BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya, pendidikan merupakan kegiatan yang telah berlangsung seumur dengan manusia, artinya sejak adanya manusia telah terjadi usaha-usaha pendidikan dalam rangka memberikan kemampuan kepada subjek didik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan lingkungannya. John Dewey Mengatakan “Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan foundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.”1 Dimana proses itu memerlukan waktu yang cukup panjang dan kontinyu. Tujuan yang hendak dicapai dari proses belajar dan proses pendidikan tersebut adalah tak lain untuk meningkatkan derajat manusia seperti yang ditegaskan oleh AlQur‟an dalam surat Al-Mujaadilah ayat 11
يزفع آاهلل الذين آمنوآ منكم و آلذين اوتؤ آلعلم درذات....... Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. AlMujaadilah:11)2 Dijelaskan pula dalam Undang-Undang no.20 tahun 2003, tentang tujuan pendidikan nasional, bab II pasal 3 menyatakan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi yang lebih beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
1
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati(eds), Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2001), Cet.II, h.69. 2 Depag R.I. ,Alquran dan Terjemahnya, (Surabaya: CV Jaya Sakti, 2005), h.910-911.
1
2
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.3 Pendidikan sejak awal merupakan tugas orang tua dan masyarakat. Seperti perkataan imam Al-Ghozali yang dikutip Martinis dalam bukunya, yaitu: Bahwa anak-anak harus dibiasakan berperilaku akhlak yang terpuji agar sifat itu terbawa saat ia dewasa, demikian juga melatih anak adalah hal yang sangat penting sekali. Anak-anak adalah amanah dari Rabb kepada ayah dan ibunya, jika sejak kecil dibiasakan berakhlak baik dan dididik maka ia akan tumbuh dewasa dengan sifat yang baik pula. Begitu juga sebaliknya, jika anak terbiasa dengan sifat-sifat yang buruk dan tidak dididik maka ia akan hancur dan binasa.4. Pada Undang-undang sistem pendidikan nasional ditegaskan bahwa “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.”5 Perkembangan masyarakat yang modern menuntut bahwa sebagian tugas pendidikan dijalankan oleh institusi yang disebut sekolah, khususnya dalam proses mengajar. Namun hal ini tidak berarti mengambil alih tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Pendidikan bertujuan menyiapkan anak didik memasuki masyarakat dan kebudayaan yang terus berubah dengan tanggung jawabnya sendiri, seperti yang dikatakan oleh Hoogeveld bahwa “mendidik adalah membantu anak supaya ia cukup cakap menjalankan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.”6 Sekolah sebagai suatu institusi atau lembaga pendidikan merupakan sarana untuk melaksanakan proses pendidikan. Artinya sekolah bukan hanya sekadar dijadikan sebagai tempat berkumpul antara guru dan siswa, melainkan suatu sistem yang sangat kompleks dan dinamis. Disisi lain, sekolah merupakan suatu wadah untuk menciptakan sosok manusia yang berpendidikan tanpa melihat latar belakang siswa yang terlibat di dalamnya, baik dari segi budaya, sosial, maupun ekonomi. 3
Anwar Arifin,Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sisdiknas, (Jakarta: Ditjen kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), Cet.II, h.37. 4 Martinis Yamin(ed).,Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi,(Jakarta:Gaung persada Press,2004), Cet.II, h.98. 5 Anwar Arifin,Memahami Paradigma Baru...., h.38. 6 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati(eds),Ilmu Pendidikan…, h.69.
