Perdata B. Peradilan dan Pengadilan Agama C. Beracara di Pengadilan Agama D. Pedoman dan Kode Etik Perilaku Hakim
BAB III
SEKILAS
TENTANG
PENGADILAN
AGAMA
SALATIGA A. Profil Pengadilan Agama Salatiga B. Gambaran Umum Proses Penyelesaian Perkara Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga C. Proses Penyelesaian Perkara dalam Perkara Perceraian
18
BAB IV
ANALISIS MASALAH A. Analisa Dalam Perkara dan Proses Beracara cerai Nomor: 0049/Pdt.G/2010/PA.Sal B. Hasil analisis masalah dalam penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran C. Penutup
19
BAB II KERANGKA TEORITIK A. Asas-asas Hukum Acara Perdata Hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Secara lebih konkrit, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannnya. Tuntutan hak dalam hal ini adalah memperoleh perlindungan hukum dari pengadilan untuk mencegah tindakan menghakimi sendiri(Sudukno Mertokusumo,2002:2). Yang dimaksud dengan asas hukum acara perdata ialah suatu pedoman atau dasar yang harus dilaksanakan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara di persidangan pengadilan. Asas-asas hukum ini mengatur tentang proses jalannya persidangan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh hakim dalam persidangan pengadilan. Apabila seorang hakim dalam melaksanakan persidangan tidak berpedomam sesuai peraturan yang berlaku pada asas maka dapat mengakibat keputusannya cacat hukum dan dapat dibatalkan demi hukum. Adapun asas-asas yang ada dalam hukum acara perdata Indonesia antara lain sebagai berikut: 1. Asas Hakim Bersifat Pasif Ialah adanya tuntutan hak dari penggugat kepada tergugat timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak penggugat. Secara
20
lebih luas dalam suatu perkara diajukan ke pengadilan atau tidak untuk penyelesaiannya inisiatif sepenuhnya tergantung dari para pihak yang berperkara, bukan kepada hakim yang memeriksa perkara, karena sebelum perkara diajukan hakim bersifat pasif. Setelah diajukan ke persidangan pengadilan maka hakim bersifat aktif untuk mengadili perkara tersebut seadil-adilnya tanpa pandang bulu(Sarwono:2011:18). Hakim dalam menangani perkara tidak boleh memberikan putusan yang tidak dituntutkan yang berakibat putusan cacat hukum atau batal demi hukum(pasal 178 HIR jo. Pasal 189 RBg) 2. Asas Sifat Terbukanya Persidangan Hakim di dalam mengadili suatu perkara yang diajukan oleh penggugat, maka persidangan terbuka untuk umum. Asas terbukanya persidangan ini pada dasarnya Negara Indonesia sebagai Negara hukum menghendaki adanya penegakan rule of law yang betul-betul dilaksanakan secara okbjektif dan hakim dalam menangani suatu perkara dilarang berpihak pada pihak-pihak. Asas ini dimaksudkan agar public dapat menyaksikan langsung jalannya persidangan sekaligus menjadi pengawas hakim dalam menangani suatu perkara. Siding terbuka untuk umum terdapat pengecualian, yaitu khusus untuk perkara-perkara perceraian persidangannya tertutup untuk umum. Pengecualian tersebut dikarenakan dalam perkara perceraian menyangkut rahasia keluarga.
21
3. Asas mendengar kedua belah pihak Hakim dalan persidangan sebelum memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan oleh para pihak harus mendapatkan keterangan yang sebenarnya dari kedua belah pihak. Jika dalam keterangan-keterangan yang diberikan oleh para pihak ternyata belum mendapatkan gambaran duduk perkara, maka hakim mempunyai
hak
untuk
memerintahkan
para
pihak
untuk
menghadirkan saksi yang mendengar, mengalami, menyaksikan langsung terjadinya peristiwa hukum. Dalam memberikan keputusan hakim tidak boleh hanya berdasarkan keterangan satu pihak saja, kecuali jika ternyata pihak tergugat setelah dipanggil dengan patut 2(dua) kali berturut-turut tidak hadir dan tidak memberikan wakil atau kuasanya, maka hakim dapan memberikan putusan verstek. Dan jika ada perlawanan (verzet) dikemudian, maka hakim juga harus mendengar
keterangan
pihak
tergugat
dalam
memberikan
keputusan yang seadil-adilnya(pasal 121 ayat(2), 132a HIR jo. Pasal 145 ayat (2), 157 RBg.jo. Pasal 47 Rv.jo pasal 4 UU nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). 4. Asas bebas dari campur tangan para pihak di luar pengadilan Hakim dalam memutuskan perkara harus berdasarkan keyakinannya dan tidak boleh terpengaruh oleh pihak manapin di luar pengadilan, hakim wajib menjaga kemandiriannya. Sehingga
22
dalam putusannya tervermin keadilan yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang sedang bersengketa atau berperkara. 5. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan Sebagaimana
bunyi
Undang-Undang Nomor Kehakiman.
penjelasan
4
tahun
Ketentuan
2004
pasal
4
tentang
ayat
(2)
Kekuasaan
ini dimaksudkan untuk memenuhi
harapan para pencari keadilan. Asas berperkara sederhana, cepat, dan biaya ringan ialah hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama, cermat dan teliti. Sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Sederhana dapat diartikan oleh hakim dalam pelaksanaannya, mengadili para pihak yang sedang berperkara didalam memberi pernyataan-pernyataan maupun pertanyaan untuk memperoleh keterangan yang akurat dari para pihak dan saksi memakai bahasa yang sederhana yang dapat dipahami oleh pihak-pihak berperkara. Cepat ialah bahwa hakim dalam memeriksa para pihak yang sedang
berperkara,
harus
mengupayakan
agar
proses
penyelesaiannya setelah ada bukti-buktiyang akurat dari para pihak dan saksi segera member keputusan dan waktu tidak diulur-ulur atau mengadakan penundaan persidangan yang jarak antara
23
persidangan pertama dengan seterusnya tidak terlalu lama. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992 menegaskan bahwa dalam penyelesaian suatu perkara wajib dilakukan maksimal 6 bulan. Dan jika lebih dari itu maka ketua pengadilan harus menyertakan alasan dalam laporannya. Biaya Ringan adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Biaya perkara yang tinggi akan membuat orang enggan untuk perperkara di pengadilan(Bambang Sutiosi&Sri hastuti puspitasari,2005:73). Darixxvi hasil wawancara yang dilakukan dengan panitera pengganti di pengadilan agama salatiga, kata ringan digunakan untuk menggambarkan agar dapat dijangkau oleh masyarakat kebanyakan. Jika menggunakan kata murah maka terkesan jual beli di pasar, dan murah juga relative antara masyarakat satu dengan yang lainnya, maka digunakanlah kata ringan yang dapat artinya lebih luas pada masyarakat luas. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbanan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Ditentukan biaya ringan, agar terpikul oleh rakyat. Biaya perkara yang
tinggi
menyebabkan
kebanyakan
pihak
yang
berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan. Berdasarkan
penjelasan di atas,
maka proses
pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama harus berjalan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.
24
Menurut Sudikno Mertokusumo, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit- belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas-formalits yang diwajibkan atau diperlukan dalam acara di muka pengadilan, maka makin baik. Terlalu banyak formalitas yang
sukar
difahami,
berbagai penafsiran, hukum
dan
sehingga
kurang
memungkinkan
menjamin
adanya
timbulnya kepastian
menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk
beracara di muka pengadilan. Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan
bagi
jalannya peradilan. Dalam hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan di muka sidang saja, tetapi juga penyelesaian dari pada berita acara pemeriksaan di persidangan sampai pada penanda tanganan putusan oleh majelis hakim dan pelaksanaan putusannya. Tidak jarang suatu perkara tertundatunda sampai bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang atau minta mundur. Bahkan perkaranya sampai dilanjutkan oleh para ahli warisnya. Maka cepat atau lambat jalannya
peradilan akan meningkatkan
kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat tehadap pengadilan. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, memberikan penjelasan yang lebih tegas tentang makna dan arti peradilan
25
sederhana,
cepat,
dan
biaya ringan. Menurut beliau, yang
dicita-citakan dari peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan adalah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan jangka waktu lama
sampai bertahun-tahun
sesuai dengan
kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Apa yang sudah memang sederhana, jangan sengaja dipersulit oleh hakim kearah proses pemeriksaan yang berbelit- belit dan tersendat-sendat. Arahanarahan hakim diharapkan memperlancar jalannya persidangan sehingga asas sederhana, cepat dan biaya ringan tidak terhalangi dan dapat terlaksana dengan benar dan tepat sasaran. Akan tetapi menurut Yahya Harahap,
meskipun proses
beracara dan pemerisaan perkara di Pengadilan Agama harus berjalan secara sederhana, cepat dan biaya ringan
proses
beracara tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian
terhadap
hukum
dan
keadilan.
Kesederhanaan,
kecepatan pemeriksaan, jangan dimanipulasi untuk membelokkan hukum, kebenaran dan
keadilan. Semua harus tepat menurut
hukum “due to law”. Untuk apa proses pemeriksaan yang cepat, kalau hukum yang ditegakkan di dalamnya berisi kepalsuan dan perkosaan terhadap kebenaran dan keadilan. Akan
tetapi
sebaliknya untuk apa kebenaran dan keadilan yang diperoleh dengan penuh kesengsaraan
dan kepahitan
dalam suatu
penantian yang tak kunjung tiba. Sedemikian rupa lamanya
26
menunggu
sampai bertahun-tahun dalam kebimbangan
dan
keresahan yang tak berujung pangkal. Terkadang putusan akhir baru tiba setelah pihak yang berperkara meninggal dunia. Dalam kepedihan
yang
seperti
ini, sekiranya pun putusan
yang dijatuhkan tepat, benar, dan adil. Dalam prakteknya, Pengadilan Agama dalam menerapkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan belum tentu dapat berjalan sempurna sesuai apa yang diharapkan baik harapan dari pihak-pihak yang berperkara atau pihak pengadilan sendiri yang melaksanakan asas tersebut. Misalnya mengenai proses lamanya persidangan, hal ini dapat dipengaruhi oleh kedua belah pihak, yakni pihak-pihak yang berperkara dan pihak Pengadilan Agama sendiri. Faktor
dari pihak yang berperkara adalah misalnya
mengenai proses pemanggilan, keseriusan pihak-pihak dalam menyelesaikan perkaranya, kedisiplinan para pihak juga sangat menentukan
berjalannya
proses
persidangan.
