Dirangkup dari pendapat : Prof. Dr. Maria SW Sumardjono, SH.,MCL.,MPA Sebagai referensi Puslitbang BPN-RI didalam merumuskan pokok-pokok pikiran pengaturan
UUD 45 Pasal 33 ayat 3
Negara
Tanah
Tanah Negara (HMN) Subyek negara Dasar hukum pasal 2 UUPA Kewenangan Publik
HPL Adalah HMN yang kewenangan pelaksanaan nya Dilimpahkan kepada pemegang HPL Fungsi publik..perdata…publik
Tanah ulayat (hak ulayat) Subyek masyarakat adat Dasar hukum UUPA pasal 3 Kewenangan publik dan perdata
Tanah hak (HM, HGB,HGU,HP,HSUB) Subyek orang perorang , badan hukum dasar hukum pasal 4 jo pasal 16 UUPA dan kewenangan perdata
Tidak secara eksplisit disebut dalam UUPA
Secara Implisit pengertian itu diturunkan dari pasar 2 ayat 4 UUPA
Istilah HPL muncul pertama kali dalam PMA no 9 tahun 1965 tentang pelaksanaan konversi hak penguasaan atas tanah negara dan ketentuan – ketentuan tentang kebijaksanaan selanjutnya
PP no 8 tahun 1953 tentang penguasaan tanah-tanah negara
SK menteri agraria no SK VII/5/Ka tanggal 20 Juni 1962dan surat edaran menteri agraria no Ka 3/1/1 tanggal 1 maret 1962
Peraturan menteri agraria no 9 tentang pelaksanaan konversi hak penguasaan atas tanah negara dan ketentuan-ketentuan tentang kebijaksanaan selanjutnya
Peraturan menteri agraria no 1 tahun 1966 tentang pendaftaran hak pakai dan hak pengelolaan
Peraturan menteri agraria no 1 tahun 1977 tentang tata cara permohonan dan penyelesaian pemberian hak atas bagian-bagian tanah hak pengelolaan serta pendaftarannya
Peraturan menteri dalam
negeri No 1 tahun 1967 diubah dengan
permendagri no 6 tahun 1972 tentang pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah
Peraturan menteri dalam negeri no 5 tahun 1973 tentang ketentuanketentuan mengenai tata cara pemberian hak atas tanah
Peraturan menteri dalam negeri no 5 tahun 1974 tahun 1985 tentang ketentuan-ketentuan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan
Undang-Undang No 16 tentang Rumah Susun
Peraturan
Pemerintah 40 tahun 1996 tentang
Hak guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah
Peraturan
menteri negara agraria /kepala
BPN no 9 tahun 1999 tentang tata cara
pemberian dan pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Pengelolaan
Dasar
hukum pemberian hak atas tanah kepada pihak ke tiga dinyatakan dalam suarat perjanjian penggunaan tanah (SPPT) atau dengan nama lain apapun (‘perjanjian’)
Perjanjian
tersebut untuk melaksanakan perjanjian BOT / bangun guna serah antara pemegang HPL dengan pihak ke tiga
Pemegang
HGB/HP membayar sejumlah Fee atau kompensasi pada pemegang HPL.
Dimungkinkan
bahwa pemegang HGB/HP yang diberikan diatas tanah HPL dapat mengalihkan, membebankan HGB/HP nya dengan HT dengan persetujuan tertulis pemegang HPL
UU No 1 tahun 2004 Pasal 49 ayat 5 Barang milik negara atau daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan
Barang milik negara/ daerah adalah : Barang yang diperoleh / dibeli atas beban APBN/APBD atau perolehan lain yang sah (pasal 1 angka 10 dan 11)
Ketentuan tersebut tepat sekali karena barang milik negara/daerah merupakan res republique yang berada di luar lalu lintas perdagangan (res extra commercium)
Perlu perhatian: pasal 49 ayat daerah (1) “barang negara/daerah merupakan tanah yang dikuasai pemerintah pusat/daerah harus disertipikatkan atas nama pemerintah RI/ Daerah
Barang milik negara/daerah berupa tanah statusnya dapat berupa HP selama digunakan atau HPL
HP atau HPL yang terdaftar atas nama instansi pemerintah yang bersangkutan bukan obyek HT.
