LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
1. Sejarah Kawasan Kawasan Hutan Pinjan
Tanjung Matop ini pertama diusulkan oleh Dinas
Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah/seksi PPA Sulawesi Tengah
sebagai
kawasan suaka alam dengan status sebagai Suaka Margasatwa. Usulan ini mendapatkan
tanggapan
yang
serius dari pihak Direktorat Perlindungan
dan Pengawetan Alam, Direktorat Jenderal Kehutanan menurunkan pengusulan
Tim
untuk mengadakan
kepada Menteri
yang
langsung
survey potensi sebagai bahan
Pertanian
untuk penunjukkan/penetapan
kawasan ini sebagai Suaka Alam. Berdasarkan
usulan
dan
hasil
penilaian
potensi
serta
faktor-faktor
pendukung lainnya, kawasan ini ditunjuk sebagai Suaka Alam dengan nama Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 445/Kpts/Um/5/1981 dengan luas 1.612,5 Ha
yang diperuntukkan sebagai tempat perlindungan satwa jenis Burung Maleo (Macrocephalon maleo). Sebagai tindak lanjut dari
Surat Keputusan
penunjukkan kawasan
ini
sebagai Suaka Margasatwa, pada tahun 1983/1984 dilaksanakan penataan batas kawasan oleh pihak Balai Planologi Kehutanan V Ujung Pandang. Sesuai dengan kondisi alamnya, batas yang dibuat terdiri dari Batas Alam berupa garis pantai sepanjang 10 kilometer, batas buatan
30
kilometer
dengan jumlah pal batas sebanyak 759 buah.
1
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
2. Letak Administrasi dan Geografis Berdasarkan
pembagian
wilayah
administrasi pemerintahan, Suaka
Margasatwa Pinjan Tanjung Matop terletak dalam wilayah Desa Pinjan dan Desa
Binontoan, Kecamatan
Tolitoli
Utara, Kabupaten Tolitoli, Propinsi
Sulawesi Tengah.
Skala 1 : 50.000
Keterangan : ............... Batas Kawasan Suaka Margasatwa .. .. .. .... Batas Desa Gambar 1. Peta Suaka Margastwa Tanjung Matop 2
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Secara geografis, Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop terletak antara 1° 19” sampai 1° 22” Lintang Utara (LU) dan 121° 5,5‟ sampai 122° 8‟ Bujur Timur (BT). Adapun
batas-batas kawasan sebagai berikut Sebelah Barat
berbatasan dengan Laut Sulawesi Sebelah Timur berbatasan dengan berbatasan dengan Areal HPH PT. Regasia
Jaya Nusantara dan lahan
Perkebunan . Sebelah Utara dengan Desa Binontoan dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pinjan Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop adalah salah satu kawasan konservasi terpenting yang ada di Sulawesi Tengah karena kekhasan ekosistem yang dimilikinya mulai dari ekosistem pantai sampai hutan tropis dataran tinggi. Kawasan ini ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 441/Kpts/Um/5/1981, tanggal 21 Mei 1981 dengan luas + 1.612,50 Ha. Tabel 1. Luas Kawasan Suaka Margastwa Tanjung Matop
No.
Desa
1
Pinjan
2
Binontoan Jumlah
Luas (Ha) 1.311.25 301.25 1.612.50
Data Diolah Tahun 2011
3
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
3. Aksesibilitas dan Sistem Transportasi Untuk menempuh ke lokasi Suaka Margastwa Tanjung Matop Pinjan
dapat
melalui darat dengan kendaraan roda dua dan empat dengan waktu tempuh ± 3 jam. Tabel 2. Rute Pencapaian Ke Lokasi Tanjung Matop
Jarak (km)
Rute Palu –
Tolitoli
Tolitoli – Pinjan
Waktu Tempuh
Jenis Transport
Frekuensi
434
14 Jam
Darat
Tiap hari
95
3 Jam
Darat
Tiap hari
15 Menit
Perahu Mesin Tempel
Non Reguler
Desa – Pinjan – Tanjung 3.068 Matop
4. Kondisi Topografi dan Geologi SMPTM
Gambar 2. Peta Elevasi Suaka Margasatwa Pinjan dan Sekitarnya 4
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Keadaan topografi Suaka
Margasatwa
Pinjan Tanjung Matop relatif
sangat bervariasi antara landai sampai berbukit dengan ketinggian mulai dari
permukaan
laut (pantai)
sampai dengan
± 300 mdpl.
