FILSAFAT SOSIAL DALAM DIMENSI KEKERASAN SOSIAL DAN KEJAHATAN SADIS (Ermila Susilo/201310270211006) Masgister Sosiologi Pasca Sarjana UMM
Tujuan Kajian filsafat sosial yang menjelaskan bagaimana kekerasan sosial dan kejahatan sadis atau kejahatan yang penuh kebencian terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi individu khususnya dan masyarakat pada umumnya. Mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan sosial serta kejahatan sadis lebih banyak dilatarbelakangi sikap atau paham diskriminatif baik pada aspek agama, etnis, ras, gender, kasta, sosial dan politik. Mencermati beberapa kasus kekerasan sosial serta kejahatan sadis yang pernah terjadi di beberapa negara Mengetahui bentuk-bentuk akomodasi dalam menyikapi dan menyelesaikan kekerasan sosial dan kejahatan sadis di masyarakat
Pendahuluan Dalam hidup bermasyarakat manusia tak pernah lepas dengan interaksi. Baik interaksi individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Proses interaksi yang dijalani bisa secara asosiatif maupun dissosiatif. Tidak semua proses interaksi yang dijalani manusia baik sebagai individu maupun kelompok berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan dan menjadi tujuan yang berbuah keharmonisan. Namun sebaliknya kehidupan interaksi manusia juga banyak yang diwarnai adanya konflik, benturan, persaingan bahkan sampai pada kekerasan dan saling menghancurkan pihak lawan. Kajian filsafat sosial dalam dimensi kekerasan sosial dan kejahatan sadis atau kejahatan ekstrim yang terjadi dimasyarakat mencoba mengangkat hal ini menjadi sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian dan penyelesaian untuk mewujudkan kehidupan yang teratur dan harmonis dalam hidup berdampingan di masyarakat yang beraneka ragam. Allen Grimshaw dalam bukunya Encyclopedia; Konflik, Kekerasan dan Perdamaian, mendefinisikan kekerasan sosial sebagai kekerasan yang ditujukan terhadap individu dan propertinya berkenaan dengan hal-hal yang melekat padanya (kelas sosial ekonomi, etnis, kebangsaan, agama, ras dan lain-lain). Bentuk-bentuk kekerasan sosial yang terjadi masyarakat dapat berupa : ancaman, kekerasan fisik, umpatan bahasa kasar, pelecehan, pemukulan, pengeboman, pembakaran,
1
penyaliban, ledakan, penyerangan dengan gas beracun bahkan sampai pada penggunaan dalam skala besar seperti senjata pemusnah masal. Sehingga kekerasan dapat terjadi apabila pelaku menargetkan korban karena adanya faktor keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu seperti ras, agama, kasta, orientasi seksual, etnis, kebangsaan, usia, jenis kelamin atau gender, serta afiliasi politik. Beberapa peristiwa kekerasan sosial dan kejahatan sadis yang pernah terjadi di belahan dunia diantaranya:
Serangan masyarakat Athena terhadap Melos Penganiayaan orang Kristen di Roman Pembantaian orang Amerika pada zaman Kekaisaran Ottoman Genosida Nazi orang Yahudi Pembersihan Etnis di Bosnia Genosida di Rwanda Serangan ekstrim di WTC Pentagon AS (11 september 2011 Kekerasan sosial di India (1947) Serangan Naxal di Assam. Andhra Pradesh Ledakan Mumbai, 1993 Pengeboman kereta lokal, 2006 Teror pemogokan di Mumbai, 2008 Serangan Australia terhadap mahasiswa kaum pendatang India
Insiden-insiden kekerasan sosial dan kejahatan sadis/ekstrim yang pernah terjadi di beberapa negara di dunia cenderung dilatarbelakangi sikap atau paham diskriminatif berdasarkan kategori-kategori keanggotaan kelompok sosial tertentu di masyarakat. Diperlukan upaya atau sikap akomodatif dengan bentuk-bentuk yang menyesuaikan terhadap kondisi atau peristiwa baik yang terlibat atau yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan sosial dan kejahatan sadis tersebut.
DISKRIMINASI Diskriminasi dapat diartikan sebagai pembedaan perilaku atau sikap yang diarahkan pada anggota kelompok sosial secara negatif. Joan Ferante pakar sosiolog mendefinisikan bahwa diskriminasi sebagai perlakuan yang tidak sama secara sengaja atau tidak sengaja terhadap individu ataupun kelompok berdasarkan keanggotaan kelompok tertentu yang tidak berhubungan dengan prestasi, kemampuan atau riwayat kinerja. Banyak fakta yang membuktikan bahwa populasi minoritas cenderung mengalami berbagai bentuk diskriminatif, seperti yang dialami orang-orang Afrika
2
yang tinggal di negara-negara barat, perlakuan diskriminatif masyarakat Nagaland, Mizoram dan daerah-daerah di India Timur. Segregasi merupakan bentuk diskriminatif yang dialami masyarakat dengan kelompok ras yang berbeda tersebut. Dapat kita pahami bahwa diskriminasi merupakan perilaku negatif yang diarahkan terhadap anggota kelompok sosial yang menjadi objek prasangka. Prasangka lebih mengarah pada pandangan yang subjektif bukan pada kesetaraan atau kesejajaran. Dengan ungkapan lain lebih memandang sebagai kekurangan orang/kelompok lain. Perilaku diskriminatif misalnya terlihat pada tindakan membatasi kursi di bus untuk anggota kelompok tertentu, melarang ke tempat restoran umum, sekolah, lingkungan tertentu, ancaman langsung berkaitan dengan pekerjaan, pernikahan. Perilaku-perilaku diskriminatif terus tertanam dalam tatanan sosial, politik, dan ekonomi sebagian besar negara sehingga mewariskan potensipotensi konflik bahkan kekerasan sosial yang terus menerus di masyarakat. Bentukbentuk diskriminasi di masyarakat diantaranya :
Diskriminasi ras Diskriminasi gender/jenis kelamin Diskriminasi agama Diskriminasi etnis Diskriminasi fisik dan mental Diskriminasi usia Diskriminasi kasta
Diantara berbagai bentuk diskriminasi dimasyarakat, bentuk yang paling menonjol yang terjadi di beberapa negara hingga terjadi kekerasan sosial dan kejahatan sadis yaitu diskriminasi ras, diskriminasi agama dan diskriminasi kasta.