3
Sekolah dirancang untuk dapat memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat luas. Agar dapat menghasilkan produk (output) secara optimal, maka “sekolah harus mempunyai visi dan misi yang jelas, sehingga dengan cita-cita dan tujuan yang dirumuskan secara bersama-sama oleh kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan yang ada itu dapat ditentukan apa skala prioritas yang akan dilakukan sehingga sekolah mampu mencetak sebuah prestasi. Beberapa sekolah di Indonesia telah berhasil mencetak prestasi gemilang di kancah internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, medali emas dari berbagai olimpiade, seperti fisika, kimia, matematika, biologi, astronomi, dan komputer, selalu digenggam siswa yang mewakili Indonesia. seperti pada saat perayaan hari pendidikan nasional (Hardiknas) tahun lalu, tepatnya pada hari sabtu, tanggal 2 mei. Enam medali emas diraih pelajar SMA asal Indonesia dari ajang International Conference of Young Scientists (ICYS) 2009 di Pszczyn, Polandia, pada 24-28 April. Namun demikian, benarkah kesuksesan yang telah diraih oleh beberapa siswa yang berprestasi tersebut dapat mewakili gambaran siswa Indonesia secara keseluruhan.7 Pengamat pendidikan, Rahman, mengatakan bahwa juara-juara olimpiade sains itu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki bibit-bibit cemerlang. Namun Rahman yang juga ketua Harian Komisi Nasional Indonesia UNESCO mengingatkan bahwa prestasi itu bukan tolok ukur absolut kualitas siswa di Indonesia. Masih senada dengan Rahman, Dharmaningtyas seorang pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa, mengatakan bahwa prestasi-prestasi itu membuktikan anak-anak Indonesia bisa berkembang sama dengan siswa negara lain–bila difasilitasi, diberi metode belajar yang baik, dan guru berkualitas.8 Akan tetapi keberhasilan itu bukan cerminan riil kondisi pendidikan dan mutu siswa Indonesia secara keseluruhan. Meskipun kita tahu bahwa tidak sedikit siswa-siswi Indonesia yang memenangi ajang bergengsi adu keterampilan di olimpiade matematika dan sains 7 8
Anan, “Mutu pendidikan di negeri para juara” dalam http// www.Anan‟s Blogs.ac.id. Mutu pendidikan di negeri para juara dalam http// www.Anan‟s Blogs.ac.id
4
yang siswanya dipersiapkan secara khusus. Tapi secara umum kemampuan siswa Indonesia sangat memprihatinkan, berdasarkan hasil tes berstandar internasional (International Standarized Test), yaitu Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) siswa-siswi Indonesia berada di urutan ke 38 dengan rata-rata nilai dibawah 500, tepatnya 397.9 Rendahnya skor matematika siswa-siswi Indonesia yang didapat dari survey PISA dan TIMMS merupakan salah satu gambaran betapa sangat memprihatinkannya kualitas pendidikan di Indonesia, padahal sudah bukan rahasia bahwa matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah memegang peranan penting dalam perkembangan peradaban modern. Sayangnya prestasi matematika baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Memang tidak dapat dipungkiri hal tersebut dapat terjadi karena salah satunya adalah “adanya rasa cemas (anxiety) berlebihan yang dialami siswa pada saat belajar matematika dibandingkan dengan belajar mata pelajaran lainnya.”10 Kecemasan dapat dialami siapapun dan di mana pun, termasuk juga oleh siswa di sekolah. Kecemasan yang dialami siswa di sekolah bisa berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Kecemasan atau anxiety pada diri siswa merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya suatu tekanan, biasanya tekanan tersebut tidak nampak/ tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi untuk lebih giat belajar, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis siswa yang bersangkutan yang pada akhirnya dapat menimbulkan stress dan malas belajar11. Terlebih lagi ketika siswa dihadapkan pada ujian nasional (UN). 9
“ TIMSS Table.1 of average mathenatics score of fourth and eight grade students by country:2007” dalam http://nces.ed.gov/timss/table07_1.asp.19/10/10 pukul 08:58 10 http://www.hrcentro.com/artikel/Mengatasi_Kecemasan_100310.htm 11 “Tips Menghilangkan Kecemasan UN”, dalam http://ujiannasional.org/tips-menghilangkankecemasan-UN.htm. 10/23/2010,11:14.