Daratan
dengan topografi landai pada umumnya terdapat di sebagian daratan pantai yang
berbatasan
dengan
laut. Sedangkan daratan
dengan
topografi berbukit pada umumnya terdapat di bagian Barat dan bagian tengah kawasan. Adapun kemiringan lerengnya bervariasi antara agak curam sampai curam. Bagian daratan berbukit yang berbatasan dengan laut merupakan
tebing
sebaran jenis rumput
terjal dan
tidak bervegetasi, selain
adanya
dibagian atasnya serta berbatu-batu pada bagian
bawahnya. Dari kondisi fisik dan topografinya kawasan Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop mencakup areal pantai dan tanjung sampai ke daerah perbukitan yang ditutupi oleh hutan yang relatif masih cukup baik. Kawasan ini merupakan tipe perwakilan ekosistem pantai dan
hutan
hujan dataran rendah
Gambar 3. Peta Geologi Kabupaten Tolitoli 5
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Berdasarkan
Peta
Geologi
Kabupaten
Tolitoli,
jenis
tanah
di
Suaka
Margasatwa Pinjan Tanjung Matop adalah jenis alluvial dan endapan pantai serta
batuan
sedimen
laut.
Batuan
alluvial dan endapan
pantai pada
umumnya berupa pasir, dan kerikil yang terdapat di sepanjang pantai. Kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Matop Seluruhnya didominasi sedimen laut Terdiri dari batupasir kuarsa, batupasir terkersikan, serpih, grewak, lapisan tipis batugamping, dan batugamping foraminifera. Padat, berlapis baik dan terlipat. Terbentuk dalam cekungan kecil yang berumur Miosen. Batuan ini diterobos oleh batuan bersifat granit, yang mengandung mineral sulfida, terutama pirit, dan kemungkinan emas dan perak (RTRW Kab.Tolitoli , 2010) 5 . Karakteristik Pantai Tanjung Matop Pengamatan Karakteristik Pantai di daerah penelitian dilakukan sepanjang pesisir Tanjung Burukusenge,
Tajung Matop dan Tanjung Takudan .
Berdasarkan jenis pantai, unit-unit geornorfologi serta litologi penyusunnya, karakteristik pantai di Tanjung Matop dapat dibedakan menjadi 3 jenis pantai meliputi: 5.1. Pantai berbatu Tipe pantai berbatu yang terdapat di wilayah ini terdapat, setempatsetemnpat baik berupa bongkah maupun batuan in-situ. jenis pantai ini dicirikan oleh garis pantai yang dibatasi oleh batuan yang ratarata berlereng terjal terutama pada tanjung, Taptnya pada posisi 1º 19 ‘ 16.4 “ LU dan 121º 04’ 43.2 “ LS Tipe pantai berbatu/ rock coast merupakan pantai belum terubah yang terbentuk dari batuan yang memiliki resistansi tinggi seperti batuan granit. Tipe pantai ini terlihat berada di wilayah Tanjung
6
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Matop. Pantai ini dicirikan oleh hadirnya batuan sebagai batas pesisir dan seringkali memiliki kemiringan yang curam.
Gambar 4. Pantai Berbatu Tanjung Matop
Batuan sedimen laut sebagai batuan pembentuk tanjung , memiliki warna segar kecoklat-coklatan . Pada beberapa bagian pantai, hasil pelapukan batuan ini menghasilkan pantai yang berpasir kasar yang berasal dari mineral kuarsa yang dikandungnya. Sedimen laut yang terangkat dalam jangka ribuan tahun, kemudian mengalami proses geomorfologi berupa abrasi dan korasi yang menghasilkan bentukan-bentukan tanjung berdinding terjal dan cliff. Di beberapa tempat, kombinasi antara sedimentasi pengangkatan dan proses abrasi yang berlangsung secara terus menerus menghasilkan gerong-gerong laut (sea caves) pada tebing-tebing tepian tanjung.