Diskriminasi Rasial Diskriminasi rasial adalah pembedaan atau penilaian yang tidak merata atas dasar ras. Rasisme merupakan paham yang mengelompokkan manusia dalam stratifikasi ras genetik bebeda. Hal ini menunjukkan bahwa satu kelompok ras merasa lebih unggul dibandingkan kelompok ras yang lain. Prasangka rasial ini berawal dari pandangan yang keliru bahwa perbedaan fisik mencerminkan perbedaan yang diwariskan dalam karakter, kepribadian, motivasi, kecerdasan dan potensial. Diskriminasi rasial sering menyebabkan koflik interpersonal dan pembedaan perilaku dalam hal pekerjaan, perumahan dan pelayanan. Bentukbentuk diskriminasi rasial yang pernah terjadi di masyarakat diantaranya: Apertheid di Afrika Selatan Holocaust Yahudi di Jerman Serangan rasial terhadap mahasiswa India
3
Awalnya kata ras digunakan sebagai dukungan untuk imperialisme yang menyertai perbudakan, kemudian digunakan untuk membedakan warna kulit dan ciri fisik, konsep ras ini yang kemudian dipakai di awal perekembangan dunia modern. Pada era kuno tidak mengidentifikasikan orang dengan ras tapi diidentifikasi berdasarkan geografisnya. Misal seorang Afrika disebut Ethiopia dan orang Mesir disebut Negro
Diskriminasi Agama Diskriminasi agama adalah perlakuan yang berbeda terhadap individu atau kelompok yang didasarkan pada perbedaan keyakinan/kepercayaan. Banyak kekerasan sosial dan kejahatan sadis karena faktor diskriminasi agama seperti di India, Afrika Selatan, Inggris, Yunani, dan beberapa kasus yang terjadi di berbagai benua menunjukkan bahwa diskriminasi agama ini sudah menjadi isu global di dunia. Menurut A. Yasemin (pakar politik) “bahwa diskriminasi agama harus dipahami dalam tiga hal yaitu agama, kesetaran dan konflik etnis.” Dijelaskan lebih lanjut bahwa “Sebelumya agama digunakan sebagai sumber validasi untuk konflik dan kekerasan antaretnis. Dan dipakai sebagai alat diskriminasi oleh pemerintah yang pada akhirnya memicu konflik keagamaan di masyarakat multietnis.” Diskriminasi agama terjadi ketika manusia mengabaikan : Kesetaraan perlindungan hukum Keadilan dalam pelayanan kesehatan Kesempatan yang sama pada pekerjaan, pendidikan, perumahan dan pelayanan fasilitas umum Hak kebebasan beragama
Diskriminasi Kasta Kasta adalah suatu tatanan sosial yang membagi masyarakat secara hierarkhis. Dalam sejarah India kuno Kasta menggambarkan tiga kelas masyarakat yang atas disebut arya atau murni dan sudra varna disebut anarya atau tidak murni. Diskriminasi kasta muncul karena tatanan sosial kasta lebih menekankan hierarkhi dan saling ketergantungan pada kelompok kastanya masing-masing dibanding dengan kesetaraan dan kemerdekaan dalam masyarakat kasta. Lapisan masyarakat yang terbagi dalam status kasta atas (Brahmana dan Ksatria) mempunyai kedudukan yang tinggi dimasyarakat. Menurut Pitirim A. Sorokin, dasar terjadinya lapisan dalam masyarakat tersebut, adalah karena tidak ada keseimbangan antara hak dan kewajiban antar sesama anggota masyarakat. Akibatnya hanya golongan atas yang memiliki hak-hak tertentu, sementara golongan bawah tidak. Apalagi
4
dalam sistem kasta dilarang seseorang naik atau pindah ke golongan kasta yang lebih tinggi dengan cara apapun. Status kasta diperoleh secara ascribed tanpa pencapaikan seseorang dengan cara kelahiran medapatkan status kasta tersebut dan berlaku seumur hidup. India merupakan gambaran masyarakat yang multietnis dengan penduduk yang sangat padat, pembedaan kasta berdasarkan kelahiran dan pekerjaan, ratusan suku bangsa. Dimana juga melahirkan diskriminasi kasta diantaranya kekejaman yang diterima kaum Dalit.
Apa yang menjadi wacana dari filsafat sosial dalam dimensi kekerasan sosial dan kejahatan sadis atau ekstrim dapat disimpulkan bahwa kecenderungan orang atau kelompok diserang dikarenakan : Mereka tinggal di daerah rawan konflik/perang Kepercayaan, tempat dan waktu yang salah/berlawanan dapat membahayakan kelangsungan hidup mereka Menentang aturan penguasa Mengabaikan, kekayaan mereka yang diinginkan oleh para tentara atau pejabat Pemimpin-pemimpin yang mengancam dan berpotensi melawan. Intinya orang yang tidak sepaham maka akan dibantai
Bentuk-Bentuk Nyata Kekerasan Sosial Agama mampu membangkitkan emosi dan komitmen yang kuat untuk beramal dan pengorbanan diri. Sehingga orang akan berjuang sesuai panggilan iman yang diyakini. Namun dalam banyak fakta membuktikan, seolah-olah agama memperbolehkan perang bahkan sampai pada penggunaan kekerasan demi mendapatkan kebaikan yang lebih besar. Beberapa bentuk kekerasan sosial yang terjadi dengan faktor penyebab perbedaan agama atau perbedaan keyakinan diantaranya : Perang Salib PERANG SALIB (1095 – 1291 M) Sebab-sebab Terjadinya Perang Salib Sejumlah ekspedisi militer yang dilancarkan oleh pihak Kristen terhadap.kekuatan muslim dalam periode 1096 – 2073 M. dikenal sebagai perang salib. Hal ini disebabkan karena adanya dugaan bahwa pihak Kristen dalam melancarkan serangan tersebut didorong oleh motivasi keagamaan, selain itu mereka menggunakan simbol salib. Namun jika dicermati lebih mendalam akan terlihat
5
adanya beberapa kepentingan individu yang turut mewarnai perang salib ini. Berikut ini adalah beberapa penyebab yang turut melatarbelakangi terjadinya perang salib. Pertama, bahwa perang salib merupakan puncak dari sejumlah konflik antara negeri barat dan negeri timur, jelasnya antara pihak Kristen dan pihak muslim. Perkembangan dan kemajuan ummat muslim yang sangat pesat, pada akhirakhir ini, menimbulkan kecemasan tokoh-tokoh barat Kristen. Terdorong oleh kecemasan ini, maka mereka melancarkan serangan terhadap kekuatan muslim. Kedua, munculnya kekuatan Bani Saljuk yang berhasil merebut Asia Kecil setelah mengalahkan pasukan Bizantium di Manzikart tahun 1071, dan selanjutnya Saljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan dinasti Fatimiyah tahun 1078 M. Kekuasaan Saljuk di Asia Kecil dan yerusalem dianggap sebagai halangan bagi pihak Kristen barat untuk melaksanakan haji ke Bait al-Maqdis, padahal yang terjadi adalah bahwa pihak Kristen bebas saja melaksanakan haji secara berbondong-bondong, pihak Kristen menyebarkan desas-desus perlakuan kejam Turki Saljuk terhadap jemaah haji Kristen. Desas-desus ini membakar amarah umat Kristen-Eropa. Ketiga, bahwa semenjak abad ke sepuluh pasukan muslim menjadi penguasa jalur perdagangan di lautan tengah. Para pedagang Pisa, Vinesia, dan Cenoa