Dalam
hal
pemanggilan pihak, apabila alamat pihak yang berperkara itu jauh, maka proses pemanggilannya dapat berjalan lambat
atau
lama. Jika sudah memasuki proses persidangan maka pemeriksaan akan dilakukan pada kedua belah pihak, jika salah satu pihak tidak dapat menghadiri persidangan, maka jalanya persidangan akan tersendat karena akan ditunda oleh majelis hakim.
27
Faktor dari pihak Pengadilan sendiri adalah misalnya apabila banyaknya perkara yang masuk dalam waktu yang hampir bersamaan, maka petugas dalam melakukan pemanggilan akan berbeda waktunya,
karena
tidak
mungkin
melakukan
pemanggilan dalam waktu yang bersamaan. Di situlah nantinya terdapat perbedaan lama atau tidaknya proses antara satu perkara dengan perkara yang lain. Sedangkan mengenai murah atau mahalnya biaya suatu perkara, hal ini dapat dipengaruhi dari lama atau tidaknya proses suatu perkara. Semakin lama semakin
banyak
pula
perkara
biaya
yang
itu
selesai,
maka
harus dikeluarkan.
Mengenai sederhana, hal ini dapat dipengaruhi oleh pihak Pengadilan Agama. Faktor lain diluar keduanya (pengadilan dan pihak-pihak) adalah dengan menggunakan kuasa hukum atau advokad. Adanya anggapan bahwa dengan memakai jasa advocad atau kuasa hukum atau tidak memakainya jasa kuasa hukum juga dapat mempengaruhi proses dalam penyelesaian suatu perkara. Selain itu, karena seringnya Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, bagaimanakah
dan memutus
perkara
perceraian,
lantas
proses pemeriksaan perkaranya apakah sudah
menerapkan azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai yang diharapkan oleh ketentuan Pasal 57 ayat (3) dan
28
Pasal 58 ayat(2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 6. Asas putusan harus disertai alasan-alasan Keputusan hakim harus menggunakan dalil-dalil atau dasar hukum positif yang ada, yang dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban dari sebuah keputusan yang telah dikeluarkan oleh hakim dalam persidangan di pengadilan. 7. Asas putusan harus dilaksanakan setelah 14 (empat belas) hari lewat Setiap keputusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan setelah tenggang waktu 14 (empat belas)hari telah lewat dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau tidak ada upaya hukum lain dari pihak yang dikalahkan. 8. Asas beracara dikenakan biaya Biaya perkara yang arus dikeluarkan meliputi: biaya untuk pemanggilan, pemberitahuan dan biaya materai. Biaya tersebut sangat diperlukan oleh pengadilan untuk memperlancar jalannya persidangan, khususnya pemanggilan dan pemberitahuan pada pihak yang sedang bersengketa berperkara di persidangan. Biaya yang lain dalam perkara perdata yaitu biaya sita eksekusi, biaya pengacara, saksi, saksi ahli dan juru bahasa. Jika pihak-pihak ada yang
tidak
mampu
yang
telah
mengajukan
permohonan
kepengadilan dengan beracara secara cuma-cuma atau Prodeo.
29
B. Peradilan dan Pengadilan Agama Peradilan ialah proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari keadilan atau menyelesaikan sengketa hukum di hadapan badan peradilan menurut peraturan yang berlaku. Dalam bahasa belanda disebut recshtpraak yang kini tertuang dalam pasal 1 ayat 2 undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 (Erfaniah Zuhruah:2008:6). Pengadilan ialah suatu lembaga atau institusi tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum di dalam rangka kekuasaaan kehakiman, yang mempunyai kewenangan absolute dan relatif sesuai dengan perundang-undangan yang menentukan dan membentuknya (Erfaniah Zuhruah,2008:6). Kewenangan atau kompetensi absolute pada umumnya menyangkut tentang peradilan mana yang berhak mengadili gugatan. Sedangkan kompetensi relatif mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan negeri mana yang berhak untuk menangani suatu sengketa.dalam praktiknya suatu sengketa yang diajukan oleh penggugat didasarkan atas domisili para pihakyang bersengketa,khususnya domisili tergugat sebagaimana disebutkan dalam pasal 118 ayat 2 HIR jo. Pasal 142 ayat 1, 2 dan 3 RBg (Sarwono,2011:62-63). Sebelum diberlakukannya undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentan pengadilan agama, pengadilan agama yang ada di Indonesia adalah beraneka nama dan dan dikategorikan sebagai peradilan kuasai, karena berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat 2 undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, maka semua putusan pengadilan
30
agama harus dikukuhkan oleh peradilan umum. Ketentuan ini secara de facto lebih rendah kedudukannya dari peradilan umum. Padahal secara yuridis formil dalam pasal ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dinyatakan, bahwa ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu: a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer d. Peradilan Tata Usaha Negara Dalam ketentuan tersebut menegaskan bahwa terdapat empat lingkungan peradilan yang setara di Indonesia termasuk juga Peradilan Agama(Chatib Rasyid:2009:1). Dalam staatsblad adalah lembaran Negara(Sudarsono:2005:455)
1940
Nomor
3,
disebut
Peraturan
Peradilan Agama Islam Jawa dan Madura, Peradilan tersebut berasal dari istilah “priesterraad” atau “raad-agama”. Raad berarti mahkamah atau dewan atau majelis yang mengadili perkara (Sudarsono:2005:387) Oleh karena itu Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
disebut
menonjol adalah
Mahkamah
Syar’iyah.
Pengaruh
agama
yang
hukum perkawinan dan hukum keluarga. Dalam
masalah-masalah tentang perkawinan ini biasanya ditangani oleh kantor catatan sipil bagi yang beragama di luar Islam dan bagi yang beragama Islam ditangani oleh Pengadilan Agama. Mengenai Pengadilan Agama ini, telah ada baik dalam konstitusi RIS pada pasal 144 maupun dalam Undang-Undang Kehakiman,
31
Pengadilan
Agama adalah pengadilan tingkat pertama di
lingkungan Peradilan Agama, dan untuk tingkat banding disebut Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara-perkara sepanjang
perdata antara orang islam dengan orang islam,
perkara-perkara
terebut bukan wewenang pengadilan di
lingkungan peradilan umum. Pasal 63 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kembali ditegaskan tentang kedudukan dan fungsi serta lingkungan peradilan agama dalam memeriksa mengadili sengketa perkara yang timbul dalam hukum kekeluargaan. Begitu pula dalam pasal 44 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung memberi penegasan bahwa putusan dari semua peradilan termasuk lingkungan peradilan agama dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan
berbagai ketentuan
yang tersebar dalam pasal berbagai
peraturan perundang-undangan, sudah cukup tegas menempatkan posisi lingkungan peradilan agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Dan yang paling akhir terdapat dalam
mengenai Pengadilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Sejak keluarnya hukum agama sebagai dasar salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di Indonesia semakin teguh dan mantap dalam menjalankan fungsinya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
32
yang berbunyi “Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud Undang
ini”.
Perkara
perdata
tertentu
beragama dalam
Islam Undang-
yang dimaksud Pasal 2 di
atas dijelaskan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : Perkawinan Waris Wasiat Hibah Wakaf Zakat Infaq Shadaqah Ekonomi syari’ah Kem udian Nomor
ketentuan Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang
3 Tahun 2006
sederhana
menyatakan “Peradilan dilakukan
cepat dan biaya ringan”. Dan
menyebutkan
“Pengadilan
membantu xi
para
Pasal
58
dengan
ayat
pencari keadilan
(2) dan
berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk ringan”.
tercapainya
peradilan
yang
sederhana,
cepat
dan
biaya
33
Peradilan Agama merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu khususnya bagi yang beragama Islam. Sedangkan peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya yang mengenai baik perkara-perkara perdata maupun pidana. Pengadilan
Agama
dalam
melaksanakan
tugasnya
guna
menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini dapat
terwujud apabila
didukung
lembaga peradilan itu sendiri dan oleh masyarakat pencari keadilan. Posisi Pengadilan Agama dalam peradilan di Indonesia telah jelas terlihat dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu yang salah satu di antara empat peradilan yang disebut mempunyai
lingkungan
dalam
Undang-Undang
wewenang mengadili
tertentu,
yang dalam
peradilan tingkat pertama dan tingkat banding dalam melaksanakan salah satu tugas kekuasaan kehakiman. C. Beracara di Pengadilan Agama a. Pengajuan Gugatan Cerai Gugatan ialah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melaluai pengadilan. Dalam hukum acara perdata terdapat 2 (dua) pihak atau lebih, yaitu antara pihak penggugat dan tergugat. Terjadinya gugatan setelah pihak tergugat melakukan pelanggaran hak dan kewajiban yang merugukan pihak penggugat
34
sehingga menimbulkan sengket antara para pihak(Sarwono:2011:31). Bentuk gugatan yang diatur dan dibenarkan dalam undangundang dalam praktik yaitu:
Gugatan Lisan Bentuk gugatan lisan, diatur dalam pasal 120 HIR (pasal 144 RGB) yang menegaskan: “bilamana penggugat buta huruf, maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan
yang
mencatat
gugatan
itu
atau
menyuruh
mencatatnya(Yahya Harahap,2005:48).