Gambar 5. Tanjung Matop dari materi sedimen laut , terbentuk dan terabrasi membentuk liang dan gorong laut 7
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Tofografi Tanjung Matop adalah berbukit yang terjal. Bentuk bukit ini adalah pencerminan dari proses naiknya magma yang muncul dari dasar laut oleh tekanan tumbukan lempeng bumi. Tanjung Matop terbentuk dari proses pengendapan bermateri batuan-batuan terutama dari hasil rombakan koral. Namun demikian secara geologis Tanjung ini tidak murni terbentuk dari endapan. bertopografi datar pada awalnya terbentuk dari pengangkatan koral yang tumbuh dia atas batu granit dasar laut. Batu granit merupakan hasil pembekuan magma yang muncul kepermukaan. Kondisi gelombang dan arus perairan kawasan pantai Tanjung Matop relatif sedang hingga besar, yang diakibatkan posisinya yang terbuka di utara Laut Sulawesi. Kondisi tersebut mempengaruhi bentuk karakteristik pantal di pulau tersebut yang secara geologi terbentuk dari gamping terumbu/ koral(Ql). Mengacu pada Peta Geologi Lembar Tolitoli (Nana Ratman, 1976), batuan ini merupakan batuan tertua yang bersifat intrusif dan tersingkap di Tanjung, dan diinterpretasikan sebagai batuan utama yang membentuk morfogenesa daratan. Menurut klasifikasi Shepard (1973), tipe pantai ini termasuk kedalam kategori pantai primer atau kategori
pantai sekunder dimana batuan asal telah
mengalami rombakan menjadi bongkah Bedsarkan peta geologi Kabupaten Tolitoli batuan penyusun tanjung matop dan Tanjung Takudan merupakan Batuan sedimen laut . Litologi Sedimen Laut terdiri dari batupasir wake, batulanau, batulumpur, konglomerat, tufa, tufa lapili, aglomerat, breaksi vulkanik dan larva yang bersifat andesit serta basal. penyebaran formasi ini terdapat di bagian timur laut, yaitu mulai dari tanjung burukusenge sampai Tanjung Takudan. Umur formasi adalah Miosen Tengah sampai Miosen Atas.
8
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
5.2. Pantai Berkoral Pantai ini dicirikan adanya batuan gamping terumbu sebagai batas pesisir dibatasi oleh batuan terumbu. Dibeberapa tempat tepatnya pada posisi 1º 19 ‘ 03.4 “ LU dan 121º 05’ 02,1 “ LS
dijumpai paras pantai terbentuk dari
gamping terumbu yang memiliki kemiringan yang relatif landai berupa teras koral . Bentukan pantai yang landai diinterpretasikan hasil pengikisan air laut dan abrasi sehingga berbentuk seperti pasir apa bila dilihat dari kejauhan.
Gambar 6. Pantai Koral Tanjung Matop berusia lanjut
Gamping terumbu yang membentuk pantai tanjung matop berwama segar putih kekuningan, wama lapuk kuning kecoklatan, kekerasan sedang hingga sangat keras, banyak mengandung foram besar sebagain membentuk batuannya. Mengacu pada Peta Geologi Lembar Tolitoli (Nana Ratman, 1976), batuan
ini
termasuk
dalam
satuan
batugamping
koral
(Ql)
dan
diinterpretasikan tempat ini terbentuk pada saat terjadi susut laut, dimana terumbu terbentuk pada lingkungan laut yang dangkal. Menurut klasifikasi Shepard (1973), tipe pantai ini termasuk kedalam kategori pantai sekunder hasil dari bentukan aktivitas hewan laut yang disebut sebagai reef terrace. Batugamping
Koral
(Ql)
Terdiri dari batugamping koral, breaksi koral
dengan cangkang moluska dan napal, sebagian pejal, terbentuk di lingkungan 9
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
neritik dan etoral. Batu gamping koral putih abu-abu-kekuningan, bersifat cukup massif, agak keras, cukup keras dan relative stabil terhadap pembebanan. 5.3. Pantai Berpasir Pantai ini dicirikan oleh garis pantai yang memiliki kemiringan lereng yang landai hingga sedang dengan material penyusun berupa pasir tak padu. Lebar paras pantai 13 - 18 m, sebagian tersingkap pula sebagai pantai kantung berpasir (sandy pocket beach). Morfologi pesisir berupa dataran pantai yang sempit, ditumbuhi vegetasi kenari hutan, pandan pantai , pohon berukuran sedang dan semak belukar.Menurut klasifikasi Shepard (1973), tipe pantai ini termasuk kedalam, kategori pantai sekunder yang disebut sebagai sandy beach.