merasa terganggu atas kehadiran pasukan lslam sebagai penguasa jalur perdagangan di laut tengah ini. Satu-satunya jalan untuk memperluas dan memperlancar perdagangan mereka adalah dengan mendesak kekuatan muslim dari lautan ini” Keempat, propaganda Alexius Comnenus kepada Paus Urbanus ll. Untuk membalas kekalahannya dalam peperangan melawan pasukan Saljuk. Bahwa paus merupakan sumber otoritas tertinggi di barat yang didengar dan ditaati propagandanya. Paus Urbanus II segera rnengumpulkan tokoh-tokoh Kristen pada 26 November 1095 di Clermont, sebelah tenggara Perancis. Dalam pidatonya di Clermont sang Paus memerintahkan kepada pengikut kristen agar mengangkat senjata melawan pasukan muslim. Tujuan utama Paus saat itu adalah memperluas pengaruhnya sehingga gereja-gereja Romawi akan bernaung di bawah otoritasnya. Dalam propagandanya, sang Paus Urbanus ll menjanjikan ampunan atas segala dosa bagi mereka yang bersedia bergabung dalam peperangan ini. Maka isu persatuan umat Kristen segera bergema menyatukan negeri-negeri Kristen memenuhi seruan sang Paus ini. Dalam waktu yang singkat sekitar 150.000 pasukan Kristen berbondong-bondong memenuhi seruan sang Paus, mereka berkumpul di Konstantinopel. Sebagian besar pasukan ini adalah bangsa Perancis dan bangsa Normandia. Jalannya Peperangan Perang salib yang berlangsung dalam kurun waktu hampir dua abad, yakni antara tahun 1095 – 1291 M terjadi dalam serangkaian peperangan. Menurut sejarah terbagi dengan periode Perang salib I sampai dengan Perang Salib VIII. 6
Setelah berakhir perang salib ke delapan ini, pasukan Salib-Kristen berkali-kali berusaha mernbalas kekalahannya, namun selalu mengalami kegagalan. Akibat Perang Salib Perang salib yang berlangsung lebih kurang dua abad membawa beberapa akibat yang sangat berarti bagi perjalanan sejarah dunia. Perang salib ini menjadi penghubung bagi bangsa Eropa mengenali dunia lslam secara lebih dekat yang berarti kontak hubungan antara barat dan timur semakin dekat. Kontak hubungan barat-timur ini mengawali terjadinya pertukaran ide antara kedua wilayah tersebut. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tata kehidupan masyarakat timur yang maju menjadi daya dorong pertumbuhan intelektual bangsa barat, yakni Eropa. Hal ini sangat-besar andil dan peranannya dalam melahirkan era renaissance di Eropa. Pasukan salib merupakan penyebar hasrat bangsa Eropa dalam bidang perdagangan dan perniagaan terhadap bangsa-bangsa timur. Selama ini bangsa barat tidak mengenal kemajuan pemikiran bangsa timur. Maka perang salib ini juga membawa akibat timbulnya kegiatan penyelidikan bangsa Eropa mengenai berbagai seni dan pengetahuan penting dan berbagai penemuan yang telah dikenali ditimur. Misalnya, kompas kelautan, kincir angin, dan lain-lain, Mereka juga menyelidiki sistem pertanian, dan yang lebih penting adalah mereka rnengenali sistem industri timur yang telah maju. Ketika kembali ke negerinya, Eropa, mereka lantas mendirikan sistem pemasaran barang-barang produk timur. Masyarakat barat semakin menyadari betapa pentingnya produk-produk tersebut. Hal ini menjadikan sernakin pesatnya pertumbuhan kegiatan perdagangan antara timur dan barat. Kegiatan perdagangan ini semakin berkembang pesat seiring dengan kemajuan pelayaran di laut tengah. Namun, pihak muslim yang semula menguasai jalur pelayaran di laut tengah kehilangan supremasinya ketika bangsa-bangsa Eropa menempuh rute pelayaran laut tengah secara bebas. Namun demikian kekerasan-kekerasan yang terjadi dalam perang salib dari sudut pandang yang lain dianggap sebagai seperangkat kejahatan bersejarah di dunia. Misalnya yang terjadi di Irak, Militer Amerika banyak yang melakukan kejahatan 7
sadis dengan memenggal kepala sandera, dan hal ini merupakan tindakan tabu dalam tindakan militer. Perjalan sejarah Perang Salib saat ini cenderung dimaknai sebagai kampanye militer yang mengacu pada Peradaban Barat baik dampak yang ditimbulkan secara positif dan negatif selama Perang Salib.
JIHAD Jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam. Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan din Allah atau menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Qur’an. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikkan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada umat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khlifah Allah di bumi. Pelaksanaan jihad dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pada konteks diri pribadi, jihad berusaha membersihkan pikiran dari pengaruh-pengaruh ajaran selain Allah dengan perjuangan spiritual di dalam diri, mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Komunitas jihad berusaha agar Din pada masyarakat sekitar maupun keluarga tetap tegak dengan dakwah dan membersihkan mereka dari kemusyrikan.
Kedaulatan jihad berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar, maupun pengkhianatan dari dalam agar ketertiban dan ketenangan beribadah pada rakyat di daulah tersebut tetap terjaga termasuk di dalamnya pelaksanaan Jihad ini hanya berlaku pada daulah yang menggunakan Din Islam secara menyeluruh.
Jihad dan perang Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh yang tidak mengenal prinsip-prinsip agama Islam sebagai 'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah Qital, bukan Jihad. Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar). Pada dasarnya kata arti jihad adalah "berjuang" atau "ber-usaha dengan keras" , namun bukan harus berarti "perang dalam makna "fisik" . Jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik. Jika mengartikan Jihad sebagai "perjuangan membela agama" , maka lebih tepat bahwa ber-Jihad adalah : "perjuangan menegakkan syariat Islam" . Sehingga 8
berjihad harus -lah dilakukan setiap saat , 24 jam sehari , sepanjang tahun , seumur hidup . Etika perang Muhammad Semasa kepemimpinan Nabi Muhammad dan khulafaur Rasyidin antara lain diriwayatkan bahwa Abu Bakar sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan Romawi memberikan pesan pada pasukannya , yang kemudian menjadi etika dasar dalam perang yaitu:
Jangan berkhianat. Jangan berlebih-lebihan. Jangan ingkar janji. Jangan mencincang mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita. Jangan membakar pohon, menebang atau menyembelih binatang ternak kecuali untuk dimakan. Jangan mengusik orang-orang Ahli Kitab yang sedang beribadah.