5
Kecemasan siswa yang terlampau tinggi dalam menghadapi UAN-UAS justru akan menurunkan kinerja otak siswa dalam belajar. Daya ingat, daya konsentrasi, daya kritis maupun kreativitas siswa dalam belajar justru akan berantakan. Jika kecemasan itu sampai mengacaukan emosi, mengganggu tidur, menurunkan nafsu makan, dan memerosotkan kebugaran tubuh, bukan saja kemungkinan gagal ujian justru makin besar, tetapi juga kemungkinan siswa mengalami sakit psikosomatik dan problema dalam berinteraksi-sosial akan terjadi. Dalam dunia pendidikan fenomena ini dikenal dengan nama test anxiety (kecemasan menghadapi tes). Menurut
sebuah
penelitian
yang
melibatkan
10.000
ribu
siswa
sekolah dasar dan menengah di Amerika menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang mengikuti tes gagal menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya disebabkan oleh situasi dan suasana tes yang membuat mereka cemas.12 Sebaliknya, para siswa ini memperlihatkan hasil yang lebih baik jika berada pada kondisi yang lebih optimal, dalam arti unsur-unsur yang membuat siswa berada dibawah tekanan dikurangi atau dihilangkan sama sekali.Ini menunjukkan bahwa sebenarnya para siswa tersebut
menguasai
materi yang diujikan tapi gagal memperlihatkan kemampuan mereka yang sebenarnya karena kecemasan yang melanda mereka saat menghadapi tes. Rasa cemas (anxiety) saat tes ataupun saat belajar matematika dapat terjadi setiap saat pada diri siswa dan seringkali muncul secara mendadak. Dalam skala kecil, kasus kecemasan siswa dalam belajar matematika terjadi di sekolah SMP Negeri 21 Tangerang saat peneliti mengadakan survei pendahuluan. Berdasarkan wawancara dengan guru bidang studi dan hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa selama satu minggu diperoleh informasi bahwa siswa kelas VIII-D terlihat cemas dalam belajar. (Panduan dan kutipan wawancara dapat dilihat pada lampiran 1) Hanya beberapa siswa yang merasa santai dalam memperhatikan penjelasan guru dan menjawab soal di depan kelas. 12
Sisi Lain Ujian Nasional Dalam http://image.pos-kupang.com/printnews/artikel/29839. 20/12/2010. 14:59
6
Kecemasan siswa terlihat dari banyak siswa yang tidak berani menanyakan materi yang belum dipahami dan kebanyakan siswa saling mengandalkan ketika guru mempersilahkan untuk menjawab soal didepan kelas serta masih banyak juga siswa yang terbata-bata saat dipersilahkan menjelaskan kembali jawaban soal yang telah mereka dapat. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kelas VIII-D SMP Negeri 21 Tangerang masih memiliki tingkat kecemasan belajar matematika yang relatif tinggi. Berdasarkan angket yang diberikan pada siswa kelas VIII-D diperoleh skor awal kecemasan belajar matematika sebagai berikut:
Tabel 1.1 Distribusi frekuensi Skor Awal Kecemasan Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 21 Tangerang kelas VIII-D
Interval Skor 62 – 71 72 – 81 82 – 91 92 – 101 102 – 111 112 – 121 122 – 131
F
Frelatif
4
7,5%
4
20%
7
12,5%
8
17,5%
5
7,5%
4
15%
8
12,5%
Keterangan: Skor tertinggi = 130
Rata-rata
= 98,43
Skor terendah = 62
SD
= 19,95
7
Tabel 1.2 Skala Skor Awal Kecemasan Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 21 Tangerang Kategori
Skala kecemasan
f
f
Tinggi
x ≥ 118,37
11
27,5%
Sedang
78,48 < x < 118,37
22
55%
Rendah
x ≤ 78,48
7
17,5%
Kecemasan Belajar
relatif
Berdasarkan skor kecemasan yang diperoleh oleh siswa, dapat dikategorikan sebagai berikut: Kecemasan belajar tinggi
: X ≥ 𝑋 + SD
Kecemasan belajar sedang
: (𝑋 – SD) < X < (𝑋 + SD)
Kecemasan belajar rendah
: X ≤ 𝑋 – SD
Dari Tabel 1.1 dan 1.2 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata skor kecemasan belajar matematika siswa yaitu 98,43. Didapatkan bahwa siswa yang memiliki kecemasan belajar tinggi sebesar 27,5% (11 orang), kecemasan belajar sedang 55% (22 orang), kecemasan belajar rendah sebesar 17,5% (7 orang). Berdasarkan skor tersebut siswa yang mempunyai kecemasan dalam belajar matematika belum relatif rendah. Saat penulis melakukan pengamatan selama siswa mengikuti kegiatan pembelajaran, masih ada beberapa siswa yang memiliki kecemasan begitu tinggi, hal ini terlihat saat siswa yang awalnya terlihat biasa saja ketika mengikuti pelajaran, kemudian berubah menjadi tegang pada saat guru bidang studi memerintahkan untuk mengerjakan soal-soal latihan karena setelah mengerjakan soal tersebut, siswa akan dipilih secara acak untuk mengerjakan soal di depan kelas. Pun setelah guru