Gambar 7. Pantai Berpasir Tanjung Matop dan tempat bertelur (Nesting Burung Maleo
Ground)
Pantai ini merupakan Habitat perteluran/Nesting Ground Tanjung Matop terdapat disepanjang pantai seperti terlihat dalam gambar 3.7. Habitat ini terdiri dari pasir pantai yang lembut dan juga kerikil-kerikil kecil. Panjang habitat Nesting Ground ini adalah ± 1.290 meter sepanjang garis pantai. Tepatnya pada Posisi habitat Nesting ground ini terletak pada titik kordinat 1º19‟5,30” LU (Lintang Utara) dan 121º4‟56,20” 1º18‟53,10” LU dan 121º5‟35,20” BT.
BT
sampai
dengan
Menurut penuturan masyarakat 10
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Pinjan Burung maleo bertelur antara bulan maret sampai bulan oktober, dan puncak bertelurnya terjadi pada bulan Agustus. 6. Potensi Wisata 6.1. Potensi Flora dan Fauna Keadaan alam hutan SMPTM
memiliki Kawasan
Konservasi Suaka
Margasatwa Pinjan Tanjung Matop merupakan suatu tempat yang telah dijadikan didalamnya
suatu
kawasan
yang dilindungi undang-undang
terdapat potensi fauna yang merupakan
Sulawesi Tengah
yaitu
dimana
maskot propinsi
burung Maleo Kawasan Suaka Margasatwa ini
memiliki perbukitan dengan cirri khas hutan tropis yang dihuni satwa hutan
asli
Sulawesi
seperti;
(1)
Satwa
burung
:
Burung
maleo
(Macrocephalon maleo), Elang laut coklat, Elang hitam, Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix), Kum-kum besar (Ducula aenea), Tekukur (Streptopelia sp.), Pitta Sulawesi (Pitta celebensis). Nuri Sulawesi (Trichoglossus artanus), Sesap madu (Murops sp), Raja Udang (Halcyon cloris), elang laut (Haliaetuscloris), kakatua putih (Cacatua sulphurea), Serindit leher merah (Loriculus sp), dan ayam hutan (Gallus gallus) (2) Spesies satwa endemik seperti: Anoa (Bubalus sp.), Babirusa (Babyroussa babirusa), Monyet hitam (Macaca tonkeana), dan Kus-kus (Phalanger sp.) Non Endemik seperti Babi hutan (Sus sp), Satwa daerah pantai terdapat Kura-kura Penyu sisik (Celonia midas), Penyu hijau, Penyu belimbing (Dermochelys corlaceae). (4) Burung-burung air di rawa-rawa air asin: Bangau putih (Egretta sp.), Pecuk padi dan Pecuk ular (Anhinga melanogaster), dan Srigunting (Dicrurus sp.). (5)
jenis reptil berupa ular sawah (Phyton reticulatus), biawak
(Varanus salvator) dan tikus tanah (Rodentia) dan masih banyak jenis yang lainnya. Vegetasi hutan banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon diantaranya
11
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
potensi flora yang
ada
dikawasan
ini diantaranya yaitu: Bayur
(Pterospraus celebicus), beringin (Ficus sp),
bintangor(Calophyllus sp),
dao (Dracontoaelon dao), palapi (madhuca sp), meranti (Shorea sp), kemiri hutan
(Aleurites mollucana), kenari (Canarium
spp), nyatoh
(Palaquium sp), enau/aren (Arenga pinnata), pandan (Pandanus sp), jenis rotan
dan
jenis jambu-jambuan.