Jihad dan terorisme Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad, Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran). Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau !".(QS 4:75) Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan!, bukan dalam bentuk terorisme, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi. "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama AllahIslam), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." Namun pada kenyataannya insiden-insiden yang mengarah pada tindakan kekerasan, terorisme dan kejahatan-kejahatan ekstrim melabeli diri dengan kata 9
JIHAD banyak terjadi baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Konsep jihad dari banyak insiden tidak mengarah pada penyebaran agama, tetapi cenderung pada perang penaklukan teritorial dan kekuasaan. AKU DAN KAMU DALAM POLITIK IDENTITAS MANUSIA Dalam perspektif filosofis, akar kekerasan muncul dalam fenomena identifikasi diri manusia ke dalam: “aku dan kamu”, dan lebih jauh lagi ke dalam “kita dan mereka”. Indentifikasi inilah yang selanjutnya menjadi akar lahirnya permusuhan yang berujung kekerasan. Pelaku kekerasan biasanya melakukan tindak kekerasan terhadap korbannya, karena sebagai “sesama” manusia mereka lebih menonjolkan ke-aku-annya dan ke-kita-annya. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena menurut Simmel (1995) manusia secara tak terhindarkan akan berhadapan dengan kondisikondisi epistemologis, yakni proses pengenalan manusia. Proses meng-kamu-kan dan me-mereka-kan adalah proses pengasingan dalam pengenalan manusia sebagai sesama. Kamu dan Mereka dianggap asing, bukan hanya sekedar sebagai penduduk, warga negara atau pengikut sebuah kelompok, melainkan lebih dari itu asing sebagai manusia. Dengan kata lain, korban kekerasan didehumanisasikan dan didepersonalisasikan sampai pada status obyeknya. Ketika status obyek manusia lain didehumanisasikan dan dipersonalisasikan, menjadi sangat mungkin bagi manusia untuk mengkondisikan tindakan kekerasan terhadap Kamu dan Mereka ke dalam struktur pikiran manusia itu sendiri. Dari penjelasan di atas, sekurang-kurangnya ada dua hal yang harus kita jadikan acuan. Pertama, pengenalan manusia atas manusia lain mengandung momen dominasi karena mengenali juga berarti mendefinisikan. Kekerasan akan semakin nyata jika yang didefinisikan itu tak mampu mendefinisikan diri dan tunduk pada dikte instansi di luar dirinya. Kedua, pengenalan manusia atas manusia lain bisa dimulai dengan stereotipikasi bahwa orang lain adalah anu-nya si itu atau itu-nya si anu (dengan melekatkannya pada atribut-atribut di luar diri) dan bukan sebagai pribadi atau individu pada dirinya sendiri (an sich). Stereotipikasi yang netral ini dalam situasi konflik akan menjadi stigmatisasi yang destruktif. Itulah gambaran tentang musuh (feindibild). Dengan demikian melalui perspektif filosofis terhadap kekerasan kita temukan fakta bahwa di dalam rasio kita sudah melekat kemampuan abstraksi yang dalam situasi ancaman menjadi dehumanisasi dan depersonalisasi manusia yang lainnya. Ini juga yang melahirkan ideologi-ideologi dan sistem-sistem nilai yang mendisosiasikan manusia dalam aku dan kamu, kita dan mereka untuk masuk ke dalam kerangka kawan dan lawan. Dalam dikotomi ini, korban kekerasan juga dipersepsi sebagai ancaman individu ataupun kelompok. Dari penjelasan perspektif filosofis terhadap kekerasan seperti di atas, dalam konteks problem kekerasan teologis, menurut saya, kita bisa mencari jalan keluarnya pertama-tama dengan mengembalikan essensi agama itu sendiri. Secara esensial agama memang dianggap mampu memberi jawaban atas pertanyaan eksistensial manusia mengenai apa dan siapa dirinya ditengah alam semesta yang (terkadang) membingungkan ini. Dari sini agama kemudian berkembang menjadi sumber penemuan identitas diri dan juga identitas kelompok. Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan individu-individu tertentu ke dalam kelompokkelompok tertentu dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari satu ke yang 10
lainnya. Pembedaan ini menciptakan dinamika psikologis antara individu: aku dan kamu, antara kelompok: kita dan mereka, yang memiliki kemungkinan untuk menguat dan mengeras serta melahirkan ekslusivisme ketika muncul konflik antar umat beragama. Agar terpelihara secara baik, identifikasi aku dan kamu serta kita dan mereka membutuhkan legitimasi terus menerus agar tidak usang. Kaum agamawan fundamentalis biasanya mengembangkan legitmiasi tersebut lewat narasi-narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan dan sebagainya. Narasi besar tersebut, agar semakin kokoh, diperkuat dengan aspek-aspek simbolisme dari ekspresi keagamaan seperti pakaian, makanan, ruang publik, nama-nama dan sebagainya. Inilah yang menambah kuatnya identifikasi diri sebagai aku dan kamu, sebagai kita dan mereka, serta mempertegas perbedaan di antara banyak individu dan kelompok. Dalam situasi konflik yang genting, narasi besar tersebut dapat berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik dan kekerasan; aku, kita dianggap suci dan disucikan, sementara kamu dan mereka dianggap setan dan dilecehkan. Nah, di sinilah agama dengan fungsinya sebagai pemberi identities kelompok dan juga narasi besar agama yang menopangnya kemudian berkembang jauh ke dalam apa yang mencirikan pola utama kekerasan atas nama agama, yakni legitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam jihad besar, perjuangan suci, melawan kelompok-kelompok lain, kamu dan mereka. Pemberian legitimasi itu sekurang-kurangnya dapat dilakukan melalui 3 cara yakni: (1) seruan formal kepada tradisi keagamaan tertentu, yang menunjukkan situasisituasi khusus dimana penggunaan kekerasan dapat dibenarkan, (2) penguatan narasi-narasi yang menunjukkan kejahatan dan kebengisan diri atau kelompok lain, kamu yang mengancam aku, dan mereka yang mengancam keselamatan kita dan (3) rujukan kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di mana tindakan kekerasan, setidaknya dalam situasi tertentu, dapat dibenarkan. EPISTEMOLOGI KEKERASAN: AKAR INTERNAL DAN EKSTERNAL Secara epistemologis, akar kekerasan bisa kita lihat sumbernya dalam 2 hal yakni; yang bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri, maupun yang bersumber dari luar diri manusia, sebagai