Jadi dapat disimpulkan bahwa: Sebelum berlakunya UU no 1 Tahun 2004 Jo. PP No 6 Tahun 2006 a. Mitra BOT/BTO dapat menjadikan HGB/HP yang diberikan diatas tanah HPL sebagai jaminan utang dengan dibebani HT b. Pihak ketiga dapat membebankan Hak atas Tanah (HGB/HP) yang diberikan atas tanah HPL beserta bangunan Tunggal atau satuan rumah susun( untuk hunian maupun Non Hunian) sebagai jaminan Hutang dengan dibebani HT Sesudah berlakunya UU no 1 Tahun 2004 Jo. PP No 6 Tahun 2006 a. Mitra BOT/BTO tidak dapat menjadikan Obyek BTO/BOT yang diberikan diatas Tanah HPL sebagai jaminan Hutang dengan dibebani HT b. Analog dengan butir a, pihak ketiga juga tidak dapat membebankan HGB/HP nya yang diberikan diatas tanah HPL sebagai jaminan Hutang dengan membebani HT
1.
Ada tiga permasalahan yuridis sehubungan dengan kemungkinan menjadikan BOT/BTO sebagai jaminan utang dengan dibebani HT menurut UU No. 1 Tahun 2004 Jo. PP No. 6 Tahun 2006, yaitu: Kemungkinan bahwa yang dimaksud oleh pembuat peraturan perundang-undangan, ketentuan tersebut diatas hanya diberlakukan terhadap BMN/BMD yang berstatus HP.
2.
UU No. 1 Tahun 2004 Jo. PP No. 6 Tahun 2006 belum mengakomodasi obyek BTO/BOT yang berdiri diatas HPL
3.
Kalau barang milik negara /daerah tersebut berstatus HP ketentuan tersebut sudah tepat
4.
Kalau barang milik negara /daerah tersebut berstatus HPL, perlu dipikirkan jalan keluar karena diatas HPL dapat diberikan HB/HP kepada mitra BTO
1.
Ada tiga permasalahan yuridis sehubungan dengan kemungkinan menjadikan BOT/BTO sebagai jaminan utang dengan dibebani HT menurut UU No. 1 Tahun 2004 Jo. PP No. 6 Tahun 2006, yaitu: Kemungkinan bahwa yang dimaksud oleh pembuat peraturan perundang-undangan, ketentuan tersebut diatas hanya diberlakukan terhadap BMN/BMD yang berstatus HP.
2.
UU No. 1 Tahun 2004 Jo. PP No. 6 Tahun 2006 belum mengakomodasi obyek BTO/BOT yang berdiri diatas HPL
3.
Kalau barang milik negara /daerah tersebut berstatus HP ketentuan tersebut sudah tepat
4.
Kalau barang milik negara /daerah tersebut berstatus HPL, perlu dipikirkan jalan keluar karena diatas HPL dapat diberikan HB/HP kepada mitra BTO
1. Kemungkinan peraturan perundang-undangan memang tidak memperbolehkan lagi mitra BOT/BTO untuk menjaminkan Obyek BOTnya (baik yang terjadi diatas tanah HP maupun HPL ) mengingat BOT/BTO oleh UU No. 1 Tahun 2004 Jo. PP No. 6 Tahun 2006 ada persyaratan khusus yakni (dalam penyelenggaraan tupoksi dan tidak adanya dana) dengan perkataan lain UU No. 1 Tahun 2004 Jo. PP No. 6 Tahun 2006 bertugas untuk mengembalikan barang milik negara/daerah dalam fungsi publiknya 2. Jika kemungkinan butir kedua yang dimaksud oleh pembuat UU No. 1 Tahun 2004 Jo. PP No. 6 Tahun 2006 , perlu dipikirkan jalan keluarnya khususnya terhadap obyek BTO/BOT yang diberikan diatas tanah HPL
4.
Kalau ketentuan terkait BOT/BTO oleh pembuat UU No. 1 Tahun 2004 Jo. PP No. 6 Tahun 2006 dimaksudkan hanya diberlakukan terhadap barang milik negara/daerah yang berstatus HP, maka sebagai pengecualian terhadap BTO/BOT yang terjadi di atas tanah berstatus HPL harus dimuat dalam dalam amandemen PP No. 6 Tahun 2006