Hutan pantai, terdapat jenis-
jenisp pohon Manggrove ikutan seperti Ketapang (Terminalia catappa), Pandan (Pandanus tectorius dan Pandanus littoralis).
Gambar 8. Searah Jarum Rangkong Sulawesi , Elang Sulawesi, Nuri Sulawesi , Pitta Sulawesi , Pucuk Ular dan dan Kakatua Putih
12
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Gambar 9. Searah Jarum Elang Hitam , Sesap Madu, Raja Udang , Pucuk Padim, Maleo , Seindit Leher Merah 13
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Gambar 10 Searah Jarum : Kus-kus , Monyet hitam Sulawesi , Babi Rusa dan Anoa
Hampir di sepanjang pantai dijumpai pasir putih (Nestring Ground) Maleo. Beberapa lokasi tertentu merupakan tempat bertelurnya empat jenis penyu yaitu; Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Tempayan (Caretta caretta), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea).
14
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Gambar
11 Searah Jarum : Penty Hujau, Penyu Tempayan ,Penyu Lekang, Penyu Sisik dan Nestring Ground
15
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Tabel 3. Satwa Yang Dilindung Di Suaka Margasatwa Tanjung Matop
No.
Nama Indonesia
Nama Lokal (Bhs. Tolitoli)
Nama Latin
No. Undang-Undang
1.
Maleo
Mamua
Macrocephalon maleo
SK Mentan No. 421/Kpts/Um/8/1970 SK Mentan No. 90/Kpts/Um/2/1972 PP No. 7/1999
2.
Rangkong
KaRo
Aceros cassidix)
3.
Kakatua Putih
Keas
Cacatua Sulpurea
SK Menhut No. 350/Kpts/II/1997 PP No. 7/1999
4.
Bangau Putih
Jajapong
Egretta sp
Per. Perlind. Binatang Liar 1931 PP No. 7/1999
5.
Pitta Sulawesi
KoRoe
Pitta celebensis
Per. Perlind. Binatang Liar 1931 PP No. 7/1999
6.
Raja Udang
Tetekki
Halcyon cloris
Per. Perlind. Binatang Liar 1931 PP No. 7/1999
7.
Serindit leher merah
Loriculus sp
SK Mentan No. 757/Kpts/Um/12/197 9 PP No. 7/1999
Sinjit Lubaga
PP No. 7/1999
8.
Kum-kum besar
Takuak
Ducula aenea
SK Mentan No. 742/Kpts/Um/12/197 8 PP No. 7/1999
9.
Elang laut
Kallas
Haliaetuscloris
SK Mentan No. 421/Kpts/Um/8/1970 PP No. 7/1999
10.
Monyet hitam
Macaca tonkeana
SK Mentan No. 90/Kpts/Um/2/1977 PP No. 7/1999
11.
Kus-kus
Kuse
Phalanger sp
SK Mentan No. 247/Kpts/Um/4/1979 PP No. 7/1999
12.
Ular sawah
Sa Ggarung
Phyton reticulatus
SK Mentan No. 327/Kpts/Um/5/1978
BoRong Miton
16
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
SK Menhut No. 301/KPTS-II/1991 PP No. 7/1999 13.
Anoa
BokuRu
Bubalus sp
14.
Gosong
Manga
Megapodius reinwardt
SK Mentan No. 421/Kpts/Um/8/1970
15.
Babirusa
Babyrousa babyrussa
PP No. 7/1999
16.
Penyu Hijau
Chelonia mydas
PP No. 7/1999
17.
Penyu Tempayan
Caretta caretta
PP No. 7/1999
18.