stimulus (rangsangan) terhadap lahirnya tindak kekerasan. Dengan demikian penjelasan tentang epistemologi kekerasan, termasuk kekerasan atas nama agama juga mengandaikan 2 sumber yaitu sumber dari dalam (internal) dan sumber dari luar (eksternal). Di sini kita berhadapan dengan apa yang oleh filsafat disebut sebagai akar-akar epistemologis kekerasan, yaitu kekerasan dari mengakar dari dalam (diri manusia) yang bersifat intsingtif dan dari luar yang bersifat stimulus (rangsangan). Untuk akar epistemologi kekerasan yang bersifat internal (dari dalam diri manusia dan bersifat instingtif), kita bisa melihat penjelasannya di dalam buku karya Konrad Lorenz (1966) yang berjudul On Agression. Dalam buku tersebut, Lorenz secara brilian menjelaskan bahwa kecenderungan kita terhadap perang nuklir dan kekejaman-kekejaman yang lainnya, bukan disebabkan oleh faktor-faktor biologis diluar kendali kita seperti kondisi sosial, politik dan ekonomi yang kita ciptakan, melainkan digerakkan oleh naluri (insting) manusia sebagai sumber energi yang 11
selalu mengalir dan harus selalu dialirkan. Jadi, itu semua terjadi tidak selalu merupakan akibat dari reaksi terhadap rangsangan luar. Lorenz berpendapat bahwa energi khusus untuk tindakan naluriah (instingtif) manusia mengumpul secara kontinyu (terus-menerus) dipusat-pusat syaraf yang ada kaitannya dengan pola tindakan yang dilakukan manusia, termasuk tindak kekerasan. Tindakan kekerasan merupakan ledakan yang terjadi, ketika didalam syaraf tadi sudah terkumpul cukup energi sekalipun tanpa adanya rangsangan dari luar. Dengan demikian, menurut Lorenz, tindak agresifitas dan kekerasan manusia pada dasarnya bukanlah reaksi terhadap stimulus (rangsangan) dari luar, melainkan rangsangan dari dalam (internal) yang sudah terpasang dan mencari pelampiasan serta akan terekspresikan sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat kecil, bahkan tidak ada. Model agresi dan kekerasan manusia yang bersifat naluriah (instingtif ini), seperti halnya model libido Freud, dinamai model hidrolik yang dianalogikan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh air atau uap di dalam tabung tertutup. Asumsi Lorenz ini secara lebih luas juga telah menjadi dasar kuatnya paham realisme dalam hubungan manusia antar bangsa. Sementara itu, untuk akar epistemology kekerasan yang bersifat eksternal, berasal dari luar diri manusia, sebagai stimulus (rangsangan) tindak kekerasan, dapat kita lihat pada pandangan sekelompok filsuf yang bertentangan secara diamteris dengan pendapat Lorenz tentang akar kekerasan yang bersifat naluriah (instingtif). Mereka menyatakan bahwa kekerasan merupakan bentuk manifestasi dari stimulus (rangsangan) yang diperoleh manusia dari luar dirinya. Secara umum pandangan ini dianut oleh kaum environmentalis. Menurut pemikiran mereka, tindakan manusia secara eksklusif (termasuk tindak kekerasan) diciptakan oleh faktor-faktor lingkungan yakni oleh kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, jadi bukan oleh faktor-faktor “bawaan” yang bersifat naluriah (instingtif) tadi. Hal ini ada benarnya juga, terutama bila dikaitkan dengan fenomena kekerasan yang merupakan salah satu penghambat kemajuan manusia. Pandangan ini, dalam bentuknya yang radikal, dikemukakan oleh para filsuf era pencerahan. Manusia, menurut para filsuf Pencerahan, di-seyogyakan terlahir “baik” dan bernalar. Sementara itu, yang membuat mereka memiliki tabiat jahat adalah keberadaan institusi, struktur dan realitas di luar diri manusia yang memperlihatkan teladanteladan buruk. SOLUSI FILOSOFIS BAGI KEKERASAN TEOLOGIS Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, tentang intergrasi kekerasan teologis, politik identitas manusia, dan epistemologi kekerasan menyangkut akar internaleksternal, solusi filosofis yang didapat diberikan bagi problem kekerasan teologis adalah: Pertama, dapat dimulai dengan jalan menanyakan: dalam kondisi psikologis yang bagaimana para aktor agama ini melakukan kekerasan teologis? Jawaban ini diperlukan karena sebagaimana penjelasan tentang kekerasan naluriah (instingtif) yang berasal dari dalam diri manusia, akar internal itu juga bisa menjadi sumber kekerasan. Menurut Muis Naharong (2005) mereka melakukan tindakan kekerasan seperti penyerangan, pembunuhan, bom bunuh diri dan sebagainya dengan 12
mengatasnamakan agama adalah ketika mereka mengalami depresi mental yang parah sekali. Mereka sudah putus asa dalam menghadapi masa depan (versi mereka, sesuai yang mereka cita-citakan) yang sudah buntu akibat keadaan sosial, politik, ekonomi dan faktor lainnya dari masyarakatnya yang sangat tidak menggembirakan bagi mereka. Kedua, yang juga harus dicari jawabannya adalah pertanyaan tentang hal-hal diluar naluri (insting) manusia yang bisa memberikan stimulus (rangsangan) terhadap manusia untuk melakukan tindakan kekerasan teologis. Dalam studinya baru-baru ini, Scott Assembly menyatakan bahwa menurutnya kekerasan teologis terjadi ketika para pemimpin ekstremis suatu agama tertentu, (dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat), telahberhasil memanfaatkan argumen-argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk menyuruh orang lain (umatnya) melakukan tindakan kekerasan. Jadi stimulus pertama datang dari faktor pemimpin agama yang dalam kontek masyarakat beragama yang bersifat hirarkhis sangat memegang kendali masyarakatnya. Stimulus kedua (menurut Muis Naharong) , bisa datang ketika tindak kekerasan teologis merupakan akibat, respon dan reaksi yang berlebihan terhadap munculnya ketidakadilan dalam lingkungan sosial, ekonomi dan politik domestik (lokal), meskipun hal tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Selama ketidakadilan dalam bidang-bidang tersebut tidak dapat dilenyapkan, maka tindakan kekerasan teologispun akan mungkin bermunculan. Stimulus ketiga, menyatakan bahwa kekerasan teologis muncul akibat adanya ketimpangan dan ketidakadilan politik global (internasional). Hal ini bisa dikaitkan pada aksi kekerasan teologis yang dilakukan karena adanya hegemoni dan dominasi serta represi kelompok atau negara tertentu secara tak terkontrol. Hegemoni, dominasi dan represi ini kemudian melahirkan ketidakadilan dan kemiskinan serta memunculkan epistemologi kebencian yang mendalam dikalangan umat beragama. Ketidakadilan, kemiskinan