Gugatan Tertulis Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam pasal 118 ayat 1 HIR pasal 142 RGB. Menurut pasal ini, surat gugatan harus dipemasukkan kepada pengadilan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya(Yahya Harahap,2005:50). Suatu gugatan yang diajukan ke pengadilan agama maupun
negeri, haruslah mempunyai alasan-alasan yang kuat, yang mana salah satu alasan yang harus dipenuhi ialah terjadi pelanggaran hak dan kewajiban yang merugikan penggugat. Jika tidak terdapat alasan tersebut maka pihak pengadilan dalam persidangan akan berakibat dinyatakan tidak dikabulkan oleh hakim yang memeriksa perkaranya. Di dalam gugatan yang diajukan oleh penggugat atau kuasanya harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam perundang-
35
undangan. Adapun syarat dan ketentuan antara lain sebagai berikut: i. Syarat Formal Syarat formal adalah syarat yang harus ada dalam suatu gugatan. Syarat formal meliputi: Tempat dan tanggal pembuatan gugatan, materai, dan tanda tangan. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan harus mencantumkan tempat dimana surat permohonan gugatan itu dibuat. Tempat disini
tempat
tinggal
atau
domisili
pembuat
surat
permohonan gugatan, jika yang membuat adalah kuasa hukumnya maka, tempat atau domisilinya mengikuti kuasa hukumnya(Sarwono,2011:32). ii. Syarat Substansial Syarat substansional dari surat permohonan gugatan yang diajukan oleh penggugat umumnya dalam praktik terdiri atas: 1. Identitas para pihak yang berperkara Surat gugatan harus disebutkan dengan jelas identitas para pihak yang bersengketa atau subyek hukum yang menyangkut tentang nama lengkap, pekerjaan, dan alamat domisili para pihak yang bersengketa secara lengkap dan detail untuk menentukan kewenangan relatif, yaitu pengadilan mana yang berhak menangani suatu perkara.
36
2. Identitas kuasa hukum Identitas kuasa hukum atau pengacara umumnya hanya ditulis nama, pekerjaan atau profesinya, dan alamat kantor
dari
kuasa
hukum,
apabila
pihak-pihak
menggunakan jasa pengacara maka diperlukan adanya surat kuasa khusus yang diatur pada pasal 132, surat kuasa
tersebut
diberikan oleh pihak-pihak baik
penggugat atau tergugat yang menggunakan jasa pengacara, dengan maksud agar permintaan kuasa dalam pelaksanaanya dapat bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa(Sarwono,2011:36). Berakhirnya surat kuasa yang telah diberikan kepada kuasa hukum atau pengacara menurut pasal 1813 sampai dengan 1819W adalah: dilimpahkan kepasa lain orang secara keseluruhan, telah selesai tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan surat kuasa khusus yang diberikan oleh pemberi kuasa, dicabutnya surat kuasa khusus oleh pemberi kuasa, pemberi kuasa meninggal dunia, pemberi kuasa jatuh pailit dan tidak mampu lagi untuk membayar, pengangkatan surat kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama menyebabkan surat kuasa ditarik dan diganti yang baru(Yahya Harahap,2005:54).
37
b. Proses Beracara Dalam Gugatan Perceraian Di Pengadilan Agama 1. Langkah yang harus dilakukan Penggugat (istri / kuasanya):
Mengajukan
gugatan
secara
tertulis
atau
lisan
kepada
Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah ( pasal 118 HIR 142 R.Bg jo pasal 73 UU nomor 7 tahun 1989 ).
Penggugat
dianjurkan
untuk
meminta
petunjuk
kepada
Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tentang tata cara membuat surat gugatan ( pasal 118 HIR 142 R.Bg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 ).
Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
2.
Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama: Syar’iyah/ Mahkamah Syar’iyah:
Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (pasal 73 ayat (1) UU no 7 tahun 1989).
Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat ( pasal 32 ayat (2) UU no 1 tahun 1974 jo pasal 73 ayat (1) UU no 7 tahun 1989 ).
Bila Penggugat berkediaman di luar negeri, maka gugatan
38
diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 73 ayat (2) UU no 7 tahun 1989). Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 73 ayat (3) UU no 7 tahun 1989). 3. Gugatan tersebut memuat :
Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Penggugat dan Tergugat.
Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Isi Gugatan diantaranya: soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama, dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap ( pasal 66 ayat (5) UU no 7 tahun 1989 ). 5. Membayar biaya perkara ( pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg jo pasal 89 UU no 7 tahun 1989. Bagi yang tidak mampu, dapat berperkara secara cuma-cuma / prodeo ( pasal 237 HIR, 273 R.Bg ). 6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.
39
Pada
pemeriksaan
sidang
pertama,
hakim
berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi ( pasal 82 UU no 7 tahun 1989 ).
Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi ( pasal 3 ayat (1) PERMA no 2 tahun 2003 ).
Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian), Tergugat dapat mengajukan gugatan rekonpensi (gugat balik) ( pasal 132a HIR, 158 R.Bg ).
c. Beracara Secara Prodeo Beracara secara prodeo yaitu beracara di pengadilan tanpa dikenakan biaya. Peraturab yang mengatur adanya prodeo diantaranya ialah HIR pasal 237 “orang-orang yang demikian yang sebagai penggugat atau sebagai tergugat hendak berperkara, tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya”. Ketentuan dalam HIR diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama berdasarkan pasal 54 UndnagUndang Nomor 3 Tahun 2006. Pada dasarnya dalam hukum acara perdata terdapat kesempatan bagi orang-orang yang mampu baik itu penggugat atau tergugat untuk berperkara di pengadilan untuk mencari keadilan (Sarwono,2011:85)
40
Syarat beracara secara prodeo adalah: izin untuk berperkara diajukan bersamaan dengan pengajuan gugatan, baik secara lesan atau tertulis kepada ketua pengadilan (pasal 237 dan pasal 238 ayat 1 HIR jo. Pasal 273 dan pasal 274 ayat 1 RBg. Sedangka untuk tergugat diajukan saat tergugat mengajukan jawaban (pasal 237 dan pasal 238 ayat 2 HIR jo. Pasal 274 yat 2 RBg, melampirkan surat keterangan tidak mampuyang dikeluarkan oleh kapolsek atau kepala desa, diajukan sendiri oleh para pihak dan tidak boleh diwakilkan oleh wakil atau kuasanya, keputusan pengadilan tentang pengajuan berperkara prodeo dikabulkan atau tidak telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan tingkat selanjutnya apabila ada upaya banding dan kasasi. d. Penetapan Majelis Hakim Setelah ketua pengadilan agama menerima berkas perkara dari panitera, maka ketua pengadilan agama dalam waktu selambatlambatnya 7(tujuh) hari sudah harus menunjuk majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara tesebut. Dalam menentukan susunan majelis hakim, selain memperhatikan dengan sungguh-sungguah kemampuan hakim yang akan ditunjuk sebagai hakim ketua majelis, ketua pengadilan agama juga harus memperhatikan daftar senioritas hakim dalam menetapkan susunan majelis hakim, sebagaimana yang telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 05 Tahun 1971(Chatib Rasyid:2009:66).
41
Pertimbangan lain dalam menentukan majelis hakim oleh ketua pengadilan ialah bahwa hakim yang ditunjuk dalam susunan majelis adalah hakim yang tidak berhalangan untuk bersidang dengan sebab cuti atau halangan lain yang dibenarkan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku (Chatib Rasyid:2009:67). e. Penolakan Hakim dalam persidangan pengadilan Dalam persidangan pengadilan, umumnya para pihak yang berperkara tidak tahu siapa yang nanti yang akan mengadili perkaranya. Karena mengenai pembagian tugas hakim tentang siapa saja yang akan menangani suatu sengketa tentunya wewenang pengadilan seperti yang telah diatur pada SEMA RI nomor 05 Tahun 1971. Pada dasarnya para pihak yang sedang berperkara di pengadilan tidak diperbolehkan menolak hakim yang telah ditunjuk oleh pengadilan dalam menangani suatu perkara. Namun apabila hakim tersebut telah terbukti melakukan tindakan-tindakan yang tercela kepada salah satu pihak, maka para pihak atau salah satu pihak yang sedang berperkara dapat mengajukan penolakan terhadap hakim yang menangani perkaranya (Sarwono:2011:27). D. Pedoman dan Kode Etik Perilaku Hakim Di dalam Al Qur’an banyak ayat-ayat yang berhubungan dan mengatur tentang perilaku seorang hakim. Seorang hakim harus mengemban amanat dengan baik dan menegakkan keadilan. Diantara ayat
42
yang berkaitan dengan perilaku hakim adalah sebagai berikut: surat Ali Imran ayat 104, Allah berfirman:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. Dalam surat An Nisaa’ ayat 58, menerangkan:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
Kemudian di dalam Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip Negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman uang merdeka bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya guna menegakkan hukum dan keadilan (Erfaniah
43
Zuhriah:2008:35). Dengan berlakunya undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, maka pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer dan badan peradilan tata usaha Negara berada dibawah kekuasaan mahkamah agung (penjelasan UU No.4 Tahun 2004). Sejak tahun 1948 hingga ada empat Undang-Undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan kejaksaaan. 2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman. 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang kemudian diubah dengan undang-undang nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan atas undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan kehakiman. 4. Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman menurut undang-undang nomor 19 tahun 1948 diatur dalam pasal 3: 1. Kekuasaan kehakiman dijalankan tidak memandang kedudukan dalam masyarakat dari pihak yang berperkara.
44
2. Para
hakim
merdeka
dalam
melaksanakan
kekuasaan
kehakiman dan hanya tunduk kepada undang-undang. 3. Perselisihan kekuasaan antara pemegang kekuasaan kehakiman dengan pemegang kekuasaan pemerintahan diputuskan secara yang diatur dalam undang-undang(Erfaniah Zuhriah:2008:37). Dalam kamus hukum, Etika adalah apa yang baik atau apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak, kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak mengenai benar dan salah yang dianut satu golongan atau masyarakat(Sudarsono:2005:120). Perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atas reaksi individu yang terwujud dalam gerakan sikap dan ucapan yang sesuai dengan apa yang dianggap pantas oleh kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Etika berperilaku adalah sikap dan perilaku yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku didalam masyarakat. Implementasi terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim dapat menimbulkan kepercayaan atau ketidak percayaan masyarakat kepada putusan pengadilan. Oleh sebab itu, hakim dituntut untuk selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur. Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya.
45
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan diluar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.
Namun
demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim
dan
Pengadilan,
termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat(pembukaan SKB KMA&P.KY). Dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim, bahwasanya Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena
46
hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang
beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik
kepentingan. Dan selanjutnya dijelaskan pada pembahasan tentang tata cara pengunduran diri yang isinya sebagai berikut: 1. Hakim yang memiliki konflik kepentingan baik hubungan pribadi atau kekeluargaan wajib mengundurkan diri dari memeriksa
dan
mengadili
perkara
yang
bersangkutan.
Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak. 2.
Apabila kewajiban
muncul
keragu-raguan
mengundurkan
bagi
Hakim
mengenai
diri, memeriksa dan mengadili
suatu perkara, wajib meminta pertimbangan Ketua. Dalam SKB tersebut juga menjelaskan bahwasanya hakim harus berdisiplin tinggi. Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam
lingkungannya,
serta
tidak menyalahgunakan amanah yang
dipercayakan kepadanya, yang penerapannya adalah:
47
1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan
tugas
pokok
sesuai
dengan
peraturan
perundangan-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan. 2. Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan. 3. Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Ketua
Pengadilan
atau
Hakim
yang
ditunjuk,
harus
mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik kepentingan. Beberapa point diatas menjadi dasar hakim dalam berperilaku baik di dalam lingkungan peradilanyang dalam pembahasan ini adalah hukum acara di peradilan Agama dan juga peradilan umum, juga di luar lingkungan peradilan yaitu masyarakat umum. Setiap hakim pastinya memahami detil setiap pasal atau pointnya, karena merupakan tanggung jawab yang harus dipegang oleh hakim sesuai dengan sumpah jabatan.
48
BAB III SEKILAS TENTANG PENGADILAN AGAMA SALATIGA
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga berdasarkan Staastblad tahun 1882 No. 152. Nama Pengadilan Agama disebutkan sebagaimana adanya pada saat itu Raad Agama. Pengadilan agama salatiga dahulu berada di serambi masjid Al-Atiq Kauman Salatiga yang sekarang berubah nama menjadi masjid Jami’ Kauman Salatiga, kemudian pada tahun 1951 terjadi perpindahan lokasi Pengadilan Agama Salatiga dari serambi Masjid Jami' Kauman Salatiga ke Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 tahun 1990 dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/010/SK/III/1996 tanggal 06 Maret 1996 terjadi perubahan wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga sampai sekarang ini. a. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga Pengadilan Agama Salatiga sebenarnya sudah terbentuk sejak Agama Islam masuk ke Indonesia. Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Masyarakat Islam di Salatiga dan di daerah Kabupaten Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu sengketa, mereka menyelesaikan perkaranya melalui Qodli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan atau Raja, yang kekuasaannya merupakan tauliyah dari Waliyul Amri yakni Penguasa tertinggi. Qodli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan adalah alim ulama' yang ahli di bidang Agama Islam.
49
Ketika penjajah Belanda masuk Pulau Jawa khususnya di Salatiga, dijumpainya masyarakat Salatiga telah berkehidupan dan menjalankan syari'at Islam, demikian pula dalam bidang Peradilan umat Islam
Salatiga
keputusannya
dalam
kepada
menyelesaikan
para
hakim
perkaranya
sehingga
sulit
menyerahkan bagi
Belanda
menghilangkan atau menghapuskan kenyataan ini. Oleh karena kesulitan pemerintah Kolonial Belanda menghapus pegangan hidup masyarakat Islam yang sudah mendarah daging di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Salatiga, maka kemudian pemerintah Kolonial belanda menerbitan pasal 134 ayat 2 IS ( Indische Staatsregaling ) sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan masyarakat Islam di bidang Peradian yaitu berdirinya Raad Agama, disampingi tu pemerintah kolonial Belanda menginstruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam Staatblad tahun1820 No. 22 yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun 1940, kantor yang ditempatinya masih menggunakan serambi Masjid Kauman salatiga dengan Ketua dan Hakim Anggotanya diambil dari Alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang ada pada waktu itu 4 orang yaitu K. Salim sebagai Ketua dan K. Abdul mukti sebagai Hakim Anggota dan Sidiq sebagai Sekretaris merangkap Bendahara dan seorang pesuruh. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang terdiri dari 14 Kecamatan.
50
Adapun Perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada waktu penjajahan Jepang keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang berarti yaitu pada tahun 1942 sampai dengan 1945 karena pemerintahan Jepang hanya sebentar dan Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran dan Ketua beserta stafnya juga masih sama. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa. Kemudian pada tahun 1949 Ketua dijabat oleh K. Irsyam yang dibantu 7 pegawai. Kantor yang ditempati masih menggunakan serambi Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga dan bersebelahan dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan Salatiga yang sama-sama mengunakan serambi Masjid sebagai kantor. Kemudian kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah dari serambi Masjid Al-Atiq ke kantor baru di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga sampai tanggal 30 April 2009 dan setelah sekian lama kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah ke gedung baru pada tanggal 1 Mei 2009 di Jl. Lingkar Selatan, Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga. Kemudian kantor lama digunakan sebagai arsiparsip dan rumah dinas. Pada tahun 1953 Ketua dijabat oleh K. MOH MUSLIH, padatahun 1963 Ketua dijabat oleh KH. MUSYAFA'. Pada tahun 1967 Ketua dijabat oleh K. SA'DULLAH, semua adalah alumnus Pondok Pesantren.
51
Sejak kehadiran dan berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pada tanggal 17 Desember 1970 kedudukan dan posisi Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan Agama Salatiga, namun umat Islam Indonesia masih harus berjuang karena belum mempunyai Undang-undang yang mengatur tentang keluarga muslim. Melalu proses kehadirannya pada akhir tahun 1973 membawa suhu politik naik. Para ulama dan umat Islam di Salatiga juga berjuang ikut berpartisipasi, akan terwujudnya Undang-undang perkawinan, maka akhirnya terbitlah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Setelah secara efektif Undang-undang Perkawinan berlaku yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari fisiknya masih tetap seperti dalam keadaan sebelumnya, namun fungsi dan peranannya semakin mantap karena banyak perkara yang harus ditangani oleh Pengadilan Agama. di Pengadilan Agama Salatiga banyak perkara masuk yang menjadi kewenangannya. Volume perkara yang naik yaitu perkara Cerai Talak disamping Cerai Gugat dan juga banyak masuk perkara Isbat Nikah (Pengesahan Nikah), karena di Pengadilan Agama Salatiga yang wilayahnya sangat luas yaitu meliputi Daerah Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang, maka melalui SK Menteri Agama Nomor 95 tahun 1982 tanggal 2 Oktober 1982 Jo. KMA Nomor 76 Tahun 1983 tanggal 10 Nopember 1982 berdirilah Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran.
52
Adapun penyerahan wilayah yaitu dilaksanakan pada tanggal 27 April 1984 dari Ketua Pengadilan Agama Salatiga Drs. A.M. SAMSUDIN ANWAR kepada Ketua Pengadilan Agama Ambarawa yaitu sebagian wilayah Kabupaten Semarang. b. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga Kewenangan absolute Kewenangan Absolute yaitu kewenangan pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materiil) yang boleh ditanganinya. Pengadilan Agama mempunyai tugas dan wewenang yang terbatas apabila dibandingkan dengan tugas dan wewenang peradilan umum. Lembaga peradilan agama di seluruh Indonesia dengan direktorat Peradilan Agama, Departemen Agama hanya ada hubungan admistratif saja sedangkan secara yudisial ada di bawah
naungan Mahkamah Agung sebagai badan peradilan
tertinggi dan terakhir. Sejak keluarnya hukum agama sebagai dasar salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di Indonesia semakin teguh dan mantap dalam menjalankan fungsinya.
Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama
yang berbunyi
“Peradilan Agama
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang
beragama
tertentu sebagaimana dimaksud
Islam
dalam
mengenai
perkara
Undang-Undang
ini”.
53
Perkara
perdata
tertentu
yang dimaksud Pasal 2 di atas
dijelaskan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : Perkawinan Waris Wasiat Hibah Wakaf Zakat Infaq Shadaqah Ekonomi syari’ah Kewenangan relatif Kewenangan Relatif yaitu kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah
atau
daerah.
Kewengan
ini
berdasarkan
tempat
atau
kedudukannya. Pengadilan Agama berkedudukan di kota atau di ibu kota xi
kabupaten maka daerah hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten. Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga yang ada sekarang tinggal 13 Kecamatan yaitu : 1. Yang masuk wilayah Kota Salatiga ada 4 Kecamatan ; 1.1. Kecamatan Sidorejo 1.2. Kecamatan Sidomukti 1.3. Kecamatan Argomulyo
54
1.4. Kecamatan Tingkir 2. Yang masuk wilayah kabupaten Semarang ada 9 Kecamatan ; 2.1. Kecamatan Bringin 2.2. Kecamatan Bancak 2.3. Kecamatan Tuntang 2.4. Kecamatan Getasan 2.5. Kecamatan tengaran 2.6. Kecamatan Susukan 2.7. Kecamatan Suruh 2.8. Kecamatan Pabelan 2.9. Kecamatan kaliwungu Sejak diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 posisi Pengadilan Agama Salatiga semakin kuat, Pengadilan Agama berwenang menjalankan keputusannya sendiritidak perlu lagi melalui Pengadilan Negeri, selain itu hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. Untuk melaksanakan tugas pemanggilan dan pemberitahuan, sudah ada petugas Jurusita. Untuk menyesuaikan dengan Undang-undang Pengadilan Agama ini, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan bimbingan dan pembinaan dari Departemen Agama RI dan secara teknis Yustisial mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Tinggi Agama. Struktur organisasi Pengadilan Agama juga disesuaikan dengan Peradilan Umum dan Peradilan lainnya, sehingga status kedudukannya menjadi
55
sederajat dengan Peradilan lain yang ada di Indonesia, dari segi fisik dan jumlah personil Pengadilan Agama Salatiga masih ketinggalan dari Peradilan Umum, hal ini disebabkan karena dana yang tersedia untuk sarana fisik kurang memadai, namun kwalitas sumber daya manusia Pegawai Pengadilan Agama Salatiga sama dan sejajar dengan Peradilan Umum bahkan melebihi, karena tenaga yang direkrut harus malalui seleksi yang ketat dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Sejak
Pengadilan
Agama
mendapatkan
pembinaan
dari
Mahkamah Agung RI mulai diadakan pemisahan jabatan antara Kepaniteraan dan Kesekretariatan begitu juga rangkap jabatan antara Jurusita dan Panitera Pengganti, bagi para Hakim juga diberi tugas Pengawasan bidang-bidang. Upaya pembenahan di Pengadilan Agama Salatiga selalu ditingkatkan.Pengadilan Agama Salatiga sampai tahun 2004 belum memenuhi standar gedung Pengadilan,karena pengadilan agama salatiga pada waktu itu masih menggunakan bangunan rumah kuno peninggalan zaman Belanda, selain itu balai sidang dan ruang-ruang lainnya sangat sempit. Kemudian pada tanggal 1 Mei 2009 telah selesai dibangun, dan pada tanggal 1 Mei 2009 pengadilan agama salatiga pidah ke gedung baru yang terletak di Jl. Lingkar Selatan Argomulyo Kota Salatiga Jawa Tengah. Gedung Pengadilan Agama Salatiga terletak di Jl. Lingkar Selatan Argomulyo Kota Salatiga Jawa Tengah, berdiri di atas tanah seluas 5425
56
m2 dengan status milik sendiri, dan luas bangunan 1300 m2, dari luas bangunan tersebut dibagi beberapa ruangan antara lain : c. Visi Misi Pengadilan Agama Salatiga Visi Mewujudkan Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan berwibawa. Misi
Mewujudkan rasa keadilan masayarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati nurani;
Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan Independen, bebas dari campur tangan pihak lain;
Meningkatkan
pelayanan
di
bidang
peradian
kepada
masyarakat sehingga tercapai peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan;
Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia aparat peradilan sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional dan proposional;
Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat dalam melaksanakan tugas.