Penyu Sisik
Bou
Eretmochelys imbricata
PP No. 7/1999
19.
Penyu Lekang
Bou
Lepidochelys olivacea
PP No. 7/1999
Bou Bou
17
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Gambar 12. Vegetasi Suaka Margasatwa Tanjung Matop
18
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
7. Burung Maleo sebagai Maskot Tanjung Matop Salah satu hewan endemik Sulawesi yang paling menarik perhatian adalah burung maleo (Macrochepalon maleo) yang merupakan maskot dari propinsi Sulawesi Tengah. Burung ini tersebar luas, terutama di Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan Sulawesi Barat (Mamuju Utara) . Namun populasi maleo di Sulawesi dalam beberapa tahun terakhir menurun secara drastis. Hasil penelitian Yayasan Jambata bersama Dr. Stuart H.M. Butchart dari Cambridge University dan Yayasan Maleo Indonesia pada tahun 1998, dengan melakukan survey di 41 lokasi habitat maleo di Sulawesi Tengah bagian Barat dan Sulawesi Selatan bagian Utara, menunjukkan bahwa populasi maleo di 34% tempat (14 lokasi) telah punah. Habitat di mana maleo masih ada, 96% mengalami gangguan /ancaman, bahkan 59% tempat dengan status
‟sangat
terancam‟ Populasi Maleo menyebar di Sulawesi terutama di Sulawesi Tengah dan Utara. Beberapa kawasan konservasi yang dikenal di Sulawesi Tengah sebagai habitat Maleo antara lain: Taman Nasional Lore Lindu, Suaka Margasatwa Bangkiriang, Cagar Alam Morowali, serta Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop. Maleo (Macrochepalon maleo) merupakan salah satu satwa endemik yang hanya terdapat di Sulawesi. Hasil penelitian IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) mencantumkan Maleo ke dalam Red Data Book pada tahun 1966 dalam kategori. “rawan” yaitu suatu takson yang mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam atau memiliki peluang untuk punah 20 % dalam 10 tahun atau 3 generasi. Dan pada tahun 1996 Maleo dimasukkan ke dalam Red List dan Appendix I CITES sebagai satwa liar yang terancam punah, yang berisi daftar spesies yang paling terancam punah di antara satwa dan tumbuhan yang terdaftar dalam CITES dan
19
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
dilarang untuk diperdagangkan kecuali untuk tujuan non komersial, misalnya untuk penelitian ilmiah. Salah satu upaya mengantisipasi punahnya satwa ini Pemerintah Indonesia sejak tahun 1970 menetapkan Maleo sebagai salah satu satwa endemik Sulawesi yang dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
No.421/KPTS/UM/8/1970
tentang
Penetapan
Jenis-Jenis
Binatang Liar yang Dilindungi, Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 90/KPTS/UM/2/1972, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati yang kemudian dipertegas kembali dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/KPTS-II/1991 dan No. 882/KPTSII/1992 serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Saat ini, maleo sangat sulit ditemukan di Pulau Sulawesi, kecuali pada beberapa tempat di kawasan konservasi.Dalam Kawasan Konservasi yang dikelola oleh BKSDA Sulawesi Tengah dimana terdapat habitat burung maleo ini salah satunya adalah di kawasan konservasi Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop. Pada kawasan konservasi SM Pinjan Tanjung Matop ini masih terdapat populasi burung maleo yang cukup besar, walaupun tidak terlepas dari berbagai faktor yang mengancam kelestariannya. 7.1. Morfologi Maleo Menurut Jones et al. (1995) dalam Apriadi (2009), burung megapoda terdiri atas 22 genus, salah satu jenis diantaranya adalah burung maleo. IUCN (2010) mengklasifikasikan burung maleo ke dalam Kingdom Animalia, filum Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Aves, ordo Galliformes,