dan kebencian tersebut kemudian dikaitkaitkan dengan konflik antar agama, terutama apabila kelompok yang menghegemoni, mendominasi dan merepresi berasal dari agama yang berbeda. Atau, kalaupun ternyata berasal dari satu agama yang sama, bisa dikait-kaitkan dengan konflik aliran intra-agama. Dari kedua hal di atas, pencarian jawaban atas pertanyaan mengenai solusi filosofis kekerasan teologis akan membawa kita, pertama-tama pada penelitian tentang sumber konflik yang bersifat naluriah (instingtif), yang merupakan implementasi dari kondisi psikologis manusia. Ekspersi internal manusia seperti ini harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dan dalam konteks yang luas. Hal ini diperlukan, karena kondisi kejiwaan (psikologis) manusia berbeda-beda dan selalu berubah. Pengenalan terhadap karakter psikologis serta konteks dari keberbedaan dan perubahan psikologis manusia yang mengarah pada tindak kekerasan akan membantu kita mencari solusi praksis penyelesaian kekerasan teologis, terutama yang sumbernya dari alasan psikologis manusia yang bersifat naluriah (instingtif). Selanjutnya, solusi filosofis kekerasan teologis, terutama yang menyangkut stimulus (rangsangan) dari luar diri manusia bermanfaat dalam rangka menciptakan strategi untuk menentang dan mengatasi segala bentuk ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, dalam suatu lingkungan struktural suatu masyarakat, 13
baik dalam konteks local, domestik (nasional) maupun global (internasional). Dalam hal ini negara dan perangkat birokrasinya, dan organisasi-organisasi politik internasional, berkewajiban untuk menciptakan keseimbangan hidup diantara warga negaranya dan meminimalisir potensi ketidakadilan, mengentaskan kemiskinan dan kebodohan, serta menyelesaikan problem kemsayarakatan lainnya. Dengan campur tangan negara dan organisasi politik internasional, penyelesaian problem kekerasan teologis diharapkan bisa menyentuh akar-akar permasalahannya. Upaya stimulatif ini tentu juga harus dibarengi dengan kesediaan kalangan agamawan untuk mengajak umat beragama kepada militansi anti-kekerasan (non-violence militancy) seperti yang telah dilakukan Gandhi (Hindu), Martin Luther King (Protestan), Dalai Lama (Buddha), Gus Dur (Islam) dan sebagainya. Campur tangan kalangan agamawan akan menjadikan upaya penyelesaian problem kekerasan teologis menjangkau publik umat beragama secara luas. Sementara itu kalangan intelektual diharapkan berkontribusi, terutama pada pencarian alternatif solusi-solusi problem kehidupan manusia dengan basik keilmuan masing-masing. Campur tangan mereka diperlukan agar upaya penyelesaikan problem kekerasan teologis akan bersifat menyeluruh, menjangkau segala bidang kehidupan.
DHARMAYUDDHA Dharmayuddha adalah bahasa Sansekerta kata terdiri dari dua akar: dharma berarti kebenaran, dan Yuddha berarti perang. Dalam teks-teks India kuno, dharmayuddha mengacu pada perang yang berjuang dengan mengikuti beberapa aturan yang membuat adil perang. Misalnya, dalam perang benar, sama dengan melawan sama. Chariot prajurit tidak seharusnya menyerang kavaleri dan infanteri, mereka pada gajah tidak seharusnya menyerang infanteri, dan sebagainya. Aturan ini juga melarang penggunaan senjata surgawi (senjata ilahi diberikan oleh para dewa) dari prajurit biasa (sebagai lawan tentara yang terpandang). Aturan keterlibatan juga dalam Mahabharata epik, yang menggambarkan perang Kurukshetra , kedua belah pihak setuju pada aturan berikut: mengatur bagaimana prajurit yang berurusan dengan warga sipil. Tidak ada yang harus menyerang musuh yang telah hilang sementara atau menjatuhkan senjata mereka. Kehidupan perempuan, tawanan perang, dan petani juga sakral. Penjarahan tanah itu dilarang. Dharmayuddha juga menandakan bahwa perang tidak berjuang untuk keuntungan atau alasan egois. Dharmayuddha Sebuah dilancarkan untuk menegakkan prinsipprinsip kebenaran.
Pertempuran harus dimulai tidak lebih awal dari matahari terbit dan berakhir tepat saat matahari terbenam. Beberapa prajurit mungkin tidak menyerang pejuang tunggal. Dua prajurit mungkin duel, atau terlibat dalam pertempuran pribadi berkepanjangan, hanya jika mereka membawa senjata yang sama dan mereka berada di gunung yang sama (tidak ada gunung, kuda, gajah, atau kereta). 14
Tidak ada prajurit dapat membunuh atau melukai seorang prajurit yang telah menyerah. Orang yang menyerah menjadi tawanan perang dan kemudian akan tunduk pada perlindungan tawanan perang. Tidak ada prajurit dapat membunuh atau melukai seorang prajurit bersenjata. Tidak ada prajurit dapat membunuh atau melukai seorang prajurit sadar. Tidak ada prajurit dapat membunuh atau melukai seseorang atau binatang tidak mengambil bagian dalam perang. Tidak ada prajurit dapat membunuh atau melukai seorang prajurit yang kembali berpaling. Tidak ada prajurit bisa menyerang hewan tidak dianggap sebagai ancaman langsung. Aturan khusus untuk setiap senjata harus diikuti. Misalnya, dilarang untuk menyerang di bawah pinggang di gada peperangan. Prajurit tidak boleh terlibat dalam setiap 'tidak adil' perang apapun. Kehidupan perempuan, tawanan perang, dan petani adalah kudus. Perang di Kurukshetra yang merupakan bagian penting dari wiracarita Mahabharata, dilatarbelakangi perebutan kekuasaan antara lima putra Pandu (Pandawa) dengan seratus putra Dretarastra (Korawa). Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India. Pertempuran tersebut tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, sehingga kadang-kadang disebut terjadi pada "Era Mitologi". Beberapa peninggalan puing-puing di Kurukshetra (seperti misalnya benteng) diduga sebagai bukti arkeologinya. Menurut kitab Bhagawadgita, perang di Kurukshetra terjadi 3000 tahun sebelum tahun Masehi (5000 tahun yang lalu) dan hal tersebut menjadi referensi yang terkenal. Meskipun pertempuran tersebut merupakan pertikaian antar dua keluarga dalam satu dinasti, namun juga melibatkan berbagai kerajaan di daratan India pada masa lampau. Pertempuran tersebut terjadi selama 18 hari, dan jutaan tentara dari kedua belah pihak gugur. Perang tersebut mengakibatkan banyaknya wanita yang menjadi janda dan banyak anak-anak yang menjadi anak yatim. Perang ini juga mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju zaman Kaliyuga, zaman kehancuran menurut kepercayaan Hindu.