57
d. Struktur Organisasi
58
B. Gambaran Umum Proses Penyelesaian Perkara Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga Penegakan hukum (law enforcement) merupakan penerapan suatu undang-undang dengan maksud untuk menjaga keseimbangan antara hukum dan etika. Proses penegakan hukum juga merupakan penerapan diskresi yang berakibat pada jatuhnya putusan hakim yang didasarkan pada kebenaran dan keadilan. Proses persidangan yang baik dan sesuai yang diamanahkan oleh undang-undang
ialah
bahwa
pengadilan
dalam
memproses
atau
menyelesaikan perkara harus dilakukan secara Sederhana, Cepat dan Biaya yang Ringan. Dalam
Keputusan
Mahkamah
Agung
Nomor:
KMA/104
A/SK/XII/2006 dinyatakan: Tentang perilaku hakim yang berdisiplin tinggi yang penerapannya ialah hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persidangan Secara Sederhana Sederhana ialah persidangan yang pada acara pemeriksaannya jelas, mudah dipahami dan tidak berbeli-belit. Dapat diartikan oleh hakim dalam pelaksanaannya, mengadili para pihak yang sedang berperkara didalam memberi pernyataan-pernyataan maupun pertanyaan untuk memperoleh keterangan yang akurat dari para
59
pihak dan saksi memakai bahasa yang sederhana yang dapat dipahami oleh pihak-pihak berperkara. Dalam pelaksanaannya majelis hakim dapat juga menggunakan bahasa daerah dalam meminta keterangan para pihak jika para pihak tidak mengerti bahasa Indonesia. Majelis hakim berkewajiban memberikan informasi-informasi yang dapat mempermudah pemahaman para pihak dalam proses beracara. Hal itu menjadi sangat penting untuk kelancaran proses pemeriksaan perkara yang dijalani para pihak sehingga para pihak dapat memperoleh keadilan yang seadiladilnya. Persidangan Secara Cepat Dalam penyelesaian suatu perkara, persidangan dikatakan cepat jika dilakukan sesegera mungkin, artinya memperhitungkan efisiensi waktu sehingga nasib para pihak tidak terkatung-katung dengan proses perkara yang dihadapinya. Cepat dapat diartikan bahwa hakim dalam memeriksa para pihak yang sedang berperkara, harus mengupayakan agar proses penyelesaiannya setelah ada bukti-bukti yang akurat dari para pihak dan saksi segera memberi keputusan dan waktu tidak diulurulur atau mengadakan penundaan persidangan yang jarak antara persidangan pertama dengan seterusnya tidak terlalu lama. Meskipun hakim dituntut untuk memeriksa perkara dengan cepat, namun hakim juga harus teliti, dan cermat dalam mendengarkan
60
pernyataan dan jawaban, dan memeriksa bukti sehingga majelis hakim dapat memutuskan dengan adil. Dalam SEMA nomor . 06 Tahun 1992 telah diatur bahkan mewajibkan bahwasanya untuk penyelesaian perkara perdata di semua tingkat peradilan diselesaikan dalam waktu 6 bulan. Jika terdapat keterlambatan, maka majelis hakim melapor kepada ketua pengadilan dan kemudian ketua pengadilan melaporkan ke MA disertai alasan keterlambatan. Persidangan dengan biaya ringan Biaya ringan adalah dapat terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. Persidangan dengan biaya ringan dipengaruhi oleh jalannya persidangan yang cepat dan sederhana. Jika persidangan itu berjalan lancar tidak berbelit-belit, maka dapat terwujud persidangan dengan biaya ringan. Jika para pencari keadilan tidak memiliki biaya maka dapat mengajukan beracara dengan cumacuma (prodeo). Hal tersebut telah diatur dalam HIR yaitu dalam pasal 237 yang berbunyi: “orang-orang yang demikian, yang sebagai penggugat atau sebagai tergugat hendak berperkara akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya”. Ketentuan dalam HIR diberlakukan
pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama berdasarkan pasal 54 Undnag-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
61
Jadi bagi penggugat dan tergugat yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara mereka dapat mengajukan permintaan untuk berperkara secara cuma-cuma atau tanpa biaya (prodeo) dengan disertai surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi setempat. Permintaan berperkara secara prodeo ini diadakan dalam sidang tersendiri sebelum pelaksanaan sidang
pemeriksaan perkara
dimulai. Hal ini sesuai dengan pasal 239 (1) HIR yang berbunyi : “Pada hari menghadap ke muka Pengadilan Negeri, maka pertama kali diputuskan oleh Pengadilan Negeri apakah permintaan akan berperkara dengan tak berbiaya dapat dikabulkan atau tidak”. Putusan mengenai sidang ini dinamakan putusan sela. Dan pihak lawan dalam sidang ini bisa menyanggah maupun menguatkan pernyataan peminta perkara secara prodeo tersebut. Dari hasil wawancara dengan bapak miftah yang dilakukan peneliti di pengadilan agama salatiga, beliau menggambarkan proses penyelesaian gugatan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga yang tahap-tahapnya sebagai berikut: 1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah. 2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
62
3. Tahap persidangan; i. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi ( pasal 82 UU no 7 tahun 1989 ). ii. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi ( pasal 3 ayat (1) PERMA no 2 tahun 2003 ). iii. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian), Tergugat dapat mengajukan gugatan rekonpensi (gugat balik) ( pasal 132a HIR, 158 R.Bg ). 4. Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah iv. Gugatan dikabulkan; Apabila Tergugat tidak puas, dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tersebut. v. Gugatan ditolak; Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tersebut. vi. Gugatan tidak diterima; Penggugat dapat mengajukan gugatan baru. 5. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka panitera Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak, selambat-lambatnya 7
63
(tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak. Dari hasi Observasi yang dilakukan oleh penulis di pengadilan Agama Salatiga. peneliti memperoleh beberapa data tentang perkaraperkara yang telah masuk. Peneliti membatasi dari tahun 2010 sampai dengan 2011 dalam mencari data.