famili
Mega-podiidae,
genus
Macrocephalon,
spesies
Macrocephalon maleo. Beliau menyebutkan burung maleo dikenal dengan nama daerah senkawor, sengkawur, songkel, maleosan (Minahasa), saungke (Bintauna), tuanggoi (Bolaang Mongondow), tuangoho (Bolaang Itang), bagoho (Suwawa), mumungo, panua (Gorontalo), molo (Sulawesi Tenggara). Mamua (Tolitoli –Sulawesi Tengah). 20
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Burung maleo termasuk spesies burrow nester, yaitu burung pembuat lubang atau liang. Ukuran tubuh burung maleo hampir sama dengan ayam betina, berbobot 1,6 kg dengan panjang sayap jantan 292 mm dan betina 302 mm. Bobot anakan burung maleo yang baru menetas berkisar antara 109–169 g. Umur burung maleo bisa mencapai 25–30 tahun dan mencapai umur produktif setelah 4 tahun. Dalam pemeliharaan, burung maleo dapat mencapai umur 20 tahun lebih dan masih produktif (Argello 1991, Dekker 1990). Burung maleo dewasa memiliki panjang paruh 3,5 cm, panjang kepala 3,0 cm, panjang badan 19,5 cm, bobot badan 1,5 kg, lebar mata 1,5 cm, panjang leher 17,0 cm, panjang kaki 21,0 cm dan panjang sayap 20 cm (MacKinnon 1981). Secara keseluruhan warna bulunya hitam keunguunguan sebagai warna utama, sedangkan warna bulu bagian dada dan perutnya bervariasi antar daerah di Sulawesi, yaitu di Gorontalo berwarna putih kemerah-merahan, di Sulawesi Tengah berwarna merah menyala, sedangkan di Mamuju (Sulawesi Barat) berwarna kuning dan putih. Warna paruh hijau pucat dengan warna merah pada pangkalnya. Dijumpai pula burung maleo yang warna paruhnya oranye, merah atau abu-abu dan terkadang hitam (Hendro 1974). Pada bagian kepala terdapat mahkota berwarna kelabu kehitam-hitaman yang disebut kapseti dan berfungsi untuk mengukur temperatur ketika burung tersebut menggali lubang untuk peletakan telur (MacKinnon 1981). Mahkota (kapseti) maleo jantan lebih besar dari maleo betina. Mata burung maleo berwarna cerah dengan paruh yang besar, kokoh serta lancip dan berwarna hitam dengan bagian ujungnya merah kekuningan. Paruh yang besar ini berguna untuk membantu memecah makanannya yang keras dan besar. Burung maleo mempunyai pengaturan suhu tubuh yang tetap (homoithermal) dan bulu badan yang tebal (Hendro 1974). Ukuran telur maleo dengan berat 16% dari bobot badan betina dewasa (pada telur ayam hanya 3% dari bobot badan induk) atau sekitar 190–280 21
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
g, dengan panjang 9,00 cm dan diameter 6 cm sehingga perbandingan antara telur ayam dengan telur burung maleo sama dengan 5 kali telur ayam. Dalam keadaan segar telur maleo berwarna merah jambu dan kemudian berubah menjadi kecoklat-coklatan (Hendro 1974). Maleo oleh SAL MÜLLER 1846 dalam IUCN (2007) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phyllum : Cordate Sub-Phyllum : Vertebrata Classis : Aves Ordo : Galliformes Famili : Megapodidae Genus : Macrochepalon Species : Macrochepalon maleo 7.2.