8
meninggalkan kelas, keadaan kelas menjadi gaduh, karena siswa membaur dengan temannya untuk mencari penyelesaian soal yang ditugaskan oleh guru bidang studi. Contoh kasus di atas hanya gambaran kecil dari banyaknya permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan kita. Pada dasarnya banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa di sekolah. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian yang terlalu ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, dan kurang kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang bersumber dari faktor guru yang dapat membuat siswa menjadi enggan untuk menanyakan materi-materi yang belum dimengerti, takut untuk mengemukakan pendapat dan malas untuk mengikuti kegiatan belajar di kelas. Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian prestasi belajar dan kesehatan fisik atau mental siswa, maka sangat penting mengetahui penyebab munculnya kecemasan (anxiety) matematika serta mencari pemecahan masalanya dengan upaya-upaya tertentu seperti memilih metode yang dianggap tepat dan efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran, atau dalam menerapkan teknik-teknik pembelajaran yang digunakan untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa di sekolah, karena hal ini sangat membantu siswa dalam berprestasi serta dapat membantu guru untuk sukses mengajar matematika dan mengoptimalkan penguasaan siswa terhadap pelajaran matematika. Sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan oleh guru kelas untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Namun usaha itu belum menunjukan hasil yang optimal. Rentang nilai siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai terlalu mencolok. Untuk itu perlu diupayakan pula agar rentang nilai antar siswa tersebut tidak terlalu jauh yaitu dengan memanfaatkan siswa yang pandai untuk menularkan kemampuannya pada siswa lain yang kemampuannya lebih rendah. Tentu saja guru yang menjadi perancang model pembelajaran harus mengubah bentuk pembelajaran
9
yang lain. Pembelajaran tersebut adalah pembelajaran dengan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya. Dengan menerapkan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya ini seorang guru tidak lagi dituntut untuk mengajarkan suatu materi, karena transfer ilmu pengetahuan yang terjadi di sekolah bukan hanya dari guru ke siswa tetapi bisa juga dari siswa ke siswa sehingga proses pembelajaran dapat membuat siswa merasa nyaman dan tidak malu untuk menanyakan hal-hal yang belum mereka mengerti dikarenakan mereka dapat bertanya kepada tutor yang tak lain adalah teman mereka sendiri. Dengan menerapkan model pembelajaran metode diskusi kelompok ini pula maka seorang guru telah mengajarkan strategi atau cara belajar yang efektif dan efisien kepada siswanya agar dapat mempelajari, mengeksplorasi dan memahami sendiri setiap persoalan, kasus atau masalah yang diberikan oleh guru di sekolah dengan mudah dan menyenangkan sesuai dengan potensi dan modalitas belajar yang mereka miliki. Dalam berdiskusi, tutor sebaya dapat diartikan “siswa yang pandai dapat memberikan bantuan belajar kepada siswa yang kurang pandai.”13 Oleh karena itu, penerapan teknik tutor sebaya dalam metode diskusi kelompok akan sangat membantu guru dalam mengajarkan materi kepada siswa siswanya. Karena dalam hal tertentu kadang siswa lebih paham dengan bahasa teman sebayanya daripada bahasa guru, tidak malu atau takut untuk menanyakan materi yang belum mereka pahami, karena yang mereka tanya itu tak lain temannya sendiri. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti mencoba mengadakan penelitian dalam bentuk penelitian tindakan kelas dengan judul : “Upaya Mengurangi Kecemasan Belajar Matematika Siswa Dengan Penerapan Metode Diskusi Kelompok Teknik Tutor Sebaya”
13
Erman Suherman, dkk., Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA, 2003), hal.276.