Pengelompokan masalah internasional dari segi bidang penyebabnya Dari segi bidang penyebabnya, masalah internasional dikelompokkan sebagai berikut: Masalah Politis,
Misalnya pasca perang dunia II (1945) muncul dua kekuata besar, yaitu NATO dibawah Amerika Serikat dan PAKTA WARSAWA dibawah Uni Soviet. Kedua belah pihak saling berebut pengaruh dari segi ideologi maupun ekonomi. Kedua blok saling memperkuat persenjataan. 15
Masalah Ekonomi,
Misalnya masalah pembatasan quota, masalah proteksi, masalah antara persaingan bebas, krisis moneter di berbagai negara, kesenjangan ekonomi antara negara maju dan berkembang.
Masalah Sosial budaya,
Misalnya pengiriman TKI ilegal, masalah pelanggaran HAM di berbagai kawasan dunia masalah perbedaan keyakinan agama masalah pornografi dan pornoaksi, masalah narkoba.
Masalah batas wilayah (hak teritorial),
Misalnya sengketa mengenai kedaulatan atas beberapa pulai kecil antara Prancis dan Inggris diputuskan pada tahun 1953 untuk keuntungan Inggris. Timbulnya perselisihan antara Kamboja dan Muangthai mengenai sebuah kuil, dimana MPI menetapkan bahwa kuil itu ada di wilayah Kamboja (1962)
Masalah hukum laut,
Misalnya masalah daerah perikanan laut antara Inggris dan Norwegia diputuskan oleh MPI pada tahun 1951 dengan memenangkan Norwegia. Atas permintaan Denmark, Nederland dan Jerman Barat, MPI pada tahun 1969 menetapkan asas dan peraturan untuk pengolahan Continental Shelf di laut utara bagi negara-negara tersebut.
Masalah Penafsiran perjanjian,
Misalnya perkara pemberian asyluan antara Colombia dan Peru, jasa-jasa penafsiran diberikan oleh MPI (1950). Pada tahun 1970 ditetapkan bahwa tidak ada dasar hukum bagi Belgia untuk melindungi kepentingan pemegang saham warga Belgia di perusahaan Kanada.
Masalah Daerah mandat,
Misalnya pada tahun 1966 MPI menentukan bahwa Ethiopia dan Liberia tidak mempunyai dasar hukum untuk mengklaim Namibia (Afrika Selatan bagian barat) dari negara Afrika Selatan. Sengketa mengenai namibia itu berkepanjangan. Akhirnya pada tahun 1971, MPI mengemukakan pendapatnya bahwakehadiran negara Afrika Selatan di Namibia adalah tidak sah, oleh karena itu wajib meninggalkan negeri tersebut.
Contoh-contoh konflik internasional : a. Agresi militer Belanda I dan II di Indonesia tahun 1947 disebabkan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia.
16
b. Penyanderaan sebelas orang penyidik (Indonesia, Belanda, dan Inggris) di pedalaman Irian Jaya (Papua) yang dilakukan oleh GPK (gerakan rombolan pengacau keamanan) pada awal 1996 karena keinginan untuk memisahkan diri dari pemerintah yang berdaulat. c. Persoalan dan penyelesaian pembentukan negara federasi Malaysia. Indonesia dan Filipina menentang maksud pembentukan negara tersebut. d. Perebutan kekuasaan di Pakistan oleh Jendral Zia Haq terhadap Presiden Ali Bhutto. e. Perebutan penguasaan atas pulau Sipandan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. f. Sengketa antara Amerika Serikat dengan Iran dan Irak tahun 1987, di kawasan teluk Persia sampai Harmus terjadi insiden dan kekerasan senjata. Amerika terlibat langsung di kawasan teluk Persia. g. Sengketa Amerika Serikat dan Irak mengenai Kuwait tahun 1991. Hal tersebut diawali dengan tembakan meriam Irak ke Kuwait City tanngal 2 Agustus 1990. h. Politik apartheit (perbedaan warna kulit Afrika Selatan). Diawali kedudukan bangsa barat yang berkulit putih di kawasan Afrika Selatan selama 340 tahun. Usaha untuk menghapuskan apartheid di Afrika Selatan dilakukan oleh Nelson Mandela. i. Runtuhnya komunisme di Uni Soviet. Diawali pembuangan jutaan rakyat Soviet ke Serbia oleh Joseph Stalin yang menimbulkan perlawanan oleh Mikhail Gorbacev. Perlawanan tersebut membawa keruntuhan Uni Soviet tahun 1991 sehingga menjadi negara Rusia delapan negara lainnya merdeka. j. Berakhirrya negara federasi Yugoslavia. Wafatnya Tito tahun 1991 mengakibatkan pecahnya negara federasi menjadi Yugoslavia Serbia. Montemegro Kroasia, Slovania, dan Bosnia Herzegovina. Kemudian timbul ketegangan antara Serbia dan Kroasia yang menjurus ke kancah perang saudara. Beberapa masalah regional dan internasional yang ditangani PBB 1)
Indonesia
Ketika menghadapi Agresi Militer Belanda, PBB berperan melalui KMB tanggal 27 Desember 1949. 2)
Khasmir
Pecahnya India menjadi dua (India dan Pakistan), membuat Khasmir bergabung dengan India, eskipun jika dilihat dari latar belakang agama lebih tepat ke Pakistan. Tahun 1969 pecah perang terbuka yang kemudian diselesaikan dengan perundingan Thaskent Declaration pada tahun 1966 melalui jasa baik Uni Soviet (salah satu anggota PBB) 3)
Korea
17
Akhir perang dunia semenanjung Korea pecah menjadi dua (Korea Utara dan Korea Selatan). Amerika Serikat dan Uni Soviet yang semula hendak menyatukan ternyata malah menanamkan ideologi masing-masing. 27 Juli 1953 pasukan PBB yang dipimpin Jenderal Douglas Mc Arthur berhasil membuat kesepakatan penghentian tembak-menembak. 4)
Timur Tengah – Israel
Tahun 1956 Mesir dibawah pimpinan Gamal Abdul Nasser melakukan nasionalisasi Terusan Suez yang menimbulkan kemarahan Inggris, Perancis, dan Israel yang kemudian menyerbu Mesir. Krisis Terusan Suez memaksa PBB membentuk pasukan perdamaian di jalur Gaza. 5)
Yaman
Tahun 1963 Yaman mengalami pergantian sistem pemerintahan dari monarki menjadi republik, dan diintervensi oleh Arab Saudi dan Mesir, yang kemudian dipulihkan oleh PBB. 6)
Irak – Iran
Pada dekade 1970an Iran yang dipimpin oleh Syah Reza Paahlevi diganti oleh pimpinan tokoh-tokoh agama yang dipelopori oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini. Negara islam Iran itu kemudian diserang oleh Irak, yang disebabkan oleh masalah perbatasan, sumber minyak dan lalu-lintas Teluk Persia. Tahun 1988 perang IrakIran baru dapat diselesaikan oleh PBB. 7)
Kongo
Tanggal 30 Juni 1960, Kongo menerima kemerdekaan dari Belgia. Kemudian muncul tokoh Patrice Lamuroba yang berhaluan kiri. setelah merdeka, kerusuhan terjadi dimana-mana termasuk munculnya pemberontakan di Katanga yang diidentifikasi terdapat pasukan asing sewaan. Dalam kerusuhan itu Patrice Lamuroba tewas terbunuh lawannya. PBB berhasil mengatasi keadaan dan mengembalikan Katangga ke tangan Kongo. 8)
Siprus
Setelah merdeka tahun 1960 Siprus dihuni oleh dua etnis (keturunan Turki dan Yunani). Namun kedua etnis ini saling bermusuhan. Tahun1964 PBB dapat menghentikan permusuhan tersebut. 9)
Dominika
Tahun 1965 Amerika Serikat memasuki wilayah Dominika dengan alasan melindungi warga negaranya karena terjadinya pemberontakan di negara tersebut. Hal ini ditentang oleh Uni Soviet. Pemberontakan dapat diselesaikan oleh PBB. Seluruh pasukan asing meninggalkan Dominika.