Rekap perkara masuk pada tahun 2010 di P.A Salatiga Tabel 1.1 No
Jenis Perkara
Jumlah
1
Cerai Gugat
48
2
Cerai Talak
29
3
Ijin Poligami
2
4
Dispensasi Kawin
1
6
Permohonan Perwalian
1
Total
81
Rekap perkara masuk pada tahun 2011 di P.A Salatiga Tabel 1.2 No
Jenis Perkara
Jumlah
1
Cerai Gugat
738
2
Cerai Talak
320
64
No
Jenis Perkara
Jumlah
3
Dispensasi Kawin
43
4
Perwalian Anak
10
6
Asal Usul Anak
8
7
Gugat Waris
7
8
Permohonan Perwalian
4
9
Permohonan Lain-Lain
2
10
Ijin Poligami
2
11
Harta Bersama
2
12
Batal Nikah
1
13
Istbat Nikah
1
14
Permohonan Eksekusi
1
15
Gugatan Nafkah
1
Total
1141
65
Rekap Proses Acara Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga Tabel 1.3 NO 1
2
NOMOR PERKARA
PENGAJUAN
PMH
PHS
SIDANG I
0049/Pdt.G/2010/PA.Sal
19 Januari 2010
19 Januari 2010
20 Januari 2010
01 Maret 2010
10 Mei 2011
11 Mei 2011
12 Mei 2011
25 Mei 2001
22 Juni 2011
Melalui 2 (dua) kali persidangan
0375/Pdt.G/2011/PA.Sal
PUTUSAN
KETERANGAN
Melalui 5 (lima) kali 02 September persidangan 2010
3
0241/Pdt.G/2011/PA.Sal
25 Maret 2011
28 Maret 2011
30 Maret 2011
9 Mei 2011
25 Juli 2011
Melalui 2 (dua) kali persidangan
4
0346/Pdt.G/2011/PA.Sal
02 Mei 2011
03 Mei 2011
09 Mei 2011
19 Juni 2011
18 Juli 2011
Melalui 2 (dua) kali persidangan
5
0383/Pdt.G/2011/PA.Sal
13 Mei 2011
18 Mei 2011
19 Mei 2011
08 Juni 2011
20 Juli 2011
Melalui 2 (dua) kali persidangan
6
0446/Pdt.G/2011/PA.Sal
01 Juni 2011
06 Juni 2011
07 Juni 2011
06 Juli 2011
20 Juli 2011
Melalui 2 (dua) kali persidangan
7
0491/Pdt.G/2011/PA.Sal
21 Juni 2011
22 Juni 2011
23 Juni 2011
07 Juli 2011
28 Juli 2011
Melalui 2 (dua) kali persidangan
8
0537/Pdt.G/2011/PA.Sal
06 Juli 2011
07 Juli 2011
11 Juli 2011
28 Juli 2011
Melalui 2 (dua) kali 15 September persidangan 2011
66
9
0577/Pdt.G/2011/PA.Sal
21 Juli 2011
22 Juli 2011
26 Juli 2011
10
0604/Pdt.G/2011/PA.Sal
01 Agustus 2011
02 Agustus 2011
04 Agustus 2011
11
0576/Pdt.G/2011/PA.Sal
20 Juli 2011
22 Juli 2011
22 Juli 2011
12
0582/Pdt.G/2011/PA.Sal
22 Juli 2011
25 Juli 2011
13
0613/Pdt.G/2011/PA.Sal
03 Agustus 2011
04 Agustus 2011
14
0641/Pdt.G/2011/PA.Sal
14 Agustus 2011
23 Agustus 2011
15
0760/Pdt.G/2011/PA.Sal
28 September 2011
29 September 2011
16
0786/Pdt.G/2011/PA.Sal
04 Oktober 2011
05 Oktober 2011
15 Agustus 2011
Melalui 2 (dua) kali 12 September persidangan 2011
22 Agustus 2011
Melalui 2 (dua) kali 26 September persidangan 2011
Melalui 3 (tiga) kali 10 Agustus 2011 12 Oktober 2011 persidangan
19 November Melalui 5 (lima) kali 2011 persidangan Melalui 3 (tiga) kali 04 Agustus 2011 18 Agustus 2011 06 Oktober 2011 persidangan Melalui 2 (dua) kali 26 September 23 Agustus 2011 10 Oktober 2011 persidangan 2011 16 November Melalui 3 (tiga) kali 30 September 2011 19 Oktober 2011 persidangan 2011 01 Agustus 2011
15 Agustus 2011
06 Oktober 2011
24 oktober 2011
21 November Melalui 2 (dua) kali persidangan 2011
67
C. Proses Penyelesaian Perkara dalam Perkara Perceraian 1. Perkara Nomor. 0049/Pdt.G/2010/PA.Sal Pada tahap awal proses penggugat mendaftarkan perkaranya ke pengadilan agama salatiga pada 19 Januari 2010 yang kemudia diberikan nomor register perkara. Kemudian penggugat diminta membayar biaya persidangan, dan kemudian menunggu hari sidangnya. Suatu gugatan tidak akan diproses atau didaftarkan apabila biaya perkara belum dibayar yang telah diatur pada pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4 Rbg(Sudikno Merto Kusumo,2002:97). Kemudian gugatan yang telah didaftarkan tersebut, ketua pengadilan agama salatiga menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa perkara tersebut. Penetapan hari sidang telah ditetapkan oleh majelis hakim, pemanggilan kedua belah pihak dilakukan. Tahap-tahap persidangan perkara gugatan perceraian tersebuat ialah: Pada pemeriksaan sidang pertama, majelis hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi ( pasal 82 UU no 7 tahun 1989 ). Pada persidangan yang pertama dengan majelis hakim yang ditunjuk setelah pendaftaran gugatan oleh ketua pengadilan agama salatiga, majelis hakim berusaha mendamaikan para pihak yaitu penggugat dan tergugat untuk mempertahankan rumah tangganya. Pada persidangan yang pertama, tergugat atau suami tidak hadir ke pengadilan agama salatiga dan tidak mewakilkan pada kuasa hukum. Maka persidangan ditunda dan majelis hakim memerintahkan pemanggilan yang
68
kedua. Pada persidangan yang kedua tergugat belum juga hadir, maka proses pendamaian gagal, karena tidak hadirnya tergugat meskipun telah dipanggil berkali-kali secara sah dan patut dan tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wakilnya dan tidak ternyata ketidak hadiranya itu karena suatu halangan yang sah, sehingga sesuai dengan pasal 125 HIR tergugat harus dinyatakan tidak hadir(dokumen Pengadilan Agama
Salatiga).
Sehingga kemudian persidangan dilanjutkan pada tahap selanjutnya Setelah proses pendamaian gagal, maka majelis hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi ( pasal 3 ayat (1) PERMA no 2 tahun 2003 ). Pada proses mediasi, tergugat juga tidak hadir dan tidak mewakilkan pada kuasa hukum, maka majelis hakim tidak dapat melaksanakan proses atau tahap mediasi. Dan selanjutnya majelis hakim telah berusaha menasehati penggugat agar bersedia berdamai kembali dengan tergugat dan memberi kesempatan pula kepada keluarga untuk usaha tersebut, tapi penggugat tidak mau berdamai lagi dengan tergugat. Selanjutnya proses mediasi gagal dan dilanjutkan pada tahap persidangan selanjutnya. Setelah proses mediasi gagal, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan. Pada proses pemeriksaan bukti-bukti, penggugat mengajukan buktibukti sebagai berikut:
69
Bukti surat-surat -
Fotocopy kartu tanda penduduk atas nama penggugat Nomor. 33.2205.450576.0003 tanggal 13 Januari yang dikeluarkan oleh kepala kependudukan dan pencatatan sipil kabupaten semarang.
-
Fotocopy kutipan akta nikah nomor. 74/15/IV/2006 yang dikeluarkan oleh kantor urusan agama kecamatan pabelan, kabupaten semarang tanggal 14 maret 2006.
Bukti saksi-saksi -
Saksi pertama ialah SS, umur 38 tahun agama islam dan bekerja sebagai buruh, alamat Dusun Randusari Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Yang memberikan beberapa keterangan dan jawaban atas pertanyaan hakim.
-
Saksi yang kedua ialah SA umur 40 tahun yang bekerja sebagai petani, alamat Dusun Randusari Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.
Dalam perkara Nomor:0049/Pdt.G/2010/PA.Sal. Pada proses yang sedang berjalan, waktu itu bersamaan dengan perpindahan hakim ke kota atau kabupaten lain. Pada perkara ini, majelis hakim telah ditentukan oleh ketua pengadilan agama pada saat setelah pengajuan gugatan perceraian diterima oleh pengadilan agama salatiga. proses pemeriksaan pun telah berjalan, dan di pertengahan perjalanan persidangan, terjadi pergantian majelis hakim.
70
Penentuan majelis hakim diatur dalam peraturan yaitu pada waktu selambat-lambatnya 7(tujuh) hari ketua pengadilan sudah harus menunjuk majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara tesebut. Dalam menentukan susunan majelis hakim, selain memperhatikan dengan sungguhsungguah kemampuan hakim yang akan ditunjuk sebagai hakim ketua majelis, ketua pengadilan agama juga harus memperhatikan daftar senioritas hakim dalam menetapkan susunan majelis hakim, sebagaimana yang telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 05 Tahun 1971(Chatib Rasyid:2009:66). Majelis hakim telah ditetapkan oleh ketua pengadilan, namun dalam perjalanannya setelah proses mediasi, majelis hakim yang bersangkutan pindah ke pengadilan di kota lain, semua majelis hakim diganti oleh majelis hakim yang baru. Pada saat pemeriksaan di persidangan setelah proses mediasi gagal, pada perkara nomor.0049/Pdt.G/PA.Sal. Pada saat itu bersamaan dengan adanya perpindahan hakim ke kota atau kabupaten lain, maka untuk perkara ini terjadi pergantian majelis hakim, pada perkara ini semua majelis hakimnya digantikan oleh majelis hakim yang baru dan pergantian ruang persidangan. Berbeda dengan perkara lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan agama salatiga pada waktu yang sama, kebanyakan pergantian majelis hakimnya sebagian, dan dengan ruang persidangan tetap. Proses pemeriksaanpun dilanjutkan dengan majelis hakim yang baru, terdapat hal yang tidak biasa karena penggugat dipanggil kedalam dua ruang
71
persidangan, yakni ruang persidangan yang lama dan ruang persidangan yang baru, dan akhirnya pemeriksaan dilanjutkan di ruang persidangan yang baru. Pada pemeriksaan oleh majelis hakim yang baru ini kembali memeriksa perkara dari awal, hal ini dilakukan majelis hakim untuk mencermati perkara yang sedang diperiksanya agar dapat memutus dengan seadil-adilnya. Majelis hakim menanyai para pihak-pihak yang kebanyakan telah ditanyakan oleh majelis hakim sebelumnya. Setelah majelis hakim memeriksa kembali bukti-bukti yang telah penulis sebutkan pada pembahasan sebelumnya, dan mendengarkan jawaban dan pernyataan dari para pihak-pihak maka majelis hakim memutuskan perkara tersebut. Dalam memutus perkara Nomor. 0049/Pgt.G/PA. Sal majelis hakim berdasar pada: Menimbang bahwa tergugat ternyata meskipun telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir dan tidak menyuruh oranglain untuk menghadap sebagai wakilnya dan tidak ternyata tidak hadirnya itu dikarenakan suatu halangan yang sah, sehingga tergugat dinyatakan tidak hadir. Menimbang bahwa majelis hakim tidak dapat melakukan mediasi, karena tergugat tidak hadir, dan majelis hakim telah berusaha menasehati penggugat untuk berdamai. Namun penggugat tidak mau. Berdasarkan bukti surat, penggugat berdomisili di wilayah yuridikasi pengadilan agama salatiga, maka berdasarkan pasal 73 undang-undang nomor 7 tahun 1989 yang telah dirubah dan ditambah dengan undang-
72
undang nomor 3 tahun 2006 dan undang-undang nomor 50 tahun 2009. Maka pengadilan agama salatiga berwenang mengadili perkara tersebut. Menimbang bahwa pokok isi dalil gugatan penggugat adalah meminta agar diceraikan dengan tergugat dengan alasan bahwa sejak oktober 2009 sampai proses persidangan selesai tergugat telah meninggalkan penggugat, tidak pernah member nafkah dan telah membiarkan dan tidak memperdulikan penggugat. Bahwa setelah akad nikah tergugat mengucapkan sighat taklik talak yang isinya sebagaimana tercantum dalam buku kutipan nikahnya. Bahwa
penggugat
meneguhkan
dalil
gugatnya,
penggugat
telah
mengajukan alat bukti. Majelis hakim memutus perkara Nomor. 0049/Pgt.G/PA. Sal, Setelah menemukan menemukan fakta-fakta dipersidangan, menyatakan bahwa tergugat telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk menghadap dipersidangan tidak hadir, mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek. Menyatakan syarat ta’lik talak telah terpenuhi, dan jatuh talak satu khul’i dengan iwadl Rp.10.000, dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara
sebesar
Rp.