10
B. Identifikasi Area dan Fokus Penelitian Area penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah SMP Negeri 21 Tangerang kelas VIII-D tahun ajaran 2010-2011 semester genap. Jumlah siswa dalam kelas ada 40 siswa, siswa laki-laki berjumlah 22 siswa dan siswa perempuan berjumlah 18 siswa. Berdasarkan latar belakang masalah mengenai penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya tersebut, maka dapat diidentifikasikan masalahnya sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan siswa-siswi cemas pada bidang studi matematika di SMP Negeri 21 Tangerang? 2. Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan siswa dalam belajar matematika? 3. Apakah dengan menerapkan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya dapat mengurangi kecemasan siswa dalam belajar matematika? 4. Kendala apa saja yang mungkin dihadapi ketika menerapkan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya dalam pembelajaran matematika?
C. Pembatasan Fokus Penelitian Agar permasalahan dalam penelitian ini menjadi terarah dan tidak meluas, maka penulis membatasi permasalahannya sebagai berikut: 1. Kecemasan (anxiety) yang dimaksud oleh peneliti adalah rasa cemas yang terjadi pada siswa selama proses pembelajaran matematika. 2. Metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya dalam penelitian ini adalah metode diskusi kelompok yang digabungkan dengan teknik tutor sebaya, yang mana pada setiap kelompok akan ada siswa yang ditugaskan oleh guru untuk menjadi tutor pada kelompoknya. 3. Siswa yang dijadikan objek penelitian adalah siswa kelas VIII-D SMP Negeri 21 Tangerang.
11
4. Dimensi kecemasan siswa yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari dua dimensi, yaitu: dimensi fisiologi dan dimensi psikologis siswa. 5. Pengukuran kecemasan siswa ini diambil berdasarkan angket yang diberikan kepada siswa dan lembar observasi yang diisi oleh guru kelas yang bertindak sebagai kolaborator. 6. Materi yang diberikan dalam proses pembelajaran ini adalah materi pytagoras dan lingkaran yang diajarkan pada semester 2 (genap).
D. Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dibatasi di atas, maka perumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Apakah dengan penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya dapat mengurangi kecemasan yang dialami siswa SMP Negeri 21 Tangerang dalam belajar matematika? 2. Berapa banyak jumlah siswa yang memiliki kecemasan belajar tinggi dapat dikurangi dengan menerapkan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya? 3. Bagaimana
tanggapan
siswa
SMP
Negeri
21
Tangerang
yang
menggunakan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya dalam pembelajaran matematika? 4. Bagaimana kegiatan siswa SMP Negeri 21 Tangerang dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya?
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor apa sajakah yang dapat membuat
siswa
mengalami
kecemasan
dalam
proses
pembelajaran
matematika. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui persepsi siswa
12
tentang penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya dalam proses pembelajaran matematika. 2. Manfaat Penelitian Secara umum hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi program pendidikan matematika dan juga dapat memberikan tambahan wawasan yang berkaitan dengan penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya khususnya bagi masyarakat pendidikan, diantaranya: a) Manfaat bagi guru Hasil penelitian ini berguna sebagai bahan pertimbangan penggunaan metode dan teknik pembelajaran matematika dalam mengurangi tingkat kecemasan yang dialami siswa saat belajar matematika. b) Manfaat bagi siswa Penelitian ini dapat membantu siswa untuk menyadari beberapa faktor yang dapat menimbulkan kecemasan serta memberikan
jalan dalam
mengurangi kecemasan yang selama ini dialami siswa ketika belajar dan menghadapi ujian dalam belajar matematika. c) Manfaat bagi sekolah Meningkatkan kinerja tenaga pengajar dalam meningkatkan prestasi belajar siswa serta meningkatkan mutu pendidikan. d) Manfaat bagi peneliti Dapat mengetahui gejala- gejala yang dapat membuat siswa cemas dalam belajar matematika serta dapat mengantisipasinya dengan metode belajar yang tepat. Seperti metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya yang sedang peneliti terapkan, itupun jika pada akhirnya metode ini terbukti mampu mengurangi kecemasan siswa dalam belajar matematika.