Habita Maleo Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik abiotik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak satwa liar. Komponen abiotik meliputi air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Sedangkan komponen biotik adalah vegetasi mikro dan makro fauna serta
manusia
(Alikodra,
1990)
mengemukakan
bahwa
habitat
merupakan tempat atau tipe suatu tapak dimana organisme tertentu dan populasinya berinteraksi dan berkembang biak secara alami. Lebih lanjut Gunawan (1994) menyatakan secara garis besar komponen habitat dapat dibagi menjadi tiga komponen utama yaitu: pelindung (cover), makanan dan air. Maleo hidup di hutan dataran rendah dan perbukitan sampai ketinggian 1.200 mdpl. Mereka turun untuk bertelur di pantai atau areal terbuka dengan substrat berpasir di pantai terbuka, di belakang mangrove, di pasir sepanjang tepi sungai atau danau. 22
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
Garshelis (2000) mendefinisikan habitat sebagai tempat dimana hewan dapat hidup secara normal, atau lebih spesifik lagi, sekumpulan sumberdaya dan kondisi yang diperlukan oleh hewan untuk hidup. Bailey (1984) menyatakan bahwa habitat memiliki fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung. Dari segi komponennya habitat terdiri atas komponen fisik dan komponen biotik. Burung maleo tidak membuat sarang, tidak menyimpan telur di sarang, serta tidak mengerami telurnya seperti umumnya jenis burung lain, melainkan hanya meletakkan telurnya di dalam tanah yang memiliki suhu cukup hangat untuk menetaskan telur tersebut. Kehangatan bersumber dari panas matahari (di pantai terbuka), panas bumi (di hutan) ataupun gabungan panas matahari dan panas bumi. Habitat bertelur burung maleo terdapat di hutan-hutan berbukit dengan semak-semak serta hutan dekat pantai yang memiliki sumber panas. Nesting ground terbagi atas habitat bertelur di pantai (coastal nesting ground) dan habitat bertelur di dalam hutan dengan sumber panas geothermal (inland nesting ground) (Dekker 1990). Jones et al. (1995) menyatakan bahwa lubang pengeraman terletak di tanah vulkanik dan pantai yang terekspos matahari, tepi danau, tepi sungai dan bahkan jalan berdebu sepanjang tepi pantai. Lubang sangat bervariasi dalam ukuran dan kedalaman tergantung substrat dan temperatur tanah. Lebar lubang dapat mencapai 300 cm dengan kedalaman lebih dari 100 cm. Masa inkubasi 60–80 hari dengan temperatur tanah 32o–39oC (del Hoyo et al. 1994). Gunawan (2000) menyatakan bahwa suhu tanah di lubang pengeraman yang optimal adalah 34oC dengan kelembaban berkisar 50–80% dan pH tanah bervariasi mulai dari 5,1–7,1. Burung maleo memilih tempat bertelur dengan cara mematuk-matukkan paruhnya ke permukaan tanah. Biasanya tempat bertelur dipilih pada areal yang lebih banyak penyinaran matahari. Demikian pula dengan 23
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
keadaan tekstur tanah, maleo memilih tanah yang memiliki tekstur berpasir karena hal ini erat hubungannya dengan lamanya penggalian lubang dan keadaan posisi telur di dalam lubang (Wiriosoepartho 1980).
Gambar 13. Gambar Kawanan Burung Maleo Tanjung Matop
24
LEMBAGA PEMBERDAYAAN PENDAMPINGAN DAN STUDI
DAFTAR PUSTAKA Bappeda Kabupaten Tolitoli, 2007 . Vidio Profil Kabupaten Tolitoli. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah. 1996. Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah Identifikasi Ancaman dan Kondisi Habitat Burung Maleo di SM Pinjan Tanjung Matop. BKSDA]
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah. 2002 Informasi Beberapa Kawasan Konservasi Di Propinsi Sulawesi Tengah
Biro Pusat Statistik, 2010. Tolitoli. Biro Pusat Statistik, 2010. Kabupaten Tolitoli.
Kabupaten Tolitoli Dalam Angka. Kecamatan Tolitoli Utara
BPS Kabupaten
Dalam Angka.
BPS
Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Sulawesi Tengah, 2010. Bantuan Teknis Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tolitoli (Laporan Akhir). Bekerja sama dengan PT Nuansa Hasta Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Tolitoli, 2006. Kondisi Pesisir Kabupaten Tolitoli (Laporan Akhir). Bekerja sama dengan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan . Jakarta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tolitoli. 2008 Obyak Wisata Kabupaten Tolitoli. Noerdjito Mas dan Maryanto Ibnu. 2001 Jenis-jenis Hayati Dilindungi PerudanganUndangan Indonesia. Balitbang Zoologi-Puslibang BiologiLIPI- The Nature Conservancy.
25