721.000.
Putusan
tersebut
disyahkan
setelah
dimusyawarahkan dengan hakim anggota pada tanggal 02 september 2010 oleh hakim ketua dan hakim anggota.
73
BAB IV ANALISIS MASALAH
A. Analisa
Perkara
dan
Proses
Beracara
Cerai
Nomor:
0049/Pdt.G/2010/PA.Sal Dalam perkara tersebut majelis hakim telah memutuskan: menyatakan bahwa tergugat telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk menghadap dipersidangan tidak hadir, mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek. Menyatakan syarat ta’lik talak telah terpenuhi, dan jatuh talak satu khul’i dengan iwadl Rp. 10.000,- dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 721.000,-. Putusan tersebut disyahkan setelah dimusyawarahkan dengan hakim anggota pada tanggal 02 september 2010 oleh hakim ketua dan hakim anggota. Peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang tahapan pengajuan dan penyelesaian perkara gugatan perceraian. Dalam perkara tersebut gugatan yang diajukan telah memenuhi persyaratan dan diterima oleh pengadilan agama salatiga dengan. Dari tahap pengajuan sampai tahap penetapan majelis hakim tidak ada sesuatu yang bersinggungan dengan hukum acara perdata. Kemudian pada sidang setelah mediasi dinyatakan gagal, terjadi pergantian majelis hakim. Pergantian majelis hakim tersebut dikarenakan perpindahan dinas ke kota atau kabupaten lain. Perpindahan hakim telah diatur dalam undang-undang pokok kehakiman, seorang hakim akan dipindah ke kota atau kabupaten lain dalam kurun waktu yang telah
74
ditetapkan dalam undang-undang. Hakim yang ditunjuk olek ketua pengadilan untuk memeriksa perkara pada penetapan penunjukan majelis hakim ada kalanya berhalangan, bisa terjadi pada ketua majelis atau anggota majelis hakim. Pada prinsipnya hal tersebut tidak boleh dijadikan penghalang kelancaran sidang. Jika dikarenakan halangan tersebut tidak memungkinkan untuk menunda persidangan, maka hakim yang berhalangan dimaksudkan harus ditukar dengan hakim yang lain. Dengan catatan, jika yang berhalangan tersebut ialah ketua majelis sidang wajib ditunda, sedang jika yang berhalangan ialah hakim anggota maka persidangan dapat diteruskan dengan mengganti hakim anggota dengan hakim lain pada persidangan itu juga (Roihan A Rasyid,1998:122). Pergantian majelis hakim dapat dilakukan bila, majelis hakim melakukan pelanggaran terhadap kode etik hakim, atau antara majelis hakim dengan pihak yang berperkara terdapat hubungan keluarga dan hubungan yang signifikan lainnya. Jika majelis hakim dalam menangani perkara terdapat adanya hubungan keluarga, maka diberikan hak untuk mengundurkan diri. Berkaitan dengan perkara pada nomor register. 0049/Pdt.G/PA.Sal yang penulis teliti yakni, pergantian majelis hakim dilakukan pada semua majelis hakim dan pada saat berjalannya proses pemeriksaan dikarenakan hakim ketua pindah tugas. Dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor : KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang pedoman perilaku hakim, dijelaskan bahwa seorang hakim:
75
1) Hakim wajib menghindari tindakan tercela. 2) Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan. 3) Hakim dilarang mengadili perkara dimana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai
pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara
tersebut. 4) Hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum untuk menerima klien atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut. 5) Hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya. 6) Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya. 7) Hakim dilarang mempergunakan keterangan yang diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan lain yang tdk terkait dengan wewenang dan tugas yudisialnya. 8) Hakim dapat membentuk atau ikut serta dalam organisasi para hakim atau turut serta dalam lembaga yang mewakili kepentingan para hakim. 9) Hakim berhak melakukan kegiatan ekstra yudisial, sepanjang tdk mengganggu pelaksanaan yudisial, antara lain
: menulis, memberi
kuliah, mengajar dan turut serta dalam kegiatan kegiatan yang
76
berkenaan dengan hukum, sistem hukum, ketatalaksanaan, keadilan atau hal hal yang terkait dengannya. Pada perkara tersebut, penulis mencari sumber hukum yang pasti mengenai pergantian majelis hakim dalam peraturan-peraturan perundangundangan atau peraturan yang lainnya yang berkaitan, dari hasil penulusuran perundang-undangan pergantian atau pengunduran majelis hakim pada saat berjalannya proses pemeriksaan persidangan, penulis menemukan beberapa acuan yaitu Dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor : KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang pedoman perilaku hakim, dijelaskan bahwa seorang hakim: i) Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan. ii) Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan. iii) Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak angsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat. iv) Pemimpin Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan yang wajar dengan Lembaga eksekutif dan legislatife dan dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat hukum selama hal tersebut
77
tidak berhubungan dengan suatu perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga akan diajukan ke Pengadilan. v) Dalam hal Hubungan Pribadi dan Kekeluargaan diterapkan:. a. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, Ketua Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut. b. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, yang menangani perkara tersebut. vi) Dalam hal Hubungan Pekerjaan diterapkan: a. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah. b. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim. c. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga. d. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan
78
kesan bahwa orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan. e. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut. vii) Dalam hal Hubungan Finansial diterapkan: a. Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya. b. Hakim tidak boleh menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan financial. c. Hakim
tidak
boleh
mengijinkan
pihak
lain
yang
akan
menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh keuntungan finansial. Dari acuan peraturan tersebut, maka penulis dapat menganalisis pada perkara dengan nomor register. 0049/Pdt.G/PA.Sal yaitu mengenai pergantian majelis hakim yang terjadi di tengah pemeriksaan di persidangan karena majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut dipindah tugaskan ke kota dan kabupaten lain. Meskipun majelis hakim yang baru ditetapkan oleh ketua pengadilan secara sah sehingga perkara
79
tersebut dilimpahkan dan diperiksa oleh majelis hakim yang baru, namun setelah mencari beberapa acuan, pergantian hakim dapat dilakukan karena adanya pelanggaran kode etik dan adanya hubungan keluarga dan hubungan khusus lainnya. Jika dilihat lebih dalam tidak terdapat adanya pelanggaran kode etik pada majelis hakim yang pertama, pergantian majelis hakim cukup dilakukan pada sebagian anggota majelis hakim, melihat pada perkara yang lain yang waktunya bersamaan dengan perkara yang diteliti. Jika dalam perkara yang lain pergantian majelis hakim dilakukan hanya sebagian, yaitu ketua majelis atau anggota majelis hakimnya. Namun pada perkara yang diteliti pergantian majelis dilakukan seluruhnya, dan juga perpindahan ruang persidangan. Dalam
Keputusan
Mahkamah
Agung
Nomor:
KMA/104
A/SK/XII/2006 tentang pedoman perilaku hakim pula dijelaskan akan adanya tata cara pengunduran diri oleh hakim. Pengunduran diri dilakukan karena adanya konflik kepentingan yaitu: adanya hubungan keluarga, financial dan seterusnya seperti yang telah tertulis sebelumnya. Tata cara pengunduran diri yang diatur dalam KMA/104 A/SK/XII/2006: a. Hakim yang memiliki konflik kepentingan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan Keputusan untuk mengundurkan
diri
harus
dibuat
seawal
mungkin
untuk
mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap
80
lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak. b. Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri memeriksa dan mengadili suatu perkara lebih baik memilih mengundurkan diri. Kaitannya dengan perkara yang diteliti, maka penulis menganalisa bahwa jika dalam keadaan yang menuntut bagi majelis hakim untuk mundur dari pemeriksaan perkara, maka sebaiknya dilakukan seawal mungkin untuk mundur, dan pada perkara yang diteliti karena majelis hakim tidak melanggar kode etik dan mempunyai konflik kepentingan. Jika dikarenakan adanya perpindahan tugas, maka sebaiknya majelis hakim mengajukan pengunduran diri kepada ketua pengadilan, sehingga ketua pengadilan dengan segera akan menetapkan majeis hakim yang baru. Dengan begitu penerapan hokum acara akan dapat dilaksanakan dengan baik. B. Hasil Analisis Masalah dalam Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Pengadilan Agama adalah salah satu lembaga peradilan yang ada di Indonesia harus
memenuhi harapan dari para pencari keadilan
yang menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil, dan biaya ringan. Karena kalau proses beracara di Pengadilan Agama sampai tidak menerapkan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sesuai dengan ketentuan pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
81
perubahan atas Undang- Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama maka akan membawa dampak bagi para pencari keadilan maupun bagi Pengadilan Agama itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan di Pengadilan Agama Salatiga mengenai penerapan azas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam perkara perceraian Nomor.0049/ Pdt.G/PA.Sal, penulis telah memperoleh data-data dan melakukan wawancara langsung dengan pihak Pengadilan Agama Salatiga. Dalam melakukan penelitian,penelitian ini dimulai dari proses pendaftaran permohonan atau gugatan perceraian
sampai dengan
jatuhnya putusan oleh majelis hakim dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan pihak Pengadilan
Agama
Salatiga,
dalam
wawancara
tersebut
penulis
memperoleh keterangan mengenai penerapan azas peradilan sederhana, cepat,
dan
biaya
ringan
dalam
perkara
peceraian. Beliau
mengemukakan bahwa antara sederhana, cepat, dan biaya ringan sangat berhubungan. Karena apabila pemeriksaan dilakukan dengan prosedur yang sederhana dan tidak berbelit-belit maka akan selesai dalam waktu yang relatif cepat dan otomatis akan membutuhkan biaya yang ringan. Akan tetapi sebaliknya, apabila pemeriksaan perkara dilakukan dengan prosedur yang berbelit-belit, maka akan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan akan membutuhkan biaya yang semakin banyak.