18
10) Afrika Selatan Warga negara Afrika Selatan terdiri dari minoritas kulit putih (kurang dari 20%) dan mayoritas kulit hitam, menerapkan politik apartheid dimana warga kulit putih diberi keleluasaan dalam menjalankan pemerintahan. Awal tahun 1990 politik apartheid berakhir dan seorang pejuang kulit hitam Nelsces Mandela terpilih menjadi presiden. 11) Hongaria – Cekoslovakia Tahun 1956 Uni Soviet menyerbu gongaria dan tahu 1968 menyerbu Cekoslovakia yang akhirnya dibawa ke DK-PBB meskipun sering diveto oleh Uni Soviet. 12) Kamboja Perang saudara yang melibatkan empat kelompok yang bertikai di Kamboja berlangsung lama. Indonesia dibantu Perancis menjadi mediator pertikaian tersebut melalui JIM (Jakarta Informal Meeting) dan berhasil. 13) Afganistan Pasca serangan Uni Soviet ke Afganistan tahun 1970an negara tersebut terlibat perang saudara yang berkepanjangan, dan baru berhasil diselesaikan oleh PBB di abad 20. 14) Irak – Kwait Pada tahun 1990 Irak melakukan invansi ke Kuwait, yang menimbulkan kemarahan Amerika Serikat dan sekitarnya. Melalui resolusi PBB, Amerika dapat mengusir Irak dan Kuwait. 15) Sipadan – Ligitan Desember 2002 Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia dalam perebutan Pulau Sipadan-Ligitan antara Malaysia dengan Indonesia.
PENTINGNYA RASA TOLERANSI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA Rasa toleransi sangat penting dalam kehidupan manusia, baik dalam berkatakata maupun dalam bertingkah laku. Dalam hal ini, toleransi berarti menghormati dan belajar dari orang lain, menghargai perbedaan, menjembatani kesenjangan budaya, sehingga tercapai kesamaan sikap. Toleransi juga merupakan awal dari sikap menerima bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang salah, justru perbedaan harus dihargai dan dimengerti sebagai kekayaan. Misalnya perbedaan ras, suku, agama, adat istiadat, cara pandang, prilaku, pendapat dan lain sebagainya. Dengan perbedaan tersebut diharapkan manusia bisa mempunyai sikap toleransi terhadap segala perbedaan yang ada, dan berusaha hidup rukun, baik individu dengan
19
individu, individu dengan kelompok masyarakat, dan kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Kita hidup dalam negara yang penuh keragaman, baik dari suku, agama, maupun budaya. Untuk hidup damai dan berdampingan, tentu dibutuhkan toleransi satu sama lain. Toleransi adalah perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada dengan sesama. Biasanya orang bertoleransi terhadap perbedaan kebudayaan dan agama. Namun, konsep toleransi ini juga bisa diaplikasikan untuk perbedaan jenis kelamin, anak-anak dengan gangguan fisik maupun intelektual dan perbedaan lainnya. Toleransi juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain, menghargai perbedaan, menjembatani kesenjangan budaya, menolak stereotip yang tidak adil, sehingga tercapai kesamaan sikap dan Toleransi juga adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain Seperti halnya tanah air Indonesia yang indah dengan keanekaragaman kekayaan alam yang berlimpah ditambah lagi beraneka ragam suku, ras, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama dan lain-lainnya. Kondisi bangsa Indonesia yang pluralistis menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti masalah Agama, paham separatisme, tawuran ataupun kesenjangan sosial. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kerukunan hidup antar umat beragama harus selalu dijaga dan dibina. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah belah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama.Toleransi antar umat beragama bila kita bina dengan baik akan dapat menumbuhkan sikap hormat menghormati antar pemeluk agama sehingga tercipta suasana yang tenang, damai dan tenteram dalam kehidupan beragama termasuk dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya melalui toleransi diharapkan terwujud ketenangan, ketertiban serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati itu akan terbina kehidupan yang rukun, tertib, dan damai. Contoh pelaksanaan toleransi antara umat beragama dapat kita lihat seperti: a. b. c. d.
Membangun jembatan, Memperbaiki tempat-tempat umum, Membantu orang yang kena musibah banjir, Membantu korban kecelakaan lalu-lintas.
Jadi, bentuk kerjasama ini harus kita wujudkan dalam kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan dan tidak menyinggung keyakinan agama masing-masing. Kita sebagai umat beragama berkewajiban menahan diri untuk tidak menyinggung perasaan umat beragama yang lain. Hidup rukun dan bertoleransi tidak berarti bahwa agama yang satu dan agama yang lainnya dicampuradukkan. Jadi sekali lagi 20
melalui toleransi ini diharapkan terwujud ketenangan, ketertiban, serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati itu, akan terbina peri kehidupan yang rukun, tertib, dan damai. berikut ini contoh-contoh pengamalan toleransi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat dan kehidupan berbangsa serta bernegara: a. Adanya sikap saling menghormati dan menghargai antara pemeluk agama. b. Tidak membeda-bedakan suku, ras atau golongan. c. Merasa senasib sepenanggungan. d. Menciptakan persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan atau nasionalisme. e. Mengakui dan menghargai hak asasi manusia. f. Membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. g. Menghindari terjadinya perpecahan h. Memperkokoh silaturahmi dan menerima perbedaan i. Melakukan pemahaman dan penghayatan agama yang benar j. Diskusi lintas agama dan budaya k. Penekanan pada setiap individu akan pentingnya nilai kebenaran, cinta keadilan dan kasih sayang.
Tentunya toleransi dalam berbagai bentuk dan manifestasinya sangat diperlukan tidak hanya sebatas dalam hubungan sebuah negara saja. Tapi juga menjadi esensial dalam kehidupan antar negara yang lebih luas demi terciptanya integritas dan keharmonisan hidup di dunia yang berwana.
21
22