82
Dalam prakteknya karena semua majelis hakim diganti yang baru, maka proses pemeriksaanpun dilakukan dari awal kembali. Hal itu dilakukan agar hakim cermat dalam memeriksa suatu perkara sesuai asas yang berlaku bagi majelis hakim. Sebenarnya mengenai runtutan perkaranya sudah tercatat oleh panitera pengganti, namun majelis hakim tetap memeriksa perkara dari awal. Dalam hal ini majelis hakim telah menerapkan asas cermat dan teliti dalam memeriksa perkara cerai gugatan yang diajukan oleh penggugat, namun penerapan asas beracara secara cepat menjadi terhambat, karena hakim harus memeriksa ulang dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah di tanyakan pada majelis hakim yang sebelumnya yang sudah tercatat oleh panitera Proses persidanganpun menjadi lebih lama. Setelah adanya pergantian majelis hakim yang baru, pada waktu pemeriksaan terjadi dua kali pemanggilan pemeriksaan di ruang yang berbeda pada waktu yang sama. Yakni di ruang sidang satu pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim yang lama. Sedangkan di ruang dua pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim yang baru. Maka dalam hal ini persidangan secara sederhana terhalangi atau terhambat. Perkara nomor. 0049/Pdt.G/PA.Sal didaftarkan sejak januari 2010 dan diputus pada September 2010. Kurun waktu proses persidangan selama Sembilan bulan, sedangkan waktu idealnya proses beracara pada pengajuan gugatan perceraian ialah enam bulan. Sehingga dikarenakan faktor tersebut biaya yang dikeluarkan oleh penggugat menjadi semakin
83
bertambah yaitu dapat dilihat dengan adanya penambahan biaya panjar perkara sebesar Rp. 95.000,- serta biaya-biaya lain yang dikeluarkan oleh penggugat selama proses persidangan. Maka Dalam hal ini penerapan asas beracara dengan biaya ringan tidak bisa dterapkan. Dalam
Keputusan
Mahkamah
Agung
Nomor:
KMA/104
A/SK/XII/2006 dinyatakan: Tentang perilaku hakim yang berdisiplin tinggi yang penerapannya ialah hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dari hasil wawancara yang penulis lakukan
dengan
pihak
Pengadilan Agama Salatiga dalam hal ini panitera serta dengan para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Salatiga, dapat diperoleh kesimpulan ada
beberapa faktor yang mempengaruhi penerapan asas
peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam perkara perceraian. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut: Faktor dari Pengadilan Agama itu sendiri: - Banyaknya perkara yang masuk pada saat bersamaan membuat panjangnya antrian perkara yang diperiksa Pengadilan Agama Salatiga.
84
- Faktor sumber daya manusia yang kurang, bisa dilihat pada administrasi dan penentuan sidang, dalam perkara yang ditangani terjadi dua kali pemanggilan pemeriksaan saat persidangan di dua ruang yang berbeda. - Penundaan
persidangan
oleh
majelis
hakim
yang
lama
dikarenakan berbagai macam sebab. Faktor-faktor dari para pihak Antara lain: - Salah satu pihak tidak hadir di persidangan padahal ia sudah dipanggil secara patut sehingga kepadanya perlu dilakukan pemanggilan yang kedua kalinya, akibatnya sidang menjadi tertunda-tunda dan memakan waktu yang lama. - Para pihak yang mengemukakan alasan yang berbelit-belit sehingga hakim belum bisa menyimpulkan duduk perkaranya. - Penggugat tidak segera
mengahadirkan saksi-saksi ataupun
alat bukti lainnya, sehingga belum ada cukup bukti untuk memutuskan perkaranya. - Adanya kuasa hukum atau pengacara yang terkesan berteletele atau kurang serius dalam membantu kliennya menyelesaikan perkara perceraiannya dan serta mahalnya berperkara dengan menggunakan jasa pengacara atau kuasa hukum.
85
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan merupakan jawaban dari rumusan masalah yang dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dalam penerapan asas berperkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan dipengadilan agama salatiga. Rata-rata perkara berjalan lancar dan efektif. Namun ada beberapa perkara yang belum diterapkannya asas beracara secara sederhana, cepat dan biaya ringan, yaitu dalam perkara gugatan percerian nomor register. 0049/Pdt.G/2010/PA.Sal.
Sederhana diterapkan dengan pada pemeriksaannya secara jelas, mudah dan tidak berbelit-belit. Sederhana juga dapat diterapkan dengan tidak terlalu seringnya pemeriksaan. Dalam menanyai para pihak hakim menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Melihat proses persidangan pada perkara ini proses persidangan dilaksanakan sebanyak lima kali, dan dikarenakan adanya penetapan majelis hakim yang baru maka majelis hakim mengulang lagi
pemeriksaannya. Maka
penerapan asas
sederhana terhalangi.
Asas cepat terhambat dalam perkara gugatan perceraian pada perkara nomor register. 0049/ Pdt.G/2010/PA.Sal, waktu yang dibutuhkan
adalah
9
bulan
dari
pendaftaran
sampai
ditetapkannya putusan oleh majelis hakim, dalam SEMA No.
86
06 Tahun 1992 ditetapkan waktu penyelesaian perkara adalah 6 bulan. Jadi pada perkara tersebut penerapan asas secara cepat terhambat.
Biaya ringan, pada perkara dengan nomor register. 0049/ Pdt.G/2010/PA.Sal. biaya yang harus dibayarkan yaitu Rp. 10.000,- untuk iwadl, dan Rp. 721.000,- dan pada akhir ditambah biaya untuk tambah panjar sebesar Rp. 95.000,-. Pada perkara tersebut asas ini juga terhalangi.
Dari hasil temuan dilapangan tentang penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan, peneliti menyimpulkan bahwa pergantian majelis hakim dapat menghalangi penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. 2. Faktor yang mempengaruhi penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan Dalam visi misi pengadilan agama salatiga menyebutkan diantaranya ialah Meningkatkan pelayanan dibidang peradian kepada masyarakat sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Jika dilihat dalam perkara nomor. 0049/Pdt.G/PA.Sal, penerapan asas tersebut kurang maksimal dilaksanakan oleh pengadilan agama salatiga. Faktor yang menyebabkan terhambatnya penerapan asas seerhana, cepat dan biaya ringan datang dari pihak yang berperkara itu sendiri dan juga dari pihak pengadilan agama salatiga.
87
Faktor dari para pihak yang berperkara -
yaitu salah satu pihak tidak hadir di persidangan padahal ia sudah dipanggil secara patut sehingga kepadanya perlu dilakukan pemanggilan yang kedua kalinya, akibatnya sidang menjadi tertunda-tunda dan memakan waktu yang lama. Ketidak hadiran tergugat memang bukan hal yang menjadikan masalah, karena putusan dapat secara verstek.
-
Faktor lain yaitu karena tempat domisili yang diluar kewengan relative Pengadilan Agama Salatiga. Jika diluar kewenangan relative Pengadilan Agama Salatiga maka runtutan ketentuanketentuan akan bertambah yaitu pada saat pemanggilan yang di wakilkan pada pengadilan agama di tempat domisili tergugat.
-
Dalam perkara-perkara lainnya, pihak-pihak yang menggunkan kuasa hukum, adanya beberapa kuasa hukum atau pengacara yang terkesan bertele-tele atau kurang serius dalam membantu kliennya menyelesaikan perkara perceraiannya dan serta mahalnya berperkara dengan menggunakan jasa pengacara atau kuasa hukum.
Dari pihak pengadilan agama -
Banyaknya perkara yang masuk ke Pengadilan
Agama,
dan
kurangnya tenaga hakim yang memeriksa. Akan tetapi dalam hal ini Pengadilan Agama Surakarta tidak mengalami kendala, hanya saja kendalanya adalah kurangnya ruang sidang yang
88
tersedia untuk persidangan. -
Sumber daya manusia yang kurang, dalam perkara tersebut terjadinya dua kali pemanggilan dalam dua ruang sidang yang berbeda.
B. Saran Dalam penelitian ini penulis imgin menyampaikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Hendaknya Pengadilan Agama Salatiga lebih memperhatikan dan lebih berusaha lagi untuk menerapkan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam memeriksa setiap perkara yang masuk kepadanya. Semoga pengalaman Pengadilan Agama Salatiga dalam memeriksa, menyelesaikan, dan memutus setiap perkara dapat dijadikan pijakan dalam memeriksa perkara-perkara selanjutnya. 2. Apabila para pihak ingin perkaranya cepat selesai, maka hendaknya memenuhi setiap panggilan agar tidak terjadi penundaan sidang hanya karena salah satu pihak tidak hadir, dan juga hendaknya mereka memberikan keterangan dengan jelas dan tidak berbelit-belit sehingga hakim dapat segera menyimpulkan duduk perkaranya.
89
C. Penutup Demikian penelitian ini dibuat, meskipun peneliti telah berusaha semaksimal mungkin namun peneliti sangat menyadari keterbatasan dalam penyusunannya sangatlah jauh dari sempurna. Oleh sebab itu saransaran yang sifatnya yang kami sajikan bersifat konstruktif dan penulis harap dengan sangat untuk dapat diterima dengan lapang dada. Semoga penelitian ini dapat memperkaya wacana dalam khasanah keilmuan syari’ah di SekolahTinggi Agama Islam Negari (STAIN) Salatiga, dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat.
90
DAFTAR PUSTAKA
STAIN Salatiga, Pedoman Menulis Skripsi dan tugas Akhir,2008 Tanzeh, Ahmad,Pengantar Metode Penelitian, Yogyakarta: TERAS, 2009 Sukandarruidi,
Metodologi
Penelitian,
Petunjuk
Praktis
untuk
peneliti
pemula,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004 Ruslan, Rosady, Metode Penelitian, Public Relations dan Komunikasi, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, cet. 5, 2010 A. Rasyid, Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi Baru, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, cet. 6 1998 Sudarsono, Kamus Hukum edisi baru, Jakarta: PT Rineke Cipta dan PT. Bina Adiaksara, cet. 4, 2005 Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Yogyakarta:
LIBERTY, cet. 6, 2002 Sarwono, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2011 Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
91
Surat Edaran Mahkamah Agungs Peraturan Mahkamah Agung www.badilag.net www.pa-salatiga.go.id